1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hipertensi merupakan penyakit degeneratif yang dilaporkan oleh World
Health Organization (WHO) sebagai faktor risiko global penyebab kematian
nomor satu pada tahun 2009 (WHO, 2009). The International Society of
Hypertension (ISH) dan WHO pada tahun 2003 melaporkan bahwa 3 juta dari 600
juta penderita hipertensi di seluruh dunia meninggal setiap tahun. Tujuh dari setiap 10 penderita tersebut tidak mendapatkan pengobatan secara adekuat yang berakibat terjadinya komplikasi seperti gagal ginjal, stroke, dan penyakit jantung koroner (Rahajeng dan Tuminah, 2009).
Prevalensi hipertensi di Indonesia berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah sebesar 32,2%, sedangkan menurut diagnosis dan riwayat minum obat prevalensinya hanya 7,8%. Hal ini berarti 75,8% kasus hipertensi di Indonesia belum terdiagnosis dan terjangkau pelayanan kesehatan (Rahajeng dan Tuminah, 2009). Prevalensi hipertensi yang terus meningkat dengan komplikasi yang berat membutuhkan penatalaksanaan terapi secara rasional dan upaya pencegahan serta penanganan yang tepat.
Biaya pengobatan yang tinggi bagi penderita tekanan darah tinggi disebabkan oleh tingginya angka kunjungan ke dokter, perawatan di rumah sakit dan penggunaan obat jangka panjang pada penyakit yang dijuluki the silent killer ini (Depkes RI, 2006). Penanganan penyakit hipertensi semakin kompleks dengan biaya yang tidak murah serta risiko komplikasi dan efek samping dari pengobatan
2 jangka panjang. Dengan demikian, perlu diupayakan penemuan obat baru sebagai antihipertensi yang efektif, aman, dan terjangkau, misalnya obat tradisional yang bersumber dari kekayaan alam Indonesia dan telah digunakan secara empiris.
Penelitian yang berbasis pelayanan kesehatan perlu dilakukan untuk memberikan landasan ilmiah (evidenced based) penggunaan jamu secara empiris (Kemenkes RI, 2010a). Jamu telah diterima di kalangan masyarakat dan digunakan oleh 50% penduduk untuk menjaga kesehatan maupun mengobati penyakit (Kemenkes RI, 2010b). Secara tradisional masyarakat menggunakan herba pegagan (Centella asiatica (L.) Urban) untuk pengobatan gangguan pembuluh darah vena, sedangkan daunnya digunakan untuk peluruh air seni dan pembersih darah (Sudarsono dkk., 2002). Ekstrak pegagan telah diuji klinik pada insufisiensi vena (WHO, 1999). Pegagan termasuk bahan alami yang aman dan berkhasiat antihipertensi (Lakshmi et al., 2011). Hasil observasi klinik selama satu bulan menggunakan ramuan antihipertensi yang mengandung daun pegagan terbukti dapat menurunkan tekanan darah pasien sebesar 20% (Mikail, 2011). Selanjutnya program saintifikasi jamu akan melakukan uji klinik ramuan ini agar dapat diresepkan oleh dokter (Kemenkes RI, 2010a).
Materia Medika Indonesia (1977) telah menyebutkan kegunaan tumbuhan pegagan sebagai diuretik, sedangkan Duke (1987) menyatakan penggunaannya secara tradisional untuk antihipertensi. Ekstrak daun pegagan dosis 500 mg/kgBB menunjukkan aktivitas diuretik pada tikus (Roopesh et al., 2011) dan menurut Sulastry (2009) pegagan tidak toksik sampai dosis 2000
3 mg/kgBB. Pegagan pernah dilaporkan memiliki efek hipotensif pada anjing (Suwono, 1992) dan kucing teranestesi (Khuzaimah, 1997).
Kandungan kimia herba pegagan menurut James and Dubery (2011) adalah triterpen yang secara kolektif disebut sentelloid termasuk asiatikosida, madekasosida (glikosida saponin) serta asam asiatat dan asam madekasat (sapogenin). Selain itu, pegagan juga mengandung flavonoid, polifenol, tanin, resin, alkaloid, dan minyak atsiri (Duke, 1987). Monografi WHO (1999) menyebutkan kadar glikosida ester triterpen dalam herba pegagan tidak kurang dari 2%. Triterpenoid bersifat relatif semipolar sampai nonpolar, kecuali glikosidanya, sedangkan senyawa fenol bersifat polar (Harborne, 1987). Oleh karena itu, senyawa triterpen dapat dipisahkan dari kandungan lain seperti flavonoid dan polifenol berdasarkan kepolaran pelarut.
Penelitian ini menerapkan metode pemisahan dengan cara fraksinasi ekstrak etanolik 70% daun pegagan dengan kloroform untuk memperoleh fraksi larut dan kaya triterpenoid yang dinamakan fraksi kloroformik daun pegagan (FKDP). Standardisasi mutu pegagan dilakukan berdasarkan penetapan kadar asiatikosida sebagai marker dengan metode KLT densitometri (Badan POM RI, 2003; Depkes RI, 2008; James and Dubery, 2011). Fraksi triterpenoid total pegagan dapat memperbaiki kondisi mikroangiopati hipertensi vena dengan dosis 60-120 mg per hari (Incandela et al., 2001). Namun belum pernah dibuktikan apakah triterpenoid daun pegagan dapat berefek hipotensif. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menguji efek penurunan tekanan darah FKDP pada
4 tikus terinduksi fenilefrin (Drummond et al., 1989) yang diukur dengan metode
tail cuff secara non-invasif (Maruyama et al., 2009).
1. Perumusan Masalah
Permasalahan yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:
1. Apakah fraksi triterpenoid ekstrak etanolik 70% daun pegagan dapat dipisahkan dari fraksi flavonoid dengan fraksinasi menggunakan kloroform? 2. Berapakah kadar asiatikosida dalam fraksi kloroformik ekstrak etanolik daun
pegagan (FKDP) yang ditetapkan secara KLT densitometri?
3. Apakah FKDP dapat menurunkan tekanan darah sistolik, diastolik, dan tekanan arteri rata-rata pada tikus yang diinduksi fenilefrin?
4. Seberapa besar potensi efek hipotensif FKDP yang ditentukan dari nilai ED50?
2. Keaslian Penelitian
Beberapa penelitian terdahulu melaporkan aktivitas farmakologi pegagan, antara lain sediaan herba pegagan yang diberikan secara enteral maupun intravena dapat menurunkan tekanan darah sistemik pada anjing (Suwono, 1992, sedangkan fraksi etil asetat dan infusa daun pegagan berefek hipotensif pada kucing teranestesi sebesar 28,42% dan 20,51% (Khuzaimah, 1997). Ekstrak etanolik dan metanolik daun pegagan sebagai diuretik pada dosis 500 mg/kgBB (Roopesh et al., 2011) dan fraksi triterpenoid total pegagan dosis 60-120 mg/hari dapat mengobati mikroangiopati pada hipertensi vena (Incandela et al., 2001). Berdasarkan uji toksisitas ekstrak C. asiatica dinyatakan praktis tidak toksik oleh Sulastry (2009) karena sampai dosis 2000 mg/kgBB tidak menyebabkan gejala
5 klinis ketoksikan maupun kematian pada semua hewan uji. Praptiwi dkk. (2010) melaporkan ekstrak pegagan memiliki toksisitas rendah (LD50= 13,6 g/kgBB),
meskipun pengamatan histopatologi jantung, hati, dan ginjal mencit menunjukkan sedikit perubahan. Menurut Chivapat et al. (2011), ekstrak terstandar C. asiatica yang mengandung tidak kurang dari 80% triterpenoid tidak menunjukkan ketoksikan akut maupun sub kronis sampai dosis 1000 mg/kgBB.
Kandungan kimia herba pegagan yang dilaporkan dalam infusa (Pramono, 1992) dan ekstrak (Zhang et al., 2009) antara lain glikosida triterpen, flavonoid, dan fenolik. Pramono dan Ajiastuti (2004) telah menetapkan kadar asiatikosida dalam ekstrak etanolik 70% herba pegagan dari Tawangmangu (0,21 ± 0,30%), Kaliurang (0,98 ± 0,13%), dan Boyolali (1,34 ± 0,20%). Sondari dkk. (2010) ikut membuktikan dengan HPLC kadar asiatikosida C. asiatica yang berasal dari Solo, Lembang, dan Bogor dalam ekstrak etanolik sebesar 2,91%; 2,75; dan 2,79%, sementara dalam ekstrak metanolik sebesar 2,80%; 2,68%, dan 2,82%. Identifikasi dan kuantifikasi triterpenoid (sentelloid) dalam ekstrak etanolik daun pegagan, meliputi saponin (asiatikosida dan madekasosida) dan sapogenin (asam asiatat dan asam madekasat) dilakukan secara KLT densitometri dengan validasi metode oleh James and Dubery (2011).
Berdasarkan penelusuran pustaka yang telah diuraikan, penetapan kadar asiatikosida masih terbatas pada ekstrak dan belum dilakukan pada hasil fraksinasi ekstrak. Demikian halnya dengan uji hipotensif pegagan yang pernah dilakukan pada hewan non-rodent (kucing dan anjing), namun belum pernah dilakukan pada hewan rodent seperti tikus atau mencit. Masalah utama yang belum diketahui
6 adalah kandungan kimia daun pegagan yang bertanggung jawab terhadap efek penurunan tekanan darah. Oleh karena itu, penelitian ini akan membuktikan apakah triterpenoid pegagan merupakan senyawa aktif yang berefek hipotensif dengan menguji efek penurunan tekanan darah fraksi kloroformik daun pegagan yang kaya triterpenoid pada tikus terinduksi fenilefrin.
3. Urgensi Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan landasan saintifik tentang metode pemisahan kandungan fitokimia, standardisasi spesifik untuk menetapkan kadar senyawa aktif dan uji pra-klinik untuk mengetahui senyawa aktif daun pegagan yang berefek hipotensif. Pembuktian ilmiah (evidence based) berbasis penelitian ini dilakukan untuk mendukung program saintifikasi jamu, memberikan landasan ilmiah penggunaan ramuan antihipertensi dalam uji klinis, serta mendasari penerapan obat tradisional dalam pelayanan kesehatan di masyarakat.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:1. memisahkan fraksi triterpenoid ekstrak etanolik 70% daun pegagan dari fraksi flavonoid dengan cara fraksinasi menggunakan kloroform.
2. menetapkan kadar asiatikosida dalam fraksi kloroformik ekstrak etanolik daun pegagan (FKDP) secara KLT densitometri.
3. menguji efek hipotensif FKDP pada tikus terinduksi fenilefrin.