• Tidak ada hasil yang ditemukan

kepercayaan Hindu Bali digolongkan sebagai orang jang belum beragama (Geertz 1964, Ramstedt 2004).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "kepercayaan Hindu Bali digolongkan sebagai orang jang belum beragama (Geertz 1964, Ramstedt 2004)."

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I. PENDAHULUAN

Sebagai sebuah proses yang dinamis, identitas tidak dapat dilepaskan dari sejarah atas identitas itu sendiri. Identitas kekinian merupakan cerminan sejarah. Melalui kesejarahan tersebut tampak bagaimana proses pembentukan identitas yang dinamis berdasarkan konteksnya. Aspek kesejarahan ini yang digunakan oleh para peneliti Bali seperti Vickers (1996), Robinson (1995), Schulte Nordholt (2009), dan Picard (1997) untuk mengkaji secara kritis bagaimana identitas masyarakat Bali dikonstruksi di masa pemerintahan kolonial sebagai paradise, di mana hasil kontruksi identitas tersebut dilanjutkan di masa pemerintahan republik untuk mendukung industri pariwisata di Bali. Vickers (1995) dan Picard (1997) lebih spesifik menguraikan bagaimana citra paradise itu sebagai sesuatu yang dikonstruksikan. Schulte Nordholt (2009) dan Robinson (1995) secara implisit mendukung tesis yang dikemukakan oleh Vickers (1996) bahwa identitas yang dikontruksi pemerintah kolonial atas Bali sebagai paradise bertolak-belakang dengan realitas di dalam masyarakat Bali yang penuh dengan kekerasan. Schulte Nordholt yang mengkaji sejarah perpolitikan Bali 1650-1940 menemukan bahwa perpolitikan Bali di masa pra-kolonial dipenuhi dengan intrik-intrik politik cerdas, penuh dengan kudeta dan peperangan antar kerajaan pusat dan satelit. Begitu pula dengan Robinson (1995) yang mengkaji sejarah perpolitikan Bali yang penuh dengan kekerasan – yang disebutkan dengan tegas dalam bukunya yang berjudul “The Dark Side of Paradise: Political Violence in Bali”. Jika Schulte Nordholt lebih terfokus sejarah perpolitikan

Bali masa pra-kolonial, maka Robinson lebih terfokus di masa kolonial dan pasca kolonial.

Meskipun konstruksi identitas Bali sebagai paradise tetap dipertahankan di masa pemerintahan republik untuk menjaga industri pariwisata di Bali, namun konstruksi dan rekonstruksi identitas terhadap Bali dalam bentuk lain masih dilakukan oleh pemerintah maupun elit lokal Bali. Pada masa pemerintahan Orde Lama, masyarakat Bali dihadapkan pada realitas politik bahwa kepercayaan Hindu Bali-nya belum dapat

(2)

diakui sebagai sebuah agama resmi versi pemerintah1 – sampai mendapatkan pengakuan dari pemerintah Orde Lama melalui Presiden Sukarno 1 Januari 1959 dan mendapatkan pengakuan penuh di tahun 1963 (Schulte Nordholt 2004, Ramstedt 2004, Picard 2004). Jika ingin mendapatkan pengakuan yang sah dari negara, bahwa kepercayaan Hindu Bali merupakan sebuah agama resmi, maka mereka diharuskan memenuhi kriteria-kriteria baku untuk menjadi sebuah agama resmi yang diakui pemerintah. Ironisnya, kriteria-kriteria tersebut harus didasarkan atas kriteria agama berdasarkan konsep kepercayaan Samawi (Yudea-Kristen-Islam), seperti: memiliki nabi (rasul), kitab suci, memiliki sistem hukum atau aturan bagi para pengikut, mendapatkan pengakuan dunia internasional, dan keanggotaannya tidak terbatas pada satu etnis tertentu (Ramstedt 2004, Picard 2004, Bagus 2004). Geertz (1964) menyebut situasi dilematis yang dihadapi masyarakat Bali dengan internal conversion, di mana merupakan fenomena ambigu karena masyarakat Bali harus meredefenisikan dirinya sebagai Hindu yang sebenarnya sudah menjadi Hindu. Lain halnya yang terjadi di masa peralihan pemerintahan Orde Lama ke Orde Baru yang diawali dengan peristiwa Gerakan 30 September. Pasca Gerakan 30 September, terjadi pembantaian massal di Bali yang berlangsung sejak bulan Desember 1965 sampai awal tahun 1966 (Robinson 1995, Rossa 2008). Peristiwa pembantaian massal tersebut menghancurkan identitas Bali sebagai paradise yang telah terkonstruksi sebelumnya. Namun, citra paradise tersebut segera direkonstruksikan kembali oleh Suharto (setelah berhasil menduduki kursi kepresidenan) dengan berkunjung ke Bali bulan November 1967 sebagai upaya memulihkan dan memajukan industri pariwisata di Bali sebagai tujuan pariwisata dunia (Robinson 1995, Vickers 1996). Pada era reformasi dan otonomi daerah (pasca jatuhnya Suharto tahun 1998) Bali menghadapi dilema atas kebertahanan dan keberlanjutan kebudayaan atau identitas kebaliannya. Industri pariwisata yang berkembang pesat dengan aliran dana investasi asing dianggap (para elit lokal di Bali) dapat menggerus

1

Sebelum mendapatkan pengakuan penuh dari pemerintah sebagai agama resmi, kepercayaan Hindu Bali digolongkan sebagai orang jang belum beragama (Geertz 1964, Ramstedt 2004).

(3)

kebudayaan Bali yang sebenarnya menjadi modal bagi industri pariwisata. Usaha Bali untuk mempertahankan kebudayaan Balinya tanpa menutup diri terhadap dunia luar disebut Schulte Nordholt (2007) sebagai benteng terbuka. Usaha tersebut diwancanakan dan berkembang menjadi sebuah fenomena Ajeg Bali – wacana dan fenomena ini berkembang signifikan

pasca aksi Bom Bali I dan II (Schulte Nordholt 2007).

Dalam konteks Barat dan masyarakat jaringan di era informasi, Castells (2002) merumuskan tiga bentuk bangunan atau konstruksi identitas berdasarkan bentuk dan asal-usulnya, yaitu legitimizing identity

(identitas yang sahih), resistance identity (identitas perlawanan), dan

project identity (identitas proyek). Bila melihat sejarah atau proses pembentukan identitas Bali sebagai paradise yang dikonstruksikan oleh sebuah otoritas (pemerintah atau negara), maka pola bangunan atau konstruksi identitas Bali dapat dikategorikan ke dalam legitimizing identity. Dalam konteks identitas Bali yang terkonstruksi, pola yang dipakai adalah pola hubungan antara negara pusat dan satelit, bukan pola hubungan dalam masyarakat jaringan di era informasi seperti konteks Barat. Di masa pra-kolonial (kerajaan), negara pusat dijadikan sebagai percontohan negara satelit (daerah kekuasaan), di mana negara satelit ini mengorientasikan segala sesuatu dalam orbitnya (Geertz 1980: 11-9). Di masa kolonial dan pasca kolonial, pusat diduduki oleh pemerintah sebagai pihak yang berkuasa atau berwenang atas Bali, di mana Bali menjadi satelitnya. Melalui pola hubungan pusat dan satelit inilah identitas kebalian Bali dikonstruksi oleh pusat agar menjadi identitas yang sahih.

Semester kedua (Juli-Agustus) tahun 1963 pasca letusan kedua Gunung Agung (16 Mei 1963) sekelompok masyarakat Bali di wilayah pegunungan Nusa Penida atas inisiatif sendiri memutuskan bertransmigrasi ke Lampung. Setelah melalui perjalanan panjang dari Nusa Penida ke Lampung dan berhasil melewati masa-masa awal yang sulit di daerah transmigrasi, komunitas transmigran Bali Nusa ini berhasil mendirikan sebuah desa yang bernama Balinuraga. Desa ini merupakan desa transmigran Bali Nusa yang berasal dari Dusun Soyor, Desa Tonglat, Nusa Penida. Saat ini Desa Balinuraga menjadi salah satu desa di wilayah Lampung Selatan yang mayoritas dihuni masyarakat Bali Nusa. Kedudukan Desa Balinuraga sebagai sebuah desa adat Bali Nusa sangat

(4)

jelas – sama seperti desa adat yang ada di Bali. Sebagai sebuah komunitas Bali Hindu, Desa Balinuraga dengan ketujuh banjar-nya memiliki perangkat-perangkat desa adat dan infrastruktur-infrastruktur sosial-keagamaan penyanggah desa adat – meskipun desa adat di Balinuraga menjadi satu dengan desa administratif. Salah satunya yang menjadi syarat mutlak berdirinya desa adat adalah Pura Kahyangan Tiga. Kedudukannya sebagai sebuah desa adat mempertegas posisi Desa Balinuraga sebagai sebuah negara satelit komunitas Bali Hindu di luar Bali – menjadi sebuah desa yang dibangun di atas fondasi identitas kebalian. Pusat (Bali dan Nusa Penida) dijadikan satelit (Balinuraga) sebagai contoh bagaimana membangun sebuah negara Bali di luar Bali. Kedudukan pusat sebagai sebuah contoh menjadikannya dalam posisi yang pasif. Satelit berada dalam posisi yang aktif, karena komunitas ini sebagai sebuah desa atau

negara dibangun secara mandiri. Satelit diberikan sebuah otonomi untuk membangun negara-nya berdasarkan konsep kala dan patra.

Desa Balinuraga dengan identitas kebaliannya tidak menjadi ada dengan sendirinya. Ada proses pembentukan identitas di dalam komunitas ini. Tidak hanya kedudukannya sebagai sebuah desa adat, tetapi juga anggota komunitas (pawongan) di dalamnya yang terdiri dari tiga kelompok warga (klan) yang merupakan golongan jaba (non-bangsawan atau puri), yaitu Pasek, Pandé, dan Arya. Kedudukan warga-warga di Balinuraga diperkuat dengan keberadaan Pura Kawitan dan peran penting

sulinggih warga sebagai pemimpin adat-keagamaan Ketika bertransmigrasi ke Lampung mereka sudah datang dengan identitasnya sebagai Bali Hindu, namun identitas tersebut belum matang. Pusat (Bali) pun masih diperhadapkan dengan proses pembentukan identitas melalui pengkonstruksian yang dilakukan oleh pemerintah maupun elit-elit yang ada di Bali. Kondisi di tahun 1963 adalah Bali masih berjuang mematangkan posisi kepercayaan mereka – Hindu Bali – sebagai sebuah agama resmi yang diakui oleh negara. Di sisi yang lain, golongan jaba di pusat masih berjuang untuk mendapatkan pengakuan yang setara atas kedudukan, khususnya kesulinggihan warga, agar tidak tergantung penuh dengan dominasi pendeta brahmana. Ini merupakan bentuk dari resistance identity (identitas perlawanan) yang dibangun oleh golongan jaba. Di samping itu, sebagian transmigran belum memiliki identitas warga yang

(5)

jelas – terkait dengan kedudukan Pulau Nusa Penida yang dijadikan wilayah pembuangan di masa kerajaan2. Identitas warga yang menjadi basis kebalian mereka masih perlu mendapatkan legitimasi dari pusat (Bali) yang diwakili oleh lembaga formal warga-warga yang berada di bawah naungan PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia).

Faktanya adalah Balinuraga dengan kedudukannya sebagai negara

satelit tidak dapat melepaskan dirinya dengan pusat (Bali). Pusat dibutuhkan untuk melegitimasi identitas kebalian mereka, sekaligus menjadi contoh membangun komunitas mereka sebagai sebuah desa adat dengan identitas kebaliannya, baik sistem desa maupun infrastruktur-infrastruktur sosial (adat-keagamaan). Begitu pula sebaliknya, pusat membutuhkan negara satelit – komunitas Bali di luar Bali seperti di Balinuraga – untuk memperkuat kedudukannya, baik melalui donasi dana maupun massa. Fakta ini diperkuat dengan penelitian Geertz (1959) yang menyebutkan bahwa masyarakat Bali memiliki ikatan-ikatan sosial yang bersifat mengikat, seperti kewajiban agama dan adat pada pura tertentu (dadya, paibon, kahyangan tiga), banjar, subak, status sosial (wangsa), ikatan kekerabatan berdasarkan ikatan darah dan perkawinan, keanggotaan terhadap seka tertentu dan keperbekelan3. Kuatnya ikatan ini menyebabkan mengapa Balinuraga sebagai satelit tidak dapat melepaskan dirinya dari pusat setelah berada di luar Bali. Sebagai pusat Bali tetap menjadi acuan bagi Balinuraga sebagai satelit atas identitas kebaliannya. Pola hubungan pusat dan satelit – Balinuraga dan Bali – menjadi penting dalam proses pembentukan identitas komunitas Balinuraga melalui proses pengkonstruksian identitas kebalian oleh pusat dalam bentuk legitimizing identity, menggambarkan identitas kebalian Balinuraga, dan usaha pelestarian identitas yang dilakukan. Menjadi penting dikarenakan pusat dan satelit sama-sama sedang dalam proses pembentukan identitas, dan Balinuraga sebagai satelit membutuhkan pusat sebagai acuan dan melegitimasi identitas kebaliannya sekaligus sebagai konstruktor identitas.

2

Lihat: David Stuart-Fox (2002), Pura Besakih: Temple, religion and society in Bali, Leiden: Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde.

3

Geertz (1959) dalam “Form and Variation in Bali Village Structure”, dalam

(6)

Di sisi lain, meskipun satelit mengorbit pada pusat dengan menjadikannya sebagai acuan, namun satelit memiliki otonomi membentuk resistance identity. Faktor jarak antara pusat dan satelit, kemandirian Balinuraga membangun negara-nya, lingkungan baru yang berbeda dengan pusat, serta filosofi kala dan patra menjadi faktor penting satelit membentuk

resistance identity dan project identity (bentuk politik identitas).Seperti yang ditunjukkan kasus upacara ngaben di Balinuraga. Prosedur atau tata upacara (dan upakara) mengikuti prosedur umum seperti yang ada di pusat. Namun dengan adanya faktor-faktor di atas, mereka (pihak penyelenggara upacara ngaben di Balinuraga) sebagai golongan jaba memiliki kemampuan (otonomi) untuk membentuk resistance identity. Ini ditunjukkan dengan bagaimana mereka membangun bade yang berbeda dengan yang umumnya digunakan di pusat dan menggunakan lembu sebagai patulangan (sarana penempatan pitra). Oleh karena itu, pola hubungan pusat-satelit dijadikan sebagai alat analisa untuk menggambarkan dan menjelaskan proses pembentukan identitas, identitas kebalian Balinuraga, dan usaha pelestarian identitas. Ini bukan pola hubungan pusat-satelit yang kaku seperti yang digambarkan oleh Geertz (1980) dalam negara teater. Satelit tetap menjadikan pusat sebagai acuan identitas kebalian, namun satelit dengan otonominya menjadikan memiliki posisi yang independent sekaligus dependt.

Terkait identitas kebalian di Balinuraga dan berdasarkan realitas di atas menuntun pada tiga pertanyaan penelitian: (1) bagaimana proses pembentukan identitas kebalian komunitas Bali Nusa di Desa Balinuraga; (2) seperti apakah identitas kebalian di Balinuraga; (3) bagaimana proses pelestarian identitas yang dilakukan sebagai bagian dari proses pembentukan identitas itu sendiri. Untuk pertanyaan penelitian pertama hal lain yang perlu ditilik lebih jauh adalah aktor-aktor (agen, patron) yang memegang peranan penting dalam proses pembentukan identitas kebalian di Balinuraga, proses pembentukan identitas itu sendiri, dan faktor-faktornya. Pada pertanyaan penelitian kedua adalah sejauh mana sistem sosial kemasyarakat Bali Hindu yang mencerminkan identitas kebalian mereka dilaksanakan setelah berada di Lampung, dan dalam (bentuk) apa identitas kebalian itu dimanifestasikan. Pada pertanyaan penelitian ketiga

(7)

adalah kondisi apa yang menyebabkan mereka melestarikan identitasnya, serta upaya apa yang dilakukan dalam upaya pelestarian identitas.

Ketiga pertanyaan penelitian tersebut memberikan gambaran yang komprehensif dinamika identitas kebalian di Lampung. Dalam kasus ini adalah komunitas Bali Nusa di Balinuraga. Bermula dari anggapan bahwa identitas kebalian yang ada di dalam komunitas ini tidak menjadi ada dengan sendirinya. Ada proses pembentukan identitas yang melibatkan proses pengkonstruksian. Melalui proses pembentukan identitas tersebut dapat dilihat gambaran atau deskripsi atas identitas kebalian mereka dan kaitannya dengan proses pembangunan, serta menunjukkan bahwa proses pembentukan identitas itu sendiri terkait erat bagaimana komunitas ini melestarikan identitasnya. Dikarenakan identitas kebalian di Balinuraga dalam proses pembentukannya tidak dapat berdiri sendiri dan melepaskan diri dari Bali sebagai pusat atau induk dari identitas kebalian mereka, maka pola hubungan pusat-satelit menjadi soko guru dalam penelitian ini. Dengan kata lain, untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif tersebut, maka turut disertakan kajian tentang proses pembentukan identitas Bali yang terkonstruksi sebagai sebuah kesatuan. Artinya, untuk mengkaji komunitas Bali Nusa di Balinuraga, tidak dapat dilepaskan dari Nusa Penida dan Bali sebagai pusat dari identitas kebalian mereka.

Secara keseluruhan disertasi ini tersusun menjadi tujuh bab. Bab Dua merupakan telaah literatur mengenai identitas dan Bali. Bagian pertama lebih mengedepankan diskusi singkat secara teoritis atau konseptual tentang identitas dari berbagai ragam atau variasi dari berbagai pemikir tentang identitas, lebih bersifat abtrak tentang identitas itu sendiri. Bagian kedua lebih mengedepankan atau difokuskan pada identitas Bali yang terkonstruksi. Tidak semua literatur dimasukkan dalam diskusi ini, karena beberapa literatur lainnya sudah dimasukkan atau dijadikan satu dalam pembahasan pada bab-bab berikutnya.

Bab Tiga merupakan uraian mengenai kesejarahan yang terdiri dari dua bagian. Bagian pertama dalam Bab Tiga menjelaskan sejarah migrasi Bali Nusa. Melalui sejarah migrasi dapat diketahui bahwa proses migrasi Bali Nusa berdampak atas proses pembentukan identitasnya dan identitasnya itu sendiri. Bagian kedua membahas mengenai sejarah mikro Balinuraga dan posisinya saat ini sebagai desa administratif.

(8)

Bab Empat menjelaskan proses pembentukan identitas di Balinuraga. Tema-tema pokok yang diuraikan adalah aktor-aktor sentral pembentuk (konstruktor) identitas Bali Nusa (individu sebagai patron, komunitas, dan lembaga formal), perjalanan identitas Bali Nusa (proses pembentukan identitas), dan faktor-faktor pembentuk identitas.

Bab Lima mendeskripsikan identitas kebalian di Balinuraga dan proses pembangunan di dalamnya. Melalui pendeskripsian ini dapat dilihat bagaimana kompleksitas identitas kebalian dan eksistensinya, serta bagaimana keberfungsian sistem sosial dalam masyarakat Bali di Balinuraga yang menjadi identitas kebaliannya menjadi satu dalam proses pembangunan komunitas ini.

Bab Enam menjelaskan kondisi yang menyebabkan komunitas Balinuraga melestarikan identitasnya dan upaya pelestarian identitas. Menjadi benteng tertutup adalah gambaran bagaimana komunitas Balinuraga melestarikan identitas kebaliannya sebagai bagian dari proses pembentukan identitas itu sendiri.

Bab Tujuh atau bab terakhir dalam disertasi ini merupakan kesimpulan hasil penelitian mengenai proses pembentukan identitas, kompleksitas sebuah identitas, dan pelestarian identitas, serta signifikansinya terhadap studi pembangunan.

Referensi

Dokumen terkait

Penerapan Pajak Progresif Kendaraan Bermotor berdasarkan Perda Nomor 2 Tahun 2011 di Kota Bandar Lampung tentang Pajak Daerah dalam pandangan Hukum Islam itu

As ESP (English for Specific Purposes) is designed to meet specific needs of learners (Dudley- Evans & St. John, 1998), developing such a course will involve compex procedures

Larenku Rempah kaya akan manfaat karena terbuat dari perpaduan antara gula aren dengan rempah- rempah plus nigella sativa yang diolah dan diramu oleh ahlinyag. 2.Aman

Tidak dianjurkan untuk menceritakan bisnis kepada mitra kerja mengenai hal apa yang sedang berusaha Anda bangun di samping pekerjaan kantor yang Anda lakukan.. Akan ditemui lebih

berbasis web yang sesuai dengan kebutuhan staff SAMSAT.. yang dapat diakses dari komputer manapun dan

Karena sistem pembelajaran yang murni bergantung pada observasi dan partisipasi, maka para musisi swadidik menempuh waktu pendidikan yang jauh lebih panjang dibandingkan

informasi yang berguna bagi pengguna sistem untuk suatu.

• Reading of the position of the robot by robot leader follower with trilateration method, the robot is able to determine the position of follower robot