• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH KETINGGIAN DALAM ANALISIS KEMASUK-AKALAN (PLAUSIBILITY FUNCTION) UNTUK OPTIMALISASI KLASIFIKASI PENGGUNAAN LAHAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH KETINGGIAN DALAM ANALISIS KEMASUK-AKALAN (PLAUSIBILITY FUNCTION) UNTUK OPTIMALISASI KLASIFIKASI PENGGUNAAN LAHAN"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KETINGGIAN DALAM ANALISIS KEMASUK-AKALAN

(

PLAUSIBILITY FUNCTION

) UNTUK OPTIMALISASI KLASIFIKASI

PENGGUNAAN LAHAN

(Plausibility Function Analysis of Elevation Effect for Optimizing Land Use Classification)

Iswari Nur Hidayati1 1

Fakultas Geografi UGM,Sekip Utara, Bulak Sumur Yogyakarta. E-mail: iswari@ugm.ac.id

Diterima (received): 30 April 2013; Direvisi (revised): 10 Mei 2013; Disetujui untuk dipublikasikan (accepted): 15 Mei 2013

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah: (1) mengkaji aspek kemasuk-akalan untuk mendapatkan informasi penggunaan lahan dari data penutup lahan yang diperoleh dari citra penginderaan jauh; dan (2) mengkaji pengaruh informasi ketinggian dalam pengambilan keputusan untuk pemetaan penggunaan lahan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pembuatan klasifikasi maximum likelihood untuk pemetaan penutup lahan yang dibuat dari citra Landsat ETM+. Dari hasil klasifikasi kemudian dilakukan perkalian terhadap nilai plausibilitas untuk penggunaan lahan dan plausibilitas lereng sehingga menghasilkan klasifikasi penggunaan lahan optimal. Penggunaan lahan optimal adalah penggunaan lahan yang sesuai dengan keadaan di lapangan dengan memperhatikan ”local knowledge” dan aspek ketidak-pastian. Teori Dempster-Shaffer menawarkan alternatif berdasarkan teori probabilitas yang direpresentasikan melalui ketidakpastian dengan mencari nilai terbaik dari plausibilitas penutup lahan untuk penggunaan lahan, yang diperoleh dari perkalian antara nilai terbaik dari plausibilitas penutup lahan dengan plausibilitas elevasi optimum untuk penggunaan lahan. Penelitian ini merupakan modifikasi Teori Dempster-Shaffer untuk pemetaan Penggunaan Lahan Optimal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode tersebut dapat digunakan untuk optimalisasi penggunaan lahan. Hasil akurasi dari metode ini adalah 92,40% dan koefisien kappa sebesar 0,93.

Kata Kunci: Ketinggian, Faktor Kemasuk-Akalan, Penggunaan Lahan, Teori Dempster-Shaffer. ABSTRACT

The aims of the research were: (1) to study the plausibility effect on land use classification, and (2) to study the effect of elevation that is used as evidence for optimalisation of land use classification. The method applied in this research was maximum likelihood classification for land cover mapping using Landsat ETM+ image. Dempster-Shafer Theory offers an alternative to traditional probabilistic theory for the mathematical representation of uncertainty. Dempster-Shafer Theory does not require an assumption regarding the probability of the individual constituents of the set or interval. Dempster-Shaffer Theory of evidence is used to find the best land use classification. Plausibility values were combined to find optimum land use. A plausibility class is made out of signature classes. A signature class made out of land cover plausibilities. The method was optimum land cover plausibility multiplied by elevation plausibility. The method used in this study was a modification of Dempster-Shaffer Theory of evidence to optimum land use classification. The results of this study show that the first method was very good in producing optimum land use classification. The accuracy of land use classification was 92.40% and the kappa coefficient was 0.93.

Keywords: Elevation, Plausibility Factor, Landuse, Dempster-Shaffer Theory. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Studi penginderaan jauh, pengolahan citra secara digital mampu memberikan hasil yang baik dalam membedakan objek berdasarkan pada karakteristik pantulan spektral. Ferson (2002) menyebutkan bahwa algoritma klasifikasi multispektral pada umumnya hanya mampu menghasilkan peta penutup lahan bukan peta

penggunaan lahan. Penggunaan algoritma ini

dikembangkan dan diuji di negara-negara Barat terutama di Amerika Utara dan Eropa Barat, tempat asal teknologi pengolahan citra. Liputan lahan yang biasa ditemui di lokasi tersebut berupa tanaman

pertanian (misalnya: kentang, jagung, tulip) cenderung mempunyai lokasi tanam yang relatif tetap dan pola rotasi yang sederhana yang dikarenakan adanya keterbatasan alam yang mengenal pola 4 musim. Oleh karena itu, pengenalan jenis-jenis tanaman pertanian ini melalui informasi spektral terekam pada citra satelit secara langsung menjurus pada pengenalan fungsi penggunaan lahannya.

Campbell (2002) mengelompokkan kelas-kelas menjadi informational classes dan spectral classes. Informational classes merupakan kelas-kelas yang didefinisikan langsung oleh pengguna, seperti kelas-kelas pada penutup lahan dan penggunaan lahan pada umumnya. Informational classes pada dasarnya tidak terikat pada pola spektral, dikarenakan kelas-kelas ini

(2)

didefinisikan terlebih dahulu dan dasar pendefinisian-nya juga bukan pada pola spektral tetapi berdasarkan informasi yang dapat diturunkan dari kenampakan pada citra.

Sedangkan spectral classes merupakan klasifikasi multispektral yang digunakan untuk keperluan pemetaan pada level skala tertentu, mengharuskan untuk menggeneralisasi kelas penutup lahan atau penggunaan lahan. Hal ini mengakibatkan beberapa objek yang sama karakter spektralnya digabungkan menjadi satu kelas, sehingga hal ini mengakibatkan faktor ketidak-pastian dalam penurunan informasi penutup lahan menjadi penggunaan lahan dari citra penginderaan jauh.

Ketidak-pastian tidak bisa diabaikan dalam proses pengambilan keputusan. Dalam Sistem Informasi Geografis, pengambilan keputusan selalu mempertim-bangkan ketidak-pastian (Goodchild dan Gopal, 1989). Hal ini dikarenakan logika biner hanya memberikan

keputusan “ya” dan “tidak” dengan tidak

mempertimbangkan bahwa ada sebagian keputusan atau area yang merupakan „daerah samar‟ yang tidak bisa diselesaikan secara mutlak.

Ketidak-pastian meliputi beberapa kesalahan yang dikenal maupun yang tidak dikenal, variasi atau

keambiguan di dalam database dan kaidah

pengambilan keputusan. Dengan begitu,

ketidak-pastian merupakan variabel yang tidak bisa dipisahkan dari ketidakstabilan, keambiguan konseptual, atau ketidaktahuan sederhana dari parameter-parameter pemodelan yang sangat penting.

Teori Dempster-Shaffer menjelaskan tentang

beberapa kemungkinan yang akan terjadi dalam pengambilan keputusan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi dan ada faktor penghambat untuk menetapkan kemungkinan tersebut. Dempster-Shaffer Theory (DST) ini dirancang untuk mengatasi berbagai macam tingkat ketepatan dalam menentukan suatu informasi yang ada yang dibangun menggunakan berbagai asumsi.

DST juga memperhitungkan tentang

”ketidak-pastian” dari sistem untuk menanggapi informasi yang kurang jelas. Setiap sumber (berupa citra dan peta) dipandang sebagai suatu bukti (evidence) keberadaan suatu fakta. Fakta yang dimaksud adalah fenomena yang akan dilakukan klasifikasi. Dalam teori ini pula

diperkenalkan konsepbelief (kepercayaan) dan

plausibility (kemasuk-akalan). Kepercayaan secara umum merupakan nilai yang diperoleh dari hasil ketidak-percayaan (belief-againts), dan nilai ketidak-percayaan inilah yang dapat diestimasi secara langsung yang dilandasi dengan tingkat kepakaran tertentu.

Perhitungan untuk kepercayaan, ketidak-percayaan,

maupun kemasuk-akalan diperhitungkan dalam

presentase (%) (Ferson, 2002). Ada tiga fungsi penting di dalam DST yaitu: Basic Probability Assignment (BPA atau m), Belief Function (Bel), dan Plausibility Function (Pl).

Perumusan Masalah

Klasifikasi yang baik memerlukan pertimbangan-pertimbangan yang digunakan sebagai perencanaan dalam pengambilan keputusan dan mempertimbangkan faktor yang digunakan dalam pengambilan keputusan. DST merupakan salah satu teori yang menerangkan tentang plausibility yang didukung dengan fakta yang ada untuk menentukan keputusan klasifikasi. DST ini memerlukan citra satelit untuk melakukan penelitian yang digunakan sebagai input untuk klasifikasi. Penelitian yang menggunakan teori ini biasanya digunakan untuk optimalisasi klasifikasi penutup lahan. Oleh karena itu perlu adanya kombinasi antara klasifikasi Maximum Likelihood dengan DST. Penelitian ini dilakukan dengan memasukkan faktor elevasi untuk

memudahkan pengambilan keputusan yang

berdasarkan pada local knowledge. Faktor elevasi digunakan karena ada pengaruh antara ketinggian dengan penggunaan lahan. Walaupun aturan DST ini menyangkut tentang 3 aspek yaitu belief probability assignment, belief function, dan plausibility function, namun penelitian ini yang dilibatkan dalam perhitungan langsung adalah belief function dan plausibility function. Secara singkat penelitian ini digambarkan dalam skema seperti yang tersaji pada Gambar 1.

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengkaji aspek kemasuk-akalan untuk menurunkan informasi penggunaan lahan dari data penutup lahan melalui citra penginderaan jauh.

2. Mengkaji pengaruh informasi ketinggian dalam

pengambilan keputusan untuk pemetaan

penggunaan lahan.

Data Citra Satelit

Expert Knowledge Data elevasi Klasifikasi Penutup

Lahan

DST Rule

Peta Plausibilitas Tiap Penggunaan Lahan

ANALISIS

(3)

METODE PENELITIAN Lokasi

Penelitian dilaksanakan di sebagian wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Sampel area diambil untuk pembuktian plausibilitas yang disesuaikan dengan keberadaan citra Quickbird sebagai alat bantu untuk ground check. Luas daerah penelitian ini adalah 344.729.180,626 m2 (34.472,918 ha). Penelitian ini tidak menggunakan batas administrasi sebagai batas penelitian, akan tetapi menggunakan batas tersendiri sebagai batas penelitian.

Alat yang Digunakan

1. Software Image Processing.

2. Global Positioning System (GPS) Receiver. 3. Kamera Digital.

4. Komputer.

Bahan yang Digunakan

1. Landsat ETM+ tahun 2001 (tanggal perekaman 1 Juli 2001) saluran 1,2,3,4,5, dan 7 dengan path/row 120/065.

2. Peta Rupabumi Indonesia skala 1:25.000 tahun

2001, digunakan sebagai panduan koreksi

geometrik dan cek lapangan.

3. Data Elevasi yang digunakan sebagai salah satu bukti dalam Evidence Theory.

4. Citra Quickbird Yogyakarta digunakan untuk panduan dalam melakukan training area sebelum klasifikasi multispektral dan untuk ground check.

Ruang Lingkup

Penelitian yang lebih bersifat untuk uji metodologi dengan menggunakan data Landsat ETM+ tahun 2001 dengan asumsi bahwa semua saluran dalam citra tersebut masih bagus untuk digunakan dalam penelitian yang bersifat menguji nilai piksel. Ruang lingkup penelitian dibatasi dalam pengambilan keputusan untuk penurunan data penggunaan lahan yang diperoleh dari data penutup lahan dari citra tersebut dengan mempertimbangkan faktor ketidak-pastian dengan menggunakan plausibility factor (variabel kemasuk-akalan).

Tahap Pelaksanaan

Koreksi Radiometrik Citra

Citra yang digunakan yaitu citra Landsat ETM+. Mengingat citra yang digunakan telah terkoreksi radiometrik secara sistematis dan tidak dimaksudkan untuk analisis multitemporal berbasis indek maka koreksi atau kalibrasi radiometrik tidak diperlukan (Phinn, et al., 2000; Danoedoro, 2004).

Koreksi Geometrik Citra

Koreksi geometrik citra dilakukan karena pada saat perekaman tidak sepenuhnya terbebas dari gangguan

atau kesalahan geometrik. Transformasi yang paling dasar adalah menempatkan kembali piksel sedemikian rupa sehingga citra digital yang tertransformasi dapat dilihat gambaran obyek di permukaan bumi yang terekam oleh sensor. Metode interpolasi nilai piksel yang digunakan yaitu nearest neighbour sebab citra terkoreksi akan digunakan untuk klasifikasi citra digital untuk analisis kuantitatif sehingga diperlukan nilai piksel yang tidak besar perubahannya. Jensen (1986) menjelaskan dua operasi yang harus dilakukan dalam rektifikasi geometri citra, yaitu prinsip kerja proses ini adalah menyamakan koordinat citra dengan koordinat peta. Besarnya distorsi geometrik citra dapat diketahui dengan melihat besarnya nilai total RMS-error (Residual Mean Square) yang dinyatakan dengan besaran sigma (∑) seperti pada Persamaan 1. 2 ) ' ( 2 ) ' (X Xasli Y Yasli error RMS i     ...(1)

Besarnya nilai ∑ sebaiknya di bawah 0,5 (Jensen, 1986). Jika ini diterapkan pada citra Landsat TM, maka besarnya pergeseran piksel di medan adalah = 0,5 x 30 m = 15 meter.

Sistem Klasifikasi Multispektral

Pola spektral yang terdapat dalam klasifikasi multispektral menjadi dasar secara numerik dalam mengklasifikasikan piksel. Pengenalan terhadap pola spektral berkaitan dengan metode klasifikasi yang digunakan sebagai dasar klasifikasi penutup lahan (Lillesand, et al., 2004). Wilayah yang terekam pada beberapa saluran spektral mempunyai nilai histogram yang kemudian dilakukan evaluasi sehingga akan diperoleh hasil bahwa setiap histogram tersebut terlihat secara multimodal yang merupakan gabungan dari histogram unimodal dari objek-objek yang berbeda. Semakin banyak saluran spektral yang digunakan maka akan memberikan pengenalan objek yang lebih baik (Danoedoro, 1996).

Metode yang digunakan untuk pemilihan daerah sampel adalah yang memberikan pilihan daerah contoh yang seimbang untuk dapat menaksir dalam hal kuantitatif dan memperhatikan akurasi daerah contoh yang didapatkan. Sebuah prosedur yang umum digunakan adalah dengan menentukan keterpisahan (separability) matematik dari kelas-kelas yang ada. Terutama pada pemotongan atau pemilihan daerah contoh dilakukan dengan melakukan cek terhadap variasi keterpisahan spektral kelas ketika dilakukan pemilihan daerah contoh. Salah satu model indeks keterpisahan antar daerah contoh (nilai divergence

ataupun Transformed Divergence) seperti yang

dikemukakan oleh Jensen (1996).

Penutup lahan dan penggunaan lahan suatu daerah

sangat dipengaruhi oleh faktor geologi dan

geomorfologi, elevasi, jenis tanah, bentuk lahan dan iklim. Demikian pula, kondisi topografi mempengaruhi struktur dan komposisi vegetasi. Kondisi topografi yang berbeda akan menyebabkan kesuburant tanah yang berbeda. Perbedaan letak suatu tempat (ketinggian tempat dari permukaan laut) akan menyebabkan

(4)

perbedaan iklim dan berpengaruh langsung terhadap persebaran vegetasi dan orientasi pengembangan bagi manusia (Samudra, 2007). Dalam penelitian ini, klasifikasi penutup lahan dan penggunaan lahan berdasarkan Danoedoro (2006) yang telah dimodifikasi, seperti yang tersaji masing-masing pada Tabel 1 dan

Tabel 2.

Tabel 1. Klasifikasi Penutup Lahan.

Tingkat Klasifikasi/ Kode

Jenis Penutup Lahan

C1 Perairan

C2 Tutupan Vegetasi C21 Vegetasi berdaun lebar

C211 Vegetasi berdaun lebar – kerapatan rendah C212 Vegetasi berdaun lebar – kerapatan sedang C213 Vegetasi berdaun lebar – kerapatan tinggi C22 Daun Lebar tak berkayu

C221 Daun Lebar tak berkayu – kerapatan rendah C222 Daun Lebar tak berkayu – kerapatan sedang C223 Daun Lebar tak berkayu – kerapatan tinggi C3 Lahan Terbangun

C31 Lahan Terbangun – kerapatan sangat tinggi C32 Lahan Terbangun – kerapatan agak tinggi C33 Lahan Terbangun – kerapatan sedang C34 Lahan Terbangun – kerapatan agak rendah C35 Lahan Terbangun – kerapatan rendah C4 Lahan Terbuka

C5 Awan

C6 Bayangan Awan

Sumber: Danoedoro (2006) dengan modifikasi.

Tabel 2. Klasifikasi Penggunaan Lahan.

Level 1 Level 2 Level 3 Level 4

Peman-faatan Pertanian Sawah Sawah 2 x Panen 3x Panen 2x Panen dan Hasil Bumi Yang Diperda-gangkan Padi – Padi – Hasil Bumi Lainnya Padi – Padi – Multiple Cash Crop Padi 1x dan Hasil Bumi Lainnya

Padi 1x & Satu Hasil Bumi Lainnya Padi 1x dan Beberapa Hasil Bumi Yang Lain Agroforestry Rumah dan Pekarangan Kebun Campur Peman-faatan Hutan Konservasi dan Rekreasi Hutan Lindung Permu-kiman dan Infrastruktur Permukiman, Industri, Perdagangan, dan Jasa Permu-kiman Kota Permukiman Kota Permukiman Pedesaan Permu-kiman Pedesaan Permukiman Pedesaan Transportasi Transpor-tasi Bandara

Sumber: Danoedoro (2006) dengan modifikasi.

Penentuan Daerah Sampel

Congalton dan Green dalam Lillesand,et al. (2004) merekomendasikan jumlah titik sampel untuk setiap kategori penutup lahan atau penggunaan lahan adalah 50 titik. Akan tetapi, jika wilayah pengamatan cukup besar (misalnya lebih dari satu juta acre/setara dengan 400.000 ha), atau kelas penutup lahan dan penggunaan lahan yang ada pada wilayah kajian cukup banyak (misalnya lebih dari 12 kelas), maka jumlah titik sampel harus ditingkatkan menjadi 75 hingga 100 titik sampel per kategori. Khorram, et al. (2003) menggunakan 50 titik sampel per kelas untuk 8 kelas penutup lahan, dan Khorram dan Morisette (2000) menggunakan 100 titik sampel per kelas untuk 15 kelas penutup lahan. Jumlah sampel dalam penelitian ini mengacu pada Congalton dan Green dalam Lillesand, et al. (2004) yaitu 50 sampel dalam setiap penutup lahan.

Uji Akurasi

Matriks kesalahan membandingkan kategori per kategori (kelas per kelas) hubungan antara data sebenarnya (ground truth) atau data lapangan dengan data hasil klasifikasi otomatis. Uji akurasi digambarkan

dalam Tabel 3. Uji akurasi dilakukan dengan

menggunakan akurasi keseluruhan dan akurasi kappa.

Tabel 3. Matriks Penaksiran Akurasi Hasil Interpretasi.

Hasil

Klasifika-si

Data Lapangan Jum-lah Baris A B C D E F A 300 0 5 0 0 0 305 B 0 40 0 40 0 0 80 C 0 0 214 50 0 0 264 D 0 8 0 20 0 0 28 E 0 0 0 18 250 123 391 F 0 0 20 14 20 322 376 Jumlah Kolom 300 48 239 142 270 445 1444 Keterangan A : Air B : Pasir C : Hutan D : Kota E : Jagung F ; Rumput

Sumber: Lillesand, et. al. (2004).

Penentuan akurasi keseluruhan menggunakan

Persamaan 2, dimana hasil klasifikasi multispektral untuk setiap kelas dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu producer’s accuracy dan user’s accuracy. Producer’s accuracy mengindikasikan bagaimana training set dari suatu kelas diklasifikasikan. Sedangkan user’s accuracy mengindikasikan probabilitas suatu pixel yang diklasifikasikan ke dalam suatu kelas tertentu yang mewakili kelas itu di lapangan, dengan kata lain, merupakan selisih antara kelas hasil klasifikasi dengan kelas sebenarnya di lapangan (Lillesand, et al., 2004).

Selain producer’s accuracy dan user’s accuracy, akurasi hasil klasifikasi multispektral juga ditentukan dan dinyatakan dengan Kappa Coefficient atau Khat Coefficient, yang diformulasikan dengan Persamaan 3

(5)

79,36% 100% x 1444 322 250 20 214 40 300            ...(2)

      

I 1 i i i 2 I 1 i I 1 i i i ii hat

x

x

-N

x

x

-x

N

K

…...… (3) dimana:

N = jumlah seluruh pixel sampel dalam confusion matrix

xii = pixel pada diagonal utama (klasifikasi yang benar)

confusion matrix

xi+ = jumlah pixel seluruh kolom pada suatu baris x+i = jumlah pixel seluruh baris pada suatu kolom

Demspter-Shaffer Theory of Evidence

Dempster-Shaffer Theory (DST) merupakan salah satu dari teori matematika yang dikemukakan oleh Dempster pada tahun 1967 dan dikembangkan oleh Shaffer pada tahun 1976. DST ini menjelaskan tentang beberapa kemungkinan yang akan terjadi dalam keputusan. DST juga mengenal sebagai teori dari fungsi belief, yang merupakan penyamarataan Teori Bayesian dari probabilitas subyektif. DST berdasarkan pada dua gagasan yaitu gagasan untuk memperoleh derajat kepercayaan dari berbagai kemungkinan yang bersifat subyektif dan aturan Dempster sendiri untuk mengkombinasikan derajat tingkat kepercayaan yang berdasarkan bukti yang sudah diperoleh (Aiqun, 2003).

Forster (2006) mengungkapkan keutamaan teori DST ini adalah model dirancang untuk mengatasi bermacam-macam tingkat kepastian mengenai suatu informasi dan tidak ada asumsi-asumsi lebih lanjut yang diperlukan untuk merepresentasikan informasi.

DST juga mempertimbangkan penyajian ketidak-pastian dari sistem untuk menanggapi suatu masukan yang tidak jelas yang dapat ditandai oleh interval tertentu. Ada tiga fungsi penting di dalam DST yaitu: Basic Probability Assignment (BPA atau m), Belief Function (Bel), dan Plausibility Function (Pl). Basic Probability Assignment tidak mengacu pada kemungkinan di dalam Traditional Probability Theory.

BPA diwakili oleh m yang menggambarkan atau

memetakan himpunan yang mempunyai interval antara 0-1. BPA dengan nilai 0 adalah BPA dengan himpunan 0, dan tambahan BPA dari semua himpunan bagian yang merupakan power set yang mempunyai nilai 1. Nilai BPA untuk satu set yang diberi notasi A maka akan diwakili dengan m(A) yang menyatakan proporsi dari semua bukti yang tersedia dan relevan untuk mendukung suatu justifikasi unsur tertentu akan tetapi tidak mempunyai subset tertentu dari A, dalam hal ini diwakili dengan notasi X (Yonghong, 2003). Nilai dari

m(A) dipergunakan untuk himpunan bagian dan

membuat tidak ada justifikasi tambahan di sekitar subset-subset dari A.

Bukti-bukti yang menguatkan pada subset-subset tersebut diwaklili oleh BPA yang lain, yaitu bukti pada subset-subset dari lebih lanjut A akan diwakili oleh BPA

lain, yaitu. B^a, m(B) diwakili oleh BPA untuk subset B. Secara formal, uraian ini m dapat diwakili dengan

Persamaan 4 dan 5 (Klir, 1998 dalam Rhicard dan Jia 2006).

 

0

,

1

)

(

:

P

X

m

………...………...………..(4)

0

)

(

m

) (

1

)

(

X P A

A

m

………...……(5) dimana :

P (X) = power set dari X, 0 = himpunan nol, dan

A = bagian dari power set P(X).

Penentuan Nilai Plausibilitas

Hal yang paling utama untuk menentukan nilai plausibilitas yang mempunyai interval nilai 0-1 adalah menggunakan Quickbird sebagai dasar untuk penentuan plausibilitas. Satu piksel dalam Landsat diplotkan ke dalam 30 piksel dalam Quickbird yang kemudian digunakan untuk menentukan nilai plausibilitas untuk masing-masing penggunaan lahan. Pengeplotan ini dilakukan untuk 50 titik sampel. Dari 50 sampel ini kemudian dicari nilai rata-rata untuk mendapatkan hasil yang lebih optimal.

Pembuatan Peta Penggunaan Lahan

Pembuatan klasifikasi penggunaan lahan

membutuhkan beberapa tahapan. Pertama, dengan cara memasukan nilai plausibilitas ke dalam klasifikasi penutup lahan yang akan menghasilkan berbagai macam plausibilitas.

Penelitian ini terdiri dari 12 klasifikasi penutup lahan yang diperoleh dari klasifikasi maximum likelihood. Masing-masing klasifikasi penggunaan lahan mempunyai 8 tingkat nilai plausibilitas. Sebagai contoh, penutup lahan dengan klasifikasi lahan terbangun 1, mempunyai 8 tingkat plausibilitas sehingga klasifikasi penutup lahan untuk lahan terbangun ini memiliki 8 tingkat plausibilitas. Untuk 12 klasifikasi penutup lahan maka peta plausibilitas yang dihasilkan adalah 96 buah peta plausibilitas.

Kedua, untuk optimalisasi penggunaan lahan adalah mengalikan dengan faktor elevasi. Faktor elevasi ini dicari nilai plausibilitasnya untuk masing-masing kelas elevasi. Input yang digunakan untuk mencari nilai plausibilitas untuk peta elevasi adalah hasil kriging dari data ketinggian dan hasil klasifikasi penutup lahan dengan metode maximum likelihood.

Tahap kedua inipun masih didapatkan hasil yang lebih beragam, dikarenakan melibatkan faktor elevasi. Tahapan kerjanya hampir sama dengan mencari penggunaan

lahan optimal dengan single value. Dengan

menggabungkan berbagai peta yang mempunyai

plausibilitas yang tinggi untuk penggunaan lahan tertentu, maka akan diperoleh nilai maksimal atau nilai optimal untuk penggunaan lahan.

(6)

HASIL DAN PEMBAHASAN Klasifikasi Penutup Lahan

Klasifikasi penutup lahan untuk tahun 2001 mempunyai 12 kelas penutup lahan. Hasil klasifikasi ini diperoleh dari perhitungan daerah contoh yang diperoleh dari indeks keterpisahan dengan nilai 1.999 – 2.000 dan juga dilihat dalam 2D scatter gram. Tabel 4

merupakan hasil klasifikasi digital maximum likelihood untuk tahun 2001. Gambar 2 memperlihatkan citra Landsat ETM+ yang digunakan di dalam penelitian ini dan hasil klasifikasi penutup lahannya.

Uji akurasi hasil klasifikasi dilakukan dengan menggunakan matriks kesalahan untuk membanding-kan hubungan antara data lapangan dan hasil klasifikasi (peta penutup lahan), sehingga nilai producer accuracy, user accuracy, overall accuracy, dan indeks kappa dapat dihitung. Besarnya nilai uji akurasi sangat

mempengaruhi besarnya kepercayaan pengguna

terhadap setiap jenis data maupun metode analisisnya. Nilai overall accuracy 98,59% dengan nilai indeks Kappa 0,98. Hasil uji akurasi menggunakan confusion matrix disajikan pada Tabel 5.

Tabel 4. Hasil Klasifikasi Digital Tahun 2001.

KODE Keterangan

V1A Vegetasi berdaun lebar, berkayu, vegetasi 1 V2A Vegetasi berdaun lebar, berkayu, vegetasi 2 V3A Vegetasi berdaun lebar, tak berkayu, vegetasi 1 V4A Vegetasi berdaun lebar, tak berkayu, vegetasi 2

LTB1A Lahan terbangun 1

LTB2A Lahan terbangun 2

LTB3A Lahan terbangun 3

LTB4A Lahan terbangun 4

LTB5A Lahan terbangun 5

AA Awan

LTBK1A Lahan terbuka

Bayangan Daerah bayangan awan Sumber: Hidayati (2008).

Perhitungan Nilai Belief dan Plausibilitas untuk Ketinggian

Pembuatan DEM diturunkan dari titik ketinggian peta RBI skala 1:25.000, hal ini disesuaikan resolusi spasial dari data citra yang digunakan. Pembuatan DEM untuk mendapatkan titik elevasi tidak hanya melibatkan area penelitian, tetapi areal yang lebih luas mulai dari Puncak Merapi hingga pantai. Titik elevasi yang ada dilakukan interpolasi linear sehingga membentuk peta kontur yang kemudian diinterpolasi menjadi TIN yang digunakan sebagai masukan untuk plausibilitas elevasi. Masing-masing kelas ketinggian dibuat plausibilitas untuk menentukan hasil dari penggunaan lahan. Perhitungan nilai plausibilitas untuk elevasi ini berdasarkan pada kondisi geografis wilayah penelitian dan pengamatan di lapangan. Kelas 1 merupakan daerah yang datar. Perhitungan nilai plausibilitas dilakukan untuk masing-masing tahun.

Data belief berasal dari perbedaan kepastian yang diaplikasikan dalam aturan DST untuk pemodelan. Masing-masing data terdiri dari basic probability assignment. Belief merupakan knowledge-based dari

input data yang diperoleh dari berbagai hipotesis masing-masing layer. DST, merupakan varian dari Bayesian Probability Theory dengan tegas mengenali ketidakpastian yang berkaitan dengan informasi yang kurang sempurna. Nilai plausibilitas merupakan nilai yang dicari menggunakan software Idrisi. Plausibilititas elevasi ini akan mempengaruhi hasil penelitian dikarenakan nilai ini akan menjadi faktor pengali dalam pemrosesan. Tabel 6 dan Tabel 7, masing-masing merupakan nilai belief dan nilai plausibilitas untuk elevasi. Nilai plausibilitas pada Tabel 7 akan digunakan sebagai masukan dalam pembuatan peta plausibilitas.

Tabel 7 menggambarkan bahwa nilai plausibilitas untuk hutan lindung berada pada kelas 6 dengan ketinggian di atas 500 m, sedangkan plausibilitas untuk kebun campur berada pada kelas 3 hingga kelas 5, yang berarti mempunyai ketinggian mulai dari 200– <500 m. Permukiman kota yang didukung oleh elevasi yang datar terletak pada ketinggian 0–200 m. Permukiman kota ini terletak di Kota Yogyakarta, sebagian Kabupaten Sleman, dan sebagian Kabupaten Bantul.

Nilai ketinggian kemudian dijadikan sebagai bahan masukan untuk menghitung nilai plausibilitas masing-masing penggunaan lahan. Cara mendapatkan nilai plausibilitas menggunakan signature class dari setiap kelas ketinggian. Dalam hal ini dipergunakan 7 saluran pada Landsat TM. Hasil plausibilitas yang masih murni

untuk masing-masing penggunaan lahan, tidak

dicantumkan dalam tulisan ini, karena jumlah petanya sebanyak 288 peta.

Penelitian ini membuktikan bahwa elevasi sangat berpengaruh untuk penggunaan lahan. Misalnya hutan lindung yang berada pada ketinggian di atas 500 mdpal. Nilai plausibilitas 0,9–1 menggambarkan bahwa plausibilitas elevasi untuk hutan lindung adalah tinggi, sedangkan nilai plausibilitas 0-0,1 merupakan nilai plausibilitas rendah untuk hutan lindung. Hubungan antara kemiringan elevasi dengan fungsi hidro-orologis adalah bahwa semakin kecil kemiringan elevasi akan semakin memperbesar kemungkinan air hujan untuk meresap ke dalam tanah, hal ini dikarenakan semakin kecilnya air hujan yang menjadi air permukaan. Disamping itu aliran air pada daerah datar, cenderung lebih lambat dibandingkan dengan daerah curam, sehingga kemungkinan terjadinya erosi juga kecil. Dengan demikian pengaruh daerah dengan elevasi datar terhadap kemungkinan timbulnya lahan kritis, juga semakin kecil, dengan demikian semakin datar kemiringan elevasi, maka nilai skornya semakin besar.

Pengaruh Peta Lereng untuk Pengambilan Keputus-an PembuatKeputus-an Peta PenggunaKeputus-an LahKeputus-an

Faktor elevasi sering digunakan untuk penentuan

kawasan lindung, kawasan budidaya, kawasan

permukiman, dan lain sebagainya, yang tertuang dalam rencana tata ruang wilayah. Metode 1, yang menyatakan bahwa plausibilitas adalahpenggunaan lahan*plausibilitas elevasi. Plausibilitas elevasi untuk penggunaan lahan hutan lindung mempunyai interval

(7)

menggambarkan hutan lindung adalah piksel yang mempunyai plausibilitas 0,87–1. Secara spasial, plausibilitas untuk penggunaan lahan ini terletak pada Kabupaten Sleman, dan mempunyai ketinggian di atas 500 m. Plausibilitas untuk penggunaan lahan ini mempunyai nilai ketidak-pastian yang kecil dikarenakan penggunaan lahan hutan lindung dapat dikenali secara pasti. Walaupun demikian, nilai ketidak-pastiannya berkisar antara 0,1–0,2. Gambar 3 menggambarkan secara detail persebaran plausibilitas penggunaan lahan hutan lindung. Terdapat 8 plausibilitas yang

dihasilkan, dimana plausibilitas paling baik adalah yang ke-3.

Hasil dari pembuatan belief dalam citra

merepresentasikan mengenai derajat yang mendukung hipotesis yang lebih spesifik. Citra plausibility menggambarkan tentang bukti yang tidak menyangkal hipotesis. Hasil perhitungan dari perkalian antara elevasi dan penggunaan lahan akan menjadi hasil penggunaan lahan yang kedua yang nantinya akan dijadikan sebagai pembanding untuk penggunaan lahan optimal.

Tabel 5. Hasil Uji Akurasi menggunakan Confusion Matrix.

Kelas V1A V3A V2A LTB1A AA LTBK1A LTB2A V4A LTB3A LTB4A LTB5A Bayangan Total

V1A 63 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 63 V3A 0 63 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 64 V2A 2 2 74 0 0 0 0 0 0 0 0 0 78 LTB1A 0 0 0 78 0 0 0 0 0 0 0 0 78 AA 0 0 0 0 72 0 0 0 0 0 0 0 72 LTBK1A 0 0 0 0 0 60 0 0 0 0 0 0 60 LTB2A 0 0 0 0 1 0 61 0 0 0 0 0 62 V4A 0 1 0 0 0 0 0 67 0 0 0 0 68 LTB3A 0 0 0 0 0 0 0 0 60 0 0 0 60 LTB4A 0 0 0 0 0 0 0 0 0 118 0 2 120 LTB5A 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 60 0 60 Bayangan 0 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 64 67 Total 65 66 75 78 73 60 61 67 60 121 60 66 852 Sumber : Hidayati (2008). Keterangan:

V1A : Vegetasi berdaun lebar, berkayu, vegetasi 1 LTB1A : Lahan terbangun 1 V2A : Vegetasi berdaun lebar, berkayu, vegetasi 2 LTB2A : Lahan terbangun 2 V3A : Vegetasi berdaun lebar, tak berkayu, vegetasi 1 LTB3A : Lahan terbangun 3 V4A : Vegetasi berdaun lebar, tak berkayu, vegetasi 2 LTB4A : Lahan terbangun 4

AA : Awan LTB5A : Lahan terbangun 5

Bayangan : Bayangan awan LTBK1A : Lahan terbuka

Tabel 6. Nilai Belief untuk Elevasi.

Belief Hutan Lindung Kebun Campur Permukiman Kota Permukiman Desa Tegalan Sawah 2 kali padi Sawah 1 kali padi Bandara 1 2 3 4 5 6 7 8 V1A 1 0,9 0,9 0,1 0,3 0,6 0,3 0,3 0,2 V3A 2 0,9 0,9 0,1 0,2 0,6 0,3 0,3 0,5 V2A 3 0,9 0,6 0,7 0,4 0,6 0,6 0,6 0,9 LTB1A 4 0,9 0,6 0,8 0,4 0,6 0,6 0,4 0,9 AA 5 0,2 0,6 0,9 0,4 0,8 0,8 0,8 0,9 LTBK1A 6 0,1 0,6 0,9 0,7 0,9 0,9 0,9 0,9 Sumber: Hidayati (2008).

Tabel 7. Nilai Plausibilitas untuk Elevasi.

Plausibility Hutan Lindung Kebun Campur Permukiman Kota Permukiman Desa Tegalan Sawah 2 kali padi Sawah 1 kali padi Bandara KET 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Kls 1 1 0,1 0,1 0,9 0,7 0,4 0,7 0,7 0,8 0-100 Kls 2 2 0,1 0,1 0,9 0,8 0,4 0,7 0,7 0,5 100-200 Kls 3 3 0,1 0,4 0,3 0,6 0,4 0,4 0,4 0,1 200-300 Kls 4 4 0,1 0,4 0,2 0,6 0,4 0,4 0,6 0,1 300-400 Kls 5 5 0,8 0,4 0,1 0,6 0,2 0,2 0,2 0,1 400-500 Kls 6 6 0,9 0,4 0,1 0,3 0,1 0,1 0,1 0,1 > 500 m Sumber: Hidayati (2008).

(8)

(a). (b).

Gambar 2. (a). Citra Landsat ETM+; (b). Hasil Klasifikasi Penutup Lahan.

Klasifikasi Penggunaan Lahan

Pembuatan peta penggunaan lahan pada tahapan ini menggunakan faktor elevasi sebagai masukan untuk mencari nilai penggunaan lahan yang lebih optimal. Peta elevasi menjadi evidence untuk penelitian dengan

metode 2. Pembuatan signature class sudah

melibatkan elevasi di dalamnya sehingga belclass yang dihasilkan sudah mencakup nilai elevasi. Pembuatan signature class untuk penggunaan lahan metode ini mempunyai 8 kelas yang disesuaikan dengan kelas elevasi. Signature class dipadukan dengan citra penutup lahan Landsat ETM+. Pembuatan belclass dari signature class menghasilkan 64 peta plausibilitas. Peta-peta ini kemudian dianalisis kecenderungannya untuk melihat pola penggunaan lahannya. Pola-pola penggunaan lahan ini dicari yang mempunyai interval plausibilitas 0–1.

Modifikasi ini dilakukan dengan cara mengalikan faktor plausibilitas penutup lahan dengan plausibilitas elevasi. Metode ini menghasilkan beberapa peta penggunaan lahan. Dalam tulisan ini yang akan dibahas hanya 4 peta penggunaan lahan hasil modifikasi DST. Peta penggunaan lahan–1 pada metode 2 ini menggabungkan kedelapan plausibilitas

untuk penggunaan lahan. Hasil yang diperoleh mempunyai koeffisien kappa sebesar 0,78 dan overall accuracy sebesar 81,56%. Hasil ini belum baik untuk hasil klasifikasi penggunaan lahan.

Tabel 8, 9 dan Tabel 10 menggambarkan optimalisasi klasifikasi penggunaan lahan dengan mempertimbangkan keberadaan elevasi sebagai salah satu evidence untuk pengambilan keputusan. Tabel 8

dan Tabel 9 menjadi gambaran tentang proses perhitungan overall accuracy dan indeks kappa, yang berbeda dalam hal satuan, dimana masing-masing dengan satuan piksel dan satuan persen. Sedangkan

Tabel 10, memperlihatkan nilai komisi, omisi, producer accuracy, dan user accuracy dari proses pembuatan peta penggunaan lahan.

Sebelum mendapatkan hasil yang terbaik, dicari beberapa model untuk menentukan hasil terbaik. Beberapa model diperoleh dengan cara mengalikan faktor penutup lahan dan elevasi. Hasilnya adalah peta penggunaan lahan versi ke-2 yang mempunyai koefisien kappa sebesar 0,93 dan mempunyai overall accuracy sebesar 92,40%. Hasil pemetaan penggunaan lahan hasil dari optimalisasi penggunaan lahan dengan mempertimbangkan faktor elevasi seperti yang tersaji pada Gambar 4.

(9)

Gambar 3. Peta Plausibilitas untuk Penggunaan Lahan Hutan Lindung.

Tabel 8. Hasil Perhitungan Confusion Matrix (dalam piksel) hasil perkalian antara Penggunaan Lahan dengan Faktor Elevasi.

Kelas Bandara Hutan

Lindung Permukiman Kota Permukiman Desa Sawah 1 kali padi Sawah 2 kali padi Tegalan Kebun Campur Total Unclassified 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Bandara 87 0 0 0 0 0 25 0 112 Hutan Lindung 0 78 2 0 0 0 0 15 95 Permukiman Kota 0 0 87 0 0 0 0 0 87 Permukiman Desa 0 0 0 82 0 0 0 0 82

Sawah 1 kali padi 0 0 0 0 69 5 0 0 74

Sawah 2 kali padi 0 0 0 0 0 78 0 0 78

Tegalan 0 0 0 0 0 0 60 0 60

Kebun Campur 0 6 0 0 0 0 1 83 90

Total 87 84 89 82 69 83 86 98 678

Tabel 9. Hasil Perhitungan Confusion Matrix (dalam persen) hasil perkalian antara Penggunaan Lahan dengan Faktor Elevasi.

Kelas Bandara Hutan

Lindung Permukiman Kota Permukiman Desa Sawah 1 kali padi Sawah 2 kali padi Tegalan Kebun Campur Total Unclassified 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 Bandara 100,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 26,60 0,00 16,52 Hutan Lindung 0,00 111,43 2,44 0,00 0,00 0,00 0,00 14,56 14,01 Permukiman Kota 0,00 0,00 106,10 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 12,83 Permukiman Desa 0,00 0,00 0,00 100,00 0,00 0,00 0,00 0,00 12,09

Sawah 1 kali padi 0,00 0,00 0,00 0,00 94,52 5,75 0,00 0,00 10,91

Sawah 2 kali padi 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 89,66 0,00 0,00 11,50

Tegalan 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 63,83 0,00 8,85

Kebun Campur 0,00 8,57 0,00 0,00 0,00 0,00 1,06 80,58 13,27

(10)

Gambar 4. Peta Penggunaan Lahan Optimal Sebagian Wilayah DI. Yogyakarta.

Tabel 10. Komisi, Omisi, Producer Accuracy, dan User Accuracy Penggunaan Lahan.

Kelas Komisi (%) Omisi (%) Producer

accuracy (%) User accuracy (%) Bandara 22,32 0,00 100,00 77,68 Hutan Lindung 17,89 7,14 92,86 82,11 Permukiman Kota 0,00 2,25 97,75 100,00 Permukiman Desa 0,00 0,00 100,00 100,00

Sawah 1 kali padi 6,76 0,00 100,00 93,24

Sawah 2 kali padi 0,00 5,81 94,19 100,00

Tegalan 0,00 30,23 69,77 100,00

(11)

KESIMPULAN

Penelitian ini menghasilkan kesimpulan yaitu aspek plausibilitas menjadi sangat penting untuk pengambilan keputusan dalam menurunkan informasi penggunaan lahan karena knowledge based yang harus digunakan untuk justifikasi hasil pemetaan. Kesimpulan yang kedua adalah informasi ketinggian dapat dijadikan sebagai evidence, karena dengan memasukkan faktor ketinggian dalam modifikasi DST maka menghasilkan akurasi yang lebih baik.

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Fakultas Geografi UGM yang telah memberikan ruang dan waktu untuk penelitian. Tak lupa ucapan terima kasih juga saya haturkan untuk Drs. Projo Danoedoro, M.Sc., Ph.D, Taufik Hery Purwanto, S.Si., M.Si, Drs. Retnadi Heru Jatmiko, M.Sc, Prof. Dulbahri, dan Prof. Dr.rer.nat. Junun Sartohadi, M.Sc atas bimbingan dan arahannya dalam penyelesaian penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Aiqun, Chen. (2003). Application of the Information Fusion Based on Evidence Theory in Urban Development. Wuhan University Library.

Campbell, J.B. (2002). Introduction to Remote Sensing. (Third Edition). The Guilford Press. New York.

Danoedoro, P. (1996). Pengolahan Citra Digital : Teori dan Aplikasinya dalam Bidang Penginderaan Jauh. Fakultas Geografi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Danoedoro, P. (2004). Informasi Penggunaan Lahan Multidimensional: Menuju Sistem Klasifikasi Penggunaan Lahan Multiguna untuk Perencanaan Wilayah dan Pemodelan Lingkungan. Prosiding Sains Informasi Geografis: dari Perolehan dan Analisis Citra hingga Pemetaan dan Pemodelan Spasial. Fakultas Geografi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Danoedoro, P. (2006). Extracting Land-Use Information Related to Socio-Economic Function from Quickbird Imagery: A Case Study of Semarang Area, Indonesia.

Proceeding of Map Asia 2006. GIS De velopment. Bangkok.

Danoedoro, P. (2009). Land-use Information from the Satellite Imagery: Versatility and Contents for Local Physical Planning. Lambert Academic Publishing AG & Co. KG.

Ferson, Scott. (2002). Combination of Evidence in Dempster-Shaffer Theory. Sandia Report. Sandia National Laboratories. Department of Energy. Alberqueque. Mexico-California.

Forster, Malcom R. (2006). Counterexamples to a Likelihood Theory of Evidence. Department of Philosophy. University of Wisconsin-Madison. USA.

Goodchild, M. and S. Gopal. (1989). Accuracy of Spatial Databases. Taylor and Francis. London.

Hidayati, Iswari Nur. (2008). Modifikasi Teori Bukti Dempster-Shaffer untuk Optimalisasi Klasifikasi Penggunaan Lahan Berdasarkan Citra dan Data Spasial Multisumber. Tesis. Fakultas Geografi. UGM.

Jensen, J.R. (1986). Digital Image Processing, an Introductionary Perspective. Prentice-Hall. Engle-wood Cliffs. New Jersey.

Jensen, J.R. (1996). Introductory to Digital Image Processing: A Remote Sensing Perspective. (Second Edition). Prentice-Hall, Inc., Upper Saddle River. New Jersey. Khorram, S., and Morisette, J. T. (2000). Accuracy

assessment curves for satellite-based change detection.

Photogrammetric Engineering and Remote Sensing, 66(7), 875-880.

Khorram, S., J.F. Knight, and H.I. Cakir. (2003). Thematic Accuracy Assessment of Regional Scale Land Cover Data. In R.S. Lunetta and J.G. Lyon. Editors. Remote Sensing and GIS Accuracy Assessment. CRC Press. Boca Raton.

Klir, G.J., and Pan, Y. (1998). Constrained fuzzy arithmetic: Basic questions and answers. Soft Computing. 2(2). 100-108

Lillesand, T.M., Kiefer R.W. and Chipman, J.W. (2004).

Remote Sensing and Image Interpretation. (Fifth Edition). John Wiley & Sons, Inc., New York.

Phinn, S.R., Menges, C., Hill, G.J.E., and Stanford, M. (2000). Optimising remotely sensed solutions for monitoring, modeling and managing coastal environments. Remote Sensing of Environment. 73: 117-132.

Rhicards, J.A. and Jia, X. (2006). Remote Sensing Digital Image Analysis: An Introduction. (Fourth Edition). Springer-Verlag. Berlin.

Samudra, Imanda Surya. 2007. Kajian Kemampuan Metode Jaringan Syaraf Tiruan untuk Klasifikasi Penutup Lahan dengan Menggunakan Citra Aster. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Yonghong, Jia. (2003). Feature Fusion Based on

Dempster-Shaffer Evidential Reasoning for Image Texture Classification. School of Remote Sensing. Information of Engineering. Wuhan University. Wuhan. China.

Gambar

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran.
Tabel 3.  Matriks Penaksiran Akurasi Hasil Interpretasi.
Tabel 4.  Hasil Klasifikasi Digital Tahun 2001.
Tabel 5.  Hasil Uji Akurasi menggunakan Confusion Matrix.
+4

Referensi

Dokumen terkait

Artinya semakin tinggi penerimaan total rumahtangga secara langsung mengakibatkan semakin rendah curahan kerja pada kegiatan rumahtangga dan secara tidak langsung meningkatkan

Lebih jauh lagi, harga adalah sejumlah nilai yang konsumen tukarkan untuk jumlah manfaat dengan memiliki atau menggunakan suatu barang atau jasa.. Harga memiliki dua peranan

Dengan semangat kerja yang tinggi maka karyawan diharapkan akan mencapai tingkat produktivitas yang lebih baik, dan pada akhirnya menunjang terwujudnya tujuan dari

Hasil penelitian pada masyarakat Kelurahan Peterongan ini menunjukkan beberapa faktor yang berhubungan dengan perilaku pencegahan HIV/AIDS masyarakat antara lain

Sistem nilai tersebut pada dasarnya berasal dari tiga sumber kebenaran yang diper- cayai, yaitu agama, kepercayaan kepada Tuhan seperti yang dikatakan Ammatoa bahwa makan-

Prinsip penarikan garis batas yang digunakan dalam penentuan batas pengelolaan laut dan bagi hasil kelautan antara Kota Surabaya dengan Kabupaten Bangkalan dan Kabupaten

Analisis regresi merupakan salah satu teknik analisis data dalam statistika yang seringkali digunakan untuk mengkaji hubungan antara beberapa variabel dan meramal suatu

Penulis kemudian banyak berdialog dengan anak laki-laki yang mendapatkan sebuah permasalahan dengan Ibunya dan menemukan kesamaan dalam hal kebencian dan juga rasa sayang