• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH DI PROVINSI JAMBI TESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UNIVERSITAS INDONESIA DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH DI PROVINSI JAMBI TESIS"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL

TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH

DI PROVINSI JAMBI

TESIS

DEDY TRI HARIYANTO NPM : 0906586442

FAKULTAS EKONOMI

PROGRAM MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK JAKARTA

(2)

DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL

TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH

DI PROVINSI JAMBI

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Ekonomi

DEDY TRI HARIYANTO NPM : 0906586442

FAKULTAS EKONOMI

PROGRAM MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK KEKHUSUSAN EKONOMI KEUANGAN NEGARA DAN DAERAH

JAKARTA JANUARI 2012

(3)

Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa tesis ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia.

Jika dikemudian hari ternyata saya melakukan tindakan plagiarisme, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia kepada saya.

Jakarta, Januari 2012

(4)
(5)
(6)

Syukur alhamdulillah penulis selalu panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmatnya sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan

Ekonomi Daerah di Provinsi Jambi” yang disusun sebagai salah syarat untuk

menyelesaikan Program Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Ucapan terima kasih tak lupa penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan materiil dan moril baik berupa kerjasama, bimbingan, arahan ataupun kritik sehingga tesis ini dapat terselesaikan.

Penulis percaya bahwa akhir dari suatu proses merupakan awal dari proses berikutnya. Demikian halnya dengan akhir dari proses penelitian yang tertuang dalam bentuk tesis ini, merupakan awal bagi penulis untuk dapat melakukan penelitian-penelitian selanjutnya dengan lebih baik. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak atas kekurangan dan keterbatasan yang ada dalam tesis ini.

Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Dan semoga kekurangan dan keterbatasan yang ada dalam tesis ini dapat dijadikan bahan masukan dan perbaikan dalam penelitian-penelitian selanjutnya, sehingga dapat lebih bermanfaat.

Jakarta, Januari 2012

(7)
(8)

Nama : Dedy Tri Hariyanto

Program Studi : Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik

Judul Tesis : Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah Di Provinsi Jambi

Berbagai studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal dapat membawa dampak positif atau negatif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Namun meluasnya implementasi desentralisasi fiskal di berbagai negara, menyiratkan adanya keyakinan yang kuat bahwa desentralisasi fiskal dapat meningkatkan efisiensi yang selanjutnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Demikian halnya dengan implementasi desentralisasi fiskal di Indonesia yang efektif dilaksanakan sejak tahun 2001 diharapkan dapat mempercepat pembangunan dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi daerah khususnya di Provinsi Jambi. Ukuran desentralisasi fiskal yang digunakan dalam analisis meliputi Indikator Pengeluaran, Indikator Pendapatan dan Indikator Otonomi. Disamping itu untuk melihat pengaruh desentralisasi fiskal secara bersama-sama dengan faktor pertumbuhan ekonomi lainnya, maka digunakan seperangkat variabel kontrol yang secara empiris sering digunakan dan terbukti memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, yaitu: Investasi, Akumulasi Modal Manusia, dan PDRB Riil Per Kapita Periode Sebelumnya.

Analisis dilakukan dengan model analisis regresi berganda (multiple regression analysis) dengan menggunakan metode GLS dan model estimasi Fixed Efect. Sedangkan data yang digunakan adalah data panel tingkat kabupaten/kota di Provinsi Jambi yang mencakup periode 6 tahun sebelum desentralisasi fiskal (1995-2000) dan 9 tahun setelah desentralisasi fiskal (2001-2009). Hasil analisis menunjukkan bahwa implementasi desentralisasi fiskal pasca tahun 2001 memberikan dampak yang relatif lebih baik terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Provinsi Jambi dibandingkan dengan periode sebelumnya. Disamping itu variabel kontrol pertumbuhan ekonomi daerah yang terdiri dari Investasi, Akumulasi Modal Manusia, dan PDRB Riil Per Kapita Periode Sebelumnya, seluruhnya berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Provinsi Jambi.

Kata kunci:

(9)

Name : Dedy Tri Hariyanto

Study Program : Master of Planning and Public Policy

Title : The Impact of Fiscal Decentralization on Local Economic Growth in Province of Jambi.

Empirical studies show that fiscal decentralization may give positive or negative impact to regional economic growth. However, the widespread implementation of fiscal decentralization in many countries, implying the existence of a strong belief that fiscal decentralization can increase efficiency which in turn will promote economic growth. Likewise, the implementation of fiscal decentralization in Indonesia, effectively implemented since 2001, is expected to accelerate development and promote local economic growth.

This study aims to analyze the influence of fiscal decentralization on economic growth especially areas in Jambi Province. Fiscal decentralization in this study is measured using Expenditures Indicator, Revenue Indicator, and Autonomy Indicator. In addition, to see the effect of fiscal decentralization to other economic growth factors, I use a set of control variables (Investment, Human Capital Accumulation, and Real Regional GDP Per Capita for the previous period) which are frequently used empirically and shown to have a significant effect on economic growth.

Analyses are performed by multiple regression analysis model by using GLS method and Fixed-Effect estimation model. I use data panel at the district/city in the Province of Jambi which covers the 6 years period before fiscal decentralization (1995-2000) and 9 years after fiscal decentralization (2001-2009). The result indicates that the implementation of fiscal decentralization, post 2001 period, gives better effect on local economic growth in Province of Jambi than the previous period. In addition, all control variables of the local economic growth which consists of Investment, Human Capital Accumulation, and Real Regional GDP Per Capita for the previous period, is the positive influence on local economic growth in the Province of Jambi.

Keywords:

(10)

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS

LEMBAR PENGESAHAN KATA PENGANTAR

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ABSTRAK ABSTRACT DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN i ii iii iv v vi vii viii ix xi xii xiii 1. PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1.2. Perumusan Masalah 1.3. Tujuan Penelitian 1.4. Manfaat Penelitian 1.5. Ruang Lingkup

1.6. Kerangka Analisis dan Pengembangan Hipotesis 1.7. Sistematika penulisan 1 9 9 10 10 10 13 2. TINJAUAN PUSTAKA 14 2.1. Pertumbuhan Ekonomi 14 2.1.1. Investasi

2.1.2. Akumulasi modal Manusia 2.1.3. Level Awal GDP

15 17 20 2.2. Pengaruh Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi 21 2.3. Studi Empiris tentang Pengaruh Desentralisasi Fiskal terhadap

Pertumbuhan Ekonomi

27

3. METODE PENELITIAN 37

3.1. Pendekatan Penelitian

3.2. Variabel dan Spesifikasi Model Penelitian 3.2.1. Variabel Penelitian

3.2.2. Spesifikasi Model Penelitian 3.3. Jenis dan Sumber Data

3.4. Metode Analisis dan Pengolahan Data 3.4.1. Metode Estimasi

3.4.2. Uji Spesifikasi Model

37 37 37 39 41 41 41 46

(11)

4.3. Perekonomian Daerah Provinsi Jambi 4.3.1. Struktur Perekonomian 4.3.2. Pertumbuhan Ekonomi 4.3.3. Perkembangan Investasi 4.4. Keuangan Daerah 53 53 56 58 58

5. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN 62

5.1. Hasil Analisis Data

5.1.1. Implementasi Desentralisasi Fiskal di Provinsi Jambi 5.1.2. Pengaruh Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan

Ekonomi Daerah di Provinsi Jambi 5.1.2.1. Hasil Pengujian Metode Analisis 5.1.2.2. Hasil Estimasi Model Ekonometrika 5.1.2.3. Uji Asumsi Klasik

5.2. Pembahasan

5.2.1. Pengaruh Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Provinsi Jambi

5.2.2. Pengaruh Variabel Kontrol terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Provinsi Jambi

62 62 67 67 69 74 75 75 83

6. KESIMPULAN DAN SARAN 89

6.1. Kesimpulan 6.2. Saran 89 91 DAFTAR PUSTAKA 93 LAMPIRAN

(12)

Gambar 1.1 Perkembangan Dana Perimbangan Tahun 2001-2008 4 Gambar 1.2 Pertumbuhan Ekonomi Daerah Provinsi Jambi dan Nasional

Tahun 1995-2000 (Sebelum Desentralisasi Fiskal)

8

Gambar 1.3 Pertumbuhan Ekonomi Daerah Provinsi Jambi dan Nasional Tahun 2002-2009 (Setelah Desentralisasi Fiskal)

9

Gambar 1.4 Kerangka Analisis 11

Gambar 4.1 Peta Geografis Provinsi Jambi 49

Gambar 4.2 Struktur Perekonomian Provinsi Jambi Berdasarkan Lapangan Usaha Tahun 2009

54

Gambar 4.3 Distribusi PDRB Berdasarkan Lapangan Usaha Provinsi Jambi Tahun 2000-2009

(13)

Tabel 1.1 Perkembangan Dana Perimbangan pada Pemda di Wilayah Provinsi Jambi Tahun 2003-2008

6 Tabel 1.2 Perkembangan Alokasi Dana Pemerintah Pusat pada Pemda di

Wilayah Provinsi Jambi Tahun 1995/1996-2000/2001

7 Tabel 2.1 Daftar Studi Empiris Tentang Pengaruh Desentralisasi Fiskal

Terhadap Pertumbuhan Ekonomi

33

Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Provinsi Jambi Tahun 2009 50

Tabel 4.2 Tingkat kepadatan Penduduk Provinsi Jambi Tahun 2009 51

Tabel 4.3 Laju Pertumbuhan Penduduk Provinsi Jambi Tahun 1990-2009 52

Tabel 4.4 Penduduk Usia Kerja Provinsi Jambi Tahun 2009 53

Tabel 4.5 Distribusi PDRB Provinsi Jambi Berdasarkan Penggunaan Tahun 2000-2009

55 Tabel 4.6 Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Jambi Menurut Sektor Tahun

2001-2009

57 Tabel 4.7 Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Jambi Menurut Kabupaten/Kota

Tahun 2001-2009

57 Tabel 4.8 Pekembangan Pendapatan Daerah Provinsi Jambi Menurut

Kabupaten/Kota Tahun 1995-2008

60 Tabel 4.9 Pekembangan Belanja Daerah Menurut Kabupaten/Kota Provinsi

Jambi Tahun 1995-2008

61 Tabel 5.1 Pekembangan Penerimaan Dana Perimbangan dan Kontribusinya

terhadap Total penerimaan Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi Tahun 2001-2008

63

Tabel 5.2 Pekembangan PAD Kabupaten/Kota di Provinsi Jambi dan Kontribusinya terhadap Total penerimaan Daerah Tahun 2001-2008

64

Tabel 5.3 Pekembangan Realisasi Belanja Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Tahun 2001-2008

65 Tabel 5.4 Komposisi Realisasi Belanja Pelayanan Publik Pemerintah

Kabupaten/Kota di Provinsi Tahun 2008

66

Tabel 5.5 Hasil Uji Signifikansi Fixed Effect melalui Uji-F 68

Tabel 5.6 Hasil Signifikansi Random Effect melalui Uji Hausman 68

Tabel 5.7 Hasil Regresi Variabel kontrol dengan Metode Fixed Effect 70 Tabel 5.8 Hasil Regresi Variabel kontrol dengan Variabel dummy

Desentralisasi Fiskal menggunakan Metode Fixed Effect

71 Tabel 5.9 Ikhtisar Hasil Regresi atas Indikator Desentralisasi Fiskal yang

berinteraksi dengan Variabel dummy

(14)

Lampiran 1 Hasil Regresi Pengaruh Variabel Kontrol Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Provinsi Jambi

Lampiran 2 Hasil Regresi Pengaruh Variabel Dummy Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah di Provinsi Jambi

Lampiran 3 Hasil Regresi atas Indikator Desentralisasi Fiskal yang berinteraksi dengan Variabel dummy dengan menggunakan Metode Fixed Effect

(15)

1.1 Latar Belakang

Sampai dengan saat ini, desentralisasi fiskal dan otonomi daerah merupakan isu yang tetap menarik untuk didiskusikan, hal ini terkait dengan kenyataan bahwa desentralisasi fiskal tidak hanya menjadi bahasan di ranah ekonomi, tetapi juga ranah lain seperti: politik, administratif, dan geografis. Salah satu isu penting yang selalu menarik untuk didiskusikan dalam hubungan antara desentralisasi fiskal pada ranah ekonomi adalah apakah desentralisasi fiskal berhubungan positif atau negatif dengan pertumbuhan ekonomi? Dari berbagai studi yang pernah dilakukan memang terdapat ambiguitas hubungan antara desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi.

Hasil studi beberapa ahli seperti Davoodi dan Zou (1998), Zhang dan Zou (1998), dan Xie, et all (1999) sampai pada simpulan bahwa desentralisasi fiskal justru berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Davoodi dan Zou (1998) dalam penelitiannya atas 46 negara maju dan negara berkembang dengan menggunakan analisis data panel selama periode tahun 1970 sampai dengan tahun 1989 menemukan bahwa tidak terdapat hubungan antara desentralisasi fiskal dan tingkat kemajuan ekonomi di negara negara industri, sedangkan untuk negara-negara berkembang semakin tinggi tingkat desentralisasi fiskal maka kinerja ekonomi akan semakin tereduksi. Sementara Xie, et al. (1999) dalam penelitiannya pada negara bagian di Amerika Serikat selama periode tahun 1948 sampai dengan tahun 1994 membuktikan bahwa desentralisasi fiskal kurang menguntungkan bagi pembangunan. Simpulan yang sama juga diperoleh dari hasil penelitian Zhang dan Zou (1998) yang mengobservasi pertumbuhan ekonomi regional di China dalam kurun waktu tahun 1980 sampai dengan tahun 1992, yaitu bahwa desentralisasi fiskal berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Hasil yang berbeda ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Akai dan Sakata (2002), Thiessen (2003), dan Desai et al. (2003), yang berkesimpulan bahwa desentralisasi fiskal mempunyai pengaruh positif terhadap

(16)

pertumbuhan ekonomi. Akai dan Sakata (2002) dalam risetnya di 50 Negara Bagian Amerika pada periode 1992-1996 menegaskan bahwa desentralisasi fiskal di Amerika Serikat memiliki kontribusi positif terhadap perbaikan kinerja ekonomi negara bagian. Demikian juga hasil penelitian Desai et al. (2003) yang mengklaim bahwa otonomi fiskal di Rusia memberikan stimulus bagi pemulihan produksi nasional. Hasil riset Thiessen (2003) di negara-negara OECD pada periode 1973-1998 menunjukkan bahwa hubungan desentralisasi fiskal mengikuti pola sebuah lonceng (bell shaped), dimana terdapat hubungan positif pada saat derajat desentralisasi masih rendah, sedangkan pada tingkat desentralisasi yang terlalu tinggi maka hubungannya menjadi negatif. Sementara itu beberapa penelitian lain seperti Woller dan Phillips (1998), serta Baskaran dan Feld (2009) gagal mendapatkan pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi. Dalam konteks desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia, beberapa penelitian yang dilakukan untuk melihat dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi, khususnya dengan menggunakan model analisis ekonometrika, juga menghasilkan simpulan yang berbeda. Di satu pihak, hasil penelitian menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal akan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi, sebagaimana hasil penelitian Wibowo (2008), dan Waluyo (2007). Sementara hasil penelitian Swasono (2007) berkesimpulan sebaliknya, bahwa desentralisasi fiskal justru berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Terlepas dari hasil studi tentang pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi yang beragam tersebut, desentralisasi fiskal telah menjadi kecenderungan di banyak negara. Pengamatan terkini sebagaimana dikemukakan Robert (2010) menunjukkan bahwa 63 dari 75 negara berkembang dan transisional telah dan sedang melaksanakan proses desentralisasi fiskal, termasuk di dalamnya adalah Indonesia. Hal tersebut boleh jadi menyiratkan harapan dari negara-negara tersebut bahwa dengan implementasi desentralisasi fiskal akan dapat terwujud efisiensi ekonomi sehingga mendorong kinerja perekonomian dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Di Indonesia, awal era baru desentralisasi fiskal dan otomi daerah dimulai dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah, yaitu UU Nomor 22 Tahun 1999

(17)

tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah. Pasca runtuhnya kekuasaan pemerintahan orde baru, sistem pemerintahan sentralistis yang dianut dianggap tidak mampu membawa kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakat luas sehingga memunculkan tuntutan kewenangan yang lebih besar dari daerah untuk melaksanakan pembangunan. Desentralisasi fiskal di Indonesia di era setelah kekuasaan Orde Baru secara efektif baru dilaksanakan pada tahun 2001. Dalam implementasinya peraturan perundangan yang mendukungnya tidak sekaligus sempurna, sehingga dirasakan oleh pemerintah sendiri maupun parlemen untuk melakukan penyempurnaan terhadap peraturan perundangan yang telah ada sebelumnya. Pada tahun 2004 dikeluarkan undang undang otonomi daerah yang baru, yakni Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 sebagai pengganti Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Dengan terbitnya undang - undang tersebut di atas, maka sistem hubungan lembaga-lembaga pemerintahan di Indonesia mengalami perubahan, baik secara vertikal--yakni hubungan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota, maupun hubungan secara horisontal antara eksekutif, legislatif dan yudikatif baik di tingkat pusat maupun daerah. Perubahan yang paling nyata dalam hubungan antara pemerintah pusat dan daerah adalah pemberian kewenangan otonomi yang lebih luas kepada pemerintah daerah kabupaten/kota untuk mengurus pemerintahan. Sebagian besar urusan pemerintah telah diserahkan kepada daerah kecuali urusan politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Sebagai konsekuensi dari pemberian kewenangan yang semakin luas tersebut, maka daerah dituntut untuk melaksanakan pembangunan daerah secara mandiri, baik dari segi perencanaan maupun pelaksanaannya sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi daerah. Sesuai dengan prinsip money follow function dalam desentralisasi fiskal, maka untuk mendanai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, kepada setiap daerah diberikan sumber-sumber pendanaan terutama melalui transfer atau dana perimbangan. Hal ini tentunya membawa implikasi langsung berupa kebutuhan dana yang cukup besar.

(18)

Pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia ditandai dengan proses pengalihan sumber keuangan bagi daerah dalam jumlah yang sangat signifikan, sebagaimana terlihat pada gratik berikut:

Gambar 1.1. Perkembangan Dana Perimbangan tahun 2001-2008 Sumber: Kementerian Keuangan, Nota Keuangan RAPBN 2009 dan 2010.

Berdasarkan grafik di atas terlihat bahwa pada awal desentralisasi fiskal transfer ke daerah berupa Dana Perimbangan hanya sebesar Rp. 81,1 triliun, dan meningkat sebesar 16,8 persen ditahun 2002 menjadi Rp. 94,7 triliun. Tahun 2006 Dana Perimbangan mencapai Rp. 222,2 triliun atau meningkat sebesar 55,2 persen dari tahun sebelumnya. Sampai tahun 2008, besarnya dana perimbangan telah mencapai Rp. 278,7 triliun. Sementara itu, porsi Dana Bagi Hasil (DBH) menunjukkan kecenderungan yang semakin membaik, dimana untuk tahun 2008 DBH mencapai Rp. 78,4 triliun atau jauh lebih besar dibandingkan DBH tahun 2001 yang sebesar Rp. 20,7 triliun. Secara proporsi, DBH ini juga mengalami peningkatan, yakni dari 25,5 persen di tahun 2001 menjadi sebesar 28,1 persen dari total dana perimbangan pada tahun 2008. Begitu juga jika dilihat pada transfer DAK tahun 2008 yang telah mencapai Rp. 20,7 triliun. Jumlah DAK ini jauh lebih besar dibanding DAK tahun 2003 yang hanya sebesar 2,7 triliun, bahkan pada tahun 2001 dan 2002, transfer DAK ini belum dialokasikan ke dalam dana perimbangan untuk pemerintah daerah.

(19)

dengan esensi otonomi daerah, besarnya sumber pendanaan untuk daerah tersebut harus dibarengi dengan diskresi yang luas untuk membelanjakannya sesuai kebutuhan dan prioritas daerah, sehingga penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik akan lebih efisien dan efektif. Dengan demikian, keberhasilan suatu daerah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada pemerintah daerah dalam mengalokasikan belanjanya pada program dan kegiatan yang berorientasi pada kebutuhan masyarakat (kepentingan publik), sehingga diharapkan local government spending tersebut akan benar-benar bermanfaat dan menjadi stimulus fiskal bagi pertumbuhan ekonomi daerah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Namun harapan tersebut belum sepenuhnya dapat diwujudkan, hal ini antara lain terlihat dari pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan ekonomi regional, dimana setelah pelaksanaan desentralisasi fiskal pertumbuhan PDRB riil menunjukkan variasi antar daerah yang masih relatif tinggi Hal tersebut memperlihatkan indikasi awal bahwa implementasi desentralisasi fiskal memberikan dampak yang bervariatif terhadap pertumbuhan ekonomi regional.

Selain transfer ke daerah yang mengalami peningkatan secara drastis, desentralisasi dan otonomi daerah juga diwarnai dengan fenomena pemekaran wilayah atau pembentukan daerah baru. Jika pada tahun 1998 jumlah provinsi yang ada di Indonesia berjumlah 27 provinsi, maka pada tahun 2006 bertambah menjadi 33 provinsi. Begitu juga dengan daerah kabupaten yang semula hanya berjumlah 274 pada tahun 1999, di tahun 2006 mencapai 348 kabupaten. Sedangkan daerah kota yang semula berjumlah 70 menjadi 86 daerah di tahun 2006. Pada Tahun 2008 jumlah daerah tingkat II telah mencapai jumlah 483, yang terdiri dari 387 kabupaten dan 96 kota.

Mengikuti fenomena yang terjadi secara nasional, implementasi desentralisasi di Provinsi Jambi juga ditandai dengan eforia pemekaran wilayah. Provinsi Jambi merupakan salah satu provinsi yang merespon dengan cepat terbitnya Undang Undang Otonomi Daerah Tahun 1999 dan merupakan salah satu provinsi yang melakukan pemekaran wilayah dalam jumlah yang relatif cukup signifikan, dimana hampir seluruh kabupaten di Provinsi Jambi dilakukan

(20)

pemekaran wilayah. Sehingga kabupaten/kota yang sebelumnya hanya berjumlah enam kabupaten/kota, berkembang menjadi sepuluh kabupaten/kota karena adanya pemekaran wilayah atau pembentukan empat Daerah Otonom Baru (DOB).

Dengan bertambahnya wilayah administrasi di Provinsi Jambi, ditambah dengan pemberian kewenangan yang lebih luas kepada pemerintah kabupaten/ kota untuk mengurus pemerintahan, yang diiringi penyerahan/pemberian dana untuk melaksanakan urusan pemerintahan tersebut, maka jumlah dana dari pemerintah pusat yang mengalir ke pemerintah daerah di wilayah Provinsi Jambi dalam bentuk dana perimbangan juga semakin meningkat, sebagaimana terlihat pada Tabel 1.1, berikut:

Tabel 1.1. Perkembangan Dana Perimbangan pada Pemda di Wilayah Provinsi Jambi Tahun 2003-2008 (Setelah Desentralisasi

Fiskal)

(dalam juta rupiah)

Tahun DBH DAU DAK Jumlah

2003 1.373.520,00 665,00 1.374.185,00 2004 - 1.424.258,00 7.852,00 1.432.110,00 2005 443.535,00 1.561.579,00 11.054,00 2.016.168,00 2006 870.367,00 2.424.991,00 200.355,00 3.495.713,00 2007 1.019.906,00 2.718.521,00 365.218,00 4.103.645,00 2008 1.091.097,00 2.912.099,00 396.003,00 4.399.199,00 Total 3.424.905,00 12.414.968,00 981.147,00 16.821.020,00 Rata-Rata 570.817,50 2.069.161,33 163.524,50 2.803.503,33 Sumber: www.tkp2e-dak.org

Dari tabel di atas, terlihat bahwa dana perimbangan yang diterima oleh pemerintah daerah di wilayah Provinsi Jambi meningkat dari Rp 1,374 triliun

pada tahun 2003 menjadi Rp 4,399 triliun pada tahun 2008, atau rata-rata Rp 2,803 Triliun per tahun. Jumlah tersebut meningkat secara drastis bila

dibandingkan dengan era sebelum desentralisasi fiskal, dimana dana pemerintah pusat yang diterima oleh pemda diwilayah Provinsi Jambi dalam bentuk Dana Bagi Hasil, Sumbangan/Subsidi Daerah Otonomi, dan Bantuan Pembangunan dalam 5 tahun terakhir sebelum pelaksanaan desentralisasi fiskal rata-rata hanya

(21)

sebesar Rp 417,042 milyar per tahun, sebagaimana terlihat pada Tabel 1.2, berikut:

Tabel 1.2. Perkembangan Alokasi Dana Pemerintah Pusat pada Pemda di Wilayah Provinsi Jambi Tahun

1995/1996-2000/2001 (Sebelum Desentralisasi Fiskal)

(dalam juta rupiah)

Tahun Anggaran DBH Sumbangan/ Subsidi Daerah otonom Bantuan Pembangunan Total 1995/1996 47.571,79 123.341,46 127.681,55 298.594,80 1996/1997 60.269,80 140.328,34 132.852,96 333.451,10 1997/1998 65.130,71 166.844,60 159.149,97 391.125,28 1998/1999 70.916,55 156.276,26 175.600,90 402.793,70 1999/2000 71.196,37 275.726,69 193.848,36 540.771,42 2000/2001 83.980,97 264.558,44 186.976,95 535.516,36 Total 399.066,19 1.127.075,79 976.110,70 2.502.252,68 Rata-Rata 66.511,03 187.845,97 162.685,12 417.042,11 Sumber: www.djpk.depkeu.go.id

Dengan peningkatan dana perimbangan tersebut, pemerintah daerah di wilayah Provinsi Jambi dituntut untuk mampu mengalokasikan belanjanya pada program dan kegiatan yang berorientasi pada peningkatan pelayanan publik yang semakin efisien dan efektif, sehingga diharapkan akan benar-benar bermanfaat dan menjadi stimulus bagi pertumbuhan ekonomi daerah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

Dalam hubungannya dengan desentralisasi fikal, terdapat fenomena menarik dari perekonomian daerah di Provinsi Jambi yaitu kondisi makro ekonomi daerah kabupaten/kota di Provinsi Jambi pasca pelaksanaan desentralisasi fiskal yang menunjukkan gejala yang relatif baik jika dibandingkan dengan era sebelum desentralisasi fiskal. Terdapat beberapa indikator untuk melihat kinerja pembangunan daerah, salah satunya dilihat dari pertumbuhan output perekonomian daerah yang tercermin dari pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) riil, dimana selama periode 1993-2000 (sebelum desentralisasi fiskal) perekonomian daerah di Provinsi Jambi hanya tumbuh pada tingkat 1,67% per tahun, lebih rendah dari rata-rata laju pertumbuhan ekonomi Pulau Sumatera sebesar 2,54% (Bank Indonesia, 2010). Setelah hampir sepuluh tahun pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal, percepatan aktivitas

(22)

perekonomian Provinsi Jambi telah mulai menggeliat dengan laju pertumbuhan mencapai 5,59% per tahun pada periode 2000-2007 menempati urutan tertinggi ketiga di Sumatera setelah Provinsi Riau dan Kepulauan Riau, dan pada tahun 2008 dan 2009 laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Jambi mencapai 7,16% dan 6,37%, lebih tinggi dari laju pertumbuhan ekonomi nasional (Bank Indonesia, 2010). Sedangkan dilihat dari PDRB riil per kapita, walaupun secara nominal PDRB riil per kapita Provinsi Jambi baik sebelum dan setelah era desentralisasi fiskal masih di bawah PDRB riil per kapita nasional, namun dilihat dari tingkat pertumbuhannya menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan antara periode sebelum dan setelah era desentralisasi fiskal.

Secara umum tingkat pertumbuhan PDRB riil per kapita Provinsi Jambi pada periode sebelum desentralisasi fiskal masih berada di bawah tingkat pertumbuhan PDRB riil per kapita nasional sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1.2. berikut:

Gambar 1.2. Pertumbuhan Ekonomi Daerah Provinsi Jambi dan Nasional Tahun 1995-2000 (Sebelum Desentralisasi Fiskal)

Sumber: BPS, Statistik Indonesia 1996, 1999, 2001, data diolah.

Gambar di atas menunjukkan bahwa kecuali untuk periode krisis keuangan tahun 1998, tingkat pertumbuhan PDRB riil per kapita Provinsi Jambi masih berada di bawah tingkat pertumbuhan PDRB riil per kapita nasional.

Sedangkan setelah era desentralisasi fiskal, secara umum tingkat pertumbuhan PDRB riil per kapita Provinsi Jambi berada di atas tingkat

(23)

pertumbuhan PDRB riil per kapita nasional sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1.3. berikut:

Gambar 1.3. Pertumbuhan Ekonomi Daerah Provinsi Jambi dan Nasional Tahun 2002-2009 (Setelah Desentralisasi Fiskal)

Sumber: BPS, Statistik Indonesia 2004, 2007, 2010, data diolah.

Gambar di atas menunjukkan bahwa kecuali untuk tahun 2003, tingkat pertumbuhan PDRB riil per kapita Provinsi Jambi berada di atas tingkat pertumbuhan PDRB riil per kapita nasional.

1.2 Perumusan Masalah

Melihat euforia desentralisasi di Provinsi Jambi yang terjadi begitu luas, sementara di sisi lain perekonomian daerah pasca implementasi desentralisasi fiskal tahun 2001 menunjukkan gejala perubahan ke arah yang lebih baik dibandingkan dengan era sebelum desentralisasi fiskal, dan merujuk pada beberapa hasil penelitian sebelumnya dimana desentralisasi fiskal bisa berdampak positif atau negatif terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah, maka pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah implementasi desentralisasi fiskal di Provinsi Jambi? dan Bagaimanakah dampak implementasi desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Provinsi Jambi?

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk menjawab pertanyaan sebagaimana telah dirumuskan sebelumnya, maka penelitian ini dilakukan untuk : (1) menganalisis implementasi kebijakan

(24)

desentralisasi fiskal di Provinsi Jambi; (2) menganalisis dan mengetahui pengaruh desentralisasi fiskal di Indonesia terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Provinsi jambi; dan (3) Menganalisis faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi Jambi.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperkaya kajian empiris atas dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Indonesia, dan dapat dijadikan bahan evaluasi awal bagi semua pihak yang ingin mengkaji efektivitas pelaksanaan desentralisasi fiskal dalam mendorong pertumbuhan perekonomian daerah.

Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pemerintah daerah di Provinsi Jambi dalam menetapkan kebijakan yang terkait dengan desentralisasi fiskal dan peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah.

Terakhir, diharapkan tesis ini dapat bermanfaat sebagai referensi untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

1.5 Ruang Lingkup

Sesuai dengan tujuan yang akan dicapai, maka penelitian dibatasi pada pengaruh desentralisasi fiskal di Indonesia terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Provinsi Jambi. Sedangkan periode analisis mencakup periode 15 tahun, yaitu 6 tahun sebelum desentralisasi fiskal (1995-2000) dan 9 tahun setelah desentralisasi fiskal yang dimulai dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2009.

1.6 Kerangka Analisis dan Pengembangan Hipotesis

Untuk melihat dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi, tentunya perlu memperhatikan kajian terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Pengabaian terhadap faktor-faktor atau variabel kontrol yang kemungkinan memiliki pengaruh penting dalam pertumbuhan ekonomi akan memberikan simpulan yang bias tentang hubungan atau dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi.

(25)

Berdasarkan teori pertumbuhan dan hasil studi empiris sebelumnya tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi, beberapa variabel yang merupakan determinan dari pertumbuhan ekonomi diantaranya adalah: Investasi, Akumulasi Modal Manusia, dan Level Awal Pertumbuhan (Level Awal GDP), sebagaimanaanalisis Woller dan Phillips (1998) yang menerangkan bahwa dari beberapa studi yang mengkaji faktor-faktor pertumbuhan ekonomi sebagaimana yang dilakukan Barro (1996), Sachs dan Warner (1997); Sala-i-Martin (1997); Knight, Loayza, dan Villanueva (1993); Mankiw, Romer, dan Weil(1992), serta Levine dan Renelt (1992), menunjukkan bahwa terdapat tiga variabel yang sering digunakan dan terbukti memiliki pengaruh atau hubungan yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi perkapita, yaitu: Investasi, Akumulasi Modal Manusia, dan Level Awal Pertumbuhan (Level Awal GDP).

Dengan demikian secara sistematis analisis hubungan antara desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi daerah dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1.4. Kerangka Analisis

Variabel Investasi akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi melalui dua sisi, yaitu: dari sisi permintaan, investasi akan menciptakan atau menghasilkan pendapatan (return on investment), sedangkan dari sisi penawaran investasi meningkatkan kapasitas produksi melalui penambahan persediaan atau akumulasi modal. Demikian halnya dengan variabel Akumulasi Modal Manusia, dari sisi penawaran, jumlah tenaga kerja yang tersedia lebih besar berarti akan

Desentralisasi Fiskal Investasi Akumulasi Modal Manusia Level Awal PDRB Var iab el K on tr ol Pe rtumbu h an E k on omi

(26)

meningkatkan tenaga kerja produktif. Sedangkan dari sisi permintaan, pertambahan jumah penduduk berarti meningkatkan ukuran pasar domestik, yang pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Disamping itu peningkatan kualitas sumber daya manusia akan berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan produktivitas tenaga kerja dan penciptaan iklim investasi yang kondusif.

Sedangkan desentralisasi fiskal akan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui efisiensi dalam alokasi sumber daya publik. Hal ini menurut Tiebout karena pemerintah daerah memiliki posisi yang lebih baik untuk menyediakan pelayanan publik yang dibutuhkan oleh masyarakat sehingga menyebabkan efisiensi dalam perekonomian, yang selanjutnya efisiensi tersebut akan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Salah satu ukuran desentralisasi fiskal menurut Zang dan Zou (1998), yang sering digunakan dalam studi untuk melihat pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi adalah meningkatnya belanja pemerintah daerah dibanding dengan pemerintah pusat, dimana tingkat desentralisasi yang semakin besar ditunjukkan oleh semakin besarnya rasio belanja pemerintah daerah terhadap belanja pemerintah pusat. Peningkatan rasio belanja pemerintah daerah tersebut akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi, karena secara implisit peningkatan jumlah belanja pemerintah daerah mencerminkan peningkatan investasi publik di masyarakat, dimana investasi publik akan memiliki dampak produktivitas langsung terhadap perekonomian sebagaimana investasi swasta.

Berkaitan dengan uraian di atas dan mengacu pada tujuan penelitian, maka hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Desentralisasi fiskal berpotensi memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah di Provinsi Jambi, dimana era baru desentralisasi fiskal yang dilaksanakan sejak tahun 2001 memberikan kontribusi yang lebih baik dibandingkan dengan desain pendelegasian fiskal pada periode sebelumnya.

2. Variabel Investasi berpengaruh signifikan dan positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah Provinsi Jambi.

(27)

3. Variabel Akumulasi Modal Manusia berpengaruh signifikan dan positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah Provinsi Jambi.

4. Variabel Level Awal PDRB berpengaruh signifikan dan positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah Provinsi Jambi.

1.7 Sistematika Penulisan

Penulisan tesis ini secara rinci dibagi dalam enam bab utama, dan secara berurutan disajikan dengan sistematika sebagai berikut:

Bab 1 : Pendahuluan, yang akan menjelaskan mengenai latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, kerangka analisis dan hipotesis, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab 2 : Tinjauan Pustaka, yang akan menguraikan tentang konsep desentralisasi fiskal, teori pertumbuhan ekonomi, dan studi empiris atau penelitian sebelumnya yang dilakukan untuk mengetahui dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara atau daerah.

Bab 3 : Metode Penelitian, yang akan menguraikan tentang pendekatan penelitian, jenis dan sumber data, variabel dan spesifikasi model penelitian, dan metode analisis dan pengolahan data.

Bab 4 : Gambaran Umum Provinsi Jambi, yang menguraikan gambaran umum mengenai kondisi geografis, sosial, perekonomian, dan keuangan daerah terkait dengan implementasi desentralisasi fiskal di Provinsi Jambi.

Bab 5 : Hasil Analisis dan Pembahasan, yang menjelaskan mengenai hasil analisis data dan pembahasanya berdasarkan hasil estimasi model ekonometrika yang digunakan sebagai alat analisis pada penelitian ini.

Bab 6 : Kesimpulan dan Saran, yang menguraikan simpulan atas hasil penelitian yang telah dilakukan, dan memberikan saran-saran yang mungkin dapat dipertimbangkan oleh pihak-pihak yang terkait dengan pengambilan kebijakan.

(28)

2.1 Pertumbuhan Ekonomi

Secara umum, pertumbuhan ekonomi dapat diartikan sebagai peningkatan kemampuan dari suatu perekonomian dalam memproduksi barang atau jasa. Sedangkan secara lebih rinci, Kuznets dalam Jhingan (2008) mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai kenaikan kapasitas dalam jangka panjang suatu negara untuk menyediakan berbagai jenis barang ekonomi kepada penduduknya, dimana kenaikan kapasitas/kemampuan tersebut tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi dan penyesuaian kelembagaan dan ideologis yang diperlukannya. Definisi ini memiliki tiga komponen, yaitu : (1) pertumbuhan ekonomi suatu bangsa terlihat dari meningkatnya secara terus-menerus persediaan barang; (2) teknologi maju merupakan faktor dalam pertumbuhan ekonomi yang menentukan derajat pertumbuhan kemampuan dalam penyediaan aneka macam barang kepada penduduk, dan; (3) penggunaan teknologi secara luas dan efisien memerlukan adanya penyesuaian di bidang kelembagaan dan ideologi sehingga inovasi yang dihasilkan dapat dimanfaatkan secara tepat.

Dari definisi tersebut di atas, tersirat bahwa suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi jika jumlah produk barang dan jasa yang dihasilkan melalui aktivitas ekonomi mengalami peningkatan atau kenaikan dalam jangka panjang. Menurut Mankiw (2007), untuk mengukur kinerja ekonomi atau tingkat pertumbuhan ekonomi, Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan ukuran yang sering digunakan, dimana PDB meringkas aktivitas ekonomi dalam suatu nilai uang tertentu selama periode waktu tertentu.

Analisis terhadap komponen atau faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi telah sejak lama dilakukan para ahli ekonomi, melalui sejumlah pengamatan dan penelitian terhadap fenomena pertumbuhan ekonomi yang terjadi di berbagai negara. Hasil analisis tersebut memunculkan sejumlah pendapat dan model atau teori tentang pertumbuhan ekonomi. Dari berbagai studi empiris dan teori-teori pertumbuhan yang dikembangkan oleh para ahli ekonomi terkait dengan

(29)

pertumbuhan ekonomi, sejumlah faktor yang diidentifikasi berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara antara lain adalah: jumlah penduduk (tenaga kerja), kualitas sumber daya manusia, pembentukan modal (investasi dan perkembangan teknologi), inovasi, dan kekayaan sumber daya alam.

Menurut Woller dan Phillips (1998), dari beberapa studi yang mengkaji faktor-faktor pertumbuhan ekonomi sebagaimana yang dilakukan Barro (1996), Sachs dan Warner (1997); Sala-i-Martin (1997); Knight et al. (1993); Mankiw et al. (1992), serta Levine dan Renelt (1992), menunjukkan bahwa terdapat tiga variabel yang sering digunakan dan terbukti memiliki pengaruh atau hubungan yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi per kapita, yaitu: Investasi, Akumulasi Modal Manusia, dan Level Awal Pertumbuhan Ekonomi (Level Awal GDP).

2.1.1. Investasi

Teori pertumbuhan ekonomi yang menempatkan investasi sebagai faktor penting pertumbuhan ekonomi antara lain adalah Teori Pertumbuhan Harrod-Domar dan Model Pertumbuhan Solow. Menurut Harrod-Dommar setiap perekonomian pada dasarnya harus menyisihkan atau menabung suatu proporsi tertentu dari pendapatan nasionalnya untuk menambah atau mengganti barang-barang modal yang mengalami penyusutan atau rusak, dan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat diperlukan investasi-investasi baru sebagai tambahan stok modal (capital stock).

Dalam persamaan yang sederhana, teori pertumbuhan ekonomi Harrod-Domar dinyatakan dalam bentuk: ΔY/Y =s/k, dimana s adalah rasio tabungan nasional dan k adalah rasio modal-output nasional. Dari persamaan tersebut terlihat bahwa pertumbuhan ekonomi (ΔY/Y) ditentukan secara bersama-sama oleh rasio tabungan nasional dan rasio modal-output nasional. Logika ekonomi yang terkandung dalam persamaan tersebut di atas sangatlah sederhana, yaitu: agar bisa tumbuh dengan cepat, setiap perekonomian harus menabung atau melakukan investasi sebanyak mungkin dari pendapatan nasionalnya. Semakin banyak yang dapat ditabung dan diinvestasikan, maka laju pertumbuhan perekonomian akan semakin cepat (Todaro dan Smith, 2006).

(30)

Demikian halnya dengan Model Pertumbuhan Solow sebagaimana dijelaskan Mankiw (2007) bahwa pada setiap momen, persediaan modal merupakan determinan output perekonomian yang penting karena persediaan modal bisa berubah sepanjang waktu, dan perubahan tersebut bisa mengarah ke pertumbuhan ekonomi, dan dua kekuatan yang mempengaruhi persediaan modal tersebut adalah investasi dan depresiasi. Dalam hal ini investasi mengacu pada pengeluaran untuk perluasan usaha dan peralatan baru, dimana hal tersebut menyebabkan kenaikan persediaan modal. Sedangkan depresiasi mengacu pada penggunaan modal, dimana hal tersebut menyebabkan persediaan modal berkurang.

Beberapa ahli lainnya juga mengemukakan tentang pentingnya investasi dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Menurut Jhingan (2008) investasi mempengaruhi pertumbuhan ekonomi melalui dua sisi, yaitu: dari sisi permintaan, investasi akan menciptakan atau menghasilkan pendapatan (return on investment), sedangkan dari sisi penawaran investasi meningkatkan kapasitas produksi melalui penambahan persediaan atau akumulasi modal.

Lebih lanjut Todaro dan Smith (2006) mengemukakan bahwa akumulasi modal (capital accumulation) diperoleh jika sebagian dari pendapatan yang diterima saat ini ditabung dan diinvestasikan kembali dengan tujuan meningkatkan output dan pendapatan di masa depan. Dalam hal ini investasi dapat dilakukan dalam bentuk investasi produktif secara langsung (melalui pengadaan pabrik baru, mesin-mesin dan peralatan dan bahan baku baru), investasi dalam bentuk infrastruktur sosial dan ekonomi, dan juga investasi dalam sumber daya manusia untuk memperbaiki kualitas tenaga kerja.

Sedangkan Chenery dan Carter dalam Sodik (2005) mengemukakan pemikiran tentang pentingnya investasi khususnya dalam bentuk penanaman modal asing dalam pembangunan ekonomi di negara berkembang, yaitu bahwa dana eksternal (Penanaman Modal Asing) sebagai sumber investasi dapat dimanfaatkan oleh negara sedang berkembang untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi.

Beberapa studi empiris lainnya seperti Alfaro (2003) dan Sodik (2005) juga menunjukkan bahwa secara umum investasi memberikan dampak positif

(31)

terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil studi Alfaro (2003) yang dilakukan dengan menggunakan regresi data panel lintas negara dari Asia, Afrika, Amerika Latin dan lainnya dalam periode 1981-1999 memperlihatkan bahwa investasi modal asing khususnya pada sektor manufaktur berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Demikian halnya dengan studi Sodik (2005) yang dilakukan dengan menggunakan regresi data panel dari 26 provinsi di Indonesia dalam rentang waktu tahun 1998-2003, menunjukkan bahwa selama periode penelitian variabel Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal dalam Negeri (PMDN) berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional. Hasil studi tersebut sejalan dengan teori pertumbuhan Solow dan juga pendapat Todaro dan Smith (2003) yang menegaskan bahwa investasi memainkan peran penting dalam menggerakkan kehidupan ekonomi bangsa, karena pembentukan modal dari peningkatan investasi akan memperbesar kapasitas produksi, meningkatkan kesempatan kerja dan menaikkan pendapatan nasional sehingga menciptakan pertumbuhan ekonomi.

2.1.2. Akumulasi Modal Manusia

Terkait dengan faktor akumulasi modal manusia, beberapa teori pertumbuhan dan studi menegaskan adanya hubungan atau pengaruh antara sumber daya manusia dengan pertumbuhan ekonomi. Studi yang dilakukan Dale Jorgenson et al. (1987) terhadap ekonomi Amerika Serikat dalam periode 1948-1979 menunjukkan adanya hubungan atau pengaruh antara sumber daya manusia dengan pertumbuhan ekonomi, dimana 46 persen pertumbuhan ekonomi adalah disebabkan pembentukan modal (capital formation), 31 persen disebabkan pertumbuhan tenaga kerja dan modal manusia serta 24 persen disebabkan kemajuan teknologi. Dalam hal ini, modal manusia baik dari segi kuantitas maupun kualitas merupakan input penting dalam fungsi produksi aregat.

Dilihat dari segi kuantitas sumber daya manusia, menurut Todaro dan Smith (2006) pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan angkatan kerja merupakan salah satu faktor positif yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi. Dari sisi penawaran, jumlah tenaga kerja yang tersedia lebih besar berarti akan

(32)

meningkatkan tenaga kerja produktif. Sedangkan dari sisi permintaan, pertambahan jumlah penduduk berarti meningkatkan ukuran pasar domestik, yang pada akhirnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Terkait dengan pertumbuhan penduduk, Levine dan Renelt dalam Woller dan Phillips (1998) juga mengemukakan bahwa variabel pertumbuhan penduduk merupakan variabel penting dalam pertumbuhan ekonomi sebagaimana yang dikemukan penganut aliran teori pertumbuhan ekonomi klasik, seperti Adam Smith, David Ricardo, Malthus dan John Stuart Mill. Menurut penganut teori pertumbuhan klasik tersebut, pada awalnya pertambahan penduduk akan meningkatkan pendapatan per kapita, namun jika jumlah penduduk terus mengalami pertumbuhan maka akan berlaku hukum Law of Diminishing Returns, yaitu pertambahan penduduk tersebut akan mempengaruhi fungsi produksi dimana produksi marjinal akan mengalami penuruan, dan akan membawa pada kondisi dimana pendapatan per kapita sama dengan produksi marjinal. Pada kondisi tersebut pendapatan per kapita mencapai kondisi yang maksimum. Jumlah penduduk dimana pendapatan per kapita mencapai kondisi maksimum tersebut disebut dengan penduduk optimal. Apabila jumlah penduduk terus meningkat melebihi titik maksimum tersebut, maka pertumbuhan penduduk justru akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi menurun.

Hubungan antara pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi juga dapat dilihat dari Model Pertumbuhan Solow. Dengan mengacu pada Model Pertumbuhan Solow, suatu perekonomian dengan tingkat pertumbuhan penduduk yang tinggi akan mempunyai persediaan modal per pekerja pada kondisi mapan yang rendah dan juga tingkat pendapatan pekerja yang rendah. Dengan kata lain, pertumbuhan penduduk yang tinggi cenderung menyulitkan perekonomian untuk mempertahankan tingkat modal per pekerja yang tinggi apabila pekerja tumbuh dengan cepat.

Pendapat lain terkait dengan pertumbuhan penduduk sebagai faktor pertumbuhan ekonomi juga dikemukakan oleh Becker dan Murphy dalam Wibowo (2008) yang berpendapat bahwa masyarakat dengan jumlah penduduk yang cukup banyak memiliki kecenderungan untuk meningkatkan investasi di bidang sumber daya manusia sedangkan wilayah yang jarang penduduknya

(33)

memiliki insentif ekonomi untuk meningkatkan jumlah anak untuk mengisi pasar tenaga kerja, namun peningkatan jumlah penduduk dapat menurunkan produktivitas karena adanya efek diminishing returns atas penggunaan sumber daya alam, sehingga hubungan antara pertumbuhan jumlah penduduk dan pendapatan per kapita tergantung dari pemanfaatan ilmu pengetahuan guna mengeliminasi efek diminishing returns atas penggunaan sumber daya alam.

Sedangkan dari sisi kualitas sumber daya manusia, beberapa studi tentang pengaruh kualitas sumber daya manusia terhadap kinerja atau pertumbuhan ekonomi menunjukkan hasil yang positif. Studi yang dilakukan oleh Lim (1996) terhadap perekonomian di Jepang dan Korea Selatan, menengarai bahwa tingginya tingkat pertumbuhan pada dua negara maju Asia tersebut disebabkan oleh sumber daya manusia yang berkualitas, hal ini terlihat dari tingkat melek huruf (literacy rate) yang tinggi, sehingga tenaga kerja mudah menyerap dan beradaptasi dengan perubahan teknologi dan ekonomi yang terjadi.

Demikian halnya dengan studi yang dilakukan oleh Akai dan Sakata (2002) yang menggunakan modal manusia sebagai variabel kontrol untuk meneliti pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat dengan menggunakan regresi data panel dari lima puluh negara bagian di Amerika Serikat dalam periode waktu 1992-1996, memperlihatkan bahwa kuantitas dan kualitas dari sumber daya manusia regional berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Amerika.

Sementara itu, secara lebih tegas Schweke (2004) juga memberikan afirmasi bahwa peningkatan kualitas sumber daya manusia yang terlihat dari peningkatan kesehatan, pengetahuan dan ketrampilan akan berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan produktivitas tenaga kerja dan penciptaan iklim investasi yang kondusif.

Dalam konteks Indonesia, studi tentang pertumbuhan ekonomi regional yang menggunakan kualitas sumber daya manusia sebagai variabel penjelas, menunjukkan bahwa kualitas sumber daya manusia berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi regional. Hasil studi Garcia dan Soelistianingsih (1998), yang mengestimasi pengaruh variabel modal manusia (yang salah satunya diukur dengan jumlah penduduk berumur 10 tahun ke atas yang berpendidikan

(34)

menengah) memberikan konfirmasi bahwa modal manusia mempunyai kontribusi penting dalam pertumbuhan ekonomi. Demikian halnya studi Brata (2002) yang meneliti hubungan antara pembangunan manusia dan kinerja ekonomi regional Indonesia, memberikan bukti adanya hubungan dua arah antara pembangunan manusia (yang diukur dengan menggunakan Indeks Pembangunan Manusia) dan pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia, dimana pembangunan manusia yang berkualitas berpengaruh positif terhadap kinerja ekonomi dan demikian pula sebaliknya.

2.1.3. Level Awal GDP

Berkaitan dengan Level Awal Pertumbuhan Ekonomi atau Level Awal GDP, beberapa studi yang menggunakan level awal pertumbuhan ekonomi sebagai variabel yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, menunjukkan hasil yang berbeda. Hasil studi Woller dan Phillips (1998), dan Thiessen (2003), menyimpulkan bahwa semakin tinggi Level Awal Pertumbuhan Ekonomi (Initial Per

Capita Regional GDP) maka akan semakin rendah pertumbuhan ekonomi pada tahun

berikutnya. Demikian halnya dengan Barry dan Jules (2008) yang berpendapat bahwa variabel level awal pertumbuhan ekonomi merupakan variabel yang penting dalam analisis pertumbuhan ekonomi untuk melihat tingkat konvergensi pertumbuhan ekonomi antar wilayah, dimana konvergensi ini mengindikasikan hubungan negatif antara pertumbuhan ekonomi dengan Level Awal Pertumbuhan Ekonomi/Level Awal GDP, artinya semakin tinggi Level Awal Pertumbuhan Ekonomi (initial per capita regional GDP) maka pertumbuhan ekonomi dalam tahun berikutnya akan semakin rendahnya.

Berbeda dengan hasil kedua penelitian di atas, hasil studi Akai dan Sakata (2002) yang menggunakan level awal pertumbuhan GDP riil per kapita sebagai salah satu variabel kontrol yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi menunjukkan bahwa pertumbuhan GDP riil per kapita pada periode sebelumnya merupakan determinan penting dan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi periode berjalan.

(35)

2.2 Pengaruh Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Secara umum desentralisasi fiskal dapat didefinisikan sebagai pelimpahan kewenangan dan tanggungjawab pemerintah pusat kepada pemerintah daerah menyangkut sumber-sumber penerimaan dan kewajiban belanja. Menurut Teresa Ter-minassian (1997) pelaksanaan desentralisasi fiskal dan reformasi daerah telah menjadi kecenderungan global selama dekade 1990-an, hal ini ditunjukkan dari semakin berkembangnya implementasi desentralisasi fiskal di berbagai negara, baik di negara-negara federal maupun di negara-negara kesatuan, termasuk di negara yang memiliki tradisi otokratik-sentralistik. Hal tersebut didasari oleh ekspektasi terwujudnya pemerintah yang lebih memperhatikan kesejahteraan masyarakatnya, dan adanya keyakinan yang kuat dari negara-negara tersebut untuk terus melaksanakan desentralisasi fiskal guna mendorong pertumbuhan ekonomi, hal tersebut merujuk pada Laporan Bank Dunia 2010, dengan mengambil contoh India dan China, yang menggarisbawahi bahwa desentralisasi sebagai alat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan.

Terkait dengan hal tersebut, menurut Lobao dan Kraybill dalam Yamoah (2007) terdapat tiga pandangan atau perspektif utama mengenai dampak desentralisasi fiskal terhadap perekonomian, yaitu: Pro-Decentralization, Anti-Decentralization, dan Intermediate Decentralization.

Perspektif Pro-Decentralization didasarkan pada keterbatasan pemerintah pusat, dan manfaat atau efisiensi yang terjadi ketika pemerintahan terdesentralisasi. Tanzi (1996) mengemukakan bahwa justifikasi dari manfaat desentralisasi adalah karena alasan alokasi dan efisiensi, dimana dengan desentralisasi fiskal pemerintah lokal akan cenderung menyediakan barang dan jasa publik yang sesuai dengan preferensi masyarakat atau penduduk lokal mengingat bahwa pemerintah daerah mempunyai kedekatan dengan masyarakatnya dan mempunyai keunggulan informasi dibanding pemerintah pusat, sehingga pemerintah daerah dapat memberikan pelayanan publik yang benar-benar dibutuhkan di daerahnya sehingga lebih efisien dan diharapkan akan mendorong peningkatan ekonomi.

Dukungan terhadap desentralisasi fiskal juga dapat dilihat dari penjelasan Litvack et al. (1998) sebagaimana dikutip Sidik (2002) yang mengemukakan

(36)

bahwa beberapa ahli seperti Tiebout (1956), Oates (1972), Tresch (1981), Breton (1996), Weingast (1995) memberikan argumen yang mendukung desentralisasi yaitu bahwa pelayanan publik yang paling efisien seharusnya diselenggarakan oleh pemerintah lokal yang memiliki kontrol geografis yang paling minimum karena :

a. Pemerintah lokal sangat menghayati kebutuhan masyarakatnya;

b. Keputusan pemerintah lokal sangat responsif terhadap kebutuhan masyarakat, sehingga mendorong pemerintah lokal untuk melakukan efisiensi dalam penggunaan dana yang berasal dari masyarakat;

c. Persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya akan mendorong pemerintah lokal untuk meningkatkan inovasinya.

Menurut Tiebout (1956) jika penyediaan barang dan jasa publik diselenggarakan oleh pemerintah secara tersentralisasi, akan mengakibatkan rendahnya kompetisi yang dihadapi oleh pemerintah pusat ketika pembuatan keputusan yang berkaitan dengan penyediaan barang dan jasa publik, disamping

proses pengambilan keputusan sendiri harus melewati sistem birokrasi yang panjang

sehingga keputusan yang dihasilkan tidak efisien sama sekali.

Oleh sebab itu, Tiebout menyarankan agar penyediaan barang dan jasa publik dilakukan oleh pemerintah lokal yang memiliki kontrol geografis yang paling minimum, karena pemerintah daerah memiliki informasi yang lebih lengkap tentang kebutuhan dan karakter masyarakat di daerahnya, disamping itu proses pengambilan keputusan terkait penyediaan barang dan jasa publik tidak harus melewati birokrasi yang panjang, sehingga penyediaan barang dan jasa publik akan lebih efisien dan efektif.

Lebih jauh Tiebout menjelaskan bahwa pada saat barang dan jasa publik disediakan di tingkat lokal, hal tersebut akan meningkatkan kompetisi antar pemerintah daerah karena individu pada suatu daerah akan memilih dan menilai kualitas dari pelayanan atau penyediaan barang dan jasa publik oleh suatu pemerintah daerah dibandingkan dengan kontribusi dalam bentuk pajak dan retribusi daerah yang telah dibayarkan, dimana individu dalam masyarakat akan memilih untuk menetap di daerah yang anggaran pemerintah daerahnya memenuhi preferensi maksimum antara pelayanan publik dengan pajak yang

(37)

harus mereka bayarkan. Ketika masyarakat merasa tidak ada kesesuaian antara kebijakan pemerintah lokal dalam pembebanan pajak untuk pembiayaan barang publik yang bersifat lokal tersebut, maka individu dalam masyarakat akan meninggalkan daerah tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa persaingan antar daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakatnya akan mendorong pemerintah lokal untuk meningkatkan inovasinya sehingga akan mendorong efisiensi ekonomi.

Oleh karenanya, dengan adanya pelimpahan wewenang yang diikuti dengan pendanaan akan meningkatkan kemampuan daerah dalam melayani penyediaan kebutuhan barang publik dengan lebih baik dan efisien, sehingga akan meningkatkan output perekonomian dan mendorong laju pertumbuhan ekonomi.

Pandangan pro-decentralization juga dikemukakan oleh Thiessen (2003) yang secara rinci mengidentifikasi empat argumentasi terkait dengan manfaat desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi, yaitu: pertama, bahwa penyediaan barang dan jasa publik secara seragam untuk setiap daerah secara umum adalah tidak efisien, hal ini dikarenakan marginal benefit dari pelayanan publik di masing-masing daerah berbeda disamping ketidaksamaan skedul permintaan terhadap barang dan jasa publik lokal di masing-masing daerah. Dengan desentralisasi, sumber daya dapat disimpan dan dimanfaatkan pada waktu yang tepat sesuai dengan kebutuhan pada masing-masing daerah sehingga akan memicu efisiensi yang pada akhirnya akan meningkatkan output perekonomian dan mendorong pertumbuhhan ekonomi. Selain itu kebijakan pengeluaran pemerintah yang merespon perbedaan preferensi lokal cenderung lebih efektif dalam meningkatkan perekonomian daripada kebijakan pemerintah pusat yang cenderung mengabaikan perbedaan-perbedaan tersebut, sehingga para pembayar pajak akan memperoleh kepuasan atau kesejahteraan yang lebih baik.

Kedua, bahwa desentralisasi akan memunculkan kompetisi secara vertikal dan horizontal di antara tingkat pemerintahan yang berbeda, dimana hal tersebut akan mencegah terjadinya perilaku pemerintah yang cenderung untuk maksimisasi tingkat pendapatan yang berpotensi merugikan para pembayar pajak. Dengan demikian, pemerintah akan lebih berkonsentrasi pada persaingan selain maksimisasi pendapatan seperti mempertahankan atau menurunkan tarif pajak,

(38)

memberikan berbagai fasilitas atau kemudahan bagi kegiatan bisnis, serta melakukan efisiensi dalam penyediaan barang dan jasa publik, dengan tetap menjaga tingkat pendapatan tertentu. Oleh karena itu, masing-masing tingkatan pemerintah akan menggunakan anggaran secara efisien untuk membiayai pengeluaran sektor publik yang sesuai dengan preferensi masyarakat atau para pembayar pajak.

Hal tersebut akan mencegah terjadinya over supply barang dan jasa publik dan inefisiensi pelayaan sektor publik. Sehingga dapat dikatakan bahwa desentralisasi fiskal berpengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi dalam kaitannya dengan penggunaan sumber daya yang lebih efisien.

Ketiga, bahwa desentralisasi fiskal yang secara eksplisit menunjukkan pelimpahan tanggung jawab dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dapat memberikan insentif bagi pemerintah lokal untuk secara aktif mencari inovasi dalam produksi dan penyediaan barang dan jasa publik. Persaingan antar daerah dalam produksi dan penyediaan barang dan jasa publik tersebut memacu pemerintah daerah untuk menyediakan pelayanan dengan biaya yang minimum dan kualitas yang lebih baik, dan mendorong terjadi efisiensi produksi sehingga akan mendorong peningkatan output perekonomian. Disamping itu, desentralisasi fiskal akan meringankan tugas pemerintah pusat, sehingga pemerintah dapat fokus pada upaya efisiensi produksi barang dan jasa publik yang masih menjadi tanggung jawabnya, yaitu barang dan jasa yang menyangkut kepentingan masyarakat luas.

Keempat, terdapat beberapa argumentasi politik bahwa desentralisasi akan mengurangi konsentrasi kekuatan politik, melemahkan pengaruh pihak-pihak yang memiliki kepentingan (vested interests) dalam kebijakan publik, dan mendorong demokrasi lokal. Argumentasi senada juga dikemukaan oleh BC Smith (1985) dalam Haris (2002), yang mengemukakan bahwa desentralisasi

memberikan keuntungan karena beberapa alasan, antara lain yaitu: (1) desentralisasi akan menciptakan partisipasi yang luas dalam politik melalui

demokrasi lokal sehingga stabilitas politik dapat terjaga; (2) desentralisasi akan menciptakan kesetaraan politik (political equality) dari partisipasi politik yang lebih besar sehingga akan mengurangi konsentrasi kekuasaan pada lembaga tertentu, dan kekuasaan politik yang lebih tersebar akan memberikan manfaat bagi

(39)

seluruh lapisan masyarakat; (3) Akuntabilitas pemerintah lokal akan meningkat karena masyarakat lokal telah terintegrasikan dalam sistem desentralisasi yang memang mempromosikan partisipasi masyarakat lokal, peningkatan pelayanan publik, dan akses lokal yang lebih besar; dan (4) kepekaan pemerintah akan meningkat karena perwakilan rakyat lokal yang mengetahui lebih banyak kebutuhan dan situasi lokal serta bagaimana cara mengelolanya secara efektif dan efisien. Dengan kondisi dimana stabilitas politik terjaga, akuntabilitas pemerintah lokal meningkat, dan kepekaan pemerintah dalam penyediaan pelayanan publik lebih efektif dan efisien, maka diharapkan akan mencipkaan iklim yang kondusif bagi pembangunan sehingga dalam jangka panjang diharapkan akan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi.

Berbeda dengan pro-decentralization, perspektif anti-decentralization didasarkan pada keterbatasan pemerintah daerah dan kelemahan menempatkan tanggungjawab utama di pundak pemerintah daerah. Hipotesis yag dibangun dalam perspektif ini adalah desentralisasi fiskal akan berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi disebabkan keterbatasan dari pemerintah lokal dan adanya peningkatan tekanan fiskal karena tambahan tanggungjawab.

Mengutip pendapat Oates, Yamoah (2007) mengemukakan bahwa kelemahan dari desentralisasi adalah kerugian dalam skala ekonomi, dimana dengan sistem desentralisasi, setiap pemerintah daerah harus mengimplementasi-kan agenda pertumbuhan ekonomi yang independen dari pemerintah daerah lainnya sehingga mungkin akan meningkatkan biaya per unit output layanan karena mereka akan beroperasi pada skala yang lebih kecil. Lebih lanjut dijelaskan bahwa meskipun kompetisi antara pemerintah daerah disebut-sebut sebagai keuntungan desentralisasi fiskal, bisa juga memiliki efek negatif dalam hal persaingan antara pemerintah daerah tersebut mengarah pada penyediaan layanan publik yang tidak efisien sehingga desentralisasi mungkin menjadi tidak diinginkan bagi masyarakat secara keseluruhan.

Perspektif anti-decentralization juga dikemukakan Prud’homme (1995), yang mengingatkan beberapa bahaya desentralisasi, antara lain yaitu bahwa desentralisasi akan membuat kebijakan redistribusi menjadi lebih sulit, demikian halnya dengan program stabilisasi makroekonomi menjadi lebih sulit untuk

(40)

dilaksanakan karena kebijakan pemerintah daerah dapat bertentangan dengan kebijakan nasional.

Pandangan lain yang memperingatkan kelemahan pelaksanaan desentralisasi fiskal juga di kemukakan oleh Thiessen (2003), yaitu sebagai sebagai berikut: 1. Desentralisasi fiskal dapat mengakibatkan peningkatan ketidakadilan atau

disparitas regional dan menghambat pertumbuhan ekonomi. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan dalam penyediaan infrastruktur dan barang/jasa publik lainnya sebagai akibat dari tingkat pendapatan dan basis pajak yang berbeda-beda antara wilayah dan daerah, dimana daerah kaya memiliki kecenderungan untuk menyediakan pelayanan publik yang lebih baik, disamping itu masyarakat daerah kaya memiliki kecenderungann untuk menolak masuknya masyarakat berpendapatan rendah.

2. Beberapa ahli berpendapat bahwa pemerintah pusat secara umum dapat mencapai tingkat kualitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemerintahan yang terdesentralisasi, karena pemerintah pusat memiliki dan dapat menarik lebih banyak personel dengan kualitas yang lebih baik melalui pemberian gaji dan peluang karier yang lebih baik (Prud'homme, 1994). Sedangkan dengan desentralisasi, Pemerintah daerah cenderung memiliki kualitas personel yang terbatas karena menawarkan lebih sedikit kesempatan untuk kemajuan karir dan mungkin gaji lebih rendah, hal tersebut mengakibatkan desentralisasi fiskal dapat menghasilkan keputusan pemerintah dengan kualitas rendah, dan meningkatnya pengaruh kelompok-kelompok yang berkepentingan (vested interest), sehingga mengakibatkan penyediaan pelayanan publik menjadi tidak efisien.

3. Implementasi desentralisasi fiskal di negara kecil dan berpendapatan rendah cenderung tidak menguntungkan. Mengutip Prud'homme (1995), dan Bahl dan Linn (1992), Thiesen lebih lanjut menjelaskan bahwa untuk mengimplementasikan desentralisasi fiskal diperlukan biaya tetap yang tidak sedikit sehingga akan menyerap sebagian besar kapasitas anggaran yang jumlahnya sangat terbatas.

(41)

4. Desentralisasi fiskal dapat menghambat pertumbuhan ekonomi jangka panjang terkait dengan kebijakan stabilisasi yang akan lebih sulit untuk dilakukan.

Sedangkan perspektif intermediate-decentralization menekankan pada pentingnya lokasi dan hubungan kelembagaan. Menurut perspektif ini sebagaimana argumentasi Lobao dan Kraybill (2006) bahwa perlu untuk memperhitungkan variasi antar daerah ketika mempelajari peran pemerintah dalam pertumbuhan ekonomi dan redistribusi. Pengaruh dari pergeseran dalam kewenangan pemerintah dan dinamika internal yang berbeda antar daerah, menjadikan kemampuan dan kemauan pemerintah daerah untuk mengambil tanggung jawab tambahan dari desentralisasi akan bervariasi sehingga mengakibatkan pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi akan berbeda antara daerah.

Terlepas dari ketiga perspektif/pandangan tentang desentralisasi tersebut, pendapat dan argumentasi bahwa desentralisasi fiskal dapat meningkatkan efisiensi yang selanjutnya akan mendorong pertumbuhan ekonomi cenderung lebih diterima secara luas. Hal ini ditunjukkan dari impelementasi desentralisasi fiskal yang semakin berkembang di berbagai negara, termasuk diantaranya adalah Indonesia. Hal ini menyiratkan bahwa terdapat keyakinan yang kuat dari negara-negara tersebut untuk terus melaksanakan desentralisasi fiskal guna mendorong pertumbuhan ekonomi.

2.3 Studi Empiris tentang Pengaruh Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi

Upaya untuk melihat hubungan atau pengaruh desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi telah banyak dilakukan oleh para ahli dan peneliti di sejumlah negara melalui berbagai penelitian dan kajian empiris. Dimana dalam studi tersebut, para peneliti pada umumya menggunakan lebih dari satu ukuran desentralisasi fiskal, karena cukup sulit untuk mendapatkan indikator tunggal yang mencerminkan desentralisasi fiskal secara komprehensif mengingat pendelegasian fiskal dari pusat ke daerah dapat ditinjau dari berbagai perspektif

Gambar

Gambar 1.1  Perkembangan Dana Perimbangan Tahun 2001-2008  4  Gambar 1.2  Pertumbuhan  Ekonomi  Daerah  Provinsi  Jambi  dan  Nasional
Gambar 1.1. Perkembangan Dana Perimbangan tahun 2001-2008
Tabel  1.1.  Perkembangan  Dana  Perimbangan    pada  Pemda  di  Wilayah  Provinsi  Jambi  Tahun  2003-2008  (Setelah  Desentralisasi
Tabel  1.2.  Perkembangan  Alokasi  Dana  Pemerintah  Pusat  pada  Pemda  di  Wilayah  Provinsi  Jambi  Tahun   1995/1996-2000/2001  (Sebelum Desentralisasi Fiskal)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sejak tahun 2012, Dunamis juga menjadi mitra berlisensi dari VitalSmarts yang menyediakan pelatihan keterampilan untuk mengubah perilaku... Kontinuum Pengetahuan Data

C++ adalah bahasa pemrograman komputer C++ dikembangkan di Bell Labs (Bjarne Stroustrup) pada awal tahun 1970-an, Bahasa itu diturunkan dari bahasa sebelumnya, yaitu

dibuat dengan pelunakan yang lama pada besi cor putih, dicor dengan cara yang sama seperti besi cor kelabu, sehingga pada pelunakan tersebut sementit terurai dan

Untuk mengidentifikasi peluang dan tantangan BMT dalam memberdayakan UMKM di Jawa Tengah, penelitian ini juga melakukan wawancara mendalam (in-depth interview) dengan

Dari beberapa definisi diatas maka dapat disimpulkan kelekatan sebagai ikatan emosional antara anak dengan orang terdekatnya dalam bentuk interaksi, komunikasi yang

Bila yang menjadi objek transaksi adalah manfaat atau jasa dari suatu benda disebut Ijarah al‟Ain, seperti sewa-menyewa rumah untuk

dengan pengaruh konsep diri guru tentang pembelajaran dan pelaksanaan. metode habit forming (pembiasaan) terhadap kemampuan

Penandatanganan perjanjian kerjasamaantara Direktorat Pembinaan Kursus dan Pelatihan dengan satuan pendidikan yang terakreditasi, atau lembaga sertifikasi lainnya yang sah