• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMAHAMAN TENTANG HUBUNGAN ANTARA LUAS LANTAI RUMAH DAN TATA SETTING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMAHAMAN TENTANG HUBUNGAN ANTARA LUAS LANTAI RUMAH DAN TATA SETTING"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

PEMAHAMAN TENTANG HUBUNGAN ANTARA LUAS LANTAI

RUMAH DAN TATA

SETTING

KEGIATAN PENGHUNINYA

DI KAMPUNG JAWA, DENPASAR

Bab ini merupakan pemahaman tentang hubungan antara luas lantai rumah dan tata

setting kegiatan penghuninya yang terdiri dari empat pembahasan. Keempat hal tersebut

adalah Kajian Pustaka yang mengemukakan tentang penelitian-penelitian terdahulu yang berkaitan atau serupa dengan penelitian yang akan dilaksanakan dan untuk menghindari adanya duplikasi penelitian. Konsep mengemukakan tentang pengertian – pengertian berkaitan dengan judul untuk menyamakan presepsi antara peneliti dengan pembaca. Teori yang mengemukakan tentang teori – teori yang terkait dengan penelitian dan model penelitian merupakan suatu kerangka berpikir dalam pelaksanaan penelitian.

2.1 Kajian Pustaka

Terdapat tiga penelitian yang terkait dengan penelitian yang akan dilakukan ini, penelitian pertama yaitu Hubungan antara Seting Trotoar dengan Tuntutan Atribut Persepsi Pedagang Kaki Lima oleh Tony Subrata Suryat pada tahun 2008. Penelitian kedua berjudul Peran Ibu Dalam Penataan Setting Privasi Rumah Tinggalnya yang dilakukan oleh Ikhwanuddin Sativa pada tahun 2007. Penelitian ketiga yang juga memiliki keterkaitan dengan penelitian ini adalah Konsep Rusunawa Untuk Urban Renewal Bagi Pemukiman Kumuh oleh Hendri Zulviton, dkk di tahun 2009.

“Hubungan antara Seting Trotoar dengan Tuntutan Atribut Persepsi Pedagang Kaki Lima” merupakan penelitian yang dilakukan oleh Tony Subrata Suryat (2005). Dalam penelitiannya tersebut Ia mengambil studi kasus pada koridor jalan Prof. H. Soedarto, SH Semarang. Jalan Prof.H. Soedarto menjadi sangat berkembang seiring dengan dipindahkannya gerbang utama kampus UNDIP pada pertigaan Jl. Setiabudi dengan Jl.

BAB

II

(2)

Prof.H. Soedarto. Berkembangnya jalan tersebut memicu tumbuhnya kawasan real estate

yang membuat sirkulasi pengguna jalan pada lokasi tersebut menjadi padat. Kondisi tersebut pada akhirnya mengakibatnya munculnya berbagai fasilitas – fasilitas pendukung salah satunya pedagang kaki lima.

Dalam hal ini, pedagang kaki lima mempersepsikan trotoar yang sebagai tempat berjalan kaki menjadi tempat untuk berjualan karena trotoar tersebut memiliki kekuatan properti yang mendukung PKL tersebut berjualan disana. Penelitian ini merupakan penelitian perilaku yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan lingkungannya. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa hubungan antara seting troar dengan persepsi PKL berupa jumlah minat PKL siang lebih sedikit dibandingkan dengan PKL malam. Hal tersebut dikarenakan seting malam dan siang yang berbeda. Lokasi juga menjadi salah satu hal yang mempengaruhi persepsi PKL, dimana semakin ramai dan lengkapnya fasilitas maka semakin banyak pedagang yang akan berjualan pada lokasi tersebut. Keterkaitannya dengan penelitian yang akan dilakukan ini adalah dimana memiliki persamaan yakni sama – sama merupakan penelitian perilaku antara manusia dengan lingkungannya. Hal lainnya adalah kedua penelitian ini sama – sama mencari hubungan antara dua variabel sehingga penelitian ini akan memberikan banyak masukan untuk penelitian yang akan dilakukan ini.

Ruang dapat mempengaruhi perilaku, demikian pula perilaku manusia juga dapat mempengaruhi ruang yang melingkupinya. Hal tersebut terkait dengan penelitian dengan judul “Peran Ibu Dalam Penataan Setting Privasi Rumah Tinggalnya” yang dilakukan pada tahun 2007. Dengan mengambil studi kasus pada rumah – rumah tinggal pribadi ibu-ibu anggota Majlis Taklim Salimah Yogyakarta dihasilkan kesimpulan bahwa ibu dengan latar belakang keislaman memiliki peran dalam mengatur teritori untuk mencapai privasi yang optimal di dalam rumah tinggalnya. Peran ibu tersebut diwujudkan di dalam melaksanakan pengaturan teritori rumahnya yang mengacu pada kebutuhan untuk menjaga hijab atau aurat ibu di dalam rumahnya. Bentuk pengaturan teritori tersebut antara lain berupa pengaturan tahapan pencapaian ruang-ruang, sifat dan bentuk sekat fisik ruang.

Penelitian yang dilakukan oleh Ikhwanuddin Sativa ini menggunakan metoda kualitatif naturalistik, dalam menarik kesimpulan dari induksi temuan penelitian di lapangan. Urutan pengambilan data berdasarkan kemudahan akses dengan pemiliknya. Sesuai dengan metoda

(3)

pengambilan data pada metoda kualitatif, maka pengambilan data akan dihentikan setelah diperoleh data yang berulang atau data jenuh.

Dalam hal ini terdapat perbedaan dan kesamaan antara penelitian yang dilakukan oleh Ikhwanuddin Sativa dengan penelitian yang akan dilakukan. Perbedaannya adalah pada penelitian tersebut mengacu pada perilaku manusia yang akan mempengaruhi ruang, sedangkan penelitian yang akan dilakukan lebih mengacu pada perilaku yang terbentuk akibat suatu ruang. Terlepas dari perbedaan tersebut, kesamaannya adalah bahwa kedua penelitian ini memiliki kaitan dalam hal ruang dan perilaku memberikan pengaruh timbal balik. Baik ruang terhadap perilaku maupun perilaku terhadap ruang. Kedua penelitian ini sama – sama menggunakan pendekatan perilaku dan metode penelitian yang digunakan yaitu metode kualitatif.

Hendri Zulviton melakukan penelitian berjudul “Konsep Rusunawa Untuk Urban

Renewal Bagi Pemukiman Kumuh”, di dalam mencari konsep rusunawa yang sesuai bagi

masyarakat menengah kebawah melalui pendekatan perilaku. Pembangunan rumah susun pada saat ini masih belum mendapat penerimaan yang baik oleh masyarakat. Hal tersebut berarti pembangunan rumah susun banyak yang salah sasaran karena rumah susun cenderung dibuat dalam bentuk standar baku, sehingga penghuni yang tinggal didalamnya merasa tidak nyaman karena merasa asing dengan lingkungan rumahnya. Dalam kaitan dengan dunia arsitektur, perencanaan rumah susun perlu mengakomodir kebutuhan dan perilaku penghuni, agar mereka merasa nyaman dan betah tinggal didalamnya.

Penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2009 tersebut mengambil kawasan Pemukiman Pantai Purus Kota Padang sebagai lokasi penelitian, yang termasuk salah satu kawasan pemukiman kumuh di kota Padang. Penelitian ini menggali perilaku penghuni yang terbentuk di pemukiman tersebut untuk memperoleh perencanaan yang sesuai dengan kebutuhan penghuni bagi pembangunan rusunawa. Metode penelitian yang dipakai adalah metode kualitatif dengan menggunakan pendekatan penelitian ekploratif, yang mengekplorasi perilaku penduduk yang akan ditempat tinggalkan pada bangunan rusunawa.

Berdasarkan penelitian tersebut diperoleh kesimpulan, bahwa perencanaan rumah susun tidak lagi sekedar menyandarkan diri pada teori-teori yang ada namun harus merujuk pada sebenar-benarnya kebutuhan dan perilaku serta keinginan warga penghuninya. Selain itu,

(4)

manusia dengan segala kebutuhan dan perilakunya menjadi indikator utama dalam proses perancangan yang akan memberikan pengaruh pada desain. Sehingga desain tersebut dapat diterima oleh pengguna dan dapat dimanfaatkan sebagaimana tujuan perancangan semula.

Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini yaitu sama – sama meneliti perilaku yang terbentuk akibat rumah yang ditinggalinya meskipun dalam penelitian ini lebih ditekankan pada setting aktivitas yang terjadi dan lokasinya merupakan kawasan pemukiman yang padat dengan kondisi kumuh. Dengan demikian banyak hal yang dapat diperoleh baik dari segi teori maupun metode penelitian yang digunakan, walaupun mempunyai tujuan penelitian yang berbeda..

Dari ketiga penelitian terdahulu yang telah dijabarkan diatas, dapat dilihat perbandingannya sebagaimana terpapar pada tabel 2.1.

No. Nama Peneliti Tahun Studi Kasus Judul Hasil Penelitian

1. Tony Subrata Suryat

2008 koridor jalan Prof. H. Soedarto, SH Semarang

Hubungan antara Seting Trotoar dengan Tuntutan Atribut Persepsi Pedagang Kaki Lima.

Hubungan seting trotoar dengan persepsi PKL yang berjualan pada daerah tersebut. 2. Ikhwanuddin Sativa 2007 Rumah tinggal pribadi ibu-ibu anggota Majlis Taklim Salimah, Yogyakarta

Peran Ibu Dalam Penataan Setting Privasi Rumah Tinggalnya Penataan setting privasi rumah tinggalnya 3. Hendri Zulviton 2009 Pemukiman Pantai Purus Kota Padang

Konsep Rusunawa Untuk Urban Renewal Bagi Pemukiman Kumuh

Konsep Rusunawa yang sesuai dengan perilaku penghuni.

4. Penelitian Ini 2011 Kampung Jawa, Denpasar

Hubungan antara luas lantai rumah dan tata

setting kegiatan

penghuninya

Tata setting kegiatan penghuni akibat luas rumah.

(5)

2.2 Konsep Penelitian

Pada sub bab ini akan dijabarkan pengertian dari judul penelitian yang akan dilaksanakan. Hal ini dimaksudkan untuk menyamakan persepsi antara peneliti dengan pembaca, dimana judul dalam penelitian ini adalah Hubungan antara luas lantai rumah dan tata setting kegiatan penghuninya di Kampung Jawa, Denpasar.

2.2.1 Luas Rumah

Rumah adalah bangunan buatan manusia yang dijadikan tempat tinggal dalam periode waktu tertentu (Poerwadarminta, 1976). Dalam UU RI No. 4 Tahun 1992 dikatakan bahwa rumah merupakan struktur fisik terdiri dari beberapa ruangan, halaman dan area sekitarnya yang dipakai sebagai tempat tinggal dan sarana pembinaan keluarga. Rumah adalah ruang dimana manusia hidup dan melakukan aktivitas kehidupan yang bebas dari gangguan dari psikis maupun fisik (Herlianto,1986). Sedangkan Frick dan Mulyani (2006), menyatakan bahwa rumah adalah tempat perlindungan untuk menikmati kehidupan, beristirahat dan bersukaria dengan keluarga.

Kata luas dalam penelitian ini memiliki pengertian suatu ukuran panjang-lebarnya bidang, sedangkan rumah adalah bangunan buatan manusia yang dijadikan tempat tinggal dalam periode waktu tertentu. (Poerwadarminta, 1976).

Jadi, yang dimaksud dengan luas rumah dalam penelitian ini adalah ukuran panjang – lebar bidang dari suatu bangunan tempat tinggal manusia dan sebagai tempat melakukan berbagai aktivitas didalamnya bersama keluarga tanpa adanya gangguan dari psikis maupun fisik.

2.2.2 Setting Kegiatan Penghuni

Setting (seting dalam Bahasa Indonesia) adalah tatanan suatu lingkungan yang dapat mempengaruhi manusia, artinya ditempat yang sama, perilaku manusia dapat berbeda jika settingnya (tatanannya) berbeda (Suryat, 2008).

Definisi kegiatan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah aktivitas. Penghuni disini memiliki definisi orang yang mendiami suatu rumah atau tempat (Poerwadarminta, 1976), sehingga setting kegiatan penghuni pada judul penelitian ini memiliki pengertian suatu tatanan melakukan aktivitas yang dilakukan oleh orang yang tinggal dan mendiami suatu rumah.

(6)

2.2.3 Kampung Jawa, Denpasar

Kampung Jawa, Denpasar terbentuk setelah Raja Pemecutan pada tahun 1910 memberikan tanah kepada para pendatang muslim sebagai tempat untuk bermukim. Perkampungan yang terletak di kecamatan Denpasar ini merupakan salah satu pemukiman padat di Denpasar. Mayoritas penghuninya merupakan imigran asal pulau Madura. Kawasan ini terbagi menjadi 8 RT dengan jumlah penduduk 7699 jiwa. Rumah – rumah di Kampung ini memiliki luasan yang sempit dan juga letaknya saling berdekatan antara rumah yang satu dengan yang lainnya.

Berdasarkan beberapa uraian diatas, penelitian Hubungan antara luas lantai rumah dan tata setting kegiatan penghuninya di Kampung Jawa ini merupakan penelitian yang dilakukan guna mengetahui bagaimana hubungan antara ukuran tempat tinggal dengan tatanan aktivitas yang dilakukan oleh penghuni yang tinggal di Kampung Jawa, Denpasar.

2.3 Landasan Teori

Pada bagian sub bab ini akan membahas tentang teori –teori dari literatur yang berkaitan, menunjang dan menjadi dasar pertimbangan dalam memecahkan masalah dalam penelitian “Hubungan antara luas lantai rumah dan tata setting kegiatan penghuninya di Kampung Jawa”.

2.3.1 Pemukiman dan Kampung a. Pengertian

Menurut UU no. 4 tahun 1992 tentang perumahan dan pemukiman menyatakan bahwa pemukiman merupakan bagian lingkungan hidup diluar kawasan lindung (desa dan kota) yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.

Pemukiman penduduk di Indonesia sering kali disebut dengan kampung, kampung identik dengan suatu wilayah yang terletak pada pedesaan yang memiliki sarana dan prasarana yang layak (Surtiani, 2006). Menurut Yudosono dalam Surtiani (2006) menjabarkan kampung merupakan lingkungan suatu masyarakat yang sudah mapan yang terdiri dari dua golongan yakni penghasilan rendah dan menengah. Pada umumnya kawasan tersebut tidak memiliki sarana, utilitas dan fasilitas yang memadai dan juga kawasan tersebut dibangun diatas tanah yang telah dimiliki maupun disewa atau dipinjam pemiliknya.

Surtiani (2006) menyebutkan beberapa pengertian mengenai kampung yakni kawasan hunian masyarakat berpendapatan rendah dengan kondisi fisik yang kurang baik. Kampung

(7)

juga merupakan kawasan pemukiman kumuh dengan ketersediaan sarana umum tidak baik. Kampung adalah lingkungan tradisional khas Indonesia yang ditandai dengan ikatan kekeluargaan yang terjalin dengan erat dalam kehidupan yang ada didalamnya.

Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan kampung kota adalah suatu kawasan pemukiman di wilayah perkotaan yang khas Indonesia dengan ciri penduduk masih membawa sifat dan perilaku kehidupan pedesaan yang terjalin dalam ikatan kekeluargaan yang erat, kondisi fisik bangunan yang kurang baik dan tidak beraturan, serta kerapatan bangunan dan jumlah penduduk yang tergolong tinggi (Surtiani, 2006).

Hal diatas menggambarkan juga Kampung Jawa, Denpasar yang merupakan pemukiman dikawasan kota, memiliki kepadatan penduduk tinggi begitu juga dengan bangunannya yang sangat berdekat – dekatan antara satu dengan yang lain dan tidak beraturan. Penduduk di daerah tersebut masih membawa sifat dan perilaku kehidupan dari daerah asalnya serta memiliki ikatan kekeluargaan yang cukup erat dengan tetangga mereka. b. Elemen dasar Pemukiman

Pada dasarnya pemukiman memiliki dua elemen yakni manusia dengan tempat yang mewadahinya baik berupa rumah tinggal maupun fasilitas penunjang lainnya (Surtiani, 2006). Surtiani (2006) juga membagi elemen- elemen tersebut menjadi lima, yakni:

a. Alam, meliputi: iklim, kekayaan alam, topografi, kandungan air, tempat tumbuh tanaman hijau dan binatang.

b. Manusia yang tinggal didalamnya.

c. Masyarakat, meliputi : kepadatan penduduk, tingkat strata, budaya, ekonomi, pendidikan, kesehatan.

d. Bangunan, meliputi : rumah, fasilitas umum (sekolah, rumah sakit, perdagangan, tempat ibadah).

e. Sarana dan Prasarana, meliputi : jaringan (air bersih, listrik, jalan, dll), pengelolaan sampah, MCK.

2.3.2 Permukiman Kumuh a. Pengertian

Kumuh adalah salah satu kesan atau gambaran umum yang dianggap rendah dan berada dibawah standar hidup dilihat dari sikap dan perilaku yang dilakukan suatu masyarakat pada suatu tempat tertentu. Dengan kata lain kumuh merupakan cap yang

(8)

diberikan oleh golongan masyarakat kelas atas terhadap golongan masyarakat bawah yang belum mapan (Mulia, 2011).

Menurut Mulia (2011) kawasan pemukiman kumuh merupakan kawasan dimana kondisi fisik hunian masyarakat didaerah tersebut sangat buruk. Rumah maupun prasarana yang ada didalamnya berada dibawah standar yang telah ditentukan. Standar tersebut meliputi standar kebutuhan, persyaratan rumah sehat, kebutuhan sarana air bersih, sanitasi maupun persyaratan kelengkapan jalan, ruang terbuka, serta fasilitas sosial lainnya. Pengertian lainnya mengenai pemukiman kumuh (Surtiani, 2006) adalah lingkungan yang berpenghuni padat yakni dengan 500 orang per Ha dengan kondisi sosial ekonomi yang cukup lemah dimana jumlah rumahnya sangat padat dan memiliki ukuran dibawah standar, kondisi sarana dan prasaranan juga tidak memenuhi syarat.

Ada beberapa penyebab suatu pemukiman menjadi kumuh (Mulia, 2011), yaitu : kondisi perumahan yang buruk, penduduk yang tinggal terlalu padat, fasilitas lingkungan yang kurang memadai, tingkah laku penyimpangan, dan adanya budaya kumuh dari penduduk yang tinggal didalamnya.

b. Ciri – Ciri Pemukiman Kumuh

Ciri – ciri pemukiman kumuh seperti yang diungkapkan oleh Mulia (2011) adalah: 1. Tidak memiliki fasilitas umum dengan kondisi yang memadai.

2. Kondisi rumah dan pemukiman serta penggunaan ruangnya mencerminkan penghuninya yang kurang mampu atau miskin.

3. Adanya tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi dalam penggunaan ruang – ruang yang ada dipemukiman kumuh sehingga mencerminkan adanya ketidak teraturan tata ruang dan ketidakberdayaan ekonomi penghuninya.

4. Sebagian besar penduduk di pemukiman kumuh tersebut memiliki mata pencaharian disektor informal.

Surtiani (2006) juga memberikan gambaran mengenai lingkungan pemukiman kumuh, yaitu :

1. Lingkungan pemukiman yang kondisi tempat tinggalnya berdesakan. 2. Luas rumah tidak sebanding dengan penghuni.

3. Rumah hanya sekedar untuk tempat berlindung dari panas dan hujan.

4. Hunian bersifat sementara dan dibangun diatas tanah yang bukan milik penghuni. 5. Lingkungan dan tata pemukimannya tidak teratur tanpa perencanaan.

(9)

6. Prasarana kurang (MCK, saluran air bersih, saluran buangan, listrik, dan jalan lingkungan).

7. Fasilitas sosial kurang (sekolah, rumah ibadah, dan fasilitas kesehatan).

8. Mata pencaharian enduduknya tidak tetap atau merupakan pekerja dibidang non formal.

9. Pendidikan masyarakat rendah.

Menurut para ahli, keadaan kumuh dapat mencerminkan keadaan ekonomi, sosial budaya, para penghuni yang tinggal pada pemukiman tersebut. Kawasan kumuh tersebut dapat dicerminkan melalui beberapa ciri (Surtiani, 2006), yakni :

1. Penampilan fisik lingkungannya yang miskin akan konstruksi, yang menggunakan bahan- bahan apa adanya begitu juga dengan kondisinya kurang terawat.

2. Kepadatan bangunan yang tinggi, hal tersebut dapat dilihat dari minimnya atau bahkan tidak ada jarak antara rumah yang satu dengan rumah yang lain maupun siteplan yang tidak terencana.

3. Kepadatan penduduk yang tinggi dan masyarakat yang heterogen. 4. Sistem sanitasi yang tidak baik.

5. Banyaknya jumlah pendatang yang tinggal dengan cara menyewa rumah.

Berdasarkan beberapa ciri – ciri yang disampaikan diatas, maka dapat dikatakan bahwa pemukiman Kampung Jawa, Denpasar dalam penelitian ini termasuk kedalam pemukiman kumuh.

c. Penyebab Timbulnya Pemukiman Kumuh

Terdapat beberapa penyebab yang menimbulkan munculnya pemukiman kumuh, hal tersebut seperti yang dikatakan oleh Surtiani (2006), yaitu :

1. Tingkat urbanisasi dan migrasi yang tinggi terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah.

2. Sulitnya mencari pekerjaan.

3. Sulitnya mencicil atau menyewa rumah yang baik.

(10)

2.3.3 Bentuk Perilaku

Bentuk perilaku dapat terbentuk berdasarkan respon terhadap stimulus yang di terima oleh individu yang terkait. Dari bentuk stimulus tersebut maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua (Gunadarma, 2011) yaitu :

a. Perilaku tertutup, dalam perilaku ini respon yang dihasilkan masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan / kesadaran, dan sikap yang terjadi sehingga belum bisa diamati secara jelas oleh orang lain.

b. Perilaku terbuka, dimana respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka dan sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek yang dapat dilihat oleh orang lain.

Dengan demikian bentuk perilaku seseorang yang muncul akan berbeda – beda sesuai dengan cara orang tersebut merespon stimulus yang diterimanya. Pada penelitian ini, bentuk perilaku yang akan diamati lebih lanjut merupakan bentuk perilaku terbuka yang dapat terlihat jelas oleh peneliti.

2.3.4 Proses Terjadinya Perilaku

Sebuah perilaku tidak terjadi begitu saja, namun melalui beberapa tahapan seperti halnya yang dikatakan oleh Rogers (1974), bahwa sebelum orang berperilaku baru didalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan. Urutan yang pertama adalah Awareness atau kesadaran, yakni pertama orang tersebut menyadari stimulus atau objek terlebih dahulu kemudian merasa interest atau tertarik terhadap stimulus yang diterimanya. Proses yang kedua adalah Evaluation, dimana setelah merasa tertarik dengan stimulus yang diterima individu tersebut menimbang–nimbang baik dan tidaknya stimulus bagi dirinya. Proses yang terakhir adalah Trial, setelah menimbang–nimbang stimulus dan dianggap baik orang tersebut akan mencoba perilaku baru tersebut.

Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif maka perilaku tersebut akan menjadi kebiasaan atau bersifat langgeng (Gunadarma, 2011).

2.3.5 Pola Perilaku dan Aktivitas

Pola perilaku bisa terdiri atas beberapa perilaku secara bersamaan seperti perilaku emosional, perilaku untuk menyelesaikan masalah, aktivitas motorik, interaksi interpersonal dan manipulasi objek. Kombinasi dari perilaku ini membentuk suatu pola perilaku, terjadi

(11)

pada lingkungan fisik tertentu. Suatu behaviour setting mempunyai struktural internal sendiri. Setiap orang atau kelompok beperilaku berbeda-beda karena masing - masing mempunyai peran yang berbeda-beda (Laurens, 2004).

Aktivitas dapat didefinisikan sebagai apa yang dikerjakan oleh seseorang pada jarak dan waktu tertentu. Aktivitas tersebut selalu mengandung empat hal pokok diantaranya pelaku, macam aktivitas, tempat dan waktu berlangsungnya aktivitas (Laurens, 2004). Menurut Rapoport (1977) skema setiap aktivitas dapat di analisis menjadi empat komponen penting yaitu kegiatan itu sendiri, bagaimana kegiatan itu dilakukan, apa kaitan kegiatan tersebut dengan kegiatan lain, serta makna dari kegiatan itu sendiri.

Secara konseptual sebuah aktivitas dapat terdiri dari sub-sub aktivitas yang saling berhubungan sehingga terbentuk system aktivitas. Dalam kelompok manusia yang berbeda-beda, unsur simbolik inilah yang biasanya membedakan suatu aktivitas tertentu. Hal ini antara lain terlihat pada penggunaan wadah atau setting yang sama untuk aktivitas yang bermacam-macam dari berbagai kelompok manusia.

2.3.6 Konsep – Konsep Fenomena Perilaku Manusia

Konsep – konsep fenomena perilaku manusia yang terjadi pada kehidupan sehari – hari terdiri dari beberapa konsep. Konsep - konsep tersebut meliputi kepadatan, kesesakan, privasi, personal space, dan teritorialitas.

2.3.6.1 Kepadatan a. Pengertian

Menurut Gunadarma (2011) kepadatan adalah sejumlah manusia dalam setiap unit ruangan. Kepadatan juga merupakan sejumlah individu yang berada di suatu ruang atau wilayah tertentu dan lebih bersifat fisik. Suatu keadaan akan dikatakan semakin padat bila jumlah manusia pada suatu batas ruang tertentu semakin banyak dibandingkan dengan luas ruangannya. Dapat disimpulkan bahwa kepadatan merupakan jumlah manusia pada suatu unit ruangan yang melebihi kapasitas dari ruang tersebut.

b. Kategori Kepadatan

Variasi indikator kepadatan berhubungan dengan tingkah laku sosial, variasi indikator kepadatan itu meliputi jumlah individu didalam suatu kota, jumlah individu dalam suatu wilayah sensus, jumlah individu pada unit tempat tinggal, jumlah ruangan pada unit tempat

(12)

tinggal, jumlah bangunan pada lingkungan sekitar, dan lain – lain (Gunadarma, 2011). Unsur – unsur yang mempengaruhi tingkat kepadatan adalah jumlah individu pada setiap ruang, jumlah ruang pada setiap unit tempat tinggal, jumlah unit tempat tinggal pada setiap struktur hunian pada setiap wilayah pemukiman. Berdasarkan hal yang diungkapkan dalam Gunadarma (2011) ini maka kepadatan disetiap wilayah pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda sesuai dengan kontribusi unsur – unsur tersebut.

Kepadatan dapat dibagi menjadi beberapa kategori, Altman (dalam Gunadarma 2011) membagi kepadatan menjadi :

a. Kepadatan dalam (inside density), yaitu sejumlah individu yang berada dalam suatu ruang atau tempat tinggal seperti kepadatan di dalam rumah dan kamar.

b. Kepadatan luar (outside density), yaitu sejumlah individu yang berada pada suatu wilayah tertentu, seperti jumlah penduduk yang bermukim di suatu wilayah pemukiman.

Gunadarma (2011) menggolongkan kepadatan menjadi beberapa kategori berdasarkan teori dari Holahan (1982), antara lain :

a. Kepadatan spasial (spatial density), terjadi bila besar atau luas ruangan diubah menjadi lebih kecil atau sempit sedangkan jumlah individu tetap.

b. Kepadatan sosial (social density), terjadi bila jumlah individu ditambah tanpa diiringi dengan penambahan besar atau luas ruangan sehingga didapatkan kepadatan meningkat sejalan dengan bertambahnya individu.

Setiap wilayah pemukiman memiliki tingkat kepadatan yang berbeda dengan jumlah unit rumah tinggal pada setiap struktur hunian dan struktur hunian pada setiap wilayah pemukiman. Sehingga suatu wilayah pemukiman dapat dikatakan mempunyai kepadatan tinggi dan kepadatan rendah (Gunadarma, 2011). Masih di dalam Gunadarma (2011) Zlutnick dan Altman menggambarkan sebuah model dua dimensi untuk menunjukan beberapa macam tipe lingkungan pemukiman, adalah sebagai berikut :

a. Lingkungan pinggir kota, yang ditandai dengan tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam yang rendah.

b. Wilayah desa miskin, yang ditandai dengan tingkat kepadatan dalam yang tinggi dan kepadatan luar yang rendah.

(13)

c. Lingkungan mewah perkotaan, dimana kepadatan luar tinggi sedangkan kepadatan dalam rendah.

d. Perkampungan Kota, dimana tingkat kepadatan luar dan kepadatan dalam tergolong tinggi.

Dalam penelitian ini, dimana lokasi penelitian dilakukan di pemukiman Kampung Jawa, Denpasar. Berdasarkan teori diatas, lokasi Kampung Jawa ini termasuk kedalam wilayah perkampungan yang berada di kota. Melihat hal tersebut, lokasi ini memiliki tingkat kepadatan luar yang tergolong tinggi.

c. Akibat Kepadatan

Lingkungan sekitar dapat merupakan sumber yang penting dalam mempengaruhi sikap, perilaku dan keadaan internal seseorang di suatu tempat tinggal. Oleh karena itu individu yang bermukim di pemukiman dengan kepadatan berbeda akan menunjukkan sikap dan perilaku yang berbeda pula. Rumah dan lingkungan pemukiman yang memiliki situasi dan kondisi yang baik dan nyaman seperti memiliki ruang yang cukup untuk kegiatan pribadi akan memberikan kepuasan psikis pada individu yang menempatinya (Gunadarma, 2011).

Rumah dengan luas lantai yang sempit dan terbatas bila dihuni dengan jumlah individu yang besar, pada umumnya akan menimbulkan pengaruh negatif pada penghuninya seperti yang dikatakan oleh Jain dalam Gunadarma (2011). Hal ini terjadi karena dalam rumah tinggal yang terbatas umumnya individu tidak memiliki ruang atau tempat yang dapat dipakai untuk kegiatan pribadi. Keterbatasan ruang memungkinkan individu menjadi terhambat untuk memperoleh masukan yang berlebihan. Keadaan tersebut pada akhirnya menimbulkan perasaan sesak pada individu penghuni rumah tinggal tersebut.

Rendah Tinggi Rendah Lingkungan Pinggir Kota Wilayah Desa Miskin Tinggi Lingkungan Mewah Perkotaan Perkampungan Kota Kepadatan Dalam Kepadatan Luar

Tabel 2.2 Profil Kepadatan Menurut Zlutnick dan Altman Sumber : Altman (1975)

(14)

Beberapa akibat dari kepadatan adalah stress, dimana kepadatan tinggi menumbuhkan perasaan negative, rasa cemas (Jain dalam Gunadarma, 2011) dan perubahan suasana hati (Holahan, 1982). Kepadatan juga membuat seorang cenderung menarik diri dan kurang mau berinteraksi dengan lingkungan sosialnya (Gunadarma, 2011). Kepadatan tinggi dapat menurunkan keinginan individu untuk menolong atau memberi bantuan pada orang lain yang membutuhkan, terutama orang yang tidak dikenal (Gunadarma, 2011). Akibat lain dari kepadatan adalah menurunnya kemampuan individu untuk mengerjakan tugas-tugas pada saat tertentu (Gunadarma, 2011). Keadaan padat juga dapat memunculkan perilaku agresi, situasi padat yang dialami individu dapat menumbuhkan frustrasi dan kemarahan, serta pada akhirnya akan terbentuk perilaku agresi (Gunadarma, 2011).

Banyaknya unit rumah tinggal di kawasan pemukiman menyebabkan timbulnya pemukiman padat yang umumnya menyebabkan perbandingan antara luas lantai yang didiami tidak sebanding dengan banyaknya penghuni. Jarak antara rumah tinggal dengan rumah tinggal lain yang berdekatan bahkan hanya dipisahkan oleh dinding rumah atau sekat dan tidak jarang mengakibatkan penghuni dapat mendengar dan mengetahui kegiatan yang dilakukan penghuni rumah tinggal lain. Keadaan inilah yang dapat menyebabkan individu merasa sesak, hal ini diungkapkan oleh Jain dalam Gunadarma (2011).

2.3.6.2 Kesesakan a. Pengertian

Kesesakan adalah suatu proses interpersonal pada suatu tingkatan interaksi manusia satu dengan lainnya dalam suatu pasangan atau kelompok kecil. Perbedaan pengertian antara

crowding (kesesakan) dengan density (kepadatan) tidaklah jelas benar, bahkan kadang–

kadang keduanya memiliki pengertian yang sama dalam merefleksikan pemikiran secara fisik dari sejumlah manusia dalam suatu kesatuan ruang (Gunadarma, 2011).

Gunadarma (2011) membedakan antara kesesakan bukan sosial (nonsocial crowding), yaitu dimana faktor – faktor fisik menghasilkan perasaan terhadap ruang yang tidak sebanding, seperti sebuah ruang yang sempit, dan kesesakan sosial (social crowding) yaitu perasaan sesak mula-mula datang dari kehadiran orang lain yang terlalu banyak. Stokols juga menambahkan perbedaan antara kesesakan molekuler (molecular crowding), yaitu perasaan sesak yang menganalisa mengenai individu, kelompok kecil dan kejadian-kejadian

(15)

interpersonal dan kesesakan molar (molar crowding), yaitu perasaan sesak yang dapat dihubungkan dengan skala luas, populasi penduduk kota.

Pengertian lain mengenai kesesakan juga disampaikan oleh Morris dalam Gunadarma (2011) yaitu dimana kesesakan sebagai defisit suatu ruangan. Hal ini berarti bahwa dengan adanya sejumlah orang dalam suatu hunian rumah, maka ukuran per meter persegi setiap orangnya menjadi kecil, sehingga dirasakan adanya kekurangan ruang. Dalam suatu unit hunian, kepadatan ruang harus diperhitungkan dengan mebel dan peralatan yang diperlukan untuk suatu aktivitas. Oleh karenanya untuk setiap ruang akan memerlukan suatu ukuran standar ruang yang berbeda, karena fungsi dari ruang itu berbeda. Rapoport (1987) mengatakan, kesesakan adalah suatu evaluasi subjektif dimana besarnya ruang dirasa tidak mencukupi, sebagai kelanjutan dari persepsi langsung terhadap ruang yang tersedia.

Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya batasan kesesakan melibatkan persepsi seseorang terhadap keadaan ruang yang dikaitkan dengan kehadiran sejumlah manusia, dimana ruang yang tersedia dirasa terbatas untuk menampung jumlah manusia yang ada didalamnya.

b. Teori - Teori Kesesakan

Untuk menerangkan terjadinya kesesakan dapat digunakan tiga model teori, yaitu beban stimulus, kendala perilaku, dan ekologi (Bell, 1978 ; Holahan, 1982).

1. Teori Beban Stimulus

Teori ini mendasarkan diri pada pandangan bahwa kesesakan akan terbentuk bila stimulus yang diterima individu melebihi kapasitas kognitifnya sehingga timbul kegagalan memproses stimulus atau informasi dari lingkungan. Schmidt dan Keating (1979) mengatakan bahwa stimulus disini dapat berasal dari kehadiran banyak orang beserta aspek-aspek interaksinya maupun kondisi-kondisi fisik dari lingkungan sekitar yang menyebabkan bertambahnya kepadatan sosial.

2. Teori Ekologi

Micklin dam Gunadarma (2011) mengemukakan sifat-sifat umum model ekologi pada manusia. Pertama, teori ekologi perilaku memfokuskan pada hubungan timbal balik antara orang dengan lingkungannya. Kedua, unit analisisnya adalah kelompok sosial dan bukan individu, dan organisasi sosial memegang peranan sangat penting. Ketiga, menekankan pada distribusi dan penggunaan sumber-sumber material dan sosial.

(16)

3. Teori Kendala Perilaku

Menurut teori ini, suatu situasi akan dianggap sesak bila kepadatan atau kondisi lain yang berhubungan dengannya membatasi aktivitas individu dalam suatu tempat. Pendekatan ini didasari oleh teori reaktansi psikologis dari Brehm yang menekankan kebebasan memilih sebagai faktor pendorong penting dalam persepsi dan perilaku manusia. Ia mengatakan bahwa bila kebebasan itu terhambat, maka individu akan mengadakan suatu reaksi dengan berusaha menemukan kebebasan yang hilang tadi, yang digunakan untuk mencapai tujuannya (Gunadarma, 2011).

c. Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Kesesakan

Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kesesakan yaitu faktor personal yang terdiri dari tiga faktor (Gunadarma, 2011)., yaitu:

1. Faktor Personal

Faktor ini terdiri dari beberapa hal yakni kontrol pribadi. Hal kedua meliputi budaya, pengalaman, dan proses adaptasi yang dilakukan oleh seseorang. Hal terakhir adalah faktor sosial, yang dipengaruhi oleh kehadiran dan perilaku orang lain, formasi koalisi, kualitas hubungan, dan informasi yang tersedia.

2. Faktor Fisik

Kesesakan di dalam rumah berhubungan dengan faktor – faktor fisik yang berhubungan dengan kondisi rumah seperti jenis rumah, urutan lantai, ukuran rumah (perbandingan jumlah penghuni dan luas ruangan yang tersedia) dan suasana sekitar rumah.

3. Adanya faktor situasional sekitar rumah sebagai faktor yang juga mempengaruhi kesesakan. Stressor yang menyertai faktor situasional tersebut seperti suara gaduh, panas, polusi, sifat lingkungan, tipe suasana, dan karakteristik seting (tipe rumah, tingkat kepadatan). Faktor – faktor situasional tersebut antara lain besarnya skala lingkungan dan variasi arsitektural.

d. Pengaruh Kesesakan Terhadap Perilaku

Bila suatu lingkungan berubah menjadi sesak, maka kehidupan yang ada didalamnya dapat mengalami ketidaknyamanan, dimana aktivitas seorang bisa menjadi terganggu karena aktivitas orang lain. Interaksi interpersonal yang tidak diinginkan akan mengganggu individu dalam mencapai tujuan personalnya, gangguan terhadap norma sehingga dapat mengakibatkan gejolak dan ketidaknyamanan (Gunadarma, 2011).

(17)

Dengan terbatasnya luas ruang terhadap jumlah orang yang ada didalamnya sehingga terjadi kesesakan dapat mengakibatkan beberapa akibat terhadap perilaku manusia didalamnya. Hal tersebut seperti yang disampaikan oleh Gunadarma (2011), antara lain: menurunnya kualitas hidup. Akibat kesesakan lainnya adalah adanya malfungsi fisiologis seperti meningkatnya tekanan darah dan detak jantung, gejala – gejala psikosomatik, dan penyakit – penyakit fisik yang serius. Kesesakan pada suatu wilayah dapat mengakibatkan kenakalan remaja, hal tersebut dijabarkan oleh Gunadarma (2011) dimana kesesakan menyebabkan menurunnya sikap gotong-royong dan saling membantu, penarikan diri dari lingkungan sosial, berkembangnya sikap acuh tak acuh, dan semakin berkurangnya intensitas hubungan sosial. Fisher dan Byrne ( dalam Gunadarma, 2011) menemukan bahwa kesesakan dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan menyelesaikan tugas yang kompleks, menurunkan perilaku sosial, ketidaknyamanan dan berpengaruh negatif terhadap kesehatan dan menaikkan gejolak fisik seperti naiknya tekanan darah.

Dari sekian banyak akibat negatif kesesakan pada perilaku manusia, Brigham (1991) mencoba menerangkan dan menjelaskannya menjadi beberapa akibat yaitu pelanggaran terhadap ruang pribadi dan atribusi seseorang yang menekan perasaan yang disebabkan oleh kehadiran orang lain. Keterbatasan perilaku, pelanggaran privasi dan terganggunya kebebasan memilih. Kurangnya kontrol pribadi dan stimulus yang berlebihan.

Freedman (1975) memandang kesesakan sebagai suatu keadaan yang dapat bersifat positif maupun negatif tergantung dari situasinya. Jadi kesesakan dapat dirasakan sebagai suatu pengalaman yang kadang-kadang menyenangkan dan kadang-kadang tidak menyenangkan. Walaupun pada umumnya kesesakan berakibat negatif pada perilaku seseorang, tetapi menurut Altman (1975) dan Watson dkk (1984), kesesakan kadang memberikan kepuasan dari kesenangan. Hal ini tergantung pada tingkat privasi yang diinginkan, waktu dan situasi tertentu, serta setting kejadian. Situasi yang memberikan kepuasan dan kesenangan bisa kita temukan, misalnya pada waktu melihat pertunjukan musik, pertandingan olahraga atau menghadiri reuni atau resepsi.

2.3.6.3 Privasi a. Pengertian

Privasi merupakan tingkatan interaksi atau keterbukaan yang dikehendaki seseorang pada suatu kondisi atau suatu situasi tertentu. Tingkatan privasi yang diinginkan itu

(18)

menyangkut keterbukaan atau ketertutupan yaitu adanya keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain, atau justru ingin menghindar atau berusaha supaya susah dicapai oleh orang lain (Dibyo Hartono, 1986). Pada umumnya, privasi menekankan pada kemampuan seseorang dalam mengontrol interaksi dengan orang lain. Rapoport (1988) mengatakan bahwa privasi sebagai suatu kemampuan untuk mengontrol interaksi, kemampuan untuk memperoleh pilihan-pilihan dan kemampuan untuk mencapai interaksi seperti yang diinginkan. Altman (1975) juga berpendapat privasi adalah proses pengontrolan yang selektif terhadap akses kepada diri sendiri dan akses kepada orang lain. Definisi Altman mempunyai pengertian yang luas. Pertama, hubungan sosial antara individu dengan individu, antara individu dengan kelompok. Kedua, privasi sebagai proses dua arah yaitu pengontrolan input yang masuk ke individu dari luar atau dari individu ke pihak lain. Privasi juga memiliki pengertian sebagai keinginan atau kecenderungan pada diri seseorang untuk tidak diganggu kesendiriannya, hal tersebut dikemukakan oleh Laurens (2004). Privasi dijabarkan sebagai kemampuan seseorang atau sekelompok orang untuk mengendalikan interaksi mereka dengan orang lain baik secara visual, audial, maupun olfaktori untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, sesuai dengan yang dikatakan Amos.

Secara keseluruhan, inti dari privasi adalah adanya manajemen informasi dan manajemen interaksi sosial sehingga akses pada dirinya sendiri dapat diartikan informasi mengenai dirinya sendiri maupun berarti interaksi sosial dengan dirinya (Laurens, 2004).

b. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Privasi

Privasi muncul karena dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti yang dijabarkan didalam Gunadarma (2011), yaitu:

1. Faktor Personal

Perbedaan dalam latar belakang pribadi akan berhubungan dengan kebutuhan akan privasi. Sementara itu Walden dan kawan-kawan (1987) menemukan adanya perbedaan jenis kelamin akan mempengaruhi besarnya privasi seseorang.

2. Faktor Situasional

Tinggi rendahnya privasi didalam rumah antara lain di sebabkan oleh setting rumah. Setting rumah disini sangat berhubungan dengan seberapa sering para penghuni berhubungan dengan orang, jarak antara rumah dan banyaknya tetangga sekitar rumah, hal tersebut berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Marshall (1987).

(19)

3. Faktor Budaya

Hasil pengamatan Gifford (1987) di suatu desa di bagian selatan India, menunjukkan bahwa semua keluarga memiliki rumah yang sangat dekat satu dengan yang lain, sehingga akan sedikit privasi yang di perolehnya orang-orang desa tersebut merasa tidak betah bila berpisah dengan tetangganya.

c. Jenis Privasi

Privasi dapat dibagi menjadi enam jenis yang termasuk kedalam dua golongan, hal tersebut dikemukakan oleh Gunadarma (2011) antara lain :

1. Golongan pertama, adalah keinginan untuk tidak diganggu secara fisik. Hal ini terlihat dari tingkah laku yang menarik diri. Terdapat tiga jenis, dimana jenis yang pertama adalah keinginan menyendiri (solitude), privasi didapat dengan dibatasi oleh elemen tertentu sehingga bebas melakukan apa saja dan bebas dari perhatian orang lain. Jenis kedua adalah keinginan menjauh (seclusion), pada hal ini privasi didapat dengan menjauh dari pandangan dan gangguan suara tetangga atau kebisingan lalu lintas. Jenis terakhir adalah keinginan untuk intim dengan orang – orang (intimacy), merupakan suatu keinginan untuk mendapatkan rasa intim dengan orang – orang tertentu seperti kekasih, tetapi jauh dari orang lain. Privasi ini tidak diperoleh dari lingkungan, melainkan terbangun melalui kegiatan.

2. Golongan kedua, adalah keinginan untuk menjaga kerahasiaan diri sendiri yang terwujud dalam tingkah laku. Dimana seseorang hanya memberikan informasi yang seperlunya saja (control of information). Pada golongan ini juga terdiri dari 3 jenis, jenis pertama adalah keinginan merahasiakan diri sendiri (anonymity). Privasi ini didapat ketika berada diantara sesama didaerah orang lain, sehingga seseorang bebas berperilaku berbeda dengan yang biasa dilakukannya, namun tidak ingin diketahui identitasnya. Sebagai contoh, para turis atau presiden yang berdandan seperti rakyat biasa ketika berada ditengah – tengah suatu masyarakat guna mengetahui bagaimana kehidupan sesungguhnya berjalan. Jenis kedua, keinginan untuk tidak mengungkapkan diri terlalu banyak kepada orang lain (reserve). Privasi ini adalah dimana seseorang dapat mengontrol sepenuhnya kondisi bahwa ia tidak dapat diganggu dan merasa aman karena memiliki barier psikologis terhadap adanya gangguan. Hal ini dapat dilihat dari keinginan agar orang disekitar menghargai dirinya yang ingin membatasi informasi tentang dirinya. Keinginan untuk tidak terlibat dengan para tetangga (not neighboring) merupakan jenis ketiga, dimana privasi ini

(20)

timbul karena seseorang tersebut tidak suka bertetangga. Hal ini dapat diakibatkan oleh beberapa faktor, baik dari latar belakang kehidupan ataupun faktor – faktor khusus yang mengakibatkan orang tersebut tidak ingin bertetangga.

d. Tujuan Privasi

Privasi memiliki beberapa tujuan atau fungsi yang merupakan bagian dari komunikasi. Laurens (2004) menyimpulkan beberapa tujuan dari privasi, antara lain :

1. Memberikan perasaan berdiri sendiri, mengembangkan identitas pribadi, dimana privasi merupakan identitas dari ego seseorang atau identitas diri sendiri.hal ini dapat digunakan seseorang untuk mengevaluasi diri, merenung bagaimana hidupnya telah berjalan, bangaimana hubungannya dengan sesama, dan apa yang harus dilakukannya. 2. Memberikan kesempatan untuk melepaskan emosi, dimana dalam kesendirian seseorang dapat berteriak, memandangi dirinya di cermin, berbicara pada dirinya sendiri. Hal tersebut memampukan seseorang untuk tidak meluapkan emosinya didepan umum, kecuali dalam peristiwa – peristiwa tertentu seperti kematian.

3. Membantu mengevaluasi diri sendiri, menilai diri sendiri.

4. Membatasi dan melindungi diri sendiri dari komunikasi dengan orang lain. Salah satu alasan seseorang mencari privasi adalah untuk membatasi dan melindungi percakapan yang dilakukannya dengan orang lain. Sebagai contoh, seseorang bila ingin berbicara dengan temannya yang bersifat pribadi maka ia akan mencari suatu tempat yang dianggapnya aman.

e. Pengaruh Privasi Terhadap Prilaku

Para ahli mengatakan bahwa privasi akan memberikan akibat atau pengaruh terhadap perilaku manusia. Altman (1975) menjelaskan bahwa fungsi psikologis dari perilaku yang penting adalah untuk mengatur interaksi antara seseorang atau kelompok dengan lingkungan social. Bila seseorang mendapatkan privasi seperti yang diinginkan maka ia akan dapat mengatur kapan harus berhubungan dengan orang lain dan kapan harus sendiri. Seorang ahli bernama Maxine Wolfe mencatat bahwa pengelolaan hubungan interpersonal adalah pusat dari pengalam tentang privasi dalam kehidupan sehari-hari. Menurutnya orang yang terganngu privasinya akan merasakan keadaan yang tidak mengenakan. Ketertutupan terhadap informasi personal yang selektif, memenuhi kebutuhan individu untuk membagi kepercayaan dengan orang lain. Keterbukaan akan membantu individu dalam menjaga jarak psikologis yang pas terhadap orang lain dalam situasi apa pun (Westin, 1982 ).

(21)

Berdasarkan beberapa hal tersebut diatas, fungsi psikologis dari privasi dapat dibagi menjadi dua yaitu privasi memainkan peran dalam mengelola interaksi sosial yang kompleks didalam kelompok sosial dan yang kedua , privasi membantu kita dalam memantapkan perasaan identitas pribadi.

2.3.6.4 Ruang Personal (Personal Space) a. Pengertian

Ruang Personal adalah suatu area dengan batas maya yang mengelilingi diri seseorang dan orang lain tidak diperkenankan masuk kedalamnya (Laurens, 2004). Jadi, ruang personal itu seolah seperti sebuah tabung yang menyelubungi kita, membatasi jarak dengan orang lain, dan tabung itu dapat membesar atau mengecil tergantung dengan siapa kita sedang berhadapan. Dengan kata lain, luas atau sempitnya tabung tersebut akan bergantung pada kadar atau sifat huubungan individu dengan individu lainnya (Laurens, 2004). Ruang personal juga dikatakan sebagai teritori portable yang dapat berpindah – pindah. Dimana, ruang personal selalu mengelilingi orang yang bersangkutan dan mengikuti keberadaan orang yang bersangkutan kemanapun ia berada.

Menurut Laurens (2004), dalam kehidupan sehari – hari jarak yang diperkenankan oleh seseorang terhadap orang lain bergantung pada bagaimana sikap dan pandangan orang yang bersangkutan terhadap orang lain itu. Berdasarkan hal tersebut semakin akrab seseorang, semakin dekat juga jarak yang diperkenankannya.

b. Faktor Yang Mempengaruhi Besarnya Ruang Personal

Secara umum ada tiga cara mengukur ruang personal (Laurens, 2004). Cara pertama melalui metoda simulasi, dimana subjek diminta untuk membayangkan adanya orang yang mendekatinya dari berbagai posisi, kemudian menandai pada lembar simulasi jarak yang

Gambar 2.1 Ruang Personal Sumber : Laurens (2004)

(22)

dianggap sudah menimbulkan rasa terganggu pada subjek yang bersangkutan. Cara kedua adalah menggunakan metoda jarak henti, yaitu menempatkan partisipan pada beberapa posisi, kemudian mendekati subjek yang berhentipada jarak yang dianggap mengganggunya. Pengamatan alamiah di lapangan merupakan cara ketiga yang digunakan untuk mengukur besarnya ruang personal seseorang.

Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat faktor yang mempengaruhi besarnya ruang personal (Laurens, 2004)), antara lain :

1. Faktor Personal

Faktor personal meliputi beberapa hal, yaitu jenis kelamin, umur, tipe kepribadian dan latar belakang budayanya. Wanita ataupun pria sama – sama membuat jarak dengan lawan bicara yang berlainan jenis kelamin. Namun, menurut Altman (1975) salah satu kemungkinan perbedaan besarnya ruang personal dalam kaitannya dengan jenis kelamin ini lebih disebabkan oleh perbedaan dalam sosialisasi antara pria dan wanita daripada karena perbedaan biologis.

Pada umumnya, semakin bertambah usia seseorang, semakin besar jarak ruang personal yang akan terbentuk. Sebagai contoh, pada saat remaja ruang personal yang terbentuk terhadap lawan jenis akan lebih besar dibandingkan pada saat anak – anak. Cook (1970) berpendapat bahwa orang dengan kepribadian tidak mudah berteman dan pemalu (introver) memerlukan ruang personal lebih besar daripada orang yang berkepribadian ekstrofer (mudah bergaul, banyak teman). Latar belakang suku bangsa dan kebudayaan juga akan mempengaruhi besarnya ruang personal seseorang (Gunadarma, 2011). Misalnya, orang Jerman akan lebih formal dalam berkomunikasi karena mereka lebih menjaga jarak. Sedangkan orang Arab cenderung berkomunikasi dengan sangat dekat (Gunadarma, 2011). 2. Faktor Situasi Lingkungan

Faktor situasi ini dapat dikelompokkan dalam beberapa situasi (Laurens, 2004), yaitu situasi sosial, dimana daya tarik dan persahabatan membuat orang secara fisik menjadi lebih berdekatan, tidak ada rasa takut atau terganggu oleh kehadirannya. Terdapatnya kebersamaan dan kegembiraan akan mengurangi besarnya ruang personal seseorang. Faktor lainnya adalah situasi fisik seperti penyekat ruangan bisa mengurangi perasaan invasi terhadap ruang personal. Laurens (2004) melakukan sejumlah simulasi mengenai situasi koopertif-kompetitif dan mendapati bahwa sudut orientasi menjadi penting. Dalam situasi koopertif-kompetitif orang akan memilih duduk berhadapan, sedangkan dalam kondisi kooperatif orang memilih

(23)

duduk berdampingan. Faktor terakhir adalah perbedaan status, semakin besar perbedaan status, maka ruang personal yang terbentuk akan semakin besar. Sebagai contoh, seorang mahasiswa yang akan makan dikantin akan lebih memilih duduk berdekatan dengan temannya, dibandingkan duduk dengan dosen atau rektor karena perbedaan status sosial yang dirasakan.

2.3.6.5 Teritorialitas a. Pengertian

Seperti halnya ruang personal, teritorialitas juga muncul akibat perwujudan ego seseorang karena tidak ingin diganggu, atau dapat dikatakan sebagai perwujudan dari privasi seseorang (Laurens, 2004). Berikut ini merupakan beberapa pengertian teritori menurut beberapa sumber dalam Gunadarma (2011), antara lain :

1. Julian Edney (1974) mendefinisikan teritorialitas sebagai sesuatu yang berkaitan dengan ruang fisik, tanda, kepemilikan, pertahanan, penggunaan yang eksklusif, personalialisasi, dan identitas

2. Teritorialitas adalah suatu tingkah laku yang diasosiasikan pemilikan atau tempat yang ditempatinya atau area yang sering disebut melibatkan ciri kepemilikannya dan pertahanan dari serangan orang lain menurut Holahan (1990) .

Teritorialitas atau teritori ini merupakan suatu tempat nyata, yang relative tetap dan tidak berpindah – pindah mengikuti gerakan individu yang bersangkutan. Sehingga teritori dapat diartikan sebagai wilayah yang sudah dianggap menjadi milik seseorang. Misalnya, kamar tidur seseorang adalah wilayah yang sudah dianggap menjadi hak seseorang. Jika ada orang asing yang memasuki kamar tersebut tanpa izin maka pemilik kamar akan marah karena merasa teritorinya dilanggar. Contoh lain adalah apabila ada orang yang menempati bangku di kantin, kemudian ingin pergi sebentar untuk memesan makanan, maka ia akan meninggalkan sesuatu sebagai tanda bahwa bangku tersebut sudah menjadi teritorinya (Laurens, 2004).

Dari uraian diatas dapat diartikan bahwa teritorialitas adalah sebagai suatu pola tingkah laku yang ada hubungannya dengan kepemilikan atau hak seseorang atau kelompok pada suatu tempat. Fisher mengatakan bahwa kepemilikan atau hak dalam teritorialitas ditentukan oleh persepsi orang yang bersangkutan sendiri.

(24)

b. Klasifikasi Teritorialitas

Klasifikasi teritorialitas yang terkenal adalah klasifikasi yang dikemukakan oleh Gunadarma (2011) yang didasarkan pada derajat privasi, afiliasi, dan kemungkinan pencapaian. Ia menggolongkan teritorialitas menjadi tiga, antara lain :

1. Teritori Primer

Teritori ini merupakan tempat – tempat yang sangat pribadi sifatnya dan hanya boleh dimasuki oleh orang – orang yang sudah sangat akrab saja atau yang sudah mendapatkan izin khusus. Misalnya ruang tidur atau ruang kantor.

2. Teritori Sekunder

Teritori sekunder adalah tempat – tempat yang dimiliki bersama oleh sejumlah orang yang sudah cukup saling mengenal. Kendali pada teritori ini tidaklah sepenting teritoriprimer dan kadang berganti pemakai, atau berbagi penggunaan dengan orang lain. Misalnya ruang kelas, kantin, kampus, dan ruang latihan olahraga.

3. Teritori Publik

Tempat – tempat yang termasuk teritori publik adalah tempat – tempat terbuka untuk umum. Pada prinsipnya setiap orang diperkenankan untuk masuk didalamnya, contohnya pusat perbelanjaan dan tempat rekreasi. Namun terkadang teritori publik dikuasai oleh kelompok tertentu dan tertutup bagi kelompok yang lain, seperti bar atau diskotik yang hanya terbuka untuk orang dewasa.

Selain itu, Lyman dan Scott dalam Gunadarma (2011) juga membuat klasifikasi tentang teritorialitas yang sebanding dengan Altman, yaitu:

1. Teritori Interaksi (Interactional Territories)

Teritori ini ditujukan pada suatu daerah yang secara temporer dikendalikan oleh sekelompok orang yang berinteraksi. Misalnya, sebuah tempat perkemahan yang sedang dipakai oleh sekelompok remaja untuk berkemah dan lapangan sepak bola yang digunakan untuk bertanding. Apabila terjadi intervensi terhadap area ini, hal tersebut akan dianggap mengganggu. Sebagai contoh seorang anak masuk kedalam lapangan bola yang sedang digunakan untuk bertanding.

2. Teritori Badan (Body Territory)

Teritori badan dibatasi oleh badan manusia,namun berbeda dengan ruang personal karena batasannya bukanlah ruang maya melainkan kulit manusia. Artinya segala sesuatu yang mengenai kulit manusia tanpa izin dianggap merupakan suatu gangguan.

(25)

Pada rumah juga terdapat pembagian zona ruang berdasarkan tingkat privasi dari ruang yang bersangkutan tersebut. Rumah – rumah tersebut ditata mengikuti alur ruang publik – semi privat – privat. Ruang publik merupakan ruang yang dapat dimasuki oleh semua orang dengan seijin pemilik rumah. Ruang semi privat adalah ruang yang dapat dimasuki oleh orang – orang tertentu yang dikehendaki oleh pemilik rumah saja, sedangkan ruang privat adalah ruang yang hanya terbatas untuk pemilik rumah saja, atau anggota keluarga (Hindarto, 2009). Pembagian ruang tersebut dapat dilihat sebagai berikut:

Berdasarkan hal tersebut kegiatan penghuni didalam rumah dapat dibedakan juga menjadi kegiatan privat, semi privat, dan non privat, kegiatan tersebut yaitu:

Pelaku Kegiatan

Privat Semi Privat Non Privat

Ayah Tidur, mandi, ganti baju, sembahyang, berhubungan intim Makan, bersantai, menonton, berkumpul bersama keluarga, pertemuan keluarga. Menerima tamu, mengobrol dengan tetangga.

Ibu Tidur, mandi, ganti baju, sembahyang, berhubungan intim, menidurkan anak.

Makan, bersantai, menonton, memasak, mencuci, berkumpul bersama keluarga, pertemuan keluarga, Menerima tamu, mengobrol dengan tetangga. Anak Remaja Putra

Tidur, mandi, ganti baju, sembahyang, Makan, bersantai, menonton, belajar, berkumpul bersama keluarga. Menerima tamu, mengobrol dengan tetangga. Anak Remaja Putri

Tidur, mandi, ganti baju, sembahyang, Makan, bersantai, menonton, belajar, berkumpul bersama keluarga. Menerima tamu, mengobrol dengan tetangga. 1. Teras (publik)

2. Ruang Tamu (publik)

3. Ruang keluarga (semi privat) 4. Ruang makan (semi privat) 5. Kamar tidur (privat)

6. Kamar mandi (privat)

Tabel 2.3 Tabel Kegiatan Berdasarkan Tingkat Privasi

(26)

Berdasarkan diagram 2.1 dapat dilihat bahwa dalam satu hari kepadatan tertinggi didalam rumah terjadi pada sore hingga malam hari. Hal tersebut dikarenakan semua penghuni berada di dalam rumah, bahkan melakukan aktivitas didalam ruangan yang sama secara bersama-sama.

c.Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Teritorialitas

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi teritori (Laurens, 2004), antara lain : 1. Faktor Personal

Karakteristik seseorang seperti jenis kelamin, usia dan kepribadian diyakini mempunyai pengaruh terhadap teritorialitas. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mercer dan Benyamin (1980) pada sebuah asrama. Didapati bahwa pria menggambarkan teritori yang lebih besar dibandingkan dengan wanita.

2. Situasi

Desain tata letak bangunan atau desain jalan dapat mempengaruhi perilaku penghuni sedemikian rupa. Suatu penghalang yang nyata dapat digunakan untuk memisahkan

24.00 06.00 18.00 IBU AYAH ANAK

Bersantai dan istirahat Membersihkan Rumah Tidur Malam 12.00 Sholat Subuh Tidur Menyiapkan Sarapan

Mandi, bersiap kerja dan sekolah

Berangkat ke Kantor dan sekolah Ke pasar atau warung

Memasak Membersihkan rumah Istirahat dan Sholat

Pulang sekolah dan makan siang Makan Siang Bermain

Sholat Mandi

Menyiapkan makan Malam Pulang Kerja

Belajar

Bersantai dan berkumpul bersama

Diagram 2.1 Kegiatan Penghuni Di Rumah dalam Sehari

12.00 24.00 06.00 18.00 Anak Ayah Ibu

(27)

teritori publik dan pribadi. Dengan adanya peluang bagi pemilik teritori untuk melakukan pengamatan daerahnya akan meningkatkan rasa aman dan mengurangi kriminalitas dalam teritori tersebut.

3. Faktor Budaya

Secara budaya terdapat perbedaan sikap teritori antara orang yang satu dengan yang lain. Smith (1981) pada penelitiannya mengenai orang Jerman dan Perancis mengatakan bahwa orang Perancis memiliki sikap teritorialitas yang lebih rendah dibandingkan dengan orang Jerman. Dimana orang Perancis mengganggap bahwa pantai itu milik semua orang, sedangkan orang Jerman lebih banyak memberi tanda kepemilikan dengan membuat istana pasir.

d. Teritorialitas dan Perilaku

Menurut Laurens (2004) teritorialitas berfungsi sebagai proses sentral dalam personalisasi, agresi, dominasi, memenangkan, koordinasi, dan kontrol. Hal tersebut akan dijelaskan sebagai berikut :

1. Personalisasi dan Penandaan

Personalisasi dan penandaan berupa pemberian nama dan tanda yang ditempatkan pada lokasi yang strategis. Seperti membuat pagar batas dan memberi papan nama yang menyatakan tanda kepemilikan. Perilaku personalisasi bisa juga dilakukan secara verbal. Contohnya seorang adik berkata kepada kakaknya “Ini mejaky, pergi.” 2. Agresi

Pertahanan dengan kekerasan yang dilakukan seseorang akan semakin keras apabila pelanggaran terjadi di teritori primernya.

3. Dominasi dan Kontrol

Dominasi dan kontrol pada umumnya lebih banyak terjadi pada teritori primer. Kemampuan suatu tatanan ruang untuk menawarkan privasi melalui kontrol teritori menjadi penting. Hal ini berarti bahwa tatanan tersebut mampu memenuhi beberapa kebutuhan dasar manusia yaitu keutuhan akan identitas yang berkaitan dengan kepemilikan harga diri.

2.3.7 Teori Psikologi Lingkungan

Psikologi lingkungan adalah salah satu disiplin ilmu yang mempelajari dan memperhatikan mengenai hubungan perilaku manusia dengan lingkungan fisik (Gunadarma,

(28)

2011). Psikologi lingkungan ini memberikan perhatian terhadap manusia, tempat, perilaku dalam hubungangannya dengan setting fisik. Setting fisik tersebut tidak hanya berhubungan dengan rangsangan fisik saja seperti dengan cahaya, sound, kepadatan, dll. Lebih dari itu setting fisik juga meliputi dimana orang tersebut tinggal, berinteraksai, dan beraktivitas.

Dalam hal hubungan antara lingkungan dengan perilaku, dimana lingkungan mempengaruhi perilaku dengan empat cara (Gunadarma, 2011), yaitu:

1. Lingkungan menghalangi perilaku. Sebagai contoh adalah dinding kamar membatasi seberapa jauh kita dapat berjalan didalamnya, ketinggian meja akan pempengaruhi bagaimana cara seorang duduk, jumlah orang didalam kamar akan mempengaruhi rasa kenyamanan kita.

2. Lingkungan mendatangkan perilaku dan menentukan bagaimana kita harus bertindak. Salah satu contoh adalah ketika kita masuk ke dalam rumah ibadah maka kita dituntut untuk tenang, kemudian udara yang panas akan membuat kita mengipas – ngipas agar terasa sejuk.

3. Lingkungan membentuk kepribadian. Dimana perilaku yang dibatasi lingkungan dapat menjadi bagian tetap dari diri, yang menentukan arah perkembangan keperibadiannya pada masa waktu yang akan datang.

4. Lingkungan akan mempengaruhi citra diri. Dalam hal ini seseorang akan merasa lingkungan yang ada disekitar mereka akan mempengaruhi citra diri mereka ketika dipandang orang. Contohnya adalah seorang direktur akan menggunakan benda – benda yang bagus di dalam ruangannya agar menunjukan ia memiliki posisi yang tinggi pada kantor tersebut.

Pada umumnya lingkungan yang ada disekitar kita akan menentukan apa yang dapat kita lakukan dan apa yang harus kita lakukan. Pendekatan teori dalam psikologi lingkungan menurut Halim (2007) terdiri dari beberapa hal antara lain: teori kendala perilaku, teori tingkat adaptasi, dan teori ekologi.

1. Teori kendala perilaku, dimana teori ini memfokuskan pada kenyataan, atau perasaan, kesan yang terbatas dari individu oleh lingkungan. Menurut teori ini , lingkungan dapat mencegah, membatasi, atau mencampuri perilaku penghuni. Teori ini berkeyakinan bahwa dalam keadaan tertentu seseorang benar-benar kehilangan beberapa tingkatan kendali terhapap lingkungannya.

2. Teori tingkat adaptasi, nilai dari pendekatan ini adalah adanya pengenalan tingkat adaptasi pada individu, misalnya tingkat adaptasi dimana pada akhirnya individu terbiasa dengan lingkungannya atau tingkat pengharapan individu pada kondisi

(29)

lingkungan tertentu. Perbedaan individu dalam hal tingkat adaptasi menyebabkan adanya perbedaan tingkah laku.

3. Teori ekologi, merupakan pusat dari pemikiran para ahli ekologi adalah gagasan tentang kecocokan manusia dan lingkungannya. Lingkungan dirancang sehingga memungkinkan terjadinya perilaku tertentu. Seting perilaku menurut istilah Roger Barker adalah evaluasi kecocokan antara lingkungan dengan perilaku yang terjadi pada konteks lingkungan tersebut.

2.3.8 Pengaruh Lingkungan Fisik pada Perilaku

Perilaku manusia dalam hubungannya terhadap suatu setting fisik berlangsung dan konsisten sesuai waktu dan situasi. Karenanya pola perilaku yang khas untuk setting fisik tersebut dapat diidentifikasikan. Tentu saja apa yang dibahas tidak lantas menjadi demikian sederhana bahwa manusia semuanya berperilaku ajeg dalam suatu tempat dan waktu tertentu. Tapi umumnya frekuensi kegiatan yang terjadi pada suatu setting baik tunggal ataupun berkelompok dengan setting lain menunjukkan suatu yang konstan, tetap sepanjang waktu. Ini menunjukkan bahwa tidak hanya karakter dan pola tetap perilaku yang dapat dideteksi dalam hubungannya dengan suatu setting tapi juga kemungkinan yang muncul seperti pola tanggapan perilaku yang terkadang dapat berubah menjadi sebaliknya (Hadinugroho, 2002).

Menurut Hadinugroho (2002), dari data yang didapat pada riset perilaku tidak dimaksudkan bahwa asumsi itu hanya sebagian benar, tapi yang lebih penting adalah keyakinan bahwa hal tersebut menyederhanakan pengertian hubungan antara perilaku manusia dan setting fisiknya. Kita dapat menyaksikan bahwa kamar tidur itu secara tetap digunakan untuk bersosial dan makan selain hanya untuk tidur. Ruang makan tidak hanya untuk makan tapi juga untuk membentuk pola berinteraksi sosial. Rossenberg dan Holuland (1975) menerangkan hubungan antara stimuli dan terjadinya sikap sebagaimana diterangkan sebagai berikut :

(30)

2.3.9 Jenis – Jenis Furnitur

Furnitur merupakan salah satu hal yang tidak terlepas dari kebutuhan manusia didalam rumah. Pengertian furnitur adalah mebel, perkakas atau perabotan rumah tangga seperti kursi, meja, tempat tidur, dll (Stik, 2011). Berikut ini adalah jenis – jenis furnitur yang dijelaskan oleh Nyeni Interior (2011) :

1. Furnitur Free Standing

Furnitur free standing adalah furnitur yang paling banyak dan paling mudah ditemukan. Furnitur ini bersifat tidak permanen atau dengan kata lain dapat digeser dan dipindahkan. Jenis furnitur ini dibagi lagi menjadi dua jenis berdasarkan flesibelitasnya yakni semi fix dan non fix. Semi fix dimana jenis furnitur ini memiliki tingkat fleksibelitas sedang, dan pada umumnya letaknya tetap jarang untuk dipindahkan. Sebagai contoh adalah lemari baju, tempat tidur dengan ranjang kayu, springbed, dll. Non fix furnitur merupakan furnitur dengan tingkat kemudahan dipindahkan sangat tinggi. Pada umumnya furnitur ini berukuran kecil, ringan, dan memiliki bentuk yang simple, contohnya adalah meja tulis, single kursi, tempat tidur matras, dll.

2. Furnitur Built In

Furnitur built in merupakan furnitur yang di pasang mengikuti keadaan suatu ruang dan setelah terpasang tidak mungkin untuk digeser atau dipindahkan. Furnitur ini sangat fungsional, karena setiap jengkal ruang dimanfaatkan semaksimal mungkin. Dengan kata lain furniture ini sangat sesuai untuk rumah mungil dan apartemen karena membuat ruangan lebih terlihat rapi dan kompak.

3. Furnitur Knockdown

Furnitur knockdown merupakan furnitur yang mudah dibongkar pasang. Furniture ini sangat sesuai dengan penghuni yang sering berpindah tempat tinggal. Sifat yang fleksibel dan ringkas saat diangkut merupakan nilai lebih. Tetapi untuk furnitur

knockdown yang berukuran besar tetap membutuhkan tukang untuk

membongkarnya, seperti lemari pakaian, rak buku, dan workstation atau office system. 4. Furnitur Mobile

Furnitur mobile yaitu furnitur yang dapat bergerak dan mudah dipindah pindahkan. Furnitur ini biasanya menggunakan elemen pendukung, yaitu roda pada bagian bawahnya atau dibagian kaki-kakinya.

(31)

2.4 Model Penelitian

Penelitian ini mengambil Kampung Jawa sebagai studi kasus dengan tujuan untuk memperoleh hasil penelitian berupa varian luas rumah tinggal, gambaran tata setting kegiatan penghuni yang tinggal didalamnya serta hubungan antara luas rumah tinggal dengan tata

setting kegiatan penghuni yang terbentuk didalamnya. Penelitian ini didukung dengan teori –

teori berupa teori perilaku, teori psikologi lingkungan serta teori mengenai pengaruh lingkungan fisik terhadap perilaku. Model penelitian ini dapat dilihat seperti pada diagram 2.3 dibawah ini.

Hubungan antara Luas Lantai Rumah dan Tata Setting Kegiatan Penghuninya

Latar Belakang

Adanya kebiasaan penduduk mensetting

ruang sebelum melakukan kegiatan yang diduga berkaitan erat dengan luas rumah.

Teori

Pemukiman Teori Perilaku Teori Psikologi Lingkungan

Furnitur Rumusan Masalah Metode Observasi Kuesioner Wawancara

Gambaran varian luas lantai dasar rumah

Gambaran tata setting kegiatan

Hubungan antara luas lantai rumah dan tata setting kegiatan penghuninya Variabel

Luas Rumah

Tata setting kegiatan Penghuni

Seperti apa gambaran varian luas lantai dasar rumah di Kampung Jawa, Denpasar? Seperti apa gambaran tata setting kegiatan yang terjadi?

Analisa Hubungan antara Luas

rumah dan tata setting kegiatan

Seperti apa hubungan antara luas lantai rumah dan tata setting kegiatan yang terjadi?

Gambar

Tabel 2.1 Tabel Perbandingan Penelitian
Tabel 2.2  Profil Kepadatan Menurut Zlutnick dan Altman  Sumber : Altman (1975)
Gambar 2.1  Ruang Personal  Sumber : Laurens (2004)
Tabel 2.3 Tabel Kegiatan   Berdasarkan Tingkat Privasi
+3

Referensi

Dokumen terkait

SNV mengembangkan teknologi mengubah limbah menjadi energi untuk industri kecil dan rumah tangga di sektor tahu, singkong, kelapa dan sawit.. SNV memperkenalkan teknologi ini

Setelah menyimak penjelasan guru tentang tanggung jawab warga, siswa dapat mengumpulkan informasi tentang pelaksanaan pemilihan kepala desa di desanya.. Setelah

Anomali magnit sedang (- 250 sampai + 100 gamma), mendominasi sebagian besar daerah penyelidikan diperkirakan berkaitan dengan batuan yang relatif bersifat sedikit magnetis

Seseorang dikatakan memiliki psychological well being tinggi jika memiliki sikap yang positif terhadap dirinya sendiri dan orang lain, dapat mengembangkan diri sebaik

Menangkap makna terkait fungsi sosial dan unsur kebahasaan secara kontekstual lirik lagu terkait kehidupan remaja

Bissmillahirrahmanirrahim. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Ketua, Pimpinan, Anggota, Pak Wakil Menteri Agama beserta seluruh jajaran Kementerian Agama yang

Penulis : “Menurut pendapat bapak, dengan penggunaan Teknologi Informasi adakah pengaruhnya terhadap hasil akhir pekerjaan anda saat ini?”. Informan 11 :

Perairan Muara Badak memiliki 24 jenis plankton, dari hasil analisis indeks keanekaragaman, indeks keseragaman dan indeks dominansi menunjukkan bahwa perairan ini