• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tantri melompat berdiri seperti biasa. Kukira dia sudah tak punya pikiran waras lagi?

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tantri melompat berdiri seperti biasa. Kukira dia sudah tak punya pikiran waras lagi?"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

ang bersemadi dengan cara

yang aneh: kepala bagai menancap di lantai batu, selu-ruh badan tegak berdiri dalam keadaan tribhanga— kedudukan tiga lekukan. Tentu saja terbalik. “Anak manis, kau sedang apa?” tanya Wara Huyeng yang berdiri di depan pintu bersama Anengah dan Em-ban Layarmega. Pertanyaannya itu dilambari tenaga ba-tin yang kuat hingga Tantri tersadar dari semadinya. “Eh, Bibi yang cantik molek seperti golek! Kenapa

kau terbalik? Kaupikir dengan begitu kau tambah can-tik?” tanya Tantri tertawa.

“Kau yang terbalik, Anak cantik!” kata Wara Huyeng. Dan tanpa rasa malu ia mendekat dekat sekali dengan Tantri, sehingga kepala anak muda itu hampir

bersen-tuhan dengan jari-jari kakinya... dan tiba-tiba ia mengangkat kain yang menutupi bagian bawah tubuhnya.

“Nah, kau yang terbalik, bukan? Kau lihat? Hi hi hi hi hi,” Wara Huyeng tertawa terkikik genit.

“Bibi, jangan... seperti itu!” gumam Anengah. “Eh, mainanmu itu bisa juga cemburu, Bibi molek?”

Tantri melompat berdiri seperti biasa. “Kukira dia sudah tak punya pikiran waras lagi?” “Kenapa?” Wara Huyeng tertawa. Ia paling senang

mengadu domba kedua orang ini, yang memang bagai-kan bumi dan langit.

“Kalau aku kamu, Bi, aku takkan percaya padanya. Dia yang sudah berkhianat pada perguruannya, mana mungkin bisa dipercaya!” kata Tantri.

“Kata-katamu takkan bisa melukai hatiku, Monyet kecil. Sebab kau buta. Dan aku bisa melihat,” kata Anengah menahan diri.

(2)

“Wah, wah, wah! Bisa pula dia berbahasa! Apakah li-dahnya kaugaruk dengan uang emas setiap hari, Bibi?” ejek Tantri.

“Kau benar-benar buta,” Anengah mencoba

mene-nangkan diri. “Manusia harus punya cita-cita. Dan jika aku bersetia pada perguruanku yang telah punah, yang

hancur karena seorang pengkhianat, bagaimana aku bi-sa mencapai cita-citaku? Dengan mengikuti Ratu Wara Hita, setidak-tidaknya cita-citaku akan lebih mudah kucapai!”

“Dan apakah cita-citamu itu, manusia tak berbudi?” ternyata Tantri yang naik darah.

“Sederhana. Aku merasa punya kewajiban ikut

mengatur dunia ini. Dan akan kulakukan itu!” sahut Anengah tenang.

“Ya ampun!” Tantri membelalak. “Dunia bisa jungkir balik jika kau sampai punya kesempatan mengaturnya!” “Yang jungkir balik adalah orang buta seperti kau, Monyet cilik,” Anengah mencibir.

“Tapi kau pun takkan mampu berbuat banyak. Me-naklukkan bibiku yang molek ini pun takkan mampu. Dan kau tak tahu bahwa kau hanya diperalat olehnya!” kata Tantri.

“Diperalat oleh siapa pun takkan terasa berat, jika kita memang menghendakinya. Dan aku menghenda-kinya!” Anengah kini malah tertawa mengejek. “Makanya Tari tak sudi padamu... hatimu berbulu!” dengus Tantri.

(3)

Nama ‘Tari’ agaknya mempunyai daya tersendiri pa-da Anengah. Ia tertegun. Matanya bersinar tajam. Ke-dua tinjunya mengepal keras. Dan hampir tak memakai

ancang-ancang, tiga kali tendangan Bantala Liwung di-lancarkannya pada Tantri. Tendangan-tendangan

be-runtun itu begitu dahsyat bertenaga, ditambah melun-curnya tinju yang tak terduga, membuat Tantri

berlon-catan dalam langkah Sura-caya yang tak terlalu ampuh karena Anengah pun menguasai ilmu itu dengan baik.

Terdengar jeritan keras. Dan Tantri terkapar di lantai batu ruangan batu itu. Matanya membelalak dan tiba-tiba ia memuntahkan darah hidup. Tapi ia masih

terta-wa. “Sungguh gagah, sungguh gagah,” katanya. “Jika gu-rumu masih hidup, mungkin beliau pun akan kauhan-tam hancur tanpa kau merasa malu.... Kaugunakan il-mumu hanya untuk kepuasan hatimu sendiri.”

“Kau keliru,” tiba-tiba Anengah bisa berbicara

de-ngan sangat tenang. “Justru menghormati guru aku ha-rus menunjukkan ilmuku. Bangunlah, jika kau masih ingin tahu lebih banyak kehebatan ilmu ajaran guruku.” “Tak ada gunanya. Setinggi-tinggi ilmu itu, toh yang

penting akhirnya orang yang memilikinya. Ilmu kanura-gan, kau mungkin telah mumpuni. Apakah ilmu budi pekerti juga kaukuasai?” Tantri tertawa dan sekali lagi meludahkan darah.

“Sudah, sudah, Anakmas Anengah! Kau tak usah

meladeni dia.” Wara Huyeng mengusap keringat di dada Anengah dengan selendangnya. “Toh dia takkan lama di dunia ini. Mungkin pada penitisan berikutnya kalian berdua bisa melanjutkan debat ini.”

“Sayang sekali. Kau mau membunuhku?” tanya

Tan-tri. “Kenapa tidak? Kau sama sekali tak pernah mengun-tungkan kami. Tapi, untuk apa membuang tenaga me-ngurus nyawa kecilmu?” kata Wara Huyeng.

(4)

“Maksudmu?” tanya Tantri.

“Kami tak memerlukan tempat ini lagi. Kami akan pergi. Jika karmamu baik, mungkin kau masih bisa

hi-dup. Jika tidak... yah... mungkin kau akan terkubur di sini. Hi hi hi hi... sesungguhnya aku ingin menciummu.

Tapi... jijik, ah! Dan... tentunya Anakmas Anengah takkan mengizinkan aku berbuat begitu, bukan?”

Wara Huyeng memberi isyarat mundur. Emban La-yarmega segera keluar. Wara Huyeng menunggu. Tetapi Anengah tak kunjung melangkah. Memberi isyarat agar Wara Huyeng berangkat lebih dahulu.

Kemudian tinggal Anengah dan Tantri.

“Aku berkhianat bukan hanya kehendak diriku,” ka-ta Anengah pada Tantri. “Aku yakin ini semua kehen-dak dewata. Salah seorang murid Rahtawu sebetulnya adalah salah satu yang mempunyai hubungan erat

den-gan penguasa Wilwatikta. Aku merasa bahwa orang itu adalah aku. Maka aku tempuh jalan ini. Jika memang dewata menghendaki aku muncul sebagai penerima wahyu kerajaan, maka pengkhianatanku ini akan me-rupakan tindakan dewata. Jika bukan, aku akan han-cur. Dan itu aku rela. Kau sendiri... cobalah keuntun-ganmu! Kalau memang tidak tahan, mungkin lebih baik kau bunuh diri.” Anengah melemparkan sepucuk

cun-drik, keris kecil, ke dekat kaki Tantri. Kemudian dia keluar. Sepuluh orang prajurit mendorong lempeng batu

yang berfungsi sebagai pintu ruang itu. Di ujung lorong, Wara Huyeng dan Emban Layarmega menunggu.

“Tanda mata apa yang kauberikan padanya, Anak-mas?” tanya Wara Huyeng.

(5)

“Dia bersikeras mengatakan aku pengkhianat. Aku tak mengerti,” kata Anengah.

“Dia takkan punya kesempatan untuk berbicara ten-tang itu denganmu. Tempat ini akan kita tinggalkan. Semua orang akan pergi. Semua tawanan ditinggal dan disekap dalam masing-masing ruangan. Tak akan ada yang mengurus lagi.”

“Kurasa begitu juga bagus,” kata Anengah. “Kapan aku berangkat?”

“Kau, aku, Bibi Layarmega, dan serombongan

penga-wal berangkat dahulu. Sekarang juga. Yang lain, dengan membawa berbagai perlengkapan, menyusul.”

“Apakah pasukan Wilwatikta di daerah-daerah yang kita lewati tak akan menyerang kita?” tanya Anengah. “Karena itulah kita berangkat dalam banyak sekali rombongan kecil. Orang luar akan melihat kita hanya sebagai pedagang dan orang-orang bepergian saja. Ayo-lah.”

Malam itu memang terlihat hal-hal luar biasa di

puncak Trang Galih. Di puncak pegunungan kapur

yang sangat terpencil itu terlihat ratusan nyala obor bergerak hilir-mudik. Dan bayang-bayang puluhan rom-bongan menyelinap di antara bayang-bayang lereng dan pepohonan.

Keesokan harinya, menjelang tengah hari,

sekelom-pok orang berhenti, beristirahat di sebuah tempat terbuka di luar hutan Taratap. Mereka terdiri dari sekitar dua puluh orang. Agaknya

dipimpin oleh seorang muda yang berpakaian mewah. Ada dua buah tandu. Yang pertama dipakai oleh seo-rang wanita yang berpakaian mewah dan cantik, yang

(6)

kedua untuk sebuah kotak besar yang agaknya sarat oleh barang-barang. Orang lain yang agak menarik per-hatian adalah seorang wanita lagi yang berpakaian se-derhana, begitu sederhana hingga mirip prajurit. Bah-kan di ikat pinggangnya terselip dua bilah pedang pen-dek. Anggota rombongan lainnya tampak gagah-gagah, muda, dan perkasa. Dan mereka menyembunyikan sen-jata mereka di pelana-pelana kuda atau di balik kain mereka.

Inilah rombongan pertama dari Trang Galih. Ane-ngah, Wara Huyeng, dan Layarmega. Beserta pengawal mereka.

“Berapa hari lagi kita sampai Uteran, Bi?” Anengah mengipas-ngipaskan tutup kepala di depan dadanya yang bidang. Hawa memang panas.

“Mungkin tiga hari tiga malam lagi, Anakmas...” Wa-ra Huyeng tersenyum memberi isyaWa-rat minta air pada Emban Layarmega. “Kau tidak bosan bukan, Anakmas? Toh setiap malam aku yang menemani...”

“Hutan Taratap ini terkenal banyak harimaunya,” ka-ta Layarmega. “Harap Raden berwaspada nanti jika kika-ta telah mulai berada di dalamnya.”

“Jangan khawatir, Anakmas Anengah ini

maka-nannya harimau, kok, hi hi hi hi,” sahut Wara Huyeng. “Maksudku... ya dua-duanya. Dia suka bersantap hari-mau. Dan harimau juga suka bersantap dia, hi hi hi....” Kegenitan Wara Huyeng mengisyaratkan bahwa yang

dimaksudkannya dengan harimau adalah dirinya. Layarmega memalingkan kepala. Ia memang biasa

(7)

bergaul dan membawahi wanita-wanita yang suka

menghibur pria-pria hidung belang. Tetapi berhadapan dengan wanita hidung belang yang selalu lapar ini sungguh keterlaluan.

“Yang hamba maksud juga harimau berkaki dua,” kata Layarmega kemudian. “Hamba dengar hutan ang-ker itu juga dihuni oleh gerombolan perampok yang di-bawahi oleh Kiai Sendang. Perampok itu begitu

ber-kuasa dan ditakuti hingga ia bahkan bagaikan raja kecil di tengah hutan.” “Mengapa tentara kerajaan tak membasminya, Bibi?

Juga... berani benar ia menunjukkan kekuatan begitu dekat dengan Trang Galih? Apakah orang-orang kita

membiarkan saja dia berkiprah di sini? Dan... jika orang tahu bahwa daerah ini berbahaya, mengapa masih saja

banyak orang yang lewat di sini?” tanya Anengah, me-nuding pada jalan setapak masuk hutan yang tampak-nya sangat sering digunakan orang lewat.

“Tentara kerajaan tak terlalu memperhatikan peram-pok-perampok, selama mereka tidak berontak. Lagi pu-la, Kiai Sendang sangat sukar ditangkap. Pernah diada-kan penggerebediada-kan. Pasudiada-kannya terkepung. Mereka

mundur ke mata air. Dan tiba-tiba lenyap. Dan bagi

pa-ra saudagar... jalan ini jalan terpendek menuju Pantai Selatan. Kalau tidak harus berputar melewati punggung

Trang Galih Utara atau lewat Watu Baris. Di samping jalanan jadi sangat jauh, kemungkinan bahaya

peram-pokan juga ada. Sedang Kiai Sendang terkenal adil. Jika ia telah diberi pajak jalan, maka siapa pun bisa lewat dengan selamat. Tak banyak...” Layarmega memandang

peti yang berada di tandu. “Biasanya ia hanya minta se-persepuluh dari bawaan kita. Cukup adil, bukan?”

(8)

Dia sesungguhnya tidak terlalu sakti. Tetapi anak buahnya sangat setia padanya serta mengetahui sedikit ilmu perang. Mengapa kita biarkan dia hidup? Itu hanya siasat,” kata Wara Huyeng. “Daerah Pantai Selatan selalu

merupakan daerah yang dijaga kuat oleh pasukan Wil-watikta. Jika mereka mendengar Kiai Sendang ditum-pas, mereka akan curiga. Siapa yang berani dan mampu menumpasnya. Sekarang pertimbangan itu mungkin sudah tak berlaku lagi. Dengan Ratu junjunganku su-dah menanam kekuasaan di Selatan, maka agaknya be-liau merasa yakin bahwa daerah Selatan bisa kita kua-sai. Tak ada yang ditakutkan lagi.”

“Aku jadi ingin segera bertemu orang itu,” kata Ane-ngah. “Pasti harta timbunannya dapat kita gunakan nanti....”

“Benar juga,” kata Wara Huyeng. “Sekalian untuk

berlatih. Tapi... kau jangan terlalu letih lho, Anakmas... nanti bertemu harimau tak bisa melayani!”

“Hayo kita berangkat lagi, Bibi... kurasa kita sudah cukup beristirahat,” kata Anengah, berdiri.

Orang-orang pun bersiap-siap untuk berangkat. Tak lama mereka telah beriringan memasuki hutan Taratap. Paling depan tiga orang pengawal yang tak sungkan-sungkan lagi berjalan dengan pedang terhu-nus. Kemudian Anengah di atas punggung kudanya. Di

belakangnya lima orang pengawal lagi, disusul oleh tan-du yang membawa Wara Huyeng dan tandu yang

mem-bawa peti barang-barang. Sisa rombongan dipimpin

Layarmega.

3. PERISTIWA SENDANG AMPAL

(9)

sesungguhnya perjalanan itu cukup nyaman. Jalan da-tar. Lebar. Pepohonan rimbun hingga mereka terlindung

dari sengatan matahari. Sekali-sekali memang terdengar auman harimau, tetapi rombongan itu memang rombongan orang-orang yang tak takut apa pun hingga

be-berapa di antara mereka malah berteriak-teriak me-manggil-manggil hewan buas yang tak terlihat itu. Rasanya perjalanan tersebut tak habis-habisnya. Anengah meminggirkan kudanya dan membiarkan rombongannya berlalu untuk bisa berbicara dengan Layarmega.

“Bibi, masih berapa lama lagi kita harus menyebe-rangi hutan ini?” tanya Anengah.

“Jika kita tak beristirahat lagi, menjelang malam kita sampai ke desa Tapis. Sesungguhnya itu masih daerah

hutan, desa orang-orang yang mengerjakan hasil hutan ini. Di sana sudah aman untuk bermalam. Bahkan orang-orang Kiai Sendang takkan mengganggu lagi. Dan tengah hari besok kita sampai ke tepi hutan yang sebe-narnya, desa Wirung. Kemudian kita akan melewati ke-dudukan Akuwu Plaosan. Dan dari sana ke Uteran su-dah tidak sulit lagi.”

“Hmmm, mungkin karena memikirkan Kiai Sendang maka pikiranku dan pikiran orang-orang malah kacau

oleh keadaan hutan yang sunyi sepi ini. Bibi, apakah ki-ta sudah hampir mencapai daerah perampok itu?”

“Kukira ya... itu pohon randu merah yang menanda-kan jalan ke arah dari mana kita datang. Setelah belo-kan di depan abelo-kan ada mata air Ampal. Tempat itu

ada-lah persimpangan jalan antara jalan ke Uteran dan ke Rakerti. Di situlah biasanya utusan Kiai Sendang da-tang untuk minta pajak jalan: Dari mata air itu, yang

(10)

juga disebut Sendang Ampal, penguasa hutan itu mem-peroleh namanya.”

“Hm. Kalau begitu, percepat jalan orang-orang ini,

Bibi... biar kita bisa beristirahat agak lama di mata air itu.” “Baiklah, Raden....”

Layarmega memberi isyarat dengan suatu suitan. Dan rombongan itu maju lebih cepat.

Ketika akhirnya mereka sampai ke tempat yang di-katakan oleh Layarmega, mereka semua tertegun. Jalan setapak yang mereka lalui saat itu menurun. Dan pepohonan agak jarang. Batu-batu cadas tampak. Serta sebuah lembah kecil terbentang mengikuti aliran sebuah anak sungai yang berawal pada Sendang Ampal. Suasana tiba-tiba sejuk dan... damai!

Di pinggir anak sungai, dekat kolam besar berair jer-nih yang bernama Sendang Ampal itu, terbentang pa-dang rumput hijau segar. Dan di sana berdiri sebuah pendapa besar, berdiri bagaikan panggung. Lantainya sekitar satu depa dari tanah. Tiang-tiangnya kayu

ber-ukir. Atapnya atap sirap yang sangat jarang terlihat begini jauh dari ibukota. Di sisi padang rumput terlihat beberapa buah warung yang mengepulkan asap tanda

mereka pun siap dengan makanan dan minuman ha-ngat.

“Hei, inikah tempat itu?” bisik Anengah yang meng-hentikan kudanya di ujung jalan yang tiba-tiba bagai-kan menukik ke padang rumput itu. Layarmega telah memacu kudanya hingga berdampingan dengan kuda Anengah.

(11)

kota raja!” bisik balik Layarmega.

“Mengapa kalian berbisik-bisik?” tiba-tiba Wara Hu-yeng telah berada di punggung kuda di belakang Ane-ngah, menggelendot mesra pada pemuda itu. “Lho! Kita ada di mana?”

Layarmega cepat melompat turun dari kudanya, memberi isyarat agar anak buahnya tetap di tempat dengan waspada dan tidak berebut ke depan untuk me-lihat.

Anengah pun turun dari kuda dengan kikuk, semen-tara Wara Huyeng pindah duduk ke pelananya.

“Inikah... Sendang Ampal?” tanya Anengah sekali la-gi. “Tempatnya, ya. Hamba ingat sekali. Tikungan ini. Lapangan ini. Sendang itu. Dan batu cadas putih di

sa-na itu... itulah pintu jalan ke Uteran. Tapi... biasanya tak ada apa-apa di tasa-nah lapang itu. Kecuali bekas-bekas api unggun serta sampah. Hamba memang sudah

lama tidak melewati daerah ini, tetapi dari beberapa orang yang lewat sini akhir-akhir ini tidak hamba de-ngar berita yang aneh!”

“Tempat ini begitu bersih dan ramah... seolah-olah menunggu kita,” kata Wara Huyeng. “Seolah-olah setiap saat akan terdengar gamelan yang menyambut keda-tangan tamu... kita-kita ini....”

Bagaikan mendengar kata-kata Wara Huyeng,

tiba-tiba saja terdengar suara gamelan. Gamelan selamat da-tang!

Entah dari mana. Di lapangan di bawah itu sama se-kali tak terlihat manusia.

“Mungkin jebakan,” bisik Layarmega.

“Siapa akan berhasil menjebak orang-orang Trang Galih?” dengus Wara Huyeng.

(12)

lapangan sana. Aku akan mengitar ke kiri. Bibi Wara Huyeng mengitar ke kanan. Jika menemui hal-hal yang mencurigakan segera memberi isyarat,” kata Anengah. Dan tanpa menunggu jawaban ia telah berlari ke arah kiri. Wara Huyeng pun tiba-tiba lenyap. Layarmega me-lompat ke kudanya, memberi isyarat agar rombongan itu maju terus, dan turun.

Anengah bergerak cepat sekali. Walaupun kini ia sangat mengandalkan Butir Hitam Tartar, tetapi segala ilmunya masih utuh. Bagaikan bayangan ia melesat da-ri pohon ke pohon, berlompatan dada-ri batu ke batu

den-gan menggunakan Sura-caya. Ia merasa menemukan sumber bunyi gamelan yang didengarnya, tetapi saat

sampai di tempat itu ia tak menemukan apa-apa.

Agak-nya ia telah mengitari lembah kecil itu hingga ke seberang. Di bawahAgak-nya kini terlihat jalan yang menuju

Ute-ran.

“Tak ada apa-apa, Anakmas?” terdengar suara mer-du Wara Huyeng. Anengah terkejut. Wanita berpakaian

serba biru itu ternyata telah bertengger di dahan pohon di atasnya. Anengah menjejak bumi dan badannya meluncur ke atas, hinggap di samping Wara Huyeng.

“Bibi juga tak menemukan apa pun?” tanya Ane-ngah.

“Tidak. Aku perkirakan... gamelan itu mungkin ber-ada di dalam tanah. Di salah satu gua. Mungkin daerah ini seperti Trang Galih. Kemudian gua itu mempunyai

cabang, lorong-lorong bawah tanah. Atau diberi bersaluran seperti pipa, dan dimunculkan di berbagai tempat.

Mungkin di celah batu. Atau di pohon-pohon berlubang. Atau di semak-semak, sehingga suaranya seperti keluar dari berbagai penjuru. Kauperhatikan lembah yang

(13)

me-lengkung ini? Suara akan sangat mudah disalurkan ke mana pun. Tanpa harus berteriak. Coba. Panggil

Layar-mega tanpa kau harus berteriak. Lebih keras sedikit da-ri kita berbicara ini.” “Bibi Layarmega!” Anengah mengikuti petunjuk Wara

Huyeng. Lebih keras dari berbicara biasa. Lebih pelan dari berteriak. Dan jauh di bawah mereka, terlihat La-yarmega yang sudah berada di lapangan di pusat lem-bah menghentikan kuda. Berputar-putar mencari-cari. “Apakah Bibi menemukan hal-hal yang aneh?” tanya Anengah.

“Tidak, Raden!” jelas Layarmega berteriak. Keras ter-dengar di tempat Anengah dan Wara Huyeng. “Di ma-nakah engkau, Raden?”

“Biarkan orang-orang itu beristirahat, Bibi... beri mereka makan dan minum!” kata Anengah.

“Tak usah repot-repot... makan dan minum telah kami sediakan. Tamu macam apa kalian ini hingga pe-nuh curiga?” sebuah suara terdengar menggema memo-tong kata-kata Anengah. Anengah dan Wara Huyeng

terkejut. Suara itu begitu dekat seolah yang berbicara ada di samping mereka. Tetapi tak ada seorang pun di

situ.

“Terima kasih untuk jerih payah tuan rumah,” Wara Huyeng menyahut. “Maafkan kelancangan kami... tetapi kiranya kami juga berhak bertanya... tuan rumah ma-cam apa yang menyembunyikan diri dari tamunya?” “Tentu tuan rumah yang menganggap tamunya tak

ada harganya untuk ditemui, hi hi hi hi,” suara itu tertawa puas sekali. Anengah menuding ke bawah. Rombongan

(14)

besar itu atau membasuh muka di anak sungai. Layar-mega masih di punggung kudanya yang berjalan hilir-mudik. Ada yang aneh. Terlihat sekali bahwa mereka yang di bawah sana tak ikut mendengar suara yang

berbicara dengan Wara Huyeng itu. Wara Huyeng men-gerti keheranan Anengah. Ia memberi isyarat agar me-reka secepatnya turun ke tengah lapangan sana. Anen-gah mengangguk. Ia mengambil ancang-ancang untuk berlari ke bawah.

“Bagaimana Tuan tahu kami tak ada harganya di mata Tuan? Bukankah tempat ini adalah anugerah de-wata bagi mereka yang sedang bepergian?” tanya Wara Huyeng. Dan begitu kata-katanya habis ia pun melesat ke bawah diikuti oleh Anengah.

Mereka hampir bersamaan tiba di pendapa besar itu. Langsung masuk dan melihat berkeliling. Para anggota rombongan sangat terkejut saat Anengah dan Wara Hu-yeng tiba-tiba muncul di tengah pendapa.

Tapi tak ada yang mencurigakan di situ.

Lantai pendapa terbuat dari papan-papan kayu yang halus dan berwarna hitam mengkilap. Di bawah lantai terlihat bersih, kosong. Beberapa orang anggota rom-bongan berdiri menunggu dan kebingungan di depan warung-warung yang menghidangkan makanan tapi tak ada yang menunggu.

Wara Huyeng dan Anengah bergegas memeriksa wa-rung-warung itu. Satu-satunya yang mencurigakan ha-nyalah tiadanya orang saja.

(15)

sudi menampakkan diri?” tanya Wara Huyeng. Dari bawah sini ternyata ia harus sedikit menge-rahkan tenaga untuk berbicara.

Tak ada jawaban.

“Seperti yang kucurigai,” bisik Wara Huyeng pada Anengah. “Mungkin yang berbicara tadi berasal dari

ba-wah sini. Sekarang ia tak berani bersuara, takut kalau kita bisa menemukannya.” “Tapi... tidak ada yang meninggalkan tempat ini dari

tadi,” bisik Anengah.

“Suruh mereka memainkan barisan Hasta Kartika!” bisik Wara Huyeng.

Anengah mengangguk. Hasta Kartika adalah salah satu ilmu perang ajaran khusus Juru Meya. Sama sekali bukan sadapan dari ilmu-ilmu Rahtawu. Anengah

merasa pilihan Wara Huyeng sangat tepat dan

membuk-tikan kecepatan daya pikirnya. Ilmu Hasta Kartika adalah ilmu khas. Belum pernah diajarkan di suatu

pergu-ruan atau oleh aliran kekuatan mana pun. Juru Meya menciptakan ilmu itu saat pasukan Bhre Wirabhumi terdesak ke laut, dan dengan jumlah prajurit yang sa-ngat sedikit ia harus melindungi junjungannya mundur. Maka ia memecah pasukannya yang tinggal sedikit menjadi dua kelompok yang masing-masing membentuk lingkaran. Kedua lingkaran itu masing-masing memiliki empat kedudukan tangguh untuk menyerang dan

mempertahankan diri. Keduanya saling berputar, saling menyelinap, berpecah dan berpisah, cepat bergabung kembali dalam gerakan yang setiap langkahnya diperhi-tungkan dengan teliti. Pada puncak keampuhannya, se-tiap titik yang membentuk rangkaian delapan ‘bintang’ itu akan mampu paling tidak menahan pasukan yang

(16)

lebih besar jumlahnya. Dan jika pasukan lawan tidak berhati-hati, bukannya tidak mungkin pasukan yang sepuluh kali lebih besar hancur oleh pasukan yang le-bih kecil.

“Bibi Layarmega! Perintahkan orang-orang ini

mem-bentuk Hasta Kartika. Sekarang!” Mendadak Anengah melompat ke lapangan dan berteriak. Layarmega agaknya dari tadi juga bercuriga.

Kare-nanya tanpa bertanya-tanya lagi ia mengambil sebilah peluit bambu dari selipan ikat pinggangnya. Dan ia me-niup keras-keras. Sekali pendek. Tiga kali panjang.

Ber-ulang-ulang.

Serentak terjadi keributan. Semua anggota rombong-an berlarirombong-an mengelilingi Layarmega. Semua meninggal-kan apa saja yang sedang mereka kerjameninggal-kan. Mameninggal-kan. Atau tiduran. Atau mandi. Atau apa saja.

Dan begitu terbentuk lingkaran mereka memecah

di-ri lagi. Berhamburan seperti tak tentu arah. Untuk bergabung lagi. Tak beraturan tampaknya. Tetapi

meng-ikuti aturan tertentu. Kecuali satu orang.

Orang itu langsung terlihat nyata di mata Anengah, Wara Huyeng, dan Layarmega. Pakaian orang-orang rombongan itu memang pakaian yang umum dipakai orang bepergian. Sulit membedakan mereka. Tapi orang ini gerakannya selalu terlambat. Selalu menirukan orang lain. Dan selalu mendahului seseorang untuk menduduki suatu titik tertentu.

“Berhenti!” teriak Anengah. Semua berhenti. Mematung.

(17)

sementara Wara Huyeng telah melompat ke atas atap

pendapa untuk bisa melihat keadaan sekeliling lebih jelas. “Nun? Hamba, Raden?” Orang itu celingukan.

Dia bertubuh sedang. Memakai topi bambu. Jenggot dan kumisnya panjang, putih dan hitam bercampur

baur. Atau, setelah Anengah memperhatikan lebih teliti, jenggot itu sesungguhnya putih tetapi terkena lumpur

hingga kehitaman gelap.

“Siapa namamu?” tanya Anengah.

“Nun, hamba, Raden? Emhh... hamba Ki Jata, Nun. Ya, hamba Ki Jata.”

“Siapa namaku?”

Orang itu terlihat tertegun. Kemudian tertawa ter-kekeh-kekeh. “Waduh, waduh! Gara-gara Raden lupa

nama Raden semua orang Raden paksa berlarian se-perti itu... wah, wah, wah! Maafkan hamba, Raden... hamba sedang... sakit... perut!”

Orang itu betul-betul memegang perutnya dan bebe-rapa orang yang dekat dengannya mendengar suara memberebet serta mencium bau yang sangat menusuk

hidung. Orang itu pun beranjak untuk berlari ke pinggir lapangan. Tetapi baru ia melangkah beberapa langkah,

Ane-ngah sudah berada di depannya.

“Kau bukan rombongan kami!” kata Anengah dingin. “Maaf, Raden, perutku sakit!” kata orang itu. “Katakan dulu siapa kau!” bentak Anengah.

“Perutku sakit!” Orang itu menggeser ke kiri dan

ti-ba-tiba berputar untuk lari lurus ke depan dua langkah serta melompat ke kanan satu langkah.

Anengah yang memang telah berjaga-jaga untuk

(18)

sederhana. Toh orang itu lolos dari sergapannya dan telah berada di belakangnya! Layarmega segera menghadang dibantu oleh

lima orang pengawalnya. Sekali lagi Anengah terce-ngang. Orang itu tampaknya berlari mundur namun ta-hu-tahu sudah berada di balik barisan Layarmega. Wara Huyeng yang melihat dari atas dengan jelas mengamati betapa gerakan orang itu betul-betul lang-kah Sura-caya. Sangat sederhana. Tapi sangat ampuh. Lebih sederhana dan lebih ampuh dari yang pernah dili-hatnya. Baik yang dilakukan oleh Resi Rhagani, atau-pun Anengah. Atauatau-pun sewaktu Nagabisikan meniru-kan gerameniru-kan-gerameniru-kan tersebut.

Siapakah orang ini?

Wara Huyeng langsung turun melayang dari atap pendapa dan menghadang jalan lari orang itu ke tepi

hutan.

“Ki Sanak, berhentilah sejenak,” katanya sambil me-lepas selendang biru yang tadi menjadi ikat pinggang-nya.

“Maaf, Gusti, perutku sangat sakit... mungkin keba-nyakan sambal,” kata orang itu, kakinya terangkat se-belah.

“Hanya sebentar, kok!” kata Wara Huyeng. Badannya bergerak ke arah ke mana orang itu diperkirakannya akan bergerak, sementara selendangnya meluncur ke arah ke mana orang itu menurut perkiraan takkan mungkin bergerak.

Pertimbangannya cukup jitu. Orang itu entah bagai-mana membuat gerakan yang rasanya tak mungkin, dan bergerak justru ke arah di mana selendang telah

(19)

menghadang. Sekilas terlihat orang tersebut agak ter-tegun, tetapi gerakannya tak terputus saat ia berubah haluan.

“Sebentar saja, Ki Sanak.” Wara Huyeng gembira akan keberhasilan pertamanya ini, kemudian bergerak lagi sambil berseru pada Layarmega dan Anengah,

“Anakmas, jaga kedudukan Swarloka, Layarmega, kedudukan Burloka!” Anengah dan Layarmega bergegas bergerak menuju

kedua kedudukan tersebut. Dan kini benar-benar gerak orang tersebut dipersempit. Wara Huyeng dan selen-dangnya bagaikan dua orang yang mengepung muka belakang sementara Layarmega dan Anengah mengha-dang dari kiri dan kanan.

“Jangan terlalu memaksa, Gusti,” orang itu berkata dengan suara memelas. “Perutku betul-betul sakit!” “Aku hanya ingin bertanya sebentar,” kata Wara Hu-yeng dengan sedikit nada bangga.

“Waduh, aku tak tahan!” Tiba-tiba orang itu

menja-tuhkan diri, jongkok. Dan saat Wara Huyeng terheran-heran, orang tersebut telah berdiri, dan sebuah benda meluncur cepat ke arah Wara Huyeng. “Awas!” teriak orang itu.

Wara Huyeng sangat terkejut. Ia cepat menyingkir dan mengerahkan tenaga di kedua tangannya. Benda itu telak tertangkap oleh tangannya. Dan ia kembali terkejut. Baik benda itu maupun tenaga lemparannya

ternyata sama sekali tak berbahaya. Hanya... benda tersebut terasa basah dan... sangat bau sekali!

(20)

itu juga muntah karena tak tahan akan bau tadi. Ter-nyata yang ditangkapnya adalah kain orang tersebut yang telah mempergunakan kesempatan selagi Wara Huyeng kecipuhan untuk melesat melayang meluncur ke tepi lapangan dan menghilang di antara pepohonan

di hutan. Agaknya orang itu benar-benar sakit perut. Itu terbukti dari kain yang basah dan tadi dipegang oleh

Wara Huyeng.

Kalang kabut Wara Huyeng memaki-maki dan berlari ke anak sungai, mencuci tangan dan selendangnya. Bahkan akhirnya dengan geram selendangnya itu di-buang ke anak sungai. Sementara itu Layarmega telah memerintahkan anggota rombongannya mengejar. Ane-ngah sendiri telah berlari mendahului. Tapi beberapa saat kemudian semua berkumpul di depan pendapa tanpa hasil.

“Bangsat orang itu! Huh! Aku ingin muntah lagi se-tiap kuingat bau kainnya!” geram Wara Huyeng. Layar-mega cepat memberinya minyak harum.

“Siapakah dia?” tanya Anengah. “Apakah ia Kiai Sen-dang?”

“Rasanya bukan, Raden... Kiai Sendang tidak setua itu,” Layarmega menyahut. “Kita harus waspada...

ja-ngan-jangan...”

“Makanan itu tidak beracun,” Wara Huyeng melan-jutkan kata-kata Layarmega. “Orang tadi begitu sakti. Tak perlu memakai akal selicik itu.”

“Dia menguasai Sura-caya dengan baik. Tapi aku belum pernah melihatnya,” kata Anengah. Ia

(21)

lem-bah ini, muncul pemandangan yang agak aneh. Seorang pemuda berjalan terhuyung-huyung menggendong seo-rang wanita.

“Ayo, ayo, ayo... cepat, cepat, cepat... bisa-bisa kita kehabisan makanan nanti!” teriak wanita itu, duduk

seenaknya di bahu si pemuda dengan kedua kaki ber-juntai di dadanya. Tangan si wanita berpegangan pada rambut si pemuda yang awut-awutan dan sebagian be-sar menutupi muka.

“Cepat, aku bilang!” wanita itu memukul-mukul ke-pala si pemuda. “Lihat. Begitu banyak orang di sini. Semua rakus-rakus, lagi! Ayo. Cepat!”

Si pemuda terpaksa berlari cepat. Dan di pinggir anak sungai hampir ia terjatuh. Sewaktu ia akan meni-kung tiba-tiba si wanita menyuruhnya berhenti.

“Tunggu, tunggu, tunggu... lihat, lihat, lihat! Itu ada kain, waduh, masih bagus! Ada selendang, lagi. Mungkin sudah dibuang! Turunkan aku!”

Si pemuda jongkok. Wanita itu melompat turun dan dengan gembira menghambur masuk sungai mengambil kain bau orang tadi dan selendang biru Wara Huyeng yang tersangkut di semak-semak air.

“Mhhh... kain ini masih lumayan untuk si Tole, dan selendang ini cukup bagus buat si Genduk! Hi hi hi... hari ini aku sungguh beruntung ya, Le! Hayo, jemur, sana!” si wanita memeras kain tadi dan melemparkan-nya pada si pemuda. Kain basah itu tepat mengenai

ke-pala si pemuda dan menutupinya bagaikan kerudung.

Melihat ini si wanita tertawa terkekeh-kekeh. “Hi hi hi hi... kamu jadi mirip orang-orang Hindustan. Tahu tidak? Tapi... ya lumayan. Biar di situ saja. Biar otakmu agak dingin. Selendangnya untuk aku saja, ya? Buat

(22)

Dengan pengalaman berurusan dengan orang yang tadi, maka Layarmega semakin waspada. Ia telah mem-beri isyarat agar rombongannya bersiap-siap, sebagian

mengelilingi kotak harta. Sebagian lagi berjaga di sekitar Wara Huyeng dan Anengah. Mata Wara Huyeng yang

berpengalaman melihat bahwa walaupun ia curiga si wanita itu menyembunyikan sesuatu, ia tak bisa meli-hat si wanita memiliki ilmu tinggi.

Si wanita dan si pemuda tak menggubris mereka. Sambil bernyanyi-nyanyi tak keruan si wanita mengam-bili makanan dan membawanya ke pendapa, ke sudut yang berseberangan dengan tempat Wara Huyeng dan lainnya.

“Wuah! Kiai Sendang kali ini keterlaluan! Sambalnya begitu pedas!” kata si wanita setelah makan beberapa suap sementara si pemuda menunggu, duduk di pinggir dengan kain basah di kepalanya. “Mungkin ada tamu

yang tak tahu diri hingga Kiai Sendang gusar. Kita kena getahnya, nih! Pasti ada tamu yang sudah makan tidak

bayar, hi hi hi... atau tidak segera pergi, hi hi hi... dasar tamu tidak tahu aturan!” Kata-kata terakhir itu diucapkan begitu keras hingga

Wara Huyeng mengerti bahwa merekalah yang dimak-sud. Ia memberi isyarat pada Layarmega untuk bertin-dak.

“Maaf, Nyai... kami orang baru di sini... bagaimana-kah sesungguhnya peraturan di sini?” Layarmega men-dekat dan bertanya.

“Ho ho ho ho, kamu bertanya, ya?” Si wanita berpa-ling pada Layarmega. Dan kini Wara Huyeng melihat

je-las wanita itu. Wajahnya cantik. Tapi usianya tak bisa ditebak. Rambutnya hitam tebal. Kain yang melilit tubuhnya sangat kasar dan sederhana.

(23)

“Benar, Nyai.” Layarmega tak menghiraukan kekasa-ran kata-kata wanita itu.

“Memangnya... kita pernah berkenalan?” si wanita bertanya.

“Belum. Tetapi sebagai sesama orang dalam perjala-nan sudah selayaknya kita saling sapa, bukan?” sahut Layarmega.

“Ada peraturan seperti itu?” Si wanita mengernyitkan kening.

“Bukan peraturan. Suatu kebiasaan.” Layarmega masih bersabar.

“Wuah! Aku sih tidak biasa.” Si wanita melanjutkan makannya. “Aku biasa kemari. Kiai Sendang kenal aku. Aku biasa makan makanannya. Itu kebiasaanku. Kamu dari mana?”

“Kami dari Kuripan. Akan ke Pacitan. Nyai sendiri dari mana?” tanya Layarmega.

“Apakah juga sudah kebiasaan orang yang bepergian untuk berdusta?” Si wanita tertawa.

“Siapa yang berdusta?”

“Kamu. Jika kalian datang dari Kuripan, pasti

sam-pai di sini pagi tadi. Kapan pun kalian berangkat. Lagi pula, jika kalian dari Kuripan, pasti pembawa tandu itu sudah digantikan beberapa kali. Kulihat yang bahunya

lecet oleh pikulan tandu hanya mereka berdelapan.” “Ah. Mata Nyai sungguh tajam. Mata kami sungguh buta. Mungkinkah Nyai salah seorang orang besar yang seharusnya kami hormati?” Layarmega benar-benar ter-kejut.

(24)

mun-cul beberapa orang berkuda. Tujuh orang. Mereka ber-henti sejenak di ujung jalan yang menuju Uteran. Ke-mudian berjalan pelan menuju tempat tambatan kuda. Dua penunggang kuda terdepan agaknya wanita

yang berpakaian ringkas. Yang membingungkan adalah mereka ini memakai kudung kepala tebal, dan seorang di antaranya membawa sebatang tombak dengan ujung sebangsa pedang yang melengkung besar. Lima pe-nunggang kuda lainnya pria yang bertampang dan ber-perawakan kasar, kecuali seorang yang berpakaian agak mewah bagaikan seorang saudagar.

Kedua wanita tadi turun dari kuda dan berjalan ke

pendapa diiringi oleh pria yang berpakaian seperti saudagar. daftar judul cersil bag 7 :

361 Sepasang Naga Lembah Iblis 362 Pendekar Pedang Pelangi 363 Pembakaran Kuil Thian Lok Si 364 Pendekar Tongkat dari Liongsan 365 Wanita Iblis Pencabut Nyawa 366 Sakit Hati Seorang Wanita 367 Pendekar Dari Hoa San 368 Pendekar Wanita Baju Putih 369 Rahasia Iblis Cantik 370 Pusaka Negeri Tayli 371 Manusia Serigala

372 Pedang Kiri Pedang Kanan 373 Rahasia Gelang Pusaka 374 Si Dungu

375 Irama Suling Menggemparkan Rimba Persilatan 376 Misteri Elang Hitam

377 Iblis Ular Hijau 378 Badai Awan Angin 379 Naga Dari Selatan 380 Heng Thian Siau To 381 Kisah Membunuh Naga 382 Pendekar Pedang Sakti 383 Anak Harimau

384 Harimau Mendekam Naga Sembunyi 385 Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 386 Tamu Aneh Bingkisan Unik

387 Pendekar Patung Emas 388 Eng_Djiauw_Ong 389 Imam Tanpa Bayangan 390 Pusaka Rimba Hijau 391 Pendekar Misterius 392 Bunga Ceplok Ungu

393 Pedang Sakti Tongkat Mustika

394 Dendam Dan Prahara Di Bhumi SRIWIJAYA 395 Naga Bumi I Jurus tanpa Bentuk

(25)

396 Naga Bumi II Buddha, Pedang dan Penyamun Terbang

397 Naga Bumi III KITAB ILMU SILAT KUPU KUPU HITAM

398 Perang Ilmu Gaib

399 Sepak Terjang Hui Sing Murid Perempuan Cheng Ho

400 Sepasang Pedang Pusaka Matahari dan Rembulan

401 SUMA HAN DI MINAHASA 402 Omega Swordsman

403 Kehidupan Para Pendekar 404 Rimba dan Gunung Hijau 405 Sembilan Pusaka Wasiat Dewa

406 Pusaka Golok Iblis Dari Tanah Seberang 407 Munculnya Jit Cu Kiong (Istana Mustika Matahari)

408 Hancurnya Sian Thian San 409 Panggung Penghukum Dewa 410 Perang Bangsa Naga

411 Sengatan Satu Titik Bag 1 412 Sengatan Satu Titik Tamat 413 Pendekar Elang Salju 414 Istana Tanpa Bayangan 1 415 Istana Tanpa Bayangan 2 416 Senopati Pamungkas 1 417 Senopati Pamungkas 2

418 Wisang Geni - Pendekar Tanpa Tandingan 419 Manusia Harimau

420 Manusia Harimau Merantau Lagi Daftar Judul Cersil Bag 8

421 Manusia Harimau Marah 422 Petualangan Manusia Harimau 423 Kucing Suruhan

424 Manusia Harimau Jatuh Cinta 425 Memburu Manusia Harimau Serial Dewa Arak - Aji Saka 426 Pedang Bintang

427 Dewi penyebar maut 428 Raksasa Rimba Neraka

429 Banjir darah di bojong gading 430 Prahara Hutan Bandan

431 Rahasia surat berdarah 432 Pendekar Tangan Baja 433 Tiga Macan Lembah Neraka 434 memburu putri datuk 435 Jamur Sisik Naga

436 Sepasang Alap-Alap Bukit Gantar 437 Tinju Penggetar Bumi

438 Keris peminum darah 439 Kelelawar Beracun

440 perjalanan menantang maut 441 pelarian istana hantu 442 Dendam Tokoh Buangan 443 Maut dari hutan rangkong 444 Setan Mabok

445 Pertarungan Raja-Raja Arak 446 Penghuni Lembah Malaikat 447 Raja Tengkorak

448 Kembalinya Raja Tengkorak 449 Teror Macan Putih

(26)

451 Dalam cengkeraman biang iblis 452 Perkawinan Berdarah

453 Algojo-Algojo Bukit Larangan 454 Makhluk dari Dunia Asing 455 Runtuhnya Sebuah Kerajaan 456 Kemelut Rimba Hijau 457 Tokoh dari Masa Silam 458 Rahasia Syair Leluhur 459 Neraka Untuk Sang Pendekar 460 Misteri Dewa Seribu Kepalan 461 Gerombolan Singa Gurun 462 Macan-Macan Betina

463 Empat Dedengkot Pulau Karang 464 Garuda Mata Satu

465 Tawanan Datuk Sesat 466 Misteri Raja Racun 467 Pendekar Sadis

468 Bencana Patung Keramat 469 Geger Pulau Es

470 Pertarungan di Pulau Api 471 Raja Sihir Berhati Hitam 472 Manusia Kelelawar

473 Penjarah Perawan 474 Kabut di Bukit Gondang 475 Perintah Maut

476 Sumpah Sepasang Harimau 477 Perguruan Kera Emas 478 Mayat Hidup

479 Perawan-Perawan Persembahan 480 Raja Iblis Tanpa Tanding 481 Perempuan Pembawa Maut 482 Angkara Si Anak Naga 483 Satria Sinting 484 Si Linglung Sakti 485 Pembunuh Gelap 486 Makhluk Jejadian 487 Biang Biang Iblis 488 Peti Bertuah 489 Pulau Setan

490 Petualang-Petualang dari Nepal 491 Batu Kematian

492 Pembantai Dari Mongol Daftar Judul Cersil Bag 9 493 Racun Kelabang Merah 494 Mustika Ular Emas 495 Lorong batas dunia 496 Irama Maut

497 Penyair Cengeng 498 Setan Bongkok 499 Perawan Buronan 500 Malaikat Tanpa Wajah 501 Si Pemanah Gadis 1 502 Si Pemanah Gadis 2 503 Si Pemanah Gadis 3 Bag 1 504 Sebilah Pedang Seribu Romansa 505 Giring giring Perak

506 Kesatria Hutan Larangan

507 Pendekar Romantis - Geger di Kayangan 508 Pendekar Romantis - Hancurnya Samurai Cabul 509 Pendekar Romantis - Patung Iblis Banci 510 Pendekar Romantis - Skandal Hantu Putih 511 Pendekar Romantis - Kitab Panca Longok

(27)

512 Pendekar Romantis - Dendam Dalang Setan 513 Pendekar Romantis - Buronan Darah Dewa 514 Pendekar Romantis - Ratu Cadar Jenazah 515 Pendekar Gila - Suling Naga Sakti

516 Pendekar Gila - Kumbang Hitam Dari Neraka 517 Pendekar Gila - Dendam Bidadari Bercadar 518 Pendekar Gila - Duel Di Puncak Lawu 519 Pendekar Gila - Kelelawar Iblis Merah 520 Pendekar Gila - Singa Jantan Dari Cina 521 Pendekar Gila - Titisan Dewi Kwan Im 522 Pendekar Gila - Pedang Penyebar Maut 523 Pendekar Gila - Mawar Maut Perawan Tua 524 Pendekar Gila - Perjalanan ke Akherat 525 Pendekar Gila - Istana Berdarah 526 Pendekar Gila - Murka Sang Iblis 527 Pendekar Gila - Kitab Ajian Dewa

528 Pendekar Gila - Kemelut di Karang Galuh 529 Pendekar Gila - Tumbal Perawan

530 Pendekar Gila - Ular Kobra dari Utara 531 Pendekar Gila - Misteri Dendam Berdarah 532 Pendekar Gila - Prahara di Gunung Kematian 533 Pengemis Binal - Pengkhianatan Dewa Maut 534 Pengemis Binal - Kemelut Kadipaten Bumiraksa 535 Pengemis Binal - Bidadari Lentera Merah 536 Pengemis Binal - Asmara Penggoda

537 Pengemis Binal - Kitab Sukma Gelap 538 Pengemis Binal - Malaikat Bangau Sakti 539 Pengemis Binal - Dendam Para Pengemis 540 Pengemis Binal - Tabir Air Sakti

Referensi

Dokumen terkait

Uji keabsahan data dilakukan dengan teknik triangulasi sumber, yaitu dengan cara membandingkan hasil wawancara antara anak jalanan pengguna  NAPZA dengan hasil observasi

Permasalahan yang akan menjadi pembahasan dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimanakah dasar dan pelaksanaan Peradilan Tata Usaha Negara dalam Undang- undang nomor 5 tahun

Oleh karena itu informasi tentang kesehatan gigi merupakan bagian dari kesehatan secara keseluruhan yang tidak bisa dipisahkan dan penting dalam menunjang kualitas

Node monitoring terdiri atas beberapa hardware yang membantu kerja sistem diantaranya baterai sebagai sumber daya, sensor LM35 sebagai alat yang bekerja mengukur

Puji syukur ke Hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Profil Protein Ekstrak Biji

Country of Origin Perception, Promosi Penjualan, dan Physical Environment Berpengaruh Terhadap Minat Beli Ulang Melalui Ekuitas Merek pada Kedai kopi Excelso di Surabaya ....

Berdasarkan hasil pengamatan pada Gambar 1 dapat diketahui rata-rata motilitas progresif spermatozoa setelah diberikan sari kurma per oral pada equilibrasi 4 jam

Demi mencapai tujuan pendidikan Islam, sudah barang tentu diperlukan adanya manajemen pendidikan Islam. Hal ini dimaksudkan agar dalam upaya pencapaian tujuan