• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Wacana - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wacana Ideologi Ketuhanan dalam Berbagai Kepentingan: Analis wacana kritis Norman Fairclough dalam Buku Tuhan Maha Asyik Karya Sujiwo Tejo dan MN Kamba

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORI 2.1. Wacana - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Wacana Ideologi Ketuhanan dalam Berbagai Kepentingan: Analis wacana kritis Norman Fairclough dalam Buku Tuhan Maha Asyik Karya Sujiwo Tejo dan MN Kamba"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

7 BAB II

KAJIAN TEORI

2.1. Wacana

Wacana adalah kesatuan yang tatarannya lebih tinggi atau sama

dengan kalimat, terdiri atas rangkaian yang membentuk pesan, memiliki awal

dan akhir. Hal tersebut hampir sama seperti yang diungkapkan oleh Carlson

bahwa wacana merupakan rentangan ujaran yang berkesinambungan (Carlson

dalam Tarigan, 2009 : 22). Istilah wacana berasal dari bahasa Sansekerta yang

bermakna “ucapan atau tuturan”. Wacana dipadankan dengan istilah discourse

dalam bahasa Inggris (Sudaryat, 2008 : 110).

Kridalaksana (2005: 259) mendefinisikan wacana sebagai satuan

bahasa terlengkap; dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal

tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang

utuh (novel, buku seri ensiklopedia, dan sebagainya), paragraf, kalimat atau

kata yang membawa amanat yang lengkap.

Menurut Alwi (2003 : 419) wacana adalah rentetan kalimat yang

berkaitan yang menghubungkan proposisi yang satu dengan lainnya dalam

kesatuan makna. Sejalan dengan Alwi, Deese (dalam Tarigan, 2009: 24)

mendefinisikan wacana sebagai seperangkat preposisi yang saling

berhubungan untuk menghasilkan rasa kepaduan atau rasa kohesi bagi

penyimak atau pembaca.

Menurut Maingueneau (1993 : 38-41) terdapat delapan ciri penting

wacana, yaitu organisasi di atas kalimat, terarah, bentuk tindakan, interaktif,

kontekstual, didukung oleh subjek, diatur oleh norma, dan bagian dalam

interdiskursus. Berdasarkan ciri pertama yang disebutkan oleh Maingueneau,

wacana dapat dipahami sebagai sebuah satuan bahasa tertinggi dan berada

pada tingkatan di atas kalimat. Satuan bahasa tersebut dapat dikatakan sebagai

sebuah wacana jika memiliki makna tertentu. Meskipun merupakan satuan

bahasa terbesar, wacana tidak harus diwujudkan dalam rangkaian kata yang

(2)

8

seperti pada proverba atau kalimat larangan misalnya “dilarang merokok”.

Meskipun kalimat larangan tersebut sangat pendek, namun ia membawa

sebuah pesan atau makna yang jelas (Maingueneau, 1998 : 38).

Bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi itulah yang di namakan

wacana (Eriyanto, 2001:16-17). Bahasa itu sendiri dapat dipengaruhi oleh

beberapa unsur salah satunya unsur politik yang dapat menjadikannya sebuah

wacana politik. Pakar bidang politik, melihat wacana sebagai strategi politik

penggunaan bahasa, karena bahasa merupakan aspek utama dari

penggambaran suatu subjek. Bahasa merupakan media penyampaian ideologi,

dan lewat bahasa pula masyarakat bisa menyerap ideologi dari subjek tertentu

(Eriyanto, 2001:1-3). Lebih dari itu, Giles dan Wiemann (Hamad, 2004:14)

menyatakan jika bahasa dapat menentukan konteks, bukan sebaliknya. Dengan

begitu melalui bahasa (pilihan kata dan cara penyajian) yang digunakan,

seseorang dapat mempengaruhi orang lain (menunjukan kuasanya).

Melalui gagasan multifungsionalitas bahasa dalam teks, Fairclough

mengatakan bahwa bahasa tidak hanya tersusun secara sosial (identitas sosial,

relasi sosial & sistem pengetahuan dan keyakinan) namun juga dipandang

sebagai sesuatu yang dikonstruksi secara sosial. Fairclough mendekati

hubungan yang kompleks ini dengan menggunakan konsep “tatanan wacana‟.

Dalam tatanan wacana, Fairclough membedakan dua kategori tipe wacana

yaitu wacana dan genre. Wacana, dalam kata benda abstrak merupakan

penggunaan bahasa yang dianggap sebagai praktik sosial sedangkan dalam

kata benda yang dapat dihitung merupakan cara menjelaskan pengalaman dari

suatu perspektif tertentu. Peristiwa diskursif merupakan penggunaan bahasa,

dianalisis sebagai teks, praktik diskursif, dan praktik sosial yang menghasilkan

teks (bahasa tulis dan lisan). Penyusunan teks dari beragam wacana dan genre

(penggunaan bahasa yang diasosiasikan dengan suatu aktivitas sosial tertentu)

disebut interdiskursivitas.

Lebih lanjut, Fairclough menerapkan tiga konsep wacana dengan tiga

hal yang berbeda. Pertama, wacana mengacu pada penggunaan bahasa sebagai

(3)

9

yang yang digunakan dalam suatu bidang khusus, seperti wacana politik.

Ketiga, wacana digunakan sebagai suatu kata benda yang dapat dihitung, yang

mengacu pada cara bertutur sehingga dapat memberikan makna yang berasal

dari pengalaman-pengalaman yang didapat dari sudut pandang tertentu

(Jorgensen, 2007: 125). Khusus penggunaan bahasa pada judul atau headline

wacana berita, umumnya mengabaikan kaidah bahasa, tetapi mengandung

pemadatan isi berita dan tetap mencerminkan isi berita (Badara, 2012:24).

Berdasarkan berbagai pendapat tentang pengertian wacana di atas,

maka dapat ditarik kesimpulan bahwa wacana adalah sebuah bentuk tindakan

komunikasi interaktif yang dapat dilakukan baik secara lisan atau tertulis.

Wacana selalu melibatkan dua pihak yaitu penyampai dan penerima pesan.

Wacana merupakan organisasi bahasa tertinggi yang lebih besar atau di atas

kalimat. Wacana dapat terwujud dalam bentuk kalimat-kalimat yang banyak

dan panjang, namun juga dapat sangat pendek berupa kalimat tunggal yang

memiliki makna dan konteks. Wacana sangat berkaitan dengan konteks yang

melingkupinya.

2.2. Analisis Wacana

Analisis wacana berarti analisis hubungan antara penggunaan bahasa

yang konkret dan struktur sosial dan budaya yang lebih luas (Titscher,

2000:241-244). Sedangkan Mulyana (2005 : 8) mengungkapkan bahwa dalam

analisis wacana, kata atau kalimat yang berposisi sebagai wacana disyaratkan

memiliki kelengkapan makna, informasi, dan konteks tuturan yang jelas dan

mendukung.

Analisis wacana merupakan disiplin ilmu yang berusaha mengkaji

penggunaan bahasa dalam tindak komunikasi. Seperti yang diungkapkan

Stubbs (dalam Arifin & Rani, 2000: 8) yang menjelaskan bahwa analisis

wacana adalah suatu kajian yang meneliti atau menganalisis bahasa yang

digunakan secara alamiah, baik dalam bentuk tulis maupun lisan. Penggunaan

bahasa secara alamiah ini berarti penggunaan bahasa seperti dalam

(4)

10

analisis wacana sebagai studi tentang struktur pesan dalam komunikasi atau

telaah mengenai aneka fungsi (pragmatik) bahasa.

Kartomihardjo (1993: 21) menyatakan bahwa analisis wacana

merupakan cabang ilmu bahasa yang dikembangkan untuk menganalisis suatu

unit bahasa yang lebih besar dari pada kalimat dan lazim disebut wacana.

Lebih lanjut Kartomihardjo menyatakan bahwa analisis wacana berusaha

mencapai makna yang persis sama atau paling tidak sangat dekat dengan

makna yang dimaksud oleh pembicara dalam wacana lisan atau oleh penulis

dalam wacana tulisan.

Analisis wacana mengkaji hubungan bahasa dengan konteks

penggunaannya. Untuk memahami sebuah wacana perlu diperhatikan semua

unsur yang terlibat dalam penggunaan bahasa tersebut. Unsur yang terlibat

dalam penggunan bahasa ini disebut konteks dan koteks. Konteks mencakup

segala hal yang ada dilingkungan penggunaan bahasa. Selanjutnya, koteks

merupakan teks yang mendahului atau mengikuti sebuah teks. Dengan

demikian, mengkaji wacana sangat bermanfaat dalam mengkaji makna bahasa

dalam penggunaan yang sebenarnya (Arifin & Rani, 2000 : 14).

Analisis wacana tidak dimaksudkan untuk mencari keteraturan dan

kaidah seperti tata bahasa, tapi dituntut mengetahui keteraturan yang berkaitan

dalam penerimaan khalayak akan timbulnya wacana itu melalui

bahasa-bahasa. Menyinggung mengenai penggunaan bahasa dalam analisis wacana,

Hikam (Eriyanto, 2001:4-10) membagi tiga pandangan sebagai berikut.

1. Pandangan positivme-empiris, pandangan ini memandang bahasa

sebagai penghubung antara manusia dan objek diluar dirinya.

2. Pandangan konstruktivisme, pandangan ini melihat jika bahasa bukan

hanya sebagai alat untuk memahami realitas objek belaka dan terpisah

dari subjek sebagai penyampai pernyataan, namun subjek sebagian

faktor utama dalam kegiatan wacana serta hubungan sosialnya.

3. Pandangan kritis, pandangan ini mengoreksi pandangan

konstruktivisme yang kurang sensitif pada proses produksi dan

(5)

11

konstruktivisme dinilai masih belum menganalisis faktor-faktor

hubungan kekuasaan yang inheren dalam wacana sehingga dapat

membentuk subjek tertentu beserta perilakunya. Analisis wacana

dalam pandangan kritis mengungkapkan jika individu tidak dianggap

sebagai subjek yang netral jadi bisa menafsirkan apa saja sesuai

pikirannya, hal ini dikarenakan adanya hubungan dan pengaruh dari

kekuatan sosial dalam masyarakat. Sementara bahasa dalam

pandangan kritis dianggap sebagai representasi yang dapat membentuk

subjek, wacana, bahkan strategi tertentu. Jadi analisis wacana dalam

pandangan kritis digunakan untuk membongkar kuasa yang ada dalam

setiap proses bahasa.

Menurut Eriyanto (dalam Badara, 2012: 5) kualitas analisis wacana

kritis selalu dilihat dari kemampuannya menempatkan teks dalam konteksnya

yang penuh, holistik, lewat hubungan antara analisis di tahap teks dan analisis

konteks di jenjang yang lebih tinggi.

Dari pemaparan di atas, analisis wacana kritis juga menggunakan

pendekatan kritis, dalam menganalisis bahasa tidak hanya dilihat dari segi

kebahasaan saja, namun melihat juga dari segi konteks yakni tujuan dan

praktik tertentu yang ada dalam setiap wacana. Jadi di dalam analisis wacana

kritis, wacana tidak dipahami semata-mata sebagai studi bahasa saja walau

pada faktanya wacana menggunakan bahasa dalam teks untuk dianalaisis,

lebih lanjut bahasa yang dianalisis relatif berbeda dengan studi bahasa dalam

studi linguistik tradisional karena dalam analisis wacana kritis

menghubungkannya dengan konteks teks tertentu. Analisis wacana kritis tidak

bisa dianggap sebagai pendekatan yang secara politik netral, tapi pendekatan

ini secara politik ditujukan aagar timbulah perubahan sosial (Jorgensen,

2007:120).

Analisis wacana kritis sekaligus merupakan upaya dalam proses

(penguraian) untuk memberi penjelasan dari sebuah teks (realitas sosial) dari

(6)

12

tertentu untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Artinya dalam suatu konteks

harus disadari adanya kepentingan (Darma, 2009:49).4

Analisis wacana kritis dapat memberi penjelasan terhadap dimensi

linguistik-kewacanaan fenomena sosial dan kultural serta proses perubahan

kepada modernitas terkini (Jorgensen, 2007:116). Tujuan utama analisis

wacana kritis ialah untuk mengeksplorasi hubungan antara penggunaan bahasa

dan praktik sosial (Jorgensen, 2007:130).

2.2.1 Karakteristik Analisis Wacana Kritis

Berikut merupakan karakteristik analisis wacana kritis menurut

Eriyanto mengutip tulisan Van Dijk, Fairclough, dan Wodak.

1. Tindakan. Jika wacana dipahami sebagai suatu tindakan (action), maka

wacana dihubungkan sebagai bentuk interaksi. Terdapat beberapa

konsekuensi dalam melihat wacana, yakni wacana dipandang sebagai

suatu yang bertujuan dan konsekuensi kedua wacana dilihat sebagai hal

yang diekspresikan secara sadar, dan terkendali.

2. Konteks. Analisis wacana kritis mempertimbangkan konteks wacana

dalam arti memperhatikan latar, situasi, peristiwa, hingga kondisi tertentu.

Jadi wacana dalam hal ini dibuat, dipahami dan dianalisis dalam konteks

tertentu.

3. Historis. Menempatkan wacana dalam konteks sosial tertentu dan tidak

dapat dimengerti tanpa menyertakan konteks tertentu. Konteks historis

melihat suatu wacana timbul dalam situasi politik yang ada pada saat itu.

Saat melakukan analisis diperlukan suatu tinjauan dalam melihat wacana

yang berkembang ketika itu, dari segi bahasa yang digunakan, dan

seterusnya.

_____________________

(7)

13

4. Kekuasaan. Analisis wacana kritis mempertimbangkan elemen kekuasaan

(power). Wacana dalam bentuk teks, baik percakapan atau apa pun tidak di

pandang sebagai sesuatu yang alami, wajar dan netral tetapi merupakan

bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan yang dimaksudkan

adalah salah satu kunci hubungan antara wacana dan masyarakat.sehingga,

analisis wacana kritis tidak membatasi diri pada detail teks atau struktur

wacana saja, tetapi menghubungkan dengan kekuatan saja namun melihat

kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya tertentu.

5. Ideologi. Ideologi merupakan hal sentral dalam analisis wacana kritis

karena setiap bentuk teks, percakapan dan sebagainya adalah praktik

ideologi atau pencerminan ideologi tertentu. Wacana bagi ideologi ialah

medium melalui mana kelompok dominan mempersuasif dan

mengkomunikasikan kepada khalayak kekuasaan dan dominasi yang

dimiliki sehingga nampak sah dan benar (Badara, 2012:28-35).

Semua karakteristik penting dari analsis wacana kritis tentunya

membutuhkan pola pendekatan analisis.Hal ini diperlukan untuk memberi

penjelasan bagaimana wacana di kembangkan maupun mempengaruhi

khalayak.

2.2.2 Pendekatan Analisis Wacana yang Memfokuskan pada Representasi

Kata representasi mengacu pada bagaimana gagasan atau pendapat

baik dalam melihat seseorang, kelompok atau apapun yang ditampilkan.

Menurut Eriyanto, representasi penting dalam dua hal pertama, apakah

seseorang, kelompok, atau gagasan ditampilkan sebagaimana mestinya. Yang

kedua bagaimana representasi tersebut ditampilkan. Berkaitan dengan

penampilan objek, peristiwa, gagasan, kelompok atau seseorang ada tiga level

yang dihadapi oleh wartawan, level pertama peristiwa ditandakan (encode)

sebagai realitas. Level kedua pandangan sesuatu sebagai realitas hingga

bagaimana realitas tersebut digambarkan. Level ketiga, cara peristiwa tersebut

diorganisasi ke dalam kesepakatan-kesepakatan yang diterima secara

(8)

14

representasi, ada tiga hal yang menjadi pusat perhatian, yakni bahasa,

misrepresentasi dan pemarginalan (Badara, 2012:56-59).

2.3. Ideologi Ketuhanan

Ideologi Ketuhanan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

ideologi Pancasila, yaitu sila pertama Ketuhanan yang Maha Esa. Pancasila

yang berisi seperangkat nilai-nilai dasar ideal, merupakan komitmen

kebangsaan, identitas bangsa dan menjadi dasar pembangunan karakter

keindonesiaan. Sebuah negara yang majemuk seperti Indonesia membutuhkan

nilai bersama yang dapat dijadikan nilai pengikat integrasi (integrative value),

titik temu (common denominator), jati diri bangsa (national identity) dan

sekaligus nilai yang dianggap baik untuk diwujudkan (ideal value)

(Narmoatmojo, 2015: 1).

Ketika memperkenalkan sila Ketuhanan yang Maha Esa, Bung Karno

ingin menyusun Indonesia yang merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan

Yang Maha Esa (Abednego, 1986: 98). Meskipun demikian Bung Karno

menyadari bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk,

termasuk dalam masalah agama. Karena itu, Bung Karno tidak menyetujui

negara agama, atau suatu sistem teokrasi yang didasarkan atas salah satu

agama saja.

Kesatuan asasi seluruh agama merupakan konsep mendasar setiap

ajaran agama. Yang membedakan hanyalah cara-cara peribadatannya dan

hukum-hukumnya, karena bedanya lingkungan, waktu dan tempat, tetapi

kepercayaan tentang ke-esaan Tuhan adalah sama pada seluruh agama. Yaitu

Tuhan yang satu.5

________________

(9)

15

Oleh karena itu, Pancasila sebagai suatu sistem nilai negara disusun

berdasarkan urutan logis keberadaan unsur-unsurnya. Sila pertama (Ketuhanan

Yang Maha Esa) ditempatkan pada urutan yang paling atas, karena bangsa

Indonesia meyakini segala sesuatu berasal dari Tuhan dan akan kembali

kepada-Nya (Rukiyati, 2008:28). Menurut Moerdiono (1995: 2-3) terdapat

tiga tataran nilai dalam ideologi Pancasila yaitu dasar, nilai instrumental, dan

nilai praksis. Ketiga nilai tersebut adalah sebagai berikut:

1. Nilai dasar, yaitu suatu nilai yang bersifat amat abstrak dan tetap, yang

terlepas dari pengaruh perubahan waktu. Nilai dasar merupakan

prinsip, yang bersifat amat abstrak bersifat amat umum, tidak terikat

oleh waktu dan tempat, dengan kandungan kebenaran yang bagaikan

aksioma. Dari segi kandungan nilainya, maka nilai dasar yang

berkenaan dengan eksistensi sesuatu, yang mencakup cita-cita, tujuan,

tatanan dasar dan ciri khasnya. Nilai dasar Pancasila ditetapkan oleh

para pendiri negara. Nilai dasar Pancasila tumbuh baik dari sejarah

perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan yang telah

menyengsarakan rakyat, maupun dari cita-cita yang ditanamkan dalam

agama dan tradisi tentang suatu masyarakat yang adil dan makmur

berdasarkan kebersamaan, persatuan dan kesatuan seluruh warga

masyarakat.

2. Nilai instrumental, yaitu suatu nilai yang bersifat konstektual. Nilai

instrumental merupakan penjabaran dari nilai Pancasila, yang

merupakan arahan kinerjanya untuk kurun waktu tertentu dan untuk

kondisi tertentu. Nilai instrumental ini dapat disesuaikan dengan

tuntutan zaman. Namun nilai instrumental haruslah mengacu pada nilai

dasar yang dijabarkannya. Penjabaran itu bisa dilakukan secara kreatif

dan dinamik dalam bentuk-bentuk baru untuk mewujudkan semangat

yang sama, dalam batas-batas yang dimungkinkan oleh nilai dasar itu.

Dari kandungan nilainya, maka nilai instrumental merupakan

kebijaksanaan, strategi, organisasi, sistem, rencana, program, bahkan

(10)

16

negara yang berwenang menyusun nilai instrumental ini adalah MPR,

Presiden, dan DPR.

3. Nilai praksis, yaitu nilai yang terdapat dalam kenyataan sehari-hari,

berupa cara bagaimana rakyat melaksanakan (mengaktualisasikan)

nilai pancasila. Nilai praksis terdapat pada demikian banyak wujud

penerapan nilai–nilai Pancasila, baik secara tertertulis maupun tidak

tertulis, baik oleh cabang eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, oleh

organisasi kemasyarakatan, oleh badan-badan ekonomi, oleh pimpinan

kemasyarakatan, bahkan oleh warganegara secara perseorangan.

2.4. Kajian Hasil Penelitian Terkait

Penelitian ini memiliki beberapa kesamaan dengan penelitian

sebelumnya yang berjudul Analis Wacana Kritis dalam Pagelaran Wayang

Kulit Lakon ”Petruk Dadi Ratu” oleh Lanjar Rani dari Universitas Kristen

Satya Wacana Salatiga. Kesamaan tersebut terletak pada analisis wacana

kritis yang digunakan untuk membedah makna dibalik sebuah karya sastra.

Keduanya sama-sama menggunakan teknik analisis yang sama yaitu analisis

wacana kritis Norman Fairclough. Yang membedakan adalah pada penelitian

yang dilakukan Rani (2013) menganalisis pementasan wayang kulit.

Sedangkan dalam penelitian ini menganalisis teks buku. Penelitian yang

dilakukan oleh Rani menyebutkan berbagai pesan mengenai kondisi politik di

Indonesia yang terkandung dalam pagelaran wayang kulit dengan lakon

Petruk Dadi Ratu. Makna itu dapat diketahui setelah Rani menganalisis

bahasa serta pesan di dalamnya serta mengaitkannya dengan konteks dan

(11)

17 2.5. Kerangka Pikir

Banyaknya fenomena penyalahgunan agama dan Tuhan sebagai alat

mecapai kepetingan di Indonesia membuat Sujiwo Tejo dan MN Kamba

menulis buku Tuhan Maha Asyik. Dalam tulisan tersebut, keduanya

menuangkan berbagi kritikan dan gagasan mereka mengenai fenomena

berketuhanan di Indonesia. Teks dalam buku Tuhan Maha Asyik kemudian

dianlisis menggunakan analisis wacana kritis Norman Fairclough dalam

konteks ideologi ketuhanan. Sehingga diketahui apa wacan dan ideologi

ketuhanan dalam buku tersebut. Kondisi masyarakat

Indonesia

Buku Tuhan Maha Asyik

Wacana dan ideologi ketuhanan

Referensi

Dokumen terkait

Di gunung lawu / Terdapat padang rumput pegunungan banjaran Festuca nubigena yang mengelilingi sebuah danau gunung di kawah tua menjelang Pos terakhir menuju puncak pada

Kedua , masyarakat hukum adat Bayan dan Baru Murmas tidak memiliki hak pen- gelolaan atas tanah kawasan hutan karena belum diakui dalam Perda oleh Pemerintah Kabupaten Lombok

129 2.Uji Linieritas Iklim (X2)Organisasi Terhadap Produktivitas Sekolah (Y)... Uji Linierias data Kepemimpinan Transformasional Kepala Sekolah Terhadap Iklim Organisasi

 Terima kasih kepada bu roviila yang selama skripsi sudah menjadi dosen pedamping saya.beliau selalu sabar untuk mengajari saya dan bersedia membantu saya di saat

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

Disemprotkan ( Jet Application of Fluid ), pada proses pendinginan dengan cara ini cairan pendingin disemprotkan langsung ke daerah pemotongan (pertemuan antara

Direktur Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta dengan ini menyatakan bahwa mahasiswa program pascasarjana berikut ini adalah mahasiswa yang sedang aktif

− Prototipe sistem SDR skala lab dengan frekuensi maksimal RF 50 MHz dengan daya RF kurang dari 1 mW menggunakan daughterboard Basic Tx-Rx dapat dikembangkan untuk sebuah