• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS RESIKO FINANSIAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV ANALISIS RESIKO FINANSIAL"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

31

A. Gambaran

Umum

Tentang Obligasi Negara

1. Surat Utang Negara di Indonesia a). Jenis Surat Utang Negara

(1) Obligasi Negara Berdenominasi Rupiah

Obligasi Negara berdenominasi rupiah dapat dipisahkan ke dalam beberapa jenis, yaitu:

• Obligasi berbunga tetap (fixed rate bonds – FR)

Obligasi jenis ini memiliki tingkat kupon yang ditetapkan pada saat penerbitan, dan dibayarkan secara periodik setiap 6 (enam) bulan. Berdasarkan posisi akhir tahun 2006, tingkat kupon obligasi jenis FR berkisar antara 9,250% sampai dengan 15%, yang terdiri dari 35 seri, dengan masa jatuh tempo berkisar antara tahun 2007 sampai 2026. Obligasi jenis FR dapat diperdagangkan dan dipindahtangankan kepemilikannya di pasar sekunder.

Termasuk ke dalam jenis FR adalah Surat Utang Negara Retail (ORI). Surat Utang Negara retail ialah surat utang negara yang dijual kepada investor individu melalui Agen Penjual, dengan volume minimum yang telah ditentukan. Penerbitan Surat Utang Negara ritel sangat bermanfaat bagi Pemerintah dalam hal memperluas basis

(2)

investor Surat Utang Negara. Di lain pihak investor individu dapat memiliki kesempatan untuk berinvestasi secara langsung dan dalam denominasi yang kecil, pada instrumen yang pembayaran pokok dan bunganya dijamin oleh Undang-Undang. Surat Utang Negara jenis ini telah diterbitkan sejak bulan Agustus 2006.

Grafik 4.1:

Komposisi Tradable bonds Tahun 2005 – 2006

(Komposisi Tradable Bond Tahun 2005)

Pada grafik 4.1 di atas komposisi tradable bond tahun 2005-2006 merupakan obligasi jenis FR mempunyai porsi sebesar 56,79% dari total obligasi negara yang berdenomiasi rupiah atau 50,36%% dari total tradable bonds atau sebesar Rp238,654 triliun per akhir Desember 2006 (rincian berbagai jenis Surat Utang Negara dapat dilihat pada Lampiran 1). Jumlah ini meningkat dari tahun 2005 yang sebesar 44,82% dari total tradable bonds.

(3)

(Komposisi Tradable Bond Tahun 2006)

Sumber: Diolah dari Data Bulanan Direktorat Surat Berharga Negara, Ditjen Pengelolaan Utang, Departemen Keuangan

• Obligasi berbunga mengambang (variable rate bonds–VR) Obligasi berbunga mengambang memiliki tingkat kupon yang ditetapkan secara periodik berdasarkan referensi tertentu. Dalam hal ini referensi yang digunakan ialah tingkat bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia) berjangka 3 bulan. Kupon dibayarkan secara periodik setiap 3 (tiga) bulan.

Sampai akhir tahun 2006, terdapat 21 seri VR yang masa jatuh temponya berkisar antara tahun 2007 sampai tahun 2020. obligasi jenis VR mempunyai risiko interest rate, mengingat penghitungan bunganya berdasarkan suku bunga SBI. Obligasi jenis VR dapat diperdagangkan dan dipindahtangankan kepemilikannya di pasar sekunder.

(4)

Obligasi jenis VR mempunyai porsi sebesar 43,03% dari total obligasi negara yang berdenomiasi rupiah atau 38,03% dari total

tradable bonds atau sebesar Rp180,186 triliun per akhir Desember 2006 sebagaimana tampak pada Grafik 4.1 (rincian berbagai jenis SUN dapat dilihat pada Lampiran 1). Jumlah ini menurun dari tahun 2005 yang sebesar 48,52% dari total tradable bonds.

Di tahun 2006 ini, rata-rata suku bunga kupon obligasi jenis VR adalah sebesar 11,68% atau lebih rendah (hanya) 0,72% dari obligasi jenis FR, dengan kisaran 12,40% sebagaimana tampak pada Lampiran 1.

• Obligasi Nilai Lindung (hedge bonds – HB)

Obligasi nilai lindung (HB) adalah obligasi yang diterbitkan dalam denominasi rupiah dengan pembayaran kupon dan pokok yang disesuaikan atau diindeks terhadap perubahan kurs IDR/USD yang berlaku. Apabila nilai tukar rupiah terhadap US$ pada saat jatuh tempo pembayaran melemah dibanding nilai tukar pada saat penerbitan, maka nilai nominal HB setelah diindeksasi akan meningkat sehingga meningkatkan jumlah pembayaran pokok dan bunga yang jatuh tempo, dan sebaliknya. Sesuai dengan terms and

condition-nya, pelunasan HB jatuh tempo dapat dilakukan dengan Obligasi Negara baru atau tunai. Tingkat kupon HB ditetapkan secara periodik berdasarkan referensi tertentu, yaitu SIBOR (Singapore Inter Bank Offered Rate) + margin 2%. Kupon

(5)

dibayarkan secara periodik setiap 3 (tiga) bulan sekali. Pada akhir tahun 2005 tidak terdapat lagi obligasi jenis ini. Obligasi seri HB telah dilunasi pada bulan Juni 2005. Obligasi jenis ini tidak dapat diperdagangkan.

• Surat Utang kepada BI (SU)

Dalam rangka program penjaminan perbankan dan BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), pada tahun 1998 dan 1999 Pemerintah menerbitkan empat seri SU,yaitu 001, 002, SU-003, dan SU-004, dengan total nominal sebesar Rp218,3 triliun.SU-001 dan SU-003 merupakan SU yang diterbitkan dalam rangka BLBI yang dikucurkan oleh Bank Indonesia saat krisis moneter tahun 1998/1999.SU-002 merupakan penyertaan modal negara pada Bank Ekspor Impor Indonesia. Sementara SU-004 merupakan surat utang yang diterbitkan dalam rangka program penjaminan Pemerintah.

Sesuai dengan term and condition awalnya, Obligasi jenis ini mempunyai tingkat bunga tetap sebesar 3% yang diperhitungkan atas pokok yang diindeks berdasarkan inflasi. Kupon dibayarkan secara periodik setiap 6 (enam) bulan sekali. Sementara pokok utang diamortisasi (dicicil) setiap enam bulan sekali secara proporsional atas dasar pokok yang telah diindeks. Pembayaran cicilan pokok dilakukan bersamaan dengan pembayaran bunga, dan dimulai setelah masa tenggang (grace period) berakhir.

(6)

Sebagai bagian dari penyelesaian BLBI, Pemerintah dan BI telah sepakat untuk mengganti SU-001 dan SU-003 dengan menerbitkan surat utang jenis baru yaitu SRBI (Special Rate Bank Indonesia) pada tanggal 7 Agustus 2003. Sementara untuk SU-002 dan SU-004, Pemerintah bersama dengan BI tengah membahasa proses restrukturisasinya.

Selain SU-0011, SU-002, SU-003 dan SU-004, Pemerintah juga menerbitkan SU-005 untuk pembiayaan kredit program. Obligasi ini jatuh tempo tahun 2009, dan memiliki tingkat kupon yang ditetapkan berdasarkan tingkat bunga SBI berjangka 3 bulan. SU-005 memiliki plafon sebesar Rp9,97 triliun, namun demikian jumlah realisasi yang menjadi utang pemerintah hanyalah jumlah dana yang sudah disalurkan dalam rangka pembiayaan beberapa skim kredit program, yang per posisi akhir tahun 2005 berjumlah Rp2,58 triliun.

• SRBI (Special Rate Bank Indonesia)

SRBI, yang lengkapnya SBRI-01/MK/2003, adalah surat utang yang diterbitkan oleh Pemerintah pada tanggal 7 Agustus 2003 sebagai pengganti SU-001 dan SU-003, dalam rangka penyelesaian bantuan likuiditas BI. Nilai nominal penerbitan SRBI adalah sebesar Rp144.536.094.294.530,00 atau sama dengan jumlah nominal SU-001 dan SU-003. SRBI jatuh tempo tahun 2033 dengan tingkat

(7)

kupon 0,1% setahun dihitung dari sisa pokok terutang yang dibayarkan secara periodik 2 (dua) kali setahun.

Pelunasan SRBI dapat bersumber dari surplus Bank Indonesia yang menjadi bagian Pemerintah dan akan dilakukan apabila rasio modal terhadap kewajiban moneter BI telah mencapai diatas 10%. Dalam hal rasio modal terhadap kewajiban moneter BI kurang dari 3%, maka Pemerintah akan membayar charge kepada Bank Indonesia sebesar kekurangan dana yang diperlukan untuk mencapai rasio modal tersebut.

(2) Obligasi Negara Berdenominasi Mata Uang Asing

Sepanjang tahun 2006, Pemerintah telah menerbitkan Obligasi Negara berdenominasi USD (Dollar Amerika) senilai US$1.000.000.000,00 pada tanggal 9 Maret 2006, yaitu INDO-17. Obligasi Negara ini jatuh tempo pada tanggal 9 Maret 2017 atau mempunyai time-to-maturity selama 11 tahun dan mempunyai tingkat kupon tetap sebesar 6,875% setahun. Seluruh seri Obligasi Negara berdenominasi dolar dapat diperdagangkan/ diperjualbelikan.

Obligasi jenis international bond ini mempunyai porsi sebesar 11,61% dari total obligasi yang dapat diperdagangkan (lihat Grafik 4.2) atau sebesar Rp55,000 triliun per akhir Desember 2006 (rincian obligasi jenis international bond dapat dilihat pada Lampiran 1). Jumlah ini meningkat dari tahun 2005 yang sebesar 7.92% dari total obligasi yang dapat diperdagangkan.

(8)

Grafik 4.2:

Komposisi Tradable Bonds Tahun 2005 – 2006

Tradable Bond Th. 2005 - Sumber: DJPU Diolah .

Tradable Bond 2006 - Sumber: DJPU - Diolah.

b). Saldo Surat Utang Negara dan Perubahannya

Surat Utang Negara dapat berubah saldonya akibat adanya penerbitan baru, pelunasan, pembelian kembali atau oleh sebab lainnya. Posisi Surat Utang Negara per 31 Desember 2005 dan per 31 Desember 2006 masing-masing

(9)

dapat dilihat pada Lampiran 1 dan Lampiran 2. Adapun ringkasan perubahan posisi Surat Utang Negara tahun 2006 adalah sebagai berikut:

Tabel 4.1:

Ringkasan Perubahan Posisi SUN per 31 Desember 2006 Surat Utang Negara 31 Des 2005 (juta Rp) 31 Des 2006 (juta Rp) Selisih (juta Rp) Seri FR 189.156.022 238.564.501 49.408.479 Seri VR 210.683.330 180.186.698 30.496.632 Obligasi Internasional*) 34.405.000 55.000.000 20.595.000 Non-tradable Securities 258.831.510 278.078.732 19.247.222 *) Kurs pada tanggal 31 Desember 2005 dan 31 Desember 2006 masing-masing

sebesar 9.235/USD dan Rp10.000/USD. Sumber: DJPU Diolah.

Berdasarkan tabel 4.1 di atas, ringkasan perubahan posisi Surat Utang Negara per 31 Desember 2006, dapat dilihat adanya perubahan yang cukup signifikan berupa meningkatnya porsi SUN berbunga tetap (FR) dan menurunnya porsi SUN berbunga mengambang (VR). Di lain pihak porsi SUN berdenominasi USD meningkat, yang menunjukkan naiknya risiko nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika.

c). Posisi Kepemilikan Obligasi Negara Tabel 4.2:

Posisi kepemilikan obligasi negara domestik per Desember 2006

Pemilik Jumlah (dlm triliun Rp)

Persentase (%)

Bank BUMN Rekap 153,68 37,73%

Bank Swasta Rekap 81,73 20,07%

Bank Non-Rekap 38,84 9,54%

Bank Pembangunan Daerah 2,84 0,70%

Bank Indonesia 7,47 1,83%

Reksadana 13,83 3,40%

Asuransi 33,09 8,12%

Asing 48,37 11,88%

(10)

Sekuritas 0,34 0,08%

Lain-lain 4,45 1,09%

Total 407,29 100,00%

Sumber: DJPU – Depkeu

Berdasarkan tabel 4.2 posisi kepemilikan obligasi negara domestik per Desember 2006, Obligasi Negara hanya dapat dijual kepada korporasi dan peminat obligasi di Indonesia kebanyakan masih didominasi oleh bidang usaha tertentu, misalnya sektor perbankan dan lembaga keuangan dengan porsi 68,04% dari total obligasi domestik yang diterbitkan oleh pemerintah. Jumlah ini menurun jika dibandingkan awal tahun 2006 yang sebesar Rp154,61 triliun. Sementara itu, masing-masing bidang usaha mempunyai karakteristik tertentu dalam manajemen investasinya.. Misalnya, untuk sektor perbankan dan lembaga keuangan cenderung berminat pada obligasi dengan year-to-maturity jangka pendek, sementara untuk industri manufaktur lebih cenderung untuk membeli obligasi dalam jangka panjang.

d). Struktur Jatuh Tempo dan Refinancing Risk Tahun 2006 Grafik 4.3:

Struktur Jatuh Tempo SUN yang Dapat Diperdagangkan per 31 Desember 2005

(11)

Sumber: DJPU Diolah

Mengacu pada perubahan yang terjadi, maka struktur jatuh tempo pokok SUN yang dapat diperdagangkan (tradable bonds), pada akhir tahun 2005, akhir bulan Desember 2006, dan perbandingannya adalah sebagai berikut:

Grafik 4.4:

Struktur Jatuh Tempo SUN yang Dapat Diperdagangkan per 31 Desember 2006

Sumber: DJPU Diolah

Grafik 4.5:

Perbandingan Struktur Jatuh Tempo SUN yang Dapat Diperdagangkan (31 Desember 2005 - 31 Desember 2006)

(12)

Sumber: DJPU Diolah

Berdasarkan grafik 4.3, 4.4 dan 4.5 di atas, dapat dilihat bahwa pengelolaan Surat Utang Negara tahun 2006 menunjukkan adanya upaya untuk menggeser porsi SUN yang jatuh tempo tahun 2007 sampai dengan 2009 ke tahun-tahun berikutnya. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi risiko pendanaan kembali (refinancing risk) pada periode tersebut. Adanya spike di tahun 2015 dan 2016 sebagaimana ditunjukkan pada posisi akhir tahun 2005, lebih disebabkan oleh penerbitan SUN berdenominasi valas yang jatuh tempo tahun 2015 dan 2016.

2. Beberapa Indikator Terkait Dengan Surat Utang Negara a). Tingkat Suku Bunga SBI 3 Bulanan

Tabel 4.3:

Suku Bunga SBI 3 Bulanan

Bulan Tahun 2004 Tahun 2005 Tahun 2006

Januari 8,15% 7,30% 12,91% Februari 7,70% 7,27% 12,92%

Maret 7,33% 7,31% 12,73%

April 7,25% 7,51% 12,65%

(13)

Juni 7,25% 8,05% 12,15% Juli 7,29% 8,45% 12,15% Agustus 7,31% 8,54% 11,36% September 7,31% 9,25% 11,36% Oktober 7,30% 12,09% 9,50% November 7,30% 12,69% 9,50% Desember 7,29% 12,83% 9,50% Sumber: www.bi.go.id.

Berdasarkan tabel 4.3 di atas suku bunga SBI selama tahun 2006, suku bunga SBI sempat berada diatas 12,40% (rata-rata tertimbang selama tiga tahun untuk bunga kupon obligasi jenis FR), yaitu antara bulan Januari sampai dengan Desember 2006.

Selama tiga tahun terakhir, kisaran suku bunga utang yang harus ditanggung oleh pemerintah yang berasal dari obligasi jenis VR ini adalah berkisar antara 7,24% hingga 12,93% setahun.

Namun demikian, Pemerintah memperkirakan rata-rata tingkat suku bunga SBI 3 bulan dalam tahun 2007 adalah sebesar 8,5%. Beberapa alasan yang diungkapkan oleh Pemerintah terkait dengan tingkat suku bunga SBI 3 bulan yang sebesar 8,5%, dituangkan dalam Nota Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran 2007 sebagai berikut:

“Dalam tahun 2007, sejalan dengan perkiraan menurunnya laju inflasi dan relatif stabilnya nilai tukar rupiah, suku bunga SBI 3 bulan diperkirakan akan menurun. Penurunan dalam tahun 2007 rata-rata suku bunga SBI 3 bulan diperkirakan sekitar 8,5%. (Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2007: 17).

(14)

b). Indonesian Government Securities Yield Curve (IGSYC) Tabel 4.5:

Besaran yield obligasi negara per 30 Desember 2006 Time to

Maturity Yield

Selisih yield dari

yield sebelumnya 1 9,283% 9,283% 2 8,859% ‐0,424%  3 8,829% ‐0,030%  4 9,203% 0,374%  5 9,432% 0,229%  6 9,584% 0,152%  7 9,708% 0,124%  8 9,771% 0,063%  9 9,851% 0,080%  10 9,944% 0,093%  11 10,044% 0,100%  12 10,137% 0,093%  13 10,203% 0,066%  14 10,247% 0,044%  15 10,248% 0,001%  16 10,258% 0,010%  17 10,315% 0,057%  18 10,379% 0,064%  19 9,483% ‐0,896% 

Sumber: DJPU – diolah

Berdasarkan tabel 4.5 besaran yield obligasi negara per 30 Desember 2006, struktur jangka waktu atas suku bunga (lebih populer dengan sebutan

yield curve) menurut Frank K. Reilly dan Keith C. Brown adalah:

“a static function that relates the term to maturity to the yield to maturity for a sample of bonds at a given point in time.”

Angka ini merepresentasikan permintaan besaran yield atas suatu jenis obligasi yang dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu. Di Indonesia, khususnya

(15)

untuk obligasi pemerintah diwakili oleh Indonesia Government Securities Yield

Curve (IGSYC). Kurva yang menggambarkan keinginan pasar terhadap tingkat

return (yield) dari obligasi pemerintah disesuaikan dengan jangka waktu jatuh temponya (time to maturity) pada suatu titik waktu.

Analisis Time to Maturity vs Indonesia Government Securities Yield

Curve (IGSYC) adalah analisis tentang titik manakah dari suatu obligasi pemerintah akan memberikan keuntungan yang lebih besar (menurut Pemerintah) sesuai dengan tujuan pemerintah itu sendiri. Sehingga untuk estimasi penerbitan tahun 2007 nanti akan diperoleh hasil yang optimal. Berikut disajikan data IGSYC per 31 Desember 2006:

Grafik 4.6

Time to maturity per 31 Desember 2006

Berdasarkan grafik 4.6 time to maturity per 31 Desember 2006 di atas, semakin lama time to maturity makin besar pula yield yang diminta. Namun, terkadang permintaan pasar tidak selamanya seperti itu. Selisih yield yang

(16)

diminta tidak selalu proporsional terhadap waktu. Agar lebih tampak selisih

yield relatif terhadap time to maturity.

Pada prinsipnya, struktur utang yang dibutuhkan pemerintah Indonesia saat ini adalah waktu jatuh tempo panjang dengan bunga relatif rendah. Sehingga, selisih yield yang relatif kecil terhadap waktu jatuh tempo terdapat pada year to maturity 8 tahun, 15 tahun, dan 16 tahun.

B. Risiko Beban Bunga (Interest Rate Risk)

Risiko beban bunga adalah risiko penerbitan obligasi berkaitan dengan perubahan besarnya beban bunga yang harus dibayar oleh penerbit obligasi akibat perubahan suku bunga pasar. Baik obligasi yang berbunga tetap (fixed rate) maupun obligasi yang berbunga mengambang (variable rate) memiliki risiko beban bunga sendiri-sendiri.

Logikanya, apabila suku bunga terlalu fluktuatif, maka obligasi jenis FR adalah instrumen yang paling menguntungkan bagi penerbit obligasi, sebaliknya, apabila fluktusi suku bunga tidak ekstrim (relatif stabil) atau bahkan menurun, maka obligasi jenis VR adalah yang paling menguntungkan.

Dalam pembahasan berikut tidak dibahas mengenai penerbitan obligasi berkaitan dengan pengembangan pasar sekunder, tetapi hanya semata-mata dibatasi pada sisi risiko finansialnya pada saat penerbitan (pasar perdana).

Dengan melihat fluktuasi basis pembayaran bunga yang telah lalu akan dapat diperkirakan rentang (ditunjukkan dengan standar deviasi) biaya bungan dari masing-masing jenis obligasi dan dengan memperhatikan biaya bunga tersebut pemerintah

(17)

dapat memilih apakah obligasi jenis VR atau FR yang lebih menguntungkan atau tidak bila diterbitkan pada suatu titik waktu (pasar perdana), dan apabila menerbitkan obligasi jenis tersebut, seberapa besar risiko/range beban bunga yang kemungkinan akan ditanggung oleh pemerintah. Tujuan estimasi ini sendiri adalah bahwa dengan melihat situasi pada tiga tahun terakhir, bagaimana seharusnya perlakuan obligasi jenis VR dan FR untuk penerbitan tahun 2007, terlepas dari tujuan campur tangan dalam mengembangkan dan mengendalikan pasar uang di Indonesia.

Suku bunga SBI, sebagai basis pembayaran bunga obligasi jenis VR, apabila kondisi makro ekonomi atau faktor-faktor yang mempengaruhi suku bunga SBI dalam kondisi yang stabil dan terkendali, seharusnya berada dibawah suku bunga pasar yang dijadikan basis penentuan bunga kupon obligasi jenis FR. Apabila dasar pembayaran bunga (suku bunga SBI) menunjukkan trend yang stabil atau menurun, maka penerbitan obligasi jenis VR akan sangat menguntungkan karena pada dasarnya obligasi negara jenis VR (dengan suatu pertimbangan investasi tertentu) selalu menawarkan suku bunga yang lebih rendah bila dibandingkan yield untuk obligasi negara jenis FR. Sebaliknya, apabila suku bunga SBI terlalu berfluktuasi atau ada kecenderungan meningkat di masa depan, tentunya penerbitan obligasi jenis VR justru akan meningkatkan beban/risiko pembayaran bunga.

a). Asumsi Suku Bunga SBI 3 Bulan Tahun 2007

Pembayaran bunga kupon obligasi jenis VR adalah berdasarkan suku bunga SBI 3 bulanan, dimana suku bunga tersebut berfluktuasi sesuai dengan perubahan indikator ekonomi makro. Indikator-indikator ekonomi makro yang mendominasi pergerakan suku bunga SBI, diantaranya adalah perubahan laju

(18)

inflasi, perubahan nilai tukar rupiah, dan perbedaan suku bunga di dalam dan di luar negeri, perubahan arus modal ke luar negeri, perubahan tingkat suku bunga riil domestik, perubahan jumlah uang yang beredar, dan lain sebagainya.

Perubahan laju inflasi sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah pasokan bahan/produk tertentu (misalnya bahan makanan), perubahan nilai tukar rupiah, arus distribusi barang kebutuhan pokok masyarakat, harga minyak dunia, perubahan harga bahan/produk tertentu terkait dengan kebijakan pemerintah terhadap produk tersebut (misalnya perubahan harga BBM), jumlah uang yang beredar, dan lain sebagainya. Adapun nilai tukar rupiah juga dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: jumlah cadangan devisa Indonesia, neraca pembayaran Indonesia, peristiwa-peristiwa tertentu baik di dalam maupun di luar negeri (misalnya terjadi huru-hara atau demonstrasi besar-besaran atau aksi borong mata uang asing tertentu sehingga meningkatkan tekanan pada nilai tukar rupiah).

Oleh karena faktor-faktor yang mempengaruhi fluktuasi tingat suku bunga SBI 3 bulanan sangatlah banyak, sehingga sangat sulit dilakukan prediksi yang tepat atas tingkat suku bunga tersebut. Maka, agar tercipta keyakinan yang cukup memadai, perkiraan tingkat suku bunga SBI 3 bulanan tahun 2007 adalah sebagaimana yang tercantum dalam Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran 2007 yang diperkirakan sebesar 8,5 persen.

1. Risiko Beban Bunga Tahun 2006

(19)

Trend Suku Bunga SBI 3 Bulan Tahun 2006

Sumber: Diolah dari www.bi.go.id.

Berdasarkan grafik 4.7, secara keseluruhan trend suku bunga SBI 3 bulan tahun 2006 mengalami penurunan, bahkan sempat menyentuh level 10,00 persen pada akhir tahun 2006. Pada tahun ini, rata-rata tertimbang suku bunga kupon obligasi jenis VR adalah sebesar 11,68 persen atau lebih rendah 0,72 persen dari obligasi jenis FR, dengan kisaran bunga antara 11,36 persen sampai dengan 12,92 persen. Selama tahun 2006 pula, suku bunga SBI sempat berada diatas 12,40 persen (rata-rata tertimbang selama tiga tahun untuk bunga kupon obligasi jenis FR), walaupun pada akhirnya secara berangsur-angsur mengalami penurunan hingga akhir tahun 2006.

Obligasi jenis VR mempunyai porsi sebesar 43,03 persen dari total obligasi negara yang berdenomiasi rupiah atau 38,03 persen dari total tradable

bonds atau sebesar Rp180,186 triliun per akhir Desember 2006 (rincian berbagai jenis SUN dapat dilihat pada Lampiran 1). Jumlah ini menurun dari tahun 2005 yang sebesar 48,52 persen dari total tradable bonds. Sehingga

(20)

terdapat kontribusi untuk menurunkan risiko beban bunga terutama akibat tertekannya suku bunga SBI 3 bulan.

Sampai dengan akhir tahun 2007, suku bunga SBI terus mengalami penurunan, yang berindikasi pada membaiknya situasi ekonomi makro. Tentunya hal seperti inilah yang diharapkan dari penerbit obligasi, karena dengan semakin menurunnya suku bunga SBI maka akan semakin memperingan tekanan fiskal khususnya pada pembiayaan APBN dalam rangka pembayaran bunga obligasi, yang berarti pula akan menurunkan interest rate

risk khususnya pada obligasi jenis VR dikarenakan beban bunga yang harus dibayar oleh pemerintah menjadi semakin rendah.

Selama tiga tahun terakhir, kisaran bunga utang yang harus ditanggung oleh pemerintah yang berasal dari obligasi jenis VR ini adalah berkisar antara 7,24 persen hingga 12,93 persen setahun dengan fluktuasi (standar deviasi) suku bunga SBI selama tiga tahun terakhir sebesar 2,34 persen dan rata-rata selama tiga tahun terakhir sebesar 9,38 persen Artinya rata-rata suku bunga tertinggi adalah sebesar 11,72 persen dan terendah adalah sebesar 7,04 persen. Bila diselisihkan antara rata-rata suku bunga tertinggi dan terendah adalah sebesar 4,68 persen. Angka inilah yang sebenarnya merupakan rentang risiko perubahan suku bunga pada obligasi jenis VR.

2. Simulasi Penerbitan Obligasi Domestik Tahun 2007 Dengan Mempertimbangkan Interest Rate Risk

Diasumsikan bahwa simulasi ini bukan dalam rangka membentuk

(21)

Indonesia, tetapi hanya melihat penerbitan obligasi negara dari sisi cost and risk khususnya risiko finansial sehingga dapat menekan cost of borrowing. Selain itu, asumsi-asumsi yang digunakan antara lain:

• Bahwa pemerintah membutuhkan dana untuk pembiayaan defisit APBN sejumlah Rp40,6 triliun, sesuai dengan Pembiayaan Neto yang disetujui oleh DPR yang berasal dari SUN untuk Tahun Anggaran 2007.

• Asumsi bunga kupon yang dipakai untuk obligasi jenis VR adalah perkiraan rata-rata suku bunga SBI 3 bulanan sesuai dengan Nota Keuangan dan RAPBN Tahun Anggaran 2007 yaitu sebesar 8,5 persen.

• Sedangkan bunga kupon obligasi jenis FR adalah sebesar rata-rata yield IGSYC per 30 Desember 2006 dengan tenor antara 3 tahun sampai 19 tahun, yaitu sebesar 9,030 persen.

• Rata-rata suku bunga SBI sebesar 9,49 persen (suku bunga SBI setelah dirata-rata selama empat tahun dari tahun 2004 – 2007) dan dengan standar deviasi sebesar 2 persen, maka suku bunga terendah adalah sebesar 7,49 persen dan yang tertinggi adalah sebesar 11,49 persen.

Logika risk and cost suatu sekuritas bagi pemerintah merupakan kebalikan cara pandang investasi dari sisi investor, dimana investor lebih memandang sisi

risk and return. Dengan membandingkan risk and return tersebut diperoleh komposisi tertentu yang menghubungkan risiko dan imbal hasilnya pada titik yang optimum.

(22)

Rumus yang digunakan untuk mengetahui hubungan risk and return dikaitkan dengan komposisinya adalah rumus untuk mencari garis efficiency

frontier. Sumbu X diwakili oleh standar deviasi (mewakili range fluktuasi) dari

return gabungan dua sekuritas, sehingga rumus X adalah σ = Var(portfolio).

Variance portofolio gabungan dua sekuritas diperoleh dari:

σ

σ

σ

2 2 , 2 2 2 ) (portfolio

x

A A

x

A

x

B AB

x

B B Var = + + .

Secara berurutan, XA; σA; σA,B; XB; dan σB; adalah porsi obligasi jenis VR

pada suatu penerbitan X; standar deviasi dari suku bunga tiga tahun terakhir ditambah rata-rata proyeksi suku bunga SBI tahun 2007; standar deviasi gabungan dari obligasi jenis FR dan VR; porsi obligasi jenis FR pada suatu penerbitan X; dan terakhir adalah standar deviasi bunga kupon obligasi jenis FR.

Sedangkan sumbu Y diwakili oleh expected cost gabungan dari dua sekuritas yang dirumuskan dengan Exp.Cost=(IAXA)+(IBXB). IA dan XA

masing-masing adalah proyeksi cost setelah ditambah suku bunga SBI tahun 2007 dan porsi obligasi jenis VR pada suatu penerbitan X, sedangkan IB dan XB

adalah rata-rata kupon FR setelah ditambah Indonesia Government Securities

Yield Curve per 31 Desember 2006 untuk tenor 3 sampai 19 tahun.

Dari data suku bunga SBI tiga tahun terakhir, proyeksi rata-rata suku bunga SBI tahun 2007, dan IGSYC per 31 Desember 2006, serta dengan menggunakan rumus mencari efficiency frontier diperoleh hasil dan grafik sebagai berikut:

(23)

Grafik 4.8:

Expected Risk and Cost Tahun 2007 – Interest Rate Risk

Dari grafik 4.8 di atas, titik-titik A sampai K masing-masing mewakili suatu skenario penerbitan obligasi dengan porsi VR dan FR tertentu serta pada titik-titik tersebut ditunjukkan proyeksi dari expected cost dan rentang perubahan yang mungkin terjadi berdasarkan data historis beberapa tahun terakhir. Hasil lengkap dari perhitungan di atas adalah sebagai berikut:

Tabel 4.6:

Expected Risk and Cost Tahun 2007 – Interest Rate Risk

Titik Porsi VR Porsi FR Standar Deviasi Cost Portofolio Expected Cost A 0 1 0,00% 9,03% B 0,1 0,9 0,22% 9,08% C 0,2 0,8 0,45% 9,12% D 0,3 0,7 0,67% 9,17% E 0,4 0,6 0,90% 9,21% F 0,5 0,5 1,12% 9,26% G 0,6 0,4 1,34% 9,31% H 0,7 0,3 1,57% 9,35% I 0,8 0,2 1,79% 9,40% J 0,9 0,1 2,02% 9,44% K 1 0 2,24% 9,49%

(24)

Jika dilihat dari sisi investor pada obligasi negara. Pada Grafik 4.8, sumbu vertikal adalah standar deviasi imbal hasil gabungan dari dua jenis sekuritas yaitu obligasi jenis FR dan VR, sedangkan sumbu horizontal adalah proyeksi beban bunga yang menjadi beban pemerintah dari dua sekuritas tersebut. Dengan membandingkan ekspektasi return dan standar deviasi dari obligasi domestik ini kemungkinan investor (yang risk taker) lebih cenderung menginvestasikan keseluruhan uangnya dalam obligasi jenis VR. Karena, obligasi jenis VR memberikan rata-rata imbal hasil sebesar 9,49 persen, walaupun dengan fluktuasi antara 7,25 persen sampai dengan 11,73 persen (titik K). Nilai fluktuasi ini diperoleh dari penambahan dan pengurangan expected

cost dan standar deviasi cost portofolio (9,49 % ± 2,22%). Sementara untuk obligasi jenis FR memberikan rata-rata imbal hasil sebesar 9,03 persen, tanpa risiko fluktuasi bunga.

Bentuk grafik adalah garis lurus karena salah satu portofolio adalah berbunga tetap (tidak ada fluktuasi) sehingga standar deviasi perubahan bunga untuk obligasi jenis FR adalah nol. Arah garis dari kiri bawah ke kanan atas menggambarkan semakin tinggi bunga yang diharapkan oleh investor, semakin menambah rentang fluktuasi suku bunga.

Apabila dilihat dari sisi pemerintah, tentunya cara pandang tersebut bersifat sebaliknya yaitu untuk mengurangi cost-of-borrowing obligasi domestik, akan lebih hemat apabila pemerintah banyak menerbitkan obligasi jenis FR. Karena berdasarkan perhitungan di atas, secara umum obligasi jenis

(25)

FR memiliki beban bunga yang lebih rendah bila dibandingkan dengan menerbitkan obligasi jenis VR, artinya kinerja ekonomi pemerintah selama ini tidak begitu stabil, sehingga menurut perhitungan investor, apabila mereka harus membeli obligasi jenis VR maka mereka meminta imbal hasil yang lebih tinggi dari pada instrumen fixed-rate, untuk menutup risiko investasi mereka.

Kembali ke grafik di atas, apabila obligasi diterbitkan seluruhnya dalam jenis FR (titik A pada Grafik 4.8), maka risiko perubahan beban bunganya adalah nol atau tidak ada risiko perubahan suku bunga (standar deviasi sama dengan nol), dengan biaya bunga sebesar Rp3,67 triliun setahun (Rp40,6 triliun dikalikan 9,03 persen). Apabila sebagian (50 persen) obligasi diterbitkan dalam jenis VR dan sisanya dalam jenis FR, maka Pemerintah harus siap menghadapi risiko perubahan beban bunga sebesar antara Rp3,3 triliun sampai dengan Rp4,21 triliun, dan apabila seluruhnya diterbitkan dalam bentuk VR maka risiko perubahan biaya bunga sebesar antara Rp2,94 triliun sampai dengan Rp4,76 triliun per tahun. Jelas terlihat bahwa semakin banyak porsi obligasi jenis FR yang diterbitkan maka penghematan biaya bunga bagi pemerintah semakin besar. Secara keseluruhan perhitungan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

Tabel 4.7:

Beban Bunga Terhadap Komposisi Obligasi – Interest Rate Risk

Porsi VR

Porsi FR

Dalam triliun rupiah Bunga Tertinggi Bunga Terendah Expected Cost 0 1 3,67 3,67 3,67 0,1 0,9 3,78 3,59 3,68

(26)

0,2 0,8 3,89 3,52 3,70 0,3 0,7 4,00 3,45 3,72 0,4 0,6 4,10 3,38 3,74 0,5 0,5 4,21 3,30 3,76 0,6 0,4 4,32 3,23 3,78 0,7 0,3 4,43 3,16 3,80 0,8 0,2 4,54 3,09 3,82 0,9 0,1 4,65 3,02 3,83 1 0 4,76 2,94 3,85

Apabila digambarkan dalam bentuk grafik, akan tampak rentang fluktuasi bunga yang mungkin terjadi pada skenario penerbitan tersebut sehingga akan tampak sebagai berikut:

Grafik 4.9:

Beban Bunga Terhadap Komposisi Obligasi – Interest Rate Risk

Untuk melihat signifikansi dari penghematan beban bunga ini, antara obligasi yang diterbitkan seluruhnya dalam FR dan seluruhnya dalam VR mempunyai selisih sampai dengan sebesar Rp182 miliar per tahun. Dengan demikian peluang untuk menerbitkan obligasi jenis FR dalam rangka mengurangi cost-of-borrowing adalah masih terbuka lebar dibandingkan menerbitkan obligasi jenis VR.

(27)

Oleh karena itu, kesimpulan yang dapat diambil pada analisis ini, melalui pendekatan penilaian risiko finansial, khususnya pada interest rate risk, kinerja DJPU dalam rangka menekan cost-of-borrowing penerbitan obligasi negara di tahun 2007 dapat dikatakan perform apabila Surat Utang Negara diterbitkan dalam bentuk fixed-rate atau lebih dikenal sebagai Obligasi Negara jenis FR.

C. Risiko Pembiayaan Kembali (Refinancing Risk)

1. Gambaran Umum Risiko Pembiayaan Kembali

Refinancing risk adalah risiko penerbitan obligasi berkaitan dengan besarnya biaya bunga dan pokok pinjaman yang harus dikeluarkan issuer saat obligasi jatuh tempo. Refinancing risk berkenaan langsung terhadap semua jenis obligasi, baik yang menggunakan mata uang asing maupun mata uang domestik. Refinancing risk makin besar manakala beberapa obligasi jatuh tempo pada saat bersamaan sehingga membutuhkan biaya untuk membayar bunga dan pokok pinjamannya. Tentunya makin banyak obligasi yang jatuh tempo secara bersamaan, makin besar pula biaya yang harus dikeluarkan.

Sebenarnya ukuran jatuh tempo juga menjadi pertimbangan dalam menerbitkan obligasi terkait dengan pengembangan pasar khususnya pasar uang dalam negeri. Karena peminat obligasi di Indonesia kebanyakan masih dari korporasi dan didominasi oleh bidang usaha tertentu, dalam hal ini sektor perbankan dan lembaga keuangan dengan porsi sebesar 68,04 persen dari total obligasi domestik yang diterbitkan oleh pemerintah. Sementara itu,

(28)

masing-masing bidang usaha mempunyai karakteristik tertentu dalam manajemen investasinya. Misalnya, untuk sektor perbankan dan lembaga keuangan cenderung berminat pada obligasi dengan year-to-maturity jangka pendek, sementara untuk industri manufaktur lebih cenderung untuk membeli obligasi dalam jangka panjang. Namun, dalam analisis ini tidak ditujukan untuk analisis mengenai year-to-maturity dalam rangka pengembangan pasar uang, tetapi semata-mata untuk menilai optimalisasi penerbitan obligasi tahun 2007 dengan mencari durasiyang optimal secara finansial.

2. Risiko Pembiayaan Kembali Tahun 2006 Grafik 4.10:

Struktur Jatuh Tempo Tradable Bond Per 31 Desember 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 Total 24,4 27,4 30,5 29,3 34,5 31,9 33,6 32,7 32,4 32,6 29,8 22,5 26,4 36,7 10,3 6,60 4,18 - 8,72 2,45 Int'l - - - 10,0 10,0 9,00 10,0 - - - 16,0 VR 9,04 26,3 9,80 - 4,01 1,07 - 11,4 17,4 18,3 16,8 17,9 22,7 25,3 - - - -FR 15,4 1,10 20,7 29,3 30,5 30,9 33,6 11,3 5,00 5,33 3,00 4,64 3,71 11,4 10,3 6,60 4,18 - 8,72 2,45 - - - -‐ 10,00  20,00  30,00  40,00 

Sumber: Diolah Dari Data Bulanan DJPU

Berdasarkan grafik 4.10 struktur jatuh tempo tradable bond per 31 Desember 2006, rata-rata nominal jatuh tempo obligasi negara baik yang berdenominasi rupiah maupun yang berdenominasi dolar adalah sebesar Rp. 16,34 triliun. Namun proporsi jatuh tempo terbesar terjadi antara tahun 2008 sampai dengan tahun 2020. Pada tahun-tahun tersebut, rata-rata nominal jatuh

(29)

tempo adalah Rp30,84 triliun. Sedangkan, rata-rata jangka waktu jatuh tempo adalah 8,05 tahun, dengan durasi rata-rata 6,08 tahun.

Secara teoritis, struktur jatuh tempo utang Pemerintah yang paling ideal ialah yang sesuai dengan daya dukung fiskal setiap tahunnya. Jadi, pada tahun-tahun dimana penerimaan negara diperkirakan meningkat, maka tahun-tahun-tahun-tahun itu memperoleh porsi jatuh tempo utang yang lebih besar. Namun demikian, mengingat sangat sulit memperkirakan penerimaan Pemerintah dalam jangka panjang, maka dalam rangka prudent debt management dapat diasumsikan struktur jatuh tempo yang baik ialah yang smooth (merata) dan dalam jumlah yang tidak terlampau tinggi setiap tahunnya.

Namun demikian, tidak ada batasan baku seberapa persen besar rata-rata jatuh tempo ideal per tahun agar dikatakan struktur jatuh temponya tidak terlalu tinggi. Pada kenyataannya, Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang menggunakan angka 8 persen dari total obligasi yang outstanding sebagai batas maksimal surat utang agar dikatakan jumlah jatuh temponya dalam batas yang

prudent. Dengan angka 8 persen ini, ketahanan fiskal Indonesia masih terjaga dan sesuai data penerimaan negara, dengan maksimum 8 persen nilai jatuh tempo per tahun, APBN masih mampu membayar tanpa default.

D. Simulasi Penerbitan Obligasi Negara Tahun 2007 Dengan

Mempertimbangkan Refinancing Risk

(30)

Sesuai dengan karakteristik dari Macaulay duration pada Bab II, untuk mengoptimalkan struktur jatuh tempo, ukuran yang paling tepat bukanlah jangka waktu jatuh temponya, tetapi durasi obligasi menjadi ukuran yang paling tepat. Jadi pada simulasi ini digunakan ukuran Macaulay duration.

Ide durasi adalah menilai arus kas dikaitkan dengan perubahan tingkat bunga dan dibobot menurut year-to-maturity-nya. Secara sederhana, semakin besar tingkat bunga kupon pada suatu obligasi maka semakin memperpendek durasinya, karena banyak arus kas yang keluar di awal-awal periode. Banyaknya arus kas inilah yang kemudian semakin menggeser bobot durasi menjadi lebih pendek. Oleh karena itu, jika dilihat dari sisi penerbit (Pemerintah), maka semakin panjang durasi akibat suatu penerbitan, menjadi suatu indikasi yang menguntungkan untuk Pemerintah, karena

cash flow yang keluar per tahun semakin kecil.

Dalam analisis ini, diasumsikan maksimum nilai jatuh tempo utang yang berasal dari Surat Utang Negara adalah sebesar Rp37.900.095.920.000,00 setahun. Apabila pada suatu tahun tertentu terdapat nilai utang yang melebihi Rp37.900.095.920.000,00, maka sisa kelebihan nilai utang tersebut akan direstrukturisasi dengan menerbitkan Obligasi Negara jenis FR dan akan dihitung tenor optimum agar diperoleh durasi dengan nilai tertinggi.

Sebesar Rp37.900.095.920.000,00 ini berasal dari perhitungan 8 persen prudent

level dikalikan dengan jumlah utang yang berasal dari Surat Utang Negara per 31 Desember 2006 yang sebesar Rp473.751.199.000.000,00. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa nilai utang yang sebesar delapan persen dari total utang

(31)

merupakan batas maksimum yang dapat ditoleransi oleh APBN agar APBN tetap dalam kondisi sustainable.

Sebelum melangkah ke analisis terhadap durasi obligasi, berikut ditampilkan data struktur jatuh tempo Surat Utang Negara per 31 Desember 2006, agar diketahui tahun-tahun yang memiliki porsi jatuh tempo lebih dari prudent level yang sebesar Rp37.900.095.920.000,00. Asumsi nilai tukar rupiah untuk Obligasi Internasional adalah Rp10.000,00 per US$1,00:

Tahun Jatuh

Tempo FR VR Int'l

Nilai Jatuh Tempo (Triliun Rp) 2007 15,45 9,04 - 24,49 2008 1,10 26,33 - 27,43 2009 20,74 9,80 - 30,54 2010 29,35 - - 29,35 2011 30,51 4,01 - 34,52 2012 30,90 1,07 - 31,96 2013 33,66 - - 33,66 2014 11,38 11,41 10,00 32,79 2015 5,00 17,45 10,00 32,45 2016 5,33 18,32 9,00 32,65 2017 3,00 16,82 10,00 29,82 2018 4,64 17,92 - 22,56 2019 3,71 22,72 - 26,43 2020 11,47 25,32 - 36,79 2021 10,38 - - 10,38 2022 6,60 - - 6,60 2023 4,18 - - 4,18 2024 - - - - 2025 8,72 - - 8,72 2026 2,45 - - 2,45 2027 - - - - 2028 - - - - 2029 - - - - 2030 - - - - 2031 - - - - 2032 - - - - 2033 - - - - 2034 - - - - 2035 - - 16,00 16,00 JUMLAH 238,56 180,19 55,00 473,75

(32)

Dari data diatas, diketahui nilai maksimum total jatuh tempo utang adalah sebesar Rp36,79 triliun yang akan terjadi pada tahun 2020. Sebagaimana diungkapkan dalam uraikan sebelumnya bahwa nilai jatuh tempo pada suatu tahun tertentu di-maintain untuk tidak melebihi sebesar Rp37.900.095.920.000,00. Sehingga, perhitungan analisis durasi tidak dapat dilanjutkan karena tidak ada tahun yang nilai jatuh temponya melebihi Rp37.900.095.920.000,00 atau dapat dikatakan sampai dengan 31 Desember 2006 struktur jatuh tempo pembiayaan negara yang berasal dari Surat Utang Negara masih dalam batas yang prudent.

Oleh karena itu, untuk tahun 2007, berdasarkan analisis diatas tidak perlu dilakukan restrukturisasi utang atau dengan kata lain, tetap mempertahankan struktur utang yang telah ada. Kalau pun harus dilakukan restrukturisasi, sebagaimana dalam analisis tentang risiko perubahan suku bunga, seharusnya penerbitan baru Surat Utang Negara menggunakan instrumen Obligasi Negara jenis FR.

E. Perbandingan Rencana Penerbitan Sesuai Hasil Analisi

dengan Penerbitan Aktual

Sesuai dengan diagram alur pikir, proses selanjutnya adalah membandingkan rencana penerbitan berdasarkan hasil analisis pada subbab sebelumnya terhadap penerbitan aktual selama tahun 2007.

Beberapa kesimpulan (asumsi) dari analisis diatas yang akan digunakan sebagai dasar pembandingan adalah: (i) penerbitan baru Surat Utang Negara pada tahun 2007 dalam rangka menekan cost of borrowing adalah dengan menerbitkan Obligasi

(33)

Negara jenis FR (ii) penerbitan di tahun 2007 adalah dengan menerbitkan seri baru dan bukan berasal dari restrukturisasi utang tahun-tahun yang memiliki beban fiskal tinggi atau dapat berupa penerbitan yang merupakan debt-switch seri obligasi sebelumnya dalam rangka menurunkan risiko bunga; (iii) nilai total utang setelah penerbitan pada akhir tahun 2007 diharapkan tidak melebihi Rp37.900.095.920.000,00 dari jumlah utang per akhir tahun 2007.

Untuk menjawab asumsi yang pertama digunakan data penerbitan domestic

tradable bonds selama tahun 2007 yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang sebagai berikut:

No Series First Issued Date

Maturity

Date Coupon Face Value

TRADABLE SECURITIES Rupiah Denominated a. Fixed Coupon 1 FR0042 25-Jan-07 15-Jul-27 10,2500% Rp 14.426.000.000.000,00 2 FR0043 22-Feb-07 15-Jul-22 10,2500% Rp 12.653.000.000.000,00 3 FR0044 19-Apr-07 15-Sep-24 10,0000% Rp 5.589.000.000.000,00 4 FR0045 24-Mei-07 15-Mei-37 9,7500% Rp 6.400.000.000.000,00 5 FR0046 19-Jul-07 15-Jul-23 9,5000% Rp 5.359.000.000.000,00 6 FR0047 30-Agust-07 15-Feb-28 10,0000% Rp 7.850.000.000.000,00 7 FR0048 27-Sep-07 15-Sep-18 9,0000% Rp 4.217.000.000.000,00 8 ORI002 28-Mar-07 28-Mar-10 9,2800% Rp 6.233.200.000.000,00 9 ORI003 12-Sep-07 12-Sep-11 9,4000% Rp 9.367.695.000.000,00

Total Fixed Rate Rp 72.094.895.000.000,00

b. Variable Coupon

1 - tidak ada penerbitan - Rp

-Total Variable Coupon Rp

-Total Rupiah Denominated Rp 72.094.895.000.000,00

Terlihat bahwa seluruh penerbitan selama tahun 2007 adalah penerbitan Surat Utang Negara jenis FR, tanpa menerbitkan Surat Utang Negara jenis VR. Sehingga, berdasarkan pada analisis sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa penerbitan Surat Utang Negara selama tahun 2007 telah sesuai dengan analisis pada subbab sebelumnya. Selain itu, tampak bahwa pasar masih “mengizinkan” penerbitan Surat

(34)

Utang Negara jenis FR atau dengan kata lain, kondisi pasar untuk penjualan Surat Utang Negara jenis FR belum mengalami situasi crowding-out.

Dari tabel di atas pula dapat dilihat bahwa seluruh penerbitan Surat Utang Negara merupakan penerbitan obligasi baru, bukan berasal dari restrukturisasi utang yang dalam satu tahun fiskal yang sama memiliki jumlah utang yang jatuh tempo dalam jumlah yang besar (diatas delapan persen dari total utang). Selain itu, dari data

debt-switch selama tahun 2007 yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (Lihat Lampiran 3), telah sesuai dengan asumsi pembandingan yang kedua yaitu apabila dilakukan penerbitan bukan merupakan restrukturisasi dari utang yang

over-load pada satu tahun fiskal yang sama tetapi merupakan debt-switch ke instrumen utang yang memiliki risiko bunga lebih rendah (jenis FR) atau penerbitan Surat Utang Negara jenis FR baru dalam rangka mengganti seri FR yang lama dengan seri FR yang memiliki tingkat bunga yang lebih rendah.

Sampai dengan akhir tahun 2007 jumlah utang yang berasal dari penerbitan Surat Utang Negara tradable mencapai Rp513.870.275.000.000,00. Sebagaimana asumsi ketiga bahwa pada akhir tahun 2007 jumlah rata-rata utang yang jatuh tempo tidak boleh melebihi Rp37.900.095.920.000,00 setahun. Berdasarkan perhitungan struktur jatuh tempo utang per 31 Desember 2007 diperoleh angka bahwa nilai tertinggi jatuh tempo utang adalah Rp36,92 triliun, yaitu pada tahun 2017, dengan rata-rata jatuh tempo per tahun sebesar Rp17,64 triliun. Sehingga struktur utang per 31 Desember 2007 masih dan telah sesuai dengan asumsi yang dibuat sebelumnya. Adapun struktur jatuh tempo utang per 31 Desember 2007 dapat dilihat pada grafik berikut:

(35)

Grafik : 4.11

Struktur Jatuh Tempo Utang per 31 Desember 2007

2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 2035 Total - 26,8 27,5 31,5 36,6 28,1 33,6 32,7 36,5 32,6 36,9 26,7 26,4 36,7 10,3 19,2 9,53 5,59 12,9 2,45 14,4 7,85 - - - 16,0 Int'l - - - 10,0 10,0 9,00 10,0 - - - 16,0 VR - 25,7 8,96 - 3,46 0,52 - 11,4 17,4 18,3 16,8 17,9 22,7 25,3 - - - -FR - 1,10 18,6 31,5 33,1 27,5 33,6 11,3 9,10 5,33 10,1 8,86 3,71 11,4 10,3 19,2 9,53 5,59 12,9 2,45 14,4 7,85 - - - -‐ 5,00  10,00  15,00  20,00  25,00  30,00  35,00  40,00  Int'l VR FR

Referensi

Dokumen terkait

Sub Bab 3 (Cambria 11, ditebalkan). Modul elektronik fisika yang telah dikembangkan divalidasi oleh beberapa orang validator. Validasi dilakukan dengan menggunakan

menunjukkan: (i) tidak terdapat interaksi antara dosis pupuk nitrogen dan konsentrasi ZPT pada semua variabel pertumbuhan tanaman, (ii) konsentrasi nitrogen berpengaruh

Dengan mengklik tombol edit, maka program akan menuju ke file program yang ketiga , yaitu file edit_dat.php dengan membawa tiga variabel, yaitu variabel $id yang berisi data

dilakukan pada 10 orang tua bayi usia 6-12 bulan, 7 orang tua bayi mengatakan sebelum dilakukan pemijatan, bayinya mengalami gangguan tidur, sering terbangun

Berdasarkan hasil yang didapat mengenai employee engagement dari dimensi semangat, terdapat pernyataan yang tergolong sedang, yaitu pernyataaan” Ketika saya bangun di

Kepada Bapak ( Watna ) dan Ibu ( Dwi Pramuktiwi ), penulis mengucapkan terima kasih atas semua dukungan yang diberikan baik nasihat, motivasi, doa dan bantuannya dari

Upaya presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam melakukan perubahan Perpres 45/2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan SARBAGITA menjadi Perpres 51 Th 2014