• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan zaman, alkohol memiliki perkembangan dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan zaman, alkohol memiliki perkembangan dalam"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Seiring dengan perkembangan zaman, alkohol memiliki perkembangan dalam pertumbuhannya dari zaman ke zaman seperti buku yang ditulis oleh Hartati Nurwijaya dan Zullies Ikawati yang berjudul “Bahaya Alkohol dan Cara Mencegah Kecanduannya”. Dalam buku ini menerangkan juga tentang sejarah alkohol, di mana para arkeolog menyebut bahwa minuman beralkohol muncul kali pertama di zaman peradaban Mesir Kuno, kemudian perkembangannya berlanjut pada periode Yunani Kuno dan Romawi Kuno, dari sinilah minuman beralkohol terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman dan menjadi peradaban bagi manusia.1

Dalam perjalanan perkembangannya alkohol tidak lepas dari kebudayaan peradaban manusia. Seperti halnya di Indonesia pada masyarakat Manado, Sulawesi, Sumatra Utara, Jawa, Bali dan beberapa daerah lain menggunakan minuman keras dalam prosesi acara ritual adatnya, ritual adat ini menjadi salah satu pendorong masyarakat mengkonsumsi alkohol. Di sisi lain alkohol juga digunakan sebagai antiseptik yang digunakan untuk mencegah terjadinya pertumbuhan bakteri dan kuman pada luka. Alkohol juga banyak digunakan bagi masyarakat yang hidup didaerah pegunungan yang bersuhu dingin, dan dipercaya dapat dijadikan sebagai minuman untuk menghangatkan tubuh mereka dari suhu dingin tersebut.

1 Hartati Nur Wijaya dan Zullies Ikawati Phd. 2009. Bahaya Alkohol dan Cara Mencegah Kecanduannya, Jakarta; Penerbit Elexmedia Computindo.

(2)

Namun di sisi lain terjadi penyalahgunaan terhadap fungsi alkohol tersebut, alkohol yang pada mulanya ditujukan dapat berfungsi bagi kehidupan pada masyarakat, namun seiring dengan majunya peradaban manusia pada era modern, alkohol tak jarang disalahgunakan pada kehidupan manusia. Sebagai contoh banyak masyarakat yang menggunakannya sebagai media pelarian sesaat dalam menghadapi masalah dalam hidupnya atau hanya sebagai kesenangan semata, bahkan para remaja yang diharapkan sebagai penerus bangsapun turut mengkonsumsi minuman yang mengandung alkohol tersebut. Padahal dengan mengkonsumsi minuman beralkohol tersebut akan merusak fisik dan psikis mereka, dan biasannya hal yang akan terjadi pada orang-orang yang mengkonsumsi alkohol, mereka akan kehilangan kesadaran dalam arti bertindak diluar pemikiran yang wajar, dan mereka juga kehilangan rasa malu dan cenderung tindakannya menjadi tidak terkontrol. Maka tak jarang banyak tindak kejahatan yang terjadi sebagai akibat dari pengaruh minum minuman keras, seperti yang diberitakan pada TribunJateng.com edisi jum‟at tanggal 20 April 2012 yang memberitakan tentang seorang gadis belia di Purwokerto bernama Vega (16) yang nekat menentang larangan yang diberikan oleh orangtuanya untuk tidak pergi bersama teman-temannya malam hari, namun gadis belia itu menentang larangan orangtuanya untuk tetap pergi dan mengkonsumsi minum-minuman keras bersama-sama dengan teman-teman pria yang lain di dalam kamar kos salah seorang temannya. Berita ini menunjukkan bahwa dengan mengkonsumsi alkohol dapat merusak jaringan otak bagi orang yang meminumnya, karena dapat menghilangkan akal sehat bagi yang mengkonsumsinya sehingga yang mengkonsumsi tidak dapat berpikir secara logis.2

Berita tersebut merupakan salah satu bukti dari adanya penyalahgunaan alkohol dalam kehidupan sehari-hari, alkohol yang ditujukan sebagai hal yang positif namun

(3)

dalam penyalahgunaannya alkohol menjadi terlihat sebagai hal yang negatif. Alkohol dapat mempengaruhi alam sadar manusia, sehingga mereka yang meminumnya dalam dosis yang cukup besar dapat kehilangan kesadaran dalam melakukan tindakan-tindakannya, konsumsi alkohol dalam dosis yang berlebihan juga dapat menimbulkan pemerkosaan, pembunuhan, perkelahian, bahkan bunuh diri, karena bagi mereka yang mengkonsumsi minuman beralkohol cenderung memiliki tingkat emosional yang tinggi. Penyalahgunaan alkohol ataupun meminum minuman keras merupakan salah satu tingkah laku yang melanggar aturan hukum dan merupakan salah satu bentuk tindak pidana yang senantiasa melekat dan akan selalu hadir dalam kehidupan masyarakat serta sulit untuk dilenyapkan. Minuman keras memang bukanlah akibat langsung dari timbulnya kejahatan akan tetapi dapat menjadi penyebab seseorang melakukan tindak pidana karena dalam minuman keras tersebut terkandung alkohol yang dapat menyebabkan keracunan dan kebiusan dari otak, yaitu mengakibatkan ketidakseimbangan mental dengan disertai gangguan badaniah dengan ciri-ciri antara lain merasa dirinya hebat, gembira kehilangan kontrol moril, kurang kritik terhadap diri sendiri, memandang sepele terhadap bahaya, dan konsentrasi yang berkurang.

Begitu besar dampak negatif yang ditimbulkan akibat minum minuman keras, baik bagi si pelaku sendiri maupun bagi lingkungan sekitar. Kesehatan bagi mereka yang mengkonsumsi minuman keras cenderung memiliki organ tubuh yang tidak sehat, sedangkan bagi lingkungan dapat menimbulkan terganggunya tata kehidupan masyarakat (Kamtibmas). Dalam hal inilah maka diperlukan peran serta masyarakat secara luas untuk secara aktif mengawasi penyalahgunaan minuman keras di lingkungan sekitar, dan terutama sekali bagi aparat kepolisian selaku penyidik.

Peneliti melakukan penelitian melalui Polres Resort Banyumas karena disamping peneliti berdomisili di Banyumas, menurut peneliti Polres Banyumas kerap

(4)

mengadakan operasi minuman keras. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Bambang Sidik S, S.H, selaku Kepala Satuan SABHARA terdapat beberapa larangan dalam penggunaan minuman keras, di antaranya :

1. Meminum minuman keras dan/atau mabuk di tempat umum. 2. Menjual minuman keras dengan kadar alkohol 10% tanpa ijin.

3. Menjual minuman keras tidak di tempat tertentu yang telah ditetapkan.

Tempat tertentu tersebut dilarang berdekatan dengan tempat peribadatan, sekolah, rumah sakit dan pemukiman.3

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penulis melakukan pengkajian secara ilmiah dalam bentuk skripsi dengan judul “PENANGGULANGAN

MINUMAN KERAS OLEH KEPOLISIAN DI WILAYAH HUKUM POLISI RESORT BANYUMAS”.

(5)

B.Perumusan Masalah

Dari pembahasan latar belakang di atas, dapat ditarik perumusan masalah sebagai berikut :

1. Apa saja dampak negatif dari penggunaan alkohol dalam kehidupan masyarakat? 2. Bagaimana Polisi Resort Banyumas menanggulangi dampak negatif penggunaan

alkohol/miras?

C.Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dampak negatif dari penggunaan alkohol dalam kehidupan bermasyarakat

2. Untuk mengetahui penanggulangan dampak negatif dari penggunaan alkohol/miras yang dilakukan oleh Polisi Resort Banyumas

D.Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan sumbangan bagi perkembangan ilmu Hukum Pidana.

2. Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi masyarakat khususnya kaum muda agar tidak salah dalam menggunakan alkohol sebagai minuman keras.

(6)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tujuan dan Fungsi Hukum Pidana 1. Pengertian Hukum Pidana

Hukum yang berlaku menurut isinya dapat dibagi ke dalam dua macam hukum, hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Iswanto sebagai berikut:

a. Hukum Publik. Hukum Publik adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang dengan negara, antara badan atau lembaga negara yang satu dengan yang lain, dengan menitikberatkan pada kepentingan masyarakat atau negara. Termasuk dalam Hukum Publik antara lain: Hukum Pidana, Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara.

b. Hukum Sipil. Hukum Sipil adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain sebagai anggota masyarakat, dan menitikberatkan pada kepentingan perorangan yang bersifat pribadi. Termasuk dalam Hukum Sipil antara lain: Hukum Perdata, Hukum Dagang.4

Kedudukan hukum pidana termasuk dalam hukum publik, sebagaimana dikatakan oleh Andi Hamzah sebagai berikut :

Hukum pidana termasuk dalam hukum publik, yang berarti hukum pidana lebih condong mengatur kepada kepentingan masyarakat atau negara. Rumusan tentang hukum pidana di kalangan para sarjana masih beraneka ragam, belum ada satu pun rumusan yang dianggap sebagai rumusan yang sempurna dan dapat diberlakukan secara umum. Apakah hukum pidana itu? Pertanyaan ini sesungguhnya sangat sulit untuk dijawab seketika karena hukum pidana itu mempunyai banyak segi, yang masing-masing mempunyai arti sendiri-sendiri.5

Moeljatno di lain pihak berpendapat bahwa:

Hukum Pidana adalah sebagian dari keseluruhan yang berlaku di suatu Negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk:

a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dan disertai pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan itu;

4 Iswanto. 1995. Diktat Kuliah Pengantar Ilmu Hukum. Fakultas Hukum UNSOED. Purwokerto. hal. 7 5 Andi Hamzah. 1994. Asas-asas Hukum Pidana. PT Rineka Cipta. Jakarta. hal. 1.

(7)

b. Menetukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;

c. Menetukan dengan cara bagaimana penjatuhan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan itu.6

Beberapa pendapat tentang hukum pidana disampaikan oleh sarjana lain, sebagaimana dikutip oleh Sudarto, adalah sebagai berikut:

a. SIMONS

1) Keseluruhan larangan atau perintah yang oleh negara diancam dengan nestapa yaitu suatu “pidana” apabila tidak ditaati.

2) Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk penjatuhan pidana, dan;

3) Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk penjatuhan dan penerapan pidana.

b. VAN HAMEL

Keseluruhan dasar aturan yang dianut negara dalam kewajibannya untuk menegakkan hukum, yakni dengan melarang apa saja yang bertentangan dengan hukum (onrecht) dan mengenakan suatu nestapa (penderitaan) kepada yang melanggar larangan tersebut.

Berdasarkan beberapa definisi yang dicantumkan diatas tentang hukum pidana, terdapat inti yang berpokok kepada 2 (dua) hal, yaitu:

a. Perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.

b. Pidana. Maksudnya penderitaan yang sengaja diberikan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu.7

Hukum Pidana merupakan hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Undang-undang beserta sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku. Istilah hukum pidana sendiri mempunyai beberapa pengertian antara lain:

a. Hukum pidana dalam arti objektif.

Hukum pidana dalam arti objektif juga disebut ius poenale. Menurut Roeslan Saleh pidana adalah reaksi atas delik yang banyak berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik.8

b. Hukum pidana dalam arti subjektif.

Hukum pidana dalam arti subjektif dapat diartikan sebagai ius poenale. Secara luas berarti hak-hak dari Negara untuk mengenakan pidana terhadap perbuatan tertentu. Arti sempit hukum pidana dapat berupa hak untuk menuntut perkara

6

Moelyatno. 1987. Azas-azas Hukum Pidana. Bina Aksara Jakarta. hal. 1. 7 Sudarto. 2001. Op.Cit. hal. 7.

(8)

pidana, menjatuhkan dan melaksanakan pidana terhadap orang yang melakukan tindak pidana. Simons juga merumuskan hukum pidana secara subjektif yaitu merupakan keseluruhan dari larangan-larangan dan keharusan-keharusan yang atas pelanggarannya oleh Negara atau masyarakat hukum umum lainnya telah dikaitkan dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa suatu hukuman, dan keseluruhan dari peraturan-peraturan di mana syarat-syarat mengenai akibat hukum itu telah diatur serta keseluruhan dari peraturan-peraturan yang mengatur masalah penjatuhan dan pelaksanaan dari hukum itu sendiri.9

Hukum pidana juga dapat dibagi menjadi hukum pidana umum dan pidana khusus. A. Fuad Usfa, dkk, menjelaskannya sebagai berikut:

Hukum pidana umum (algemeen strafrecht) yaitu hukum pidana yang memuat aturan-aturan hukum pidana yang berlaku bagi setiap orang. Aturan ini misalnya KUHP. Hukum pidana khusus yaitu hukum pidana yang memuat aturan-aturan hukum pidana yang menyimpang dari hukum pidana umum.10

Menurut H.B. Vos yang dikutip oleh Bambang Poernomo, hukum pidana diartikan dari cara bekerjanya, yaitu:

a. Peraturan hukum objektif (ius poenale) dapat dibagi menjadi:

1) Hukum pidana materiil yaitu peraturan tentang syarat-syarat bilamanakah, siapakah dan bagaimanakah sesuatu itu dapat dipidana.

2) Hukum pidana formil yaitu hukum acara pidana.

b. Peraturan hukum subjektif (ius punedi) yaitu meliputi hukum yang memberikan kekuasaan untuk menetapkan ancaman pidana, menetapkan putusan dan melaksanakan pidana yang hanya dibebankan kepada negara atau pejabat yang ditunjuk untuk itu.

c. 1) Hukum pidana umum (algeme strafrecht) yaitu hukum pidana yang berlaku bagi semua orang;

2) Hukum pidana khusus (bijzondere strafrecht) yaitu dalam bentuknya sebagai

“ius speciale” seperti hukum pidana militer dan sebagai “ius singulare” seperti hukum pidana fiskal.11

Selanjutnya Sudarto membagi hukum pidana kedalam dua jenis, yaitu:

a. Hukum pidana materiil, yang memuat aturan-aturan yang menetapkan dan merumuskan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana, aturan-aturan yang memuat syarat-syarat untuk dapat menjatuhkan pidana dan ketentuan mengenai pidana, seperti KUHP;

9

P.A.F. Laminating. 1994. Hukum Penitensier Indonesia. Armieo. Bandung. hal. 4.

10 A Fuad Usfa, Moh Najib dan Tongat. 2004. Pengantar Hukum Pidana. UMM Press Malang. hal. 5. 11 Bambang Poernomo. 1993. Asas-asas Hukum Pidana. Ghalia Indonesia. Yogyakarta. hal. 20-21.

(9)

b. Hukum pidana formil, mengatur bagaimana negara dengan perantara alat-alat perlengkapannya melaksanakan haknya untuk mengenakan pidana Hukum pidana formil juga disebut hukum pidana.12

Selain pendapat tersebut diatas, beberapa ahli juga memberikan penjelasan mengenai hukum pidana materiil dan pidana formil, sebagaimana dikutip oleh P.A.F. Laminating, sebagai berikut:

a. Van Hamel

Hukum pidana material itu menunjukan asas-asas dan peraturan yang mengkaitkan pelanggaran hukum itu dengan hukuman, sedangkan pidana formal menunjukan bentuk-bentuk dan jangka waktu yang mengikat pemberlakuan hukum pidana material.13

b. Van Hattum

Termasuk kedalam hukum pidana material yaitu semua ketentuan dan peraturan yang menunjukan tentang tindakan-tindakan yang mana adalah merupakan tindakan-tindakan yang dapat dihukum, siapakah orangnya yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindakan-tindakan tersebut dan hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan terhadap orang tersebut. Hukum pidana formal memuat peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana hukum pidana material harus diberlakukan, biasanya disebut juga hukum acara pidana.14

c. Simons

Hukum pidana material memuat ketentuan-ketentuan dan rumusan tindak pidana, peraturan-peraturan mengenai syarat-syarat tentang bilamana seseorang itu menjadi dapat dihukum, penunjukan dari orang-orang yang dapat dihukum dan ketentuan-ketentuan mengenai hukuman-hukumannya sendiri, jadi ia menentukan bilamana seseorang itu dapat dihukum dan bilamana hukuman tersebut dapat dijatuhkan. Hukum pidana formal itu mengatur bagaimana caranya Negara dengan perantaraan alat-alat kekuasaannya menggunakan haknya untuk menghukum dan menjatuhkan hukuman, dengan demikian ia memuat acara pidana.15

Satochid Kartanegara, sebagaimana dikutip oleh A. Fuad Usfa, dkk, mengemukakan pendapatnya mengenai isi hukum pidana materiil sebagai berikut:

Hukum pidana materiil berisikan peraturan-peraturan tentang: 1) Perbuatan yang dapat diancam dengan hukuman

2) Siapa-siapa yang dapat dihukum

12 Sudarto. 1997. Op.Cit. hal. 8. 13

P.A.F. Lamintang. 1997. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. PT Citra Aditya Bakti. Bandung. hal. 10. 14Ibid., hal. 11.

(10)

Hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap orang yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Undang-undang.16

2. Tujuan dan Fungsi Hukum Pidana

Sebelum mengetahui tentang tujuan dan hukum pidana itu sendiri, akan lebih baik jika diketahui terlebih dahulu fungsi dari hukum pidana itu. Hal ini dikarenakan tanpa mengetahui fungsi dari hukum pidana, maka tidak bisa diketahui diketahui untuk tujuan apa sebenarnya hukum pidana itu ada.

Hukum dibuat untuk dilaksanakan, yang berarti hukum itu bekerja di dalam masyarakat. Bekerjanya hukum dalam masyarakat menunjukkan bahwa hukum itu mempunyai fungsi. Hukum pidana yang masuk dalam bagian hukum publik mempunyai fungsi yang sangat penting mengingat hukum pidana mementingkan pada kepentingan masyarakat atau negara.

Fungsi hukum pidana dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu fungsi yang umum dan fungsi yang khusus. Fungsi yang umum dan khusus dari hukum pidana ini oleh Sudarto dijelaskan sebagai berikut:

a. Fungsi umum

Fungsi umum dari hukum pidana sama dengan fungsi hukum pada umumnya, karena hukum pidana merupakan sebagian keseluruhan lapangan hukum, yaitu mengatur hidup atau menyelenggarakan tata dalam masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat terjadi hubungan sosial diantara para anggota masyarakat itu sendiri. Setiap anggota masyarakat mempunyai kepentingan yang seringkali berlawanan dengan kepentingan anggota masyarakat lainnya, sehingga sering menimbulkan konflik dan terjadi ketidakharmonisan dalam masyarakat, hukum pidana lah sarana yang diterapkan dalam menyelesaikan konflik tersebut.

b. Fungsi khusus 16Ibid., hal. 11.

(11)

Fungsi yang khusus dari hukum pidana adalah melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan yang hendak memperkosanya dengan sanksi yang berupa pidana yang sifatnya lebih tajam jika dibandingkan dengan sanksi yang terdapat dalam cabang-cabang hukum lainnya. Kepentingan-kepentingan hukum (benda-benda hukum) ini boleh dari orang seorang dari badan atau dari kolektiva, misalnya masyarakat atau negara. Sanksi yang tajam itu dapat mengenai harta benda, kehormatan, badan dan kadang-kadang nyawa seseorang yang memperkosa benda-benda hukum itu. Dapat dikatakan, bahwa hukum pidana itu memberi aturan-aturan untuk menanggulangi perbuatan jahat.17

Bentuk-bentuk dari adanya fungsi umum dan khusus dari hukum pidana adalah dengan adanya penjatuhan sanksi. Mengenai penjatuhan sanksi ini Sudarto menjelaskan lebih lanjut sebagai berikut:

Sanksi hukum pidana mempunyai pengaruh preventif (pencegahan) terhadap terjadinya pelanggaran-pelanggaran norma hukum. Pengaruh ini tidak hanya ada apabila sanksi pidana itu benar-benar diterapkan terhadap pelanggaran yang konkrit, akan tetapi sudah ada, karena sudah tercantum dalam peraturan hukum (Theorie des psychischen Zwanges = ajaran paksaan pyschis). Sebagai alat “social control” fungsi hukum pidana adalah subsidier, artinya hukum pidana hendaknya baru diadakan, apabila usaha-usaha lain kurang memadai. Selain daripada itu, karena sanksi hukum pidana adalah tajam, sehingga berbeda dengan sanksi yang terdapat pada cabang hukum lainnya, maka hukum pidana harus dianggap sebagai “ultimum remidium” (obat terakhir)

apabila upaya pada cabang hukum lainnya tidak mempan atau dianggap tidak mempan, oleh karena itu penggunaannya harus dibatasi, kalau masih ada jalan lain janganlah menggunakan hukum pidana.18

Berdasarkan apa yang ada di atas dalam perkembangannya dapat dilihat bermunculan pendapat dari para sarjana tentang apa yang menjadi tujuan hukum pidana tersebut. Menurut Wirjono Projodikoro tujuan dari hukum pidana adalah

17 Sudarto. 2001. Op. Cit. hal. 9-10. 18Ibid., hal. 10.

(12)

memenuhi rasa keadilan.19 Menurut Tirtamidjaja yang dikutip oleh Bambang Poernomo, maksud dari hukum pidana ialah melindungi masyarakat.20

Pada umumnya didalam membuat suatu uraian tentang tujuan hukum pidana, sebagian besar penulis hukum pidana tidak mengadakan pemisahan antara tujuan hukum itu sendiri dengan tujuan diadakannya hukuman atau pidana. Di antara para sarjana hukum diutarakan bahwa tujuan hukum pidana adalah:

a. Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan, baik secara menakut-nakuti orang banyak (generale preventie) maupun secara menakut-nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan, agar dikemudian hari tidak tidak melakukan kejahatan lagi (speciale preventie);

b. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan, agar menjadi orang yang baik tabiatnya.21

3. Sumber Hukum Pidana Indonesia

Sumber utama dan hukum pidana Indonesia adalah hukum yang tertulis, di samping itu di daerah-daerah tertentu dan untuk orang-orang tertentu hukum pidana yang tidak tertulis juga dapat menjadi sumber hukum pidana. Induk peraturan hukum pidana positif ialah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Nama aslinya adalah Wetboek Van Strafrecht Voor Nederlandsch Indie

(W.v.S.), sebuah Titah Raja (Koninklijk Besluit atau disingkat K.B.) tanggal 15 Oktober 1915 No. 33 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 1918. KUHP ini merupakan copy (turunan) dari Wetboek Van Strafrecht Negeri Belanda (W.v.S.Bld) yang selesai dibuat pada tahun 1881 dan mulai berlaku pada tahun 1886.22

19Wirjono Projodikoro. 2002. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Refika Aditama. Bandung. hal. 18. 20

Bambang Poernomo. 1993. Op. Cit. hal. 23. 21 Wirjono Projodikoro. 2002. Op. Cit. hal. 8-9. 22 Sudarto. 1991. Op. Cit. hal. 18.

(13)

KUHP sekarang yang berlaku ini setelah Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 mendapat perubahan-perubahan yang penting berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 (Undang-Undang-Undang-Undang dari Pemerintah RI Yogyakarta). Pasal 1 menegaskan sebagai berikut:

Dengan menyimpang seperlunya dari Peraturan Presiden RI tertanggal 10 Oktober 1945 No. 2 menetapkan, bahwa peraturan hukum pidana yang sekarang berlaku, ialah peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942. Ini berarti, bahwa teks resmi (yang sah) untuk KUHP kita adalah bahasa Belanda.23

Sementara itu Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1945 kembali lagi ke Indonesia setelah mengungsi selama zaman pendudukan Jepang (1942-1945) juga mengadakan perubahan terhadap W.v.S.v.N.I (KUHP), misalnya dengan

Staatsblad 1945 No. 135 Tijdelijke buitengewone bepalingen van Strafrecht

(ketentuan-ketentuan sementara yang luar biasa mengenai hukum pidana).24

Sudah barang tentu perubahan-perubahan yang dilakukan oleh kedua pemerintah yang saling bermusuhan itu tidak sama, sehingga hal ini seolah-olah atau pada hakikatnya menimbulkan “dua” KUHP, yang masing-masing mempunyai ruang berlakunya sendiri-sendiri. Jadi boleh dikatakan ada “dualisme” KUHP (peraturan hukum pidana) atau lebih tepat ada “kwasidualisme”. Hal ini

rupanya kurang disadari oleh para petugas hukum.

Guna menghilangkan kedaan yang ganjil ini, maka dikeluarkan Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 yang antara lain menyatakan bahwa Undang-undang (RI) No. 1 Tahun 1946 itu berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia. Dengan ini maka segala perubahan yang diadakan oleh Pemerintah Hindia Belanda sesudah tanggal

23 www.google.com

(14)

8 maret 1942 (saat menyerahkan Hindia Belanda kepada Jepang) dianggap tidak ada.

KUHP itu merupakan kodifikasi dari hukum pidana dan berlaku unbtuk semua golongan penduduk, ialah golongan Bumiputera, Timur Asing dan Eropa. Dengan demikian, dalam lapangan hukum pidana sejak 1918 dikatakan ada UNIFIKASI. Tidak demikian halnya dengan hukum pidana, di sini tidak hanya ada dualisme

bahkan boleh dikatakan ada pluralisme.

Sumber hukum pidana yang tertulis lainnya adalah peraturan-peraturan pidana di luar KUHP, ialah peraturan-peraturan pidana yang tidak dikodifikasikan, yang tersebar dalam Undang-undang atau peraturan-peraturan dari Pemerintah Pusat atau Daerah.

Sumber hukum pidana lainnya adalah hukum pidana adat. Hukum pidana adat ini untuk beberapa daerah masih harus diperhitungkan juga. Dasar hukum berlakunya hukum pidana adat, pada zaman Hindia Belanda dicari dalam Undang-undang, ialah Pasal 131 LS. Juncto A.B. (Algemene Bepalingen van Wetgeving). Semasa berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara 1950 dapat ditunjukkan beberapa pasal yang dapat dijadikan dasar, ialah Pasal 16 ayat (2). Akan tetapi sebenarnya tidak diperlukan dasar hukum yang diambil dari ketentuan Undang-undang, sebab hukum adat itu hukum yang asli dan sesuatu yang asli itu berlaku dengan sendirinya, kecuali jika ada hal-hal yang menghalangi berlakunya.

(15)

B. Tindak Pidana

1. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana

Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan tindak adalah perbuatan. Sedangkan pidana adalah kejahatan, kriminal. Jadi tindak pidana adalah suatu perbuatan yang jahat atau perbuatan kriminal.25 Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa tindak pidana secara umum dapat diartikan sebagai perbuatan yang melawan hukum baik secara formal maupun secara materiil.26

Sudarto menyatakan tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah “perbuatan jahat” atau “kejahatan” (crime atau Verbrechen atau

misdaad) yang bisa diartikan secara yuridis (hukum) atau secara kriminologis.27 Istilah Tindak Pidana dipakai sebagai pengganti “Strafbaarfeit”, yaitu istilah

dalam bahasa Belanda Srafbaarfeit terdiri dari kata Strafbaar, artinya dapat dihukum dan Feit artinya ialah “sebagian dari suatu kenyataan”. Dengan demikian secara harfiah, istilah Strafbaarfeit itu dapat diterjemahkan sebagai sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum.28

Mengenai isi dari pengertian tindak pidana tidak ada kesatuan pendapat antara para sarjana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar hukum pidana. Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah “perbuatan jahat” atau “kejahatan” (crime atau verbrechen atau misdaad) yang bisa diartikan secara yuridis (hukum) atau secara kriminologis. Wirjono Prodjodikoro memberikan definisi pendek tentang tindak pidana, yaitu bahwa tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.29

25 W.J.S.Porwodarminto. 1980. Kamus Besar Bahasa Indonesia. PN. Balai Pustaka. Jakarta. hal. 345.

26 Barda Nawawi Arief. 2001. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Citra Aditya Bakti. Bandung. hal. 81. 27

Sudharto. 1990. Hukum Pidana I. Yayasan Fakultas Hukum Undip. Semarang. hal. 40. 28 P.A.F. Lamintang. 1994. Op. Cit. hal. 172.

(16)

Istilah tindak pidana dimaksudkan sebagai terjemahan “Strafbaarfeit” yang

berasal dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Belanda yang kemudian diberlakukan di Indonesia berdasarkan asas konkordansi pada masa penjajahan Belanda, yang masih digunakan di Indonesia sampai saat ini dengan beberapa perubahan. Mengenai istilah ini, para sarjana menggunakan istilah yang berlainan. Moeljatno menerjemahkan strafbaar feit dengan istilah perbuatan pidana dan merumuskan sebagai berikut:

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar aturan tersebut. Di mana larangan tersebut ditujukan pada perbuatan (suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu. Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena itu keduanya tidak dapat dipisahkan.30

Apabila seseorang melakukan perbuatan yang dilarang maka orang tersebut dapat diancam dengan pidana. Menurut Moeljatno untuk menyatakan hubungan yang erat itu ia menggunakan istilah “perbuatan pidana”, dan istilah itu mempunyai pengertian yang abstrak dan menunjuk pada dua konflik yaitu adanya kejadian atau perbuatan tertentu dan adanya orang yang melakukan perbuatan tersebut.31

Menurut Moeljatno apabila strafbaar feit menggunakan istilah peristiwa pidana atau tindak pidana adalah kurang tepat, sebab peristiwa itu adalah pengertian yang konkret yang hanya menunjuk kepada kejadian tertentu saja sedangkan perkataan tindak adalah menunjukkan kepada kelakuan atau sikap jasmani seseorang, jadi menyatakan keadaan yang konkret pula.32 Pengertian strafbaar feit dikemukakan oleh Simons dan Van Hamel, sebagaimana dikutip oleh Sudarto sebagai berikut:

Menurut Simons strafbaar feit diartikan sebagai berikut, strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang

30

Moeljatno. 1987. Op. Cit. hal. 54. 31ibid

(17)

yang mampu bertanggung jawab. Berbeda pula pendapat Van Hamel yang mengartikan strafbaar feit sebagai berikut, strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) orang yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardich) dan dilakukan dengan kesalahan.33

Jika melihat pengertian-pengertian ini maka terdapat beberapa pokok mengenai pengertian tindak pidana, yaitu:

a. Bahwa feit dalam strafbaar feit berarti handeling (kelakuan atau tingkah laku); b. Bahwa pengertian strafbaar feit dihubungkan dengan kesalahan orang yang

mengadakan kelakuan tadi.34

Utrecht menerjemahkan strafbaar feit dengan peristiwa pidana, karena istilah itu meliputi suatu perbuatan (handeling atau doen positif) maupun akibatnya (keadaan yang ditimbulkan oleh karena perbuatan atau melainkan itu). Lebih lanjut dijelaskan pula oleh Utrecht peristiwa pidana sebagai berikut, suatu peristiwa hukum yaitu suatu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum.35

Sudarto menggunakan istilah strafbaar feit dengan istilah tindak pidana, alasanya pemakaian istilah yang berlainan itu tidak menjadikan soal asal diketahui apa yang dimaksud dan dalam hal yang penting adalah isi dari pengertian itu, namun lebih condong untuk memakai tindak pidana seperti yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang, istilah ini sudah dapat diterima masyarakat, jadi mempunyai sosilogishie gelding.36

Menurut W.P.J Pompe, sebagaimana dikutip oleh Bambang Purnomo, pengertian Strafbaarfeit dibedakan menjadi dua definisi, yaitu:

a. Definisi menurut teori, adalah suatu pelanggaran terhadap norma yang dilakukan karena kesalahan si Pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum;

33 Sudarto. 1991. Op. Cit. hal. 5. 34

Moeljatno.1987. Op. Cit. hal. 56.

35 Utrecht. 1986. Hukum Pidana II. Pustaka Tinta Emas. Surakarta. hal. 251. 36 Sudarto. 1991. Op. Cit. hal. 35

(18)

b. Definisi menurut hukum positif, adalah suatu kejadian (feit) yang oleh peraturan Undang-undang dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.37

2. Unsur-unsur Tindak Pidana

Pengertian dan unsur-unsur tindak pidana ada dua golongan (pandangan) yaitu pandangan monistis dan dualistis. Menurut pandangan monistis bahwa keseluruhan adanya syarat pemidanaan merupakan sifat dari perbuatan, tidak ada pemisahan antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Pengikut pandangan monistis antara lain: D. Simons, Van Hamel, E. Mezger, Karni, Wirjono Prodjodikoro. Sedangkan pandangan dualistis membedakan secara tegas antara perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Pengikut pandangan ini antara lain: H.B. Vos, W.P.J. Pompe, Moeljatno, Sudarto. Untuk lebih jelas mengenai tindak pidana (Strafbaar Feit) dan unsur-unsurnya berikut pendapat beberapa sarjana:

a. Simon berpendapat bahwa unsur-unsur tindak pidana adalah perbuatan manusia, diancam dengan pidana, melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan, oleh orang yang mampu bertanggung jawab.

b. Van Hamel berpendapat bahwa unsur-unsur tindak pidana adalah perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan, patut dipidana.

c. Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dikenakan pidana.

d. H.B. Vos berpendapat bahwa unsur-unsur tindak pidana adalah kelakuan manusia dan diancam pidana dalam undang-undang.

e. Moeljatno memberi arti “perbuatan pidana” sebagai “perbuatan yang diancam dengan pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut”.

Untuk adanya perbuatan pidana harus memenuhi unsur-unsur yaitu perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang dan bersifat melawan hukum. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa unsur utama tindak pidana adalah perbuatan tersebut memenuhi rumusan undang-undang dan bersifat melawan hukum.38

37

Bambang Poernomo. 1993. Pola Dasar Teori dan Asas Umum Hukum Acara Pidana. Liberty. Yogyakarta. hal. 91.

(19)

Seseorang dapat dijatuhi pidana adalah apabila orang itu telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang telah dirumuskan dalam KUHP, karena pada umumnya pasal-pasal dalam KUHP terdiri dari unsur-unsur tindak pidana. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lamintang, yaitu:

Sungguhpun demikian setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana itu pada umumnya dapat kita jabarkan ke dalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat kita bagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur subjektif dan unsur-unsur objektif.39

Kemudian Lamintang juga menjelaskan tentang unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif sebagai berikut:

Unsur-unsur subjektif yaitu unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau berhubungan dengan diri si pelaku, termasuk kedalamnya yaitu segala yang terkandung di dalam hatinya.

Unsur-unsur objektif yaitu unsur-unsur yang ada hubunganya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.40

Mengenai pengertian strafbaar feit, Sudarto membagi menjadi dua pandangan sebagai berikut:

a. Pandangan monistis yaitu melihat keseluruhan (tumpukan) syarat untuk adanya pidana itu kesemuanya merupakan sifat dari perbuatan.

b. Pandangan dualistis yaitu pandangan yang memisahkan “pengertian perbuatan pidana” (criminal act) dan “pertanggungjawaban pidana” (criminal responbility).41

Unsur-unsur tindak pidana yang dikemukakan oleh ahli hukum dalam pandangan monistis, sebagaimana dikutip oleh Sudarto adalah sebagai berikut:

Menurut Simons unsur-unsur strafbaar feit adalah:

a. Perbuatan manusia (positif dan negatif, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan);

b. Diancam dengan pidana (strafbaargesteld) c. Melawan unsur (onrechmatig);

d. Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand);

e. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (teorekeningsvatbaar persoon).

39

P.A.F. Lamintang. 1997. Op. Cit. hal. 193. 40Ibid

(20)

E.Mezger menyebutkan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut: a. Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau membiarkan), b. Sifat melawan hukum (baik bersifat objektif maupun subjektif), c. Dapat dipertanggungjawabkan kepada seseorang,

d. Diancam dengan pidana,

J.Baumman menyebutkan unsur-unsur tindak pidana yaitu adanya perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum, dan dilakukan dengan kesalahan.

Menurut Karni delik itu mengandung suatu perbuatan yang mengandung perlawanan hak, yang dilakukan dengan salah dosa, oleh orang yang sempurna akal budinya dan kepada siapa perbuatan patut dipertanggungkan.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, beliau mengemukakan definisi pendek, yaitu: Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana. Jelas sekali dilihat dari definisi-definisi di atas tidak adanya pemisahan antara

criminal act (perbuatan pidana) dan criminal responsibility (pertanggungjawaban pidana).42

Beberapa sarjana yang mempunyai pandangan dualistis mengemukakan unsur-unsur tindak pidana, sebagaimana dikutip oleh Sudarto sebagai berikut:

Menurut H.B Vos unsur-unsur Strafbaar feit yaitu: a. Kelakuan manusia, dan

b. Diancam pidana dalam undang-undang Menurut W.P.J Pompe unsur-unsur yaitu: a. Perbuatan

b. Bersifat melawan hukum

c. Dilakukan dengan kesalahan, dan d. Diancam pidana.

Menurut Moeljatno untuk adanya perbuatan pidana harus ada unsur-unsur: a. Perbuatan (manusia);

b. Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil); c. Bersifat melawan hukum (syarat materiil).43

Menurut Sudarto sendiri yaitu kedua pendirian tersebut di atas tidak ada perbedaan yang prinsipiil, sebab jika seseorang menganut pendirian salah satu diantaranya hendaknya memegang pendirian tersebut dengan konsekuen agar tidak ada kekacauan pengertian. Yang penting adalah bahwa kita harus menyadari bahwa untuk pengenaan pidana itu diperlukan syarat-syarat tertentu, dan semua syarat yang diperlukan untuk pengenaan pidana harus lengkap adanya.44

42

Ibid. hal. 24-25. 43Ibid. hal. 25-26. 44Ibid. hal. 26.

(21)

Dapat diambil kesimpulan bahwa perbuatan tindak pidana apabila perbuatan itu harus memenuhi syarat-syarat pemidanaan, yaitu:

a. Memenuhi rumusan undang-undang;

b. Bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar);

c. Terhadap pelakunya atau orangnya harus ada unsur kesalahan; d. Orang yang melakukan tindakan mampu bertanggungjawab; e. Dolus atau Culpa (tidak ada alasan pemaaf)

Mengenai penentuan perbuatan pidana yang memenuhi rumusan undang-undang di Indonesia menganut azas legalitas yang terdapat Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang berbunyi:

Tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan.

Hal ini sesuai dengan pernyataan, pembentuk undang-undang menyatakan dalam suatu aturan perundang-undangan pidana, sebelum dinyatakan dalam suatu peraturan perundang-undangan pidana maka perbuatan tersebut belum dapat dikatakan perbuatan pidana. Hal tersebut memenuhi ketentuan yang disebutkan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.45

Dengan demikian bahwa dasar pokok dalam menjatuhkan pidana adalah norma yang tertulis. Azas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, lebih dikenal dalam bahasa latin yaitu nullum delictum poena sine previa poenela (tidak ada pidana tanpa ada peraturan lebih dulu).

45 Roeslan Saleh. 1980. Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan penjelasannya. Aksara Baru. Jakarta. hal. 1.

(22)

Azas ini bertujuan untuk terjaminya kepastian hukum di samping latar belakang bahwa tentu saja azas ini mencegah agar tidak terjadi kesewenang-wenangan penguasa terhadap rakyatnya. Azas ini mengandung tiga pengertian, yaitu:

a. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu belum dinyatakan dalam suatu peraturan perundang-undangan.

b. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas).

c. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.46

Unsur pemidanaan yang kedua adalah bersifat melawan hukum, yang dalam Bahasa Belanda disebut dengan istilah “Onrechtmatigheid” atau bisa dinamakan

juga “Wederrechtelijkheid”. Menurut Roeslan Saleh mengenai unsur sifat melawan

hukum, dengan jalan menyatakan suatu perbuatan dapat dipidana maka pembentuk undang-undang memberitahukan bahwa ia memandang perbuatan itu sebagai bersifat melawan hukum, atau untuk selanjutnya dipandang seperti demikian.47

Menurut Pompe, melawan hukum merupakan unsur mutlak perbuatan pidana bilamana melawan hukum secara tegas disebutkan dalam ketentuan pidana bersangkutan. Sesungguhnya demikian, walaupun melawan hukum bukan unsur mutlak perbuatan pidana, namun adanya hal-hal yang menghapuskan unsur melawan hukum akan menghapuskan pula adanya pidana.48

Unsur pemidanaan yang ketiga adalah kesalahan yang terdiri dari kesengajaan (dolus dan culpa) dan kemampuan bertanggung jawab. Hal ini sesuai dengan penjelasan dari Sudarto sendiri bahwa, untuk memungkinkan adanya pemidanaan secara wajar, apabila diikuti pendirian dari Moeljatno, maka tidak cukup apabila seseorang telah melakukan tindak pidana belaka. Di samping itu pada orang tersebut harus ada kesalahan dan kemampuan bertanggung jawab.49

46Ibid. hal. 40.

47

Ibid. hal. 1. 48Ibid. hal. 5.

(23)

Berkaitan dengan masalah bertanggung jawab Simons, sebagaimana dikutip oleh Sudarto, menyatakan pendapatnya sebagai berikut:

Kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan sebagai suatu kejadian psikis sedemikian yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari unsur sudut umum maupun dari orangnya. Seseorang mampu bertanggung jawab jika jiwanya sehat, yaitu apabila:

a. Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatanya bertentangan dengan hukum;

b. Ia dapat menentukan kehendak sesuai dengan kesadaran tersebut.50

Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan unsur atau bersifat melawan unsur, meskipun perbuatanya telah memenuhi rumusan tindak pidana dalam undang-undang dan tidak dibenarkan namun hal tersebut memenuhi syarat untuk penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt). Azas kesalahan (culpabilitas) menyangkut orangnya atau pelakunya. Jadi untuk adanya pemidanaan harus ada kesalahan pada si pembuat tindak pidana. Dalam hal ini berlaku azas “nulla poena sine culpa” atau tidak ada pidana tanpa kesalahan.51

Menurut Sudarto, kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat tindak pidana.52 Kemudian Sudarto membagi kesalahan menjadi tiga arti, yaitu:

a. Kesalahan dalam arti seluas-luasnya, yang dapat disamakan dengan pengertian “pertanggung jawab dalam unsur pidana” di dalamnya terkandung makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatanya.

b. Kesalahan dalam bentuk kesalahan berupa: 1) Kesengajaan (dolus). 50 Ibid. hal. 39. 51Ibid. hal. 39. 52Ibid. hal. 41.

(24)

2) Kealpaan (culpa).

c. Kesalahan dalam arti sempit yaitu kealpaan (culpa) seperti yang disebutkan pada kesalahan dalam arti bentuk kesalahan yang berupa kealpaan.53

Apabila ketiga syarat pemidanaan tersebut di atas, baik memenuhi rumusan undang-undang, sifat melawan unsur, serta unsur kesalahan dipenuhi oleh si pelaku tindak pidana maka pidana dapat dijatuhkan berdasarkan ketentuan dalam KUHP. Jika ada perbuatan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya, maka aturan dalam KUHP dapat dikesampingkan.

C. Tindak Pidana Minuman Keras 1. Pengertian Tindak Pidana

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan bahwa tindak pidana minuman keras diatur dalam Pasal 300, Pasal 492, dan Pasal 536. Pasal 300 KUHP mengatur tentang ancaman pidana penjara atau pidana denda bagi seseorang yang sengaja menjual atau memberikan minuman yang memabukkan kepada seseorang yang telah kelihatan mabuk, dengan sengaja membuat mabuk seorang anak yang belum cukup enam belas tahun, serta dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan sengaja memaksa orang untuk meminum minuman yang memabukkan. Di samping itu juga mengatur tentang ancaman pidana penjara sebagai akibat dari perbuatan tindak pidana minuman keras. Ketentuan Pasal 300 KUHP tersebut menegaskan sebagai berikut:

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:

a) barangsiapa dengan sengaja menjual atau memberikan minuman yang memabukkan kepada seseorang yang telah kelihatan mabuk;

53Ibid. hal. 45.

(25)

b) barangsiapa dengan sengaja membuat mabuk seorang anak yang umumnya belum cukup enam belas tahun;

c) barangsiapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan sengaja memaksa orang untuk meminum minuman yang memabukkan.

(2) Bila perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

(3) Bila perbuatan itu mengakibatkan kematian, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

(4) Bila yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pekerjaannya, maka haknya untuk menjalankan pekerjaan itu dapat dicabut. Pasal 492 KUHP mengatur tentang ancaman pidana kurungan atau pidana denda bagi seseorang yang dalam keadaan mabuk di muka umum merintangi lalu-lintas, atau mengganggu ketertiban umum atau mengancam keselamatan orang lain. Ketentuan Pasal 492 KUHP selengkapnya menentukan sebagai berikut:

(1) Barangsiapa dalam keadaan mabuk di muka umum merintangi lalu-lintas, atau mengganggu ketertiban, atau mengancam keselamatan orang lain, atau melakukan sesuatu yang harus dilakukan dengan hati-hati atau dengan mengadakan tindakan penjagaan tertentu terlebih dahulu supaya jangan membahayakan nyawa atau kesehatan orang lain, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam hari atau pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah.

(2) Bila pada waktu melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, atau karena hal yang disebutkan dalam Pasal 536, dijatuhkan pidana kurungan paling lama dua minggu.

(26)

Pasal 536 KUHP mengatur tentang ancaman hukuman pidana denda dan pidana kurungan bagi seseorang yang berada di jalan umum dalam keadaan mabuk. Pasal 536 KUHP selengkapnya menentukan sebagai berikut:

(1) Barangsiapa berada di jalan umum dalam keadaan mabuk, diancam dengan pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah.

(2) Bila pada waktu melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama atau yang diterangkan dalam Pasal 492, maka pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan paling lama tiga hari.

(3) Bila terjadi pengulangan kedua dalam satu tahun setelah pemidanaan pertama berakhir dan menjadi tetap, maka dikenakan pidana kurungan paling lama dua minggu.

(4) Pada pengulangan ketiga atau lebih dalam satu tahun, setelah pemidanaan yang kemudian karena pengulangan kedua atau lebih menjadi tetap, dikenakan pidana kurungan paling lama tiga bulan.

Pengertian nyata mabuk atau kentara mabuk atau kelihatan mabuk yaitu mabuk sedemikian rupa sehingga terlihat dan dapat diketahui oleh setiap orang dan mengganggu perasaan pada orang-orang di sekitarnya. Syarat-syaratnya sebagai berikut:

a. Tersangka menghembuskan nafas yang berbau minuman keras (bau alkohol) b. Tersangka berjalan dengan sempoyongan atau dengan tidak berdaya roboh di

jalanan; dan

c. Bicara tidak karuan (kacau) atau tidak mampu sama sekali untuk bicara.

Yang dikenakan Pasal tersebut di atas, terdakwa berada di jalan umum. Jika didalam rumah, tidak dikenakan Pasal tersebut dan tugas polisi yaitu

(27)

mempertahankan ketertiban dan keamanan serta ketentraman umum, dalam tugas ini termasuk pula menyingkirkan orang-orang kentara mabuk dari jalan umum untuk dilindungi, ditahan sementara sampai mereka sembuh kembali dari mabuknya. Berdasarkan pendapat ini, maka biasanya oleh polisi orang yang mabuk di jalan umum itu dibawa dan ditahan di kantor polisi.54

2. Unsur-unsur Tindak Pidana Minuman Keras

Hari Sasongko mengatakan bahwa dalam KUHP masalah tindak pidana minuman keras diatur dalam 3 (tiga) buah pasal, yaitu Pasal 300, Pasal 492, dan Pasal 536. Berdasarkan ketentuan dalam pasal-pasal tersebut, maka unsur-unsur tindak pidana minuman keras adalah sebagai berikut:

a. Dengan sengaja menjual atau menyerahkan minuman yang memabukkan kepada orang yang dalam keadaan mabuk (Pasal 300 ayat (1) ke 1).

b. Dengan sengaja membuat mabuk seorang anak di bawah usia 16 tahun (Pasal 300 ayat (1) ke 2).

c. Dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan sengaja memaksa orang untuk meminum minuman yang memabukkan (Pasal 300 ayat (1) ke 3).

d. Dalam keadaan mabuk berada di jalanan umum (Pasal 536 ayat (1))

Seseorang yang betul-betul mabuk, tidak bisa berbuat apa-apa. Terhadap orang yang melakukan tindak pidana dianggap bertanggungjawab atas perbuatannya. Karena sebelum mabuk seseorang sudah bisa berpikir akibat-akibat apa yang bisa terjadi pada seseorang yang sedang mabuk.55

Berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut, maka unsur-unsur tindak pidana minuman keras adalah seseorang yang dengan sengaja menjual atau menyerahkan

54 Natal Frids Sitorus. Tindak Pidana Minuman Keras. Diakses melalui

http://inf.g-excess.cm/id/nline/Minuman-Keras-Narkba.inf pada 21 September 2012.

55 Hari Sasongko. 2003. Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana. Mandar Maju. Bandung. hal. 117-118.

(28)

minuman yang memabukkan kepada orang lain yang dalam keadaan mabuk, membuat mabuk seorang anak di bawah umur, dalam keadaan mabuk mengganggu ketertiban di tempat umum dan dalam keadaan mabuk berada di jalanan umum.

(29)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi hukum. Soejono Soekanto memberikan pengertian mengenai pendekatan sosiologi hukum sebagai berikut:

Sosiologi Hukum yaitu suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis dan empiris yang menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya. 56

B. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di kantor Kepolisian di Wilayah Hukum Polisi Resort Banyumas, dan ditempat-tempat lain yang berkaitan dengan adanya sumber bahan yang digunakan dalam penelitian.

C. Sumber Bahan Hukum

1) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan data yang diperoleh melalui keterangan hasil wawancara/interview, yaitu hasil wawancara/interview dengan Penyidik Polres Banyumas .

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan bahan yang mendukung bahan primer yang dapat membantu menganalisis. Bahan sekunder yang digunakan dalam penelitian ini antara lain dari hasil-hasil penelitian,literatur-literatur,makalah-makalah dalam seminar,serta artikel-artikel yang mendukung penelitian.

56 Soejono Soekanto

(30)

D. Metode Pengambilan Data

1) Kepustakaan

Data sekunder yang di dapat melalui studi kepustakaan yaitu dengan mencari dan mengumpulkan hasil-hasil penelitian,literatur-literatur,makalah-makalah dan artikel-artikel yang berhubungan dengan alkohol sebagai minuman keras.

2) Wawancara (interview)

Terhadap data lapangan yang merupakan data primer dilakukan melalui interview dan memuat kejadian yang terjadi dalam masyarakat yang berhubungan dengan miras.

E. Metode Analisis Bahan

Bahan hukum yang diperoleh dianalisis secara deskriptif-kualitatif,yaitu dengan mengelompokan data yang diperoleh dari data lapangan dan dihubungkan dengan teori-teori,asas-asas yang diperoleh melalui studi kepustakaan sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang diteliti.57

57 Ronny Hanitijo Soemitro. 1983. Metode Penelitian Hukum. Jakarta; Ghalia indonesia

Jonny Ibrahim. 2006. Teoridan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Yogyakarta; Banyumedia Publising Ronny Hanintijo Soemitro. 1999. Metode Penelitian Hukum dan Jurumetri, Jakarta; Ghalia Indonesia

(31)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian 1. Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen dan literatur yang digunakan sebagai data utama, yaitu sebagai berikut:

1) Pasal 300 KUHP tentang Ancaman Pidana Penjara atau Pidana Denda bagi seseorang yang sengaja menjual atau memberikan minuman yang memabukkan

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan bahwa tindak pidana minuman keras diatur dalam Pasal 300, Pasal 492, dan Pasal 536. Pasal 300 KUHP mengatur tentang ancaman pidana penjara atau pidana denda bagi seseorang yang sengaja menjual atau memberikan minuman yang memabukkan kepada seseorang yang telah kelihatan mabuk, dengan sengaja membuat mabuk seorang anak yang umumnya belum cukup enam belas tahun, serta dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan sengaja memaksa orang untuk meminum minuman yang memabukkan. Disamping itu juga mengatur tentang ancaman pidana penjara sebagai akibat dari perbuatan tindak pidana minuman keras. Ketentuan Pasal 300 KUHP tersebut menegaskan sebagai berikut:

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah:

a) barangsiapa dengan sengaja menjual atau memberikan minuman yang memabukkan kepada seseorang yang telah kelihatan mabuk;

(32)

b) barangsiapa dengan sengaja membuat mabuk seorang anak yang umumnya belum cukup enam belas tahun;

c) barangsiapa dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan sengaja memaksa orang untuk meminum minuman yang memabukkan.

(2) Bila perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

(3) Bila perbuatan itu mengakibatkan kematian, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

(4) Bila yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam menjalankan pekerjaannya, maka haknya untuk menjalankan pekerjaan itu dapat dicabut.

Pasal 492 KUHP mengatur tentang ancaman pidana kurungan atau pidana denda bagi seseorang yang dalam keadaan mabuk di muka umum merintangi lalu-lintas, atau mengganggu ketertiban umum atau mengancam keselamatan orang lain. Ketentuan Pasal 492 KUHP selengkapnya menentukan sebagai berikut:

(1) Barangsiapa dalam keadaan mabuk di muka umum merintangi lalu-lintas, atau mengganggu ketertiban, atau mengancam keselamatan orang lain, atau melakukan sesuatu yang harus dilakukan dengan hati-hati atau dengan mengadakan tindakan penjagaan tertentu terlebih dahulu supaya jangan membahayakan nyawa atau kesehatan orang lain, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam hari atau pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah.

(33)

(2) Bila pada waktu melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun sejak adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama, atau karena pelanggaran yang sama, atau karena hal yang disebutkan dalam Pasal 536, dijatuhkan pidana kurungan paling lama dua minggu. Pasal 536 KUHP mengatur tentang ancaman hukuman pidana denda dan pidana kurungan bagi seseorang yang berada di jalan umum dalam keadaan mabuk. Pasal 536 KUHP selengkapnya menentukan sebagai berikut:

(1) Barangsiapa berada di jalan umum dalam keadaan mabuk, diancam dengan pidana denda paling banyak dua ratus dua puluh lima rupiah. (2) Bila pada waktu melakukan pelanggaran belum lewat satu tahun sejak

adanya pemidanaan yang menjadi tetap karena pelanggaran yang sama atau yang diterapkan dalam Pasal 492, maka pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan paling lama tiga hari.

(3) Bila terjadi pengulangan kedua dalam satu tahun setelah pemidanaan pertama berakhir dan menjadi tetap, maka dikenakan pidana kurungan paling lama dua minggu.

(4) Pada pengulangan ketiga atau lebih dalam satu tahun, setelah pemidanaan yang kemudian karena pengulangan kedua atau lebih menjadi tetap, dikenakan pidana kurungan paling lama tiga bulan.

Hari Sasongko mengatakan bahwa dalam KUHP masalah tindak pidana minuman keras diatur dalam 3 (tiga) buah pasal, yaitu Pasal 300, Pasal 492, dan Pasal 536. Berdasarkan ketentuan dalam pasal-pasal tersebut, maka unsur-unsur tindak pidana minuman keras adalah sebagai berikut:

a. Dengan sengaja menjual atau menyerahkan minuman yang memabukkan kepada orang yang dalam keadaan mabuk (Pasal 300 ayat (1) ke 1).

(34)

b. Dengan sengaja membuat mabuk seorang anak di bawah usia 16 tahun (Pasal 300 ayat (1) ke 2).

c. Dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan sengaja memaksa orang untuk meminum minuman yang memabukkan (Pasal 300 ayat (1) ke 3). d. Dalam keadaan mabuk mengganggu ketertiban di tempat umum (Pasal 492

ayat (1)).

e. Dalam keadaan mabuk mengganggu ketertiban di tempat umum (Pasal 536 ayat (1)).

Seseorang yang betul-betul mabuk, tidak bisa berbuat apa-apa. Terhadap orang yang melakukan tindak pidana dianggap bertanggungjawab atas perbuatannya. Karena sebelum mabuk seseorang sudah berpikir akibat-akibat apa yang bisa terjadi pada seseorang yang sedang mabuk.58

Berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut, maka unsur-unsur tindak pidana minuman keras adalah seseorang yang dengan sengaja menjual atau menyerahkan minuman yang memabukkan kepada orang lain yang dalam keadaan mabuk, membuat mabuk seorang anak di bawah umur, dalam keadaan mabuk mengganggu ketertiban di tempat umum dan dalam keadaan mabuk berada di jalanan umum.

2) Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 13 Tahun 2001 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Keras

Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 13 Tahun 2001, diatur hal-hal sebagai berikut:

a) Pengendalian dan Pengawasan

58 Hari Sasongko. 2003. Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana. Mandar Maju. Bandung. hal. 117-118.

(35)

Pasal 3 mengatur tentang larangan memproduksi, mengoplos atau membuat minuman keras kecuali seseorang atau badan hukum yang telah memiliki ijin, sebagai berikut:

(1) Dilarang memproduksi, mengoplos atau membuat minuman keras. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi

seseorang atau badan hukum yang telah memiliki ijin sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 4 lebih lanjut mengatur tentang larangan mengedarkan, menjual, menimbun, membawa, menyediakan dan menyajikan minuman keras sebagai berikut:

(1) Dilarang mengedarkan, menjual, menimbun, membawa, menyediakan dan menyajikan minuman keras.

(2) Larangan sebagaimana dimaksud ayat (1) dikecualikan bagi:

a. Usaha perdagangan minuman keras yang beralkohol yang mengandung rempah-rempah, jamu dan sejenisnya yang khusus untuk tujuan kesehatan dan atau pengobatan.

b. Bagian hotel berbintang 3, 4 dan 5, restoran dengan tanda talam lencana dan talam selaka, bar, klab malam dan diskotik, sepanjang dijual secara langsung dan diminum di tempat serta harus mendapat ijin Bupati.

(3) Khusus bagi usaha perdagangan minuman keras sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:

(36)

b. Bagi usaha perdagangan wajib memiliki Ijin Usaha Perdagangan (IUP) dan atau Ijin Usaha Perdagangan Minuman Beralkohol (IUPMB).

c. Bagi usaha untuk penyembuhan suatu penyakit, harus dilengkapi Surat Rekomendasi dari DKKS Kabupaten Banyumas.

Lokasi usaha perdagangan minuman keras ditentukan di tempat tertentu, sebagaimana diatur pada Pasal 5 sebagai berikut:

(1) Usaha perdagangan minuman keras beralkohol sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (2) huruf a harus ditempat tertentu yang ditetapkan oleh Bupati setelah mendapat persetujuan DPRD.

(2) Tempat tertentu sebagaimana dimaksud ayat (1) dilarang berdekatan dengan tempat peribadatan, rumah sakit dan pemukiman.

Minuman keras dilarang dikonsumsi di tempat umum, dan diperbolehkan untuk upacara keagamaan dengan ijin Bupati, sebagaimana diatur pada Pasal 6 sebagai berikut:

(1) Dilarang meminum minuman keras dan atau mabuk di tempat umum. (2) Diperbolehkan menyediakan, menyajikan dan menggunakan minuman

keras untuk kepentingan upacara keagamaan dengan ijin Bupati.

Pengawasan terhadap peredaran minuman keras berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 13 Tahun 2001 ini dapat dilakukan oleh Tim yang ditetapkan oleh Bupati. Hal ini sebagaimana ditegaskan pada Pasal 7 sebagai berikut:

Pelaksanaan dan pengawasan terhadap Peraturan Daerah ini dapat dilakukan oleh Tim yang ditetapkan oleh Bupati.

(37)

b) Ketentuan Pidana

Ketentuan-ketentuan pidana atas tindak pidana minuman keras diatur pada Pasal 8 yang menegaskan sebagai berikut:

(1) Barang siapa terbukti bersalah melanggar Pasal 4 ayat (1) diancam dipidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan.

(2) Barang siapa terbukti bersalah melanggar Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (1), diancam dipidana kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 5.000.000 (lima juta rupiah).

(3) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) adalah tindak pidana pelanggaran.

Pasal 9 lebih lanjut menegaskan sebagai berikut:

Bagi tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), (2) dan (3) dikenakan pidana tambahan yaitu usahanya dapat ditutup dan atau barang buktinya disita untuk dimusnahkan.

2. Data Primer

Data primer diperoleh dengan melakukan wawancara secara bebas terpimpin dengan Kepala Satuan Sabhara Polres Banyumas, yaitu Bambang Sidik. Wawancara atau interview bebas terpimpin adalah suatu wawancara yang di dalamnya terdapat unsur kebebasan, namun terdapat juga pengarahan pembicaraan secara tegas, serta pengontrolan-pengecekan dan penilaian. Adapun hasil wawancara tersebut adalah sebagai berikut:59

(38)

1) Dalam pelaksanaan pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol di wilayah hukum Polres Banyumas ditemukan beberapa pelanggaran tentang penjualan minuman keras, seperti terdapatnya kios-kios kecil yang tidak memiliki izin dalam penjualan minuman keras, minuman keras yg dijual tidak berstiker izin dari pemerintah setempat dalam hal ini izin Bupati Banyumas. 2) Ditemukan Minuman keras yang dijual melewati batas kadar alkohol yang

telah ditetapkan yaitu diatas 5% dan waktu penjualan minuman keras tersebut di atas jam 00,00.

3) Dalam operasinya Polres Banyumas mendata sebagai berikut :

Bulan Hasil Operasi

Tersangka Barang Bukti

Januari 2010 11 orang 71 Boto Miras

17 Liter Miras Jenis Ciu

Februari 2010 16 orang 104 botol Miras jenis anggur

23,5 Liter Miras Jenis Ciu 145 Liter Miras jenis Tuak

Maret 2010 11 orang 64 Botol Miras Jenis Anggur

38 Liter Miras Jenis Ciu 74 Liter Miras Jenis Tuak

April 2010 21 orang 43 Botol Miras Jenis Anggur

80,5 Liter Miras Jenis Ciu 177 Liter Miras Jenis Tuak

Mei 2010 4 orang 15 Botol Miras Jenis Anggur

21 Liter Miras Jenis Ciu

Juni 2010 15 orang 21 Botol Miras Jenis Anggur

(39)

129 Liter Miras Jenis Ciu

Juli 2010 18 orang 67 Botol Miras Jenis Anggur

74 Liter Miras Jenis Tuak 24 Liter Miras Jenis Ciu

Agustus 2010 10 orang 29 Botol Miras Jenis Anggur

40 Liter Miras Jenis Tuak 20 Liter Miras Jenis Ciu

Agustus 2011 5 orang 12 Botol Miras Jenis Anggur

10 Liter Miras jenis Tuak 20 Liter Miras Jenis Ciu

Oktober 2011 7 orang 2 Botol Miras Jenis Anggur

87 Liter Miras Jenis Ciu

November 2011 3 orang 24 Botol Miras Jenis Tuak

2 Liter Miras Jenis Ciu

Desember 2011 6 orang 23 Botol Miras Jenis Anggur

9 Botol Miras Jenis Vodca 51,5 Liter Miras Jenis Ciu

Januari 2012 4 orang 24 Liter Miras Jenis Ciu

Februari 2012 17 orang 63 Botol Miras Jenis Anggur

89 Liter Miras Jenis Ciu 66 Liter Miras Jenis Tuak

Maret 2012 4 orang 11 Botol Miras jenis Anggur

23 Liter Miras Jenis Ciu

April 2012 5 orang 4 Botol Miras Jenis Anggur

13 Liter Miras Jenis Ciu 151 Liter Miras Jenis Tuak

Mei 2012 13 orang 62 Botol Miras Jenis Anggur

12 Botol Miras Jenis Vodca 38 Liter Miras Jenis Ciu 2695 Liter Miras Jenis Tuak

(40)

B. Pembahasan

1. Dampak Negatif Mengkonsumsi Miras

Berdasarkan hasil wawancara selama melakukan penelitian dalam pelaksanaan pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol di wilayah hukum Polres Banyumas, ditemukan beberapa pelanggaran tentang penjualan minuman keras, seperti terdapatnya kios-kios kecil yang tidak memiliki izin dalam penjualan minuman keras, minuman keras yang dijual tidak berstiker izin dari pemerintah setempat dalam hal ini izin Bupati Banyumas, ditemukan minuman keras yang dijual melewati batas kadar alkohol yang telah ditetapkan yaitu diatas 10 %, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 13 Tahun 2001.

Minuman keras berkadar alkohol yang dikonsumsi berlebihan dapat menimbulkan berbagai dampak negatif terhadap kehidupan sosial, seperti perkelahian, pembunuhan, tindak pemerkosaan. Dan juga psikis bagi yang mengkonsumsinya. Alkohol yang pertama kali ditemukan oleh peradaban Mesir kuno dan Berkembang melalui Yunani Kuno dan Romawi Kuno, ditemukan karena memiliki fungsi dan manfaat bagi kehidupan manusia, diantaranya kerap digunakan dalam prosesi acara ritual adat. Disamping itu alkohol memiliki kegunaan untuk menghangatkan suhu tubuh terutama bagi orang-orang yang hidup pada suhu dingin, dan alkoholpun kerap digunakan sebagai antiseptik pada luka terbuka.Namun seiring dengan perkembangan zaman, kegunaan alkohol kerap disalahgunakan.

Sedangkan menurut Wikipedia Ensiklopedia bebas alkohol dapat dibedakan menjadi beberapa jenis :

(41)

 Bir  Bourbon  Brendi  Brugal  Caipirinha  Chianti  Jägermeister  Mirin  Prosecco  Rum  Sake  Sampanye  Shōchū  Tuak  Vodka  Wiski

Alkohol yang telah tercampur dalam minuman kerap dikonsumsi sebagai media untuk mabuk-mabukan. Bila dikonsumsi berlebihan dapat menimbulkan Gangguan Mental Organik (GMO) yaitu gangguan dalam fungsi berfikir, merasakan,dan berprilaku. Timbulnya GMO tersebut merupakan reaksi langsung terhadap sel-sel saraf pusat dikarenakan sifat adiktif alkohol tersebut.60

Mereka yang terkena GMO biasanya akan cenderung lebih berani dan tingkat emosionalnya lebih tinggi.Perubahan fisiologis juga terjadi,seperti berjalan tidak mantap, muka merah, atau mata juling. Perubahan psikologis yang dialami oleh konsumen misalnya mudah tersinggung, bicara ngawur atau kehilangan konsentrasi. Seperti yang dijelaskan oleh Dra.Hartati Nurwijaya dan Prof.Zullies Ikawati Phd, akibat penyalahgunaan alkohol / minuman keras antara lain :

60 Bersumber dari www.google.com

Referensi

Dokumen terkait

Selanjutnya, dapat kami informasikan pula berdasarkan surat Kepala Kantor Regional III Badan Kepegawaian Negara Nomor : 640/1/KR.III/VIII/2020 tanggal 11 September 2020

Untuk listing yang lebih panjang (verbose) dari sembarang query gunakan opsi ”-v” (verbose) yang menunjukkan semua field pada paket reply dan merupakan titik temu yang

4 Bagi masyarakat yang mempunyai hak eigendom verponding, dan pemerintah melalui kantor pertanahan (BPN) masih melayani konversi eigendom verponding menjadi sertifikat

Uraian perancangan penguat kelas D tanpa tapis LC meliputi perancangan tiap bagian yang meliputi perancangan loop filter ( ) pada bagian modulator dan perancangan pengkuantisasi

Malah, menjadi penempatan transit bagi pelatih sebelum ditetapkan balai berkhidmat, kawasan yang berkeluasan 76 hektar itu turut ditempatkan sebagai depoh

Berdasarkan pada kesimpulan dalam penelitian eksperimen dalam konseling kelompok dengan teknik self-instruction untuk meningkatkan kepercayaan diri siswa, maka peneliti

Siswa diberikan soal oleh guru yaitu menjumlahkan 2 bilangan bulat positif dengan lantai garis bilangan siswa.. Siswa diberikan soal oleh guru yaitu menjumlahkan 2

Kesimpulan Analisis Penerapan Latihan Keterampilan Mental pada Elemen Bangunan .... Kerangka Konsep