• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Aletheia Vol 15 No 4 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Jurnal Aletheia Vol 15 No 4 2013"

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

JURNAL THEOLOGI ALETHEIA

Diterbitkan oleh :

Sekolah Tinggi Theologia Aletheia (STT Aletheia)

Alamat Redaksi :

Sekolah Tinggi Theologia Aletheia Jl. Argopuro 28-34 (PO. Box 100)

Lawang 65211, Jawa Timur Telp. 0341-426617 ; Fax : 0341 - 426971

E-mail : admin@ital.ac.id

Rekening Bank :

BCA Cabang Malang No. 011-3099-744 a/n. Sinode GKT ITA Lawang

Staff Redaksi :

Penasehat : Pdt. Kornelius A. Setiawan, Th.D.

Pemimpin : Pdt. Amos Winarto, Ph.D.

Anggota : Pdt. Sia Kok Sin, D.Th.

Pdt. Iskandar Santoso, Th.M. Pdt. Marthen Nainupu, M.Th. Pdt. Dr.Agung Gunawan, Th.M. Pdt. Mariani Febriana, Th.M.

Bendahara : Pdt. Alfius Areng Mutak, Ed.D.

Publikasi & : Suwandi & Adi Wijaya Distributor

Tujuan Penerbitan :

Memajukan aktivitas karya tulis Kristen melalui medium penelitian

dan pemikiran di dalam kerangka umum disiplin teologia

(3)

Vol. 15 No. 4,

Maret 2013

Daftar Isi

Catatan Redaksi 5

Penulis 87

Agung Gunawan

Mengelola Konflik Dalam Gereja 7

Sia Kok Sin

Kekerasan Hati Firaun Dalam Kitab Keluaran: Tindakan

Pribadi Atau Tindakan Allah 17

Stefanus Kristianto

Meresponi “New Perspective on Paul” 29

Marthen Nainupu

Pluralisme Oikumenis Dan Implikasi Pelayanan Pastoral 45

Amos Winarto

“Kau Bukan Seperti Yang Dulu Lagi’ : Sebuah Refleksi

Teologis-Etis Perceraian 65

Sia Kok Sin

Resensi Buku : The Story Of Israel: A Biblical Theology 75

Amos Winarto

Resensi Buku: The Lost History Of Christianity: The Thousand-Year Golden Age Of the Church In The Middle East, Africa, And

Asia-And How It Died 81

Alfius Areng Mutak

Resensi Buku: Building A Strong Youth Ministry 85

(4)
(5)

5

Musim hujan mungkin sudah berlalu. Kota Lawang sudah kembali semakin panas.Namun bersyukur angin sepoi-sepoi masih bertiup. Di tengah-tengah tiupan angin yang menyejukkan tersebut, kami naikkan pujian kepada Tuhan Maha Pengasih dengan terbitnya kembali Jurnal Theologia Aletheia.

Edisi kali ini mencoba menyaksikan gereja Kristen, yang diwakili oleh para penulisnya, menanggapi beberapa persoalan yang telah dan sedang terjadi. Di antaranya adalah persoalan konflik di dalam gereja, isu penafsiran dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, masalah pluralism dan tantangan perceraian di antara pasangan orang percaya.Juga terdapat beberapa resensi buku yang kiranya boleh semakin meningkatkan minat baca di dalam jemaat terhadap buku-buku Kristen untuk pertumbuhan rohani mereka.

Bagi yang berminat untuk memiliki secara elektronik artikel-artikel di dalam Jurnal edisi ini atau edisi-edisi sebelumnya, bisa mengunduhnya p a d a w e b s i t e S e k o l a h T i n g g i T h e o l o g i a A l e t h e i a : http://sttaletheia.ac.id/?page_id=1333. Demikian juga, kalau ada komentar atau masukan yang membangun silakan memberikannya pada halaman website jurnal berikut ini: http://sttaletheia.ac.id/?page_id=1081. Akhir kata, kiranya Jurnal edisi ini boleh menjadi berkat bagi banyak orang dan membangun iman jemaat. Tuhan memberkati kita semua. Amin.

(6)
(7)

Agung Gunawan

ABSTRAKSI

Gereja adalah miniatur Kerajaan Allah dalam dunia yang fana ini yang didalamnya terdiri dari manusia-manusia berdosa yang telah ditebus oleh darah Kristus. Oleh sebab itu, gereja bukan sorga dan tempat berkumpulkan para malaikat yang sempurna tanpa cacat cela. Gereja merupakan kumpulan orang-orang yang terus menerus masih mengalami proses pengudusan hingga mencapai tahap yang sempurna ketika Tuhan Yesus dating kembali.

Oleh sebab itu, konflik dalam gereja bukanlah sesuatu yang aneh namun suatu kelaziman. Konflik adalah bagian dari dinamika kehidupan manusia. Meskipun demikian, konflik tidak boleh dibiarkan begitu saja, karena akan membawa dampak kepada kehancuran gereja. Konflik yang terjadi dalam gereja harus dikelola dengan baik dan tepat agar konflik dapat diatasi. Dengan demikian maka gereja akan dapat terus mengembangkan diri kearah pemenuhan terhadap panggilan kesempurnaan di dalam Kristus.

Kata Kunci: gereja, konflik, mengelola konflik.

PENDAHULUAN

Gereja merupakan kumpulan orang-orang yang dipanggil keluar dari kegelapan untuk masuk kedalam terang-Nya yang ajaib untuk memberitakan perbuatan-perbuatan Allah yang besar (I Petrus 2:9). Mengingat bahwa gereja adalah kumpulan dari orang-orang berdosa yang sedang mengalami proses pengudusan, maka di dalam proses inilah gereja tidak dapat mengelak dari konflik.

Konflik bisa terjadi karena masalah-masalah yang berkaitan dengan organisasi, seperti program gereja (organization conflicts) dan konflik juga bisa terjadi antar pribadi dalam gereja (personal conflicts). Konflik bisa terjadi antar kelompok-kelompok dalam gereja (intergroup conflicts) dan juga bisa terjadi antar anggota dalam kelompok (interpersonal conflicts). Namun disisi lain, gereja juga mmiliki tugas untuk memberitakan

(8)

perbuatan Allah yang besar, maka gereja harus mampu untuk mengelola konflik secara benar agar gereja tidak mempermalukan nama Tuhan. Mengapa konflik dapat muncul dalam gereja? Apa tanda-tanda munculnya konflik dalam gereja? Apa saja level-level konflik dalam gereja dan bagaimana kiat mengelola konflik dalam gereja? Tulisan ini akan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas untuk memberikan pemahaman yang jelas tentang konflik dalam gereja dengan segala macam dimensinya.

DEFINISI KONFLIK

Meskipun tidak ada definisi tunggal tentang konflik, definisi yang paling tepat adalah konflik melibatkan dua kelompok independen, dimana satu kelompok merasakan beberapa ketidakcocokan di antara mereka. Jadi konflik adalah suatu kondisi disharmoni antara dua atau lebih individu

1

karena adanya benturan kepentingan diantara mereka.

Di dalam konflik ada dua proses yaitu: (1) "proses di mana satu pihak merasakan bahwa kepentingannya bertentangan /ditentang oleh pihak lain", dan (2) "proses interaktif yang mana didalamnya terjadi ketidakcocokan, perselisihan, atau ketidaksetujuan di antara entitas

2

sosial"

Penyebab Munculnya Konflik

1. Perbedaan Persepsi dari Data Sensori

Setiap orang memiliki persepsi yang berbeda tentang apa yang diterima oleh panca inderanya (melihat, mendengar, meraba, merasa, dan

3

mencium). Misalnya, seseorang akan memiliki persepi yang positif ketika melihat satu obyek, namun orang lain akan memiliki persepsi yang negatif ketika melihat obyek yang sama. Di dalam gereja ada sebagaian orang yang merasa nyaman dengan musik band untuk mengiringi ibadah, namun ada sebagian yang merasa kurang nyaman apabila ibadah diiringi dengan musik band. Dari uraian di atas, kita dapat melihat bahwa perbedaan-perbedaan persepsi terhadap apa yang diterima oleh mata dan telinga dapat menimbulkan konflik di antara anggota gereja.

2. Pertentangan Keyakinan

Setiap individu memiliki keyakinan yang berbeda-beda. Ketika keyakinan yang dimiliki oleh individu-individu dalam gereja saling

4

bertentangan, maka konflik tidak dapat terelakkan. Misalnya, di dalam 8 JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

(9)

diukur secara kuantitas yaitu dengan jumlah anggota yang banyak, namun hamba Tuhan memiliki keyakinan bahwa gereja yang bertumbuh harus diukur secara kualitas yaitu kedewasaan rohani jemaat bukan kuantitas. Pertentangan keyakinan antara majelis dan hamba Tuhan dalam gereja sering memicu munculnya konflik dalam gereja.

3. Perasaan Yang Terganggu

Seringkali konflik dalam gereja juga muncul karena adanya perasaan yang terganggu disebabkan oleh ucapan-ucapan yang menyinggung

5

perasaan sesama anggota dalam gereja. Perasaan yang tersinggung seringkali menyangkut harga diri seseorang. Di dalam gereja yang terdiri dari bermacam-macam temperamen dan karakter seringkali perkataan, perilaku dan sikap seseorang dapat memicu terjadinya konflik.

4. Persaingan Keinginan

Setiap individu dalam gereja memiliki keinginan untuk memajukan pekerjaan Tuhan, namun seringkali seseorang memaksa kehendak agar

6

keinginannnya dituruti. Ketika keinginannya tidak dituruti dan keinginan orang lain yang dituruti, maka dapat dipastikan bahwa konflik akan terjadi karena adanya persaingan keinginan di antara anggota dalam gereja.

Seseorang yang tidak diterima keinginannya akan merasa diabaikan dan tidak dihargai. Akibatnya ia akan membuat masalah yang akan memicu konflik dalam komunitas gereja.

Tanda-Tanda Munculnya Konflik

Ketika di dalam gereja terjadi konflik yang berkepanjangan dan tidak segera dikelola secara baik dan sehat, maka akan terjadi dampak yang negatif bagi gereja, antara lain:

1. Jemaat dan Persembahan Berkurang

Gereja yang memiliki konflik di dalamnya akan membawa dampak yang dapat dilihat secara kasat mata yaitu berkurangnya jumlah anggota

7

dari gereja tersebut. Hal itu dapat dilihat dari grafik kehadiran jemaat yang terus menunjukkan penurunan secara signifikan. Mengapa hal ini dapat terjadi? Hal ini disebakan karena jemaat tidak merasa nyaman berada dalam lingkungan gereja yang tidak kondusif. Jemaat datang kegereja untuk mencari kedamaian dan ketenangan.

(10)

Apabila gereja penuh dengan konflik, maka jemaat akan merasa tidak nyaman dan tidak ada damai. Akibatnya jemaat akan meninggalkan gereja tersebut dan pindah mencari gereja lain yang didalamnya ada kedamaian. Ketika anggota jemaat yang hadir berkurang, maka sebagai konsekwensi logisnya uang persembahan juga berkurang secara drastis. Akibatnya maka gereja akan mengalami kesulitan untuk membiayai kebutuhan finansial gereja karena gereja mengalami defisit keuangan.

2. Partisipasi Jemaat Menurun

Apabila gereja penuh dengan konflik, maka hal itu akan membawa dampak pada penurunan dari partisipasi jemaat dalam aktifitas pelayanan

8

gereja. Banyak anggota gereja sebenarnya menyadari panggilan untuk terlibat dalam pekerjaan Tuhan. Banyak anggota jemaat yang memiliki kerinduan untuk melayani Tuhan. Namun tatkala mereka melihat bahwa di dalam gereja banyak konflik, maka mereka menjadi enggan dan akhirnya menarik diri dari pelayanan.

Fakta menunjukkan bahwa banyak gereja-gereja yang sulit untuk mencari orang-orang yang mau terlibat dalam pelayanan seperti menjadi majelis, pengurus komisi, dan guru sekolah minggu. Akibatnya maka yang terlibat dalam pelayanan hanya orang-orang yang sama dan tidak ada tenaga baru. Selain daripada itu, banyak orang-orang yang memiliki tugas yang merangkap-rangkap, sehingga menyebabkan pelayanan menjadi tidak efektif dan tidak berkembang dengan baik dan maksimal.

3. Perubahan Perilaku Hamba Tuhan

Hal lain yang juga harus diperhatikan adalah konflik dalam gereja akan membawa dampak terhadap perilaku hamba Tuhan yang melayani di

9

gereja tersebut. Karena hamba Tuhan merupakan tokoh sentral di dalam gereja, maka ia adalah pribadi yang sangat terkena imbasnya secara hebat ketika gereja mengalami konflik.

Perubahan yang terjadi pada diri hamba Tuhan diantaranya adalah: - Hamba Tuhan mulai malas melakukan visitasi jemaat

- Hamba Tuhan mulai acuh tak acuh dalam pelayananannya - Kotbahnya tidak dipersiapkan dengan baik

- Hamba Tuhan menjadi pasif dalam rapat

- Hamba Tuhan kurang memperhatikan keluarganya

- Hamba Tuhan lebih mementingkan hobinya seperti memancing

daripada memikirkan pekerjaan Tuhan

(11)

4. Munculnya Keluhan-Keluhan

Ketika gereja berada dalam situasi konflik, maka pelayanan gereja

10

terhadap jemaatnya akan tidak berjalan secara maksimal. Hamba Tuhan dan majelis yang terlibat konflik pasti tidak akan dapat melakukan tugas dan tanggungjawabnya dengan baik. Bahkan mereka cenderung akan mengabaikan tugas dan kewajibannya.

Hal itu akan dapat dirasakan oleh anggota jemaat yang membutuhkan pelayanan yang baik dan benar. Akibatnya banyak anggota jemaat yang menyampaikan keluhan-keluhan, baik terhadap pelayanan dari hamba Tuhan mapun dari majelis atau pengurus gereja yang bertanggungjawab atas jalannya pelayanan dalam gereja. Banyak anggota jemaat yang merasa tidak puas terhadap apa yang dilakukan oleh orang-orang yang terlibat dalam pelayanannya.

Tidak jarang anggota gereja yang melakukan kritik yang keras, baik melalui lisan maupun surat. Bahkan tidak jarang juga muncul surat-surat kaleng yang mendeskridikkan hamba Tuhan maupun para aktifis gereja. Apabila hal ini dibiarkan, maka banyak jemaat yang akan keluar bahkan bukan tidak mungkin gereja akan mengalami perpecahan.

Jenis-Jenis Konflik

Ada dua macam konflik yang terjadi dalam kehidupan gereja yaitu:

11

1. Konflik Substantif Dan Konflik Afektif

Konflik Substantif adalah konflik yang melibatkan perbedaan pendapat di antara anggota kelompok tentang isi dari tugas-tugas yang dilakukan atau kinerja itu sendiri. Konflik jenis ini terjadi ketika dua atau lebih entitas sosial tidak setuju pada pengakuan dan solusi untuk masalah tugas, termasuk perbedaan dalam sudut pandang, gagasan, dan pendapat.

Konflik Afektif adalah konflik yang berkaitan dengan hubungan interpersonal atau ketidak cocokan antar pribadi dan tidak terkait langsung dengan pencapaian fungsi kelompok.Baik konflik substantif dan afektif memiliki dampak yang negatif berhubungan dengan kepuasan anggota tim dan kinerja tim dalam pelayan digereja.

12

2. Konflik Organisasi Dan Interpersonal

Konflik organisasi, apakah itu substantif atau afektif, dapat dibagi menjadi interorganisasi dan intraorganisasi. Konflik interorganisasi terjadi

(12)

antara dua atau lebih organisasi yang berbeda, sedangkan konflik

intraorganisasi adalah konflik yang ada di dalam organisasi, misalnya

konflik yang terjadi antar komisi yang ada dalam gereja. Konflik interpersonal mengacu pada konflik antara dua atau lebih individu (tidak mewakili kelompok mereka). Konflik interpersonal dibagi menjadi intragrup dan intergrup. Konflik intragrup terjadi antara anggota dalam kelompok yang sama, sedangkan konflik intergrup terjadi antara pribadi-pribadi dari kelompok-kelompok yang berbeda.

Level –Level Konflik I. Problem To Solve

Dalam level pertama ini, orang-orang yang terlibat konflik menyadari

13

bahwa mereka memiliki konflik yang harus segera diselesaikan. Dalam level ini, pihak-pihak yang terlibat konflik fokus pada penyelesaian masalah (problem oriented), bukan fokus pada pribadi yang terlibat konflik (person

oriented).

Pada level ini, tidak ada penyerang kepada pribadi baik secara verbal maupun non verbal. Dalam level ini, keduanya akan berusaha sekuat tenaga untuk segera mencari cara untuk menyelesaikan konflik yang terjadi. Kedua belah pihak memiliki sikap yang optimis bahwa masalah yang mereka hadapi dapat diselesaikan dengan baik.

II. Disagreement

Level II dari konflik ini kondisinya lebih sulit dibandingkan dengan level pertama, karena disini terjadi ketidaksepahaman antara pribadi-pribadi

14

yang terlibat konflik. Berbeda dengan level pertama, pada level ini fokus bukan kepada penyelesaian masalah (problem solving), tapi cenderung untuk melindungi diri (self protection).

Pada level ini, pihak-pihak yang konflik berusaha untuk mencari keselamatan atas diri masing-masing. Mereka yang terlibat konflik tidak mau secara terbuka menyatakan bahwa mereka memiliki masalah. Mereka hanya menyampaikan hal-hal yang bersifat umum, walaupun sebenarnya mereka memiliki masalah-masalah yang spesifik. Akibatnya masalah yang terjadi akan sulit diselesaikan, sehingga konflik akan terus mengambang tanpa ada akhirnya (floating).

III. Contest

Dalam level III ini, kedua pihak yang terlibat konflik berpindah dari 12 JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

(13)

upaya melindungi diri masing-masing kepada upaya untuk menjadi pihak

15

yang menang yang mengalahkan lawannya (win/lose).

Pada level ini, pihak-pihak yang berkonflik masing-masing memaksakan kehendaknya kepada lawannya. Akibatnya akan sulit untuk menemukan solusi untuk menyelesaikan konflik yang terjadi. Apabila kondisi ini dibiarkan, maka akibatnya konflik makin hari semakin meruncing dan akan membawa kepada level yang berikutnya yaitu fight/flight.

IV. Fight/Flight Level ini merupakan kelanjutan dari level III. Dalam level ini pihak-pihak yang terlibat konflik bukan hanya ingin menang atas

16

lawannya, tapi juga ingin melukai atau menyingkirkan lawannya. Pada level ini, pihak-pihak yang terlibat konflik sudah tidak percaya bahwa lawannya mau dan dapat berubah, karena dirinya sendiri tidak mau dan dapat berubah. Sehingga satu-satunya jalan adalah menyingkirkan orang tersebut dari organisasi gereja bahkan kalau bisa juga menyingkir dari gereja.

Level ini biasanya akan berujung kepada salah satu pihak keluar atau menyingkir dari gereja dengan membawa pengikutnya. Dengan demikian maka perpecahan gereja tidak dapat dielakkan.

V. Intractable Situations

Level ini adalah level yang tidak dapat dikelola, dimana konflik sudah

17

tidak dapat lagi terkontrol oleh pihak-pihak yang terlibat. Level ini merupakan kelanjutan dari level IV yang memiliki orientasi untuk menyingkirkan lawannya. Namun level ini lebih daripada level IV karena pihak-pihak yang terlibat konflik berupaya untuk menghancurkan lawannya dengan melakukan tindakan kekerasan, baik secara verbal maupun non verbal. Apabila lawannya belum hancur maka ia tidak akan mengalami kepuasan. Apabila hal ini terjadi, maka konflik yang terjadi antar anggota gereja akan berujung kepada masalah hukum.

Gereja harus menghindari konflik yang terjadi tidak mencapai level V karena akibatnya gereja akan menjadi tontonan dan dipermalukan oleh orang-orang di luar gereja. Dengan demikian nama Tuhan bukan dipermuliakan, namun sebaliknya akan dipermalukan. Oleh sebab itu, konflik yang terjadi harus segera dikelola secara baik dan benar. Bagaimana kiat mengelola konflik yang baik dan benar?

(14)

Kiat Mengelola Konflik

1. Menyelesaikan Masalah (Resolve The Problem)

Di dalam mengelola konflik secara baik dan benar, maka

pertama-18

tama kita perlu fokus kepada masalah yang ada. Disini kita mengindentifikasi tentang akar penyebab munculnya masalah, siapa saja orang-orang yang terlibat, serta mencari langkah yang tepat untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Masalah yang muncul harus diselesaikan secara tuntas sampai keakarnya bukan hanya permukaannya saja. Untuk itu maka perlu ada komitmen dari pihak-pihak yang terlibat konflik untuk mau membuka diri dan menyatakan secara terbuka apa yang dialami, dirasakan, dipikirkan, diinginkan, serta apa yang diharapkan akan terjadi ketika masalahnya diselesaikan. Dengan demikian, maka masing-masing pihak tahu apa yang menyebabkan masalah terjadi dan hal ini akan memudahkan untuk menyelesaikan masalah secara tuntas.

2. Memperbaiki Hubungan (Restore The Relationship)

Setelah masalah yang ada dapat diselesaikan secara tuntas, maka berikutnya yang perlu dilakukan adalah memperbaiki hubungan antara

19

pihak-pihak yang terlibat konflik. Konflik pasti menimbulkan luka batin, kemarahan, kebencian dan dendam bagi orang-orang yang terlibat konflik. Dengan kata lain karena konflik hubungan mereka menjadi rusak.

Meskipun masalah yang menjadi pemicu terjadinya konflik sudah diselesaikan, namun hubungan di antara mereka yang terlibat konflik tidak secara otomatis juga akan menjadi baik. Hubungan mereka masih ada ketidaknyamanan. Untuk itu, hubungan di antara orang-orang yang terlibat konflik harus dipulihkan agar hubungan mereka menjadi seperti sebelum terjadi konflik. Dengan demikian maka konflik akan terselesaikan secara tuntas.

3. Mengubah Sistem (Rebuilt The Sistem)

Setelah masalah diselesaikan secara tuntas dan hubungan sudah

20

dipulihkan, maka langkah berikutnya adalah mengubah sistem yang ada. Sistem seringkali memiliki andil yang besar dalam terciptanya konflik. Sistem disini bisa berupa kondisi, peraturan, serta organisasi dalam gereja yang menyebabkan terjadinya konflik.

(15)

Apabila sistem tidak diubah maka konflik akan dapat muncul kembali. Oleh sebab itu, pada bagian ini perlu dikaji dengan cermat sistem yang memiliki andil terjadinya sebuah konflik. Setelah diketahui, maka orang-orang yang terlibat konflik perlu bersama-sama mengubah sistem yang ada, sehingga tidak Akan terjadi lagi konflik yang sama.

PENUTUP

Konflik dalam gereja tidak dapat dan tidak boleh dihindari. Konflik selalu ada dalam seluruh dimensi kehidupan manusia, termasuk dalam kehidupan gereja. Gereja harus belajar untuk dapat mengelola konflik dengan cantik dn cerdas. Agar gereja tidak berjalan di dalam konflik tapi gereja berjalan di atas konflik. Gereja tidak dikuasai konflik, tapi gereja yang menguasai konflik. Ini adalah hasil dari pengelolaan konflik gereja secara tepat dan benar.

DAFTAR RUJUKAN

Alper, S., Tjosvold, D., & Law, K. S. (2000). Conflict Management, Efficacy,

and Performance In Organizational Teams. Personnel Psychology,

53, 625-642.

Leas, Speed B. (1998). Moving Your Church Through Conflict. The Alban Institut.

Miller, Sherod (1993). Talking and Listening Together Interpersonal communication Programs, Inc..

Rahim, M., Antonioni, D., & Psenicka, C. (2001). A Structural Equations

Model of Leader Power, Subordinates' Styles of Handling Conflict, And Job Performance. International Journal of Conflict Management,

12(3), 191.

Wall, J. A., Jr., & Callister, R. R. (1995). Conflict and Its Management. Journal of Management, 21, 515-558.

EndNote

1. Wall, J. A., Jr., & Callister, R. R. (1995). Conflict and Its Management. Journal of Management, 21, p.517

2. Rahim, M. A. (1992). Managing conflict in organizations (2nd ed.). Westport, CT: Praeger. p.16 3. Miller, Sherod (1993). Talking and Listening Together Interpersonal communication Programs, Inc. 4. Ibid.

5. Ibid. 6. Ibid.

(16)

8. Ibid. 9. Ibid. 10. Ibid.

11. Rahim, M., Antonioni, D., & Psenicka, C. (2001). A Structureal Equations Model of Leader Power, Subordinates' Styles of Handling Conflict, And Job Performance. International Journal of Conflict Management, 12(3), 191. 12. Ibid. 13. Leas, 1998. 14. Ibid. 15. Ibid. 16. Ibid. 17. Ibid. 18. Miller, 1993 19. Ibid. 20. Ibid.

(17)

TINDAKAN PRIBADI ATAU TINDAKAN ALLAH

Sia Kok Sin

ABSTRAKSI

Kekerasan hati Firaun dalam kitab Keluaran merupakan topik perdebatan teologis yang hangat. Permasalahan yang muncul adalah apakah kekerasan hati itu merupakan kehendak bebas Firaun atau “predetermination” Allah. Kekerasan hati Firaun merupakan salah satu persoalan teologis dalam kitab Keluaran. khususnya kalau kekerasan hati itu merupakan akibat dari tindakan Allah yang mengeraskannya. Apakah adil jika Allah yang mengeraskan hati Firaun, Ia juga yang menghukum Firaun oleh karena kekerasan hati itu? Urutan pemunculan ungkapan “Allah mengeraskan hati Firaun” (Kel. 4:21; 7:3) yang mendahului ungkapan “Hati Firaun berkeras” (Kel. 7:13) atau “Firaun tetap berkeras hati” (Kel. 8:15) menimbulkan kesan bahwa Allah yang pertama-tama mengeraskan hati Firaun dan bukannya tindakan atau pribadi Firaun untuk mengeraskan hatinya. Pemecahan terhadap masalah ini ada pada pertama, penyelidikan ungkapan “Allah mengeraskan Firaun” (Kel. 4:21, 7:3) atau lebih tepatnya “Allah akan mengeraskan hati Firaun itu” muncul dalam bentuk YQTL (imperfect). Bentuk ini menyatakan bahwa memang Allah sedang atau akan membuat hati Firaun keras, tetapi tak menunjuk secara khusus kapan Ia melakukannya. Kedua, Kel. 3:19 menyatakan bahwa dalam kemahatahuan-Nya Allah telah tahu bahwa raja Mesir atau Firaun akan “mengeraskan hatinya” dengan tidak membiarkan Israel pergi dari Mesir. Firaun hanya akan melepaskan Israel setelah melewati penghukuman yang keras. Ayat ini penting oleh karena menyatakan bahwa Allah telah mengetahui bahwa Firaun akan mengeraskan hatinya. Perihal bahwa Allah juga akan mengeraskan hati Firaun tidak lagi menjadi masalah, oleh karena Firaun sendiri yang memulai mengeraskan hatinya. Tindakan Allah mengeraskan hati Firaun akan menambah kekerasan hati Firaun.

Kata Kunci: kekerasan hati, Firaun, Allah

Kekerasan hati Firaun itu merupakan topik perdebatan teologis. Walter C. Kaiser Jr. membahasnya sebagai salah satu ucapan sulit dalam

1

Perjanjian Lama. Permasalahan yang muncul adalah apakah kekerasan

2

hati itu merupakan kehendak bebas Firaun atau “predetermination” Allah. Kekerasan hati Firaun merupakan salah satu persoalan teologis dalam kitab Keluaran, khususnya kalau kekerasan hati itu merupakan akibat dari

3

tindakan Allah yang mengeraskannya. Tema “kekerasan hati” ini memang dicatat dua puluh kali dalam Keluaran 4-14, namun yang menjadi persoalan

(18)

bahwa dalam bagian ini disebutkan bahwa Allah sendiri yang mengeraskan

4

hati Firaun sebanyak sepuluh kali. Kitab Keluaran memang mengungkapkan bahwa Firaun berkeras hati (Kel. 7:14, 22:8:15, dll.), tetapi juga diungkapkan bahwa Allah mengeraskan hati Firaun (Kel. 4:21; 7:3; 9:12, dll.). Menjadi persoalan adalah hati Firaun itu menjadi keras, oleh karena ia sendiri yang berkeras hati atau hal itu merupakan akibat dari tindakan Allah yang mengeraskan hatinya.

Biasanya untuk menghindari tuduhan terhadap karakter Allah muncul pendapat bahwa kekerasan hati Firaun dimulai dari tindakan Firaun berkeras hati, lalu ditindaklanjuti oleh Allah dengan mengeraskan hatinya

5

dan akhirnya menyebabkan bahwa hati Firaun semakin keras. Pendapat ini biasanya diperhadapkan dengan kesulitan urutan pemunculan ungkapan “Allah mengeraskan hati Firaun” (Kel. 4:21; 7:3) yang mendahului ungkapan “Hati Firaun berkeras” (Kel. 7:13) atau “Firaun tetap berkeras hati”(Kel. 8:15). Urutan pemunculan ini menimbulkan kesan bahwa Allah yang pertama-tama mengeraskan hati Firaun dan bukannya tindakan atau pribadi Firaun untuk mengeraskan hatinya.

Ada juga pendapat yang menjelaskan bahwa ungkapan “Allah mengeraskan hati Firaun” merupakan ungkapan idiomatis tentang penolakan batiniah Firaun yang telah sampai pada titik yang tak dapat

6

dibalikkan atau berubah lagi. Brevard Childs menolak pandangan ini dengan alasan bahwa penafsiran psikologis ini kehilangan inti teologis, karena ungkapan “Allah mengeraskan hati Firaun” menunjuk dengan jelas

7

adanya “a theology of divine causality”.

Beberapa ahli telah membahas topik ini dengan menggunakan

8

beberapa pendekatan, di antaranya:

9

Pendekatan Kritik Sumber

Robert R. Wilson menggunakan pendekatan kritik sumber dalam membahas topik ini. Wilson menyelidiki topik ini dengan menyelusuri sumber Y (Yahwist), E (Elohist) dan P (Priestly) untuk menemukan kekhasan pembahasan topik ini dalam sumber ini masing-masing. Sumber Yahwist (Kel. 7:14, 8:15, 32; 9:7, 34) menggunakan kata

ãáë

.

Allah tidak pernah dijadikan sebagai subyek atau pelaku, tetapi subyeknya adalah hati

10

Firaun atau Firaun itu sendiri. Sumber Elohist (Kel. 4:21; 10:20, 27) menggunakan kata

÷æç

yang menyebutkan Allah sebagai subyek yang mengeraskan hati Firaun dan hanya dalam Kel. 9:35 kata ini digunakan

11

untuk mengungkapkan kondisi hati Firaun. Sedangkan sumber Priestly (Kel. 9:12; 11:10; 14:4, 8, 17) menggunakan kata

÷æç

di mana Allah merupakan subyek atau pelaku yang mengeraskan hati Firaun.dan dalam

12

Kel. 7:13, 22: 8:15 di mana menggambarkan kekerasan hati Firaun. 8 JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

(19)

Sumber Priestly juga menggunakan kata

äù÷

dalam Kel. 7:3 di mana Allah

13

merupakan subyek atau pelaku yang akan mengeraskan hati Firaun. Selanjutnya Wilson mengamati dua hal dalam kaitan sumber-sumber ini, yaitu pertama, kata

ãáë

tak digunakan dalam sumber-sumber kemudian dan diganti dengan kata

÷æç

dan

äù÷

; kedua, sumber-sumber kemudian cenderung melihat Allah sebagai subyek atau pelaku yang menyebabkan

14

kekerasan hati Firaun.

Wilson juga melihat fungsi motif kekerasan hati ini dalam setiap sumber. Dalam sumber Yahwist motif ini berada dalam akhir kisah tulah yang menunjukkan bahwa walaupun Firaun telah melihat dan mengalami tulah, namun ia tetap mengeraskan hati dan tidak membiarkan umat untuk

15

pergi. Ia juga mengungkapkan bahwa dalam sumber Yahwist ini motif kekerasan hati ini menjadi penghubung dan pengikat antara narasi

16

penindasan dan narasi tulah. Dalam sumber Elohist Wilson melihat bahwa motif kekerasan ini memberikan kesatuan narasi tulah di mana motif ini merupakan penyebab adanya tulah lagi dan menjadi motif untuk Firaun

17

menoolak untuk melepaskan Israel. Juga Allah dianggap sebagai

18

penyebab kekerasan hati Firaun ini. Dalam sumber Priestly motif kekerasan digunakan dalam kaitan narasi tulah, namun motif ini digunakan

19

dalam menekankan kisah konfrontasi antara Musa dan Firaun.

Memang tulisan Wilson ini menolong bagi mereka yang memegang pendekatan hipotesa dokumen yang mana seseorang dapat menemukan kekhasan dari setiap sumber dalam mengungkapkan motif kekerasan hati ini, tetapi tulisan Wilson tidak memberikan jalan keluar atas persoalan konflik teologis dalam topik kekerasan hati ini.

Pendekatan Teologis-Eksegetis

20

Pendekatan ini dapat ditemukan dalam tulisan G.K. Beale. Memang Beale melakukan penyelidikan eksegetis teks-teks yang berkaitan dengan kekerasan hati Firaun ini, namun penyelidikannya dipengaruhi oleh presuposisinya bahwa Allah itu Mahakuasa, sehingga Ia berhak melakukan segala hal, termasuk menjadi sumber atau penyebab utama kekerasan hati Firaun. Ungkapan “Allah mengeraskan hati Firaun” dalam Kel. 4:21 dan 7:3 mendahului narasi tulah-tulah, menunjukkan bahwa Allah adalah sumber utama kekerasan hati Firaun (“the Ultimate Cause of Pharaoh's

21

Hardening”). Ia mengungkapkan tujuan Allah mengeraskan hati Firaun

adalah “Yahweh hardens Pharaoh's heart primarily to create an Israelite

Heilgeschichte, necessarily involving an Egyptian Unheilgeschichte – all of

22

which culminates in Yahweh's glory.” Pengerasan hati Firaun oleh Allah

merupakan tindakan yang tak bersyarat (“unconditional”) atau tak bergantung pada keputusan Firaun dan semata-mata merupakan

(20)

23

keputusan Allah.

Tulisan Beale banyak memberikan informasi eksegetis yang baik, namun hasil akhir penyelidikannya ini sangat dipengaruhi oleh presuposisi teologisnya tentang kemahakuasaan dan kedaulatan Allah dalam hidup manusia. Aspek kehendak bebas manusia (Firaun) kurang mendapat tempat, sehingga dapat menimbulkan pertanyaan tentang keadilan Allah. Apakah adil kalau Allah yang merupakan penyebab utama kekerasan hati Firaun juga merupakan Allah yang menghukum Firaun atas kekerasan hati itu?.

24

Pendekatan konteks sastra dan budaya

Dorian G. Coover Cox mengangkatkan persoalan keadilan Allah dalam kaitan dengan kekerasan hati Firaun. Dalam kaitan dengan pertanyaan tentang keadilan Allah dalam kaitan kekerasan hati Firaun, Cox menjawab dengan pasti bahwa kitab Keluaran menunjukkan bahwa

25

tuduhan bahwa Allah tidak adil adalah tuduhan yang salah. Cox menyelidiki topik ini dengan pendekatan yang memperhatikan konteks sastra dan budaya.

Melalui penyelusuran konteks sastra Cox menyelusuri adanya kisah-kisah dalam kitab Kejadian dan Keluaran yang mengungkapkan telah

26

adanya ketegangan atau permusuhan antara Allah dan Mesir (Firaun). Cox memulai dengan kisah Penciptaan yang menunjukkan Allah adalah

27

Pencipta dan Pemilik segala sesuatu, termasuk yang dimiliki oleh Firaun. Selanjutnya ia mengungkapkan tentang keberadaan keturunan Abraham (Israel) dan penindasan mereka di Mesir yang telah Allah nubuatkan pada masa Abraham (Kej. 15:13-14), ketegangan antara Abraham dan keturunannya dengan raja-raja asing (termasuk Mesir – Kej. 12:10-20) dan

28

kisah Yusuf yang menyelamatkan Mesir. Dalam kaitan dengan kitab Keluaran, Cox mengungkapkan salah satu tema penting dalam kitab Keluaran adalah melalui segala karya-Nya (termasuk tulah-tulah), Allah

29

ingin manusia mengakui Dia sebagai Tuhan. Kisah dalam Keluaran tak didasarkan pada masalah etnis, di mana adanya superioritas Israel atas

30

Mesir. Kekerasan hati Firaun nampak dalam wujud ketidakbersediaannya untuk mengakui Allah sebagai Tuhan dan rencana-Nya untuk

31

membebaskan Israel dari Mesir. Cox juga mengangkapkan perihal kemarahan Musa terhadap Firaun (Kel.11:8) sebagai dasar bahwa Firaun pun bertanggung jawab atas kekerasan hatinya, walaupun Musa tahu

32

bahwa Allah juga berperan dalam kekerasan hati Firaun.

Sedangkan melalui perhatian terhadap konteks budaya Mesir, Cox mengkontraskan konsep Mesir tentang Firaun sebagai raja yang besar dan kitab Keluaran yang menempatkan Firaun di bawah kekuasaan Allah

33

sebagai Raja yang Besar itu. Firaun adalah raja yang memberontak atas 20 JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

(21)

34

kekuasaan Allah, Sang Raja Besar itu. Tulah-tulah tak hanya menyerang

35

sistem kepercayaan Mesir, tetapi juga status Firaun. Cox juga memberikan uraiannya tentang kekerasan hati dalam konteks budaya Mesir yang menunjukkan dalam hati yang ringan akan menikmati hidup kekal, sedangkan hati yang berat menimbulkan masalah besar bagi yang

36

memilikinya.

Dalam bagian kesimpulan dapat ditemukan bahwa secara umum Cox berupaya menyimbangkan kekerasan hati Firaun itu sebagai tindakan yang

37

bersifat alami dan supraalami. Bersifat alami oleh karena tindakan itu merupakan keputusan pribadi Firaun dan bersifat supraalami oleh karena hal itu juga merupakan karya Allah atas diri Firaun. Oleh karena itu Allah tidak dapat dituduh bahwa Ia tak adil, oleh karena kekerasan hati Firaun itu juga merupakan keputusan pribadi Firaun. Cox mengungkapkan bahwa jika Allah tidak mengeraskan hati Firaun, Firaun secara hakiki tidak akan berbeda dan perbedaannya hanyalah bahwa mungkin ia hanya akan

38

mengalami tulah yang lebih sedikit.

Menurut penulis bahwa pendekatan konteks sastra dan budaya yang dicetuskan oleh Cox, tidaklah memberikan solusi yang berarti atas perdebatan tentang kekerasan hati Firaun. Tulisan Cox hanya memberikan informasi tambahan dalam melihat perdebatan ini dalam persektif yang lain, tapi belum memberikan solusi yang baik.

Pendekatan Kritik Narasi

Dalam membahas topik ini David M. Gunn menggunakan pendekatan kritik narasi yang memberikan perhatian pada plot dan karakter Keluaran

1-39

14. Ia mengungkapkan “Plot implies action, action by characters and

actions impinging on characters…. Questions about the cause or motivation of the hardening will therefore rapidly develop into questions about the

40

characters involved.” Gunn mengungkapkan bahwa Firaun merupakan

41

karakter pemimpin yang bengis. Hal itu dapat dilihat dalam kisah penolakan Firaun terhadap permintaan Musa untuk mengizinkan Israel

42

mengadakan perayaan bagi Yahweh (Kel. 5:1-9). Karakter Firaun itu semakin jelas dalam kisah tulah-tulah yang juga mengungkapkan bagaimana ia mengeraskan hatinya dengan tidak memberikan respons yang tepat terhadap tulah-tulah itu dan juga tidak membebaskan Israel. Ketika membahas antara karakter Allah dan Firaun dalam kaitan dengan kekerasan hati Firaun, Gunn mengungkapkan:

“To summarize so far, we can that while in the early stages of the story we are invited to see Pharaoh as his own master, hardening his own heart (perhaps the legacy of the J story), as the narrative develops it becomes crystal clear that God is ultimately the only agent of heart-hardening who matters (the Plegacy). “Pharaoh's heart was hardened”

(22)

thus becomes a kind of shorthand for “Yahweh caused Pharaoh's heart to harden.” If Pharaoh may been directly responsible for his attitude as the commencement, by the end of the story he is depicted as acting

43

against his own better judgement, a mere puppet of Yahweh.”

Jadi dapat dikatakan bahwa Firaun pada awalnya yang mengeraskan hatinya dengan melawan Allah dan dalam perkembangannya Allah berperan aktif mengeraskan hati Firaun, sehingga tak ada lagi pilihan lagi bagi Firaun selain hatinya menjadi semakin keras dalam kendali Allah.

Pendapat Gunn ini dikritik oleh G.K. Beale oleh karena penekanan terhadap peran Allah (“divine casuality”) dalam mengeraskan hati Firaun,

44

membebaskan Firaun dari tanggung jawab atas tindakannya. Bagi penulis kritik Beale agak berlebihan, karena Gunn juga membahas peran Firaun (“human causality”) dalam kekerasan hatinya. Dalam tulisannya ini Gunn memberikan perhatian pada adanya perkembangan kekerasan hati Firaun. Kekerasan hati Firaun dimulai dari tindakan Firaun berkeras hati, lalu ditindaklanjuti oleh Allah dengan mengeraskan hatinya dan akhirnya menyebabkan bahwa hati Firaun semakin keras. Pendapat Gunn ini biasanya diperhadapkan dengan kesulitan dengan urutan pemunculan ungkapan “Allah mengeraskan hati Firaun” (Kel. 4:21; 7:3) yang mendahului ungkapan “Hati Firaun berkeras” (Kel. 7:13) atau “Firaun tetap berkeras hati”(Kel. 8:15). Urutan pemunculan ini menimbulkan kesan bahwa Allah yang pertama-tama mengeraskan hati Firaun dan bukannya tindakan atau pribadi Firaun untuk mengeraskan hatinya.

Dalam kaitan dalam upaya pembahasan topik ini, pertama-tama penulis menggunakan tulisan Robert B. Chisholm Jr. yang menyusun

45

ayat yang berkaitkan dengan topik ini dalam tiga bagian, yaitu:

Teks yang mengungkapkan Allah sebagai Subyek

Kel. 4:21 Aku akan mengeraskan hatinya

A

B

êl

i-

t

a

, q

Z

Eåx

;a

]

(

÷æç

Piel, YQTL)

Kel. 7:3 Aku akan mengeraskan hati Firaun

h

[

o+r

>P

; b

l

eä-

t

a

, h

v

,Þq

.a

; y

n

Iïa

]w

:

(

äù÷

Hiphil, YQTL)

Kel. 9:12 TUHAN mengeraskan hati Firaun

h

[

oêr

>P

; b

l

eä-

t

a

, h

w

"h

y

> q

Z

EÜx

;y

>w

:

(

÷æç

Piel, WYQTL)

Kel. 10:1 Aku telah membuat hatinya dan hati para pegawainya berkeras

w

y

d

'êb

'[

] b

l

eä-

t

a

,w

> A

B

l

i-

t

a

, y

T

id

>B

;Ûk

.h

i y

n

Ia

]

(

ãáë

Hipihil, QTL)

Kel. 10:20 TUHAN mengeraskan hati Firaun

h

[

o+r

>P

; b

l

eä-

t

a

, h

w

"ßh

y

> q

Z

Eïx

;y

>w

:

(

÷æç

Piel, WYQTL)

Kel. 10:27 TUHAN mengeraskan hati Firaun

h

[

o+r

>P

; b

l

eä-

t

a

, h

w

"ßh

y

> q

Z

Eïx

;y

>w

:

(

÷æç

Piel, WYQTL)

(23)

Kel. 11:10 TUHAN mengeraskan hati Firaun

h

[

oêr

>P

; b

l

eä-

t

a

, h

w

"h

y

> q

Z

EÜx

;y

>w

:

(

÷æç

Piel, WYQTL)

Kel. 14:4 Aku akan mengeraskan hati Firaun

éh

[

or

>P

;-

b

l

e-

t

a

, y

T

iäq

.Z

:x

iw

>

(

÷æç

Piel, WQTL)

Kel. 14:8 TUHAN mengeraskan hati Firaun

h

[

or

>P

; b

l

eÛ-

t

a

, h

A

'h

y

> q

Z

Eåx

;y

>w

:

(

÷æç

Piel, WYQTL)

Kel. 14:17 Aku akan mengeraskan hati orang Mesir

~

y

Ir

;êc

.m

i b

l

eä-

t

a

, q

Z

Ex

;m

. y

n

IÜn

>h

i y

n

I©a

]w

:

(

÷æç

Piel, partisip)

Teks yang mengungkapkan Firaun sebagai subyek Kel. 8:15 Ia tetap berkeras hati (TB)

8:11

A

B

êl

i-

t

a

, d

B

ek

.h

;w

>

(

ãáë

Hiphil, infinitive absolute) Kel. 8:32 Firaun tetap berkeras hati

8:28

A

B

êl

i-

t

a

, h

[

or

>P

; d

B

eÛk

.Y

:w

:

(

ãáë

Hiphil, WYQTL) Kel. 9:34 Ia tetap berkeras hati, baik ia maupun para pegawainya

`

w

y

d

'(b

'[

]w

: a

W

h

ï A

B

ßl

i d

B

eîk

.Y

:w

:

(

ãáë

Hiphil, WYQTL)

Kel. 13:15 Sebab ketika Firaun dengan tegar menolak untuk membiarkan kita pergi

1

W

n

x

eL

.v

;l

. éh

[

or

>p

; h

v

'äq

.h

i-

y

K

i( y

h

iy

>w

:

(

äù÷

Hiphil, QTL) Teks yang mengungkapkan kondisi hati Firaun yang keras Kel. 7:13 Hati Firaun berkeras

h

[

oêr

>P

; b

l

eä q

z

:x

/Y

<w

:

(

÷æç

Qal, WYQTL) Kel. 7:14 Firaun berkeras hati /Hati Firaun berkeras

h

[

o+r

>P

; b

l

eä d

b

eÞK

'

(

ãáë

Predicative Adjective) Kel. 7:22 Hati Firaun berkeras

h

[

or

>P

;-

b

l

e q

z

:Üx

/Y

<w

:

(

÷æç

Qal, WYQTL) Kel. 8:19 Hati Firaun berkeras

8:15

h

[

or

>P

;-

b

l

e q

z

:Üx

/Y

<w

:

(

÷æç

Qal, WYQTL)

2

Kel. 9:7 Firaun tetap berkeras hati

h

[

oêr

>P

; b

l

eä d

B

;k

.Y

Iw

:

(

ãáë

Qal, WYQTL) Kel. 9:35 Berkeraslah hati Firaun

h

[

oêr

>P

; b

l

eä q

z

:x

/Y

<w

:)

(

÷æç

Qal, WYQTL)

Dari pengamatan sederhana ketiga bagian ini seseorang dapat menyimpulkan bahwa Allah dan Firaun mempunyai peran dalam kekerasan hati ini, karena keduanya menjadi subyek. Allah mempunyai peran dalam kekerasan hati Firaun, oleh karena ungkapan bahwa Ia mengeraskan hati

(24)

Firaun. Firaun juga mempunyai peran dalam kekerasan hatinya, oleh karena memang adanya ungkapan bahwa ia mengeraskan hatinya. Oleh karena itu pembahasan tentang kekerasan hati Firaun tak dapat melepaskan peran Allah ataupun peran Firaun. Peran Allah dan Firaun ini perlu diselidiki dan ditemukan bagaimana relasi keduanya, sehingga tidak menimbulkan masalah atau konflik teologis yang menganggap Allah tidak adil. Allah dianggap tidak adil, karena Allah yang mengeraskan hati Firaun, Ia juga yang menghukum Firaun yang berkeras hati.

Dari segi urutan pemunculannya ungkapan tindakan Allah mengeraskan hati Firaun (Kel. 4:21; 7:3) muncul lebih dulu daripada ungkapan hati Firaun menjadi keras (Kel. 7:13) ataupun Firaun mengeraskan hati (Kel. 8:15). Hal ini menimbulkan kesan bahwa Allah yang mengeraskan hati Firuan, sehingga hati Firaun menjadi keras ataupun Firaun mengeraskan hatinya. Kalau Allah merupakan sumber atau penyebab kekerasan hati Firaun, adilkah Allah yang mengeraskan Firaun itu menghukumnya juga?

Kalau sekedar memperhatikan urutan mana yang lebih dulu antara Allah mengeraskan hati Firaun dan hati Firaun menjadi keras atau Firaun mengeraskan hatinya, maka dapat disimpulkan bahwa Allah merupakan penyebab awal kekerasan hati Firaun. Pembacaan teliti kitab Keluaran akan menolong dalam membahas permasalahan ini. Memang Keluaran

4:21 mencatat bahwa Allah akan mengeraskan hati Firaun (

A

B

êl

i-

t

a

, q

Z

Eåx

;a

])

). Kata kerja (

÷æç

(

muncul dalam bentuk Piel, YQTL. Bentuk Piel kata kerja

ini masuk dalam kategori factitive yang menunjuk pada penyebab yang

46

menghasilkan suatu keadaan. Bentuk YQTL (Imperfekt) kata kerja ini menunjuk kepada sesuatu yang sedang atau akan terjadi serta tak

47

menunjuk secara spesifik awal atau akhir situasi itu. Fretheim

48

mengungkapkan hal ini hanya sebagai “promise future action.” . Dalam Keluaran 7:3 muncul ungkapan “Aku akan mengeraskan hati Firaun” (

h

[

o+r

>P

; b

l

eä-

t

a

, h

v

,Þq

.a

; y

n

Iïa

]w

:

).

Kata kerja (

äù÷

)muncul dalam bentuk Hiphil, YQTL. Bentuk Hiphil ini dapat dikategorikan dalam factitive yang

49

menunjuk kepada penyebab yang menghasilkan suatu keadaan. Jadi ayat-ayat ini menyatakan bahwa memang Allah sedang atau akan membuat hati Firaun keras, tetapi tak menunjuk secara khusus kapan Ia melakukannya. Ayat ini tak memungkiri adanya peranan Allah dalam kekerasan hati Firaun, tetapi ayat ini tak menunjukkan bahwa Allah telah mengeraskan hati Firaun. Allah sedang atau akan menyebabkan hati Firaun

50

keras, tetapi tentang waktunya belum dinyatakan secara pasti.

Ungkapan bahwa Allah telah mengeraskan hati Firaun baru disebutkan dalam Kel.9:12 (

h

[

oêr

>P

; b

l

eä-

t

a

, h

w

"h

y

> q

Z

EÜx

;y

>w

:

)

. Munculnya ungkapan ini dalam konteks tulah keenam, berarti Firaun dan orang Mesir 24 JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

(25)

telah mengalami enam tulah dari Allah. Sedangkan ungkapan “hati Firaun telah menjadi keras” sudah disebutkan dalam Kel. 7:13 dan ungkapan “Firaun mengeraskan hatinya” disebutkan dalam Kel. 8:15. Oleh karena itu dapat diasumsikan bahwa ketika hati Firaun berkembang menjadi keras atau Firaun mulai mengeraskan hatinya, maka Allah mulai bertindak untuk

51

mengeraskan hati Firaun.

Dalam kaitan dengan hal ini, bagian lain yang penting diperhatikan adalah Kel..3:19 yang mengungkapkan: “tetapi Aku tahu bahwa raja Mesir tidak akan membiarkan kamu pergi, kecuali dipaksa oleh tangan yang

52

kuat.”. (

y

K

i y

T

i[

.d

;êy

" y

n

Iåa

]w

)

Bagian ini mengungkapkan bahwa dalam kemahatahuan-Nya Allah telah tahu bahwa raja Mesir atau Firaun akan “mengeraskan hatinya” dengan tidak membiarkan Israel pergi dari Mesir. Firaun hanya akan melepaskan Israel setelah melewati penghukuman yang keras. Ayat ini penting oleh karena menyatakan bahwa Allah telah mengetahui bahwa Firaun akan mengeraskan hatinya. Perihal bahwa Allah juga akan mengeraskan hati Firaun tidak lagi menjadi masalah, oleh karena Firaun sendiri yang memulai mengeraskan hatinya. Tindakan Allah mengeraskan hati Firaun akan menambah kekerasan hati Firaun.

KESIMPULAN

1. Munculnya ungkapan “Allah mengeraskan Firaun” memang lebih awal dari pada ungkapan Firaun mengeraskan hatinya ataupun hati Firaun menjadi keras, tetapi hal ini tak dapat dijadikan dasar untuk menerima konsep “predetermination” Allah atas kekerasan hati Firaun. Oleh karena ungkapan “Allah mengeraskan Firaun” atau lebih tepatnya “Allah akan mengeraskan hati Firaun itu” muncul dalam bentuk YQTL (imperfect). Bentuk ini menyatakan bahwa memang Allah sedang atau akan membuat hati Firaun keras, tetapi tak menunjuk secara khusus kapan Ia melakukannya. Ayat ini tak memungkiri adanya peranan Allah dalam kekerasan hati Firaun, tetapi ayat ini tak menunjukkan bahwa Allah telah mengeraskan hati Firaun. Dapat saja dipahami bahwa tindakan Allah mengeraskan hati Firaun seiring dengan tindakan Firaun mengeraskan hatinya. Oleh karena itu tidaklah dapat diterima anggapan bahwa dalam hal ini Allah berlaku membingungkan, oleh karena Ia yang menjadi perancang kekerasan hati Firaun dan kemudian Ia menghukum Firaun atas kekerasan hati ini. Pendapat yang mengungkapkan bahwa tindakan Allah mengeraskan hati Firaun seiring dengan tindakan Firaun mengeraskan hatinya, membuat Firaun tetap harus bertanggung jawab dari kekerasan hatinya.

2. Kel. 3:19 merupakan ayat penting dalam kaitan tentang topik kekerasan hati ini. Ayat ini menyatakan bahwa Allah dalam kemahatahuan-Nya mengetahui bahwa Firaun akan mengeraskan hatinya. Ketika topik ini

(26)

difahami dalam perspektif kemahatahuan Allah dan bukannya kedaulatan Allah yang melakukan “predetermination”, maka hal ini tak lagi menjadi masalah atau konflik teologis.

3. Peranan Allah dalam kekerasan hati Firaun tak dapat dihilangkan, tetapi perlu ditempatkan pada proposinya. Tindakan Allah mengeraskan hati Firaun bukanlah penyebab utama kekerasan hati Firaun, tetapi lebih merupakan tindakan penguatan terhadap tindakan Firaun yang telah mengeraskan hatinya. Oleh karena itu tindakan Allah mengeraskan hati Firaun dapat dikatakan merupakan bagian awal atau pendahuluan penghukuman.

End note:

1. Walter C. Kaiser, Jr., Ucapan Yang Sulit Dalam Perjanjian Lama (Malang: SAAT, 1998), h. 71-73. 2. Scott. M. Langston, Exodus Through the Centuries (Oxford: Blackwell Publishing, 2006), pp. 85-87. 3. Dorian G. Coover Cox, “The Hardening of Pharaoh’s Heart in Its Literary and Cultural Contexts,”

Bibliotheca Sacra 163(July-September 2006), 292. 4. Kaiser, Jr., Ucapan Yang Sulit Dalam Perjanjian Lama, h. 71.

5. Langston mengutip pandangan Origenes yang mengungkapkan bahwa Allah mengeraskan hati orang yang telah berkeras hati, sehingga kekerasan hati itu merupakan sesuatu yang jahat timbul dari dalam orang itu dan bukan merupakan tindakan Allah (predetermination). Exodus Through the Centuries, p. 86.

6. Brevard S. Childs, The Book of Exodus (Louisville: The Westminster Press, 1976), p. 170. 7. Ibid., p. 174

8. Para ahli yang disebutkan dalam bagian ini sebatas kemampuan penulis dalam memperoleh materi. Ada beberapa artikel atau tulisan lain yang membahas topic ini, tetapi penulis tak mampu memperoleh materi tersebut.

9. Robert R. Wilson, “The Hardening of Pharaoh’s Heart”, The Catholic Biblical Quarterly, 41, 1979, 18-36. 10. Ibid., 22. 11. Ibid., 23. 12. Ibid. 13. Ibid. 14. Ibid., 23-24. 15. Ibid., 25. 16. Ibid., 27. 17. Ibid., 29. 18. Ibid. 19. Ibid., 30.

20. G.K. Beale, “An Exegetical and Theological Consideration of The Hardening of Pharaoh’s Heart in Exodus 4-14 and Romas 9,” Trinity Journal 5 NS (1984), 129-154.

21. Ibid.,133-8, 148-9 22. Ibid. 149. 23. Ibid., 50.

24. Dorian G. Coover Cox, “The Hardening of Pharaoh’s Heart in Its Literary and Cultural Contexts,” Bibliotheca Sacra 163 (July-September 2006), 292-311.

25. Ibid., 294. 26. Ibid., 294-301. 27. Ibid., 294. 28. Ibid., 294-6. 29. Ibid., 296-7. 30. Ibid., 298. 31. Ibid., 298-300. 32. Ibid., 300-1. 33. Ibid., 301-2. 34. Ibid., 302. 35. Ibid., 303. 36. Ibid., 305-6.

(27)

37. Ibid., 308. 38. Ibid., 311.

39. David M. Gunn, “The ‘Hardenng of Pharaoh’s Heart’: Plot, Character and Theology in Exodus 1-14,” Art and Meaning: Rhetoric in Biblical Literature, ed. David J.A. Clines, David M. Gunn, and J. Hauser, JSOTS 19 (Sheffield: JSOT, 1982), 72-96.

40. Ibid., 74. 41. Ibid. 42. Ibid. 43. Ibid., 79-80.

44. Beale, “An Exegetical and Theological Consideration…,” 300-1.

45. Bagian-bagian ini merupakan pengembangan dari tulisan Robert B. Chisholm Jr., “Divine Hardening in the Old Testament”, Bibliotheca Sacra 153 (October-December 1996), 411-2. 46. Ibid., 44.

47. Ibid., 56-57.

48. Fretheim, Exodus, p. 98.

49. Arnold and Choi, A Guide to Biblical Hebrew Syntax, p. 50.

50. Walter C. Kaiser Jr. memahami bagian ini seperti nubuatan para nabi, yang walaupun tak disebutkan persyaratannya. Oleh karena itu ia memahami bahwa Allah tak dapat dipandang sebagai penyebab utama kekerasan hati Firuan. Band. Kaiser, Jr., Ucapan Yang Sulit Dalam Perjanjian Lama, h. 72.

51. Band. Fretheim, Exodus, p. 98.

52. Kata kerjanya dalam bentuk Qal, QTL (perfekt). Penggunaan kata ganti orang pertama sebagai subyek juga menunjuk pada aspek penekanan dalam bagian kalimat ini.

(28)
(29)

Stefanus Kristianto

ABSTRAKSI

Sumbangsih gerakan reformasi ternyata tidak hanya mencakup area doktrinal namun juga pembacaan hermeneutis terhadap surat-surat Paulus, khususnya Surat Roma. Cara membaca mereka telah menjadi cara membaca mayoritas orang Kristen sejak jaman mereka. Namun, sejak abad lalu cara membaca yang diwariskan reformator ini mulai digugat keabsahannya. Dimulai dari Krister Stendahl, kritik ini mencapai kulminasinya pada mazhab new perspective yang dimotori oleh orang-orang seperti Ed Parish Sanders, James Dunn dan, di kalangan Injili, Nicholas Wright. Tulisan ini akan mencoba menguraikan sejarah dan konsep mendasar dari mazhab new perspective, serta menunjukkan kepada pembaca bahwa meskipun dalam beberapa hal mereka memberikan sumbangsih positif dan kritik konstruktif bagi studi Paulinisme, namun dalam banyak hal, para reformator tetap lebih baik dalam memahami tulisan Paulus.

SEJARAH DAN TOKOH

Munculnya gerakan reformasi di abad enam belas ternyata tidak hanya meninggalkan beragam warisan doktrinal bagi Kekristenan, tetapi juga – entah disadari atau tidak – cara membaca tulisan Paulus, khususnya surat Roma. Cara para reformator (terutama dimulai oleh Luther) memahami surat Roma telah menjadi cara mayoritas orang Kristen sejak jaman itu memahami tulisan Paulus ini. Luther dan para reformator melihat bahwa dalam surat ini Paulus mengritik habis konsep legalistik agama Yahudi waktu itu, yang meyakini dan mengajarkan bahwa seseorang bisa mendapatkan perkenanan Allah dengan cara menaati hukum Taurat. Ketaatan ini dianggap bisa “memaksa” Allah untuk berkenan dan, lantas, memberkati seseorang. Kontras dengan konsep itu, Paulus berargumen bahwa pembenaran didapat bukan karena melakukan atau menaati hukum Taurat melainkan hanya karena iman (justification by faith alone) di dalam karya Kristus yang telah genap. Iman yang demikian ini dengan sendirinya mengeksklusi peran perbuatan, dalam bentuk apapun, dalam meraih perkenanan Allah. Konsep Paulus ini dengan baik disimpulkan para reformator dalam motto gerakan mereka: pembenaran adalah sola fide dan

1

sola gratia.

Akan tetapi, dalam abad yang lalu, konsensus cara membaca ini dipersoalkan. Dimulai dengan esai Krister Stendahl dalam Harvard

(30)

Theological Review bertajuk “The Apostle Paul and the Introspective

2

Conscience of the West.” Dalam esai ini, Stendahl mengritik bahwa sejak

masa reformasi (terutama karena Luther, namun sebenarnya dimulai jauh sebelumnya oleh Agustinus) pembacaan terhadap tulisan Paulus lebih banyak menyangkut soal moral guilt: manusia yang bergumul dengan dosa moral membaca ulang pergumulannya dalam Kitab Suci untuk menemukan penghiburan dan jawaban tentang keselamatan. Akibatnya, menurut Stendahl, tanpa disadari pembacaan terhadap tulisan Paulus menjadi bersifat sangat individualistik. Stendahl menulis bahwa pembacaan demikian hanya merefleksikan cara membaca orang Barat (atau pergumulan pribadi Luther) dan jelas bukan hal yang dimaksudkan Paulus. Dalam pandangannya, pengaruh Luther ini justru menyebabkan sulitnya pembacaan yang akurat secara historis terhadap tulisan Paulus. Ia lantas mengusulkan pembacaan yang bersifat korporat dan bukan individualistik seperti yang diwariskan para Reformator. Di sini terlihat bahwa sifat aksiomatis pembacaan para reformator terhadap Surat-surat Paulus mulai mengalami gugatan.

Nantinya, kritik Stendahl terhadap pembacaan reformator ini akan diperluas dan dikembangkan oleh begitu banyak sarjana, serta mencapai puncaknya dalam mazhab New Perspective. Setidaknya ada tiga tokoh penting yang perlu dibahas khusus di sini terkait dengan New Perspective (E P. Sanders, James D.G. Dunn, dan – dalam tradisi evangelikal – N.T. Wright), sebab tiga tokoh ini merupakan suksesor terkemuka dari obor yang telah disulut oleh Stendahl.

Ed Parish Sanders

Seperti disebutkan sebelumnya, Stendahl hanya menyulut bara kritik terhadap konsensus yang diwariskan Reformator. Kritik yang sebenarnya justru diusung oleh sebuah karya yang terbit tahun 1977, berjudul “Paul and

Palestinian Judaism” karangan Ed Parish Sanders, seorang sarjana dan

3

pendebat kelas internasional. Dalam karyanya, Sanders mengritik metode rekonstruksi Yudaisme abad pertama yang digunakan banyak sarjana pada saat itu, terutama dari kalangan Reformed dan Lutheran. Ia menilai metode yang mereka lakukan tidak tepat sebab mereka menggunakan metode yang anakronistik: mereka menggunakan sumber yang lebih kemudian untuk memahami Yudaisme abad pertama. Akibatnya, tentu saja terjadi kesalahpahaman tentang Yudaisme pada jaman Yesus dan Paulus di sana-sini. Sanders mengatakan bahwa gambaran tentang Yudaisme yang legalistik adalah salah satu produk dari kesalahan metode tersebut. Ia mencontohkan soal ajaran timbangan kebaikan, yang sering dikaitkan dengan Yudaisme abad pertama, namun yang sebenarnya baru bisa ditemukan dalam Talmud Babilonia abad keempat atau kelima.

Penelitian yang dilakukan Sanders justru membawanya pada kesimpulan yang jauh berbeda dari para penerus reformasi. Menurutnya, 30 JTA Vol. 15 No. 4, Maret 2013

(31)

Yudaisme abad pertama bukanlah agama yang legalistik. Ia meneliti tiga jenis literatur Yudaisme abad pertama, yakni naskah-naskah Tannaitik, tulisan para rabi dan naskah Qumran, dan menyatakan bahwa sumber-sumber Yudaisme yang dipelajarinya tersebut hampir semuanya menggambarkan sejenis soteriologi yang disebutnya “covenantal nomism.” Struktur atau pola covenantal nomism ini dirangkumkannya sebagai

5

berikut:

“(1) God has chosen Israel, and (2) given the law. The law implies both (3) God's promise to maintain the election and (4) the requirement to obey. (5) God rewards obedience and punishes trangression. (6) The law provides for means of atonement, and atonement results in (7) manintenance or re-establishment of the covenantal relationship. (8) All those who are maintained in the covenant by obedience, atonement and God's mercy beong to the group which will be saved. An important interpretation of the first and last points is that election and ultimately salvation are considered to be God's mercy rather than human achievement.”

Jadi, fondasi soteriologi tersebut ialah perjanjian (covenant) yang Allah buat dengan umat Israel. Allah telah memilih Israel, dan bagi orang-orang Yahudi, pemilihan tersebut merupakan dasar dari keselamatan mereka. Dalam perspektif ini, orang-orang Yahudi melakukan Taurat bukan untuk diselamatkan, – sebab mereka sudah diselamatkan – melainkan untuk memelihara status perjanjian mereka atau untuk mempertahankan agar mereka tetap dalam perjanjian tersebut. Dalam bahasa Sanders sendiri, orang Yahudi tidak melakukan Taurat untuk “get in” (legalism) tetapi untuk “stay in” (nomism).”

Meskipun fokus utama studinya ialah Yudaisme Palestina, tetapi Sanders meluangkan sembilan puluh dua halaman untuk membahas kaitan

6

studi ini dengan Paulus. Sanders mengatakan bahwa soteriologi Yudaisme Palestina yang dipelajarinya tersebut secara mendasar memiliki kemiripan dengan teologi Paulus, yakni bahwa keselamatan merupakan anugerah Allah melalui pemilihan-Nya. Bila demikian, bila sebenarnya mereka sepakat dalam hal mendasar, bila iman versus perbuatan atau anugerah versus Taurat bukanlah pokok utama pertentangan mereka, lantas apakah yang menjadi pokok pertentangan antara Paulus dengan Yudaisme (termasuk dalam surat Roma)? Dengan mantap Sanders menjawab: eksklusivitas Kristologi Paulus. Bagi Paulus, Yesus adalah Mesias yang dijanjikan dan karena itu, keselamatan hanya bisa didapat melalui Dia, bukan melalui perjanjian. Inilah poin yang ingin ditegaskan Paulus kepada orang-orang Yahudi sezamannya.

Apa yang diungkapkan Sanders ini (setidaknya ide utamanya) sebenarnya bukan sesuatu yang novum. Pandangan Sanders tentang

(32)

Yudaisme Bait Allah kedua (Second Temple Judaism) tersebut telah

7 8

diantisipasi oleh orang-orang seperti C. Montefiore, G.F. Moore, dan juga

9

Stendahl. Meski begitu, harus diakui karyanya secara dramatis telah mengubah sudut pandang dalam studi Perjanjian Baru, secara khusus

10

dalam studi Paulinisme. Sayangnya, meski ide dasarnya mengenai non-legalitas Yudaisme abad pertama diterima luas, penjelasan Sanders tentang konflik utama Paulus dan Yudaisme dianggap tidak memuaskan oleh para sarjana.

James D.G. Dunn

Para sarjana lain kemudian mengajukan proposal mereka

masing-11

masing mengenai topik ini. Doug Moo menyebut setidaknya ada dua jenis proposal yang diajukan. Pertama, proposal yang menganggap bahwa pandangan Sanders maupun pandangan tradisional sama-sama benarnya. Konsekuensinya, pendukung pandangan ini menganggap bahwa Paulus telah salah memahami atau dengan sengaja membuat misrepresentasi

12

(straw-man ) terhadap Yudaisme untuk tujuan polemis. Salah seorang

13

sarjana pendukung pandangan ini ialah Heikki Raisanen. Kedua, proposal yang berusaha menafsir ulang teologi Paulus dalam terang covenantal

nomism. Cukup banyak proposal yang diajukan dalam klasifikasi ini, salah

satunya yang diusulkan oleh Gager dan Gaston, bahwa yang ditentang Paulus ialah mereka yang mencoba memaksakan Taurat terhadap bangsa

14

non-Yahudi. Namun, dari beragam proposal tersebut, jawaban yang paling persuasif, populer, serta dianggap paling memuaskan dan komprehensif

15

muncul dari seorang teolog berkebangsaan Inggris, James D.G. Dunn. Dunn merupakan orang pertama yang menggunakan istilah “new

perspective” untuk menyebut cara pandang baru terhadap studi Paulinisme

ini. Istilah ini kemudian juga menjadi istilah standar dalam studi Paulinisme

16

untuk menyebut cara baru melihat tulisan Paulus, khususnya Surat Roma. Dunn mengatakan bahwa pokok pertentangan Paulus dengan orang-orang Yahudi ialah kecenderungan mereka untuk membatasi keselamatan hanya

17

bagi bangsa mereka sendiri. Jadi, yang dipermasalahkan Paulus ialah eksklusivitas etnis atau sejenis nasionalisme kaku bangsa Yahudi dan bukannya legalisme agama. Problem utamanya bukanlah tuntutan agar orang-orang menaati Taurat supaya mereka selamat (Sanders telah menunjukkan bahwa bukan ini masalahnya), melainkan sikap orang Yahudi yang mengeksklusi orang-orang non-Yahudi dari keselamatan Allah di dalam Kristus.

Pandangan Dunn ini membuat ia mengintepretasi ulang teks-teks

18

tentang pembenaran. Carson dan Moo menjelaskan, “The difference

between Dunn's view and the traditional interpretation of Paul can perhaps be seen most clearly in their conflicting interpretations of texts such as

(33)

Romans 3:20: “no one will be declared righteous in his sight by works of the law” (our own translation; cf. also Rom. 3:28 and Gal. 2:16; 3:2, 5, 10).” Tidak

seperti para Reformator yang memahami frase e;rga no,mou (works of the

19

law; LAI: melakukan hukum Taurat) secara literal, Dunn memahami frase

tersebut sebagai Torahfaitfulness, dimana kesetiaan ini sendiri merupakan penanda (boundary marker) yang membedakan orang Yahudi dari bangsa lain. Dengan kesetiaan mereka terhadap Taurat, – yang wujudnya antara lain soal sunat, menjaga sabat, dan hukum tentang makanan – bangsa Yahudi sedang mempertahankan keunikan identitas dan status mereka sebagai umat pilihan Allah. Pendeknya, bagi Dunn, “The Jewish claim Paul

opposes in Romans 3:20 and other such verses is not, then, that a person can be justified by what he or she does (“works”), but the typically Jewish claim that a person is justified by maintenance of covenant status through

20

adherence to Torah.” Nicholas Thomas Wright

Tokoh penting selanjutnya dalam mazhab new perspective ini ialah Nicholas Thomas Wright atau yang lebih sering disebut N. T. Wright, seorang pendeta Anglikan, mantan uskup di Durham, yang saat ini menjabat sebagai profesor Perjanjian Baru di St. Mary's College, University

21

of St. Andrews. Wright merupakan tokoh sentral dalam promosi new

perspective di kalangan Injili. Menurut Wright, orang Yahudi memahami

bahwa pembuangan yang sebenarnya belumlah berakhir, baik pada saat mereka kembali ke tanah mereka ataupun ketika Bait Allah dibangun kembali. Alasannya karena janji yang Allah berikan melalui para nabi tentang panggilan kepada semua bangsa belumlah tergenapi (Misalnya nubuatan Yessaya; Mzm. 87, dsb). Nubuatan para nabi ini nampaknya merujuk kepada sesuatu yang lain, yang jauh lebih spketakuler.

Lalu kapankah pembuangan ini berakhir? Paulus, kata Wright, meyakini bahwa kematian Yesuslah yang mengakhiri pembuangan ini. Bagi Paulus, kematian Mesias membayar dosa korporat umat perjanjian sekaligus mengakhiri masa pembuangan yang sebenarnya, sementara kebangkitan-Nya memungkinkan orang-orang non-Yahudi juga menjadi bagian komunitas umat pilihan. Jadi, melalui hidup-Nya, Kristus membawa bangsa Yahudi dan non-Yahudi membentuk sebuah komunitas umat

22

perjanjian yang baru.

Hampir mirip dengan Sanders, Wright beranggapan bahwa Paulus berupaya menunjukkan kepada bangsa Yahudi bahwa Yesus adalah bukti kesetiaan Allah terhadap perjanjian-Nya, dan, sebab itu, harus menjadi fokus hidup mereka. Jadi, ada unsur konflik kristologis di sini. Namun, seperti halnya Dunn, Wright juga beranggapan bahwa Paulus sedang menentang ekslusivitas etnis Yahudi: seseorang menjadi keturunan Abraham bukan karena ras tetapi karena iman kepada Yesus. Melalui

Referensi

Dokumen terkait

dalam Kisah Para Rasul 10:38 , yakni Dia &#34;berjalan berkeliling sambil berbuat baik.&#34; Orang-orang percaya seharusnya mengikuti teladan Yesus tersebut dan menjadi &#34;pelaku

Nasihat Paulus tentang memberikan teladan sebagai kualifikasi kepemimpinan orang muda, menjadi sebuah refleksi bagi mahasiswa teologi yang dipersiapkan menjadi

Sebab Allah adalah Tuan dari segala tuan, sehingga Paulus menghendaki jemaat Kolose untuk bertumbuh menjadi serupa dengan Tuhan kita Yesus Kristus yang sudah menebus

Penyampaian Kabar Baik merupakan suatu tugas yang diamanatkan oleh Tuhan Yesus Kristus kepada muridnya. Hal ini tidak berhenti sampai kepada murid-murid Yesus Kristus,

Kita harus memperlihatkan cara hidup yang baik sehingga bisa menjadi teladan bagi orang lain terutama bagi mereka yang belum percaya kepada Yesus atau dalam konteks

bahwa apa yang tertulis itu supaya kita percaya kepada Tuhan Yesus Kristus yang sudah bangkit dari antara orang mati.. Pengalaman perjumpaan para murid dengan Yesus yang

Sehingga pada akhirnya umat percaya mampu menjadi saksi Tuhan, dan mewarnai kehidupan dunia virtual sebagai warna kemuliaan Tuhan melalui keteladanan dalam seluruh tatacara

Aiden Wilden Tozer. Tozer memulai bukunya dengan perikop nas Wahyu 3:15- 22 untuk mengingatkan orang percaya untuk kembali kepada penyembahan yang sejati secara pribadi