• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASEAN Security Community Norma dan Ident (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ASEAN Security Community Norma dan Ident (1)"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

ASEAN Security Community: Norma dan Identitas atau Perimbangan

Kekuatan?

Muhammad Arif1

Abstract

This article examines whether the concepts of balance of power of realism and norms and identity of constructivism, either used independently or in combination, are sufficient enough to explain ASEAN Security Community (ASC) and its prospects. These concepts are prefered because they are contested frequently by a number of writers in explaining ASC and its prospects. I conclude that in order to explain the issue, it requires to also take into account the variable of domestic politics of each member country of ASC.

Keywords: security community; balance of power; norms; identity

Kata kunci: komunitas keamanan; perimbangan kekuatan; norma; identitas.

Kajian akademis tentang Association of Southeast Asia Nations (ASEAN) sebagai komunitas keamanan (security community) sudah ada jauh sebelum keberadaannya secara legal-institusional dicanangkan pada 2003 melalui Bali Concord II tahun 2003. Pada tahun 1991 Amitav Acharya dalam tulisannya menyimpulkan bahwa ASEAN telah sukses sebagai komunitas keamanan.2 Yang dibutuhkan ASEAN, menurut Acharya, adalah tinggal penguatan dan pengamanan terhadap kemungkinan konflik antar negara anggotanya.3 Dalam tulisanya yang diterbitkan tahun 1995, Michael Leifer juga mengemukakan bahwa ASEAN telah berperan sebagai komunitas keamanan.4 Berlawanan dengan Acharya, N. Ganesan pada tahun 1995

1

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dian Aditya Ning Lestari atas saran, kritik dan dukungan yang diberikan selama penyusunan tulisan ini.

2A ita A ha a, The Asso iatio of “outheast Asia Natio s: “e u it Co u it o Defe e Co u it ? , dalam Pacific Affairs, Vol. 64, No. 2 (Summer, 1991), hal. 159-178.

3

Ibid.

4Mi hael Leife , A“EAN as a Model of “e u it Co u it ?:, dala Chi Ki Wah da Leo “u adi ata ed. ,

(2)

23-mempertanyakan status ASEAN sebagai komunitas keamanan.5 Pendapat ini didasarkan pada kenyataan bahwa ASEAN belum mampu menyelesaikan perselisihan antara negara-negara anggotanya pada level institusi.6 Pada tahun yang sama Michael Leifer menulis bahwa ASEAN perlu merubah perannya untuk dapat mewujudkan diri menjadi komunitas keamanan.7 Jika perubahan peran ini tidak dilakukan, menurut Leifer, ASEAN beresiko hanya akan menjadi mekanisme intermural untuk menghindari konflik antar negara anggotanya atau menjadi sekedar mekanisme regional untuk menyuarakan aspirasi diplomatik kolektif. Penulis lain, Donald Emmerson pada tulisannya yang diterbitkan tahun 2005 juga meragukan status ASEAN sebagai komunitas keamanan.8 Emmerson meragukan bahwa kawasan Asia Tenggara yang relatif damai dan stabil adalah disebabkan terutama oleh keberadaan perasaan komunitas (sense of community) di antara negara-negara anggota ASEAN.9

Dengan demikian secara umum terdapat dua pendapat yang berbeda dalam melihat ASEAN sebagai komunitas keamanan, pendapat yang optimis dan pesimis. Pendapat yang berlainan ini utamanya disebabkan oleh pendekatan yang digunakan berbeda. Mereka yang optimis terhadap ASEAN sebagai komunitas keamanan diidentifikasi menggunakan pendekatan konstruktivisme dengan melihat aspek norma regional dan pembentukan identitas.10 Sedangkan mereka yang pesimis pada umumnya pemahamannya berangkat dari kerangka konseptual realisme utamanya dengan menggunakan konsep perimbangan kekuatan (balance of power). Masing-masing perspektif dan konsep memiliki kekuatan eksplanasinya masing-masing. Mereka yang memilih menggunakan perspektif dan konsep yang satu seringnya akan melakukan analisa dengan mengkontestasikan perspektif dan konsep tersebut dengan perspektif dan konsep yang lainnya.

116 da E a uel Adle da Mi hael Ba ett, “e u it Co u ities i Theo eti al Pe spe ti e da A F a e o k fo the “tud of “e u it Co uhities , dala E a uel Adle da Mi hael Barnett (ed.), Security Communities, (Cambridge: Cambridge University Press, 1998), hal. 3-65.

5N. Ga esa , ‘ethi ki g A“EAN as a “e u it Co u it i “outheast Asia , dala

Asian Affairs, Vol. 21, No. 4 (Winter, 1995), hal. 210-226.

6

Ibid.

7

Michael Leife , A“EAN as a Model of “e u it Co u it ?:, dala Chi Ki Wah da Leo “u adi ata ed. ,

Michael Leifer: Selected Works on Southeast Asia, (Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 2005), hal. 136-144.

8Do ald K. E e so , “e u it , Co u it , a d De o a i “outheast Asia: A al zi g A“EAN , dala

Japanese Journal of Political Science, 6 (2), hal. 165-185. 9

Ibid.

10

(3)

Penulis mencoba untuk tidak mengambil preferensi dari kedua perspektif yang akan dibahas –realisme dan konstruktivisme. Sebaliknya, yang akan Penulis coba lakukan adalah menyajikan penjabaran bagaimana keduanya masing-masing dengan konsep-konsep turunannya menjelaskan ASC dan prospeknya di masa yang akan datang. Pada bagian pertama, akan dijabarkan bagaimana realisme dengan konsep perimbangan kekuatannya menjelaskan ASC dan prospeknya. Selanjutnya pada bagian kedua, akan dijabarkan bagaimana kapasitas konstruktivisme dengan konsep-konsep norma dan identitas dalam menjelaskan ASC dan prospeknya. Pada bagian ketiga, Penulis akan berusaha membangun argumen bahwa kedua perspektif dengan konsep-konsep turunannya memiliki kekuatan eksplanasinya masing-masing. ASC dan prospeknya akan dapat dijelaskan dengan semakin tepat jika konsep-konsep tersebut digunakan secara bersamaan juga dengan tetap memperhatikan pengaruh faktor lain yaitu politik

domestik tiap negara anggota. Pada tataran praktikal ASC akan dapat berkembang ke arah yang positif jika para pembuat kebijakan mempertimbangkan faktor perimbangan kekuatan di kawasan Asia Tenggara -baik itu antar negara-negara anggota ASEAN ataupun sebagai bagian dari perimbangan kekuatan global- sekaligus faktor pembentukan norma dan identitas kawasan serta politik domestik tiap negara anggota.

Perimbangan Kekuatan dan ASC

Perimbangan kekuatan adalah salah satu konsep paling fundamental dalam Hubungan

Internasional. Glenn Snyder menyebutnya “konsep teoritis paling sentral dalam hubungan internasional”.11

Meskipun sulit disangkal bahwa perimbangan kekuatan adalah salah satu konsep paling penting dalam Hubungan Internasional, definisi perimbangan kekuatan itu sendiri masih menjadi perdebatan hingga sekarang. Perimbangan kekuatan didefinisikan sebagai distribusi kekuatan yang sedang terjadi pada sistem internasional, distribusi kekuatan ideal pada sistem internasional yang berusaha diwujudkan, atau justru perimbangan kekuatan sebagai strategi yang ditempuh negara untuk mewujudkan distribusi kekuatan yang diinginkannya.12 Sebagai sebuah teori, perimbangan kekuatan dengan demikian menjelaskan perilaku atau

kebijakan luar negeri negara sekaligus juga menjelaskan pola keluaran dari interaksi antar

11Gle “ de se agai a a dikutip da i Ja k “. Le , What Do G eat Po e s Bala e Agai st a dWhe , dala T. V. Paul et. Al. (ed.), Balance of Power: Theory and Practice in the 21st Century, (Stanford: Stanford University Press, 2004), hal. 29.

12

(4)

perilaku atau kebijakan luar negeri tersebut.13 Senada dengan ini, Michael Leifer, untuk menghindari dari ambiguitas definisi yang menjebak, mendefinisikan perimbangan kekuatan menjadi dua yaitu perimbangan kekuatan sebagai deskripsi hubungan kapabilitas antara dua atau lebih negara (distribusi kekuatan) dan perimbangan kekuatan sebagai kebijakan yang diarahkan untuk mencegah hadirnya negara hegemon yang mendominasi.14 Bentuk koalisi dalam hal ini adalah aliansi dan instrumen kebijakan secara tradisional adalah perang.

Teori perimbangan kekuatan dilandaskan pada asumsi-asumsi dasar hubungan internasional yaitu bahwa sistem internasional bersifat anarki, aktor kunci adalah negara teritorial, tujuan negara adalah memaksimalisasi kekuatan atau keamanannya, dan negara berperilaku rasional dalam upayanya mewujudkan tujuannya.15 Asumsi-asumsi ini identik dengan asumsi-asumsi dasar realisme.16

Dalam diskursus perimbangan kekuatan dalam konteks ASEAN, Michael Leifer adalah salah satu penulis yang sering dirujuk. Menurut Leifer, sama seperti bagaimana perimbangan kekuatan selama ini digunakan untuk memahami konstelasi Eropa, perimbangan kekuatan juga dapat diaplikasikan di Asia Tenggara karena sejumlah faktor.17 Meskipun Asia Tenggara tidak pernah memiliki kesepahaman tentang ancaman eksternal –prasyarat perimbangan kekuatan menurut Leifer- sehingga tidak pernah dapat membentuk aliansi, negara-negara Asia Tenggara selalu mempertimbangkan perimbangan kekuatan dalam menyusun pengaturan keamanan di kawasan.18 Keberlanjutan presensi kekuatan militer Amerika Serikat (AS) di kawasan bersama dengan hubungan yang stabil antara AS, Cina dan Jepang dianggap mempengaruhi secara positif terhadap stabilitas keamanan kawasan.19

Perimbangan kekuatan, baik antar negara anggota ASC maupun antar kekuatan global, akan mempengaruhi perkembangan ASC. Baik konflik regional maupun persaingan antar

13

Ibid., hal. 31.

14Mi hael Leife , T uth a out the Bala e of Po e , dala Chi Ki Wah da Leo “u adi ata ed. ,

op. cit., hal. 152.

15

Ibid., hal. 31. 16

Realisme sendiri mencakup berbagai teori yang semuanya menyepakati beberapa asumsi dasar yang sama yaitu bahwa negara adalah aktor paling penting hubungan internasional, sistem internasional bersifat anarki, dan

kekuata adalah se t al dala politik i te asio al. Lihat “tephe M. Walt, The P og essi e Po e of ‘ealis ,

dalam The American Political Science Review, Vol. 91, No. 4 (Des. 1997), hal. 932.

17Mi hael Leife , T uth a out the Bala e of Po e , dala Chi Ki Wah da Leo “u adi ata ed. ,

op. cit., hal. 152-154

18

Ibid., hal. 153. 19

(5)

kekuatan global menjadi salah satu faktor penentu perkembangan pengaturan keamanan di kawasan Asia Tenggara.20 Perimbangan kekuatan intra regional menunjukkan tendensi positif dimana kecurigaan dan kewaspadaan terhadap ekspansionisme negara yang potensial menjadi hegemon regional eksis. Dua negara yang tercatat pernah nyata-nyata menunjukkan intensi ekspansionismenya adalah Indonesia dan Vietnam. Keduanya pada waktu berbeda menggunakan pendekatan koersif dan lunak (benevolent) dalam upayanya mencapai status hegemon regional.21

“Indonesia yang secara alamiah adalah (potensial) hegemon di kawasan Asia Tenggara terkait dengan dengan luas dan populasinya”,22 menggunakan pendekatan koersif ketika menerapkan politik Konfrontasi dengan Malaysia pada pertengahan tahun 1960an serta ketika melakukan invasi ke Timor Timur tahun 1975. Sembari itu, Indonesia juga menerapkan pendekatan yang lebih lunak dalam kerangka ASEAN sejak pendiriannya tahun 1967 hingga sebelum krisis

finansial Asia tahun 1997. Sedangkan Vietnam menerapkan pendekatan koersif ketika menginvasi Kamboja tahun 1978 serta pendekatan lunak ketika memaksakan terciptanya dependensi Laos terhadapnya tahun 1975.

Terutama pada kasus politik Konfrontasi Indonesia dan invasi Vietnam terhadap Kamboja, dapat dilihat respon negara-negara lain di kawasan untuk menghentikan upaya kedua negara tersebut mendominasi kawasan (balancing). Hal ini menunjukkan perhatian negara-negara Asia Tenggara terhadap perimbangan kekuatan di kawasan. Kecurigaan dan kewaspadaan sekaligus kesiapan untuk mengimbangi (balancing) ini menjadi faktor yang berpengaruh dalam mewujudkan ASC dan perkembangannya di masa depan.

Perimbangan kekuatan global juga akan mempengaruhi ASC dan prospeknya. Hal ini berkaitan dengan fakta bahwa Asia Tenggara terlokasi sangat strategis dimana kebangkitan Cina yang akan berusaha dibendung oleh AS akan menjadikan Asia Tenggara sebagai salah satu arena persaingan. Salah satu modus persaingan tersebut adalah pengamanan jalur transportasi minyak di Selat Malaka, Selat Sunda dan Selat Lombok. Untuk Selat Malaka saja tiap tahunnya lewat

20Willia T. To , Co te di g “e u it App oa hes i the Asia

-Pa ifi ‘egio , dala Security Studies, 3:1, hal. 107.

21‘alf E e s, ‘egio al Hege o ies a d the E e ise of Po e i “outheast Asia: A “tud of I do esia a d

Viet a , dala Asian Survey, Vol. 45, No. 4 (July/August 2005), hal. 645. 22

(6)

80% dari jumlah total minyak menuju Asia Timur Laut, setara dengan $390 miliar.23 Superioritas Angkatan Laut AS menjadi salah satu penyedia jaminan keamanan di wilayah-wilayah tersebut. Disini terjadi suatu ahal yang paradoksial. Di satu sisi, jaminan keamanan maritim yang diberikan AS menguntungkan Cina yang pertumbuhan ekonominya sangat bergantung pada kelancaran transportasi minyak di jalur-jalur tersebut di atas. Di sisi lain, superioritas AS justru yang menjadi salah satu pendorong Cina untuk membangun kekuatan militernya. Pembangunan kekuatan militer dapat dilihat sebagai bentuk antisipasinya terhadap resiko AS dapat melakukan blokade dan memutus pasokan minyak ke Cina jika persaingan keduanya memanas.

Dari perspektif ASEAN, jaminan keamanan yang diberikan AS menjadi prakondisi bagi penguatan institusional, dalam hal ini pengaturan keamanan kawasan dalam kerangka ASC. Dengan demikian, akan lebih menguntungkan bagi negara-negara ASEAN untuk tetap tidak ikut terlibat dalam persaingan AS-Cina (stay on the sideline) sembari melakukan konsolidasi dan penguatan institusional.

Norma dan Identitas dan ASC

Dalam beberapa hal konsep komunitas keamanan memang tidak sesuai jika dikaji dengan kerangka teori neo-realisme. Pertama, komunitas akademisi Hubungan Internasional pada umumnya tidak terlalu nyaman dengan konsep komunitas keamanan.24 Pemikiran bahwa aktor-aktor internasional dapat berbagi nilai, norma dan simbol yang membentuk identitas sosial dan kepentingan berlawanan dengan keyakinan bahwa struktur internasional yang anarki membuat negara-negara akan selalu mengupayakan kepentingan nasionalnya di atas hal apapun.25 Kedua, konsep komunitas keamanan yang memberikan ruang bagi optimisme terhadap pencapaian stabilitas dan perdamaian melalui institusi dengan sendirinya tidak kompatibel dengan neo-realisme yang skeptis terhadap peran institusi dalam mendorong perubahan tanpa konflik. Memang neo-liberalisme, meskipun mengamini stuktur internasional yang anarki sebagaimana asumsi yang diyakini neo-realis, mempercayai bahwa institusi berupa kerjasama internasional

23Joshua H. Ho, The “e u it of “ea La es i “outheast Asia , dala

Asian Survey, Vol. 46, No. 4 (July/August 2006), hal. 560.

24E a uel Adle da Mi hael Ba ett, “e u it Co u ities i Theo eti al Pe spe ti e , dala E a uel Adle dan Michael Barnett (ed.), op. cit., hal. 3.

25

(7)

dapat menghindari negara dari konflik.26 Akan tetapi tetap neo-liberalisme memberikan tidak banyak peran bagi institusi. Dalam hal ini, institusi dibentuk oleh negara-negara dengan kepentingannya masing-masing (self-interested states), sehingga negara-negara tersebut tetap terbatas pilihan dan strateginya meskipun beroperasi dalam kerangka institusi termasuk komunitas keamanan. Ketiga, konsep komunitas keamanan yang didasarkan pada norma dan identitas yangmana bukan faktor material akan sulit dipahami menggunakan kerangka teori materialistik seperti neo-realisme atau neo-liberalisme. Adalah konstruktivisme yang menyediakan jalan untuk itu. Menurut Adler dan Barnett, konstruktivisme mempengaruhi diskursus tentang komunitas keamanan dalam tiga area.27 Pertama, komunitas keamanan sebagai sebuah konstruksi sosial, yang dihasilkan dari interaksi, sosialisasi, pembentukan norma dan identitas, dapat meredefinisi kepentingan negara dalam konteks perang dan damai.28 Kedua,

konstruktivisme fokus pada peran konstitutif norma dalam proses sosial yang meredifinisi kepentingan dan identitas negara sehingga memungkinkan terciptanya hubungan yang damai antar anggota komuntias keamanan.29 Ketiga, selain faktor material seperti kekuatan, konstruktivisme juga menaruh perhatian pada faktor intersubjektif seperti ide, budaya dan identitas kolektif yang menjadi basis bagi terciptanya komunitas keamanan.30

Dalam konteks ASC, pembentukan norma dan identitas justru sudah memiliki basis yang dapat dikembangkan. Prinsip-prinsip kedaulatan dan non-interferensi yang selama ini banyak dianggap sebagai halangan bagi integrasi Asia Tenggara justru sebenarnya adalah modalitas bagi pembentukan dan prospek ASC. Prinsip-prinsip tersebut bersama dengan ASEAN Way yang didasarkan atas keunikan ASEAN telah menjadi penyangga utama organisasi. Meskipun hubungan kausalitas antara prinsip-prinsip tersebut dengan stabilitas ASEAN tentu

26

Neo-realisme mempercayai bahwa institusi dalam bentuk kerjasama internasional hanyalah refleksi dari

perimbangan kekuatan antar negara-negara yang terlibat didalamnya. Dengan demikian perimbangan kekuatanlah yang sebenarnya mempengaruhi perilaku negara, bukan institusi per se. Kritik realisme terhadap

neo-li e aneo-lis e soal pe a i stitusi neo-lihat Joh J. Mea shei e , The False P o ise of I te atio al I stitutio s , dala

International Security, Vol. 19, No. 3 (Winter, 1994-1995), hal. 5-49. Pandangan skeptis neo-realis terhadap institusi dalam bentuk kerjasama internasional juga didasarkan pada asumsi bahwa negara menaruh perhatian terhadap keuntungan relatif –bukan keuntungan absolut- ketika negara saling bekerjasama, dan juga pada

ke u gki a ega a lai e laku u a g. Lihat Joseph M. G ie o, A archy and the Limits of Cooperation: A Realist

C iti ue of the Ne est Li e al I stitutio alis , dala International Organization, Vol. 42, No. 3 (Summer, 1988), hal. 485-507.

27E a uel Adle da Mi hael Ba ett, “e u it Co u ities i Theo eti al Pe spe ti e , dala E a uel Adle dan Michael Barnett (ed.), op. cit., hal. 3.

28

Ibid., hal. 3. 29

Ibid., hal. 3-4. 30

(8)

mengharuskan kajian lebih dalam, jelas bahwa prinsip-prinsip tersebut berhubungan dengan stabilitas dan perdamaian relatif yang terjadi di ASEAN selama lebih dari 40 tahun.

Pembentukan identitas kolektif regional juga sesungguhnya bukanlah pekerjaan yang harus dimulai dari nol. Menurut Dr. Lili Yulyadi Arnakim, salah seorang pengamat ASEAN dari University of Malaya, hubungan transnasional di Asia Tenggara pernah demikian erat pada masa transisi antara kolonialisme menuju pasca kolonialisme.31 Konsep negara-bangsa yang diadopsi oleh negara-negara Asia Tenggara –yang ironisnya justru hubungan trannasional yang menjadi salah faktor pendukungnya- kemudian justru menghadirkan batasan-batasan di antara masyarakat Asia Tenggara.32 Pembangunan kembali identitas kolektif negara dan masyarakat Asia Tenggara dapat dilakukan dengan sebuah upaya berbagi (sharing effort); memperkuat basis pengetahuan bersama (common knowledge) dimana misalnya masyarakat Indonesia dapat memahami karakter

dan cara berpikir saudara serumpunnya di Malaysia, vice versa 33 Hal ini kemudian akan bermuara pada terwujudnya interdependensi serta homogenitas di antara negara-negara Asia Tenggara yangmana hal ini dapat menjadi landasan terbaik bagi terciptanya pengaturan keamanan yang kredibel.34

Politik Domestik dan ASC

Realisme dan konstruktivisme, digunakan masing-masing ataupun bersamaan, tidak mampu menjelaskan ASC dan prospeknya di masa depan. Pertanyaannya kemudian adalah jika kalkulasi kekuatan maupun konstruksi sosial berupa pembentukan norma dan identitas tidak cukup menjelaskan ASC dan prospeknya, maka tentu terdapat faktor lain yang mempengaruhi. Faktor lain yang sudah dan akan banyak mempengaruhi ASC dan prospeknya adalah dinamika politik domestik negara-negara anggotanya. Dinamika politik domestik dalam hal ini merujuk pada model kepemimpinan masing-masing negara anggota ASEAN serta kondisi sosial-ekonomi negara bersangkutan.

31D . Lili Yul adi Ka i , U de sta di g the D a i s of I do esia

-Malaysia Bilateral Relations: A Perspective of State-Society Relatio s i Fo eig Poli , pe apa a dala diskusi i fo al a g disele gga aka oleh Bi o Asisten Program Sarjana Reguler Departemen Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 27 Oktober 2011.

32

Ibid.

33

Ibid.

34

(9)

Sepanjang sejarahnya dapat dilihat bagaimana faktor kepemimpinan sangat mempengaruhi laju perkembangan institusi regional di Asia Tenggara. Indonesia misalnya, pada masa pemerintahan Presiden Soeharto melihat kerjasama kawasan sebagai instrumen mewujudkan tertib kawasan yang lebih efektif dibandingkan dengan pendekatan koersif ala Konfrontasi yang sebelumnya diterapkan Presiden Soekarno.35 Setelah agak terlupakan pada masa rekonsiliasi pasca krisis finansial, Indonesia terlihat kembali memperlihatkan keinginan untuk mengembalikan statusnya sebagai pemimipin ASEAN salah satunya dengan menginisiasi pembentukan ASC dan menjadi Ketua ASEAN tahun 2011. Memang secara alamiah keamanan Indonesia akan sangat berpengaruh terhadap keamanan kawasan; Indonesia adalah kunci keamanan kawasan Asia Tenggara.36

Dinamika politik di negara-negara selain Indonesia juga akan sangat mempengaruhi perkembangan ASC. Tekanan internal dan eksternal terhadap rezim represif junta militer di Myanmar akan menentukan arah kebijakan luar negeri negara tersebut. Pun begitu halnya dengan transisi yang masih terjadi di Thailand ataupun potensi konflik etnis di Malaysia. Hal ini

berhubungan dengan sistem politik di negara-negara anggota ASEAN yang belum matang benar

35

Pandangan lain adalah bahwa kebijakan luar negeri Indonesia pada masa pemerintahan Soeharto dengan mendirikan ASEAN adalah sama landasan berpikirnya dengan pada masa Soekarno yaitu untuk meminimalisir peranan aktor eksternal di kawasan Asia Tenggara. Bedanya adalah pada konteks dan derajat kerjasama institusionalnya saja. Lihat Michael Leifer, Politik Luar Negeri Indonesia, (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia, 1989). 36Paul Di , I do esia: The Ke to “outh

-East Asia s “e u it , dala International Affairs (Royal Institute of International Affairs 1944-), Vol. 77, No. 4 (Oct., 2001), hal. 829-842.

balance of power

regional norms and identity

formation domestic

(10)

bangun institusinya sehingga suksesi kepemimpinan akan berpengaruh signifikan terhadap perubahan arah kebijakan luar negeri.37

Untuk menguatkan institusi regional tentu dibutuhkan basis kehidupan sosio-politik dan sosio-ekonomi yang kuat dan stabil. Pemulihan pasca krisis ekonomi 1997 dan 2008, rekonsiliasi politik, penataan hubungan antar etnis adalah prasyarat yang harus dipenuhi oleh negara-negara ASEAN untuk melancarkan proses pembentukan ASC dan menjadikannya insititusi pengaturan keamanan yang matang dan kredibel di masa depan.

Kesimpulan

Fenomena sosial apapun tentu sah-sah saja dianalisa dengan menggunakan berbagai paradigma dan teori asalkan didukung dengan bangun argumentasi dan data yang valid. Akan

tetapi masalahnya menjadi lebih rumit ketika yang dibahas adalah fenomena sosial yang begitu erat kaitannya dengan kita, dalam hal ini ASC. Kesalahan dalam analisa dan merumuskan preskripsi kebijakan resikonya akan langsung kita sendiri yang rasakan. Maka kemudian diskusi dan perdebatan untuk menentukan analisa dan preskripsi kebijakan yang paling baik adalah harga mati.

Mengingat hal tersebut di atas, di tambah dengan fakta keunikan regionalisme ASEAN, sebuah analisa objektif yang inter-paradigmatik dibutuhkan untuk memahami ASC dan prospeknya. Dan dalam rangka untuk ikut terlibat dalam diskusi dan perdebatan akademis tentang ASC, Penulis menyimpulkan bahwa memahami ASC dan prospeknya tidak cukup hanya dengan menggunakan perimbangan kekuatan dan/atau norma dan identitas regional tapi juga harus dengan memperhatikan benar faktor lain yaitu politik domestik setiap negara anggota ASEAN.

Bibliografi

Acharya, Amitav, “The Association of Southeast Asia Nations: „Security Community‟ or

„Defence Community‟?”, dalam Pacific Affairs, Vol. 64, No. 2 (Summer, 1991), hal. 159-178.

---, Constructing a Security Community in Southeast Asia: ASEAN and the Problem of Regional Order, (London: Routledge, 2001).

37

Lebih lanjut soal suksesi kepemimpinan dan hubungannya dengan keamanan Asia Tenggara lihat Yon Mun

(11)

Adler, Emanuel dan Barnett, Michael (ed.), Security Communities, (Cambridge: Cambridge University Press, 1998)

Chin Kin Wah dan Suryadinata, Leo (ed.), Michael Leifer: Selected Works on Southeast Asia, (Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 2005).

Deutsch, Karl W. et. Al., Political Community and the North Atlantic Area, (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1957), hal. 5-7, 23-116

Dibb, Paul, “Indonesia: The Key to South-East Asia‟s Security”, dalam International Affairs (Royal Institute of International Affairs 1944-), Vol. 77, No. 4 (Oct., 2001), hal. 829-842. Emmers, Ralf, Cooperative Security and the Balance of Power in ASEAN and the ARF, (London:

RoutledgeCurzon, 2003).

---, “Regional Hegemonies and the Exercise of Power in Southeast Asia: A Study of Indonesia

and Vietnam”, dalam Asian Survey, Vol. 45, No. 4 (July/August 2005), hal. 645-665. Emmerson, Donnald K., “Security, Community, and Democracy in Southeast Asia: Analyzing

ASEAN”, dalam Japanese Journal of Political Science, 6 (2), hal. 165-185.

Ganesan, N., “Rethinking ASEAN as a Security Community in Southeast Asia”, dalam Asian Affairs, Vol. 21, No. 4 (Winter, 1995), hal. 210-226.

Grieco, Joseph M., “Anarchy and the Limits of Cooperation: A Realist Critique of the Newest

Liberal Institutionalism”, dalam International Organization, Vol. 42, No. 3 (Summer, 1988), hal. 485-507.

Ho, Joshua H., “The Security of Sea Lanes in Southeast Asia”, dalam Asian Survey, Vol. 46, No. 4 (July/August 2006), hal. 558-574.

Leifer, Michael, Politik Luar Negeri Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia, 1989).

Mearsheimer, John J., “The False Promise of International Institutions”, dalam International Security, Vol. 19, No. 3 (Winter, 1994-1995), hal. 5-49

Paul, T. V., et. Al. (ed.), Balance of Power: Theory and Practice in the 21st Century, (Stanford: Stanford University Press, 2004).

Tow, William T., “Contending Security Approaches in the Asia-Pacific Region”, dalam Security Studies, 3:1, hal. 75-116.

Walt, Stephen M., “The Progressive Power of Realism”, dalam The American Political Science Review, Vol. 91, No. 4 (Des. 1997), hal. 931-935.

Yon Mun Cheong, “Leadership Succession and Security in Southeast Asia”, dalam

Referensi

Dokumen terkait

Pengertian pergaulan bebas adalah bentuk perilaku yang tidak wajar atau menyimpang dimana makna bebas tersebut adalah menyelisihi dari batas norma agama maupun

Proses bimbingan sekolah untuk praktikan secara langsung maupun tidak langung dilakukan oleh guru pamong, koordinator guru pamong, kepala sekolah, dosen pembimbing, dan

Dengan VB.NET gambar, teks, dan suara dapat dipadukan ke dalam perangkat komputer untuk kemudian diproses dan diolah sehingga menjadi suatu bentuk informasi yang ditampilkan

PEMBELAJARAN GEOMETRI DENGAN METODE GUIDED-DISCOVERY LEARNING UNTUK MENINGKATKAN KEMAMPUAN PENALARAN DAN KEMANDIRIAN BELAJAR MATEMATIK SISWA.. Universitas Pendidikan Indonesia |

Tabel 4.8 menunjukkan bahwa angka positif pada koefesien korelasi sebesar 0.282 dan nilai signifikansi sebesar 0.005 < 0.05, maka Ho ditolak dan Ha

Berencana Kota Medan, Kredibilitas komunikasi PLKB sebagai tenaga penyuluh lapangan secara jujur, profesional, dinamis dan objektif tersebut berdampak pada peningkatan

Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan

Hendra Hot Gunawan Sinaga: Pelaksanaan Hak Retensi Dalam Perjanjian Jual Beli Sepeda Motor Secara Angsuran, 2004... Hendra Hot Gunawan Sinaga: Pelaksanaan Hak Retensi Dalam