• Tidak ada hasil yang ditemukan

makalah (lengkap)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "makalah (lengkap)"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I BAB I

PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1.

1.1. LATAR BELAKANGLATAR BELAKANG

Selama ini pemerintah dianggap belum menjalankan fungsi pengawasan Selama ini pemerintah dianggap belum menjalankan fungsi pengawasan terhadap berbagai produk pangan di daerah. Bahkan, Ditjen Pangan Kementerian terhadap berbagai produk pangan di daerah. Bahkan, Ditjen Pangan Kementerian Pertanian (Kementan) baru mengusulkan kepada Kementerian Dalam Negeri Pertanian (Kementan) baru mengusulkan kepada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) agar mewajibkan pengawasan pangan.

(Kemendagri) agar mewajibkan pengawasan pangan.

Jadi, secara tidak langsung, pemerintah telah lalai mengawasi produk Jadi, secara tidak langsung, pemerintah telah lalai mengawasi produk  pangan

 pangan bagi bagi konsumen konsumen di di Indonesia. Indonesia. “Fungsi “Fungsi pengawasan pengawasan oleh oleh pemerintahpemerintah  bermasalah,”

 bermasalah,” kata kata Ketua Ketua Pengurus Pengurus Harian Harian Yayasan Yayasan Lembaga Lembaga KonsumenKonsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo, Rabu, 9 Februari.

Indonesia (YLKI) Sudaryatmo, Rabu, 9 Februari.

Menurut dia, indikasi lain yang menguatkan soal itu adalah rutinitas razia Menurut dia, indikasi lain yang menguatkan soal itu adalah rutinitas razia makanan yang biasanya baru dilakukan menjelang Lebaran. Hal itu terjadi karena makanan yang biasanya baru dilakukan menjelang Lebaran. Hal itu terjadi karena selama ini tidak ada pengawasan secara rutin oleh pemerintah daerah.

selama ini tidak ada pengawasan secara rutin oleh pemerintah daerah.

Di sisi lain, tidak semua daerah memiliki lembaga konsumen. Akibatnya, Di sisi lain, tidak semua daerah memiliki lembaga konsumen. Akibatnya, tidak banyak warga yang tahu akan mengadu ke mana terkait produk bermasalah tidak banyak warga yang tahu akan mengadu ke mana terkait produk bermasalah yang mereka temukan. “Kalau ada, mencari telepon lembaga dan alamatnya juga yang mereka temukan. “Kalau ada, mencari telepon lembaga dan alamatnya juga susah setengah mati,

susah setengah mati,” tutur Sudaryatmo.” tutur Sudaryatmo.

Karena itu, YLKI menilai, kewajiban labelisasi halal untuk produk pangan Karena itu, YLKI menilai, kewajiban labelisasi halal untuk produk pangan akan memicu masalah. Dia mempertanyakan kesanggupan pemerintah akan memicu masalah. Dia mempertanyakan kesanggupan pemerintah menegakkan hukum terhadap perusahaan besar yang melanggar ketentuan menegakkan hukum terhadap perusahaan besar yang melanggar ketentuan labelisasi halal tersebut. “Jik 

labelisasi halal tersebut. “Jik a diwajibkan, itu malah menjadi persoalan. Lebiha diwajibkan, itu malah menjadi persoalan. Lebih  baik sifatnya

 baik sifatnya voluntaryvoluntary saja,” kata dia.saja,” kata dia.

Labelisasi halal, ujar Sudaryatmo, akan otomatis dilakukan pelaku usaha Labelisasi halal, ujar Sudaryatmo, akan otomatis dilakukan pelaku usaha yang mendirikan perusahaan pangan di kawasan berpenduduk mayoritas muslim, yang mendirikan perusahaan pangan di kawasan berpenduduk mayoritas muslim,

(2)

seperti Indonesia. Hal itu merupakan konsekuensi agar produk mereka laku. seperti Indonesia. Hal itu merupakan konsekuensi agar produk mereka laku. “Tanpa diwajibkan pun, mereka sudah tahu i

“Tanpa diwajibkan pun, mereka sudah tahu itu,” tutur Sudaryatmo.tu,” tutur Sudaryatmo.

DPR berpendapat, labelisasi produk halal penting dilakukan untuk DPR berpendapat, labelisasi produk halal penting dilakukan untuk memberikan perlindungan hukum konsumsi atas kepentingan kelompok tertentu. memberikan perlindungan hukum konsumsi atas kepentingan kelompok tertentu. Rencananya, DPR dan pemerintah merumuskan ra

Rencananya, DPR dan pemerintah merumuskan rancangan undang-undang (RUU)ncangan undang-undang (RUU)  jaminan produk halal.

 jaminan produk halal.

Menurut Sudaryatmo, labelisasi membutuhkan biaya yang tinggi. Menurut Sudaryatmo, labelisasi membutuhkan biaya yang tinggi. Misalnya, pengurusan di lembaga sertifikasi, akreditasi, pemeriksa, hingga komisi Misalnya, pengurusan di lembaga sertifikasi, akreditasi, pemeriksa, hingga komisi fatwa. Dia meminta proses labelisasi halal diterapkan berbeda antara industri fatwa. Dia meminta proses labelisasi halal diterapkan berbeda antara industri  pangan

 pangan besar besar dan dan yang yang kecil. kecil. “Industri “Industri kecil kecil kerap kerap mengeluh mengeluh harus harus menanggungmenanggung  biaya tiket dan penginapan para aud

 biaya tiket dan penginapan para auditor halal dari Jakarta,” ujar Sudaryatmo.itor halal dari Jakarta,” ujar Sudaryatmo.

Secara terpisah, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan Secara terpisah, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan  bahwa

 bahwa ke ke depan depan semua semua produk produk pangan pangan yang yang mengandung mengandung babi babi atau atau dalamdalam  prosesnya

 prosesnya bersinggungan bersinggungan dengan dengan babi babi wajib wajib mencantumkan mencantumkan kotak kotak merahmerah  bergambar

 bergambar babi. babi. Menurut Menurut Kepala Kepala BPOM BPOM Kustantinah, Kustantinah, gambar gambar babi babi itu itu harusharus dicantumkan dalam setiap kemasan produk yang diedarkan.

dicantumkan dalam setiap kemasan produk yang diedarkan.

Langkah itu ditempuh untuk memberikan informasi kepada warga Langkah itu ditempuh untuk memberikan informasi kepada warga Indonesia yang mayoritas muslim. “Itu mencegah peredaran produk makanan Indonesia yang mayoritas muslim. “Itu mencegah peredaran produk makanan yang tak layak dikonsumsi masyarakat,” t

yang tak layak dikonsumsi masyarakat,” terangnya.erangnya.

Direktur Lembaga Pengkajian Pangan Produk Obat dan Makanan Majelis Direktur Lembaga Pengkajian Pangan Produk Obat dan Makanan Majelis Ulama Indonesia (LP3OM MUI) Lukmanul Hakim menyatakan bahwa hingga Ulama Indonesia (LP3OM MUI) Lukmanul Hakim menyatakan bahwa hingga kini produk pangan yang telah melakukan sertifikasi halal baru sekira 36,7 persen. kini produk pangan yang telah melakukan sertifikasi halal baru sekira 36,7 persen. Di antara jumlah itu, sekitar 31 persen berasal dari produk pangan impor. Lalu, 21 Di antara jumlah itu, sekitar 31 persen berasal dari produk pangan impor. Lalu, 21  persen di antaranya dikuasai produk asal China.

 persen di antaranya dikuasai produk asal China.

“Sekarang kesadaran di kalangan produk impor untuk melakukan “Sekarang kesadaran di kalangan produk impor untuk melakukan sertifikasi terus meningkat,” tutur dia. Meski begitu, dia juga menyayangkan sertifikasi terus meningkat,” tutur dia. Meski begitu, dia juga menyayangkan

(3)

masih banyak produk makanan yang beredar di masyarakat belum melakukan registrasi sertifikat halal.

1.2. IDENTIFIKASI MASALAH

 Mengapa penyalahgunaan bahan kimia berbahaya dalam makanan

termasuk ke dalam kasus pelanggaran rule of law?

 Faktor apa yang menyebabkan produsen makanan masih

menggunakan bahan kimia berbahaya ?

 Bagaimana landasan penerapan rule of law mengenai keamanan

 pangan di Indonesia?

 Bagaimana peredaran produk pangan yang tidak memenuhi syarat?  Apa salah satu kasus keracunan makanan yang terjadi di mas yarakat?  Bagaimana tanggung jawab dan kesadaran produsen-distributor?

 Bagaimana pengetahuan dan kepedulian konsumen terhadap

 permasalahan keamanan pangan?

 Apa dampak yang ditimbulkan akibat penyimpangan mutu dan

masalah keamanan pangan?

(4)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

 Rule Of Law merupakan suatu doktrin hukum yang mulai muncul pada abad ke XIX, bersamaan dengan kelahiran Negara berdasarkan hukum (konstitusi) dan demokrasi. Kehadiran  Rule Of Law boleh disebut sebagai reaksi dan koreksi terhadap Negara absolut ( kekuasaan di tangan penguasa ) yang telah berkembang sebelumnya.

Berdasarkan pengertian, friedman ( 1959 ) membedakan  Rule Of Law menjadi 2 yaitu pengertian secara formal ( in the formal sense ) dan pengertian secara hakiki / materil ( ideological sense ). Secara formal , Rule Of Law diartikan sebagai kekuasaan umum yang terorganisir ( organized public power   ) . Hal ini dapat diartikan bahwa setiap Negara mempunyai aparat penegak hukum yang menyangkut ukuran yang baik dan buruk ( just anf unjust law ).

 Rule Of Law pada hakikatnya merupakan jaminan secara formal terhadap “rasa keadilan“ bagi rakyat Indonesia dan juga “ keadilan sosial “ . Inti dari  Rule Of Law adalah adanya keadilan bagi masyarakat , teruatama keadilan sosial.

Pelaksanaan  Rule Of Law mengandung keinginan untuk terciptanya  Negara hukum , yang membawa keadilan bagi seluruh rakyat. Penegakan Rule Of  Lawharus diartikan secara hakiki ( materil ) yaitu dalam arti pelaksanaan dari just law. Prinsip  –   prinsip  Rule Of Law secara hakiki sangat erat kaitannya dengan “the enofercement of the rules of law“ dalam penyelenggaraan pemerintahan terutama dalam hal penegakan hukum dan implementasi prinsip  –  prinsip rule of law.

Secara kuantatif, peraturan perundang  –   undangan yang terkait dengan  Rule of Law  telah banyak dihasilkan di Negara kita, namun implementtasi /  penegakannya belum mencapai hasil yang optimal. Sehingga rasa keadilan sebagai perwujudan pelaksanaan  Rule of Law  belum dirasakan sebagian masyarakat. Contoh peraturan perundang-undangan yang telah dihasilkan di Indonesia adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan.

(5)

Beberapa isi dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan yang berhubungan dengan rendahnya pengawasan hukum dalam kasus peredaran bahan kimia berbahaya dalam makanan adalah sebagai berikut :

1. Pasal 6

Setiap orang yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran  pangan wajib:

a. memenuhi persyaratan sanitasi, keamanan, dan atau keselamatan manusia;

 b. menyelenggarakan program pemantauan sanitasi secara berkala; dan c. menyelenggarakan pengawasan atas pemenuhan persyaratan sanitasi. 2. Pasal 10

(1) Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan apa pun sebagai bahan tambahan pangan yang dinyatakan terlarang atau melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan.

(2) Pemerintah menetapkan lebih lanjut bahan yang dilarang dan atau dapat digunakan sebagai bahan tambahan pangan dalam kegiatan atau  proses produksi pangan serta ambang batas maksimal sebagaimana

dimaksud pada ayat (1). 3. Pasal 11

Bahan yang akan digunakan sebagai bahan tambahan pangan, tetapi belum diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia, wajib terlebih dahulu diperiksa keamanannya, dan penggunaannya dalam kegiatan atau proses  produksi pangan untuk diedarkan dilakukan setelah memperoleh  persetujuan Pemerintah.

4. Pasal 13

(1) Setiap orang yang memproduksi pangan atau menggunakan bahan  baku, bahan tambahan pangan, dan atau bahan bantu lain dalam kegiatan atau proses produksi pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika

(6)

wajib terlebih dahulu memeriksakan keamanan pangan bagi kesehatan manusia sebelum diedarkan.

(2) Pemerintah menetapkan persyaratan dan prinsip penelitian,  pengembangan, dan pemanfaatan metode rekayasa genetika dalam kegiatan atau proses produksi pangan, serta menetapkan persyaratan bagi  pengujian pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika.

5. Pasal 20

(1) Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diperdagangkan wajib menyelenggarakan system jaminan mutu, sesuai dengan jenis pangan yang diproduksi.

(2) Terhadap pangan tertentu yang diperdagangkan, Pemerintah dapat menetapkan persyaratan agar pangan tersebut terlebih dahulu diuji secara laboratoris sebelum peredarannya.

(3) Pengujian secara laboratoris, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan di laboratorium yang ditunjuk oleh dan atau telah memperoleh akreditasi dari Pemerintah.

(4) Sistem jaminan mutu serta persyaratan pengujian secara laboratoris, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan dan diterapkan secara bertahap dengan memperhatikan kesiapan dan kebutuhan sistem pangan.

(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

6. Pasal 21

Setiap orang dilarang mengedarkan:

a. pangan yang mengandung bahan beracun, berbahaya, atau yang dapat merugikan atau membahayakan kesehatan atau jiwa manusia;

 b. pangan yang mengandung cemaran yang melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan;

c. pangan yang mengandung bahan yang dilarang digunakan dalam kegiatan atau proses produksi pangan;

(7)

d. pangan yang mengandung bahan yang kotor, busuk, tengik, terurai, atau mengandung bahan nabati atau hewani yang berpenyakit atau berasal dari  bangkai sehingga menjadikan pangan tidak layak dikonsumsi manusia;

(8)

BAB III PEMBAHASAN

Salah satu sasaran pengembangan di bidang pangan adalah terjaminnya  pangan yang dicirikan oleh terbebasnya masyarakat dari jenis pangan yang  berbahaya bagi kesehatan.

Hal ini secara jelas menunjukkan upaya untuk melindungi masyarakat dari  pangan yang tidak memenuhi standar dan persyaratan kesehatan. Sasaran program

keamanan pangan adalah:

(1) Menghindarkan masyarakat dari jenis pangan yang berbahaya bagi kesehatan, yang tercermin dari meningkatnya pengetahuan dan kesadaran produsen terhadap mutu dan keamanan pangan;

(2) Memantapkan kelembagaan pangan, yang antara lain dicerminkan oleh adanya  peraturan perundang-undangan yang mengatur keamanan pangan; dan

(3) Meningkatkan jumlah industri pangan yang memenuhi ketentuan peraturan  perundang-undangan.

Dengan diberlakukannya UU No. 7 tentang Pangan tahun 1996 sebuah langkah maju telah dicapai pemerintah untuk memberi perlindungan kepada konsumen dan produsen akan pangan yang sehat, aman dan halal. Dalam upaya  penjabaran UU tersebut, telah disusun Peraturan Pemerintah (PP) tentang

keamanan pangan serta label dan iklan pangan. Demikian juga PP tentang mutu dan gizi pangan serta ketahanan pangan.

Gambaran keadaan keamanan pangan selama tiga tahun terakhir secara umum adalah:

(1) Masih dtiemukan beredarnya produk pangan yang tidak memenuhi  persyaratan;

(2) Masih banyak dijumpai kasus keracunan makanan;

(3) Masih rendahnya tanggung jawab dan kesadaran produsen serta distributor tentang keamanan pangan yang diproduksi/diperdagangkannya; dan

(9)

(4) Masih kurangnya kepedulian dan pengetahuan konsumen terhadap keamanan  pangan.

A. Produk Pangan yang Tidak Memenuhi Persyaratan

Dari jumlah produk pangan yang diperiksa ditemukan sekitar 9,08% -10,23% pangan yang tidak memenuhi persyaratan. Produk pangan tersebut umumnya dibuat menggunakan bahan tambahan pangan yang dilarang atau melebihi batas penggunaan: merupakan pangan yang tercemar bahan kimia atau mikroba; pangan yang sudah kadaluwarsa; pangan yang tidak memenuhi standar mutu dan komposisi serta makanan impor yang tidak sesuai persyaratan. Dari sejumlah produk pangan yang diperiksa tercatat yang tidak memenuhi persyaratan  bahan pangan adalah sekitar 7,82% - 8,75%. Penggunaan bahan tambahan makanan pada makanan jajanan berada pada tingkat yang cukup menghawatirkan karena jumlah yang diperiksa sekitar 80%-nya tidak memenuhi persyaratan.

Penggunaan bahan tambahan yang tidak sesuai diantaranya adalah: (1) Pewarna berbahaya (rhodamin B. methanyl yellow dan amaranth)  yang ditemukan terutama pada produk sirop, limun, kerupuk, roti, agar/jeli, kue-kue basah, makanan jajanan (pisang goreng, tahu, ayam goreng dan cendol). Dari sejumlah contoh yang diperiksa ditemukan 19,02% menggunakan pewarna terlarang; (2) Pemanis buatan khusus untuk diet (siklamat dan sakarin) yang digunakan untuk makanan jajanan. Sebanyak 61,28% dari contoh makanan jajanan yang diperiksa menggunakan pemanis buatan; (3) Formalin untuk mengawetkan tahu dan mie  basah; dan (4) Boraks untuk pembuatan kerupuk, bakso, empek-empek dan

lontong.

Pengujian pada minuman jajanan anak sekolah di 27 propinsi ditemukan hanya sekitar 18,2% contoh yang memenuhi persyaratan penggunaan BTP, terutama untuk zat pewarna, pengawet dan pemanis yang digunakan sebanyak 25,5% contoh minuman mengandung sakarin dan 70,6% mengandung siklamat.

(10)

Pestisida, logam berat, hormon, antibiotika dan obat-obatan lainnya yang digunakan dalam kegiatan produksi pangan merupakan contoh cemaran kimia yang masih banyak ditemukan pada produk pangan, terutama sayur, buah-buahan dan beberapa produk pangan hewani. Sedangkan cemaran mikroba umumnya  banyak ditemukan pada makanan jajanan, makanan yang dijual di warung-warung di pinggir jalan, makanan katering, bahan pangan hewani (daging, ayam dan ikan) yang dijual di pasar serta makanan tradisional lainnya. Hasil pengujian di 8 Balai Laboratorium Kesehatan Propinsi menemukan 23,6% contoh makanan positif mengandung bakteri Escheresia coli, yaitu bakteri yang digunakan sebagai indikator sanitasi.

Dalam hal pelabelan produk pangan, dari sejumlah contoh label yang diperiksa sebanyak 27,30% - 26,76% tidak memenuhi persyaratan dalam hal kelengkapan dan kebenaran informasi yang tercantum dalam label. Sedangkan dari sejumlah contoh iklan yang diperiksa terutama karena memberikan informasi yang menyesatkan (mengarah ke pengobatan) dan menyimpang dari peraturan  periklanan.

Produk pangan kadaluarsa terutama diedarkan untuk bingkisan atau parcel Hari Raya/Tahun Baru. Dari sejumlah sarana penjual parcel yang diperiksa sekitar 33,22%-43,57% sarana menjual produk kadaluarsa.

Peredaran produk pangan yang tidak memenuhi standar mutu dan komposisi masih banyak pula ditemukan. Dari sejumlah contoh garam beryodium yang diperiksa sekitar sebanyak 63,30%-48,73% contoh tidak memenuhi  persyaratan kandungan KlO3.

Produk pangan impor yang tidak memenuhi persyaratan masih banyak yang beredar di pasaran. Survei tahun 1998 menemukan sejumlah 69,2% tidak mempunyai nomor ML (izin peredaran dari Departemen Kesehatan) dan 28,1%

(11)

tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa. Ditemukan pula sayuran dan buah- buahan impor yang mengandung residu pestisida yang cukup tinggi serta mikroba dalam jumlah dan jenis yang tidak memenuhi persyaratan pada produk pangan hewani.

B. Kasus Keracunan Makanan

Sepanjang tahun 1994/1995 dilaporkan sejumlah 26 kasus keracunan makanan yang menyebabkan 1.552 orang menderita dan 25 orang meninggal, sedangkan tahun 1995/1996 dilaporkan sebanyak 30 kasus dengan 92 orang menderita dan 13 orang meninggal. Dari kasus tersebut hanya 2  –  5 kasus yang telah diidentifikasi dengan jelas penyebabnya. Diperkirakan jumlah kasus yang dilaporkan ini masih sangat rendah dibandingkan keadaan sebenarnya yang terjadi. WHO (1998) memperkirakan perbandingan antara kasus keracunan makanan yang dilaporkan dan yang sebenarnya terjadi adalah 1: 10 untuk negara maju dan 1 : 25 untuk negara yang sedang berkembang. Sebaran kasus keracunan di 10 propinsi di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kasus keracunan pangan di 10 Propinsi di Indonesia dalam tahun 1996-1997

PROPINSI Jumlah

Kasus Jumlah Korban

Sumber/asal TPM

Jumlah yang telah Diidentifikasi

 penyebabnya Penderita Mening

(12)

1. D. I. Aceh 2. Sumatera Barat 1. Bengkulu 2. Jawa Barat 3. Jawa Tengah 4. Jawa Timur 5. Kalimantan Barat 6. Kalimantan Selatan 7. Sulawesi Selatan 8. Bali 1 2 1 1 6 12 2 1 4 1 3 10 37 163 431 505 27 18 76 111 0 1 0 0 0 6 0 0 7 0 Makjan Rumah Tangga (RT) Rumah Tangga Jasaboga Jasaboga Pasar Jasaboga, Industri RT, Makjan pasar Toko, RT -Pasar, RT Lokal -Zat Kimia -1 (nitrit) 1 (amaranth) 1 (pestisida) 1 (salmonella) 8 (?) -1 (jamur) 1 (nitrit) 2 (?) Shigella S. aureus Jumlah 31 1.381 14 16 (51,61%)

(13)

Sumber: Direktorat Penyehatan lingkungan Pemukiman, Ditjen PPMPLP, Depkes (1998)

C. Tanggung Jawab dan Kesadaran Produsen dan Distributor

Masih kurangnya tanggung jawab dan kesadaran produsen dan distributor terhadap keamanan pangan tampak dari penerapan Good Agricultural Practice (GAP) dan teknologi produksi berwawasan lingkungan yang belum sepenuhnya oleh produsen primer, penerapan Good Handling Pratice  (GHP) dan Good  Manufacturing   Pratice (GMP) serta  Hazard Analysis Critical Control Point 

(HACCP) yang masih jauh dari standar oleh produsen/pengolah makanan berskala kecil dan rumah tangga.

Pemeriksaan terhadap sarana produksi makanan/minuman skala rumah tangga menengah dan besar menemukan sekitar 33,15% - 42,18% sarana tidak memenuhi persyaratan higiene dan sanitasi. Sedangkan pengawasan di tempat  pengolahan makanan (TPM) yang mencakup jasa boga, restoran/rumah makan dan TPM lainnya hanya sekitar 19,98% yang telah mempunyai izin penyehatan makanan dan hanya sekitar 15,31% dari rumah makan/restoran yang diawasi yang memenuhi syarat untuk diberi grade A, B dan C. Pelatihan penyuluhan yang diberikan umumnya baru menjangkau skala besar.

Distributor pangan umumnya juga belum memahami Good Distribution Practice (GDP). Pemeriksaan terhadap sarana distribusi produk pangan dalam hal sanitasi, bangunan dan fasilitas yang digunakan, serta produk yang dijual menemukan sekitar 41,60% - 44,29% sarana yang tidak memenuhi syarat sebagai distributor makanan.

(14)

D. Pengetahuan dan Kepedulian Konsumen

Masih kurangnya pengetahuan dan kepedulian konsumen tentang keamanan pangan tercermin dari sedikitnya konsumen yang menuntut produsen untuk menghasilkan produk pangan yang aman dan bermutu serta klaim konsumen jika produk pangan yang dibeli tidak sesuai informasi yang tercantum  pada label maupun iklan. Pengetahuan dan kepedulian konsumen yang tinggi akan sangat mendukung usaha peningkatan pendidikan keamanan pangan bagi para  produsen pangan.

Dalam menghadapi permasalahan-permasalahan tersebut pemerintah telah melakukan berbagai program dan pembinaan baik terhadap pedagang, pengusaha dan pengolah/penjaja makanan maupun terhadap lokasi penjualan dan pengolahan  pangan. Pembinaan dilakukan tidak hanya oleh Departemen Kesehatan, namun

melibatkan pula instansi lain dan pemerintah daerah. Data tahun 1995/1996 menunjukkan pula instansi lain dan pemerintah daerah. Data tahun 1997/1998 menunjukkan bahwa telah lebih dari 60% kelompok makanan jajanan (lokasi dan  pedagang) pengrajin makanan (lokasi desa dan pengrajin) dibina, namun baru

sekitar 14,65% pengusaha dan 23,86 penjaja makanan yang telah dibina dalam hal  pengelolaan makanan secara aman.

III. Dampak Penyimpangan Mutu dan Masalah Keamanan Pangan

Ada empat masalah utama mutu dan keamanan pangan nasional yang  berpengaruh terhadap perdagangan pangan baik domestik maupun global

(15)

Pertama, produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan mutu keamanan pangan, yaitu:

(1) Penggunaan bahan tambahan pangan yang dilarang atau melebihi batas dalam  produk pangan;

(2) Ditemukan cemaran kimia berbahaya (pestisida, logam berat, obat-obat  pertanian) pada berbagai produk pangan;

(3) Cemaran mikroba yang tinggi dan cemaran microba patogen pada berbagai  produk pangan;

(4) Pelabelan dan periklanan produk pangan yang tidak memenuhi syarat; (5) Masih beredarnya produk pangan kadaluwarsa, termasuk produk impor;

(6) Pemalsuan produk pangan;

(7) Cara peredaran dan distribusi produk pangan yang tidak memenuhi syarat; dan (8) Mutu dan keamanan produk pangan belum dapat bersaing di pasar Internasional.

Kedua, masih banyak terjadi kasus kercunan makanan yang sebagian besar  belum dilaporkan dan belum diidentifikasi penyebabnya. Ketiga, masih rendahnya  pengetahuan, keterampilan, dan tanggung jawab produsen pangan (produsen  bahan baku, pengolah dan distributor) tentang mutu dan keamanan pangan, yang ditandai dengan ditemukannya sarana produk dan distribusi pangan yang tidak memenuhi persyaratan (GAP, GHP, GMP, GDP, dan GRP), terutama pada industri kecil/rumah tangga. Dan keempat, rendahnya kepedulian konsumen tentang mutu dan keamanan pangan yang disebabkan pengetahuan yang terbatas dan kemampuan daya beli yang rendah, sehingga mereka masih membeli produk  pangan dengan tingkat mutu dan keamanan yang rendah.

Penyimpangan mutu dan keamanan pangan mempunyai dampak terhadap  pemerintah, industri dan konsumen seperti tercantum dalam Tabel 2. Oleh karena

itu diperlukan peran serta ketiga sektor tersebut untuk menjamin mutu dan keamanan pangan.

(16)

IV. Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman Dalam Sistem Mutu dan Keamanan Pangan

Untuk implementasi sistem mutu dan keamanan pangan nasional telah dilakukan analisis SWOT yang mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang dihadapi. Dari hasil analisis tersebut ditetapkan kebijakan yang harus ditempuh, serta disusun strategi, program, dan kegiatan yang perlu dilakukan untuk menjamin dihasilkannya produk pangan yang memenuhi  persyaratan mutu dan keamanan untuk perdagangan domestik maupun global,

yaitu melalui pendekatan HACCP untuk menghasilkan produk yang aman, serta mengacu pada ISO 9000 (QMS) untuk menghasilkan produk yang konsisten dan ISO 14000 (EMS) untuk menjamin produk pangan yang berwawasan lingkungan (Gambar 1). Gambar 2. Menyajikan pengembangan sistem mutu dan keamanan  pangan nasional, yang menekankan pada penerapan sistem jaminan mutu untuk

setiap mata rantai dalam pengolahan pangan yaitu GAP/GFP (Good   Agriculture/Farming Practices),  GHP (Good Handling Practices),  GMP (Good  Manufacturing Practices),  GDP (Good Distribution Practices),  GRP (Good  Retailing Practices) dan GCP (Good Cathering Practices).

Tabel 2. Dampak penyimpangan mutu dan keamanan pangan terhadap  pemerintah, industri dan konsumen.

(17)

PENYIMPANGAN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN

PEMERINTAH INDUSTRI KONSUMEN

 Penyelidikan dan

 penyedikan kasus

 Biaya penyelidikan dan

analisis

Kehilangan

Produktivitas

Penurunan ekspor  Biaya sosial sekuriti  Penganguran

 Penarikan produk  Penutupan pabrik  Kerugian

 Penelusuran penyebab  Kehilangan pasar dan

 pelanggan

Kehilangan kepercayaan

konsumen (domestik dan internasional)

 Administrasi asuransi  Biaya legalitas

 Biaya dan waktu

rehabilitasi (pengambilan kepercayaan konsumen)

 Penuntutan konsumen

 Biaya pengobatan dan

rehabilitasi

 Kehilangan pendapatan dan

 produktivitas

Sakit, penderitaan dan

mungkin kematian

Kehilangan waktu

 Biaya penuntutan/pelaporan

Dalam bulan Juni 1995, Codex Alimentarius Commision (CAC) telah mengadopsi dan merekomendasikan penerapan sistem HACCP ( Hazard Analysis Critical Control Point)  dalam industri pangan. Negara-negara Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) melalui EC Directive 91/493/EEC juga merekomendasikan penerapan HACCP sebagai dasar pengembangan sistem manajemen mutu kepada negara-negara yang akan mengekspor produk pangan ke negara-negara MEE. HACCP juga direkomendasikan oleh US-FDA kepada negara-negara yang mengekspor produk makanan ke USA. Konsep HACCP terutama mengacu pada pengendalian keamanan pangan (food safety),  meskipun dapat pula diterapkan pada komponen mutu lainnya seperti keutuhan yang menyangkut anfaat dan kesehatan (Wholesomeness),  dan pencegahan tindakan-tindakan kecurangan dalam perekonomian (economic fraund)  (Tim Inter Departemen Bappenas, 1996).

(18)

Konsep Implementasi Qual i ty System  dan Safety 

SISTEM MUTU DAN KEAMANAN PANGAN

KEKUATAN KELEMAHAN PELUANG ANCAMAN

 Perkembangan industri pangan yang semakin  pesat  Tersedianya UU Pangan dan Peraturan  Tersedianya sistem manajemen mutu dan keamanan (GAP/GFP, GHP, GMP, GDP, GRP, ISO 9000, ISO 14000 ,dll)  Produk pangan didominasi oleh industri kecil/rumah tangga  Kualitas SDM  belum memadai  Kelembagaan koordinasi belum terpadu  Penguasaan Iptek yang masih lemah  Keterbatasan dan sumber dana  Kepedulian  produsen dan konsumen masih rendah  Keterbatasan infrastruktur (laboratorium,  peraturan,  pedoman,  Globalisasi  produk agroindustri  Persaingan internasional yang semakin ketat  Peraturan dan kesepakatan internasional (WTO/TBT, SPS, dll)

(19)

standar)

KEBIJAKSANAAN, STRATEGI DAN PROGRAM PENGENDALIAN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN (Mengacu pada konsep HACCP, ISO 9000 dan ISO 14000)

IMPLEMENTASI PROGRAM DAN PENGAWASAN

Gambar 1. Analisa kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam implementasi sistem mutu dan keamanan pangan.

JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN PANGAN

(20)

Gambar 2. Sistem Mutu dan Keamanan Pangan Nasional

V. Tanggung Jawab Bersama dalam Implementasi Sistem Mutu dan Keamanan Pangan

Pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan merupakan tanggung  jawab bersama antara pemerintah, industri yang meliputi produsen bahan baku,

industri pangan dan distributor, serta konsumen (WHO, 1998). Keterlibata n ketiga sektor tersebut sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengembangan sistem mutu dan keamanan pangan. Gambar 3 menyajikan keterlibatan dan tanggung  jawab bersama antara pemerintah, industri dan konsumen dalam pengembangan

sistem mutu dan keamanan pangan.

HACCP, ISO 9000, ISO 140000

Produksi Bahan Baku/

Penanganan

GAP/GEP GHP GMP GDP GRP GCP

Pengolahan Distribusi Pasar Konsumen

(21)

IMPLEMENTASI SISTEM MUTU DAN KEAMANAN PANGAN

PEMERINTAH

INDUSTRI

(Industri bahan baku, Pengolahan, Distributor, Pengecer) KONSUMEN MASYARAKA T  Penyusunan kebijaksanaan strategi,  program dan peraturan  Pelakasanaan program  Pemasyarakatan UU

Pangan dan peraturan  Pengawasan dan low

enforcement

 Pengumpulan informasi  Pengembangan Iptek dan

 penelitian  Pengembangan SDM (pengawas pangan,  penyuluh pangan, industri)  Penyuluhan dan  penyebaran informasi kepada konsumen  Penyelidikan dan  penyedikan kasus  penyimpangan mutu dan

keamanan pangan

 Penerapan sistem jaminan mutu dan keamanan  pangan (GAP/GFP, GHP, GMP, GDP, GR, HACCP, ISO 9000, ISO 14000 dll)  Pengawasan mutu dan

keamanan produk

 Penerapan teknologi yang tepat (aman, ramah lingkungan, dll)

 Pengembangan SDM (manager, supervisor,  pekerja pengolah pangan)

 Pengembanga n SDM (pelatihan,  penyuluhan dan  penyebaran informasi kepada konsumen) tentang keamanan  pangan  Praktek  penanganan dan  pengolahan  pangan yang  baik (GCP)  Partisipasi dan kepedulian masyarakat tentang mutu dan keamanan  pangan

(22)

TANGGUNG JAWAB BERSAMA

Gambar 3. Hubungan antara tanggung jawab pemerintah, industri dan konsumen dalam implementasi sistem dan keamanan pangan

VI. Kebijakan Sistem Mutu dan Keamanan Pangan

Kebijakan Nasional tentang Mutu dan Keamanan Pangan telah disusun secara lintas sektoral dengan melibatkan berbagai Departemen dan Lembaga Pemerintah Non Departemen yang terlibat dalam pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan. Kebijakan Mutu dan keamanan Pangan nasional tersebut adalah sebagai berikut (Kantor Menteri Negara Pangan: 1997):

1. Meningkatkan mutu dan keamanan pangan melalui penelitian dan  pengembangan, pengembangan peraturan perundang-undangan serta

kelembagaan.

2. Meningkatkan mutu gizi pangan dalam upaya meningkatkan status gizi masyarakat.

(23)

3. Memberikan jaminan bahwa pangan sebagai bahan baku industri maupun konsumsi, bebas dari kontaminasi bahan kimia, biologi dan toksin, serta tidak  bertentangan dengan keyakinan yang dianut oleh masyarakat.

4. Menerapkan secara terpadu sistem jaminan mutu dan keamanan pangan sejak  pra produksi, selama proses produksi sampai konsumen baik dalam  pembinaan maupun pengawasan melalui Program Sistem Mutu dan Keamanan

Pangan Nasional.

5. Meningkatkan pengawasan melekat/mandiri (self regulatory control)  pada  produsen, konsumen, pengolah, pedagang, serta pembina dan pengawas mutu

dalam melaksanakan jaminan mutu dan keamanan pangan.

6. Melarang memperadagangkan (ekspor dan impor) pangan yang melanggar ketentuan yang secara internasional telah disepakati bersama.

7. Melaksanakan sertifikasi dan menerebitkan sertifikat mutu produk pangan yang memenuhi persyaratan Standar Nasional Indonesia (SNI) bagi produsen, eksportir dan eksportir produsen yang telah mampu menerapkan sistem manajemen mutu dan keamanan pangan.

8. Menjaga standar mutu yang tinggi dalam setiap aspek kinerja pembinaan dan  pengawasan mutu dan keamanan pangan secara terpadu.

9. Melaksanakan pemasyarakatan Program Mutu dan keamanan Pangan  Nasional.

10. Pengembangkan sumberdaya manusia pembinaan dan pengawasan mutu  pangan melalui pendidikan dan latihan.

VII. Implementasi Sistem Mutu dan Keamanan Pangan

Hasil diskusi dari berbagai instansi terkait tentang implementasi Sistem Mutu dan Keamanan Pangan Nasional telah menyepakati berbagai kegiatan/sub  program yang perlu dilakukan untuk menjamin mutu dan keamanan pangan secara

(24)

nasional yang dibedakan atas program utama dan penunjang (Kantor Menteri  Negara Urusan Pangan, 1997), sebagai berikut:

Program utama:  (1) Pengembangan sumberdaya manusia pembinaan dan  pengawasan mutu dan keamanan pangan; (2) Pengembangan sarana dan prasarana  pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan; (3) Pengembangan mutu dan gizi pangan, standarisasi mutu dan keamanan pangan; (4) Pengembangan sistem keamanan dan pengawasan mutu dan keamanan pangan; (5) Penyelenggaraan pelayanan pembinaan dan pengawasan mutu dan keamanan  pangan; (6) Pemasyarakatan sistem mutu dan keamanan pangan; (7) Penelitian

dan pengembangan mutu dan keamanan pangan; (8) Pengembangan harmonisasi internasional sistem pembinaan dan sistem pengawasan mutu dan keamanan  pangan; (9) Pengembangan sistem analisis resiko; dan (10) Pengembangan sistem  jaringan informasi pembinaan mutu pangan.

Program Penunjang: (1) Kegiatan pengembangan pengendalian lingkungan; (2) Pengembangan penyuluhan mutu dan keamanan pangan; (3) Pengembangan  peraturan perundang-undangan mutu dan keamanan pangan; dan (4)

(25)

Pangan atau makanan adalah kebutuhan pokok manusia. Dewasa ini kebuthan pangan tidak tebatas pada jumlah atau kuantitas, tetapi lebih dipertimbangkan dari segi mutu atau kualitasnya. Masyarakat di berbagai negara menuntut bahan pangan yang mempunyai kulaitas baik, bernilai gizi tinggi dan aman. Bahkan organisasi perdagangan dunia WTO ( world trade organization) membuat persyaratan khusus tentang mutu dan kemananan produk pangan yang diperdagangkan.

Di Indonesia, penyediaan produk olahan pangan yang berkualitas baik,  bergizi dan aman perlu mendapat perhatian secara seksama baik oleh pemerintah,  produsen maupun konsumen. Produk pangan yang berkualitas baik akan

mempunyai nila jual yang tinggi disamping akan mampu berkompetisi didalam  perdagangan secara luas. Produk pangan yang aman menunjukkan bahwa produk tersebut benar-benar aman bila dikonsumsi. Produk pangan dikatakan tidak aman  bial produk tersebut tercemar dengan sesuatu yang dapat membahayakan

kesehatan manusia.

Sekarang ini banyak sekali bahan kimia dan berbagai campuran-campuran lain dibuat dan diciptakan untuk membuat pekerjaan manusia dalam membuat makanan lebih efektif dan efisien. Tetapi di samping untuk makanan dibuat juga  bahan kimia untuk pembuatan kebutuhan lain. Di mana bahan kimia tersebut tidak  boleh dipergunakan dalam pembuatan makanan dan dapat berakibat fatal. Hal ini sangat penting dan juga memprihatinkan. Fenomena ini merupakan salah satu masalah dan kebobrokan bangsa yang harus diperbaiki. Janganlah sampai membiarkan hal ini terus berlarut dan akhirnya akibat menumpuk di masa depan. Oleh karena itu, kami berusaha merangkum sedemikian rupa dan mencoba membedah apa saja yang seharusnya dilakukan dan mengapa hal ini menjadi hal yang sangat penting.

(26)

Berdasarkan UU RI No.7 tahung 1996 tentang Pangan telah dijelaskan  pada pasal 10 tentang bahan tambahan pangan dan pasal 21 dan 22 tentang pangan tercemar bahwa semua bahan pangan dan cara pengolahannya harus dilakukan sesuai dengan prsedur yang ada.

Keamanan pangan bisa dibedakan dalam dua hal besar; yaitu aman secara rohani dan aman secara teknis. Keamanan pangan secara rohani ini berhubungan dengan kepercayaan dan agama suatu masyarakat. Untuk sebagian besar konsumen Indonesia yang beragaman Islam, maka faktor kehalalan menjadi suatu  prasayarat yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Adalah kewajiban produsen untuk

memberikan jenis pangan yang halal bagi masyarakat konsumen muslim. Hal ini sesuai dengan definisi keamanan pangan dari UU No. 7; yang menyatakan bahwa konsumen berhak untuk terbebas dari jenis pangan yang tidak sesuai dengan keyakinan masyarakat. Referensi dan edoman produksi pangan halal ini dikeluarkan oleh dan berkonsultasi dengan lembaga formal seperti LPPOM-MUI, Keamanan pangan secara jasmani dicirikan oleh terbebasnya masyarakat dari jenis  pangan yang berbahaya bagi kesehatan manusia.

Mengapa bahan kimia berbahaya mudah didapat oleh masyarakat ?

Sesuai dengan UU RI pasal 10 dan 11 tentang bahan tambahan pangan yang isinya sebagai berikut :

Bahan Tambahan Pangan

Pasal 10

(1) Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan apa pun sebagai bahan tambahan pangan yang dinyatakan terlarang atau melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan.

(2) Pemerintah menetapkan lebih lanjut bahan yang dilarang dan atau dapat digunakan sebagai bahan tambahan pangan dalam kegiatan atau proses  produksi pangan serta ambang batas maksimal sebagaimana dimaksud  pada ayat (1).

(27)

Bahan yang akan digunakan sebagai bahan tambahan pangan, tetapi belum diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia, wajib terlebih dahulu diperiksa keamanannya, dan penggunaannya dalam kegiatan atau proses produksi pangan untuk diedarkan dilakukan setelah memperoleh persetujuan Pemerintah.

Tetapi dewasa ini masih terdapat bahan kimia berbahaya yang digunakan didalam kehidupan sehari-hari yang digunakan oleh produsen nakal, masalah ini biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor yang mendorong produsen nakal tersebut menggunakan bahan ilegal diantaranya, pertama secara teknis pengusaha menggunakan bahan itu karena lebih praktis dan efisien dibandingkan menggunakan bahan penolong legal seperti es. Selain itu bahan ilegal seperti formalin harganya lebih murah dibandng obat pengawet legal. Kedua, kurangnya  pengetahuan pelaku bisnis usaha tentang bahan kimia formalin khususnya skala kecil menengah (SKM). Masalah ekonomi juga menjadi faktor penyebab pelaku usaha. Praktik yang salah semacam ini dialkukan oleh produsen dan pengelolah  pangan yang tidak bertanggung jawab dan tidak memperhatikan faktor yang ditimbulkan, atau dapat juga karena ketidaktahuan produsen pangan baik mengenai sifat-sifat maupun keamanan bahan kimia tersebut (Briliantono, 2006).

Apa tindakan pemerintah untuk menanggulangi masalah tersebut ?

Dalam hal ini pemerintah sudah melakukan banyak cara dalam menanggulangi masalah ini didalam UU RI No.7 Tahun 1996 juga sudah terlihat

 jelas peran pemerintah dalam menanggulanginya salah satunya adalah mengeluarkan UU tersebut selain itu BPOM sebagai Institusi pemerintah yang  bereperan dalam pengawasan pangan juga sudah mengadakan beberapa penelitian

dan sidak di berbagai pasar-pasar tradisonal dan supermarket untuk mengetahui keberadaan pangan-pangan yang berbahaya tersebut. W alaupun penyebaran  boraks dan formalin di Indonesia sudah luas sekali dan sudah menjadi umum,  pemerintah masih tidak mengambil langkah yang tegas dalam menangani hal ini.

Buktinya bisa didapat, bahwa ternyata penggunaan formalin dan boraks sebagai  bahan pengawet makanan masih merajalela. Sebenarnya, pemerintah sudah  berusaha mengambil tindakan, yaitu dengan melalui Badan Pengawasan Obat dan

(28)

Makanan (BPOM). Beberapa langkah sudah diambil oleh BPOM, seperti : melarang panganan permen merek white rabbit creamy, kiamboy, classic cream,

(29)

DAFTAR PUSTAKA

(http://www.fajar.co.id/read-20110210002737-pengawasan-produk-pangan-lemah)

(http://pengujiankadarpengendalian.blogspot.com/2010/08/manajemen-mutu- pengawasan-dan-keamanan.html)

Gambar

Tabel 1. Kasus keracunan pangan di 10 Propinsi di Indonesia dalam tahun 1996-1997
Gambar  1.  Analisa  kekuatan,  kelemahan,  peluang  dan  ancaman  dalam implementasi sistem mutu dan keamanan pangan.
Gambar 2. Sistem Mutu dan Keamanan Pangan Nasional
Gambar 3. Hubungan antara tanggung jawab pemerintah, industri dan konsumen dalam implementasi sistem dan keamanan pangan

Referensi

Dokumen terkait

nantinya akan menjalankan semua proses pembuatan film dari awal praproduksi hingga akhir pascaproduksi selain itu dari jumlah crew yang terlibat kita bisa tahu seberapa rumit

Setiap pergerakan dari objek tersebut difoto (frame individual), di dalam teknik Stopmotion terdapat bentuk animasi boneka (puppet) animasi ini melibatkan tokoh

judul “Analisis Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Keputusan Mahasiswa Memilih Program Studi Pendidikan Ekonomi FKIP UNS (Studi Pada Angkatan 2014 dan 2015)”..

a) Lingkungan Pengendalian (Control Environment). Faktor lingkungan pengendalian termasuk integritas, etika, kompetensi, pandangan, dan.. 157 filosopi manajemen dan

merupakan faktor pemicu stress yang potensial menjadi penyebab burnout

Berdasarkan arahan Presiden Joko Widodo yang menginginkan agar pengembangan industri otomotif mobil pedesaan ini dilakukan oleh industri dalam negeri dan masyarakat,

Dari 16 lokasi pengamatan, bongkahan batu merupakan site yang memiliki tingkat kepadatan dan biomassa ikan herbivora yang paling tinggi dikarenakan pada daerah