• Tidak ada hasil yang ditemukan

WAJAH FONFLIK DALAM ORGANISASI : PENGUASAAN MANAJEMEN KONFLIK OLEH PEMIMPIN. Fitri Nugraheni *) Abstract

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "WAJAH FONFLIK DALAM ORGANISASI : PENGUASAAN MANAJEMEN KONFLIK OLEH PEMIMPIN. Fitri Nugraheni *) Abstract"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

WAJAH FONFLIK DALAM ORGANISASI : PENGUASAAN MANAJEMEN KONFLIK OLEH PEMIMPIN

Fitri Nugraheni *) Abstract

Conflict will always exists in the organizational life and the fenomena of the conflict is universal. Different leader will have different opinion and views in facing the conflict. Some of them prefer to avoiding conflict and the others tend to manage it well. The former consider that conflict has the same meaning with: disfunctional, violence, destruction, irrationality, negative, and it’s gonna make the decreasing of the organizational performance. The later say that confict is avoidable, so all they have to do is how to make that conflict become a motivator to increase the organizational performance. Too much conflict or too little can inhibit creativity. Poorly managed conflict can do the same. But when conflict is well managed, problems can be resolved effectively.

Keywords:conflicts, conflict management, role of leader A. Pendahuluan

Organisasi sebagai suatu sistem yang terdiri dari bermacam-macam komponen-komponen (subsistem) yang saling terkait dan berhubungan, serta saling bergantung (interdependence) satu sama lain dan dalam proses kerjasama untuk mencapai suatu tujuan tertentu (Kast dalam Hakim, 2007). Terciptanya keselaran kerja dalam berjalannya roda kegiatan organisasi bisa terwujud jika individu dan kelompok yang ada dalam organisasi tersebut menciptakan suatu kerjasama yang saling mendukung satu sama lain, menuju pencapaian tujuan organisasi. Dalam proses interaksi antar subsistem, pasti terjadi suatu ketidakselarasan maupun ketidakcocokan antar individu yang merupakan anggota organisasi. Ketidakcocokan tersebut pada ujungnya akan memunculkan suatu ketegangan yang menciptakan suatu konflik. Setiap saat ketegangan dapat muncul, baik antarindividu maupun antarkelompok dalam organisasi. Banyak faktor yang melatarbelakangi terjadinya ketegangan maupun ketidakcocokan tersebut, antara lain: sifat pribadi yang berbeda, komunikasi yang buruk, adanya perbedaan nilai, dan sebagainya. Perbedaan-perbedaan inilah yang akhirnya membawa organisasi ke dalam suasana konflik (Hakim, 2007).

(2)

Seperti yang diungkapkan oleh Mangkuprawira (2007) bahwa nampaknya fenomena konflik bersifat universal. Konflik sepertinya analog dengan sesuatu yang negatif, timbulnya stress, dan kekerasan fisik maupun nonfisik.Sebagaian besar dari kita masih memandang konflik sebagai hal yang harus dihindari bukan sebagai realita yang harus di-manage. Padahal dinamika kehidupan berorganisasi dalam bentuk, jenis dan ukuran apapun, pasti mengenal konflik dalam tubuhnya. Kita perlu mempersepsi konflik sebagai realita yang tidak perlu dihindari apalagi ditakuti sehingga bisa membuat kehidupan organisasi menjadi stagnan. Sebaliknya konflik harus diterima sebagai “mesin” dinamika organisasi yang harus dikelola secara cerdas, karena dalam kenyataannya, konflik tidak selamanya bersifat destruktif.

Mengelola konflik merupakan salah satu kunci utama dalam meraih kinerja yang optimal dalam setiap organisasi. Namun sering dalam praktik di lapangan, persepsi demikian ini tampaknya masih timpang. Selama ini organisasi yang tanpa konflik selalu dipandang sebagai kondisi yang ideal dan harmonis. Jarang sekali kita memandang konflik sebagai “vitamin” kehidupan organisasi, tetapi justru sebagai virus pembawa “penyakit”. Padahal jika konflik dikelola secara cerdas, maka akan sangat dekat korelasinya dengan kehidupan organisasi yang dinamis dan efektif. Bagaimana mungkin sebuah organisasi yang hidup tanpa konflik dapat mengalami dinamika yang membangun (Supadi, 2007).

Konflik dapat menjadi masalah serius dalam setiap organisasi, tanpa peduli apapun bentuk dan tingkat kompleksitas organisasi tersebut. Konflik tersebut mungkin tidak membawa kematian bagi organisasi, tetapi pasti dapat menurunkan kinerja oerganisasi terebut, jika konflik tersebut dibiarkan berlarut-larut tanpa penyelesaian (Hakim, 2007). Dalam hal inilah peran pemimpin sangat menentukan, bagaimana pemimpin itu dpat mengelola konflik dengan baik, bahkan bisa menjadikannya sebagai hal sesuatu yang dapat memacu motivasi dan bukan menurunkan tingkat kinerja bawahan. Oleh karena itu keahlian pemimpin dalam mengeloal konflik sangat diperlukan dalam sebuah organisasi.

Dalam makalah ini akan disajikan dua hal penting dalam konteks konflik dalam organisasi, yaitu: faktor penyebab munculnya konflik dan model pengelolaan konflik.

B. Pembahasan 1. Definisi Konflik

(3)

Berbagai macam definisi konflik yang dikemukakan oleh para ahli, diantaranya adalah Robbins (2001) yang menyatakan bahwa konflik merupakan suatu hal yang dilakukan satu pihak yang menimbulkan ketidaksenangan pihak yang lain. Konflik merupakan ketidaksetujuan antara individu maupun kelompok dalam organisasi yang terjadi karena adanya kebutuhan dari sumber daya yang terbatas, adanya perbedaan status, tujuan, kepentingan, atau budaya (Stoner, 1989). Jadi secara umum, konflik merupakan perilaku anggota organisasi yang dilakukan berbeda dengan anggota lainnya (Supadi, 2007).

a. Pandangan terhadap Konflik

Robbins (2001) mengemukakan bahwa pandangan terhadap konflik mengalami perubahan dan terbagi dalam tiga pandangan, yaitu:

1) Pandangan Tradisional (Traditional View)

Pandangan ini menganggap bahwa semua konflik adalah buruk, merugikan, dan harus dihindari. Dan untuk memperkuat konotasi negatifnya, konflik disinonimkan dengan kekerasan, destruktif, dan tidak masuk akal.

2) Pandangan Hubungan Manusia (Human Relations View)

Pandangan ini menyatakan bahwa konflik merupakan suatu hal yang wajar dan alami dalam setiap organisasi. Konflik tidak dapat dihindari maupun disingkirkan sehingga kelompok ini menerima keberadaan konflik sejauh konflik tersebut dapat membawa manfaat kerja.

3) Pandangan Interaksionis (Interactionist View)

Dalam pandangan ini, pimpinan justru mendorong terjadi konflik karena adanya anggapan bahwa kelompok yang tampaknya kooperatif, tenang, dan damai cenderung memiliki sifat apatis, statis, dan minim daya tangkap. Mangkuprawira (2007) menambahkan bahwa konflik diciptakan untuk memotivasi anggota berinovasi, inisiatif, dan kreatif, sehingga pimpinan mempertahankan tingkat minimum konflik agar kelompok atau bawahan dapat bertahan hidup, swakritik dan kreatif.

b. Jenis Konflik

Robbins (2001) membagi konflik menjadi dua, yaitu: konflik fungsional (Functional Conflict) dan konflik disfungsional (Disfunctional Conflict). Konflik fungsional adalah konflik yang meningkatkan kinerja dan mendukung pencapaian tujuan organisasi, sedangkan konflik disfungsional merupakan konflik yang menurunkan kinerja dan menghalangi pencapaian tujuan organisasi.

(4)

Pembedaan antara konflik fungsional dan disfungsional tidak jelas atau tidak tegas. Sangat mungkin ketika suatu kelompok menganggap suatu konflik adalah fungsional, tetapi kelompok lain menganggap konflik itu adalah disfungsional. Kriteria yang membedakan antara konflik fungsional dan disfungsional adalah dampak konflik terhadap kinerja organisasi. Jika konflik tersebut meningkatkan kinerja kelompok, meskipun kurang memuaskan individu, konflik tersebut dikatakan fungsional. Sebaliknya jika konflik tersebut memuaskan individu tetapi menurunkan kinerja kelompok, maka konflik dikatakan disfungsional.

Konflik dapat dibagi pula menurut keterlibatan individu didalamnya. Menurut Robbins (2001), konflik dibedakan menjadi enam, yaitu:

1) Konflik dalam Diri Individu (conflict within the individuals). Konflik yang terjadi bila seorang individu menghadapi ketidakpastian tentang pekerjaan yang dilaksanakannnya atau individu tersebut diharapkan untuk melakukan tugas diluar kemampuannya.

2) Konflik Antar-Individu (conflict among individuals). Konflik ini terjadi dalam satu organisasi, yang diakibatkan leh perbedaan-perbedaan kepribadian. Konflik ini juga terjadi dari adanya konflik antarperanan (misalnya antara pimpinan dan bawahan).

3) Konflik antara Individu dan Kelompok (conflict among individuals and group). Konflik yang berhubungan dengan cara individu menghadapi tekanan yang dipaksakan oleh kelompok kerja mereka (misalnya, individu yang dihukum kelompok kerja mereka karena melanggar norma-norma kelompok).

4) Konflik antar Kelompok dalam Organisasi yang Sama (conflict among groups in the same organization), terjadi karena adanya pertentangan kepentingan antar kelompok.

5) Konflik antar Organisasi (conflict among organizations), timbul akibat bentuk persaingan suatu organisasi yang berdampak negatif bagi organisasi lain. Misalnya: perubutan sumber daya yang sama. Konflik ini mengarahkan timbulnya pengembangan produk baru, teknologi, dan jasa.

6) Konflik antar Organisasi yang Berbeda (conflict among individuals in different organizations). Konflik ini terjadi sebagai akibat sikap atau perilaku dari anggota suatu organisasi yang berdampak negatif bagi anggota organisasi lain. Misalnya: seorang manajer public relation yang menyatakan keberatan atas pemberitaan yang dilansir seorang jurnalis (Hakim, 2007).

Handoko (2007) membagi konflik menjadi empat macam, yang dilihat dari daerah struktural, yaitu:

(5)

1) Konflik Hirarki. Yaitu konflik antara berbagai tingkatan organisasi. Misalnya manajer tingkat menengah konflik dengan personalia penyelia, dewan direktur berkonflik dengan manajer puncak. Atau secara umum terjadi konflik antara manajemen dan karyawan.

2) Konflik Fungsional, merupakan konflik antara berbagai departemen fungsional organisasi. Misalnya: konflik antara departemen produksi dan keuangan dalam suatu organisasi.

3) Konflik Lini-Staf, adalah konflik yang terjadi antara lini dan staf. Hal ini sering merupakan hasil dari adanya perbedaan-perbedaan yang melekat pada peronalia lini dan staf.

4) Konflik Formal-Informal. Konflik ini terjadi antara organisasi formal dan informal. Misalnya: lembaga hukum pemerintah berkonflik dengan suatu LSM yang berdemo.

2. Faktor Penyebab Konflik

Konflik disebabkan oleh banyak faktor. Schermerhorn (2000) mengungkapkan bahwa kondisi-kondisi di bawah ini dapat memicu terjadinya konflik, yaitu:

1) Berperan ganda. Adanya ketidakjelasan harapan organisasi dan ketidakpastian tugas menyebabkan orang akan bekerja pada tujuan yang berbeda.

2) Keterbatasan sumber daya. Dengan membagi sumber daya dengan yang lain ataupun bersaing langsung untuk mendapatkan alokasi sumber daya memicu terjadinya konflik, khususnya bila sumber daya yang ada jumlahnya terbatas.

3) Ketergantungan antar pekerjaan. Jika individu atau kelompok tergantung satu sama lain dalam rangka penyelesaian tugas, maka konflik akan sering timbul.

4) Persaingan pencapaian sasaran organisasi. Sasaran dan sistem kompensasi yang tidak dirancang dengan baik akan menyebabkan individu maupun kelompok dapat berkonflik.

5) Ketidaksamaan struktur organisasi. Perbedaan dalam struktur organisasi maupun karakteristik orang-orang yang ditempatkan dapat mengembangkan konflik yang disebabkan karena ketidaksesuaian pendekatan yang digunakan dalam melaksanakan pekerjaan.

6) Konflik yang terjadi sebelumnya dan belum terpecahkan. Suatu konflik yang belum terselesaikan secara tuntas di waktu yang akan datang dapat menyebabkan konflik sejenis.

Pendapat lain mengenai faktor penyebab terjadinya konflik dalan organisasi dikemukakan oleh Supadi (2007), yang merincinya sebagai berikut :

1) Saling ketergantungan tugas. Ini terjadi bila dua atau lebih unit kerja saling tergantung untuk kerjasama, informasi, ketaatan atau kegiatan koordinatif yang lain.

(6)

2) Ketergantungan satu arah. Hal ini terjadi bila satu unit kerja secara unilateral tergantung dari unit kerja lain.

3) Diferensiasi horisontal yang tinggi. Ini terjadi bila unit-unit kerja memiliki tujuan organisasi, waktu dan filosofi yang berbeda, seperti antara unit produksi, pemasaraan, dan keuangan.

4) Formalisasi yang rendah. Ini terjadi bila tidak ada pedoman, manual, dan standarisasi, maka perselisihan mudah timbul.

5) Kelangkaan sumber-sumber. Ini terjadi bila unit kerja tergantung dari fasilitas, tenaga, dana, dan anggaran yang terbatas.

6) Perbedaan kriteria evaluasi. Ini terjadi bila unit kerja dinailai prestasinya secara terpisah dan bukan atas prestasi bersama. Bisa terjadi subyektivitas dalam penilaian.

7) Pembuatan keputusan bersama. Proses pembuatan keputusan bersama dapat menumbuhkan peluang ketidakcocokan.

8) Heterogenitas anggota. Perbedaan nilai, pendidikan, latar belakang merupakan potensi konflik. 9) Ketidakselarasan status, merupakan peranan suatu profesi dalam suatu organisasi yang tidak sesuai

dengan statusnya secara umum.

10)Ketidakpuasan. Perasaan ketidakadilan atas perlakukan bisa menimbulkan ketidakpuasan dan konflik.

11)Distorsi komunikasi, adalah hambatan, ketidakjelasan, dan penahanan serta pemutarbalikan informasi baik sengaja maupun tidak sengaja.

Berbeda dengan Schermerhorn yang membagi faktor penyebab konflik menjadi enam, Robbins (2001) menyatakan bahwa faktor penyebaab terjadinya konflik terbagi menjadi tiga kategori, yaitu: (1) komunikasi. Yang dimaksud disini adalah komunikasi yang buruk yang dapat menimbulkan kesalahpahaman antara pihak-pihka yang terlibat, sehingga bisa menjadi sumber konflik, (2) struktur. Istilah struktur dalam hal ini mencakup artian ukuran (kelompok), derajat spesialisasi yang diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi (wilayah kerja), derajat ketergantungan antar kelompok, serta gaay kepemimpinan. Penelitian menunjukkan bahwa ukuran kelompok dan derajat spesialisasi merupakan variabel pendorong yang memicu terjadinya konflik. Makin besar kelompok dan makin terspesialisasi kegiatannya, maka semakin besar pula peluang terjadinya konflik Hakim, 2007), dan (3) variabel pribadi. Faktor pribadi dalam hal ini meliputi: sistem nilai yang dimiliki individu, karakteristik kepribadian yang membuat individu itu unik dan bebrbeda dengan individu lain

(7)

(idiosyncrasies). Misalnya individu yang sangat otoriter, dogmatiok, dan memandang rendah orang lain, merupakan sumber konflik yang potensial.

3. Sikap Pemimpin dalam Menghadapi Konflik

Kreitner dalam Hakim (2007) menyebutkan bahwa pimpinan organisasi harus proaktif untuk mengidentifikasikan kondisi organisasi, dan harus segera mengambil tindakan ketika terjadi konflik terbuka atau konflik yang nyata (manifest conflict). Dengan cara seperti diharapkan konflik tidak meluas ke seluruh organisasi dan akhirnya mempengaruhi kinerja karyawan. Untuk itulah, pemimpin harus memiliki kemampuan untuk mengelola konflik. Sehingga konflik tidak menjadi faktor yang mengancam keberlangsungan hidup organisasi, tetapi menjadi faktor yang fungsional untuk meningkatkan kinerja organisasi.

Para pemimpin menghabiskan banyak waktu dan energi untuk menangani konflik. Upaya penanganan konflik sangat penting dilakukan. Karena setiap jenis perubahan dalam suatu organisasi cenderung mendatangkan konflik. Kegagalan dalam menangani konflik dapat mengarah pada akibat yang mencelakakan.

Uraian dibawah ini akan ditampilkan beberapa gaya dalam pengelolaan konflik yang harus dikuasai oleh seorang pemimpin, salah satunya menurut Schermerhorn (2000) yang mengemukakan lima gaya, yaitu:

1) Metode Penghindaran (avoidance). Metode ini dilakukan pemimpin dengan menjadi tidak kooperatif dan tidak assertif, menyembunyikan ketidaksetujuan, menarik diri dari situasi dan tetap netral. Taktik ini cocok digunakan untuk menyelesaikan masalah yang remeh, atau biaya yang dikeluarkan untuk konfrontasi jauh lebih besar dari keuntungan ang akan diperoleh. (Hakim, 2007) 2) Metode Sama Rata (smoothing). Seorang pemimpin yang bergaya smoothing lebih memusatkan

perhatian pada upaya untuk memuaskan pihak lain daripada diri sendiri. Dia menjadi kooperatif tetapi tidak assertif, membiarkan pihak lain membuat aturan, yang tujuannya untuk menpertahankan keharmonisan organisasi.

3) Metode Kompetisi (competition). Ditandai dengan adanya orientasi pada diri sendiri yang tinggi, dan rendahnya kepedulian terhadap kepentingan orang lain, mendorong untuk menggunakan taktik :saya menang, kamu kalah”, serta menekan pihak lain dengan wewenang yang dimiliki.

(8)

4) Metode Kompromi (compromise). Gaya ini menjadikan seseorang menjadi kooperatif dan assertif pada tingkat yang sedang, yang secara seimbang memadukan antara kepentingan sendiri dan kepentingan pihak lain.

5) Metode pemecahan masalah (problem solution). Metode ini melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan untuk duduk bersama, mengidentifikasi masalah kemudian mencari solusi dimaan semua pihak diuntungkan.

Berbeda dengan strategi manajemen konflik yang dikemukakan oleh Suryanto (2007), bahwa sebagai pemimpin harus melakukan sembilan teknik untuk mengelola konflik, yaitu:

1) Mengajak bawahan yang berkonflik pada tujuan yang lebih tinggi

2) Memperluas sumber daya yang ada, sebab konflik bisa terjadi karena kelangkaan sumber daya, dan banyak pihak yang membutuhkannya.

3) Teknik penghindaran. Umum dilakukan oleh banyak orang, karena adanya pemikiran daripada ribut terus, lebih baik menghindar dan mencari aman.

4) Mencari tituik temu. Teknik ini berusaha mencari persamaan dan memperkecil perbedaan antara pihak yang berkonflik.

5) Kompromi. Ketika pemimpin melakukan kompromi, munkin masing-masing pihak tidak merasa puas terhadap keputusan itu. Manajemen konfli ini bisa efektif jika topik yang dikonflikkan bisa dibagi dua secara adil.

6) Memakai power/kekuasaan. Ini adalah cara terkuno dalam manajemen konflik. Ketika suatu pihak tidak mau menyudahi konflik, pemimpin dengan menggunakan kekuasaan bisa menyudahi konflik tersebut.

7) Mengubah sifat orang yang berkonflik. Metode ini efektif untuk jangka panjang, tetapi mengubah sifat orang sangat sulit.

8) Merubah struktur organisasi, sehingga unit-unit kerja tidak saling menyalahkan.

9) Menciptakan “musuh” bersama. Musuh disini bisa berupa pesaing agresif yang sengaja dimunculkan serta harus dihadapi dengan bersatu dan bukan terpecah belah.

Supadi (2007) mengemukakan bahwa bila konflik terlalu besar, maka akan perlu diturunkan intensitasnya, antara lain dengan cara:

1) Mempertegas atau menciptakan tujuan bersama. Perlunya dikembangkan tujuan kolektif di antara dua atu lebih unit kerja yang dapat dirasakan bersama.

(9)

2) Meminimalkan kondisi ketidaktergantungan, menghindari terjadinya eksklusivisme diantara unit-unit kerja melalui kerjasama yang sinergis.

3) Memperbesar sumber daya organisasi sehingga mencukupi kebutuhan seluruh organisasi. 4) Membentuk forum bersama untuk mendiskusikan dan menyeleaikan masalah bersama. 5) Membentuk sistem banding, dimana konflik diselesaikan melalui mediator.

6) Pelembagaan kewenangan formal, sehingga pemimpin memiliki wewenang untuk menyelesaikan konflik dan mengambil keputusan antara pihak yang berkonflik.

7) Meningkatkan intensitas interaksi antar unit kerja, sehingga tercipta komunikasi dan kerjasama yang baik.

8) Me-redesign kriteria evaluasi dengan cara mengembangkan ukuran prestasi yang dianggap adil dan acceptable dalam menilai kemampuan, promosi, dan balas jasa.

C. Kesimpulan

Pandangan seputar konflik makin berkembang. Sering kita temukan tentang sikap pemimpin yang pro dan kontra dalam memandang konflik yang terjadi di tubuh iorganisasinya. Ada pemimpin yang yang memandang konflik secara negatif dan harus dihindari atau bahkan dihilangkan sama sekali karena konflik mengindikasikan adanya ketidakberesan dalam organisasi yang nantinya dirasa akan dapat memecah belah organisasi. Pandangan yang berbeda terhadap konflik beranggapan bahwa konflik tidak mungkin dihindari. Yang menjadi point disini adalah membuat agar konflik tersebut tidak mengganggu stabilitas kinerja organisasi. Pimpinan yang setuju dengan adanya konflik beranggapan bahwa jika pihak-pihak yang berkonflik dapat bersikap dewasa dan percaya diri, maka masalah yang menjadi sumber konflik pasti dapat diselesaikan.

Pandangan-pandangan umum yang berlaku selama ini dimana konflik ditempatkan dalam destructive zone perlu direformasi. Konflik yang nyata bersifat destruktif harus segera dicarikan solusi yang tepat, sebaliknya konflik yang bersifat positif harus di-manage secara cerdas dan profesional agar konflik ini dapat menstimuli peningkatan kinerja dan dinamika organisasi. Tanpa konflik, akan ada rasa tidak memerlukan perubahan dan kinerja menjadi stagnan. Jadi yang dibutuhkan seorang pemimpin disini adalah bagaimana mengelola konflik sehingga konflik tersebut dapat dipertahankan pada tingkatan yang optimal sehingga menciptakan situasi yang kondusif dalam organisasi.

Referensi

Dokumen terkait

 Kapasitas fiskal dalam mensubsidi harga premium di Indonesia sudah mencapai tahap maksimal dan tidak bisa ditambah lagi. Sehingga peningkatan harga minyak dunia

Panitia pengadaan telah melaksanakan Pembukaan Penawaran atas Pekerjaan Peningkatan jalan dalam kota Kecamatan Fena fafan (Lapen) dengan hasil sebagai berikut;. Data

ekstra untuk menyelesaikan penelitian yang akan saya gunakan untuk tesis ini, karena saat itu saya sedang hamil,” tutur Roisah Nawatila, ketika ditemui UNAIR NEWS

2373/2003 dated the 23rd day of December, 2002 and registered at the Kuching Land Registry Office on the 27th day of January, 2003 affecting all the right title share and interest

Pada Januari 2016, dalam kerangka proyek advokasi untuk perubahan yang didanai oleh EU, Pemerintah Kota Yogyakarta menjalin kerjasama dengan Humanity & Inclusion (HI) mendorong

Jika dia bisa melihat banyak huruf dengan baik maka akan masuk ke kotak 16 dan digolongkan buta warna penuh monokromat sel kerucut, jika tidak berarti akan masuk ke

Peneliti menentukan alur sebagi berikut: yang pertama akan diawali oleh peneliti sendiri yang akan meneliti tentang stres kerja dan faktor-faktor yang mempengaruhi

Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi bahan pertimbangan perusahaan dalam pengambilan keputusan dan untuk pengembangan dibidang sumber daya manusia dan