• Tidak ada hasil yang ditemukan

124142728 hukum pemilu dalam islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "124142728 hukum pemilu dalam islam"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

MUQADDIMAH

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kepada kita iman dan Islam, semoga shalawat serta salam selalu kita curahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, shahabat dan orang-orang yang selalu mempelajari, mengamalkan, dan menda’wahkan sunnah-sunnah beliau hingga yaumil akhir nanti.

Tidak lama lagi kita akan melaksanakan suatu pesta demokrasi, yang mana ini akan menentukan nasib umat Islam di Indonesia, yaitu Pemilihan Umum. Tetapi sebagian dari kaum muslimin, menganggap ini hanya sekedar kegiatan politik saja, meskipun kita mengikutinya pasti keadaan akan tetap saja tidak ada perubahan, karena begitu banyak para politisi yang mereka hanya mementingkan diri mereka sendiri. Tetapi disisi lain, ada juga sebagian dari mereka enggan mengikuti pemilu dikarenakan demokrasi dengan segala perangkatnya adalah suatu sistem politik modern dari Barat – yang nota bene orang kafir – yang mana ini adalah suatu bentuk tasyabbuh, kesyirikan. Sehingga dengan demikan merekapun mengharamkannya, tanpa melihat sejarah, latar belakang dan fakta di negara Republik Indonesia dimana orang-orang diluar Islam terutama Kristen, selalu berusaha untuk “menghabisi” setiap sendi kehidupan umat Islam melalui Parlemen. Bahkan saat ini mereka sedang menyusun, bahkan bukan tidak mungkin telah melaksanakan, suatu proyek yang diantara mereka dikenal sebagai proyek Yusuf 2004, suatu proyek untuk menjadikan Presiden Negara Republik Indonesia dari orang kristen.

Dari sinilah kita mencoba untuk menganalisa pembahasan ini menjadi beberapa bagian pertama : pengertian pemilu ditinjau dari sudut ilmu politik; bagian kedua : sistem pengangkatan khalifah pemimpin dalam Islam; bagian ketiga : hukum pemilu; bagian

keempat : kesimpulan.

(2)

BAB I PEMILU

A Definisi

Pemilihan umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat1 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 19452.

B Sistem – sistem Pemilihan

Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum, akan tetapi umunya berkisar pada 2 prinsip pokok, yaitu :

1. single-member constituency (satu daerah memilih atau wakil; biasanya disebut Sistem Distrik). Sistem yang mendasarkan pada kesatuan geografis. Jadi setiap kesatuan geografis (yang biasanya disebut distrik karena kecilnya daerah yang diliputi) mempunyai satu wakil dalam dewan perwakilan rakyat.

Sistem ini mempunyai beberapa kelemahan, diantaranya :

a. Kurang memperhitungkan adanya partai kecil dan

golongan minoritas, apalagi jika golongan ini terpencar dalam beberapa distrik.

b. Kurang representatif dalam arti bahwa calon yang

kalah dalam suatu distrik, kehilangan suara-suara yang telah mendukungnya. Disamping itu sistem ini juga mempunyai kelebihan, antara lain :

a. Wakil yang terpilih dapat dikenal oleh penduduk distrik, sehingga hubungannya dengan penduduk distrik lebih erat.

b. Lebih mendorong kearah integrasi partai-partai politik karena kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya satu. Mendorong partai-partai untuk menyisihkan perbedaan-perbedaan yang ada dan mengadakan kerjasama.

c. Berkurangnya partai dan meningkatnya kerjasama antara partai-partai yang mempermudah terbentuknya pemerintah yang stabil dan meningkatkan stabilitas nasional

d. Sederhana dan mudah untuk diselenggarakan

2. multi-member constituency (satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil; biasanya dinamakan Proportional Representation atau Sistem Perwakilan Berimbang). Gagasan pokok dari sistem ini adalah bahwa jumlah kursi yang diperoleh oleh sesuatu golongan atau partai adalah sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya.

Sistem ini ada beberapa kelemahan :

a. Mempermudah fragmentasi partai dan timbulnya partai-partai baru

1 Tentang kedaulatan rakyat – atau kalau boleh dikatakan suatu bentuk demokrasi, yaitu suatu bentuk

pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat – sebagian orang memandang, itu adalah suatu sistem dari barat, sehingga haram suatu pemerintahan yang mayoritas penduduknya muslim menggunakannya. Sebenarnya hal itu tidaklah sepenuhnya benar. Karena memang ada diantara nilai-nilai demokrasi yang sama dengan nilai-nilai yang ada di dalam Islam. Sebenarnya hal ini butuh penjelasan yang panjang tapi insyaAllah, pada makalah ini akan disinggung sedikit tentang demokrasi itu sendiri.

(3)

b. Wakil yang terpilih merasa dirinya lebih terikat kepada partai dan kurang merasakan loyalitas kepada daerah yang telah memilihnya

c. Mempersukar terbentuknya pemerintah yang stabil, oleh karena umumnya harus mendasarkan diri atas koalisi dari dua-partai atau lebih. Disamping kelemahan tersebut, sistem ini mempunyai satu keuntungan besar, yaitu bahwa dia bersifat representatif dalam arti bahwa setiap suara turut diperhitungkan dan praktis tidak ada suara yang hilang.3

Di Indonesia pada pemilu kali ini, tidak memakai salah satu dari kedua macam sistem pemilihan diatas, tetapi merupakan kombinasi dari keduanya.

Hal ini terlihat pada satu sisi menggunakan sistem distrik, antara lain pada Bab VII pasal 65 tentang tata cara Pencalonan Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dimana setiap partai Politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/ Kota dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang- kurangnya 30%4.

Disamping itu juga menggunakan sistem berimbang, hal ini terdapat pada Bab V pasal 49 tentang Daerah Pemilihan dan Jumlah Kursi Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dimana :

Jumlah kursi anggota DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada jumlah penduduk provinsi yang bersangkutan dengan ketentuan : a. Provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 1000.000 (satu juta)

jiwa mendapat 35 (tiga puluh lima) kursi;

b. Provinsi dengan julam penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) sampai dengan 3.000.000 (tiga juta) jiwa mendapat 45 (lima puluh lima) kursi;

c. Provinsi dengan jumlah penduduk 3.000.000 (tiga juta) sampai dengan 5.000.000 (lima juta) jiwa mendapat 55 (lima puluh lima) kursi;

d. Provinsi dengan jumlah penduduk 5.000.000 (lima juta) sampai dengan 7.000.000 (tujuh juta) jiwa mendapat 65 (enam puluh lima) kursi;

e. Provinsi dengan jumlah penduduk 7.000.000 (tujuh juta) sampai dengan 9.000.000 (sembilan juta) jiwa mendapat 75 (tujuh puluh lima) kursi;

f. Provinsi dengan jumlah penduduk 9.000.000 (sembilan juta) sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa mendapat 85 (delapan puluh lima) kursi; g. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta)

jiwa mendapat 100 (seratus) kursi.5

3 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, hal. 177

(4)

BAB II

TATA CARA PEMILIHAN PEMIMPIN DALAM ISLAM

A Masa Khulafaur Rasyidin

1. Abu Bakar As-Shiddiq

Semasa hidupnya Rasulullah tidak pernah menunjuk siapakah penggantinya, kecuali meminta Abu Bakar menjadi imam shalat ketika kesehatannya terganggu.6

Imam Suyuthi ketika menjelaskan tentang isyarat kekhalifahan Abu Bakar, beliau membawakan hadits yang diriwayakan oleh Bukhari dan Muslim, dari shahabat Jubair bin Muth’im dari ayahnya dia berkata,”Seorang wanita datang kepada Rasulullah, kemudian Rasulullah menyuruhnya untuk kembali kepadanya.” Wanita itu berkata,’Bagaimana jika saya datang dan tidak mendapatkan engkau wahai Rasulullah?’-dia seakan-akan mengatakan jika engkau meninggal-Rasulullah bersabda,’Jika kau tidak mendapatkan aku, maka temuilah Abu Bakar.’7

Ketika dalam keadaan kevakuman kepemimpinan, maka keesokan harinya, tanpa direncanakan sebelumnya diadakan pertemuan di Saqifah, di Balai Pertemuan Sa’idah. Karena dilangsungkan secara mendadak, banyak shahabat senior yang tidak hadir, seperti Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqqash dan Thalhah bin Ubaidah. Dalam pertemuan itu, terjadi perdebatan antara kaum Anshar dan Muhajirin, siapakah diantara mereka yang layak menjadi pengganti Rasul. Kemudian datanglah Abu Bakar dan Umar, dan Abu Ubadah bin Jarrrah mencemaskan timbulnya perpecahan diantara kaum muslimin. Singkat cerita, akhirnya Abu Bakar-lah yang paling layak dibai’at sebagai pemimpin, melihat keutamaan-keutamaan beliau ra. Dalam menjalankan pemerintahannya, Abu Bakar berusaha konsisten dengan sistem yang berlaku pada masa hidup Rasulullah. Masa kekhalifahan beliau berlangsung selama 2 tahun, 11-13 H atau 632-634 M, dalam usia 63 tahun.8

Keabsahan pengangkatan Abu Bakar ini untuk menduduki jabatan sebagai Imam (Khalifah Rasul pertama), menurut al-Baqillani, didasarkan kepada keabsahan kontrak yang dibuat oleh orang-orang yang berkompeten dan bai’at diberikan kepadanya oleh semua shahabat.9 Peristiwa pengangkatan Abu Bakar sebagai

khalifah digunakan sebagai dalil oleh Al-Mawardi untuk menolak pendapat yang mengharuskan keikutsertaan mayoritas ahlul-halli wal ‘aqdi dari seluruh negeri.10

Sebelumnya wafatnya, ia sempat meminta pendapat para shahabat senior tentang orang yang paling tepat menggantikannya sebagai khalifah karena ia tidak menginginkan terjadinya perpecahan umat. Para shahabat yang diajak berkonsultasi adalah Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf, sedangkan dari

6 Abdul Azis Thaba, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, hal. 100

7 Imam As-Suyuthi membawakan kurang lebih 31 Hadist yang mengisyaratkan adanya kekhalifahan Abu

Bakar, meskipun hadist-hadist yang dibawakan oleh beliau tidak menunjukkan secara eksplisit. Imam As-Suyuthi, Tarikh Khulafa’, hal. 67

8 Abdul Azis Thaba, op cit, hal. 100, 102

9 Jimly Asshiddiqie, Islam dan Kedaulatan Rakyat, hal. 36-37

(5)

kaum Anshar adalah Usaid bin Khudair11, Sa’id bin Zaid dan yang lain-lain dari

kalangan Muhajirin dan Anshar. Setelah berkonsultasi, maka Abu Bakar menyuruh Usman untuk menulis wasiat tentang kekhalifahan Umar, dan menyetempelnya lalu menyuruhnya keluar dengan membawa kertas wasiat yang telah diberi stempel.12

2. Umar bin Khattab

Khalifah Umar bin Khattab ditunjuk menjadi khalifah melalui tastemen (wasiat) yang diberikan khalifah Abu Bakar sebelum ia wafat. Penunjukkan Umar sebagai khalifah menurut al-Baqillani sah dan bijaksana karena 3 alasan :

a. Karena motivasinya baik dan tidak diragukan

b. Pilihan kepada Umar merupakan pilihan yang logis, karena tidak ada orang lain yang lebih tepat untuk menduduki jabatan khalifah setelah Abu Bakar, selain Umar bin Khattab13

c. Tindakan memberikan wasiat kekuasaan kepada penggantinya itu secara hukum adalah sah, karena hal itu diambil oleh Abu Bakar selaku khalifah yang berwenang untuk mengambil tindakan demikian.14

Umar menjabat sebagai khalifah selama 10 tahun, dari 13 H-23 H (634-644 M). Dalam masa pemerintahannya, ia berhasil membebaskan negeri-negeri jajahan imperium Romawi dan Persia, seperti Suriah, Persia, Mesir dan Palestina, serta membebaskan Baitul Maqdis dari pendudukan Romawi. Karena wilayah kekuasaan Islam semakin luas, maka pemerintahannya dilengkapi dengan lengkapi lembaga-lembaga politik, dengan tugas antara lain mengatur hubungan antara daerah taklukan dan pemerintah pusat. Bangunan dasar negara Islam sudah mulai dilembagakan, yang kemudian dikembangkan oleh pemerintahan Dinasti Umayyah.15

Dalam pemerintahannya, Umar membuat kebijakan-kebijakan baru yang belum pernah terjadi pada zaman Rasulullah saw dan zaman pemerintahan Abu Bakar. Dia yang pertama kali mendirikan Baitul Mal, yang pertama kali mengawasi kondisi rakyat pada malam hari, yang pertama kali memberi hukuman kepada orang yang menghujat, yang membangun kantor-kantor administrasi. Umar juga

11 Abdul Azis Thaba, op cit, hal. 102 12 Imam As-Suyuthi, op. cit, hal. 88-89

13 Menurut Abdul Azis Thaba, pengangkatan Umar sebagai khalifah dianggap tepat karena pada saat itu

negara masih diancam perpecahan dan tindak pengkhianatan. Sedang dari pihak luar, datang ancaman dari imperium dari Romawi dan Persia. op.cit hal 103. Hal ini juga didukung dengan hadits-hadits yang mengisyaratkan keutamaan-keutamaan Abu Bakar yang digandengkan dengan keutamaan Umar, sebagai contoh hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dari Ibnu Abbas ra. berkata,”Ketika Umar telah diletakkan diatas balai-balainya dan dikerumuni orang-orang yang mensholatkannya dan mendo’akan sebelum diangkat jenazahnya, maka tiada suatu yang mengejutkanku melainkan adanya orang yang memegang bahuku dari belakang, tiba-tiba Ali yang mendo’akan Umar lalu berkata,’Anda tiada meninggalkan seorang yang aku ingin untuk menghadap Allah dengan amalnya seperti anda, demi Allah aku telah mengira bahwa Allah akan menempatkan anda bersama kedua kawanmu yaitu Nabi saw dan Abu Bakar, juga aku sering mendengar Nabi saw bersabda,’Aku pergi bersama Abu Bakar dan Umar, masuk

bersama Abu Bakar dan Umar, dan keluar bersama Abu Bakar ra dan Umar ra’. Muhammad Fuad Abdul

Baqi’, Al-Lu’lu’ wal Marjan. (Terjemahan) hadits no. 1545. lihat juga dalam Tarikh Khulafa’ Imam As-Suyuthi, hal. 53-57.

(6)

membuat lumbung yang didalamnya disimpan tepung gandum, anggur kering (kismis) dan semua bahan logistik yang diperlukan. Dengan lumbung ini dia membantu orang-orang yang kehabisan bekal diperjalanan. Dia membangun lumbung itu diantara Makkah dan Madinah yang gampang diambil oleh orang yang membutuhkannya.16

Ketika akan melakukan shalat, Umar berkata,”Luruskan shaf kalian!” sebelum mengangkat tangan untuk takbiratul ikram, Abu Lu’luah datang dan berdiri di shaf terdepan yang dekat dengan Umar. Dia menikam Umar di bagian pundak dan lambungnya.17 Umar meninggal dunia setelah dirawat beberapa hari akibat

tikaman dipunggung.18

Ketika Umar ingin dikuburkan di dekat shahabatnya (Rasulullah saw dan Abu Bakar ra), dan Aisyah pun meluluskannya, orang-orang yang hadir di tempat itu berkata,”Berwasiatlah wahai Amirul Mukminin dan tentukan siapa penggantimu.” Umar berkata,”Saya tidak melihat seorangpun yang lebih berhak untuk memangku khalifah ini daripada orang-orang yang Rasulullah ridha saat dia meninggal dunia.”19, dan tanpa hak suara.20

Menurut Umar, mekanisme pemilihan khalifah adalah sebagai berikut :

a. Formatur ini sudah harus memilih seorang khalifah paling lama tiga hari setelah Umar meninggal dunia.

b. Penentuan khalifah harus melalui musyawarah,21 dan berbahagialah bila

mereka menyepakati satu nama.

c. Jika 4-5 orang menyepakati sebuah nama, sedangkan 1-2 orang yang lain menolak dan ia tidak bisa disadarkan, maka hendaknya semua menyadarkannya.

16 Imam As-Suyuthi, op.cit, hal. 158 17ibid, hal. 154

18 Abdul AT, op.cit, hal. 103-104 19 Imam As-Suyuthi, op.cit, hal. 155

20 Abdul Azis Thaba, op.cit, hal 104, Imam As-Suyuthi, op.cit, hal 156. Syaikh Abu Nashr Muhammad bn

Abdillah al-Imam memberikan tambahan berkenan dengan proses musyawarah yang dilakukan Abdurrahman bin Auf, berikut penjelasannya :”Adapun tentang musyawarahnya Abdurrahman bin Auf dengan para wanita, maka kalian hendaknya menyimak penjelasan perkara tersebut. Kisah ini (proses musyawarah Abdurrahman bin Auf – pen.) dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan Bukhari sebagaimana termuat dalam Fathul Bari’ jilid 7/61. beliau tidak menyebut tentang musyawarahnya Abdurrahman bin Auf dengan wanita…kisah ini benar dan shahih sebagaimana disebutkan disini, juga disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari’ 7/69 dan Adz-Dzahabi dalam Tarikh Islam hal. 303 dan Ibnu Atsir dalam At-Tarikh jilid 3/36 dan Ibnu Jarir Ath Thabari dalam Tarikhul Umam wal Muluk 4/231. Dan tidak satupun dari mereka yang menyebutkan bahwa Abdurrahman bin Auf bermusyawarah dengan kaum wanita. Abdurrahman bin Auf hanya bermusyawarah dengan kaum lelaki. Sebagaimana dikatakan Al-Hafizh, bahwa beliau pada malam tersebut berkeliling kepada para shahabat (laki-laki) dan tokoh-tokoh yang masih ada di Madinah dan semua mereka condong kepada Utsman…Ibnu Katsir telah menyebutkan dalam Al-Bidayah wan Nihayah tentang musyawarahnya Abdurrahman bin Auf dengan para wanita, namun kisah ini semuanya tanpa sanad. Lihat Syaikh Muhammad bin Abdillah al-Imam, Menggugat Demokrasi dan Pemilu Menyingkap Borok-Borok Pemilu dan Membantah Para Pemujanya, hal. 229

21 Ketika selesai pemakaman Umar bin Khattab ra., keenam orang anggota formatur itu berkumpul

(7)

d. Jika suara berimbang (tiga lawan tiga), mereka harus menanyakan pemecahannya kepada Abdullah bin Umar. Siapapun yang didukung oleh Abdullah bin Umar, dialah yang menjadi khalifah.

e. Jika mereka berkehendak untuk tidak mengikutsertakan Abdullah bin Umar, maka calon yang dipilih oleh kelompok Abdurrahman bin Auf lah yang harus diterima. Bila ada yang menentang, maka hendaknya dia dibunuh.22

3. Utsman bin Affan

Khalifah Utsman bin Affan dipilih oleh Majelis Permusyawaratan atau Dewan Perwakilan yang terdiri dari 6 (enam) anggota yang ditetapkan oleh Khalifah Umar.23 Masa pemerintahannya berlangsung selama 12 tahun, yaitu 23 H-35 H

atau 644-656 M.24

Tetapi pemilihan Utsman sebagai khalifah menimbulkan kelompok pembangkang, seperti gerakan separatis Irak dan Mesir. Hal ini disebabkan :

a. Kepemimpinannya lemah. Pada saat terpilih, usianya 70 tahun. Padahal, pada waktu itu situasi sedang bergejolak dan dibutuhkan seorang pemimpin yang kuat dan berwibawa.

b. Utsman sering mendelegasikan tugas-tugasnya kepada orang lain. Ia sendiri lebih banyak beribadah dan kurang mempedulikan urusan duniawi. c. Berlangsungnya praktek nepotisme, yaitu penyerahan banyak jabatan

penting kepada anggota keluarganya. Pertimbangannya adalah ia sudah mengenal orang yang bersangkutan, dan keyakinannya bahwa anggota keluarga yang diangkatnya tidak akan mencemarkan nama baiknya. Tetapi kemudian ternyata bahwa ia keliru.

Utsman meninggal secara menyedihkan. Ia dikepung oleh para pemberontak dan para penentangnya selama berhari-hari. Pada itulah di Madinah tidak ada pasukan yang siap, dan rumahnya tidak dijaga oleh pengawal khusus. Para pemberontak lalu masuk ke dalam rumahnya dan membunuhnya.25

4. Ali bin Abi Thalib

Pada saat khalifah Utsman meninggal beliau tidak sempat menunjuk penggantinya. Setelah ia meninggal dunia, para pemberontak yang dipimpin oleh Abdullah bin Saba’ menuju rumah Ali, diikuti oleh orang banyak. Mereka berkata,”Kami akan membai’atmu sebagai khalifah”.Ali menolak,”Bukan hak kalian untuk menunjukku. Itu hak para ahli musyawarah dan orang yang ikut dalam perang Badar. Siapa yang direstuinya, dialah yang menjadi khalifah.” Massa bersikeras memaksakan kehendaknya. Akhirnya, Ali mengusulkan supaya pembaiatan dilakukan di masjid, supaya umat Islam menyaksikannya, tetapi usul ini ditolak. Secara tiba-tiba, kaum Muhajirin dan Anshar, diikuti oleh semua yang hadir, melakukan pembaiatan secara terbuka.26

22 Abdul AT, op.cit, hal. 104. 23 Jimly Asshiddiqie, op.cit. 24 Abdul AT, op.cit, hal. 105

25Ibid, lihat kisah selngkapnya di Tarikh Khulafa’nya Imam Suyuthi hal. 180-191dan buku sejarah yang

lain, yang menceritakan kehidupan para khalifah.

26 Abdul AT,op.cit, hal. 106. Bandingkan dengan Imam As-Suyuthi, op.cit. hal 201-205. Menurut Jimly

(8)

Keadaan para shahabat waktu itu beragam. Ada yang menuntut darah Utsman, ada yang tawaqquf dan memilih mengasingkan diri. Dan ada pula yang mendukung kebijaksanaan Ali. Sebenarnya fihak-fihak yang yang menuntut darah Ali terdiri dari 2 fihak, yaitu : satu fihak terdiri dari Muawiyah sebagai wali dari Utsman (dari bani Umayyah untuk menuntut qishash) dan Amr bin Ash beserta dukungan dari penduduk Syam terhadap mereka. Fihak lain terdiri dari Ummul Mukminin Aisyah, Thalhah, dan Zubair. Yang mana Thalhah dan Zubair disuruh untuk berbaiat secara paksa oleh pembunuh Utsman, dan Aisyah sendiri menyesal karena perbedaan ijtihad antara dia dengan Utsman ternyata disebarluaskan. Sehingga terjadi fitnah dan berakhir dengan pembunuhan Usman bin Affan.27

Para shahabat yang waktu itu belum berbaiat, mengajukan 2 alasan : (1) Ali harus bertanggung jawab atas terbunuhnya Utsman,28 (2) Hak untuk memilih khalifah

bukan lagi monopoli orang-orang Madinah mengingat semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam. Akhirnya terjadilah peristiwa perang Jamal yang kemudian dilanjutnya dengan perang Shiffin.

Sementara pemerintahan Ali masih bergulat dengan berbagai pemberontakan, Muawiyah kembali mengusai Irak. Bulan Mei 660 M, bertempat di Yerusalem, ia menyatakan diri sebagai khalifah. Sebelum ia sempat memadamkan pemberontakan ini, Ali terbunuh pada tanggal 24 Januari 661 M sehingga berakhirlah era Khulafaur Rasyidin. Selanjutnya, Muawiyah diterima sebagai khalifah, hampir tanpa perlawanan berarti. Hasan, putra Ali, yang menggantikan kedudukan ayahnya, juga tidak memberikan perlawanan. Dengan demikian, dimulailah era bani Umayyah, pada tahun 661 M.29

B Masa Sesudah Khulafaur Rasyidin

Pemerintahan bani Umayyah berlangsung tahun 611-750 M. Pendirinya, Muawiyah berhasil membangun pola kepemimpinannya yang cerdik. Dengan berkuasanya dinasti ini, maka terjadi banyak perubahan dalam sistem ketatanegaraan Islam, antara lain :

1. Pemilihan khalifah berdasarkan baiat dihapuskan, diganti oleh sistem dinasti berdasarkan keturunan dengan prinsip pewarisan.

2. Jabatan khalifah menjadi sakral. Khalifah berkuasa karena “ditunjuk” Allah, maka pertanggungjawaban khalifahpun diberikan kepada Allah, bukan kepada rakyat.

3. Nepotisme berdasarkan kesukuan dan keluarga, merajalela.

Setelah dinasti Umayyah jatuh, maka digantikan oleh dinasti bani Abbasiyah. Beberapa perubahan dilakukan oleh penguasa Abbasiyah, antara lain :

1. terjadi perkembangan jabatan wazir yang merupakan gabungan jabatan perdana menteri dan kepala pelayanan sosial. Diperkenalkan pula gelar khalifah 2. komposisi ketentaraan diubah. Anggotanya tidak lagi direkrut dari

orang-orang Khurasan, tetapi dari berbagai suku. Mereka diberi gaji, bukan lagi dibayar dengan menggunakan rampasan perang.30

27 makalah pengajian Teori Politik Islam, Sebuah Pengantar, oleh Kautsar Amru, hal. 24-26 28 dalam arti mencari siapakah sebenarnya pembunuh Usman

29 Abdul AT, op.cit, hal 106

30 lihat sebab-sebab jatuhnya dinasti bani Umayyah di Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, hal.

(9)

Jadi didalam proses pengangkatan didalam Islam terdapat berbagai macam cara, antara lain :

1. Pengangkatan langsung, dengan berlandaskan pada pengangkatan Abu Bakar ra., yang mana semua sepakat akan keutamaan beliau.

2. Pemberian wasiat, tetapi terlebih dahulu dilakukan pertimbangan akan calon khalifah yang akan diberikan wasiat, dengan berdasar pada pemberian wasiat Abu Bakar ra. kepada Umar bin Khattab ra. al-Mawardi memberikan syarat dalam proses pengangkatan dengan cara pemberian wasiat, yaitu dengan adanya kerelaan hati bagi sang penerima wasiat.31

3. Pembentukan tim formatur (ahlul hal wal aqdi), yang terdiri dari orang-orang yang berkompeten, dalam hal keilmuan maupun akhlaq, yang beranggotakan 6 orang. Didasarkan pada pemilihan Utsman bin Affan ra. sebagai khalifah.

4. Revolusi (pemberontakan bersenjata), hal ini dilakukan jika telah memenuhi syarat-syarat tertentu. Cara ini tidak bisa dilegalkan jika kepala negara masih dalam statusnya sebagai seorang muslim. Dan cara ini tidak dapat disandarkan kepada kisah pengangkatan Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah, karena waktu itu status beliau adalah karena memang tidak adanya seorang pemimpin. Yang mana konsekuensinya ada proses pengangkatan pemimpin yang lain, yaitu

5. dengan mengisi masa kekosongan kepemimpinan.

31 untuk lebih jelasnya baca Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam karya

(10)

BAB III HUKUM PEMILU

Sebelum kita mengetahui hukum pemilu dalam syariat Islam, ada baiknya kita melihat pandangan para Ulama terhadap pemilu. Dalam hal ini, ada tiga pandangan : 1. Melarang secara mutlak. Seperti Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, Syaikh

Muhammad bin Hadi, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab Al-Aqil, Syaikh Muqbil bin Hadi dan muridnya Syaikh Muhammad bin Abdullah Al-Imam. 2. Membolehkan memilih jika menghadapi bahaya yang lebih besar, yaitu

berkuasanya musuh-musuh Islam dengan memilih partai yang paling ringan bahayanya bagi kaum muslimin. Seperti Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad dan lain-lain.

3. Membolehkan memilih jika diperintahkan oleh penguasa. Tentunya dengan memilih yang paling ringan bahayanya bagi kaum muslimin. Keterangan Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaili.32

4. Membolehkan mengikuti pemilu dengan alasan :

a. Hal itu sudah pernah dilaksanakan pada masa khalifah meskipun secara sederhana dan keharusan adanya niyabah dan wikalah (perwakilan)

b. Bolehnya mengambil sistem lain (selain sistem Islam) selama tidak berlawanan dengan Islam

c. Pemilu sebagai sarana penegakan hukum dan jaminan dalam pelaksanaan hukum

d. Pemilu sebagai sarana untuk mengubah kemungkaran yang bersifat global e. Pemilu sebagai perkara yang perlu pembuktian dalil (istidlal)dan tidak

sekedar perkara yang jelas dan dapat dipahami oleh umum (badihiyat)

f. Pemilu sebagai sarana memelihara Adh-dharuriyat Al-Khamsah (Pokok Tujuan Syariah yang lima).

g. Hal itu telah diisyaratkan dalam Al-Qur’an dalam kisahnya Nabi Yusuf AS.

Yang berpendapat seperti ini adalah Syaikh Abdul Karim Zaidan (Pakar Fiqh, Ushul Fiqh dari Irak), Syaikh Abdul Majid Az-Zindani (Pakar Siyasah Islamiyah dan Rektor Universitas Al-Iman Shan’a Yaman) dan Syaikh Al Faqih Muhammad Yusuf Harbah (Salah seorang murid Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz).

5. Membolehkan mengikuti pemilu dan parlemen dengan syarat dengan pemahaman yang benar, menginginkan tegaknya Al-Haq, Amar Ma’ruf Nahi Mungkar dan tidak semata-mata ambisi pribadi. Seperti pendapat Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dan Syaikh Al Muhaddits Ahmad Muhammad Syakir (Ahli Hadits sebelum Syaikh Al-Albani).33

Dari sini secara sekilas dapat kita dapat kita ringkas ada tiga pendapat :pertama : ada ulama yang melarang secara mutlak, kedua : membolehkan secara mutlak , ketiga :

membolehkan tetapi dengan syarat-syarat yang ada karena adanya suatu hal-hal yang menuntut dilaksanakannya pemilihan umum.

32 Majalah Salafy No.33/1420H/1999M

33 Abdul Karim Zaidan, Syaikh Abdul Majid Az-Zindani,dan Syaikh Muhammad Yusuf Harbah, Pemilu

(11)

A Pendapat Pertama : mereka melarang secara mutlak mengikuti pemilu karena dilihat dari 2 sisi : pertama dari substansi pemilu itu sendiri, kedua akibat-akibat dari pelaksanaan pemilu

1. Dari substansi pemilu.

a. Syirik kepada Allah

b. Menuhankan mayoritas manusia

c. Menuduh syariat tidak lengkap

d. Meremehkan masalah Al-Wala’ wal Bara’

e. Tunduk kepada Undang-undang sekuler

f. Mengelabui kaum muslimin

g. Memberi label syar’i terhadap demokrasi

h. Membantu orang-orang Yahudi dan Nasrani

i. Menyelisihi cara Rasul didalam menghadapi musuh

j. Pemilu merupakan sarana yang diharamkan.

2. Dari akibat-akibat yang ditimbulkan dari pemilu :

a. memecah belah persatuan kaum muslimin dan ukhuwah islamiyah b. fanatisme dan membela golongan atau partai

c. memberi rekomendasi menurut kepentingan partai

d. calon pejabat mencari keridhaan rakyat/massa kadang dengan kepalsuan dan kelicikan

e. menyia-nyiakan waktu, harta dan kerja dengan slogan, janji kosong dan koalisi semu

f. mementingkan kuantitas dan kursi dan tidak peduli dengan kualitas dan aqidah

g. calon pejabat terfitnah oleh harta

h. menerima calon tanpa syarat, keadilan dan ilmu yang syar’i khususnya mengabaikan aqidah dan mengangkat perempuan menjadi penguasa

i. menyalahgunakan nash-nash syar’i dengan menamakan sesuatu dengan cara yang salah

j. tidak mengikuti rambu-rambu syar’i dalam memberi kesaksian

k. menghadiri tempat kedustaan dan bekerja sama dalam dosa dan permusuhan

l. prinsip persamaan yang tidak syar’i m. fitnah gambar dan wanita

n. memberikan peluang dan loyal kepada minoritas Yahudi dan Nashrani serta lainnya untuk bisa mencapai puncak kekuasaan

o. mempersulit manusia dalam pekerjaan dan rizki mereka

p. pemecatan penguasa setelah berlalunya masa yang ditetapkan oleh UU34

34 Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah al-Imam, Menggugat Demokrasi dan Pemilu. Semua

(12)

B Pendapat kedua : mereka membolehkan secara mutlak, karena :

1. Hal itu sudah pernah dilaksanakan pada masa khalifah meskipun secara sederhana35 dan keharusan adanya niyabah dan wikalah (perwakilan)36

2. Bolehnya mengambil sistem lain (selain sistem Islam) selama tidak berlawanan dengan Islam

3. Pemilu sebagai sarana penegakan hukum37 dan jaminan dalam pelaksanaan

hukum38

4. Pemilu sebagai sarana untuk mengubah kemungkaran yang bersifat global39

5. Pemilu sebagai perkara yang perlu pembuktian dalil (istidlal)dan tidak sekedar perkara yang jelas dan dapat dipahami oleh umum (badihiyat)40

6. Pemilu sebagai sarana memelihara Adh-dharuriyat Al-Khamsah (Pokok Tujuan Syariah yang lima).41

7. Hal itu telah diisyaratkan dalam Al-Qur’an dalam kisahnya Nabi Yusuf AS.42

C Pendapat ketiga : mereka membolehkan mengikuti pemilihan umum, tetapi dengan syarat-syarat tertentu, antara lain:

1. Membolehkan memilih jika menghadapi bahaya yang lebih besar, yaitu berkuasanya musuh-musuh Islam dengan memilih partai yang paling ringan bahayanya bagi kaum muslimin

2. Membolehkan memilih jika diperintahkan oleh penguasa.

3. Membolehkan mengikuti pemilu dan parlemen dengan syarat dengan pemahaman yang benar, menginginkan tegaknya Al-Haq, Amar Ma’ruf Nahi Mungkar dan tidak semata-mata ambisi pribadi.

Setelah kita tahu argumen dari masing-masing pendapat, maka sekarang kita akan mencoba menelaah mana diantara ketiga pendapat tersebut yang lebih rajih (kuat).

Pendapat Pertama :

Menurut mereka, mengikuti pemilu haram, karena :

1. Dari segi substansi :

pemerintah sesuai dengan demokrasi. Sekali lagi menurut penulis hal ini tidak relevan, karena dalam demokrasi ketika tidak ada yang tidak disetujui dari kebijakan pemerintah, harus ditempuh dengan lembaga-lembaga perwakilan/DPR/Parlemen dan lembaga-lembaga peradilan, seperti Pengadilan Tata Usaha Negara dan Mahkamah Konstitusi. Bukan malah pembolehan untuk tidak taat kepada pemerintah..! dan juga ada buku dengan topik pembahasan yang sama, “50 Indikasi Destruktif Demokrasi, Pemilu, dan Partai”. Argumen yang diajukan hampir sama, namun ada sebagian argumen yang tidak ada. Dan menurut penulis argumen-argumen itu terlalu memaksa dipakai sebagai hujjah diharamkannya pemilu. Sebenarnya penulis ingin sekalian tulis dimakalah ini, tetapi karena keterbatasan waktu, akhirnya niat itu penulis urungkan.

35 Pendapat Abdul Karim Zaidan

36 Pendapat Syaikh Abdul Majid Az-Zindani 37 Pendapat Abdul Karim Zaidan

38 Pendapat Syaikh Abdul Majid Az-Zindany 39ibid

40 Syaikh Muhammad Yusuf Harbah 41ibid

42 Dr. Abdul Karim Zaidan, Syaikh Abdul Majid Az-Zindany dan Syaikh Muhammad Yusuf Harbah, Pemilu

(13)

a. Syirik kepada Allah

Hal ini mungkin tepat pada negara-negara yang menerapkan demokrasi secara murni43, namun ini tidak tepat pada negara yang mengikuti model teo-demokrasi / devine demokrasi44 (terminologi Syaikh Abul A’la Al-Maududi) atau nomokrasi

(terminologi Tahir Azhari), seperti Indonesia. Dimana dalam UUD 1945, Bab XI tentang Agama pasal 29 menyatakan (1)“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, (2)”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan masing-masing”45

43 Demokrasi menurut asal kata “rakyat berkuasa” atau “ government or rule by the people” jadi pengertian

demokrasi adalah suatu bentuk ideologi dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Demokrasi yang dianut di Indonesia adalah demokrasi yang berdasarkan Pancasila, yang masih dalam taraf perkembangan dan mengenai sifat- sifat dan ciri- cirinya terdapat berbagai tafsiran serta pandangan (dengan kata lain Pancasila dapat ditafsirkan oleh berbagai macam paham, penulis). Demokrasi yang tersirat dalam UUD ’45 adalah demokrasi konstitusional. Selain dari itu UUD juga menyebut secara eksplisit dua prinsip yang menjiwai naskah itu dan yang dicantumkan dalam penjelasan sistem pemerintahan negara yaitu

1). Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum tidak berdasarkan pada kekuasaan belaka

2). Sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme.

Disamping itu ciri khas demokrasi Indonesia yaitu “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan“(Budiardjo, Dasar- Dasar Ilmu Politik, hal. 50-51).

Menurut JJ Rouseau, konsep kedaulatan itu bersifat kerakyatan dan berdasarkan kemauan umum rakyat yang menjelma melalui perundang-undangan. Karena itu konsep kedaulatan mempunyai 4 sifat yaitu 1) kesatuan (unite), dalam arti semangat dan kemauan umum rakyat sebagai kesatuan yang berhak memerintah dan menolak diperintah 2) bulat, tidak terbagi-bagi (indivisibilite), dalam arti rakyat adalah satu maka negara adalah satu kesatuan, 3) tidak boleh diserahkan (inalienabilite) dalam arti rakyatlah satu-satunya pemegang kekuasaan tertinggi, karena itu tidak boleh diserahkan pada pihak lain dan, 4) tetap tidak berubah- ubah (imprescriptibilite), dalam arti kedaulatan adalah milik setiap bangsa sebagai kesatuan yang bersifat turun menurun (Asshiddiqie, Islam dan Kedaulatan Rakyat, hal 14-16).

44 Demokrasi dalam perspektif Islam adalah theo demokrasi yang dipahami sebagai kedaulatan rakyat yang

terwujud dalam kekuasaan yang terkait dalam fungsi manusia (setiap pribadi rakyat) sebagai Khalifah Allah. Ini berarti, kedaulatan Tuhan itu dalam pelaksanaannya mewujud dalam kedaulatan rakyat yang akan memberikan amanah pada para pemimpin yang dipilih oleh mereka sebagai mandataris, dan mengangkat “al ahlul hal wal aqdi” ataupun Dewan Syuro untuk menetapkan hukum negara yang dirumuskan berdasarkan atas rujukan syariat ataupun dirumuskan dalam kerangka syariat Tuhan. Theo demokrasi

berbeda dengan theokrasi dimana yang terakhir ini adalah bentuk negara yang mempunyai gagasan bahwa kedaulatan Tuhan sebagai “Law Giver” yang pada pelaksanaannya terjelma dalam kekuasaan negara yang menetapkan hukum- hukum atas nama Tuhan (Asshidiqie, op. cit, hal. 25- 26).

45 Pasal ini jika dikaitkan dengan isi Piagam Jakarta mengandung arti adanya suatu jaminan pelaksanaan

(14)

Dalam penjelasan UUD 1945 sebelum di amandemen, tentang ayat 1 dinyatakan : ”ayat ini menyatakan kepercayaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa”. Ketentuan-ketentuan diatas jelas bertentangan arah dengan sekularisme. Oleh karena itu negara tidak memisahkan urusan agama dari negara, maka demokrasipun tidak lepas dari nilai-nilai agama. Urusan agama menjadi bagian resmi dari urusan negara. Di negeri Indonesia, jelas terlihat buktinya antara lain dengan masuknya segi-segi normatif gejala keislaman ke dalam sistem hukum nasional melalui bentuk-bentuk produk legislatif, seperti dicerminkan : UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, UU No. Tahun 1960 yang lazim disebut sebagai Undang-Undang Pokok Agraria, UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, PP No. 28 Tahun 1976 tentang Perwakafan Tanah Milik, PP No. 9 Tahun 1975, merupakan dari eksistensi peradilan agama, dibentuknya Departemen Agama, adanya anggaran negara rutin dan pembangunan untuk kegiatan keagamaan Islam, pendidikan agama diwajibkan oleh negara di sekolah-sekolah, Kompilasi Hukum Islam melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 1991 Tanggal 10 Juni 1991, dan diantisipasi secara organik oleh Keputusan Menteri Agama No. 154 Tahun 1991 Tanggal 22 Juni 1991 di Indonesia46, dan adanya Majelis Ulama Indonesia

yang menjadi penghubung antara Ulama dan Umara’ serta menjadi penerjemah timbal balik antara pemerintah dan umat sekaligus menjadi badan yang mengeluarkan hubungan pemerintah dan umat Islam.47

Sehingga meskipun Indonesia bukan negara yang berdasar pada satu agama tertentu tetapi juga bukan negara sekular dalam arti memisahkan agama dari negara.

Meskipun tidak terdapat jaminan formal tidak adanya UU yang ditetapkan yang berlawanan dengan syariat Islam namun ketentuan-ketentuan UUD 1945 dan praktek yang ada dengan adanya peraturan dan UU yang telah ada serta lembaga-lembaga keagamaan (Departemen Agama dan Majelis Ulama Indonesia) membuktikan bahwa tidak ada UU yang jelas-jelas melanggar ketentuan-ketentuan Islam atau jelas-jelas secara tegas diametrikal berlawanan dengan hukum Islam.48

b. Menuhankan mayoritas manusia

mendapat tambahan, dan lengkapnya dengan tambahan itu ialah “kesesuaian dengan hakikat Tuhan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”. Begitulah juga halnya dengan isi arti daripada pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar”. Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945- 1949) karya H. Endang Saifuddin Anshari hal. 131- 134. hubungkan dengan

footnote no. 51

46 Abdul Gani Abdullah, Pengantar Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, hal.36

47 Ahmad Sukardja, Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945, Kajian Perbandingan tentang

Dasar Hidup Bersama dalam Masyarakat yang Majemuk, hal. 94-97 dan 144-166. Hubungan yang harmonis antara negara dengan umat Islam terlihat dengan jelas setelah peristiwa penggunaan asas tunggal – Pancasila – yaitu tahap Akomodatif, yang mana satu sisi negara mencoba untuk mengakomodasi/memenuhi kebutuhan umat Islam, sedangkan disisi lain umat Islam yang merupakan mayoritas, mendukung segala kebijakan atau bahkan ikut menyukseskan program pemerintah, selama kebijakan/program itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

(15)

Hal ini mungkin tepat pada negara-negara yang menerapkan demokrasi secara murni, namun ini tidak tepat pada negara yang mengikuti model teo-demokrasi /

devine demokrasi (terminologi Syaikh Abul A’la Al-Maududi) atau nomokrasi

(terminologi Tahir Azhari), seperti Indonesia. Ketika partai Islam melihat adanya suatu kebijakan yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Islam, maka mereka pasti akan jelas-jelas menolak kebijakan tersebut.49

c. Menuduh syariat tidak lengkap

Sebenarnya tidak karena serta merta membolehkan pemilu, lalu berarti syariat menjadi tidak lengkap. Karena pemilu sendiri meskipun secara sederhana telah dipraktikkan pada masa Khulafaur Rasyidin. Ini pun bisa dilihat dari pendapat para ulama yang membolehkan pemilu. Terlebih disaat ini kita berhadapan dengan keadaan yang sudah ada dan tidak bisa diubah (fait accomply), kecuali mengambil

49 Ketika RUU Perkawinan diajukan oleh pemerintah pada tanggal 16 Agustus 1973. Fraksi Persatuan

Pembangunan menolak RUU tersebut, yang mana mereka hanya memperoleh 94 kursi dari 366 kursi. FKP dan FABRI, ditambah FDI tidak berpihak kepada mereka. Pada tingkat DPR, terjadi perdebatan yang alot. Menurut pemerintah, RUU tersebut akan tetap dipertahankan dan menolak keberatan FPP terhadap pasal-pasal yang dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Pada saat RUU dibahas, muncul reaksi keras umat Islam. Buya Hamka, seorang ulama kharismatik, mengatakan:”kalau RUU semacam itu hendak digolkan oleh orang di DPR, semata karena mengandalkan kekuatan pungutan suara, kegagah-perkasaan mayoritas, dengan segala kerendahan hati inginlah kami memperingatkan kaum muslimin tidak akan memberontak, tidak akan melawan, karena mereka terang-terang lemah. Tetapi demi kesadaran beragama, undang-undang itu tidak akan diterima, tidak akan dijalankan. Malahan ulama-ulama yang merasa dirinya adalah pewaris nabi-nabi akan mengeluarkan fatwa haram nikah kawin Islam berdasarkan undang-undang tersebut dan hanya wajib berkawin secara Islam. Dan barangsiapa kaum muslimin yang menjalankan juga undang undang itu sebagai ganti rugi peraturan syariat Islam tentang perkawinan, berarti mereka mengakui lagi satu peraturan yang lebih baik dari peraturan Allah dan Rasul. Kalau ada pengakuan demikian “kafirlah hukumnya”.

(16)

1 dari 2 cara, yaitu secara inkonstitusional (pemberontakan)50 atau

konstitusional.51

d. Meremehkan masalah Al-Wala’ wal Bara’

Argumen ini tidak tepat, bahkan kita dengan mengikuti pemilu adalah dalam rangka al-wala’ wal bara’. Karena kalau kita tidak mengikuti pemilu, maka musuh-musuh Islam akan dapat menguasai semua urusan yang berkaitan dengan kepentingan kaum muslimin, bahkan segala peraturan atau UU yang telah ada dan yang mendukung umat Islam tidak mustahil akan dihilangkan, dengan dalih isu-isu negara Islam, terutama yang berkaitan dengan Piagam Jakarta.

e. Tunduk kepada Undang-undang sekuler

Mengikuti pemilu, tidak berarti bahwa seseorang ridha dengan UU yang bertentangan dengan ajaran Islam. Hal ini dibuktikan dengan usaha salah satu partai politik yang menentang Rancangan UU Pendidikan Nasional yang bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan dengan usaha mereka, tiap-tiap lembaga pendidikan wajib memberikan pelajaran agama Islam, kepada murid yang beragama Islam dengan guru yang beragama Islam pula.52

f. Mengelabui kaum muslimin

Hal ini tidak seluruhnya benar, karena meskipun tidak ada jaminan kemenangan (karena kemenangan harus diperjuangkan), namun kalau dengan suara mayoritas umat Islam kita bisa memenangkan 2/3 dari total kursi Majelis Permusyawaratan Rakyat [452 dari 678 kursi (550 kursi DPR ditambah 128 kursi DPD)] kita bisa mengubah isi UUD 194553 menurut apa yang kita kehendaki sesuai dengan syariat

50 dengan mengadakan pemberontakan (revolusi) untuk menurunkan penguasa yang sah. Sebagian orang

mungkin akan berpendapat, “kalau memang nanti presiden negara ini (Indonesia) dari orang kafir, maka kita akan memberontak, mayoritas rakyat Indonesia kan umat Islam.” Kalau memang demikian, hendaknya mereka menjawab pertanyaan berikut :

1). Apa syarat-syarat untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan yang sah?

2). Berapa prosentase dari umat Islam di negara ini saat ini yang akan mau diajak untuk melakukan pemberontakan?

3). Apakah dengan melakukan pemberontakan, akan timbul madharat yang lebih besar, dengan tertumpahnya darah kaum muslimin?

Bagi pembaca, untuk lebih jelasnya pahami sekali tentang “kapan bolehnya kita memberontak”, pada makalah yang lalu dengan judul “Jamaah, Imamah dan Bai’at”.

51 Dengan cara-cara yang telah ditentukan, dalam kasus ini adalah mengikuti pemilu, inilah yang insyaAllah

dipilih oleh para ulama (Syaikh Al-‘Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani Abu Abdurrahman, Syaikh Al-‘Allamah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

hafidzahullah) dengan melihat maslahat dan madharat yang ditimbulkannya.

52 Lihat juga tentang proses pendirian Peradilan Agama, yang kemudian diikuti Kompilasi Hukum Islam.

untuk lebih jelasnya tentang kedua peristiwa tersebut dapat dilihat di Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, Abdul AT, hal. 279-285. Sekali lagi hal ini memperkuat untuk pentingnya umat Islam mengikuti Pemilu.

53 Selengkapnya berbunyi : Bab XVI tentang Perubahan Undang-Undang Dasar, pasal 37 ayat : (1) Usul

(17)

Islam, meski tidak diperkenankan mengubah dasar negara, pembukaan UUD 1945 dan bentuk NKRI. Namun jika kita meninggalkan pemilu, maka jaminan untuk kalah itu pasti terjadi.

g. Memberi label syar’i terhadap demokrasi

Mungkin argumen ini benar jika hal itu, dipandang sebagai murni demokrasi. Tetapi karena di Indonesia menganut sistem teo-demokrasi, hal ini tidaklah tepat, karena memang dari pemerintah sudah memberikan jaminan – meski tidak tertulis – dan bukti adanya suatu pelaksanaan ajaran Islam, sebagaimana yang telah dijelaskan diatas.54

h. Membantu orang-orang Yahudi dan Nasrani

Bahkan dengan mengikuti pemilu, kita dapat menghadang musuh-musuh Islam. Malah sebaliknya jika kita tidak mengikuti pemilu maka kita akan memberikan kesempatan kepada Yahudi dan Nasrani untuk menjadi pemimpin negara Indonesia.55

i. Menyelisihi cara Rasul didalam menghadapi musuh

Sebagaimana kita ketahui bahwa Yahudi dan Nasrani tidak pernah diam.tenang sebelum kita mengikuti ajaran mereka (QS 2:120), bagaimanapun juga mereka

dapat dilakukan perubahan., Amandemen Undang-Undang Dasar 1945, perubahan pertama, kedua, ketiga dan keempat., hal 64-65. Sesuai Amandemen UUD 1945 Bab II Pasal 2 Ayat 1 bahawa komposisi MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih lewat pemilu. Sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD Bab V Pasal 47 Anggota DPR sejumlah 550 orang, Pasal 52 Anggota DPD 4 orang tiap propinsi. Karena ada 32 propinsi maka ada 128 orang. Undang-Undang Politik 2003 hal 57 dan 59.

54 lihat footnote 48.

55 Jika mereka meninggalkan pemilu, berarti mereka memberikan kesempatan kepada orang-orang kafir

untuk menyukseskan program-program mereka diantaranya adalah proyek Yusuf 2004, yaitu untuk menggolkan orang Kristen sebagai Presiden. Konsekuensi yang terjadi antara lain

1). Bertentangan dengan QS 5:51 yang berbunyi “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnyaorang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberipetunjuk kepada orang-orang yang zalim” dan

2). QS 3:28 yang berbunyi,”janganlahorang-orang mu’min mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mu’min. barangsiapa berbuat demikia, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri(siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu).”serta

3). QS 4:144 yang berbunyi,”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir sebagai wali dengan meninggalkan orang-orang mu’min. inginkah kamu mengadakan alasan Allah (untuk menyiksamu).”

yaitu membiarkan orang Yahudi, Nasrani, orang-orang yang mengolok-olok agama Allah, sebagai pemimpin negeri ini!!!!

4). Menurunkan jumlah suara umat Islam, yang mana akan berakibat menurunnya jumlah suara umat Islam di DPR, DPD dan DPRD serta dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, sebagai konsekwensinya adalah dominasi orang-orang kafir di lembaga-lembaga perwakilan yang nantinya melahirkan UU dan peraturan yang merugikan Umat Islam dan terpilihnya presiden dari orang kristen! (kembali ke pernyataan pertama)

5). Segala kebijakan pemerintah yang berbau syariat Islam akan dihapuskan, dengan dalih akan adanya negara agama (kompilasi hukum Islam, bank syariah, UU Pendidikan Nasional, Peradilan Agama, dll)

(18)

akan menggunakan segala cara untuk melaksanakan tujuannya. Dalam hal ini, pemilu yang sudah merupakan suatu peraturan di Indonesia dalam pemilihan kepala negara dan anggota lembaga legislatif maka sarana itu akan mereka gunakan untuk melaksanakan tujuannya. Oleh karena tidak ada dalil yang secara tegas mengharamkan pemilu dan dikalangan para ulama pun ada perbedaan pendapat, maka dapatlah kita mengikuti pemilu, mengingat juga adanya bahaya yang lebih besar jika Indonesia dipimpin oleh seorang yang beragama kristen.56

j. Pemilu merupakan sarana yang diharamkan.

Dengan melihat adanya perbedaan antara pengertian demokrasi dari Barat dengan pengertian dari kalangan ahli politik Islam, maka jelas bahwa sistem yang dianut dinegara Indonesia tidak sama dengan sistem yang dianut negara yang menganut demokrasi murni, sehingga dengan demikian gugurlah dalil pengharaman sarana yang menghantarkan kepada sesuatu yang haram57.

2. dari akibat-akibat yang ditimbulkan dari pemilu :

a. memecah belah persatuan kaum muslimin dan ukhuwah islamiyah

memang sepintas terlihat demikian, karena dalam pemilu peserta adalah partai-partai sehingga dikhawatirkan umat Islam terpecah dalam banyak partai-partai. Sebenarnya hal ini mudah saja dipecahkan, seandainya kaum muslimin bersatu dalam satu partai seperti yang pernah dilakukan dalam muktamar umat Islam Indonesia tanggal 7-8 November 1945 di gedung Mu’alimin Jogja yang menghasilkan satu partai Islam yaitu Masyumi. Namun seandainya hal ini tidak bisa tercapai, maka hendaknya keputusan kongres Umat Islam ke II 1998 di Jakarta bisa dijadikan pemandu. Bahwa banyaknya partai Islam tidak menunjukkan perpecahan tetapi menunjukkan keragaman yang justru harus saling bekerja sama demi memenangkan umat Islam dalam pemilihan umum. Hal ini terwujud dalam pemilu 1999 dengan adanya stembus accord (penggabungan sisa suara) antara partai-partai Islam. Namun stebus accord tidak diberlakukan pada pemilu 2004.

Pada pemilu 2004 mendatang, partai politik yang tidak mencapai batas minimal suara untuk dapat mencalonkan pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden, maka partai politik tersebut dapat bergabung dengan partai politik lain dapat mencalonkan pasangan CaPres dan Wapres.58

56 Sebagaimana insya Allah akan dijelaskan kemudian

57 ketika sistem demokrasi itu haram maka segala sesuatu yang menghantarkan kepada jalannya proses

demokrasi haram pula hukumnya, sebagaimana kaidah usul fiqh

58 Bab II tentang Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, pasal 5, ayat 4 : ”Pasangan Calon

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari jumlah kursi DPR atau 20% (dua puluh persen) dari perolehan suara sah secara nasional dalam Pemilu anggota DPR.”

Dalam Bab II tentang Peserta Pemilihan Umum, pasal 9,

ayat 1: “ untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya, Partai Politik Peserta Pemilu harus : a. Memperoleh sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) jumlah kursi DPR

b. Memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di ½ (setengah) jumlah seluruh provinsi di Indonesia;atau

c. Memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar di ½ (setengah) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia.

(19)

b. fanatisme dan membela golongan atau partai

seharusnya memang tidak demikian, namun hendaklah anggota partai-partai Islam melihat kepentingan yang lebih besar yaitu memenangkan umat Islam. Sehingga fanatisme terhadap partai akan tergantikan dengan ukhuwah dan persatuan Islam.59

c. memberi rekomendasi menurut kepentingan partai

kadang hal ini sulit dihindari, tapi tetap melihat kepada kemampuan orang yang diberi rekomendasi. Inilah prinsip amanah dan keadilan dalam Islam, yang harus ditanamkan kepada partai-partai Islam dan anggota-anggotanya. Karena kepentingan Islam dan umat Islam jauh lebih besar dibanding kepentingan partai. Kalau yang diberi rekomendasi gagal, maka akan memberi dampak buruk pada Islam.

d. calon pejabat mencari keridhaan rakyat/massa kadang dengan kepalsuan dan kelicikan

memang inilah yang lazim terjadi, maka menjadi tugas kita untuk mengubah format kampanye pemilu, sehingga tidak berorientasi sekedar untuk mencari dukungan massa dengan menghalalkan segala cara. Disamping itu, kita juga harus mendidik para pemilih agar dalam memberikan hak pilihnya tidak berorientasi terutama pada materi (money politic) namun pada kemampuan dan keshalihan para calon.

e. menyia-nyiakan waktu, harta dan kerja dengan slogan, janji kosong dan koalisi semu

argumen ini jelas tidak tepat kalau kita mengakui betapa pentingnya pemilu, khususnya berkaitan dengan nasib umat Islam. Sehingga Majelis Ulama Indonesia dalam fatwa tentang pemilu tahun 1999, menyatakan bahwa menggunakan hak pilih adalah suatu kewajiban dan merupakan jihad dibidang politik. Sehingga waktu, harta dan kerja yang dilakukan – insyaAllah – bernilai ibadah. Selama ini, memang dari sebagian besar partai-partai terbiasa memberikan slogan dan janji-janji politik untuk mencari dukungan massa, yang kemudian setelah menang mereka lupa terhadap janjinya. Maka hendaknya partai-partai tersebut dalam berkampanye, memberikan janji-janji yang dapat direalisir serta slogan-slogan yang terbukti dalam kenyataan hidup sehari-hari dari partai maupun anggota-anggotanya. Maka terkait dengan koalisi-koalisi semu, maka hendaknya dari partai-partai Islam mengadakan koalisi-koalisi diantara mereka dalam rangka ukhuwah Islamiyah dan mengalahkan musuh-musuh Islam.

a. Bergabung dengan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)(Undang-Undang Politik 2003, hal. 39-40, 275-276)

Dengan melihat UU ini bukan berarti kita mengakui sebagai UU yang baik, tidak! Tetapi kita harus tahu tentang peraturan yang akan kita akan bermain didalamnya.

59 Pada saat ini mungkin dari partai-partai Islam, masih tetap dengan idealisme mereka masing-masing,

(20)

f. mementingkan kuantitas dan kursi dan tidak peduli dengan kualitas dan aqidah maka hendaknya dalam aturan pencalonan khususnya dari partai-partai Islam diberikan syarat-syarat yang ketat yang khususnya mementingkan aqidah dan kualitas baik kemampuan maupun kesahalihan dari para calon sehingga nantinya kuantitas dan kursi yang didapat selalu akan sebanding dengan kualitas dan aqidahnya.

Memang inilah yang diharapkan dari partai-partai Islam, adapun kriteria pemimpin, antara lain60 :

1). Kekuatan ilmu dan kekuatan jasmani (QS 2:247)61

2). Kekuatan keyakinan dan kesabaran (QS 32:24)62

3). Bertindak adil, jujur dan konsekwen (QS 4:58, 135; 5:8) 4). Selektif terhadap informasi (QS 49:6)

5). Suka bermusyawarah sebelum menetapkan keputusan (QS 3:159) 6). Bertanggungjawab terhadap nasib penderitaan umatnya dengan

mempelopori perjuangan perbaikan nasib rakyatnya63

7). Bertauhid mempersembahkan ibadah hanya kepada Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat dan selalu tunduk kepada Allah dan syariat Rasul-Nya (QS 5:55-56)

8). Bersungguh-sungguh dalam membangkitkan semangat rakyat untuk berbuat kebaikan serta mencegah dan memberantas segala bentuk kemungkaran (QS 22:40-41)

9). Berilmu agama cukup untuk menjadi rujukan umat Islam (QS 4:83) 10). Mempunyai kemampuan untuk menggalang kekuatan rakyat guna

melindungi mereka dari segala macam ancaman terhadap mereka64

11). Menyayangi umatnya dan selalu mendo’akan kebaikan bagi umatnya65

60 Kriteria ini penulis ambil dan meringkas dari dua tulisan ustadz Ja’far Umar Thalib dan ustadz Luqman

Jamal dalam majalah Salafy ed. 35/1421H/2000M, hal.2-5, 29-32

61 Syaikh Abdurrahman As-Sa’di menjelaskan :”Ayat ini menegaskan tentang tipe pemimpin yang

dikehendaki Allah untuk memimpin Bani Israil, yaitu orang yang diberi oleh Allah dengan kekuatan ilmu kepemimpinan dan kekuatan jasmani, yang kedua kekuatan itu sebagai sarana pendukung keberanian dan kepeloporan serta kemampuan mengalang rakyat kepada kebaikan.

62 Syaikh As-Sa’di menjelaskan :”Ayat ini menegaskan bahwa kau muslimin itu mencapai derajat tertinggi

dalam agamanya, yaitu derajat kepemimpinan yang selevel dengan derajat para shiddiqin – yaitu derajat kedua setelah derajat para nabi, yaitu orang-orang yang sempurna pembenarannya kepada semua yang diajarkan Nabi saw dalam perkataan, perbuatan dan keadaannya dan dalam dakwahnya – bila mereka itu:sabar dalam membekali dirinya dengan ilmu agama dan sabar dalam beramal dengannya, dan mencapai keyakinan yang kuat dalam beragama dengan mempelajarinya secara benar, dan memahami segala masalah dengan merujuk kepada dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits dengan cara merujuk yang benar pula.

63 Rasulullah saw bersabda,“setiap kalian adalah penggenbala dansetiap dari kalian bertanggungjawab

terhadap gembalanya, maka pemimpin itu juga penggembala rakyatnya terhadap mereka (HR Bukhari dan Muslim) dan dinukil Ibnul Jauzi dalam Asy Syifa’ fi Mawa’idh Al-Muluk wal Khulafa’, hal 55.

64 Rasulullah saw bersabda,”Hanyalah pemimpin itu sebagai tameng. Dari belakangnyalah musuh itu

diperangi dan ia dijadikan pula sebagai pelindung dari serangan musuh. Maka seandainya pemimpin itu memerintahkan bertakwa kepada Allah yang Maha Mulia dan Maha Agung dan dia berbuat adil. Maka pimpinan tersebut dengan perbuatan itu mendapatkan pahala dari Allah. Dan apabila pemimpin itu

memerintahkan kepada yang lainnya, maka dia berdosa dengan perintahnya itu.” (HR Muslim dalam

Shahihnya adri Abu Hurairah ra. dalam kitabul Imarah bab Imamul Junnah)

65 Rasulullah saw bersabda,” Sebaik-baik pemimpin kalian ialah kalian mencintainya dan dia mencintai

(21)

12). Anjuran kepada rakyat agar turut mengawasi jalannya pemerintahan dengan menghidupkan fungsi kuntrol lewat amar ma’ruf nahi mungkar

13). Menegakkan supremasi hukum, tidak membeda-bedakan rakyatnya dihadapan hukum Allah

14). Wasiat dan nasehat66

g. calon pejabat terfitnah oleh harta

memang pada sebagian partai ada budaya dimana seorang calon harus menyetorkan uang yang cukup besar kepada pengurus partai untuk bisa dicalonkan pada nomor urut jadi. Maka partai-partai Islam harus memulai dari diri mereka untuk mengubah budaya tersebut.

h. menerima calon tanpa syarat, keadilan dan ilmu yang syar’i khususnya mengabaikan aqidah dan mengangkat perempuan menjadi penguasa

sebenarnya hal ini tidak jauh berbeda dengan point f, oleh sebab itu maka hendaknya dalam pencalonan partai-partai Islam dibuat syarat-syarat yeng memenuhi keadilan dan ilmu syar’i dan mementingkan aqidah, sehingga dengan demikian calon tersebut dapat mewakili aspirasi umat Islam. Dalam kaitannya dengan calon perempuan sebagai penguasa, aturan pemilu memang memberikan persamaan hak dan kewajiban dengan laki-laki. Apalagi dalam UU No.12 tahun 2003 tentang pemilu, disyaratkan daftar calon legeslatif tetap harus memenuhi kuota sekurang-kurangnya 30% perempuan. Walaupun kemudian kita ketahui tidak satupun partai yang memenuhinya di 69 daerah pemilihan. Memang demikianlah yang terjadi, tetapi justru kita harus menyikapi dengan bijak. Tentang ketidakbolehan perempuan menjadi pemimpin tertinggi negara, kita telah memahaminya bersama (tidak ada khilaf), Justru dengan pemilu, kita berupaya untuk mencegah tampilnya seorang perempuan menjadi pemimpin tertinggi negara. Maka untuk itulah kita harus berusaha untuk memenangkan umat Islam dalam pemilu.

i. menyalahgunakan nash-nash syar’i dengan menamakan sesuatu dengan cara yang salah

demikian yang biasa terjadi dikalangan partai-partai pada saat kampanye. Disinilah diperlukan mekanisme tawashau bi al-haq Maka yang harus dilakukan adalah memberikan pengertian kepada partai-partai, khususnya partai Islam, untuk tidak menggunakan dalil-dalil agama untuk kepentingan politik, kecuali dalam rangka upaya penegakkan syariat Islam, yang memang diusahakan secara maksimal untuk diwujudkan.

j. prinsip persamaan yang tidak syar’i dan tidak mengikuti rambu-rambu syar’I dalam memberi kesaksian

memang dalam pemilu semua rakyat yang memiliki hak pilih dipandang sama, baik muslim maupun kafir, laki-laki ataupun perempuan, alim maupun awam dan shalih maupun ahli maksiat. Konsekuensi ini tidak terhindarkan, tetapi hal ini tidaklah menjadikan kita harus meninggalkan pemilu, karena adanya suatu bahaya yang jauh lebih besar yang datang dari musuh-musuh Islam, jika mereka memenangkan pemilihan umum. Maka yang harus kita lakukan adalah

pemimpin kalian ialah yang kalian membencinya dan ia membenci kalian. Kalian mengutuknya dan ia mengutuk kalian (HR Muslim dalam Shahihnya kitabul Imarah bab Khiyarul, Aimmah wa Syiraruhum)

(22)

memberikan pendidikan dan kampanye seluas-luasnya kepada seluruh rakyat sehingga mereka semua memberikan dukungan terhadap partai-partai Islam dalam pemilihan umum.

k. menghadiri tempat kedustaan dan bekerja sama dalam dosa dan permusuhan hal ini jika seseorang meyakini bahwa pemilu itulah haram. Tetapi setelah kita menilai argumen tentang keharaman pemilu, maka menghadiri tempat-tempat pemungutan suara bukan merupakan suatu perbuatan haram, malah merupakan suatu jihad, apalagi jika ini dilihat dari pendapat kedua dan ketiga.

l. fitnah gambar dan wanita

dalam perkara gambar mungkin tidak selayaknya kita banyak secara pangjang lebar disini. Yang jelas, selama gambar itu tidak ditakutkan untuk disembah, berdasarkan pendapat yang paling rajih, tidak menjadi masalah.

Dalam hal untuk menjadi seorang pemimpin, hal ini telah mafhum. Tetapi kalau hanya untuk diminta pertimbangan dan menjadi anggota badan perwakilan sebagaian dari para ulama membolehkannya. Tentu saja dalam hal wanita, tetap memenuhi kaidah-kaidah syar’I, seperti menutup aurat, tidak bercampur antara laki-laki dan perempuan.

m. memberikan peluang dan loyal kepada minoritas Yahudi dan Nashrani serta lainnya untuk bisa mencapai puncak kekuasaan

mungkin menurut pendapat pertama sepintas terlihat seperti itu, tetapi hal ini tidaklah demikian apalagi setelah kita menilai argumen-argumen sebelumnya dan kemudian dengan memberikan penjelasan-penjelasan terhadap argumen tersebut. Maka dari itu, untuk menghalangi makar-makar musuh-musuh Islam, hendaklah kita mengikuti pemilu.

n. mempersulit manusia dalam pekerjaan dan rizki mereka

dimasyarakat memang ada praktek-praktek dari sebagian anggota-anggota partai peserta pemilu yang melakukan yang demikian. Hal ini memang digunakan untuk mencapai dukungan massa yang banyak, melakukan berbagai cara agar partai bisa menang. Tetapi sekali lagi, hal ini tidak memalingkan kita dari mengikuti pemilu, karena dengan kita mengikuti pemilu diharapkan kita dapat mengubahnya. Apalagi jika dari partai-partai Islam memberikan tauladan dalam hal ini, sehingga rakyat akan simpati terhadap mereka, sehingga diharapkan hak suara mereka, akan mereka percayakan kepada partai-partai Islam, dengan demikian tidak mustahil partai-partai Islam akan menang memenangkan pemilu.

o. pemecatan penguasa setelah berlalunya masa yang ditetapkan oleh UU

hal ini memang sudah merupakan ketentuan UUD atau konstitusi. Kalau memang hal itu dianggap bertentangan dengan syariat Islam, maka hendaklah itu dirubah, yaitu dengan salah satu dari 2 jalan, sebagaimana yang telah dijelaskan diatas. Pendapat kedua :

Menurut mereka pemilu dibolehkan secara mutlak67, karena :

1. Hal itu sudah pernah dilaksanakan pada masa khalifah meskipun secara sederhana68 dan keharusan adanya niyabah dan wikalah (perwakilan)69

67 penulis hanya mencantumkanargumen-argumen dari golongan kedua yang penulis anggap penting. Untuk

melihat argumen lainnya, silakan baca Politik dan Parpol dalam Perspektif Syariah.

68 Pendapat Abdul Karim Zaidan, op.cit,

(23)

Pemilu adalah dikembalikannya hak memilih kepada umat atau rakyat dalam pemilihan para wakilnya yang akan mewakili mereka untuk berbicara atas nama rakyat.70 Segolongan orang yang telah dipilih dan mendapatkan persetujuan dari

umat/ahlul hal wal aqdi telah populer pada zaman dahulu. Tetapi pada masa itu, mereka belum memandang perlu melakukan pemilihan umum secara terang-terangan karena pemilihan umum itu sendiri sebagai sebuah cara untuk mengetahui persetujuan. Pada masa itu orang-orang yang memberikan persetujuan sudah diketahui, sehingga kaum muslimin tidak perlu berkumpul untuk memilih wakil-wakil mereka yang duduk sebagai ahlul hal wal aqdi. Sebagaimana telah jelaskan bahwa Abu Bakar dipilih dan dibaiat, Umar walaupun mendapat instruksi dari Abu Bakar, dia menduduki kursi kahlifah bukan karena instruksi beliau karena pada dasarnya instruksi tersebut hanya sebatas pencalonan dari Abu Bakar, dan seorang khalifah berhak mencalonkan penggantinya. Adapun yang menetapkan dan memilihnya adalah umat.71 Demikian pula Usman menjadi khalifah melalui proses

musyawarah dan pemilihan dari umat melalui tim fomatur.72 Pada waktu itu untuk

mengetahui siapa orang yang layak menjadi ahlul hal wal aqdi tidak diperlukan pemilihan umum karena kesenioran mereka (pendahulu dalam memeluk Islam dan bershahabat dengan Nabi) serta perjuangan mereka sudah diketahui secara umum.73

Bantahan golongan pertama. Telah berlalu penjelasan tentang kerusakan dan keburukan pemilu, sehingga dengan demikian mustahil para shahabat telah melakukan salah satu dari penyimpangan-penyimpangan tersebut, apalagi seluruhnya. Pada saat pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah, para shahabat berkumpul dan bermusyawarah, tanpa ada seorang perempuan pun yang ikut serta. Syaikh Abu Nashr Muhammad bin Abdillah al-Imam memberikan tambahan berkenan dengan proses musyawarah yang dilakukan Abdurrahman bin Auf, berikut penjelasannya :”Adapun tentang musyawarahnya Abdurrahman bin Auf dengan para wanita, maka kalian hendaknya menyimak penjelasan perkara tersebut. Kisah ini (proses musyawarah Abdurrahman bin Auf – pen.) dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan Bukhari sebagaimana termuat dalam Fathul Bari’ jilid 7/61. beliau tidak menyebut tentang musyawarahnya Abdurrahman bin Auf dengan wanita…kisah ini (musyawarah Abdurarahman bin Auf) benar dan shahih sebagaimana disebutkan disini, juga disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari’ 7/69 dan Adz-Dzahabi dalam Tarikh Islam hal. 303 dan Ibnu Atsir dalam At-Tarikh jilid 3/36 dan Ibnu Jarir Ath Thabari dalam Tarikhul Umam wal Muluk 4/231. Dan tidak satupun dari mereka yang

70 Abdul Karim Zaidan, op.cit, hal. 3

71 dalam hal pengangkatan khalifah melalui wasiat harus dengan persetujuan umat, penulis tidak setuju

dengan golongan kedua, meskipun tidak mendapat persetujuan dari umat pengangkatan khalifah itupun tetap sah. Hanya saja waktu itu Abu Bakar meminta pertimbangan siapakah yang layak menduduki jabatan khalifah setelah beliau. Demikian juga yang dipahami oleh Al-Mawardi dalam kitabnya. Menurut beliau (Al-Mawardi) salah satu syarat sahnya jabatan dengan pemberian mandat/wasiat adalah adanya kerelaan/persetujuan dari yang akan diserahi mandat, setelah syarat-syarat kriteria seorang pemimpin terpenuhi. Dalam kitab yang sama menegaskan bahwa tidak perlu adanya suatu persetujuan dengan dewan pemilihan atas keabsahan seorang khalifah/pemimpin dengan mekanisme penyerahan mandat/wasiat. Karena hal itu merupakan hak prerogatif pemimpin/khalifah sebelumnya. Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam. Hal 25-27

72 golongan ini mengemukakan kisah Abdurrahman bin Auf dalam meminta pertimbangan wanita dalam

proses pemilihan khalifah. Pemilu dan Parpol dalam Perspektif Islam, hal 10-11

Referensi

Dokumen terkait

Hasil analisis tanggapan 10 mahasiswa tentang materi kualitas hand out hasil penelitian pewarisan obesitas dalam keluarga sebagai bahan ajar mata kuliah Genetika

Penelitian mengenai pengaruh berbagai jenis pupuk dan penggunaan dekomposer pada pertumbuhan dan produksi padi organik dilakukan karena keingintahuan penulis terhadap

Hal seperti itu dapat terjadi karena kebiasaan guru dalam menyajikan pembelajaran terlalu mengacu pada target pencapain kurikulum sehingga mengabaikan hal yang nampaknya sepele

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat diketahui bahwa Majelis Hakim dalam mengambil langkah diskresi dalam pertimbangan hukumnya berpendapat bahwa hak asuh anak

Berikut ini manakah yang BUKAN merupakan tipe data real?. Apakah output dari program

Untuk mengatasi hal tersebut perlu dilakukan penelitian secara komprehensif terhadap karakteristik bioekologi rajungan yang meliputi karakteristik substrat dan kualitas

• Daerah terbuka adalah daerah yang dapat dilihat baik oleh diri sendiri maupun oleh orang lain. Pada daerah ini kita.. memahami kekuatan dan kelemahan diri kita sendiri,

1) Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai. Di langkah ini guru diharapkan untuk menyampaikan apakah yang menjadi Kompetensi Dasar mata pelajaran yang