• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efek Sosial Budaya Pariwisata dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Efek Sosial Budaya Pariwisata dan"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pariwisata berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan perjalanan untuk rekreasi, pelancongan, dan turisme. Sebagai salah satu bidang dengan prospek paling menjanjikan dalam perkembangan ekonomi Indonesia, pariwisata memiliki peranan yang penting dalam kehidupan masyarakat terutama masyarakat yang tinggal di sekitar tempat pariwisata, baik pariwisata yang sudah lama ada ataupun pariwisata yang baru dikembangkan.

(2)

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Dampak Sosiokultural Pariwisata

Pariwisata adalah sebuah bidang industri yang memiliki kerugian tersembunyi hampir sama besarnya dengan keuntungan yang didapat. Salah satu kerugian terbesar yang terjadi karena adanya industri pariwisata adalah soal kerusakan ligkungan. Selama abad ke-20, telah ditemukan berbagai kerusakan pada objek pariwisata, terutama dari aspek lingkungan alami. Sadar maupun tidak, wisatawan telah turut ambil bagian dalam kerusakan ini dengan memolusi dan menghancurkan keberagaman alam yang mereka rasa paling menarik. Fenomena ini terjadi di semua tempat, baik hutan, pantai, maupun pegunungan.

Masalah lain yang muncul dari adanya bisnis pariwisata adalah berubahnya komunitas asli dari warga yang tinggal di sekitar lingkungan objek pariwisata. Keberadaan wisatawan di sekitar lingkungan tempat tinggal mereka dapat menimbulkan munculnya ketegangan antar pihak walaupun hal tersebut tidak disengaja. Di sisi lain, wisatawan juga mengubah pola hidup dan kebiasaan lokal yang telah turun temurun ada di daerah tersebut sehingga keunikan yang ada menjadi berkurang atau bahkan hilang.

Jika tidak diatasi dengan baik, masalah ini akan menimbulkan dampak yang membahayakan kepariwisataan di suatu tempat. Oleh karena itu, butuh langkah-langkah pencegahan dan perbaikan yang dilakukan agar kerusakan yang telah terjadi pada objek-objek kepariwisataan tidak lantas berlanjut. Keberlanjutan adalah kata kunci untuk mengatasi masalah ini. Perlu diingat oleh semua pihak bahwa menjaga keberlangsungan kebudayaan daerah dan lingkungan hayati merupakan hal yang sangat penting sehingga kekayaan tersebut dapat diteruskan oleh generasi selanjutnya.

Secara umum ada lima poin yang dapat dijadikan panduan untuk membangun sebuah pariwisata yang bertanggung jawab kepada lingkungan sekitar. Panduan ini dibuat oleh AITO (Association of Independent Tour Operators) dan didukung oleh berbagai perusahaan kepariwisataan. Kelima poin tersebut adalah:

1. Perlindungan lingkungan; flora, fauna, dan bentang alam.

(3)

4. Konservasi Sumber Daya Alam sejak dari kantor menuju hasil.

5. Meminimalisir polusi yang disebabkan suara, limbah, maupun kemacetan.

2.1.1 Batas Pertumbuhan

Keberadaan wisatawan dapat mengganggu keberlangsungan suatu komunitas kecil dalam wilayah pariwisata tersebut. Dalam pembukaan ‘ITB Tourism Fair’ di Berlin tahun 1994, Sekjen WTO Antonio Enriquez Savignac menyampaikan, dalam beberapa tahun terakhir terdapat banyak tanda peringatan dari objek-objek pariwisata. Beberapa masalah yang terjadi contohnya situs peninggalan dan fasilitasnya, kepenatan yang dirasakan oleh suatu budaya dan masyarakat lokal, dan lainnya. Kita perlu menyadari adanya batas jumlah pengunjung yang bisa mengunjungi suatu objek pariwisata dalam sehari, adanya batas kesabaran dan keterbukaan masyarakat lokal, dan batas jumlah wisatawan yang boleh mengunjungi lokasi keberadaan sumber daya alam kita.

2.1.2 Arti Lingkungan

Lingkungan adalah keseluruhan benda yang ada di sekitar benda, kondisi, dan dampaknya (Kamus Macquire, 1997, hal. 711). Secara sempit lingkungan diartikan sebagai sumber daya alam (tanah, air, udara, dan lainnya) namun arti secara luas mengiktsertakan manusia, hasil kresi manusia, serta kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang berdampak pada kehidupan mereka. Sebuah lingkungan harus memiliki tiga komponen, yaitu:

a. Komponen alam (laut, sungai, danau, pegunungan, flora dan fauna, dan sebagainya) b. Komponen buatan (gedung-gedung perkantoran, infrastruktur, dan berbagai

komponen lain yang menyokong sebuah kehidupan kota)

c. Komponen sosial-budaya (nilai-nilai, tingkah laku, kebiasaan, seni, hokum, sejarah, dan lain sebagainya)

(4)

2.1.3 Warisan (Heritage)

Warisan adalah sesuatu yang diturunkan dari masa lampau kepada sebuah bangsa atau komunitas. Warisan tidak selalu berupa kekayaan alam, tempat tinggal, bangunan, bahasa, seni, kepercayaan, atau simbol tertentu, namun dapat pula berupa cara melakukan sesuatu hal. Warisan juga dapat mengacu pada hal yang dipertahankan karena nilai yang tertinggal pada hal itu.

Wisata warisan berfokus pada tempat (taman nasional dan bangunan bersejarah), artefak, suku tertentu, dan kebiasaan alam (migrasi tahunan paus) (McArthur, 2000). Menurut McArthur, warisan secara luas dapat berarti kebudayaan dari komunitas tertentu yang membentuk identitas bangsa.

Warisan harus dilindungi. Keberadaan warisan di suatu daerah akan mendukung terbentuknya komite khusus dan aturan-aturan tertentu untuk menjaga keberlangsungan warisan tersebut. Secara global, usaha ini ditunjukkan dengan memilih situ-situs warisan yang ‘memiliki nilai universal luar biasa’ sesuai dengan kriteria tertentu dan mengelompokkannya dalam Daftar Situs Warisan Dunia. Daftar ini mulai dibuat oleh UNESCO (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization) pada tahun 1972 dan diratifikasi tahun 1974. Pada Juni 2001, ada 690 situs warisan di seluruh dunia (sebagian besar asset budaya), termasuk Tembok Besar China, Taj Mahal, Piramida di Mesir, dan lain sebagainya.

2.1.4 Konservasi

Konservasi adalah sebuah rencana manajemen yang dibuat untuk situs secara spesifik, tempat, alam, dan budaya tertentu secara umum. Konservasi tidak selalu berarti pencegahan kategorial yang akan merubah tempat atau sumber wisata tertentu, namun dapat juga berarti pengembalian ke keadaan semula. Hal itu berarti menjaga perubahan dan penggunaan sumber wisata dengan pengaturan yang baik terhadap integritas dasar dari tempat tersebut.

(5)

Relawan kepedulian lingkungan memiliki kepedulian pada manusia dan habitat manusia (Alaby, 1986).

2.1.5 Pariwisata yang Berkelanjutan

Kemunculan dan pengelolaan sebuah destinasi pariwisata merupakan hal yang bersifat dinamis dan bukannya statis.

Menurut WTO (World Tourism Organization) pada tahun 2000, turisme yang berkelanjutan melingkupi pengembangan, manajemen, dan pengoperasian turisme yang mengatur keberlangsungan lingkungan, sosial, dan ekonomi. Keberlangsungan berarti kemampuan bertahan dengan adanya hambatan yang ada di lingkungan biofisik. Pariwisata yang berkelanjutan membutuhkan berbagai langkah pencegahan agar dapat diteruskan ke generasi selanjutnya.

Dalam menciptakan pariwisata berkelanjutan perlu digunakan terminasi Ecologically Sustainable Tourism (EST) yaitu membagi tanggung jawab pariwisata kedalam dua bagian besar, yaitu tanggung jawab kepada masyarakat lokal dan tempat pariwisata serta tanggung jawab kepada individu wisatawan (Moscardo, Morrison, dan Pearce, 1996).

2.1.5.1 Pengembangan Berkelanjutan

(6)

Di dalam Our Common Future (WCED, 1987), terdapat pedoman sebuah pembangunan yang berkelanjutan, yang dapat diuraikan kedalam poin:

1. Mendirikan batas ekologis dan standar yang lebih adil. 2. Redistribusi aktvitas ekonomi dan realokasi sumber daya. 3. Pengaturan populasi.

4. Konservasi Sumber Daya Alam penyokong kehidupan.

5. Akses yang lebih adil menuju sumber daya dan meningkatan usaha teknologi serta penggunaan yang lebih efisien.

6. Membawa kapasitas dan hasil yang berkelanjutan. 7. Penyimpanan sumber daya.

8. Diversifikasi spesies.

9. Meminimalisir dampak yang merugikan, terutama bagi lingkungan. 10. Pengaturan komunitas.

11. Kerangka kebijakan secara luas baik di tingkat nasional maupun internasional. 12. Keberlangsungan hidup ekonomi.

13. Kualitas lingkungan. 14. Audit lingkungan

15. Tiga garis dasar (kemakmuran ekonomi, kualitas lingkungan, dan keadilan sosial).

Sebuah perkembangan yang berkelanjutan harus mempertimbangkan dampak lingkungan (terutama masalah polusi), dan isu-isu sosial, politik, serta kebudayaan secara luas sebelum kegagalan membuat reaksi yang akan menghancurkan seluruh lingkungan (Elkington, 1999).

(7)

2.1.5.2 Pengaruh Perkembangan Berkelanjutan Terhadap Pariwisata

Pariwisata membutuhkan perkembangan berkelanjutan karena pariwisata adalah sebuah industri sumber daya yang bergantung pada kekayaan alam dan kebudayaan sosial (Murphy, 1985). Meskipun dikatakan bahwa pariwisata lebih ramah lingkungan dibandingkan industri lainnya, keberadaan pariwisata yang semakin besar akan membawa dampak buruk bagi lingkungan. Akan tetapi, seperti dikatakan dalam Rio Earth Summit (1992), turisme juga memiliki potensial untuk memajukan perkembangan yang berkelanjutan.

Hall, Jenkins, dan Kearsley (1997) menjelaskan bagaimana turisme dapat membantu sebuah perkembangan yang berkelanjutan melalui sebuah model nilai dan prinsip turisme yang berkelanjutan (Global Tourism Third Edition hal.175). Tujuan dari pariwisata yang berkelanjutan terbagi atas tujuan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Faulkner (2001) menyatakan bahwa banyaknya komponen dalam perkembangan pariwisata yang berkelanjutan akan menghasilkan pariwisata yang:

 Menjaga dengan aman dan meningkatkan asset alam serta kebudayaan dari destinasi tersebut.

 Menjaga kualitas hidup masyarakat sekitar beserta kesempatan bertahan hidup.

 Memuaskan kebutuhan dan ekspektasi pasar wisatawan.

 Giat secara ekonomi dan mencapai pengembalian modal investasi bagi

operator pariwisata

 Mencapai keuntungan dari distribusi biaya dan manfaat turisme dari segmen yang berbeda dalam masyarakat, baik saat ini maupun di masa depan.

(8)

2.1.5.3 Dimensi Perkembangan Pariwisata

Perkembangan yang berkelanjutan merupakan hal yang kompleks dan bersifat multidimensi. Pariwisata, sebagai bagian dari proses ini akan merefleksikan keberagaman yang timbul. Ada tujuh dimensi utama yang merefleksikan multidimensionalitas dan interdisiplinitas secara umum disertai beberapa pertimbangan yang jelas mengenai perkembangan pariwisata berkelanjutan, yaitu:

1. Manajemen sumber daya secara efektif dan maksimal.

2. Manajemen yang dapat memastikan pariwisata sebagai sebuah kegiatan ekonomi yang dapat menghasilkan keuntungan dan menyokong kehidupan komunitas.

3. Pemenuhan tanggung jawab sosial yaitu penghormatan pada cara hidup dan kebiasaan orang lain. Perlu diwaspadai ekonomi global yang menyamaratakan keberagaman dan kebudayaan.

4. Daya tarik estetis lingkungan dan budaya. Walaupun daya tarik wisata internasional lebih berfokus pada pengenalan destinasi wisata secara internasional, keindahan secara kota maupun regional merupakan hal yang tidak boleh dilupakan. Perlu diingat bahwa komponen utama dari lingkungan dan budaya adalah daya tarik estetis.

5. Parameter ekologis untuk menyokong kehidupan dan lingkungan manusia. Konservasi warisan budaya adalah suatu hal yang tidak boleh dilupakan. Selain itu, proses ekologi merupakan hal yang harus dimengerti sehingga kegiatan pariwisata menimbulkan efek paling minimal bagi lingkungan terutama dalam tempat paling sensitif.

6. Keprihatinan atas kepemeliharaan keberagaman biologis sangat berhubungan dengan pariwisata, terutama flora dan fauna yang tumbuh subur di lingkungan sekitar destinasi pariwisata.

(9)

2.2 Dampak Pada Komunitas Lokal

2.2.1 Kode Etik Pariwisata Global WTO

Kode Etik Pariwisata Global dibuat pada tahun 1999 oleh WTO (World Tourism Organization) untuk meminimalisir masalah negatif yang muncul akibat pariwisata. Semua kegiatan pariwisata harus mengacu kepada kesembilan kode ini. Kesembilan kode tersebut adalah:

1. Aktivitas pariwisata harus berjalan secara harmonis dengan ciri tradisional dari masyarakat lokal dengan mempertimbangkan hukum, adat, dan budaya yang ada. 2. Komunitas lokal harus menyesuaikan diri dan menghormati gaya hidup,

kebiasaan, dan ekspektasi wisatawan yang datang. Oleh karena itu, butuh pendidikan dan pelatihan tertentu.

3. Wisatawan memiliki tanggung jawab untuk mempersiapkan diri (bahkan sebelum keberangkatan) dengan keadaan di negara tujuan (termasuk kondisi kesehatan dan keamanan) dan berperilaku dengan sesuai untuk mencegah timbulnya resiko 4. Perjalanan dengan motif agama, kesehatan, pendidikan, dan pertukaran bahasa

atau budaya adalah pariwisata yang menguntungkan dan perlu mendapat dukungan.

5. Aktivitas dan ketentuan pariwisata harus dilaksanakan dengan penghormatan kepada seni, kepurbakalaan, dan peninggalan budaya yang harus diteruskan kepada generasi selanjutnya.

6. Pendapatan yang didapat dari kunjungan wisatawan harus digunakan untuk pemeliharaan dan pengembangan tempat wisata.

7. Aktivitas turisme harus dirancang dengan mempertimbangkan kemungkinan bagi budaya tradisional untuk bertahan dan berkembang.

8. Ketentuan dan aturan pariwisata harus dirancang dengan cara yang membantu menaikkan standar kehidupan dari wilayah tersebut sekaligus memenuhi kebutuhan wisatawan.

(10)

2.2.2 Hubungan Antar Wisatawan dan Masyarakat Lokal

Keberadaan wisatawan massal sangat terasa di negara-negara yang berkembang meskipun tidak menutup kemungkinan juga membawa dampak di Negara-negara besar. Contoh nyatanya adalah meningkatnya kriminalitas dan masalah sosial lain di kota-kota dunia yang penuh wisatawan sperti New York, London, Miami, Hawaii, dan lainnya. Akan tetapi, dampak yang ditimbulkan wisatawan pada lingkungan sekitarnya tidak semata-mata hanya ditentukan oleh jumlah melainkan juga oleh jenis wisatawan yang datang. Valene Smith (Hosts and Guests, 1992) membagi wisatawan kedalam lima kelompok sesuai tipe, jumlah, dan kemampuan adaptasi dari wisatawan itu sendiri kepada kebudayaan lokal seperti yang tergambar dalam tabel berikut:

Tipe Wisatawan Jumlah Wisatawan Kemampuan Beradapasi

Unusual Hanya ramai di waktu tertentu Mampu beradaptasi Incipient Mass Kedatangan dengan jumlah dan

Menurut Chamberlein (1996), secara naluri, orang tidak suka pada keramaian atau kerumunan di sekitar tempat tinggal mereka yang mampu mempengaruhi atau mengubah kehidupan mereka sehari-hari. Akan tetapi, semakin besar perekonomian lokal bergantung pada turisme, semakin besar pula keikutsertaan komunitas lokal pada industri turisme dan perjalanan. Komunitas lokal diharapkan dapat memberikan layanan yang semakin meningkat seiring bertambahnya jumlah wisatawan. Sikap komunitas terhadap wisatawan bergatung dari keterlibatan komunitas tersebut dari turisme.

(11)

dan standar yang ada. Suka maupun tidak, komunitas lokal akan perlu mengubah norma atau standar yang mereka miliki untuk memberikan kepuasan kepada wisatawan yang datang. Masalahnya, selanjutnya banyak anggota komunitas lokal yang akhirnya malah mengabaikan sepenuhnya nilai-nilai tradisional mereka karena memenuhi tuntutan wisatawan dan akhirnya kehilangan keunikan mereka sebagai suatu suku tertentu.

Perlu diingat bahwa wisatawan hidup dalam dunia yang tidak nyata di wilayah destinasi wisata. Kebudayaan wisatawan terbentuk dari pengamatan terhadap perilaku wisatawan yang datang lebih dulu. Kehidupan yang dijalani wisatawan di lingkungan sekitar daerah wisata berbeda sangat signifikan dengan kehidupan masyarakat lokal di wilayah tersebut. Ketidakmampuan komunitas lokal dalam menjadi bagian dari kebudayaan wisatawan dapat menimbulkan reaksi negatif dari wisatawan kepada komunitas lokal (Gartner 1996).

Menurut UNESCO (1976), ada empat ciri yang menunjukkan hubungan antara wisatawan dan komunitas lokal, yaitu:

1. Hubungan bersifat sementara dan dangkal

2. Terbatas dalam kendala ruang dan waktu, pengunjung berharap akan dapat melihat segala sesuatu dalam waktu yang terbatas.

3. Kurang spontanitas dalam hubungan. Semua pertemuan diatur dalam jadwal tur yang teratur dan sarat kegiatan ekonomi.

4. Hubungan tidak sama rata dan tidak stabil dikarenakan kekayaan dan status sosial dari partisipan.

(12)

2.2.3 Faktor Penjualan

Pemasaran dapat menjadi faktor dalam hubungan antara komunitas tuan rumah dan wisatawan. Pemasar dapat menjadi organisator pemasaran tujuan dari wilayah itu sendiri atau perusahaan lokal yang telah menjual jasanya. Namun seringkali keterkaitan komunikasi diberikan oleh pemasar yang tidak bertanggungjawab ke daerah tujuan dan memiliki alasan sendiri untuk meningkatkan pariwisata.

2.2.4 Tipe Perubahan dalam Komunitas 2.2.4.1 Dampak pada Struktur Populasi

Peningkatan pariwisata akan mewajibkan orang baru untuk bekerja di perusahaan pariwisata dan untuk menjalankan layanan tambahan yang dibutuhkan. Hasilnya bukan hanya peningkatan populasi tapi juga perubahan komposisinya.

2.2.4.2 Transformasi Struktur Pekerjaan

Kesempatan kerja di bidang pariwisata akan menarik orang dari pekerjaan lain. Di masyarakat regional, pekerjaan tersebut seringkali berkaitan langsung dengan pertanian atau peran pelayanan terkait pertanian. Musim mempengaruhi minat pekerjaan dan ini mungkin mengganggu masyarakat secara sosial karena proporsi tenaga kerja yang signifikan datang dan berjalan sesuai permintaan pariwisata.

2.2.4.3 Transformasi Nilai

Meningkatnya populasi bisa mengubah perpaduan nilai di daerah tujuan. Populasi dengan cepat meningkat di Far North Queensland pada tahun 1980an, Dewan Kota Cairns mengatakan: Kita memiliki masalah dengan konsekuensi sosial. Isu utama yang dibawa pariwisata ke daerah ini adalah adanya perbedaan masyarakat. Ada penduduk setempat yang menggambarkan diri mereka dan tidak ingin melihat perubahan yang ada. (Industries Assistance Commission 1989).

a. Efek Demonstrasi

(13)

kaum lemah. Aspek-aspek tertentu dari satu budaya diadopsi oleh yang lain sehingga menghasilkan budaya baru dan lebih didasarkan pada pola perilaku budaya yang kuat atau dominan. Ini adalah reaksi terhadap akulturasi yang menghasilkan dampak sosial budaya (Gartner 1996). Hal ini paling terlihat apabila ada perbedaan yang signifikan antara status ekonomi tuan ruma dan wisatawan. Akibatnya, penduduk bisa mengadopsi gaya berpakaian baru dan mulai meniru hal yang disukai para turis.

b. Orang Marjinal

Orang marjinal adalah orang yang telah menolak kehidupan biasanya sebagai hasil usaha untuk berasimilasi ke dalam budaya turis, namun asimilasi penuh tidak mungkin karena ‘sering didasarkan pada perilaku bermain yang berlebihan yang dimungkinkan oleh sejumlah besar uang’ (Gartner 1996). Orang marjinal tidak mengadopsi seperangkat norma dan standar yang dapat diterima oleh budaya dan perilakunya dianggap menyimpang oleh kedua kelompok, yang selanjutnya memisahkannya dari budaya baik.

c. Komodifikasi Budaya

Ini berarti mengepak acara budaya yang akan dijual, menyesuaikannya dengan kerangka waktu turis, atau menggelarnya di area yang sesuai dengan turis daripada acara itu sendiri. Komodifikasi juga terjadi saat kerajinan tangan diproduksi untuk dijual kepada turis, walaupun metode pembuatan tradisional tidak digunakan

2.2.4.4 Pengaruh dalam Kehidupan Sehari-hari a. Kemacetan Orang

(14)

Penumpang ini tinggal di kota dan bukan pecinta alam ataupun budaya. Mereka berada disana sekitar 8 sampai 10 jam sebelum kemudian mereka pergi. Ini merupakan skenario untuk dampak sosial dan lingkungan yang neagtif kecuali jika keseluruhan situasi ditangani dengan sangat hati-hati dan dikelal secara sensitif. (Chamberlain 1997, hal. 2)

b. Kemacetan lalu lintas

Kemacetan lalu lintas adalah masalah yang lebih umum, biasanya memerlukan satu jam atau lebih dari tiga bentuk: konflik antara pejalan kaki dan mobil, kelebihan lalu lintas pada pusat kota dan kurangnya lahan parkir yang memadai. Hal itu dapat terjadi kapan saja, seperti tempat-tempat resor atau pada waktu-waktu tertentu, seperti malam tahun baru atau festival. Setidaknya, sampai batas tertentu hal itu dapat ditangani.

c. Kelebihan Infrastruktur

Kurangnya sistem pembuangan limbah adalah salah satu masalah infrastruktur yang paling umum dan obyektif yang dihadapi oleh pihak berwenang untuk peningkatan pariwisata. Namun, air dan energi juga bisa dibatasi dan solusi yang dibutuhkan untuk memenuhi permintaan tambahan mungkin juga berada di luar kapasitas masyarakat setempat. Hasilnya adalah kegagalan pasokan, polusi dan bahaya kesehatan.

d. Perubahan Harga Tanah

Pariwisata dapat memaksa harga tanah naik karena membutuhkan lahan untuk akomodasi dan fasilitas lainnya.

(15)

menggunakannya sebagai lahan rekreasi sebelum kompleks tersebut dibangun.

Kerugian pada Bisnis Lain: Perkembangan pariwisata dapat menyebabkan berbagai jenis kerugian aktivitas bisnis. Misalnya, organisasi Komersial Queensland mengatakan pada investigasi bahwa penggunaan lahan basah dan rawa mangrove untuk pengembangan pariwisata memberlakukan biaya langsung pada industry perikanan, karena wilayah tersebut mencakup habitat ikan yang merupakan bagian integral dari laut.

Polusi Arsitektural: Desain yang tidak tepat untuk hotel, terminal, taman hiburan dan atraksi serta fasilitas lain dapat mengganggu integritas pemandangan sosial dan budaya dengan cara membuat polusi arsitektural.  Perubahan pada Kain Perkotaan: Bangunan wisata bisa membuat

bayangan dan menutupi pemandangan. Akses ke pantai mungkin terhalang, ekologi daerah dapat berubah.

Kejahatan Terhadap Wisatawan: Sebuah study dari Kelly (1993) menunjukkan bahwa tingkat kejahatan lebih tinggi di Cairns dan Gold Coast daripada di bagian lain Queensland. Crotts (1996) telah menunjukkan beberapa alasan mengapa wisatawan adalah sasaran yang sesuai untuk penjahat: mereka dianggap memiliki barang-barang kekayaan seperti kamera, kartu tunai dan kartu kredit, mereka relative mudah diamati karena perbedaan jenis pakaian dan perbedaan tempat yang mereka kunjungi; mereka sering berada di lingkungan yang mudah bagi pelaku untuk sampai ke mereka dan juga melarikan diri begitu kejadian terjadi.

Pelanggaran oleh Turis: Pelanggaran yang sering dikaitkan dengan wisatawan meliputi vandalism, penyalahgunaan obat-obatan terlarang serta alcohol. Perilaku seperti ini sering menyertai acara ciri khas tahunan seperti festival musik dan demonstrasi sepeda motor.

(16)

Pariwisata dapat membantu memelihara aktivitas budaya. Piagam International Council on Monuments and Sites yang diproduksi oleh ICOMOS tahun 1999 mengakui bahwa pariwisata yang berlebihan atau kurang dikelola dapat mengancam warisan budaya. Piagam tersebut juga menyatakan bahwa pariwisata semakin diakui sebagai kekuatan positif untuk pelayanan alami dan budaya. Hal ini dapat menangkap karakteristik ekonomi dari warisan dan memanfaatkannnya untuk konservasi dan sumber dana.

2.4 Modal Dampak Sosiokultural Doxey

Doxey mengidentifikasi empat tahap terkait dengan peningkatan jumlah wisatawan, yaitu: Tahap 1: Euforia. Warga mendukung pengembangan parwisata dan siap berbagi komunitas dengan para pengunjung. Manfaatnya adalah peningkatan pendapatan dan nilai properti yang lebih tinggi.

Tahap 2: Apati. Akhirnya, pertumbuhan yang memicu pesatnya perkembangan pariwisata mulai melambat. Tingkat kenaikan nilai tanah dan ekspansi usaha telah mereda. Pariwisata diterima sebagai bagian dari basis ekonomi masyarakat. Itu bukan hal baru lagi. Struktur sosial daerah kemungkinan besar berubah dengan pendatang baru yang datang untuk mencari pekerjaan.

Tahap 3: Iritasi. Kemungkinan besar pengembangan pariwisata tidak terencana dan telah menyebar ke daerah-daerah yang sensitive terhadap lingkungan. Penduduk setempat harus berbagi dengan orang luar yang dulunya merupakan tempat rekreasi mereka sendiri. Jika lingkungan atau daya tarik daerah berubah secara drastic melalui pembangunan, jumlah pengunjung bisa menurun, mengakibatkan kelimpahan fasilitas dan akhirnya mengalami kemunduran ekonomi. Selama tahap iritasi, dampak sosial dan lingkungan dari pengembangan pariwisata yang tidak direncanakan mulai mendapat perhatian. Warga setempat akan merasa “kehilangan” tempat dan menyalahkan pariwisata untuk itu.

(17)

yang nekat, seperti ketika memilih pelat nomor negara bagian dipilih sebagai objek untuk aktivitas kriminal.

2.5 Adaptasi Wisatawan

Gullahorn dan Gullahorn pada tahun 1963 membuat sebuah penelitian tentang adaptasi yang dialami wisatawan dari kebudayaan lokal di tempat asal mereka dengan lingkungan di tempat wisata. Pada tahap pertama yang dialami wisatawan merasa senang dan bersemangat dengan lingkungan dan kebaruan situasi di tempat wisata. Tahap kedua, wisatawan akan merasa kecewa dan menjadi lebih kritis dengan keadaan di sekitar tempat wisata setelah mereka telah lebih terbiasa dengan lingkungan. Akhirnya, meskipun terkadang terjadi dalam waktu yang lama, wisatawan akan berusaha beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Wisatawan juga mungkin akan mengalami masa ‘re-entry crisis’, yaitu kesulitan untuk kembali pada lingkungan asal ketika mereka kembali ke tempat asal mereka.

Studi lain, seperti yang dilakukan oleh Sutton (1967) menunjukkan bahwa sebelum sikap sebelum keberangkatan akan menunjukkan kemampuan wisatawan untuk beradaptasi di tempat yang baru. Pembuktian menunjukkan bahwa kepuasan pribadi menjadi poin penting disini. Ketika wisatawan pergi dengan ekspektasi pengalaman yang positif, maka pengalaman positif lah yang akan didapatkan ketika berlibur.

Adaptasi yang baik di lingkungan wisata dapat menimbulkan fenomena ‘rumah kedua’, yaitu keinginan untuk kembali lagi ke tempat wisata karena rasa nyaman yang muncul, bahkan banyak juga yang memilih untuk menetap di sekitar lingkungan tempat wisata. Hal ini dapat ditandai dengan munculnya resort-resort yang banyak muncul di lingkungan wisata popular. Contohnya adalah resort –resort yang ada di kawasan Mediterania. Ketika ekspatriat membeli rumah di kawasan ‘rumah kedua’, mereka dengan rela hati akan berusaha mempelajari Bahasa dan budaya dari lingkungan disekitarnya. Namun, ketika terjadi kedatangan orang dari kewarganegaraan tertentu dalam jumlah besar, yang membeli rumah di satu lingkungan tertentu dan mereka berekspektasi untuk mendapatkan hiburan seperti di tempat asal mereka, dapat terjadi perubahan budaya lokal dan ‘kerusakan’ gaya hidup lokal.

(18)

yaitu pencarian wisatawan akan kebudayaan lokal akan membuat komunitas di lingkungan wisata berusaha menyajikan pengalaman tersebut ataupun membuatnya seolah-olah seasli mungkin. Budaya pada titik ini ada dalam bahaya untuk dikomersilkan dan disepelekan. Contoh nyatanya adalah mahalnya harga suvenir di tempat-tempat wisata. Wisatawan mencari produk khas dari suatu tempat dan akan merasa puas ketika dapat membayar produk yang mereka sangka khas dari daerah tersebut. Sayangnya, banyak kualitas produk yang sebenarnya sangat buruk dan jauh dari kualitas produk asli namun dihargai sama mahalnya dengan produk yang asli. Bagi para pengerajin, mereka pun ‘dipaksa’ untuk membuat karya dengan bentuk and warna yang disukai wisatawan bukan seperti bentuk dan warna yang asli.

2.6 Manajemen Dampak Sosial Budaya dari Pariwisata

Secara umum ada dua cara untuk mengatur dampak sosial budaya dari pariwisata. Pertama adalah menjaga hubungan yang baik antara tuan rumah dan wisatawan sehingga wisatawan merasa diterima dan keuntungan sosial tercipta bagi kedua belah pihak. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah penempatan wisatawan di resort yang bersifat inklusif. Wisatawan akan ditempatkan di tempat-tempat khusus yang terpisah dari lingkungan masyarakat lokal sehingga kontak negatif antara wisatawan dan masyarakat (terutama dalam hal transaksi) akan dapat diminimalisir.

Yang kedua adalah peraturan dari pemerintah. Undang-undang yang dibuat pemerintah harus dapat dibuat untuk menarik wisatawan dalam jumlah besar sekaligus menarik pasar wisatawan tertentu. Di satu sisi pemerintah harus mampu menarik mereka yang mampu mendatangkan keuntungan bagi negara, namun di sisi lain pemerintah harus mampu mendorong wisatwan untuk tidak menimbulkan ketidaknyamanan bagi masyarakat lokal.

(19)

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Bab ini berkaitan dengan cara pariwisata memengaruhi kehidupan sosial budaya di suatu tempat. Pemerintah dan pebisnis pariwisata akan terus berupaya meningkatkan pariwisata, baik karena manfaat ekonomi maupun manfaat lainnya yang berguna bagi kepentingan negara/perusahaan. Akan tetapi, perlu diingat bahwa dibalik manfaat yang ada, pariwisata memiliki dampak negatif yang jika tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan masalah di masyarakat, terutama di bidang sosial-budaya.

Dampak sosial budaya terjadi setiap kali orang dari berbagai latar belakang bertemu melalui pariwisata. Penting diingat bahwa ketika pariwisata mencapai tingkat tertentu, kemungkinan besar pariwisata akan mengubah tujuan orang-orang yang tinggal disana, termasuk perubahan sistem nilai, perilaku individu, gaya hidup kolektif, tingkat keselamatan, perilaku moral, ekspresi kreatif, upacara tradisional, dan organisasi masyarakat. Jenis wisatawan yang datang juga dapat mengubah masyarakat yang ada di sekitar tempat wisata. Semakin besar ekonomi lokal bergantung pada pariwisata, semakin besar pula tingkat keterlibatan lokal dalam industri perjalanan dan pariwisata. Pemasaran mungkin menjadi faktor dalam hubungan antara komunitas tuan rumah dan wisatawan. Tujuannya adalah membangkitkan harapan wisatawan dengan jasa mereka.

Secara umum ada hal-hal yang harus diperhatikan untuk membangun pariwisata yang berkelanjutan. Yang pertama perlu kesadaran konservasi dan penghormatan kepada flora, fauna, budaya, dan bentang alam di sekitar tempat wisata. Selain itu pariwisata harus dapat membawa keuntungan bagi masyarakat lokal baik dalam bidang ekonomi, sosial, maupun budaya. Di sisi lain, pariwisata juga harus mampu memberikan pengalaman kepada wisatawan mengenai kebudayaan lokal.

(20)

Adaptasi wisatawan dipengaruhi oleh pola pikir wisatawan bahkan sebelum berangkat. Adaptasi wisatawan dapat menimbulkan fenomena ‘rumah kedua’, yaitu sebuah fenomena dimana wisatawan tinggal di daerah wisata karena kenyamanan yang mereka rasakan.

Ada dua cara yang dapat dilakukan untuk mengatur dampak sosial budaya pariwisata. Yang pertama adalah menjaga hubungan baik antara wisatawan dan masyarakat lokal. Yang kedua daalah perlunya peraturan dari pemerintah yang mengakomodasi kenyamanan wisatawan dan masyarakat lokal.

(21)

Holloway, J. Christopher dan Neil Taylor. 2006. “The Bussiness of Tourism”. UK: Pearson Education Limited.

Richardson, I. John dan Martin Fluker. 2004. “Understanding and Managing Tourism”. Australia: Pearson Education Australia.

Sugiono, Dendy dkk. 2008. “Kamus Besar Bahasa Indonesia”. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Referensi

Dokumen terkait

ARIMA Model and Forecasting dalam penelitian ini data cabe keriting dan cabe biasa periode tahun 2010-2013 dengan time series harga cabe keriting dan harga cabe

Berdasarkan pembahasan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Tekanan eksternal berpengaruh positif signifikan pada penerapan transparansi pelaporan

a. Penataan kawasan kumuh. Rencana induk sistem proteksi kebakaran. Penataan bangunan dan lingkungan kawasan perdagangan. Penataan bangunan dan lingkungan kawasan perkantoran.

Pada jaringan multiarea ada beberapa tipe-tipe protocol yang bisa digunakan guna menunjang kebutuhan para penggunanya. Tetapi disisi lain para pengguna juga

Dengan demikian melalui hasil hipotesis ini karyawan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia diketahui bahwa dalam melakukan pekerjaan, neuroticism berkontribusi terhadap

Masyarakat yang membutuhkan alat komunikasi yang cepat dengan biaya yang relatif murah, dapat menggunakan layanan yang diberikan oleh perusahaan penyedia

Ketatalaksanaan inilah yang menjadi dasar penelitian untuk mengetahui peran dari reformasi birokrasi lebih khusus ketatalaksanaan dalam meningkatkan pelayanan terhadap

Untuk bahan baku jenis polietilena masa jenis tinggi, senar mentah dapat mengalami perpanjangan antara 10 sampai dengan 1200 persen (Tabel 1), oleh karena itu