• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERUBAHAN KARAKTERISTIK SURIMI KOMPOSISI IKAN LELE DUMBO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERUBAHAN KARAKTERISTIK SURIMI KOMPOSISI IKAN LELE DUMBO"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

PERUBAHAN KARAKTERISTIK SURIMI KOMPOSISI

IKAN LELE DUMBO (

Clarias

gariepinus

) DENGAN

IKAN NILA HITAM (

Oreochromis

niloticus

) SELAMA

PENYIMPANAN SUHU DINGIN

CHORIDATUL JANNAH C34052465

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

RINGKASAN

CHORIDATUL JANNAH. C34052465. Perubahan Karakteristik Surimi Komposisi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) dengan Ikan Nila Hitam

(Oreochromis niloticus) Selama Penyimpanan Suhu Dingin. Dibimbing oleh

JOKO SANTOSO dan DJOKO POERNOMO.

Surimi merupakan konsentrat protein miofibril yang diperoleh melalui pemisahan tulang dari daging ikan yang mengalami pencucian dengan air dingin. Dalam bentuk surimi ini, daging ikan disiapkan untuk mudah digunakan dalam berbagai produk olahan yang memiliki nilai tambah, memiliki warna yang putih, mudah disimpan dan mempunyai nilai gizi tinggi.

Penelitian ini bertujuan untuk memanfaatkan ikan budidaya air tawar dalam pembuatan surimi berbasis multi-spesies melalui metode pengkomposisian dan untuk mengkaji perubahan karakteristiknya selama penyimpanan pada suhu dingin. Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan utama. Tahap penelitian pendahuluan dilakukan analisis karakteristik fisika-kimia bahan baku, penentuan frekuensi pencucian terbaik dan penentuan komposisi terbaik terhadap kedua surimi (ikan lele dumbo dan ikan nila hitam). Tahap penelitian utama dilakukan penyimpanan surimi hasil pengkomposisian terbaik pada suhu dingin untuk dipelajari perubahan karakteristik fisika, kimia dan mikrobiologi selama penyimpanan.

Hasil penelitian pendahuluan diperoleh nilai rendemen daging ikan nila yang cukup besar yaitu 40,73%, sedangkan ikan lele dumbo sebesar 36,18%. Kedua jenis ikan yang digunakan dalam penelitian ini termasuk jenis ikan yang memiliki protein cukup tinggi (protein ikan nila sebesar 13,88 % dan ikan lele dumbo 12,97 %) dan lemak rendah (lemak ikan nila sebesar 0,30 % dan ikan lele dumbo sebesar 0,70 %).

Frekuensi pencucian 1 kali menghasilkan surimi ikan nila dengan ikan lele dumbo dengan kekuatan gel tertinggi masing-masing sebesar 792 g cm dan 540 g cm. Hasil penelitian tahap berikutnya, diketahui bahwa komposisi surimi N1L1 (nila : lele = 1:1) mampu menghasilkan nilai kekuatan gel tertinggi dengan nilai sebesar 612 g cm dibandingkan dengan komposisi surimi N1L2 dan N2L1.

Selama 10 hari penyimpanan pada suhu dingin, surimi komposisi N1L1 mengalami penurunan mutu sehingga berpengaruh terhadap nilai pH, TVBN, TPC dan PLG yang selanjutnya mempengaruhi kekuatan gel dan derajat putih dari surimi yang dihasilkan. Salah satu kriteria mutu surimi yang baik terletak pada faktor kekuatan gel. Tahap penelitian ini, kekuatan gel tertinggi didapatkan pada penyimpanan hari ke-0 sebesar 1096 g cm, sedangkan terendah pada penyimpanan hari ke-10, yaitu sebesar 78 g cm. Bila nilai kekuatan gel ini dibandingkan dengan hasil pada uji-uji yang lain seperti protein larut garam (PLG), uji daya ikat air (WHC) dan uji derajat putih maka didapatkan korelasi yang positif. Nilai derajat putih dari surimi yang dihasilkan, yaitu dari 33,38 % pada penyimpanan hari ke-0 turun menjadi 27,29 % pada penyimpanan hari ke-10. Nilai pH dan PLG tertinggi terjadi pada penyimpanan hari ke-0, yaitu sebesar 7,38 dan 4,64 %. Adapun nilai TVBN dan TPC menghasilkan nilai terendah pada penyimpanan hari ke-0, masing-masing sebesar 5,32 mg N/100 g dan 0,66 x 105 koloni/g.

(3)

PERUBAHAN KARAKTERISTIK SURIMI KOMPOSISI

IKAN LELE DUMBO (

Clarias

gariepinus

) DENGAN

IKAN NILA HITAM (

Oreochromis

niloticus

) SELAMA

PENYIMPANAN SUHU DINGIN

Oleh :

CHORIDATUL JANNAH C34052465

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(4)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul:

PERUBAHAN KARAKTERISTIK SURIMI KOMPOSISI IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DENGAN IKAN NILA HITAM (Oreochromisniloticus) SELAMA PENYIMPANAN SUHU DINGIN

adalah benar merupakan hasil karya yang belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Februari 2010

Choridatul Jannah C34052465

(5)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : PERUBAHAN KARAKTERISTIK SURIMI KOMPOSISI IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) DENGAN IKAN NILA HITAM (Oreochromis niloticus) SELAMA PENYIMPANAN SUHU DINGIN

Nama : Choridatul Jannah Nrp : C34052465

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si Ir. Djoko Poernomo, B.Sc NIP. 19670922 1992 03 1 003 NIP. 19580419 1983 03 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, MPhil NIP. 19580511 1985 03 1 002

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam selalu tercurahkan kepada Baginda mulia Rasulullah SAW dan para sahabat atas perjuangannya untuk kemuliaan Dienul Islam.

Dalam skripsi ini penulis mengambil judul “Perubahan Karakteristik Surimi Komposisi Ikan Lele Dumbo (Clariasgariepinus) dengan Ikan Nila Hitam

(Oreochromis niloticus) Selama Penyimpanan Suhu Dingin” yang merupakan

salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Perikanan di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, terutama kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si dan Ir. Djoko Poernomo, B. Sc selaku dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini serta pembelajaran hidup yang telah diberikan.

2. DP2M Dikti melalui proyek hibah kompetitif penelitian yang telah membiayai penelitian ini.

3. Ibu Dra. Pipih Suptijah, MBA dan Bapak Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.Biol selaku dosen penguji yang telah memberikan pengarahan dan saran konstruktif untuk kesempurnaan penyusunan skripsi ini.

4. Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, MPhil selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan, FPIK-IPB.

5. Ibu Chairita di BBP2HP, Muara Baru-Jakarta Utara, atas doa dan waktunya untuk sharing.

6. Ayahanda Maksudi Yazid dan Ibunda Kulsum (Almh) serta keluargaku tercinta yang selalu setia dalam suka dan duka (Kang Yayah, Kang Ali, Kang Opah, seluruh kakak iparku; Kang Asa, Yu Dillah, Mas Dirga, dan ponakanku tersayang Mba Iik, Mas Ayat, Dede Hafidz) yang tak pernah lelah untuk memberikan dorongan dan doa yang begitu tulus serta atas segala bantuan baik materil maupun spirituil kepada penulis hingga akhirnya menjadi S.Pi.

(7)

7. Adindaku tercinta di Jeddah, atas support dan doa tulus yang luar biasa untuk Anguda. Temani bintang kejora itu, Dik. Kita masih punya mimpi untuk Mandut-Mindut (Almh).

8. Untuk Ehsyat, terima kasih atas semuanya “UliUmi”, untuk kesetiaannya, kesabarannya, pengertiannya dan pengorbanannya. Jazakillah ya, Dik.

9. Keluargaku di Tangerang (Bapak Mu’min Imanuddin dan Ibu Sopiah, Kanda, Ansoy, Mas Wahyu, Dede kecil Jiank) atas doa dan dukungannya yang sangat berharga.

10.Tim surimi (Erna, Dini dan mba Ulin) atas kerjasamanya untuk melalui dan memulai semua ini.

11.Laboran THP (Ibu Emma, Kak Jacky, Dek Rita, Bang Ipul) dan Staff TU THP (Bang Mail, Pak Ade, Mba Hani) atas segala bantuannya.

12.Ukhti Sari, jazakillah khairan katsiran atas bantuan dan semangatnya.

13.Sohib-sohibku terkompak di Tim asisten TITL 2009; Prilz, Ifa dan Rodhie, atas kebersamaan dan doa yang begitu tulus.

14.Teman-teman THP 42 tercinta (Doranggi Dorayaki, Ita, Evi, Rivalku “Danker”, Sena, Fuad, Bayu, Ale, Seno, Miftah, Mirza, Martca, Niken, Dewi Manu, Ulie, Ulfa, Sugara, Adho, Jeng Sofie, Phite, Pus, Febri, Ozy, Tyas, Si Kembar) atas kekompakannya dan segala bantuan yang diberikan untuk penulis. Dan juga Adik-adikku THP 43 dan 44, atas bantuannya.

15.Penghuni Kilimanjaro; Ukhti Deway (Jazakillah atas doanya dan tetaplah tersenyum), Kepsek abadi Hida (Jazakillah untuk printer-nya), Cucunda Sita (Jazakillah untuk perhatian dan yang selalu menghibur dan manja ke Omanda), Dek Gita-ku yang chabby (untuk pengertian dan teriakannya yang membuat mba tersenyum), Ponakanku Nida (“simbol kesombongan”, Tante sayang Nida), Mba Vinan (Jazakillah atas kekhawatirannya dan tumpangannya), dan Dek D2 (Jazakillah untuk riasannya).

16.Guruku Uni Emilda, Teh Lia di Bandung, Mba Leli, Musy Nindira, Teh Nauli, Teh Nengky, Mba Maria, Teh Noneng dan Teh Deni di Gunung Putri, atas doanya.

17.Teman-teman DeBu 42; CinDien (Jazakillah atas kedatangannya), Izzah, Yeni, Isni, Mulya, Dian, Rinay.

(8)

18.Saudara-saudaraku seperjuangan di LDF MT Al-Marjan FPIK IPB, khususnya Tim nissa deputi MT (Dewi, Uchi, Ade Willy dan Dek Eka), Jazakumullah. 19.Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, yang telah ikhlas

membantu penulis selama penelitian.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih ada kekurangan. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukannya.

Bogor, Februari 2010

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Choridatul Jannah. Penulis adalah anak keempat dari lima bersaudara yang dilahirkan di kota Indramayu pada tanggal 2 Oktober 1987 dari pasangan Maksudi Yazid dan Kulsum (Almh).

Pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh penulis adalah SD Negeri Singaraja 1-Indramayu pada tahun 1999. Penulis melanjutkan pendidikan sekolah menengah pertama di MTsN Wotbogor-Indramayu pada tahun 1999 dan selesai pada tahun 2002. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan menengah atas di SMAN 1 Indramayu dan selesai pada tahun 2005. Pada tahun 2005, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui Jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan tahun 2006 tercatat sebagai mahasiswa Departemen Teknologi Hasil Perairan, FPIK IPB. Penulis pernah aktif sebagai asisten mata kuliah Sosiologi Umum (2007-2008), Ketua Departemen Keputrian LDF MT Al-Marjan FPIK IPB (2008-2009), anggota Koalisi Gaul Sehat (KOGASE) IPB (2008-(2008-2009), Pengurus LDK BKIM IPB (2005-2007), anggota rohis THP 42 (2007), editor Fisheries Study Club Himasilkan (2007), Divisi Litbang Organisasi Mahasiswa Daerah Indramayu IKADA (2006-2007), SC PPSDM Organisasi Mahasiswa Daerah Indramayu IKADA (2009), Koordinator asisten praktikum Teknologi Industri Tumbuhan Laut (2009) dan asisten praktikum Surimi S2 THP, FPIK-IPB (2009). Pada tahun 2009 penulis melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT Kerupuk Cap Dua Gajah-Indramayu selama 1 bulan. Penulis pernah menerima beasiswa dari Pemda Indramayu (2005-2006), TANOTO foundation (2006-2008) dan beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) IPB (2009).

Penulis melakukan penelitian dengan judul “Perubahan Karakteristik Surimi Komposisi Ikan Lele Dumbo (Clariasgariepinus) dengan Ikan Nila Hitam

(Oreochromis niloticus) Selama Penyimpanan Suhu Dingin”. Dalam

menyelesaikan penelitian ini penulis dibimbing oleh Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si dan Ir. Djoko Poernomo, B.Sc.

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

1. PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ... 1

1.2Tujuan ... 4

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Lele ... 5

2.2Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Nila ... 7

2.3Komposisi Kimia Ikan ... 9

2.3.1 Protein ikan ... 9 a) Protein miofibril ... 10 b) Protein sarkoplasma ... 11 c) Protein stroma ... 11 2.3.2 Lemak ikan ... 11 2.3.3 Komponen volatil ... 12

2.4Pengaruh Penyimpanan Suhu Dingin terhadap Mutu Ikan ... 13

2.5Surimi ... 14

2.5.1 Pengertian dan karakteristik surimi ... 15

2.5.2 Syarat mutu surimi beku ... 17

2.5.3 Bahan tambahan dalam pembuatan surimi ... 17

a) Garam ... 18

b) Cryoprotectant ... 19

2.5.4 Mekanisme pembentukan gel ... 20

3. METODOLOGI 3.1Waktu dan Tempat ... 23

3.2Alat dan Bahan ... 23

3.3Tahapan Penelitian ... 24

3.3.1 Penelitian pendahuluan ... 24

3.3.2 Penelitian utama ... 28

3.4Prosedur Analisis ... 29

(11)

a) Rendemen (SNI-19-1705-2000) ... 29

b) Uji lipat (folding test) (Suzuki 1981) ... 29

c) Uji gigit (teeth cutting test) (Suzuki 1981) ... 30

d) Water Holding Capacity (WHC) (Grau dan Hamm 1972 dalam Faridah et al. 2006) ... 30

e) Kekuatan gel (Shimizu et al. 1992 dalam Yasin 2005) .... 31

f) Derajat putih (Kett electric Laboratory 1981 dalam Yasin 2005) ... 32

3.4.2 Uji kimia ... 32

a) Nilai pH (Suzuki 1981) ... 32

b) Protein larut garam (PLG) (Saffle dan Galbraeth 1964 dalam Nauli 2009) ... 32

c) Uji kadar air (Apriyantono et al. 1989) ... 33

d) Uji kadar abu total (Apriyantono et al. 1989) ... 33

e) Uji kadar protein (Apriyantono et al. 1989) ... 34

f) Uji kadar lemak (Apriyantono et al. 1989) ... 35

g) Uji Total volatile base nitrogen (TVBN) (AOAC 1995) ... 35

3.4.3 Uji mikrobiologi (perhitungan total mikroba) (Fardiaz 1992) ... 36

3.5Rancangan Percobaan dan Analisis Data ... 38

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1Penelitian Pendahuluan ... 41

4.1.1 Rendemen daging ikan nila dan ikan lele ... 41

4.1.2 Komposisi proksimat daging lumat ikan nila dan ikan lele ... 41

4.1.3 Penentuan frekuensi pencucian terbaik ... 43

4.1.4 Penentuan komposisi surimi terbaik ... 46

4.2Penelitian Utama ... 47

4.2.1 Karakteristik fisik ... 47

a) Kekuatan gel (gel strength) ... 47

b) Derajat putih ... 50

c) Water Holding Capacity (WHC) ... 52

d) Uji lipat (folding test) ... 54

e) Uji gigit (teeth cutting test) ... 56

4.2.2 Karakteristik kimiadan mikrobiologi ... 57

a) Derajat keasaman (pH) ... 58

b) Total Volatile Base Nitrogen (TVBN) ... 60

c) Protein Larut Garam (PLG) ... 62

d) Total Plate Count (TPC) ... 64

5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1Kesimpulan ... 67

5.2Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 68

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Komposisi kimia ikan lele (Clarias sp.) ... 7

2. Komposisi kimia ikan nila (Oreochromis sp.) ... 8

3. Penggolongan protein daging ikan berdasarkan kelarutan ... 9

4. Syarat mutu surimi beku (SNI 01-2693-1992) ... 18

5. Rasio pengkomposisian surimi terbaik ikan nila dan ikan lele ... 25

6. Kriteria mutu uji lipat ... 29

7. Kriteria mutu uji gigit ... 30

8. Komposisi kimia daging lumat ikan nila hitam dan ikan lele dumbo ... 42

9. Hubungan antara frekuensi pencucian dengan nilai protein larut garam (PLG), kekuatan gel dan pH ... 43

10. Nilai uji lipat dan uji gigit pada setiap frekuensi pencucian ... 45

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Ikan lele dumbo (Clariasgariepinus) ... 6

2. Ikan nila hitam (Oreochromisniloticus) ... 8

3. Pembentukan gel surimi dan proteolisis protein miofibril ... 22

4. Diagram alir penelitian pendahuluan ... 26

5. Diagram alir pengkomposisian surimi ... 27

6. Diagram alir penelitian utama ... 28

7. Nilai kekuatan gel surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin ... 48

8. Regresi linier kekuatan gel surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin ... 49

9. Nilai derajat putih surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin ... 50

10. Regresi linier derajat putih surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin ... 51

11. Nilai daya ikat air (WHC) surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin ... 52

12. Regresi linier WHC surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin ... 53

13. Nilai uji lipat surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin ... 54

14. Regresi linier uji lipat surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin ... 55

15. Nilai uji gigit surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin ... 56

16. Regresi linier nilai uji gigit surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin ... 57

17. Nilai derajat keasaman (pH) surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin ... 58

18. Regresi linier derajat keasaman (pH) surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin ... 59

19. Nilai TVBN surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin... 61

20. Regresi linier ln TVBN surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin ... 62

(14)

21. Nilai protein larut garam (PLG) surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin ... 63 22. Regresi linier protein larut garam (PLG) surimi hasil pengkomposisian

nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin ... 64 23. Nilai log total plate count (TPC) surimi hasil pengkomposisian

nila-lele (N1L1) selama penyimpanan dingin ... 65 24. Regresi linier log total plate count (TPC) surimi hasil

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1. Lembar penilaian organoleptik uji lipat dan uji gigit surimi hasil

pengkomposisian nila-lele (N1L1) ... 75

2. Nilai PLG surimi ikan nila dari setiap frekuensi pencucian ... 76

3. Analisis ragam PLG surimi ikan nila dari setiap frekuensi pencucian ... 76

4. Nilai PLG surimi ikan lele dumbo dari setiap frekuensi pencucian ... 76

5. Analisis ragam PLG surimi ikan lele dumbo dari setiap frekuensi pencucian ... 76

6. Nilai pH surimi ikan lele dumbo dari setiap frekuensi pencucian ... 77

7. Analisis ragam pH surimi ikan lele dumbo dari setiap frekuensi pencucian ... 77

8. Nilai kekuataan gel surimi ikan lele dumbo dari setiap frekuensi pencucian ... 77

9. Analisis ragam kekuatan gel surimi ikan lele dumbo dari setiap frekuensi pencucian ... 77

10. Nilai pH surimi ikan nila dari setiap frekuensi pencucian ... 78

11. Analisis ragam pH surimi ikan nila dari setiap frekuensi pencucian ... 78

12. Nilai kekuatan gel surimi ikan nila dari setiap frekuensi pencucian ... 78

13. Analisis ragam kekuatan gel surimi ikan nila dari setiap frekuensi pencucian ... 78

14. Data uji lipat ikan lele dumbo setiap frekuensi pencucian ... 79

15. Data uji gigit ikan lele dumbo setiap frekuensi pencucian ... 79

16. Data uji lipat ikan nila setiap frekuensi pencucian ... 80

17. Data uji gigit ikan nila setiap frekuensi pencucian ... 80

18. Nilai kekuatan gel surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin ... 81

19. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey kekuatan gel surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin ... 81

20. Nilai derajat putih surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin ... 82

(16)

21. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey derajat putih surimi hasil

pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin ... 82 22. Nilai WHC surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama

penyimpanan suhu dingin ... 82 23. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey WHC surimi hasil pengkomposisian

nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin ... 82 24. Data uji lipat gel ikan surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1)

selama penyimpanan suhu dingin ... 85 25. Analisis ragam dan uji lanjut multiple comparison uji lipat surimi hasil

pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin ... 85 26. Data uji gigit gel ikan surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama

penyimpanan suhu dingin ... 87 27. Analisis ragam dan uji lanjut multiple comparison uji gigit surimi hasil

pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin ... 87 28. Nilai pH surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama

penyimpanan suhu dingin ... 89 29. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey pH surimi hasil pengkomposisian

nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin ... 89 30. Nilai TVBN surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama

penyimpanan suhu dingin ... 89 31. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey TVBN surimi hasil pengkomposisian

nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin ... 89 32. Nilai PLG surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama

penyimpanan suhu dingin ... 92 33. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey PLG surimi hasil pengkomposisian

nila-lele (N1L1) selama penyimpanan suhu dingin ... 92 34. Nilai TPC surimi hasil pengkomposisian nila-lele (N1L1) selama

penyimpanan suhu dingin ... 92 35. Analisis ragam dan uji lanjut Tukey TPC surimi hasil pengkomposisian

(17)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan sektor perikanan dalam arti luas ditujukan untuk pemanfaatan potensi sumberdaya perairan, menghasilkan produk-produk unggulan, menyediakan bahan baku bagi keperluan industri dan memperluas kesempatan kerja. Produk-produk tersebut berbasiskan pada agroindustri dan ekonomi perikanan yang tangguh yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, efektivitas dan nilai tambah. Agroindustri yang dipandang strategis untuk dikembangkan diantaranya adalah industri pengolahan makanan.

Perairan Indonesia yang merupakan 70 persen dari wilayah Nusantara, mempunyai garis pantai lebih dari 81.000 km dengan 13.667 pulau, memiliki potensi perikanan yang cukup besar. Sebagai penyedia protein yang murah dan mudah di Indonesia, produk dari sektor perikanan ini masih sangat mungkin untuk terus ditingkatkan. Saat ini produksi ikan di Indonesia masih didominasi dari sektor penangkapan yang mencapai 70 % dari total produksi perikanan di Indonesia. Dalam kurun waktu tahun 2004-2007, produksi perikanan budidaya dan perikanan tangkap mengalami peningkatan dengan total produksi 6,12 juta ton – 8,03 juta ton. Produksi perikanan budidaya Indonesia pada tahun 2004-2007 sebesar 1,47 juta ton – 3,09 juta ton, sedangkan peningkatan produksi perikanan tangkap adalah sebesar 4,65 juta ton – 4,94 juta ton (BPS DKP 2008).

Masalah utama yang dihadapi adalah masih belum tersedianya jaringan pasok ikan yang memadai dan belum tumbuhnya kebiasaan makan ikan di sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama di daerah yang jauh dari pusat perikanan. Dengan kondisi ini, tidak mudah mengubah pola makan dari non-ikan ke pola makan dengan ikan. Masalah lain yang dihadapi adalah masih sangat terbatasnya bentuk-bentuk olahan ikan yang ada, sehingga pilihan pun terbatas. Umumnya ikan diolah secara tradisional seperti ikan asin, peda, pindang dan olahan tradisional lain yang umumnya mempergunakan garam tinggi. Dengan bentuk olahan yang berkadar garam tinggi tersebut, daya konsumsi konsumen terhadap ikan terbatas dan ikan lebih berfungsi sebagai pengikat selera makan. Pengembangan aneka produk olahan dari ikan atau yang mengandung ikan dapat

(18)

dijadikan alternatif jitu yang multifungsi. Selain memperbanyak pilihan bagi konsumen sesuai selera, pengembangan aneka produk juga dapat dijadikan upaya untuk menumbuhkan kebiasaan makan ikan sejak dini.

Untuk pengembangan produk-produk perikanan diperlukan bahan baku ikan yang bermutu tinggi. Salah satunya adalah dalam bentuk surimi. Menurut Suzuki (1981), surimi merupakan produk antara (intermediate product) yang terbuat dari daging ikan yang dilumatkan setelah mengalami proses penggilingan dan pencucian. Dalam bentuk surimi ini, daging ikan disiapkan untuk mudah digunakan dalam berbagai aneka olahan berbasis ikan maupun untuk fortifikasi, mudah disimpan, tahan lama dalam bentuk mirip daging ikan segar, mempunyai nilai gizi yang menyehatkan (Guenneugues dan Morrissey 2005 dalam Martin-Sanchez et al. 2009) dan memiliki sifat spesifik yang diperlukan untuk berbagai pengembangan produk, terutama yang menuntut sifat elastisitas pada produk akhir. Secara teknis semua jenis ikan dapat dijadikan surimi. Namun, ikan yang berdaging putih, tidak berbau lumpur dan tidak terlalu amis serta mempunyai kemampuan membentuk gel yang bagus akan memberikan hasil (surimi) yang lebih baik. Beberapa jenis ikan yang baik untuk dijadikan surimi antara lain ikan cunang/ remang, tenggiri, kakap, tigawaja, beloso, cucut dan lain-lain. Ikan air tawar seperti lele, tawes, nilam dan lain-lain juga dapat diolah menjadi surimi. Biasanya untuk jenis-jenis ikan air tawar, sebelum diolah ikan-ikan ini terlebih dahulu dilakukan pemberokan agar bau lumpur pada produk akhir dapat dikurangi. Mutu kesegaran ikan yang digunakan harus benar-benar sangat segar. Penggunaan ikan yang kurang segar maupun ikan yang telah dibekukan akan menurunkan mutu surimi. Demikian pula ikan yang berdaging merah akan menghasilkan surimi yang lebih berat dan baunya lebih amis, sehingga hanya dapat digunakan untuk produk yang warnanya tidak harus putih. Daging merah biasanya mengandung lemak lebih banyak dibandingkan daging putih, sehingga surimi dan produk surimi yang dihasilkan lebih cepat tengik (Paranginangin et al.

1999).

Peningkatan konsumsi dunia akan produk-produk yang berbasiskan surimi memberikan pangsa pasar yang besar. Permintaan surimi terbesar terdapat di negara-negara yang kaya, seperti Amerika Serikat, Jepang dan beberapa negara

(19)

Eropa. Eropa telah mampu mengimpor bahan baku pada beberapa tahun terakhir sekitar 40 hingga 50.000 ton dan impor produk-produk akhir sebesar 70.000 ton per tahun. Konsumsi surimi sebagian besar juga terdapat di negara-negara sekitar Laut Tengah, Kerajaan Inggris dan daerah Baltic (Catarci 2007; Vidal-Giraud dan Chateau 2007 dalam Martin-Sanchez et al. 2009).

Indonesia adalah salah satu negara beriklim tropis, mempunyai sumberdaya hayati perairan yang sangat beragam. Hasil panen ikan budidaya beragam pada daerah yang berbeda terutama dari segi kuantitas. Hal ini merupakan salah satu kendala bila nantinya hanya dikembangkan industri surimi berbasis single-species. Salah satu alternatif yang perlu diupayakan adalah pengolahan dalam memanfaatkan ikan budidaya menjadi surimi berbasis multi-spesies. Pola pemanfaatan seperti ini akan menjamin ketersediaan bahan baku karena ketidaktergantungan industri terhadap satu jenis ikan budidaya air tawar. Namun, yang menjadi titik perhatian adalah pengontrolan terhadap kualitas mutu surimi multi-spesies agar dapat dihasilkan kualitas surimi sebaik dari surimi

single-species.

Saat ini pembuatan surimi masih difokuskan pada ikan-ikan berdaging putih yang masing-masing dilakukan secara tunggal. Mengingat potensi perikanan Indonesia baik perikanan air tawar maupun air laut mempunyai keragaman spesies yang tinggi dengan jumlah tiap spesiesnya tidak terlalu banyak, maka surimi yang cocok untuk dikembangkan adalah surimi berbasis multi-spesies melalui metode pengkomposisian. Penelitian tentang pengkomposisian surimi dalam jumlah terbatas pernah dilakukan oleh Santoso

et al. (2008). Pada penelitian tersebut membuktikan bahwa melalui metode pengkomposisian antara ikan pari dan ikan cucut yang keduanya termasuk ikan berdaging putih, menghasilkan surimi dengan nilai kekuatan gel yang lebih baik dibandingkan dengan surimi yang dibuat secara terpisah. Cornellia et al. (2008)

dalam Santoso et al. (2009) berhasil melakukan pengkomposisian surimi ikan cucut dengan ikan kembung, yaitu kelompok ikan berdaging putih dan merah juga menghasilkan kemampuan pembentukan gel yang lebih baik dibandingkan dengan surimi tunggal.

(20)

Pada penelitian ini digunakan ikan budidaya air tawar (lele dan nila) yang merupakan komoditas unggulan daerah Bogor untuk diproduksi menjadi surimi berbasis multi-spesies melalui metode pengkomposisian. Ikan-ikan ini memiliki rasa yang gurih dan khas, daging yang tebal, harga terjangkau, duri yang sedikit dan mudah dalam pengolahannya, sehingga menjadi kegemaran masyarakat luas. Besarnya peluang untuk membuat surimi multi-spesies dari ikan budidaya air tawar dan prospek pengembangan pengolahan surimi yang tinggi, dimana permintaan akan surimi di dunia terus mengalami peningkatan, maka hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternatif solusi terhadap potensi komoditas unggulan daerah Bogor untuk dimanfaatkan lebih optimal. Baik untuk pemenuhan kebutuhan lokal maupun nasional dan internasional (ekspor).

1.2 Tujuan

Tujuan umum yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah pemanfaatan ikan budidaya air tawar untuk dibuat surimi berbasis multi-spesies melalui metode pengkomposisian, sedangkan tujuan khusus yang ingin dicapai meliputi :

(1) Membuat surimi berbasis multi-spesies dari ikan air tawar (ikan nila hitam dan lele dumbo) sesuai dengan standar SNI, dengan perlakuan faktor pengulangan pencucian dan pengkomposisian.

(2) Mengevaluasi karakteristik fisik, kimia dan mikrobiologi surimi berbasis multi-spesies dari ikan nila hitam dan lele dumbo selama penyimpanan suhu dingin.

(21)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Lele

Klasifikasi ikan lele menurut Beaufort (1965) dalam Suyanto (1999) adalah sebagai berikut:

Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Pisces Subkelas : Teleostei Ordo : Ostariophysi Subordo : Siluroidea Famili : Clariidae Genus : Clarias

Ikan lele merupakan jenis ikan konsumsi air tawar dengan tubuh memanjang dan kulit licin. Ikan lele dapat hidup pada suhu 20 °C, dengan suhu optimal antara 25-28 °C. Untuk pertumbuhan larva diperlukan kisaran suhu antara 26-30 °C dan untuk pemijahan 24-28 °C. Apabila suhu tempat hidupnya

terlalu dingin, misalnya di bawah 20 oC, pertumbuhannya agak lambat. Di Indonesia, ada beberapa jenis (spesies) ikan lele, yaitu Clarias batrachus dan

Clarias gariepinus, jenis ini yang paling banyak dijumpai dan umumnya

dibudayakan, disamping terdapat di alam; Clarias leiacanthus; Clarias nieuwhofi; Clarias teesmanii. Ketiga jenis ini terdapat di perairan Indonesia tetapi jarang ditemukan dan diduga sudah langka (Suyanto 1999).

Ikan lele bersifat nokturnal, artinya aktif pada malam hari atau lebih menyukai tempat yang gelap. Pada siang hari yang cerah, ikan lele lebih suka berdiam di dalam lubang-lubang atau tempat yang tenang dan aliran air yang tidak terlalu deras. Habitat atau lingkungan hidup ikan lele ialah semua perairan air tawar. Di sungai yang airnya tidak terlalu deras atau di perairan yang tenang seperti danau, waduk, telaga, rawa serta genangan-genangan kecil seperti kolam, merupakan lingkungan hidup ikan lele (Suyanto 1999).

Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) merupakan jenis ikan yang termasuk dalam famili Claridae dan genus Clarias. Ikan lele dumbo ini merupakan ikan air

(22)

tawar yang menyenangi air tenang. Spesies ini merupakan saudara dekat lele lokal (Clarias batrachus) yang selama ini dikenal, sehingga ciri-ciri morfologinya hampir sama. Ikan ini merupakan hasil perkawinan silang antara lele Afrika dan lele Taiwan (Khairuman dan Amri 2002 dalam Margolang 2009). Ikan lele dumbo memiliki kecepatan tumbuh yang relatif cepat yaitu pada umur 3 bulan pemeliharaan sudah layak untuk panen, rasanya enak dan kandungan gizinya cukup tinggi. Ikan lele dumbo meskipun badannya besar, patilnya tidak memiliki racun tidak seperti lele lokal. Foto ikan lele dumbo dapat dilihat pada Gambar 1.

Sumber: www. cdserver2.ru.ac

Gambar 1. Ikan lele dumbo (Clariasgariepinus)

Bentuk tubuh memanjang, agak bulat, kepala gepeng, tidak bersisik, mempunyai 4 pasang kumis, mulut besar, warna kelabu sampai hitam. Lele dumbo banyak ditemukan di rawa-rawa dan sungai di Afrika, terutama di dataran rendah sampai sedikit payau. Ikan ini mempunyai alat pernapasan tambahan yang disebut abrorescent, sehingga mampu hidup dalam air yang oksigennya rendah. Lele dumbo termasuk ikan karnivora, namun pada usia benih lebih bersifat omnivora. Induk lele dumbo sudah dapat dipijahkan setelah berumur 2 tahun dan dapat memijah sepanjang tahun (Margolang 2009).

Menurut Suyanto (1999), ikan lele tahan hidup di perairan yang airnya mengandung sedikit oksigen. Ikan lele ini relatif tahan terhadap pencemaran bahan-bahan organik. Oleh karena itu, ikan lele tahan hidup di comberan yang airnya kotor. Ikan lele hidup dengan baik di dataran rendah sampai daerah perbukitan yang tidak terlalu tinggi. Di daerah pegunungan dengan ketinggian

(23)

diatas 700 meter, pertumbuhan lele kurang begitu baik. Lele tidak pernah ditemukan hidup di air payau atau asin. Komposisi kimia ikan lele dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi kimia ikan lele (Clarias sp.)

Senyawa kimia Jumlah (%)

Air 76

Protein 17,7

Karbohidrat 0,3

Lemak 4,8

Mineral 1,2

Sumber: Vaas (1956) dalam Astawan (2008)

2.2 Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Nila

Ikan nila merupakan jenis ikan yang diintroduksi dari luar negeri. Bibit ini didatangkan ke Indonesia secara resmi oleh Balai Penelitian Perikanan Air Tawar pada tahun 1969. Melalui beberapa penelitian dan masa adaptasi, barulah ikan ini disebarluaskan kepada petani di seluruh Indonesia. Klasifikasi ikan nila menurut Trewavas (1982) dalam Suyanto (1994) adalah sebagai berikut:

Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Osteichtyes Subkelas : Acanthopterigii Ordo : Percomorphi Famili : Cichlidae Genus : Oreochromis

Spesies : Oreochromisniloticus

Ikan nila hitam merupakan jenis ikan air tawar yang mudah dikembangbiakan dan memiliki toleransi tinggi terhadap perubahan lingkungan serta mudah dalam pemeliharaannya. Karena memiliki berbagai kelebihan dibanding jenis ikan lainnya, menjadikan ikan nila hitam mudah sekali diterima masyarakat. Selain kelebihan tersebut, ikan nila hitam relatif tahan dari serangan penyakit serta ikan ini termasuk hewan pemakan segala (omnivora) (Margolang 2009). Foto ikan Nila Hitam ditunjukkan pada Gambar 2.

(24)

Sumber: www.globefish.org Gambar 2.

Ikan nila mempunyai sirip punggung, sirip dubur dan sirip perut yang masing-masing mempunyai

duri. Sirip punggung mempunyai lima belas jari lunak, sedangkan sirip ekor mempunyai dua jari lunak. Sirip punggung berwarna hitam dan s terdapat enam buah jari

Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi kimia ikan Senyawa kimia Air Protein Karbohidrat Lemak Abu Sumber: Suyanto (1994)

Ikan nila hidup di sungai, rawa, danau, waduk dan sawah. Pada daerah tropis ikan nila dapat hidup dan tumbuh dengan baik sepanjang tahun pada lokasi sampai ketinggian 500 m diatas permukaan laut. Ikan

kepadatan yang lebih tinggi dibandingkan ikan seperti ikan mas (Direktorat Jenderal

Sumber: www.globefish.org

Gambar 2. Ikan nila hitam (Oreochromisniloticus)

ila mempunyai sirip punggung, sirip dubur dan sirip perut yang masing mempunyai jari-jari keras dan jari-jari lunak yang tajam seperti duri. Sirip punggung mempunyai lima belas jari-jari keras dan sepuluh jari lunak, sedangkan sirip ekor mempunyai dua jari-jari keras dan enam jari lunak. Sirip punggung berwarna hitam dan sirip dada menghitam, sirip pada ekor

i-jari tegak. Komposisi kimia ikan nila dapat dilihat pada

. Komposisi kimia ikan nila (Oreochromis sp.)

Senyawa kimia Jumlah (%)

79,44 12,52 4,21 2,57 1,26 Sumber: Suyanto (1994)

ila hidup di sungai, rawa, danau, waduk dan sawah. Pada daerah ila dapat hidup dan tumbuh dengan baik sepanjang tahun pada lokasi sampai ketinggian 500 m diatas permukaan laut. Ikan nila dipelihara dengan kepadatan yang lebih tinggi dibandingkan ikan-ikan dari golongan cyprinidae

(Direktorat Jenderal Perikanan 1991).

ila mempunyai sirip punggung, sirip dubur dan sirip perut yang jari lunak yang tajam seperti jari keras dan sepuluh jari-jari jari keras dan enam jari-jari irip dada menghitam, sirip pada ekor ila dapat dilihat pada

ila hidup di sungai, rawa, danau, waduk dan sawah. Pada daerah ila dapat hidup dan tumbuh dengan baik sepanjang tahun pada lokasi dipelihara dengan an cyprinidae

(25)

Keunggulan yang dimiliki oleh ikan nila antara lain: toleran terhadap lingkungan (hidup di air tawar dan payau pada kisaran pH 5-11), pertumbuhannya cepat yaitu dalam jangka waktu 6 bulan benih berukuran 30 g dapat tumbuh mencapai berat 300-500 g, dapat dipijahkan setelah umur 5-6 bulan dan dapat dipijahkan kembali setelah 1-1,5 bulan kemudian, serta tahan terhadap kekurangan oksigen dalam air (Suyanto 1994).

2.3 Komposisi Kimia Ikan

Ikan mempunyai kandungan gizi yang tinggi, komponen kimia ikan secara umum mengandung: 15-24 % protein; 0,1-22 % lemak; 1-3 % karbohidrat; 0,8-2 % substansi anorganik dan 66-84 % air (Suzuki 1981). Priestley (1979) menyebutkan bahwa protein ikan terdiri dari tiga tipe, yaitu: miofibril, sarkoplasma dan jaringan ikat (stroma). Persentase protein stroma dalam daging ikan lebih sedikit dibandingkan protein ikan lainnya. Hal inilah yang menyebabkan daging ikan lebih lembut dibandingkan daging lainnya.

2.3.1 Protein ikan

Menurut deMan (1997), protein daging ikan dapat dibagi menjadi tiga golongan berdasarkan kelarutannya. Otot kerangka ikan terdiri atas serat pendek disusun di antara lembaran-lembaran jaringan ikat, meskipun jumlah jaringan ikat dalam otot ikan lebih kecil daripada jumlah jaringan ikat dalam mamalia dan seratnya lebih pendek. Tabel 3 menunjukkan penggolongan protein daging ikan berdasarkan kelarutan.

Tabel 3. Penggolongan protein daging ikan berdasarkan kelarutan Kekuatan ion pada saat

pelarutan

Nama golongan Lokasi

Sama dengan atau lebih besar dari nol

’Myogen’ mudah larut Terutama sarkoplasma cairan sel otot

Lebih besar dari sekitar 0,3

’Struktur’ kurang larut Terutama myiofibril, unsur kontraktil

Tidak larut ’Stroma’ Terutama jaringan ikat, dinding sel, dsb.

(26)

Komponen utama dari protein adalah aktin dan miosin, yang berfungsi untuk kontraksi dan relaksasi otot. Protein dibentuk oleh satuan-satuan asam amino yang membentuk polimer sehingga merupakan senyawa yang panjang. Molekul asam amino mempunyai gugus amino (NH2) yang bersifat basa dan gugus karboksil (COOH) yang bersifat asam. Keadaan tersebut memungkinkan asam amino dapat bereaksi dengan asam dan basa serta pereaksi lainnya (Winarno

et al. 1980).

a) Protein miofibril

Protein miofibril ini berperan penting dalam penggumpalan dan pembentukan gel pada saat pengolahan. Protein ini terdiri dari miosin, aktin dan protein regulasi (tropomiosin, troponin, dan aktinin) (Suzuki 1981).

Penyusun terbesar protein miofibril ikan adalah miosin, yaitu 50-60 %, (miosin merupakan komponen miofibril terbanyak di dalam jaringan otot) dan penyusun kedua terbesar adalah aktin. Aktin tersusun hampir 20 % dari total miofibril dan merupakan filamen tipis. Protein ini mempunyai dua bentuk, yaitu globular (G-aktin) dan fibrous (F-aktin). Gabungan aktin dan miosin membentuk aktomiosin. Protein miofibril sangat berperan dalam pembentukan gel, terutama dari fraksi aktomiosin (Suzuki 1981).

Menurut Nakai dan Modler (1999), protein miofibril meliputi 11 % dari total berat otot dan sekitar 55 % dari total protein otot. Secara fisiologis dan struktur ikatan, protein miofibril dibagi menjadi 3 subkelompok:

1. Protein kontraktil, mencakup tropomiosin dan aktin yang bertanggung jawab secara langsung untuk kontraksi otot dan merupakan bagian terpenting dari miofibril.

2. Protein pengatur, mencakup tropomiosin, kompleks troponin dan beberapa protein pelengkap lainnya, yang dilibatkan di dalam inisiasi dan mengontrol kontraksi.

3. Sitoskletal atau protein scaffold, mencakup connectin, C-protein, desmin dan sejumlah komponen pelengkap lainnya yang berfungsi memberi dukungan dan memelihara struktur miofibril.

(27)

b) Protein sarkoplasma

Protein sarkoplasma mengandung berbagai macam protein larut air yang disebut sebagai miogen. Protein tersebut terdiri dari mioglobin, enzim dan albumin lainnya. Kandungan protein sarkoplasma pada daging ikan bervariasi berdasarkan spesies ikan, tetapi terdapat dalam jumlah besar pada ikan-ikan pelagis seperti pada sardine dan mackerel, serta terdapat dalam jumlah kecil pada ikan-ikan demersal (Suzuki 1981). Protein sarkoplasma merupakan protein yang larut dalam air, secara normal ditemukan dalam plasma sel dan berperan sebagai enzim yang diperlukan untuk metabolisme anaerob sel otot. Protein sarkoplasma meliputi 30 % dari total protein otot (Mackie 1992).

Protein sarkoplasma menghambat pembentukan gel surimi. Menurut Smith (1991) yang dikutip oleh Haard et al. (1994) bahwa protein sarkoplasma akan mengganggu cross-linking miosin selama pembentukan matriks gel karena protein ini tidak dapat membentuk gel dan mempunyai kapasitas pengikatan air rendah.

c) Protein stroma

Menurut Suzuki (1981), protein stroma adalah bagian protein otot yang paling sedikit, membentuk jaringan ikat dan tidak dapat diekstrak dengan air, larutan asam, larutan alkali atau larutan garam netral pada konsentrasi 0,01-0,1 M. Protein stroma merupakan protein yang terdapat pada bagian luar sel otot.

Protein stroma ini tidak dapat diekstrak menggunakan larutan asam, alkali atau garam berkekuatan ion tinggi. Pada pengolahan surimi, protein stroma tidak dihilangkan karena mudah larut oleh panas dan merupakan komponen netral (Hall dan Ahmad 1992).

2.3.2 Lemak ikan

Kandungan lemak ikan umumnya merupakan asam-asam lemak esensial yaitu asam lemak linoleat dan linolenat. Lemak ikan banyak terdapat asam lemak dengan rantai C20-C22 dengan 5 dan 6 ikatan rangkap yang termasuk ke dalam

(28)

kelompok asam lemak omega 3. Eicosa Pentaenoic Acid (EPA), Docosa Hexaenoic Acid (DHA) dan asam α-linoleat merupakan jenis asam lemak yang termasuk ke dalam kelompok asam lemak omega 3. Jumlah asam lemak tidak jenuh sebesar 79-83 % dan asam lemak jenuh sebesar 17-21 % dari seluruh asam lemak yang terdapat pada daging ikan (Hadiwiyoto 1993). Menurut Priestley (1979), lemak pada ikan adalah lemak tidak jenuh, yaitu fosfolipida dan trigliserida yang mengandung sejumlah besar asam lemak tak jenuh

Polyunsaturated Fatty Acid (PUFA) yang mudah teroksidasi oleh oksigen selama

penanganan dan proses pengolahan. Proses oksidasi menghasilkan hidroperoksida dan akan pecah menjadi karbonil yang menyebabkan bau busuk dan rasa tengik.

Irawan (1995) menyatakan bahwa pengaruh musim biasanya yang paling banyak mempengaruhi kandungan air dan lemak pada daging ikan. Pada musim dimana sulit mendapatkan makanan, kandungan lemak menurun, sedangkan kandungan air meningkat, juga sebaliknya.

2.3.3 Komponen volatil

Cita rasa adalah gabungan antara rasa dan aroma. Di dalam mulut, rasa dapat dikenali jika senyawa-senyawa dapat larut dalam air liur, sedangkan aroma dapat dikenali jika senyawa-senyawa penyusunnya berbentuk uap dan molekul-molekul komponen bau tersebut harus menyentuh silia sel olfaktori (Winarno

et al. 1980). Menurut Whistler dan Daniel (1985), aroma dikaitkan dengan gabungan dari beberapa komponen volatil. Komponen volatil ini mengandung sejumlah gugus karbonil (aldehida dan keton) dan turunan asam karboksilik, terutama ester. Aroma yang ditimbulkan oleh bahan pangan sebelum diolah sudah terdapat dari awal (dalam bahan baku), sedangkan lainnya terbentuk selama pengolahan dan penyimpanan makanan.

Pada waktu proses pembusukan ikan terjadi umumnya komponen-komponen penyusun aroma ikan akan hilang. Pada saat pembusukan ini, amonia lebih banyak dibentuk sehingga baunya akan mendominasi. Volatil nitrogen hampir seluruhnya terdiri atas amonia. Pada ikan-ikan air tawar, kandungan trimetilamin oksida (TMAO) sedikit sekali atau bahkan tidak ada, sedangkan pada

(29)

ikan-ikan laut kandungan TMAO berfungsi sebagai bagian dari sisi buffer. Trimetilamin ini dikenal sebagai salah satu komponen pembentuk bau ikan dan sudah dapat dideteksi pada ikan yang masih segar. Pengukuran Total Volatile

Base Nitrogen (TVBN) menentukan jumlah seluruh volatil amin terutama amonia

dan trimetilamin. Ikan dapat dikatakan segar bila memiliki kadar TVBN 20-30 mg N/100 g dan dikatakan busuk bila memiliki kadar TVBN > 30 mg N/100 g (Ozogul dan Ozogul 2000).

2.4 Pengaruh Penyimpanan Suhu Dingin terhadap Mutu Ikan

Pada produk pangan yang cepat membusuk seperti ikan basah, mutu ikan selalu identik dengan kesegaran. Kualitas dari bahan baku hingga memasuki proses pengolahan adalah faktor yang sangat penting bagi konsumen. Oleh karena itu, ikan harus ditangani dengan serius untuk mempertahankan daya tahan ikan tersebut. Ikan yang disimpan dingin (chilled) setelah ditangkap dan ditangani dengan benar akan memiliki daya tahan selama 15 hari penyimpanan dingin pada supermarket (Alasalvar et al. 2002).

Eskin (1990) menyatakan bahwa segera setelah ikan mati akan mengalami perubahan-perubahan yang mengarah pada pembusukan yang disebabkan oleh aktivitas biokimia dan fisikokimia. Proses yang terjadi pada kondisi ini dapat dibagi menjadi 3 tahap, yaitu prerigor, rigormortis dan postrigor. Pada tahap prerigor, tubuh ikan menjadi lunak melalui karakterisasi biokimia yang ditandai dengan turunnya ATP dan kandungan creatine phosphate yang dikenal dengan glikolisis. Pada tahap rigormortis, kondisi tubuh ikan menjadi kaku, dimana rigormortis terjadi sekitar 1-7 jam setelah ikan mati, tergantung dari banyak faktor yang mempengaruhi, dan tahap terakhir adalah postrigor dimana ikan berada dalam kondisi lembek.

Penguraian tingkat lanjut oleh enzim terjadi setelah proses rigormortis selesai yang dimulai dengan meningkatnya nilai pH (Connell 1980). Menurut Amlacher (1961) dalam Santoso et al. (2008), nilai pH bagi ikan segar berada pada kisaran pH di bawah netral hingga pH netral dan enzim proteolisis aktif setelah proses rigor terjadi. Enzim ini akan menguraikan protein. Beberapa enzim yang terlibat dalam proses ini antara lain: katepsin (dalam daging), tripsin,

(30)

kimotripsin dan pepsin (dalam organ pencernaan) serta enzim dari mikroorganisme yang terdapat dalam tubuh ikan. Enzim-enzim yang dapat menguraikan protein berperan penting dalam proses penurunan mutu ikan (Moeljanto 1992). Tingkat akhir dari hasil penguraian ini adalah terbentuknya senyawa amonia.

Sikorski dan Pan (1994) menyatakan bahwa kualitas daging ikan yang disimpan pada suhu dingin secara umum dipengaruhi oleh degradasi senyawa kimia dan biokimia yang dipengaruhi oleh aktivitas mikrobiologis dan enzimatis yang secara alami terjadi sesaat setelah ikan mati. Selain itu, karakteristik biologi, kondisi ikan saat ditangkap dan penanganan ikan setelah ditangkap juga dapat mempengaruhi laju kemunduran mutu ikan selama penyimpanan suhu dingin. Menurut Ilyas (1993), teknik penurunan suhu ikan melalui cara pendinginan dan pembekuan dilakukan untuk menghilangkan panas dari tubuh ikan, menghablurkan komponen air, memperlambat laju denaturasi protein, menghambat laju oksidasi lemak ikan dan memperlambat penguraian enzimatis oleh enzim tubuh ikan dan enzim bakteri.

Menurut Clucas dan Ward (1996), pada suhu di bawah 4 ºC proses kemunduran mutu ikan dapat dihambat. Pada suhu tersebut penguraian tubuh ikan oleh mikroorganisme dan enzim berlangsung dengan lambat. Kemunduran mutu ikan akan menyebabkan perubahan mutu terhadap flavor, aroma, warna dan penampakan daging ikan yang dapat mempengaruhi daya terima menjadi rendah. Pernyataan tersebut didukung oleh Karvinen et al. (1982) dalam Sikorski dan Anna (1990), kecepatan perubahan bervariasi tergantung dari cara penanganan dan cara pengesan. Ikan yang disimpan terlalu lama dalam suhu rendah, setelah mengalami pemasakan akan menjadi liat, elastis, alot, berserabut dan fibrous. Hal ini berkaitan dengan hilangnya karaktersitik fungsional dari protein otot, terutama kelarutan, kandungan air, kemampuan pembentukan gel dan sifat pengemulsi lemak.

2.5 Surimi

Kata surimi berasal dari Jepang yang telah diterima secara internasional untuk menggambarkan hancuran daging ikan yang telah mengalami berbagai

(31)

proses yang diperlukan untuk mengawetkannya. Salah satu keunggulan dari surimi adalah kemampuannya untuk diolah menjadi berbagai macam variasi produk-produk lanjutannya dalam berbagai bentuk dan ukuran (Okada 1992) dan kandungan nilai gizi yang menyehatkan (Guenneugues dan Morrissey 2005 dalam Martin-Sanchez et al. 2009).

2.5.1 Pengertian dan karakteristik surimi

Menurut Suzuki (1981), surimi merupakan produk antara yang terbuat dari daging ikan yang dilumatkan setelah mengalami proses penggilingan dan pencucian. Kriteria paling penting untuk menentukan kualitas surimi adalah kekuatan gel yang dibentuknya. Kekuatan gel ini dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jenis ikan, tingkat kesegaran, pH dan kadar air, pencucian, umur, tingkat kematangan gonad, konsentrasi dan jenis penambahan zat antidenaturasi serta suhu dan waktu pemasakan.

Secara teknis semua jenis ikan dapat dijadikan surimi. Namun, ikan yang berdaging putih, tidak berbau lumpur dan tidak terlalu amis serta mempunyai kemampuan membentuk gel yang bagus akan memberikan hasil (surimi) yang lebih baik. Beberapa jenis ikan yang baik untuk dijadikan surimi antara lain ikan Cunang/ Remang, Tenggiri, Kakap, Tigawaja, Beloso, Cucut dan lain-lain. Ikan air tawar seperti Lele, Tawes, Nilam dan lain-lain juga dapat diolah menjadi surimi. Biasanya untuk jenis-jenis ikan air tawar, sebelum diolah ikan-ikan ini terlebih dahulu dilakukan pemberokan agar bau lumpur pada produk akhir dapat dikurangi. Mutu kesegaran ikan yang digunakan harus benar-benar sangat segar. Penggunaan ikan yang kurang segar maupun ikan yang telah dibekukan akan menurunkan mutu surimi. Demikian pula ikan yang berdaging merah akan menghasilkan surimi yang lebih berat dan baunya lebih amis, sehingga hanya dapat digunakan untuk produk yang warnanya tidak harus putih. Daging merah biasanya mengandung lemak lebih banyak dibandingkan daging putih, sehingga surimi dan produk surimi yang dihasilkan lebih cepat tengik (Paranginangin et al.

1999).

Berdasarkan kandungan garamnya, surimi beku dibedakan menjadi dua yaitu mu-en surimi (surimi tanpa garam) dan ka-en surimi (surimi dengan garam).

(32)

Mu-en surimi dibuat dengan penggilingan daging lumat yang sudah dicuci dengan air, dicampur dengan gula dan polyphosphate. Ka-en surimidiolah dengan cara yang sama dengan penambahan garam dan gula ke dalam daging lumat. Selain surimi beku, jenis lain dari surimi yang telah dihasilkan walaupun dalam skala terbatas diberi nama “surimi na-ma” (surimi mentah) (Suzuki 1981).

Kualitas dari surimi beku dinilai dari kekuatan gelnya dan warna dari surimi tersebut. Menurut Winarno (1993), kualitas surimi yang baik adalah yang berwarna putih kuat dan dapat membentuk gel. Kesegaran dari bahan baku merupakan prasyarat yang paling penting dalam pengolahan surimi, dan untuk memperoleh mutu produk yang tinggi maka proses pembusukan pasca kematian ikan harus diperkecil (Wasson 1992; Seymour et al. 1994; Choi et al. 2005; Martin-Sanchez et al. 2009). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hilangnya kesegaran ikan adalah denaturasi protein miofibril, tingkat proteolisis dan pH (Hamann dan MacDonald 1992 dalam Martin-Sanchez et al. 2009). Tingkat kesegaran juga menentukan kemampuan pembentukan gel dan daya ikat air dari surimi yang dihasilkan (Hall dan Ahmad 1997; Carvajal et al. 2005; Martin-Sanchez et al. 2009).

Lee (1984) menyatakan bahwa faktor penting yang mempengaruhi proses pembuatan surimi yang berkualitas baik antara lain: cara penyiangan (pemotongan kepala, fillet), besarnya partikel dari daging lumat, kualitas air, temperatur ikan, peralatan yang digunakan dan cara pencucian. Menurut Bertak dan Karahadian (1995), faktor utama yang harus diperhatikan selama proses pembuatan surimi adalah suhu air pencuci dan suhu pada saat penggilingan daging ikan. Suhu air yang lebih tinggi akan lebih banyak melarutkan protein larut garam. Kekuatan gel terbaik diperoleh jika daging ikan dicuci dengan air yang bersuhu 10-15 ºC.

Pencucian adalah tahap kritis dalam proses pembuatan surimi. Pencucian dapat menghilangkan materi yang dapat larut air seperti darah, protein sarkoplasma, enzim pencernaan, garam inorganik dan senyawa organik bermolekul rendah seperti trimetilamin oksida (Benjakul et al. 1996). Menurut Lee dan Kim (1986), pencucian juga dapat meningkatkan kualitas warna dan aroma, serta meningkatkan kekuatan gel surimi. Komponen utama yang larut dalam air akan hilang dalam jumlah yang banyak pada siklus pencucian pertama

(33)

kali. Secara umum agitasi selama lima menit dalam setiap kali pencucian untuk pencucian sebanyak dua kali dengan rasio air dan daging 3:1 telah dinilai cukup. Lin et al. (1996) dalam Benjakul et al. (1996)melaporkan bahwa 27 % dan 38 % protein hilang berturut-turut pada pencucian sebanyak dua kali dan tiga kali dalam proses pengolahan surimi.

2.5.2 Syarat mutu surimi beku

Mutu bahan baku yang digunakan dalam pembuatan surimi yaitu bahan baku harus bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan pembusukan, bebas dari tanda komposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat-sifat alamiah lain yang dapat menurunkan mutu serta tidak membahayakan kesehatan. Secara organoleptik, bahan baku harus mempunyai karakteristik kesegaran menurut SNI 01-2694-1992 sekurang-kurangnya sebagai berikut:

(a) rupa dan warna : bersih, warna daging spesifik jenis ikan (b)aroma : segar spesifik jenis

(c) daging : elastis, padat dan kompak (d)rasa : netral agak manis

Untuk mempertahankan mutu surimi beku, bahan baku harus segera diolah. Apabila harus terpaksa menunggu proses lebih lanjut maka ikan harus disimpan dengan es atau air dingin (0-5 ºC), kondisi saniter dan higienis (SNI 01-2694-1992). Tabel 4 menunjukkan syarat mutu surimi beku berdasarkan SNI 01-2693-1992.

2.5.3 Bahan tambahan dalam pembuatan surimi

Bahan tambahan adalah bahan yang sengaja ditambahkan dengan tujuan tertentu, misalnya untuk meningkatkan konsistensi nilai gizi, cita rasa, mengendalikan keasaman dan kebasaan serta bentuk, tekstur dan rupa produk (Winarno et al. 1980). Dalam proses pembuatan surimi sering digunakan bahan-bahan tambahan-bahan tertentu. Bahan tambahan-bahan yang ditambahkan dalam proses pembuatan surimi bertujuan untuk meningkatkan kualitas surimi. Bahan tambahan yang digunakan dalam pembuatan surimi antara lain adalah garam dan

(34)

Tabel 4. Syarat mutu surimi beku (SNI 01-2693-1992)

Jenis Uji Satuan Persyaratan Mutu

1) Organoleptik −Nilai min 7 2) Cemaran mikroba −ALT, maks −Escherichia coliColiform Salmonella *) −Vibrio cholerae*) koloni/g AMP/g per 25 g per 25 g 5 x 105 < 3 3 negatif negatif 3) Cemaran kimia

−Abu total, maks −Lemak, maks −Protein, min % b/b % b/b % b/b 1 0,5 15 4) Fisika

−Suhu pusat, maks −Uji lipat, min −Elastisitas, min °C g/cm2 -18 grade A 300 *) jika diperlukan

Keterangan: ALT = Alat Lempeng Total, AMP = Angka Paling memungkinkan

a) Garam

Garam merupakan bahan pengawet yang utama. Penambahan garam pada pembuatan surimi berfungsi sebagai pengawet karena dapat mencegah kerusakan dan meningkatkan daya simpan. Peranan garam NaCl adalah pada konsentrasi yang rendah sebagai pembentuk rasa, sedangkan pada konsentrasi yang tinggi berperanan sebagai pencegah terhadap pertumbuhan bakteri (bakteriostatik). Pada konsentrasi 2-5 % yang dikombinasikan pada suhu rendah, dapat mencegah pertumbuhan mikroorganisme, sedangkan pada konsentrasi 10-15 % sebagian besar bakteri terbunuh (kecuali beberapa bakteri halofilik) (Damayanthi dan Mudjajanto 1994).

Menurut Damayanthi dan Mudjajanto (1994), garam mempunyai sifat higroskopis sehingga menarik air keluar jaringan akibatnya aw akan menjadi rendah dan garam juga mempunyai tekanan osmotik yang tinggi sehingga memecahkan (plasmolisis) membran sel mikroba. Vaclavik dan Christian (2000)

(35)

menyatakan bahwa beberapa peran garam pada makanan yaitu berfungsi sebagai pemisah untuk mencegah pembentukan saus tepung, mengurangi gelatinisasi tepung, menstabilkan busa putih telur, dan meningkatkan suhu koagulasi pencampuran protein.

b) Cryoprotectant

Bahan umum yang biasa digunakan sebagai cryoprotectant adalah jenis gula, misalnya sukrosa. Pada tahap awal ditambahkan 8 % sukrosa. Akan tetapi, penambahan ini menjadikan surimi terasa manis dan warna berubah selama pembekuan. Oleh karena itu, sukrosa yang ditambahkan pada tahap awal diubah menjadi 4 % sukrosa dan 4 % sorbitol. Penambahan cryoprotectant dapat meningkatkan kadar N-aktomiosin dari 350 mg % menjadi 520 mg % dan meningkatkan kekuatan gel dari 400 g menjadi 489 g, artinya sama dengan meningkatkan nilai pelipatan (folding score) (Peranginangin et al. 1999).

Cryoprotectant adalah bahan yang biasa ditambahkan dalam pembuatan

surimi yang tidak langsung diolah menjadi produk lanjutan, melainkan akan disimpan terlebih dahulu pada suhu beku dalam waktu yang lama. Fungsi

cryoprotectant adalah sebagai zat antidenaturasi. Penyimpanan surimi dalam waktu yang lama bertujuan untuk menjaga stok daging ikan di pasaran. Penambahan cryoprotectant dalam pembuatan surimi dapat mencegah denaturasi protein selama masa pembekuan (Nielsen dan Piegott 1994). Sukrosa dan sorbitol sering digunakan bersamaan dengan 0,3 % sodium tripolifosfat, masing-masing dengan konsentrasi 4 % dan 4-5 % (Pipattasatayanuwong et al. 1995).

Polifosfat akan memisahkan aktomiosin dan berikatan dengan miosin. Miosin dan polifosfat akan berikatan dengan air dan menahan mineral dan vitamin. Pada proses pemasakan, miosin akan membentuk gel dan polifosfat membantu menahan air dengan menutup pori-pori mikroskopis dan kapiler. Polifosfat dapat menambah nilai kelembutan dan memperbaiki sifat surimi, terutama sifat elastisitas dan kelembutan. Polifosfat dapat memperbaiki daya ikat air (water holding capacity) dan memberikan sifat pasta yang lebih lembut pada produk-produk olahan surimi (Peranginangin et al. 1999). Matsumoto dan Noguchi (1992) melaporkan dari beberapa studi bahwa aktivitas utama polifosfat

(36)

adalah untuk meningkatkan efek cryoprotective dari gula, dengan efek buffer dari polifosfat pada pH otot dan dengan mengkelatkan ion metal.

Nielsen dan Piegott (1994) menyatakan bahwa gula mempunyai grup polihidroksi yang dapat bereaksi dengan molekul air oleh ikatan hidrogen, sehingga dapat meningkatkan tegangan permukaan dan mencegah keluarnya molekul air dari protein dan stabilitas protein tetap terjaga. Dalam pembuatan surimi digunakan sukrosa sebagai pelindung protein karena dapat mencegah denaturasi protein selama masa pembekuan.

2.5.4 Mekanisme pembentukan gel

Ada empat tipe ikatan utama yang berkontribusi terhadap pembentukan struktur jaringan selama proses gelasi dari pasta surimi yaitu ikatan garam, ikatan hidrogen, ikatan disulfida dan interaksi hidrofobik. Asam-asam amino tirosin, serin, hidroksiprolin dan treonin tergabung dalam grup hidroksil dan prolin serta hidroksiprolin yang tergabung dalam grup imino, keduanya bertindak sebagai donor dan akseptor proton, sedangkan glutamin dan aspargin yang keduanya mengandung grup karbonil bertindak sebagai akseptor proton. Ikatan intermolekul hidrogen terbentuk diantara grup imino dan karbonil. Ikatan garam bertanggung jawab terhadap peningkatan energi yang memisahkan molekul air. Ikatan hidrogen akan melemah ketika dipanaskan (Niwa 1992).

Menurut Hudson (1992), proses gelasi terbagi menjadi tiga bagian yang diawali dengan proses denaturasi protein utuh dari bentuk berlipat menjadi tidak berlipat. Tahap pertama adalah pembentukan turbiditas yang terjadi pada 3-10 menit pemanasan pertama. Pada tahap ini terjadi interaksi hidrofobik. Menurut Niwa (1992), ketika suhu naik, maka ikatan hidrogen menjadi tidak stabil dan interaksi hidrofobik akan berlangsung lebih kuat. Pembentukan interaksi hidrofobik diketahui sebagai akibat keberadaan beberapa poliol dan asam amino, seperti gliserin, sukrosa, sorbitol, asam glutamat dan lisin. Interaksi hidrofobik terjadi ketika tahap inkubasi surimi pada suhu mendekati 40 ºC. Menurut Jaczynski dan Park (2004), interaksi hidrofobik berfungsi untuk melepaskan energi bebas yang dapat menstabilisasikan sistem protein.

(37)

Tahap kedua adalah oksidasi sulfhidril. Pada tahap ini pasta surimi akan mengeras, dimana ikatan intermolekul disulfida (SS) terbentuk melalui oksidasi dari dua residu sistein. Ikatan disulfida lebih intensif terjadi pada suhu pemanasan yang lebih tinggi (di atas 80 ºC) (Niwa 1992). Tahap ketiga adalah peningkatan elastisitas gel yang terjadi ketika pendinginan. Peningkatan elastisitas ini terjadi karena pembentukan ikatan hidrogen kembali yang menyebabkan peningkatan terhadap kekerasan gel (Hudson 1992).

Apabila daging ikan mentah digiling dan dilakukan penambahan garam, maka miosin (aktomiosin, miosin dan aktin) akan larut dalam larutan garam, larutan yang keluar dari daging ikan akan membentuk “sol” yang sangat adhesif. Jika “sol” dipanaskan akan terbentuk “gel” dengan konstruksi jaringan seperti jala dan memberikan sifat elastis pada daging ikan. Daging ikan yang terkoagulasi karena panas ini disebut pasta ikan (kamoboko). Sifat elastis pasta ikan disebut “ashi”. Kekuatan “ashi” berbeda untuk setiap jenis ikan dan penambahan berbagai faktor (Tanikawa 1985).

Tanikawa (1985) menyatakan bahwa bila daging ikan giling yang ditambahkan garam (untuk melarutkan miosin) dibiarkan pada suhu kamar tanpa pemanasan, maka daging ikan giling tersebut akan menjadi jelly yang elastis tetapi kehilangan daya rekatnya. Fenomena seperti ini disebut “suwari” (setting). Fenomena “suwari” ini disebabkan oleh perubahan formasi konstruksi jaringan seperti pada fenomena “ashi”. Lanier (1992) menyatakan bahwa setting time

adalah waktu yang diperlukan untuk membentuk gel sejak ditambahkan bahan-bahan pembentuk gel. Kecepatan pembentukan gel mempengaruhi mutu gel. Bila gel telah terbentuk sebelum penambahan komponen, maka akan terbentuk gel yang tidak rata. Setting dapat terjadi pada suhu rendah, sedang dan tinggi. Setting

pada suhu rendah terjadi pada suhu 0-4 ºC (selama 12-18 jam), pada suhu sedang (25 ºC) selama 3 jam atau pada suhu 40 ºC selama 30 menit. Setting pada suhu tinggi akan menghasilkan gel yang memiliki tekstur yang kuat jika dibandingkan dengan pemasakan langsung dalam keadaan mentah. Suwari dapat terjadi dengan cepat, atau dapat lambat atau bahkan tidak terjadi sama sekali tergantung pada spesies ikan.

(38)

Lebih lanjut Tanikawa (1985) melaporkan bahwa konstruksi jala dapat terbentuk dari konjugasi molekul-molekul protein yang diikat oleh suatu jembatan seperti garam, atau ikatan antara karbonil dengan radikal amino pada peptida oleh hidrogen atau oleh radikal disulfida yang terbentuk dari radikal sulfhidril. Apabila pasta ikan dibiarkan pada suhu kamar dalam waktu lama, maka sifat elastis akan hilang dan daging menjadi mudah patah dan fenomena ini dikenal dengan modori. Fenomena modori ini juga dapat terjadi apabila daging dipanaskan pada suhu rendah dalam jangka waktu lama. Pembentukan gel surimi dan proteolisis protein miofibril ditunjukkan pada Gambar 3.

Sumber: Venugopal (2005)

Gambar 3. Pembentukan gel surimi dan proteolisis protein miofibril

Proteolisis

Protein miofibril Tempat interaksi protein

gelasi gelasi

(39)

3.

METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan September 2009. Pembuatan surimi dilakukan di Laboratorium Pengolahan Hasil Perikanan Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan (BBP2HP) Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Muara Baru-Jakarta Utara; uji lipat dan uji gigit gel ikan bertempat di Laboratorium Organoleptik; pengujian pH, analisis total volatile base nitrogen (TVBN), analisis proksimat dan protein larut garam (PLG) bertempat di Laboratorium Biokimia Hasil Perikanan; pengujian

total plate count (TPC) surimi bertempat di Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perikanan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Pengujian kekuatan gel, derajat putih dan water holding capacity

(WHC) bertempat di Laboratorium Biokimia Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.

3.2 Alat dan Bahan

Alat-alat yang akan digunakan dalam penelitian ini dapat dibagi menjadi peralatan yang digunakan untuk membuat surimi dan peralatan untuk analisis. Peralatan yang digunakan untuk membuat surimi antara lain: cool box, wadah air

(teris), pisau, talenan, mesin pemisah daging-tulang (meat-bone separator), pelumat daging (grinder) elektrik, food processor, press hydraulic, saringan kain kasa, plastik poliethylene (PE), termokopel digital, timbangan digital dan water bath. Peralatan yang digunakan untuk analisis mutu surimi antara lain: kjeltec system, oven, tanur, desikator, pH-meter digital, cawan conway, sentrifuse dingin,

Rheoner jenis RE-3305, pengepres hidraulik, whiteness meter, timbangan analitik

dan peralatan gelas lainnya.

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dibagi menjadi: bahan-bahan untuk pembuatan surimi dan analisis karakteristik surimi. Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan surimi adalah: ikan lele dan ikan nila, garam, sukrosa, sorbitol, NaHCO3, air dan es curai. Bahan-bahan kimia yang digunakan untuk analisis karakteristik surimi meliputi bahan-bahan kimia yang

Gambar

Gambar 1. Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)
Tabel 1. Komposisi kimia ikan lele (Clarias sp.)
Tabel 2. Komposisi kimia ikan  Senyawa kimia Air  Protein  Karbohidrat  Lemak  Abu   Sumber: Suyanto (1994)
Tabel 3. Penggolongan protein daging ikan berdasarkan kelarutan  Kekuatan ion pada saat
+7

Referensi

Dokumen terkait

◦ Larutan tanah (sifatnya tersedia untuk diserap oleh akar tanaman) ◦ Bahan organik (mengalami proses perombakan).. ◦ Organisme tanah (komponen

1) Jika tiga bidang berpotongan dan perpotongannya berupa titik, maka SPLTV tersebut mempunyai satu anggota dalam himpunan penyelesaiannya (mempunyai penyelesaian

Dalam penelitian ini proses penelusuran data dilakukan dengan cara mengamati data rekam medik pasien. Tahap pertama untuk mengambil sampel dilakukan adalah pemilihan sampel dari

Tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini ialah memeberikan gambaran secara objektif mengenai realita yang terjadi di kampus Universitas Muhammadiyah

Penelitian ini bertujuan untuk memonitoring trend dan produktivitas kapal huhate yang berpangkalan di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Bitung dengan menggunakan

Usaha penangkapan ikan di Bitung telah berkembang dengan baik, sehingga pada kawasan ini terdapat perusahaan yang khusus menangkap ikan tuna dengan armada yang

Variabel transaksi SKNBI melalui proxy volume transaksi SKNBImemberikan pengaruh positif terhadap M2 dalam jangka pendek namun tidak signifikan dalam jangka panjang,

persamaan regresi tersebut menunjukkan bahwa setiap kenaikan 1 skor Kebiasaan Membaca akan diikuti kenaikan skor Hasil Belajar PKKn sebesar 0,203. Dengan demikian,