• Tidak ada hasil yang ditemukan

Yoni Darmawan SUGIRI 1) dan Akira ANRI 2)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Yoni Darmawan SUGIRI 1) dan Akira ANRI 2)"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Prevalensi Patogen Penyebab Mastitis Subklinis

(Staphylococcus aureus dan Streptococcus agalactiae)

dan Patogen Penyebab Mastitis Subklinis lainnya

pada Peternak Skala Kecil dan Menengah

di Beberapa Sentra Peternakan Sapi Perah di Pulau Jawa

Yoni Darmawan SUGIRI

1)

dan Akira ANRI

2)

1) Balai Pengujian dan Penyidikan Penyakit Hewan dan Kesmavet (BP3HK) Cikole Lembang Kab. Bandung Barat, Jawa Barat, Indonesia.

2) Japan International Cooperation Agency (JICA) Short Term Expert on Mastitis Control, Large

Animal Clinic and Research Center (LACRC) Hokkaido Nosai. Hokkaido, Japan.

ABSTRAK

Mastitis klinis maupun subklinis merupakan masalah yang paling sering dan sangat merugikan dari segi ekonomi bagi peternak sapi perah (penurunan produksi dan kualitas susu segar dan olahan serta pengafkiran dini sapi produktif), tidak hanya di Indonesia tapi di seluruh dunia. Beberapa patogen penyebab mastitis yang bersifat mayor diantaranya adalah Staphylococcus aureus dan Streptococcus agalactiae. Kedua jenis mayor patogen tersebut telah diselidiki, diisolasi dan diidentifikasi dari 390 ekor sapi perah di beberapa sentra peternakan sapi perah di Pulau Jawa (Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur).

Dari hasil investigasi, identifikasi dan isolasi terhadap kedua jenis mayor patogen tersebut diperoleh hasil bahwa prevalensi dari Staphylococcus aureus, Streptococcus agalactiae dan patogen lainnya adalah 8,5%, 37,5% dan 39%. Berdasarkan hasil tersebut bisa disimpulkan bahwa mastitis subklinis dan Klinis masih merupakan masalah yang sering menyerang dan merugikan bagi para peternak sapi perah, sehingga diperlukan tindak lanjut dari pemerintah dalam rangka pengendalian mastitis, sehingga rencana pemerintah Indonesia untuk meningkatkan produksi susu dalam negeri dalam rangka swasembada susu bisa tercapai.

PENDAHULUAN

Mastitis merupakan peradangan pada jaringan internal ambing (Sudarwanto, 2009), mastitis bisa disebabkan oleh kuman patogen (infeksius) seperti bakteri, kapang atau khamir, kerusakan fisik ambing (udder and teat injury) serta akibat terpapar oleh bahan kimia yang iritan yang mampu merusak jaringan interna ambing (Anri, 2008). Menurut Jayarao dan Wolfgang (2003), mayor patogen penyebab mastitis terdiri atas tiga jenis kuman patogen yaitu Staphylococcus aureus, Streptococcus agalactiae dan Mycoplasma bovis.

Infeksi bakteri merupakan penyebab utama terjadinya mastitis, bakteri penyebabnya adalah Staph. aureus, Strep. agalactiae, Mycoplasma bovis, Strep. dysagalactiae, Strep. uberis dan berbagai jenis bakteri gram negatif, meskipun demikian lebih dari 130 jenis bakteri telah dilaporkan dapat menyebabkan penyakit atau kelainan pada kelenjar ambing sapi perah (Kirk dan Lauerman, 1994).

Berdasarkan beberapa penilitian tentang penyebab mastitis subklinis sebelumnya, sebagian besar mayor patogen penyebab mastitis adalah Staph. aureus dan Strep. agalactiae, oleh karena itu penelitian ini difokuskan kepada kedua jenis bakteri tersebut.

Staph. Aureus merupakan masalah utama penyebab mastitis di beberapa negara yang sudah maju industri sapi perahnya karena jika suatu peternakan terinfeksi oleh jenis bakteri ini maka hal ini sangat merugikan bagi pemiliknya bahkan peternakan tersebut akan tutup karena sangat susahnya mengeradikasi bakteri ini dari peternakan apabila sudah menyebar atau menginfeksi sebagian besar sapi pada peternakan tersebut. Oleh karena itu sangat penting untuk memperhatikan karakteristik dan cara pengendalian dari

(2)

bakteri Staph. aureus ini. Menurut Anri (2008) mastitis akibat Staph. aureus menyebabkan masalah sebagai berikut :

 Sangat infeksius karena sangat mudah menular dari satu sapi ke sapi yang lainnya.  Pengobatan dengan antibiotika kurang efektif (tidak bisa sembuh sendiri dan angka

kesembuhan rendah) karena karakteristik dari Staph. aureus adalah menginfeksi jaringan dalam ambing (deep site infection) bukan di dalam kelenjar ambing dan membentuk micro abses sehingga mempersulit antibiotika untuk mencapai daerah terinfeksi. Dan sebagian besar sudah resisten terhadap beberapa jenis antibiotika umum.

 Meningkatkan jumlah sel somatic (SCC) serta menurunkan kualitas dan produksi susu secara signifikan.

 Dan yang paling utama adalah masalah yang berhubungan dengan kesehatan masyarakat, yaitu bakteri ini bisa menghasilkan enterotoxin yang berbahaya bagi kesehatan manusia.

Selain Staph. aureus, Strep. agalactiae termasuk salah satu mayor patogen yang bisa menyebabkan mastitis subklinis. Secara ekonomis bakteri ini sangat merugikan bagi peternak, karena bisa menyebabkan penurunan produksi susu yang sangat signifikan (sekitar 10-20%) dan menurunkan kualitas susu secara umum serta secara signifikan akan meningkatkan jumlah sel somatic (SCC) pada suatu peternakan atau kelompok ternak yang terinfeksi (Kirk dan lauerman, 1994). Secara umum bakteri ini sangat mudah dieradikasi di suatu peternakan karena sangat sensitive terhadap antibiotika golongan Penisilin, namun pengobatan tidak akan efektif jika manajemen pemerahan tidak dijalankan dengan baik sehingga akan menyebabkan kerugian secara ekonomi akibat biaya pengobatan, tenaga kesehatan hewan dan susu yang terbuang akibat adanya residu antibiotika pada susu (Kirk dan lauerman, 1994).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi kejadian mastitis subklinis terutama akibat dua mayor patogen (Staph. aureus dan Strep. agalactiae) pada peternakan sapi perah skala kecil dan menengah di sentra peternakan sapi perah di Jawa Barat khususnya dan di Pulau Jawa pada umumnya.

MATERI DAN METODE

Sampel susu diambil secara acak dan diuji dalam rentang waktu Agustus 2008 s.d Februari 2010 yang berasal dari beberapa peternakan skala kecil dan menengah di provinsi Jawa Barat (Lembang dan Cikole di Kabupaten Bandung Barat, Pangalengan Kabupaten Bandung, Bunikasih Kabupaten Cianjur), Jawa Tengah (Baturraden Purwokerto) dan Jawa Timur (Pasuruan).

Sampel yang diambil terdiri dari sampel susu per quartir untuk peternakan dengan populasi di bawah 10 ekor dan sampel komposit per ekor untuk peternakan dengan populasi di atas 10 ekor.

Bahan dan alat yang dibutuhkan untuk isolasi dan identifikasi:

1. Pengambilan sampel

 Sterilized test tube (10 ml volume)  Test tube rack

 Kapas dengan alkohol 70%  Paper towel (napkin)  None-return dipper

 2% povidone iodine (disinfectant untuk teat dipping)  Cotton swab

 Sterilized disposable syringe (10 ml volume)  Glove

 Disinfectant (sodium hypochlorite)  Cooling box

 Ice

(3)

2. Cow Side Test  CMT reagent  CMT paddle

3. Isolasi dan identifikasi bakteri  5% sheep blood agar  Muller-Hinton agar  Rabbit plasma

 SA and SAG (untuk CAMP test)  Esculin discs

 Antibiotic sensitivity discs  Ose

 Batang penyebar  Gram’s stain set  pinset

 Sterilized distilled water

 Sterilized tube (10 ml volume, 18 G needle) untuk uji koagulase  Cotton swab

 bunsen  alcohol 96%  gelas Beaker  Inkubator

 Sterilisator (oven dan autoclave)

Metode yang digunakan berdasarkan pada

LABORATORY HANDBOOK ON BOVINE

MASTITIS Revised edition 1999,

dari

National Mastitis Council, Inc. Amerika

Serikat tahun 1999

, dikarenakan metode berdasarkan buku ini dirasakan oleh penulis

sebagai metode identifikasi yang paling cepat, murah dan diakui oleh dunia internasional. Untuk mengisolasi dan mengidentifikasi Staph. aureus dan Strep. agalactiae serta bakteri penyebab mastitis subklinis lainnya digunakan media agar darah domba 5% sebagai media pembiakan bakteri. Sejumlah 50-100 mikro liter susu sampel digoreskan atau disebar ke seluruh permukaan agar darah domba 5% menggunakan ose atau batang penyebar steril, kemudian diinkubasikan pada suhu 37°C selama 20-24 jam sebelum dilanjutkan kepada pemeriksaan bentuk, ukuran dan warna koloni yang tumbuh (jika belum tumbuh diinkubasikan lagi selama 20 jam).

Staph. aureus memiliki karakteristik seperti berikut : ukuran sedang, warna putih-kekuningan, dan memiliki koloni dengan pola hemolysis pada agar darah adalah α- dan β- hemolysis. Dengan pewarnaan gram berwarna biru-ungu (+), bulat dan bergerombol seperti anggur. Uji katalase dengan H2O2 3% positif, uji oxidase negatif, uji koagulase rabbit plasma positif dan mampu memfermentasi mannitol pada Mannitol Salt Phenol Red Agar (Merck® Gmbh) (National Mastitis Council, 1999).

Sedangkan untuk Bakteri Strep. agalactiae memiliki Karakteristik sebagai berikut, ukuran koloni sangat kecil (pin point), transparan, α- atau γ- hemolisis pada agar darah domba 5%, bentuk sel bulat, gram positif (biru-ungu), uji katalase dengan H2O2 3% negatif, uji oxidase negatif, uji CAMP positif, dan uji hydrolysis Esculine negatif (National Mastitis Council, 1999).

Untuk mikroba lainnya selain Staph. aureus dan Strep.agalactiae identifikasinya mengacu pada hal di atas dengan sumber dari “LABORATORY HANDBOOK ON BOVINE MASTITIS” dengan ciri atau karakteristik khas masing-masing mikroba dan tentu saja berbeda karakteristiknya dengan Staph. aureus maupun Strep. agalactiae.

(4)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian tentang mastitis klinis maupun subklinis telah banyak dilakukan di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Namun yang jadi masalah di Indonesia adalah belum adanya langkah nyata dari pemerintah untuk program pengendalian mastitis ini (terutama mastitis subklinis), dikarenakan pemerintah merencanakan dan telah memprogramkan tentang program swasembada susu dan peningkatan produktifitas sapi perah oleh karena perlu kiranya pemerintah menerapkan atau mencanangkan suatu program yang bertujuan untuk mengendalikan mastitis terutama mastitis subklinis agar Indonesia bisa swasembada susu dan terjadi peningkatan produktivitas sapi perah yang ada di Indonesia.

Dalam penelitian ini telah diambil sampel susu dari beberapa sentra peternakan sapi perah di pulau Jawa sebanyak 390 sampel dari 390 ekor sapi perah. Sampel susu diambil secara acak dan diuji dalam rentang waktu Agustus 2008 s.d Februari 2010 yang berasal dari beberapa peternakan skala kecil dan menengah di provinsi Jawa Barat (Lembang dan Cikole di Kabupaten Bandung Barat, Pangalengan Kabupaten Bandung, Bunikasih Kabupaten Cianjur), Jawa Tengah (Baturraden Purwokerto) dan Jawa Timur (Pasuruan).

Berikut ini sebaran sampel berdasarkan daerah pengambilan sampel dan tahun dilakukan pengambilan sampel :

Tabel 1. Jumlah sampel dan asal daerah sampel (berdasarkan tahun pengambilan)

NO PROVINSI KABUPATEN AREA 2008 JUMLAH SAMPEL 2009 2010

1 Jawa Barat Bandung Barat Lembang 142 87 10 Bandung Pangalengan 15

Cianjur Bunikasih 38 2 Jawa Tengah Banyumas Baturraden 90 3 Jawa timur Pasuruan Pasuruan 8

4 Sub total 157 223 10

5 Total 390

Berdasarkan tabel 1 di atas kebanyakan sampel diambil dari wilayah Jawa Barat, hal ini dikarenakan Wilayah Jawa Barat merupakan wilayah kerja utama dari BP3HK, sampel yang berasal dari luar Jawa Barat diambil dan diidentifikasi di lokasi pengambilan sampel berbarengan dengan kegiatan JICA dalam rangka sosialisasi program pengendalian mastitis untuk peternak skala kecil dan menengah.

Selanjutnya adalah hasil identifikasi dan isolasi bakteri patogen penyebab mastitis klinis disajikan pada tabel-tabel di bawah ini :

Tabel 2. Perbandingan jumlah sapi dengan bakteri (+) dan bakteri (-)

NO PROVINSI KABUPATEN AREA

JUMLAH SAMPEL

2008 2009 2010

(+) (-) (+) (-) (+) (-)

1 Jawa Barat Bandung Barat Lembang 124 18 66 21 9 1

Bandung Pangalengan 14 1

Cianjur Bunikasih 31 7

2 Jawa Tengah Banyumas Baturraden 81 9

3 Jawa timur Pasuruan Pasuruan 7 1

4 Sub total 138 19 185 38 9 1

(5)

Tabel 3. Jumlah peternakan terinfeksi Strep. Agalactiae

NO PROVINSI KABUPATEN AREA

JUMLAH PETERNA

KAN

INFEKSI STREP. AGALACTIAE

2008 2009 2010

(+) (-) (+) (-) (+) (-) 1 Jawa Barat Bandung Barat Lembang 13 7 0 4 0 2 0

Bandung Pangalengan 2 2 0

Cianjur Bunikasih 1 1 0 2 Jawa Tengah Banyumas Baturraden 1 1 0 3 Jawa timur Pasuruan Pasuruan 2 2 0

4 Sub total 19 9 0 8 0 2 0

5 Total 19 (+)  19 (-) 0

Tabel 4. Jumlah peternakan terinfeksi Staph. aureus

NO PROVINSI KABUPATEN AREA PETERNAJUMLAH

KAN

INFEKSI STAPH. AUREUS

2008 2009 2010

(+) (-) (+) (-) (+) (-) 1 Jawa Barat Bandung Barat Lembang 13 3 4 2 2 0 2

Bandung Pangalengan 2 1 1

Cianjur Bunikasih 1 1 0 2 Jawa Tengah Banyumas Baturraden 1 1 0 3 Jawa timur Pasuruan Pasuruan 2 0 2

4 Sub total 19 4 5 4 4 0 2

5 Total 19 (+)  8 (-) 11

Tabel 5. Jumlah sapi terinfeksi Strep. agalactiae

NO PROVINSI KABUPATEN AREA

TAHUN

2008 2009 2010

sampel (+) sampel (+) sampel (+)

1 Jawa Barat Bandung Barat Lembang 142 56 87 20 10 2

Bandung Pangalengan 15 10

Cianjur Bunikasih 38 13

2 Jawa Tengah Banyumas Baturraden 90 41

3 Jawa timur Pasuruan Pasuruan 8 4

4 Sub total 157 66 223 78 10 2

5 Total Sampel = 390 (+) = 146

Tabel 6. Jumlah sapi terinfeksi Staph. aureus

NO PROVINSI KABUPATEN AREA

TAHUN

2008 2009 2010

sampel (+) sampel (+) sampel (+)

1 Jawa Barat Bandung Barat Lembang 142 5 87 8 10 0

Bandung Pangalengan 15 4

Cianjur Bunikasih 38 11

2 Jawa Tengah Banyumas Baturraden 90 5

3 Jawa timur Pasuruan Pasuruan 8 0

4 Sub total 157 9 223 24 10 0

5 Total Sampel = 390 (+) = 33

Tabel 7. Jumlah sapi yang terinfeksi bakteri lainnya.

NO PROVINSI KABUPATEN AREA

TAHUN

2008 2009 2010

sampel (+) sampel (+) sampel (+)

1 Jawa Barat Bandung Barat Lembang 142 57 87 38 10 7

Bandung Pangalengan 15 6

Cianjur Bunikasih 38 12

2 Jawa Tengah Banyumas Baturraden 90 29

3 Jawa timur Pasuruan Pasuruan 8 4

4 Sub total 157 63 223 83 10 7

(6)

Dari hasil isolasi dan identifikasi menunjukkan bahwa dari seluruh sampel yang diperiksa, 332 dari 390 ekor sapi susunya mengandung bakteri (85%), dari 19 peternakan yang diperiksa seluruhnya (19 peternakan) terinfeksi oleh Strep. agalactiae (100%), dari 19 peternakan yang diperiksa terdapat 8 peternakan yang terinfeksi oleh Staph. aureus (42%).

Untuk prevalensi Strep. agalactiae pada seluruh sampel yang diperiksa, diperoleh data bahwa ada 146 dari 390 ekor sapi yang terinfeksi (37.5%), untuk prevalensi Staph. aureus diperoleh data sebanyak 33 dari 390 ekor sapi yang terinfeksi oleh staph. aureus (8.5%), sedangkan untuk bakteri lainnya yang bisa menyebabkan mastitis klinis maupun subklinis (seperti: Koagulase negatif Staphylococcus, Jenis Streptococcus selain Strep. agalactiae, koliform dan bakteri gram negatif lainnya, Corynebacterium dan bakteri lainnya) diperoleh data sebanyak 153 dari 390 ekor sapi yang diperiksa (39%). Dan terdapat 58 ekor dari 390 ekor sapi yang di dalam susunya tidak teridentifikasi bakteri penyebab mastitis.

Dari hasil tersebut di atas, hasilnya cukup mengejutkan, meskipun sampel yang diambil kurang memadai dalam jumlahnya untuk menentukan suatu hasil surveillance, namun ini bisa menjadi bayangan bahwa Streptococcus agalactiae, Staphylococcus aureus maupun jenis bakteri lainnya telah menyebar luas di hampir seluruh peternakan yang diperiksa. Mungkin ini bisa menjadi gambaran bahwa mastitis klinis maupun mastitis subklinis telah menjadi masalah bagi peternak kecil maupun menengah di Indonesia, meskipun akibatnya tidak dirasakan secara langsung oleh peternak diakibatkan ketidak tahuan ataupun ketidak pedulian peternak terhadap hal ini, padahal dampak secara ekonomis dari hal ini bisa sangat merugikan bagi peternak akibat dari berkurangnya produksi susu serta menurunnya kualitas dari susu yang dihasilkan peternak sehingga berdampak pada susu ditolak oleh konsumen karena rusak maupun harga susu menjadi rendah karena jeleknya kualitas susu.

Menurut Kirk dalam Anri (tahun 2008), tingginya angka infeksi (prevalensi) dari Strep. agalactiae dan Staph. aureus serta jenis bakteri lainnya dalam susu menunjukkan bahwa peternak belum menerapkan sistem manajemen pemerahan serta kesehatan pemerahan (Milking Hygiene) yang baik dan benar. Tidak diterapkannya manajemen dan kesehatan pemerahan yang baik dan benar tidak hanya ditemui pada peternak skala kecil saja, bahkan di beberapa peternakan yang semi modern (menggunakan mesin perah) juga masih ditemukan, hal ini penulis dapati pada saat proses pengambilan sampel, dimana masih banyak peternak yang tidak melakukan sterilisasi peralatan pemerahan sebelum pemerahan diumulai, tidak menggunakan desinfektan dan air hangat untuk membersihkan ambing dan putting pada saat sebelum pemerahan, menggunakan satu lap ambing untuk beberapa ekor sapi, memerah masih menggunakan pelicin (vaseline) yang kotor dan tidak disimpan sebagaimana mestinya, ambing masih dalam keadaan basah saat pemerahan dimulai, memerah tidak sampai tuntas, dan yang paling fatal dan hampir semua peternak tidak melakukan karena alasan biaya adalah melakukan desinfeksi putting secepatnya setelah pemerahan (melakukan teat dipping) menggunakan desinfektan yang efektif seperti larutan yodium 0.5 - 1%, ada juga yang menerapkan program celup putting tapi menggunakan desinfektan yang kurang efektif seperti Benzalkonium Chloride (BKC) padahal menurut Sudarwanto (2009) dan Anri (2008) desinfektan yang paling efektif dan disarankan untuk celup putting adalah yodium 0.5 s.d 2% karena yodium mampu membunuh bakteri dalam waktu yang cukup singkat jika dibandingkan dengan desinfektan lainnya, konsentrasi yodium yang digunakan tergantung pada keparahan tingkat infeksi bakteri yang terjadi di satu peternakan atau kelompok ternak.

(7)

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Staphylococcus aureus dan Streptococcus agalactiae telah menyebar dan menginfeksi hampir seluruh peternakan yang diperiksa sampel susunya dengan tingkat prevalensi yang cukup tinggi (Staph. aureus (8.5%) dan Strep. agalactiae (37.5%)) tidak hanya di Jawa Barat tapi juga di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

SARAN

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan jenis bakteri yang teridentifikasi dengan jumlah sel somatic dalam susu, maupun angka electrical conductivity-nya.

2. Perlu dilakukan uji sensitivitas antibiotika terhadap bakteri-bakteri yang beredar dan menginfeksi ternak sapi perah di sentra-sentra wilayah sapi perah untuk menentukan pencegahan dan treatment atau pengobatan yang efektif, efisien serta tidak membebani secara finansial bagi para peternak gurem.

3. Perlu dilakukan surveillans terhadap patogen utama lainnya (mikroorganisme) penyebab mastitis seperti Mycoplasma bovis, Escherichia coli, kapang atau khamir serta mikroorganisme lainnya yang berpotensi menjadi mikroorganisme penyebab mastitis klinis maupun subklinis.

4. Perlu dikembangkan teknik-teknik diagnosa, isolasi dan identifikasi bagi mikroorganisme penyebab mastitis, agar diagnosa mastitis menjadi semakin cepat dan akurat serta tidak memakan biaya yang cukup mahal.

5. Perlu dilakukan sosialisasi secara rutin dan berkala terhadap pentingnya mastitis (klinis maupun subklinis), manajemen dan kesehatan pemerahan yang baik dan benar dalam rangka penerapan program pengendalian mastitis, peningkatan produktifitas sapi perah dan peningkatan jaminan mutu dan keamanan pangan asal hewan (dalam hal ini susu) sehingga susu aman untuk dikonsumsi oleh masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Anri, A. 2008. Manual on Mastitis Control. The Project for Improvement of Countermeasures on the Productive Diseases on dairy Cattle in Indonesia. Jica Indonesia Office, Jakarta.

Jayarao, B.M et al. 2004. Guidelines for monitoring bulk tank somatic cell counts. J. dairy Sci. 80:3561-3573

Kirk, J.H. and Lauerman, L.H. 1994. Mycoplasma mastitis in dairy cows. Veterinarian. 16: 541-551

National Mastitis Council Inc. 1999. Laboratory Handbook on Bovine Mastitis, revised edition. 2820 Walton Commons West, Madison, WI, United States of America.

Sudarwanto, M. 2009. Mastitis dan kerugian ekonomi yang disebabkannya. Makalah pada TOT JICA The 3rd. Oktober 2009, Cikole-Lembang, Bandung Barat.

Gambar

Tabel 1. Jumlah sampel dan asal daerah sampel (berdasarkan tahun pengambilan)
Tabel 4. Jumlah peternakan terinfeksi Staph. aureus

Referensi

Dokumen terkait

Kebiasaan Belajar Terhadap Prestasi Belajar Matematika Siswa kelas VIII SMPN. 2 Rejotangan Tulungagung tahun ajaran 2009/2010” perlu adanya

[r]

This study aims to find translation procedures from source language (English) to target language (Indonesian) used in translating the Eclipse novel which have

In this study, social capital is measured by three indicators, namely, trust, cooperativeness and the social network (a person’s participation in community activities).Welfare

For those who were multiple job holders in 2007, a higher percentage income increase from the primary job, the lower is the probability to move to single job holding. We argue

Metode Eliminasi Gauss merupakan metode yang dikembangkan dari metode eliminasi, yaitu menghilangkan atau mengurangi jumlah variable sehingga dapat diperoleh nilai dari suatu

Sehubungan dengan Penetapan Hasil Evaluasi Penawaran Pelelangan Paket Pekerjaan PERENCANAAN TEKNIK PEMELIHARAAN PERIODIK/ BERKALA JALAN SEBADU - SOMPAK, SEBADU - SEKILAP,

Setelah diadakan evaluasi terhadap dokumen kualifikasi yang Saudara ajukan pada pekerjaan Pengadaan Jasa Konsultansi Perencanaan Pembangunan Gedung Kantor Pengadilan