• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAKWAH ISLAM SEBAGAI PROSES RASIONALISAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "DAKWAH ISLAM SEBAGAI PROSES RASIONALISAS"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

DAKWAH ISLAM SEBAGAI PROSES RASIONALISASI BERORIENTASI NILAI: TINJAUAN ATAS ISLAMISASI DI JAWA

PASCA-19651

Abstrak

Pasca runtuhnya rezim Demokrasi Terpimpin Indonesia memasuki era baru

yang disertai dengan perubahan besar dalam berbagai bidang tak terkecuali dalam

keberagamaan masyarakat. Hal ini terlihat dalam konteks masyarakat Jawa. Sebelum

Orde Baru masyarakat Jawa diwarnai polarisasi antara kaum santri dan abangan.

Kehidupan kaum abangan banyak diwarnai oleh tradisi dan kepercayaan warisan nenek

moyang yang bernuansa animsme dan dinamisme. Memasuki era Orde Baru proses

dakwah terhadap kaum abangan yang notabene hanya menganut Islam secara nominal

berlangsung intensif dan perlahan namun pasti mengubah corak keberagamaan

masyarakat Jawa menjadi lebih “ortodoks” (baca: lebih Islami). Dakwah Islam

terhadap kaum abangan berpengaruh besar dalam menghapuskan mitos-mitos dan

kepercayaan magis di tengah masyarakat Jawa. Dalam hal ini maka dakwah Islam juga

merupakan proses rasionalisasi terhadap masyarakat. Rasionalisasi di sini adalah

rasionalisasi berorientasi nilai, yang menekankan pentingnya ajaran tauhid sebagai nilai

dasar dalam memahami dan menjalani kehidupan.

Kata kunci: dakwah, rasionalisasi, rasionalisasi berbasis nilai

(2)

Sebagai pengantar penulis perlu menegaskan bahwa tulisan ini tidak

dimaksudkan sebagai pembahasan atas sebuah hasil penelitian tetapi lebih merupakan

suatu upaya operasionalisasi atas ide ilmuisasi Islam yang digagas almarhum

Kuntowijoyo. Ilmuisasi Islam dilakukan melalui integralisasi dan obyektivisasi.2

Integralisasi di sini dilakukan dengan mengambil satu konsep dari khazanah pemikiran

Islam yaitu “dakwah” (Arab: da'wah) sebagai alat analisis atas suatu fenomena yang

terjadi di masyarakat. Adapun obyektivikasi dilakukan dengan meminjam konsep

“rasionalisasi” dari khazanah ilmu sosial Barat untuk menganalisis proses dakwah

tersebut dalam realitas yang 'obyektif'.

Adalah satu hal yang tidak bisa dinafikan bahwa Islam adalah agama dakwah.

Ini mengandung pengertian bahwa dakwah atau menyeru umat manusia agar beriman

kepada Allah dan beramal saleh adalah ajaran Islam yang bersifat prinsipil. Dalam

praktiknya dakwah bisa mewujud dalam bentuk penyebaran Islam kepada orang-orang

atau masyarakat yang belum memeluk Islam ataupun usaha terus menerus untuk

menyadarkan umat Islam sendiri agar meningkatkan kualitas keberislamannya. Hal ini

dapat dilihat dalam perlintasan sejarah. Dalam bentuknya yang pertama dakwah telah

membawa Islam dari Jazirah Arab ke seluruh penjuru dunia tak terkecuali Nusantara dan

Jawa pada khususnya dan kemudian menjadi agama yang dianut jutaan orang di muka

bumi. Sementara itu dalam bentuknya yang kedua dakwah telah membawa transformasi

dalam kehidupan suatu masyarakat. Sekalipun dengan mengucapkan dua kalimat

syahadat seseorang sudah diakui sebagai Muslim akan tetapi tidak serta merta ia

menjalankan Islam secara sempurna. Untuk bisa berislam secara kaffah dibutuhkan

(3)

proses panjang yang seringkali tidak mudah, dan di sinilah posisi penting dakwah dalam

bentuknya yang kedua sebagaimana disinggung di atas.

Dalam prosesnya dakwah ikut mendorong terjadinya transformasi masyarakat.

Inilah yang akan coba dibahas dalam konteks sejarah masyarakat Jawa pasca-1965. Di

sini kita akan melihat bagaimana dakwah Islam ikut berpengaruh dalam mendorong

terjadinya rasionalisasi di tengah masyarakat Jawa.

Dakwah dan Rasionalisasi

Konsepsi dakwah dalam Islam memiliki arti “menyeru manusia ke jalan Allah”.3

Dalam pengertian ini dakwah berarti segala aktivitas yang arahnya adalah mengajak

manusia kepada Islam. Dakwah dalam Islam sering juga disebut amar ma'ruf nahi

munkar (menyuruh pada perkara yang ma'ruf (kebaikan) dan mencegah kemungkaran

(kejahatan)). Kegiatan dakwah dalam Islam meliputi semua dimensi kehidupan manusia,

karena amar ma'ruf dan nahi munkar juga meliputi segala bidang kehidupan.4 Dengan

demikian sesungguhnya dakwah itu bukan hanya mencakup kegiatan ceramah atau

pengajian. Pada intinya dakwah adalah “setiap usaha rekonstruksi masyarakat yang masih

mengandung unsur-unsur jahili agar menjadi masyarakat yang Islami”.5 Oleh karena itu

dakwah juga berarti Islamisasi seluruh kehidupan manusia.6 Islamisasi itu sendiri adalah:

“proses pembebasan manusia, pertama-tama dari segenap tradisi yang bersifat

magis, mitologis, animistis, dan budaya nasional yang irasional. Kemudian berarti

juga pembebasan manusia dari pengaruh sekular yang membelenggu.”7

3 Rais, M. Amien. 1991. Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta; (Bandung: Mizan) op.cit: 24.

4 Ibid

5 Ibid: 25.

6 Ibid

(4)

Berdasarkan penjelasan di atas kita bisa menghubungkan konsep dakwah atau

Islamisasi dengan rasionalisasi. Dalam kaitan dengan rasionalisasi terlebih dahulu kita

perlu memahami pengertian “rasionalitas”. “Rasionalitas” menggambarkan empat jenis

penalaran, atau dengan kata lain penalaran yang dipandu oleh salah satu dari empat motif:

keselarasan tindakan dengan nilai-nilai, pencapaian tujuan, kepatuhan terhadap peraturan,

dan pengembangan skema konseptual.8 Adapun “rasionalisasi” mengacu pada upaya

membuat dunia sosial yang lebih rasional dalam satu atau lebih dari dimensi-dimensi di

atas.9 Apabila dikaitkan dengan rasionalisasi sebagaimana diterangkan di atas maka

dakwah bisa disebut sebagai suatu bentuk rasionalisasi, dalam hal ini yaitu rasionalisasi

yang mengacu pada upaya membuat dunia sosial yang lebih rasional dalam dimensi

keselarasan tindakan dengan nilai-nilai. Nilai-nilai yang dimaksud di sini tentu saja

adalah nilai-nilai Islam.

Islamisasi Jawa Pasca-1965

Tragedi 1965-1966 yang membuka jalan bagi lahirnya rezim Orde Baru

berpengaruh besar bagi perkembangan masyarakat Indonesia –khususnya Jawa- pada

masa selanjutnya. Identifikasi diri dengan agama(-agama) yang diakui negara mendadak

menjadi hal yang penting bahkan erat kaitannya dengan keselamatan nyawa. Tahun 1966

pemerintah mengeluarkan Penpres no.1/1966 yang isinya mewajibkan seluruh warga

negara Indonesia memeluk salah satu agama dari 5 agama yang diakui Negara –Islam,

Kristen Protestan, Katolik Roma, Hindu, dan Buddha.10 Orang-orang yang tidak

8 Levine dalam Evans, Matthew T. 2003. An Inductive Approach to Weber's Concept of Formal Rationalization: Formalization, Formal Rationality, and Loose Coupling in Middletown Organizations

(Ann Arbor: Brigham Young University) op.cit: 13. 9 Ibid; op.cit.

(5)

memeluk salah satu dari kelima agama tersebut terancam dicap atheis yang disamakan

dengan komunis yang artinya layak untuk ditumpas. Demikian pula halnya dengan orang

yang meskipun secara formal mengaku beragama tetapi tidak menunjukkan ketaatan

beragama atau identifikasi dengan agama tertentu juga terancam mengalami nasib yang

sama dengan orang-orang yang tidak beragama.

Kebijakan pemerintah dalam hal agama tersebut mendorong perubahan besar

dalam kehidupan keberagamaan masyarakat di berbagai penjuru Indonesia, termasuk di

Jawa. Masyarakat yang semula hanya menganut agama secara nominal berusaha

menunjukkan ketaatan beragama agar tidak dicap sebagai PKI. Dalam kaitannya dengan

Islam tidak heran jika pasca-1965 terjadi perkembangan yang signifikan dalam proses

Islamisasi atau lebih tepatnya santrinisasi di Jawa. Banyak daerah yang semula dikenal

sebagai daerah abangan dan menjadi basis PKI atau PNI mengalami pergeseran dalam

orientasi keberagamaan masyarakatnya menjadi masyarakat santri.11 Proses Islamisasi ini

sedikit banyak didukung oleh pemerintah sebagai bagian dari upaya mengikis pengaruh

komunis dan membangun stabilitas nasional di samping tentu saja ada peran dari

organisasi atau kelompok-kelompok Islam sendiri.12

Aktivitas dakwah di daerah-daerah di Jawa yang semula berkarakter abangan

biasanya ditandai secara fisik dengan pembangunan masjid atau langgar/mushola dan

kadang-kadang pondok pesantren. Masjid dan mushola memiliki fungsi utama sebagai

pusat ibadah masyarakat di samping juga sebagai tempat diselenggarakannya pendidikan

agama bagi warga sekitar. Adapun pondok pesantren jelas menjadi pusat pendidikan

diIndonesia Timur (Yogyakarta: Syarikat): vii.

11 Lihat Pranowo, Bambang. 2009. Memahami Islam Jawa. Tangerang : Pustaka Alvabet & Indonesian Institute for Society Empowerment (INSEP).

(6)

keislaman yang tidak hanya didatangi warga sekitar tetapi juga menarik banyak orang

dari daerah lain untuk belajar agama di sana. Berdirinya prasarana fisik itu sekaligus

menandai masuknya institusi keislaman di daerah tersebut. Perlu dicatat bahwa masjid,

mushola, ataupun pondok pesantren bukan sekadar bangunan fisik melainkan juga

lembaga yang mengemban nilai-nilai Islam dan menyebarkannya kepada masyarakat

luas. Lembaga-lembaga ini berperan penting dalam proses dakwah di Jawa pasca-1965.

Secara umum, keberhasilan dakwah di Jawa tidak dapat dilepaskan pendekatan

yang digunakan. Dalam hal ini pendekatan kultural merupakan metode yang efektif

untuk mendakwahkan Islam di Jawa. Masyarakat Jawa -terutama yang hidup di

pedesaan- lekat dengan kehidupan yang guyub-rukun alias kehidupan yang diwarnai

ikatan komunal yang kental. Pada masyarakat semacam ini kegiatan yang melibatkan

banyak orang secara bersama-sama adalah suatu hal yang digemari dan inilah yang

dimanfaatkan untuk kepentingan dakwah.

Kegiatan-kegiatan keislaman yang kental dengan nuansa komunal seperti tradisi

tahlilan, yasinan, mujahadah, dan sebagainya adalah sarana efektif untuk menyebarkan

pesan-pesan dakwah, terutama di pedesaan. Melalui tradisi-tradisi ini ajaran Islam dapat

disosialisasikan secara tepat kepada masyarakat sesuai tingkat kepahamannya. Dalam

studinya tentang kehidupan beragama di pedesaan Magelang tahun 1980-an Bambang

Pranowo mencatat bahwa tradisi mujahadahan (dzikir bersama disertai dengan ceramah)

menjadi sarana menyosialisasikan konsep tauhid yang menekankan kedudukan Allah

sebagai satu-satunya dzat yang berkuasa atas segala sesuatu dan karenanya tidak ada

yang pantas ditakuti kekuatannya selain Allah.13 Lebih lanjut, Pranowo menjelaskan

bahwa proses dakwah yang intensif menghapus berbagai praktik kepercayaan tradisional

(7)

yang bersifat mitis seperti kepercayaan kepada roh penjaga (ingkang mbaurekso) dan

menggantinya dengan kepercayaan kepada Allah semata. Seiring dengan proses tersebut

kebiasaan seperti membuat sesaji (sajen) -berupa makanan dan bunga-bunga tertentu

yang diletakkan di suatu tempat hingga membusuk- perlahan-lahan hilang. Masyarakat

memandang bahwa daripada makanan dihambur-hamburkan untuk membuat sesaji lebih

baik dimakan sendiri saja.14

Sementara itu dalam studinya tentang Muslim reformis di pedesaan Yogyakarta

pada dekade 1990-an Hyung-Jun Kim mengungkapkan bagaimana seiring dengan

dakwah yang dilakukan kaum Muslim reformis kepercayaan tentang berkuasanya

makhluk halus seperti dhanyang menghilang karena diyakini kemudian bahwa

kepercayaan semacam itu adalah syirik. Menurut pengamatan Kim, dalam kehidupan

sehari-hari masyarakat di dusun yang menjadi lokasi penelitiannya pembicaraan

mengenai kekuatan supranatural terbilang jarang dan praktik asketik (Jawa: lelaku)

jarang nampak. Kalaupun ada pembicaraan santai tentang hal-hal tersebut maka sifatnya

lebih sebagai bahan olok-olokan.15 Terjadi pula transformasi dalam pemahaman

masyarakat di dusun tersebut mengenai makhluk-makhluk supranatural. Jika sebelumnya

mereka mengenal banyak jenis makhluk supranatural yang bisa dimintai pertolongannya

tanpa peduli bagaimana kedudukan makhluk-makhluk tersebut dalam kaitannya dengan

kekuasaan Allah maka setelah berlangsungnya proses Islamisasi secara intensif

masyarakat setempat hanya mengenal satu konsep makhluk supranatural yaitu jin, yang

disebutkan dalam Al Qur`an. Mereka lalu memahami pula bahwa jin adalah makhluk

Allah yang tidak lebih mulia dari manusia sehingga tidak layak ditakuti dan dimintai

14 Lihat ibid: 255-256.

15 Kim, Hyung-Jun. 2007. Reformist Muslims in Yogyakarta Village : The Islamic

(8)

pertolongan.16 Masih dalam studi yang sama, Kim juga membahas tentang transformasi

dalam ritual kendhuri atau slametan di dusun tersebut. Dalam penelitiannya pada dekade

1950-an Clifford Geertz memaparkan tentang ritual slametan yang di situ nama Allah,

nabi, arwah nenek moyang, sing mbaurekso, sampai dewa-dewi Hindu disebutkan dalam

dalam bagian pembuka untuk menghadirkan keadaan slamet.17 Akan tetapi dalam

penelitian yang dilakukan oleh Kim pada dasawarsa 1990-an hal tersebut sudah tidak lagi

ditemukan -setidaknya di dusun tempat ia melakukan penelitian. Ia menemukan bahwa di

dusun itu hanya nama Allah yang disebut-sebut dalam slametan.18 Ini sekali lagi

mengindikasikan adanya perubahan dalam cara pandang masyarakat dusun tersebut.

Nama-nama kekuatan supranatural selain Allah tidak lagi disebut karena adanya

pemahaman bahwa hanya Allah-lah yang layak dimintai pertolongan dan mampu

mendatangkan maslahat ataupun mudharat bagi umat manusia.

Makanan yang disajikan dalam slametan pun mendapat pemaknaan baru seiring

dengan Islamisasi yang intensif. Tumpeng yang selalu disajikan dalam slametan

dimaknai oleh warga yang telah memahami Islam sebagai simbol dari dunia yang

diciptakan oleh Allah. Bentuk tumpeng yang meneyerupai gunung dihubungkan dengan

ayat Al Qur`an yang menyebutkan bahwa Allah menjadikan gunung-gunung sebagai

pasak. Warga lainnya memahami tumpeng sebagai simbol keesaan Allah karena bentuk

tumpeng yang seperti gunung dan pada setiap gunung pasti hanya ada satu puncak.

Adapun ingkung ayam dimaknai sebagai simbol manusia. Sesuai tradisi hanya ayam jago

yang boleh dijadikan ingkung, “jago” di sini dapat diartikan sebagai “yang terunggul”

atau “yang terhebat”. Oleh karena Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang

16 Ibid: 150-155.

(9)

paling mulia maka manusia pun bisa disebut sebagai “jago”. Dengan demikian ayam jago

yang dijadikan sebagai ingkung merupakan perlambang dari manusia sebagai makhluk

“jago” yang diciptakan Allah.19

Penataan makanan yang disajikan dalam slametan juga memiliki makna tersendiri

dalam kacamata warga Muslim di dusun itu. Semua makanan disajikan di tengah

ruangan, ingkung ditempatkan berhadapan dengan tumpeng dengan posisi seperti orang

bersujud. Di sekeliling tumpeng dan ingkung disajikan makanan-makanan lainnya yang

melambangkan segala apa yang dikaruniakan Allah bagi manusia. Secara singkat

susunan makanan yang disajikan dalam slametan menyimbolkan manusia yang sedang

shalat menyembah Allah dikelilingi makhluk-makhluk lainnya yang dianugerahkan

kepadanya oleh Allah. Makna shalat itu sendiri dilambangkan oleh tiga jenis makanan

yaitu kolak, apem, dan ketan. Konon nama ketiga makanan itu diambil dari tiga kata

dalam bahasa Arab yaitu qala (berkata), afwu (maaf), dan khotho` (kesalahan). Artinya

dalam shalat itu seseorang mengeluarkan kata-kata untuk memohon maaf kepada Allah

atas kesalahan yang dilakukannya.20 Pemaknaan ini berbeda dengan pemaknaan

orang-orang tua yang memahami tumpeng sebagai simbol gunung yang merupakan tempat

menetapnya roh-roh orang mati dan makhluk halus lainnya dan disajikannya tumpeng

dalam slametan dimaksudkan sebagai sarana untuk memudahkan kontak dengan

kekuatan-kekuatan supranatural tersebut yang dianggap dapat membawa keadaan

“slamet”.21

Masih banyak contoh kasus lain dalam perkembangan kontemporer yang

menunjukkan semakin intensifnya Islamisasi di Jawa. Satu hal yang jelas bahwa

(10)

1965 dakwah Islam berlangsung dengan pesat di Jawa. Dalam jangka panjang proses ini

membawa perubahan besar dalam masyarakat Jawa, baik dalam cara pandang, tradisi,

dan berbagai aspek kehidupan lainnya.

Kesimpulan

Dakwah adalah satu hal yang tidak bisa dihapuskan dari ajaran Islam. Sejak

pertama kali Nabi Muhammad menerima wahyu di Makkah dakwah telah menjadi tugas

melekat yang diamanahkan langsung oleh Allah kepadanya lalu dilanjutkan oleh para

sahabat dan seluruh umatnya sampai dengan hari ini. Dakwah ditujukan kepada seluruh

umat manusia baik yang menyatakan dirinya sebagai Muslim maupun yang bukan. Pada

prinsipnya, dalam ajaran Islam dakwah adalah suatu seruan untuk menyadarkan umat

manusia akan peran dan kedudukannya sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi.

Untuk bisa sampai kepada kesadaran itu sudah barang tentu diperlukan berbagai upaya

dalam rangka mengembalikan manusia kepada nilai-nilai fitrahnya yang terejawantahkan

dalam ajaran Islam seraya menghilangkan segala macam unsur yang bertentangan

dengan nilai-nilai fitrah tersebut.

Berbicara tentang dakwah maka dakwah menyentuh baik sisi spiritualitas maupun

rasionalitas manusia. Dalam konteks rasionalitas, dakwah Islam menggugah manusia

agar mempergunakan akalnya untuk mengenal dan mengakui kebesaran Allah yang akan

mendorongnya beribadah kepada Dzat Yang Maha Pencipta ini. Lewat penggugahan atas

akal ini manusia didorong untuk melepaskan segala belenggu dan penghalang yang

menjauhkannya dari mengenal dan beribadah kepada Allah semata. Inilah yang disebut

(11)

akalnya agar menyelaraskan tindakannya dengan ketentuan Allah.

Dakwah Islam di Jawa yang berlangsung pesat pasca-1965 menunjukkan

bagaimana rasionalisasi berorientasi nilai itu berlangsung. Dakwah Islam telah

berpengaruh besar dalam membangun rasionalitas masyarakat di berbagai penjuru Tanah

Jawa. Proses ini -yang masih dan akan terus berlangsung- jelas tidak dapat diabaikan jika

kita ingin membawa masyarakat keluar dari alam mitis menuju alam rasional.

DAFTAR PUSTAKA

Evans, Matthew T. 2003. An Inductive Approach to Weber's Concept of Formal

Rationalization: Formalization, Formal Rationality, and Loose Coupling in

Middletown Organizations. Ann Arbor: Brigham Young University.

Kim, Hyung-Jun. 2007. Reformist Muslims in Yogyakarta Village : The Islamic

Transformation of Contemporary Socio-Religious Life. Canberra: ANU E Press.

Kuntowijoyo. 2003. Islam Sebagai Ilmu. Epistemologi, Metodologi, dan Etika

Yogyakarta: Tiara Wacana.

Margana, Sri & Widya Fitrianingsih (ed.). 2010. Sejarah Indonesia: Perspektif Lokal dan

Global. Persembahan Untuk 70 tahun Prof. Dr. Djoko Suryo. Yogyakarta:

Ombak.

Pranowo, Bambang. 2009. Memahami Islam Jawa. Tangerang : Pustaka Alvabet &

Indonesian Institute for Society Empowerment (INSEP).

Rais, M. Amien. 1991. Cakrawala Islam: Antara Cita dan Fakta. Bandung: Mizan.

Webb, R.A.F. Paul & Steven Farram. 2005. Di-PKI-kan: Tragedi 1965 dan Kaum

Referensi

Dokumen terkait

Kemacetan adalah kondisi dimana arus lalu lintas yang lewat pada ruas jalan yang ditinjau melebihi kapasitas rencana jalan tersebut yang mengakibatkan kecepatan

Terdapat empat proses utama yang digambarkan oleh DFD Level 0 ini yakni proses daftar, pemeriksaan, pengembalian, dan peminjaman dengan masing-masing alur data dari dan ke

Skor indikator ini mauk ke dalam kategori yang baik yaitu sebesar 86.25%, artinya bahwa karyawan Bank mandiri cabang falatehan mayoritas merasa bahwa mereka

Hal ini ternyata efektif dilakukan sebab dampak dari adanya restocking kepiting rajungan dapat dirasakan secara langsung oleh nelayan bubu anggota KUB Berkah Samudra

Dengan begitu dalam tugas akhir ini akan dijelaskan tentang risiko yang terjadi dalam sistem reaktor beserta tingkat keamanan dari reaktor tersebut.. 1.2

Endometriosis adalah jaringan ektopik (tidak pada permukaan dalam uterus) yang Endometriosis adalah jaringan ektopik (tidak pada permukaan dalam uterus) yang memiliki

F9 Penguasaan bahasa Melayu yang baik oleh kaum-kaum lain Mana-mana jawapan munasabah. Maksimum

Sound power yang dihasilkan dari kendaraan pada jalan raya akan terakumulasi antara satu kendaraan dengan kendaraan lain dan akan menyebabkan terjadinya kebisingan lalu