i
LAPORAN AKHIR
KAJIAN BENTUK PELAYANAN LANJUT USIA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
TIM PENYUSUN
INTERDISCIPLINARY ISLAMIC STUDIES-KESEJAHTERAAN SOSIAL
PROGRAM PASCASARJANA UIN SUNAN KALIJAGA
DINAS SOSIAL
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA 2014
ii
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas perkenan-Nya, sehingga kami bisa menyelesaikan laporan akhir Kajian Bentuk Pelayanan Lanjut Usia. Dalam konteks kajian bentuk pelayanan lanjut usia ini, metode kualitatif dianggap relevan dengan harapan mampu menangkap bagaimana partisipan riset yakni lanjut usia dan stakeholder lansia di D.I. Yogyakarta memandang dan memberi makna terhadap kebijakan dan program pelayanan kesejahteraan yang di terima dari pemerintah atau pihak lain. Pengalaman, persepsi dan interpretasi para partisipan dalam menerima pelayanan sosial menjadi fokus dalam penelitian ini, untuk kemudian dibangunlah sebuah model pelayanan kesejahteraan yang dianggap tepat dan efektif berdasarkan persepsi dan pengalaman tadi.
Pada Bab I disampaikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan kegiatan, hasil kajian (output), manfaat kegiatan dan sistematika laporan. Pada Bab II disampaikan mengenai landasan konseptual teori, arah kebijakan, dan bentuk program untuk lansia. Dijelaskan pula mengenai definisi lanjut usia, teori sosial lansia, prinsip dan arah kebijakan, gambaran program pelayanan sosial lansia dan kesimpulan. Pada Bab III disampaikan mengenai metodologi penelitian yang meliputi jenis penelitian, lokasi dan peserta penelitian, teknik pengumpulan data dan analisis data.
iii
Pada Bab IV disampaikan mengenai evaluasi terhadap penyelenggaraan program kesejahteraan sosial lanjut usia. Di dalamnya meliputi kerangka evaluasi dan hasil evaluasi. Hasil evaluasi terdiri dari Pelayanan Kesejahteraan Sosial di dalam Panti, Bantuan Permakanan, Jaminan Sosial lanjut Usia (JSLU), Program Pelayanan Sosial Home Care, Program Bantuan Investasi Sosial Melalui Usaha Ekonomi Produktif (UEP) Lanjut usia dan Program Pengembangan Kelembagaan dan Organisasi Lanjut Usia.
Selanjutnya, pada Bab V disampaikan mengenai Pengembangan Program Pelayanan Sosial Lanjut Usia, yang meliputi pembahasan tentang Prinsip–Prinsip Pelayanan; Pelayanan yang Inklusif dan Holistik, Pelayanan Berbasis Keluarga dan Masyarakat, Twin-Track Approach: Perlindungan Sosial dan Pemberdayaan Keluarga, Regulasi Pelayanan Sosial Lanjut Usia. Dan, Pengembangan Program Pelayanan Sosial Lanjut Usia; Pengembangan Program Pelayanan Dalam Panti, Program Perlindungan Sosial, Program Bantuan Permakanan (Food Stamp), Program
Home Care dan Bedah Rumah, Day Care-Posyandu Lansia, Program Pengembangan
Ekonomi Bagi Lanjut Usia Dan Keluarga, Fasilitasi Perkumpulan Lanjut Usia dan LKS yang Bekerja dalam Bidang Pelayanan Sosial Lanjut Usia, Advokasi Desa dan Kota Ramah Lanjut Usia, Program Penguatan Jalinan Lintas Generasi, Pelayanan Sosial Pada Situasi Bencana, dan Layanan Sosial Paripurna. Kemudian, pada Bab VI Penutup disampaikan mengenai kesimpulan dan rekomendasi bentuk program pelayanan kesejahteraan sosial lanjut usia.
Akhirnya tim kajian berharap semoga laporan akhir ini dapat digunakan sebagai bahan masukan Pemerintah Daerah dalam upaya untuk dijadikan rekomendasi kebijakan pelayanan sosial bagi lanjut usia pada umumnya di Dinas Sosial Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.
iv Tim Penyusun DAFTAR ISI Halaman Sampul ... i Kata Pengantar ... ii Daftar Isi... iv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1 B. Rumusan Masalah ... 10 C. Tujuan Kegiatan ... 10
D. Hasil Kajian (Output) ... 12
E. Manfaat Kegiatan ... 13
F. Sistematika Laporan ... 17
BAB II LANDASAN KONSEPTUAL TEORI, ARAH KEBIJAKAN dan BENTUK PROGRAM UNTUK LANSIA A. Definisi Lanjut Usia ... 20
B. Teori Sosial Lansia ... 22
C. Prinsip dan Arah Kebijakan ... 32
D. Gambaran Program Pelayanan Sosial Lansia ... 38
1. Perlindungan Sosial (Social Protection) ... 38
2. Layanan Kesehatan ... 44
3. Perawatan Non Medis ... 48
4. Aksesibilitas fisik ... 55
5. Program Antar Generasi (Intergenerational Program) ... 56
v
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian ... 62
B. Lokasi dan Peserta Penelitian ... 62
C. Teknik Pengumpulan Data ... 64
D. Analisa Data ... 70
BAB IV EVALUASI TERHADAP PENYELENGGARAAN PROGRAM KESEJAHTERAAN SOSIAL LANJUT USIA A. Kerangka Evaluasi ... 73
B. Hasil Evaluasi ... 74
1. Pelayanan Kesejahteraan Sosial di dalam Panti ... 75
2. Bantuan Permakanan ... 76
3. Jaminan Sosial lanjut Usia (JSLU)... 98
4. Program Pelayanan Sosial Home Care... 121
5. Program Bantuan Investasi Sosial Melalui Usaha Ekonomi Produktif (UEP) Lanjut usia ... 128
6. Program Pengembangan Kelembagaan dan Organisasi Lanjut Usia ... 143
BAB V PENGEMBANGAN PROGRAM PELAYANAN SOSIAL LANJUT USIA A. Prinsip–Prinsip Pelayanan ... 148
1. Pelayanan yang Inklusif dan Holistik... 148
2. Pelayanan Berbasis Keluarga dan Masyarakat... 151
3. Twin-Track Approach: Perlindungan Sosial dan Pemberdayaan Keluarga ... 155
vi
4. Regulasi Pelayanan Sosial Lanjut Usia ... 157
B. Pengembangan Program Pelayanan Sosial Lanjut Usia ... 160
1. Pengembangan Program Pelayanan Dalam Panti ... 160
2. Program Perlindungan Sosial ... 163
3. Program Bantuan Permakanan (Food Stamp) ... 166
4. Program Home Care dan Bedah Rumah ... 168
5. Day Care-Posyandu Lansia ... 172
6. Program Pengembangan Ekonomi Bagi Lanjut Usia dan Keluarga ... 173
7. Fasilitasi Perkumpulan Lanjut Usia dan LKS yang Bekerja dalam Bidang Pelayanan Sosial Lanjut Usia... 177
8. Advokasi Desa dan Kota Ramah Lanjut Usia ... 180
9. Program Penguatan Jalinan Lintas Generasi ... 183
10. Pelayanan Sosial Pada Situasi Bencana ... 184
11. Layanan Sosial Paripurna ... 192
BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan ... 194
B. Rekomendasi ... 196
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tumbuhnya populasi lansia dan bertambahnya usia harapan
hidup di berbagai masyarakat di dunia telah melahirkan apa yang
sering disebut dalam literatur sebagai population aging atau aging
society—dalam istilah Indonesia disebut masyarakat struktur tua—
yakni melonjaknya proporsi jumlah lanjut usia dibandingan dengan
kelompok muda. Perubahan demografi ini kerap diasosiasikan
sebagai fenomena negara maju seperti Jepang, Amerika, Jerman
dan negara-negara Skandinavia. Data tahun 2005 di Amerika
(USA), misalnya, menunjukan bahwa penduduk USA yang berusia
lebih dari 65 tahun mencapai 12 persen dari keseluruhan populasi.
Menurut prediksi majalah Time edisi Mei 2014, pada 2050 angka
ini akan melonjak tajam mencapai 27 persen dari populasi total.
Prediksi yang sama menyatakan bahwa pada tahun yang sama
2
Jepang akan memiliki jumlah populasi lansia sebesar 42% dari
total populasi.
Perkembangan akhir menunjukan bahwa fenomena aging
ternyata juga dialami negara-negara berkembang, termasuk
Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun
2010 angka lanjut usia di Indonesia mencapai 18,04 juta jiwa atau
sekitar 7,6 % dari total populasi (Kementerian Sosial, 2011).
Sumber lain menyebutkan bahwa dari tahun 2000 sampai 2010
jumlah lansia Indonesia meningkat dari 7,1% menjadi 9,77 % dan
prediksi tahun 2020 angkanya bahkan mencapai 11,34% dari total
populasi. Perkembangan jumlah lansia di atas terefleksi dalam
perubahan primida struktur demografi sebagaimana di gambarkan
dibawah ini.
3
Piramida Penduduk Indonesia
Perbandingan Tahun 1970 dan 2010
____________________________________________________
1970
2010
Menariknya, masih menurut data BPS 2011 diantara semua
propinsi di Indonesia, Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan
propinsi dengan jumlah lansia tertinggi, yakni mencapai 13,7
persen dari total populasi. Jumlah ini jauh lebih tinggi misalnya
dari Papua yang hanya 1,97 % atau Jakarta yang hanya mencapai
5,24%, sebagaimana dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
4
Studi menunjukkan bahwa tajamnya peningkatan populasi
lansia sangat erat kaitannya dengan meningkatnya usia harapan
hidup (life expectancy). Dalam konteks ini, Daerah Istimewa
Yogyakarta persepsi ini terbukti. Angka harapan hidup di propinsi
ini lebih tinggi dibandingkan dengan propinsi lain di Indonesia.
Hasil proyeksi dasar sensus penduduk (SP) pada 2010 menunjukan
usia harapan hidup orang di Yogyakarta mencapai 74,2 tahun,
diikuti oleh Kalimantan Timur (72,9 tahun), Jawa Tengah (72,7
tahun), dan DKI Jakarta (71,4 tahun). Sementara itu, SP 2010 juga
menunjukan bahwa pada 2035 nanti, diproyeksikan usia harapan
hidup Yogyakarta mencapai 75,5 tahun, masih tertinggi dibanding
5
provinsi yang lain. Disamping tingginya usia harapan hidup
sebagaimana dicantumkan di atas, Yogyakarta juga disinyalir
menjadi kota tujuan pensiun. Biaya hidup yang masih relatif
rendah, suasana kota yang tenang, serta keramahan alam dan
budayanya menarik lansia dari berbagai daerah untuk
menghabiskan masa tuanya di Yogyakarta. Faktor-faktor inilah
yang menjelaskan tinggi angka lansia di Yogyakarta.
Meningkatnya populasi lansia jelas memiliki implikasi
penting pada hampir semua sektor kehidupan dan karenanya
negara perlu merespon dengan kebijakan yang tepat. Berita yang
banyak muncul dari negara-negara maju misalnya menyebutkan
salah satu konsekuensi dari aging society adalah tingginya
anggaran kesehatan dan sosial bagi pelayanan lansia. Hal ini
dianggap menjadi beban ekonomi yang signifikan bagi negara,
terutama karena meningkatnya jumlah lansia berarti menurunnya
usia produktif yang menjadi roda ekonomi bagi negara. Di
Indonesia, termasuk juga DIY, lansia sangat erat dengan isu
6
kemiskinan, kesehatan atau penyakit dan difabilitas. Tidak heran
jika target utama dari program-program pelayanan kesejahteraan
sosial yang sekarang adalah lansia miskin atau terlantar. Padahal,
tingginya populasi lansia di DIY dan proyeksi meningkatnya
jumlah mereka ke depan, mengindikasikan bahwa lansia bukanlah
populasi homogen; mereka tidak bisa direduski dalam satu
kelompok yakni lansia miskin. Kondisi tersebut mengindikasikan
pentingnya sebuah kebijakan dan pelayanan sosial yang tepat dan
efektif bagi kelompok ini. Dalam kacamata yang lebih luas,
meningkatnya populasi lansia menuntut semua pihak untuk
memikirkan cara yang efektif bagi pemenuhan hak- hak lanjut usia
baik terkait aspek ekonomi, kesehatan, kesejahteraan dan kualitas
hidup serta aspek sosial lain.
Selama ini beberapa kebijakan yang secara khusus mengatur
lansia sudah ditetapkan oleh pemerintah melalui Kementerian
Sosial. Diantara yang paling signifikan adalah Undang-undang no.
13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia. Undang–undang
7
ini juga sudah dilengkapi dengan peraturan pendukung yakni PP
no. 43 tahun 2004 tentang Pelaksanaan Upaya Peningkatan
Kesejahteraan Sosial Lanjut Usia. Peraturan tersebut mengatur
secara cukup detail upaya pemenuhan hak lansia dari berbagai
aspek; mulai dari pelayanan spiritual, pendidikan dan ketrampilan,
kesehatan, perluasan lapangan kerja, kemudahan mengakses
layanan umum, sampai pada perlindungan sosial dan bantuan
hukum.
Dalam implementasinya, kebijakan di atas diterjemahkan
dalam berbagai program dan layanan sosial, baik yang secara
spesifik di tujukan untuk lansia, maupun layanan yang ditargetkan
kepada kelompok rentan atau miskin, dimana lansia menjadi salah
satu targetnya. Kementerian sosial misalnya memiliki beberapa
program pokok seperti:
Asistensi Lanjut Usia ( Aslut)
Jaminan Sosial Lanjut Usia ( JSLU)
8
Posyandu Lansia
Usaha Ekonomi Produktif
Pelayanan lansia berbasis panti
Bantuan Makanan
Bedah Rumah
Pelayanan berbasis masyarakat
Tentu saja dalam pelaksanan program layanan di atas, ada
banyak permasalahan atau setidaknya dinamika yang terjadi.
Penelitian awal menunjukkan bahwa program-program pelayanan
sosial di atas belum semuanya bisa dijalankan dengan efektif dan
belum mampu menjawab kebutuhan serta pemenuhan hak lansia di
DIY. Salah satu isu yang kerap muncul adalah terbatasnya
jangkauan program, atau dengan kata lain, ketidaksesuaian antara
jumlah lansia yang memerlukan layanan dengan jumlah penerima
yang bisa diberikan oleh pemerintah. Hal ini disebabkan antara
lain oleh minimnya anggaran yang dimiliki pemerintah untuk
program-program tersebut. Dalam dua tahun terakhir misalnya
9
terdapat penurunan jumlah (nominal) bantuan atau pengurangan
jumlah penerima beberapa program seperti home care dan JSLU.
Isu lain yang muncul terkait dengan masih minimnya bentuk
layanan yang ditawarkan serta ketidak sesuai antara bentuk
layanan dengan kebutuhan lansia. Layanan yang ada misalnya
sangat terfokus untuk lansia miskin, sementara populasi lansia di
DIY bukanlah populasi yang homogen melainkan kelompok
heteregon dari segi gender, kondisi fisik, kondisi sosial ekonomi
dan sebagainya sehingga membutuhkan program dan layanan yang
beragam pula.
Dalam rangka mewujudkan sebuah model layanan yang
efektif, tepat sasaran, berkualitas dan mampu memenuhi hak
lansia, dibutuhkan sebuah kajian yang mendalam. Inilah maksud
dari diadakannya kajian ini. Dengan menganalisa pelaksanaan
program dan pelayanan lansia yang sudah ada di DIY dalam
berbagai aspeknya kajian ini diharapkan mampu mengidentifikasi
kebutuhan lansia dan menganalisa kekuatan dan tantangan dalam
10
implementasi program untuk kemudian dijadikan landasan dalam
menyusun desain program dan pelayanan kesejahteraan sosial
yang tepat.
B. Rumusan Masalah
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, kajian ini
berupaya untuk menjawab paling tidak dua pertanyaan penting,
yakni:
1) Bagaimana implementasi program layanan lanjut usia di DIY
Yogyakarta baik yang ditawarkan oleh dinas sosial dan
SKPD lain? Pertanyaan ini dimaksudkan untuk menganalisa
cakupan program, target sasaran dan prosedur pelaksanaan.
2) Apa dan bagaimana bentuk program dan layanan yang
dibutuhkan dan dianggap efektif dalam rangka pemenuhan
hak, peningkatan kesejahteraan, dan kualitas hidup lansia di
Yogyakarta?
11
C. Tujuan Kegiatan
Kajian ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran
masalah, kebutuhan dan kepentingan lanjut usia di DIY. Kajian ini
akan
mereview
pelaksanaan
program-program
pelayanan
kesejahteraan sosial lansia yang ada di DIY, bagaimana
cakupannya, mekanisme penyelenggaraan dan hambatan serta
tantangan yang dihadapi. Berdasar evaluasi tadi akan didapatkan
gambaran mengenai hak dan pelayanan yang seharusnya diterima
dan pelayanan yang telah diterima sampai saat ini.
Informasi yang di dapatkan dari evaluasi tadi akan dijadikan
sebagai bahan untuk merumuskan rekomendasi mengenai desain
dan bentuk pelayanan kesejahteraan yang efektif dan memenuhi
kebutuhan lansia DIY. Selanjutnya rekomendasi dari kajian ini
diharapkan dapat membantu Dinas Sosial dan SKPD terkait untuk
menyelenggaraan pelayanan kesejahteraan sosial bagi lansia yang
lebih baik. Diharapkan juga kajian ini bisa mendorong terciptanya
koordinasi dan sinergi antar stakeholder lansia, sehingga
program-12
dan kegiatan dapat dilaksanakan lebih efektif dan efisien.
Partisipasi lansia juga semakin meningkat, dan di masyarakat
terjadi perubahan persepsi dan praktek sosial yang lebih baik
terhadap lansia. Dengan demikian DIY tidak hanya pelopor dalam
formulasi kebijakan progresif dan afirmatif, tetapi juga dapat
menjadi best practices dalam penyelenggaraan pelayanan bagi
perlindungan dan pemenuhan hak-hak dan kesejahteraan lansia.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji implementasi
program-program Pelayanan Sosial bagi Lansia di DIY. Secara
spesifik penelitian ini ingin mengungkap, pertama, bagaimana
cakupan atau tingkat keterjangkauan program-program sosial yang
ada dan bagaimana prosedur implementasinya. Kedua, bagaimana
persepsi penerima manfaat, pendamping dan petugas pelaksana
terhadap program-program yang diberikan? Ketiga, bentuk dan
desain layanan seperti apa yang dibutuhkan oleh lansia?
13
Kajian ini akan menghasilkan beberapa temuan yang
berupa:
1. Gambaran permasalahan, kebutuhan dan kepentingan lansia
DIY.
2. Gambaran program dan kegiatan pelayanan kesejahteraan
sosial lansia yang telah diselenggarakan berikut hasil-hasil dan
permasalahannya.
3. Rencana Aksi, pentahapan, roadmap (milestone) untuk
perencanaan program dan kegiatan (jangka pendek, jangka
menengah dan jangka panjang).
E. Manfaat Kegiatan
Hasil-hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi
sumber masukan penting dalam melakukan perencanaan program,
baik perencanaan strategis maupun perencanaan program tahunan.
Sebagaimana di singgung di atas, lansia belum sepenuhnya
menjadi perhatian serius dalam upaya kebijakan dan kesejahteraan
14
sosial di Indonesia, termasuk di DIY, padahal secara demografis
jumlah mereka semakin signifikan.
Faktor yang juga menjadi aspek penting dalam kajian ini
adalah penegasan terhadap perlunya perubahan perspektif tentang
lansia. Pertama, perlu disadari bahwa lansia bukanlah kelompok
tunggal, melainkan populasi yang—sebagaimana kelompok sosial
lain—memiliki keragaman identitas sosial: gender, latar belakang
ekonomi dan sosial bahkan keragaman kondisi fisik. Melihat
program dan pelayanan kesejahteraan sosial yang masih sangat
terfokus pada lansia miskin mengindikasikan bahwa fakta ini
masih belum terlalu disadari. Kedua, filofosi penting yang diusung
oleh masyarakat internasional terkait lansia adalah perspektif
positif
tentang
ketuaan
(aging).
Paradigma
lama
yang
mengasosiasikan lansia sebagai kelompok lemah baik secara fisik
maupun
sosial,
pasif
atau
tidak
bisa/perlu
diharapkan
partisipasinya dalam proses pembangunan atau kehidupan, dinilai
tidak lagi tepat. Munculah paradigma baru lansia yang
15
menawarkan nilai-nilai positif seperti: active aging (lansia aktif),
partisipasi, anti diskriminasi, kemandirian dan sebagainya.
Nilai-nilai ini sudah diadopsi oleh lembaga-lembaga internasional seperti
PBB dalam menentukan arah kebijakan dan program–program
kesejahteraan bagi lanjut usia. Dalam konteks Indonesia, UU no.
13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Sosial Lansia belum secara
tegas dan eksplisit mengadopsi nilai dan prinsip tersebut. Untuk
itu, kajian ini juga diharapkan mampu menerjemahkan nilai,
prinsip dan paradigma baru di atas dalam program-program
pelayanan kesejahteraan lansia DIY yang akan di susun.
Aspek lain yang juga akan menjadi perhatian dalam kajian
ini adalah pelayanan terpadu atau pelayanan integratif. Populasi
lansia, sebagaimana di singgung di atas, adalah populasi beragam
dan karenanya memerlukan pendekatan yang beragam pula. Di
dalam UU no. 13 tahun 1998, keragaman lansia yang diakui masih
sebatas kategori potensial dan non potensial dengan kriteria
apakah lansia yang bersangkutan masih mampu bekerja atau tidak.
16
Meski kriteria ini penting namun ada berbagai identitas lain dari
lansia yang akan berpengaruh terhadap bentuk dan jenis program
pelayanan yang dibutuhkan misalnya identitas gender, sosial
budaya dan sebagainya. Persoalan lansia juga persoalan yang
menyentuh semua domain kehidupan, sehingga pelayanan
kesejahteraan bagi populasi harus dari berbagai aspek: sosial,
ekonomi, kesehatan, pelayanan publik dan sebagainya. Hal ini
meniscayakan pentingnya pelayanan terpadu dari berbagai SKPD
mulai dari kesehatan, sosial, pendidikan, perhubungan umum dan
semua penyedia layanan publik. Dalam perspektif yang berbeda,
upaya-upaya
kesejahteraan
dan
pemenuhan
hak
lansia
meniscayakan perspektif yang lebih luas dengan tidak hanya
menfokuskan terhadap lansia itu sendiri, namun dengan
mempertimbangkan lingkungan sosial serta struktur masyarakat
yang vital bagi pemenuhan hak dan kesejahteraan lansia tersebut.
Permasalahan aksesibilitas sarana dan prasarana publik, serta
kesadaran masyaraat khususnya generasi muda tentang lansia
17
misalnya, merupakan dua aspek penting bagi pemenuhan
kesejahteraan dan hak-hak lansia. Kajian ini akan mencoba untuk
mengakomodir faktor-faktor sosial, sistem dan struktural tersebut
ke dalam model pelayanan program lansia yang disusun.
Dengan latar belakang seperti di atas kajian mengenai
program pelayanan kesejahteraan lansia perlu dilakukan.
Hasil-hasil kajian diharapkan bernilai strategis bagi peningkatan dan
pelakaaan program yang sudah ada ataupun pengembangan
program baru, tidak hanya di Dinas Sosial DIY namun juga semua
SKPD terkait. Berdasarkan hasil kajian ini, pemerintah DIY dapat
melakukan scanning kelembagaan dan menyusun rencana strategis.
Inilah manfaat utama dan strategis dari penelitian ini.
F. Sistematika Laporan
Sistematika laporan yang digunakan dalam Kajian ―Desain
Program Pelayanan Kesejeahteraan Sosial Bagi Lanjut Usia‖
Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sebagai berikut:
18
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Kegiatan
Hasil Kajian (Output)
Manfaat Kegiatan
Sistematika Laporan
BAB II LANDASAN KONSEPTUAL TEORI, ARAH
KEBIJAKAN dan BENTUK PROGRAM UNTUK
LANSIA
Definisi Lanjut Usia
Teori Sosial Lansia
Prinsip dan Arah Kebijakan
Gambaran Program Pelayanan Sosial Lansia
Kesimpulan
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Jenis Penelitian
Lokasi dan Peserta Penelitian
Teknik Pengumpulan Data
19
BAB IV EVALUASI TERHADAP PENYELENGGARAAN
PROGRAM KESEJAHTERAAN SOSIAL LANJUT USIA
Kerangka Evaluasi
Hasil Evaluasi
BAB V PENGEMBANGAN PROGRAM PELAYANAN
SOSIAL LANJUT USIA
Prinsip–Prinsip Pelayanan
Pengembangan Program Pelayanan Sosial Lanjut Usia
BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
Rekomendasi
20
BAB II
LANDASAN KONSEPTUAL
TEORI, ARAH KEBIJAKAN dan BENTUK PROGRAM UNTUK LANSIA
A. Definisi Lanjut Usia
Bagaimana kita memandang dan memperlakukan lanjut usia (selanjutnya disebut lansia) sangat berpengaruh terhadap kebijakan dan program pelayanan terhadap populasi ini. Hal tersebut mengindikasikan bahwa lansia merupakan sebuah konsep yang dikonstruksi/dibangun oleh masyarakat (socially constructed). Tidak heran jika bagaimana lansia di pandang dan definisikan berubah seiring perkembangan peradaban manusia itu sendiri. Secara umum, definisi ―legal formal‖ lansia yang banyak di temui di berbagai belahan dunia saat ini, adalah definisi yang didasarkan pada faktor biologis yakni usia. PP. No. 43 tahun 2004 tentang Pelaksanaan Upaya Peningkatan Kesejahteraan Lanjut Usia misalnya menetapkan bahwa Lansia adalah mereka yang sudah mencapai umur 60 tahun. Di negara lain seperti Kanada, AS, Jerman usia minimal yang mendefinisikan lansia sedikit lebih tinggi, yakni 65 tahun. Usia minimal inilah biasanya menjadi standar pensiun, tunjangan serta kebijakan dan program untuk populasi lansia. Batasan usia 65 juga dianut oleh masyarakat dan badan internasional seperti PBB.
21
Semakin di sadari bahwa batasan biologis (berdasarkan usia) di atas semakin sulit untuk dipertahankan sebagai satu-satunya faktor definitif yang menjadi landasan kebijakan dan program terutama karena individu dengan umur 60 atau 65 tahun akan menunjukkan kondisi dan kebutuhan yang berbeda. Sebagai ilustrasi, di bawah ini adalah beberapa kondisi yang tim penulis temui dilapangan:
Pak Alex (bukan nama sebenarnya) seorang pensiunan guru besar di sebuah PT di Yogyakarta, berusia 70 masih terlihat segar dan sehat. Ada beberapa keluhan kesehatan yang beliau miliki seperti darah tinggi, namun dengan kemampuan pak Alex mengkontol diet dan nutrisi serta pemeriksaan rutin ke dokter keluarga, kesehatan fisik pak Alex masih terjaga. Beliau aktif menjadi anggota Komis Daerah Lansia DIY dan juga aktif di Muhammadiyah serta menjadi dewan penasehat di sebuah Yayasan pendidikan. Beliau masih sibuk menjadi pembicara di berbagai seminar dan asosiasi ptofesi. Setiap dua atau 3 bulan dia juga berkunjung secara bergantian ke rumah anak-anaknya yang tinggal di kota Jakarta, Riau dan satunya bahkan di Kuala Lumpur. Dengan segala aktivitas profesional dan sosialnya, pak Alex berkata‖ saya sadar sekali bahwa usia saya sudah 70 tahun tapi saya tidak pernah merasa tua‖ ( Interview, 24 Mei 2014)
Sementara bapak Wagiyo, juga berusia 70, dari Pajangan Bantul harus banyak berdiam diri di rumah, bahkan di atas tempat tidur karena gangguan jantung dan pernafasan yang di deritanya. Mbah Wagiyo jarang sekali keluar dari lingkungan rumah, aktivitas yang dilakukan hanya seputar ke kamar mandi yang berada 3 meter dari rumah, itupun dengan bantuan tongkat. Saat tubuhnya sedikit sehat, dan itu sangat jarang, dia memaksakan diri mencari rumput dibelakang rumah anaknya. Sebagai ―pensiunan‖ buruh tani, dia tidak pernah mampu membeli tanah dan semasa muda tinggal di rumah yang dibangun di tanah majikannya (megarsari). Kini dia harus tinggal dengan salah satu anak perempuannya yang juga memiliki 3 anak usia sekolah, suami yang memiliki difabilitas dan tidak bekerja sehingga mengharuskan anak perempuannya ini menjadi penjual pecel keliling. Penghasilan anaknya sebagai penjual
22
pecel tidak selalu cukup mencukupi kebutuhan makan sehari, sementara bantuan ASLUT yang diterima Mbah Wagiyo hanya sekitar 200 ribu, tidak selalu cukup untuk membeli susu dan makanan bergizi lainnya. Terlebih Mbah Wagiyo harus sering memanggil mantri atau dokter ke rumahnya untuk jantungnya karena—meski dia memilik kartu Jamkesmas/JSN—hambatan mobilitas yang dia miliki tidak memungkinkannya pergi ke Puskesmas yang jaraknya 15 km dari rumah anaknya. (Visitasi di kediaman pak Wagiyo 13 Juni 2014)
Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa usia serta karakter-karakter yang biasanya diasosiasikan dengan lansia seperti kondisi fisik lemah, tidak mandiri/butuh bantuan, linglung dan lainnya tidak selalu bisa diaplikasikan untuk semua lansia. Lansia adalah kelompok yang beragam, dan karenanya apa itu tua dan siapa lansia tidak bisa didefinisikan secara tunggal. Kondisi individu lansia akan dipengaruhi oleh berbagai faktor: gender, kondisi sosial ekonomi, dan latar belakang pendidikan dan budaya, kondisi fisik dan kesehatan serta aspek lain. Dalam kacamata yang lebih luas, Lansia merupakan konsep yang selalu berubah dan berkembang sesuai perkembangan masyarakat.
B. Teori Sosial Lansia
Literatur tentang lansia menawarkan banyak teori yang mencoba menangkap bagaimana manusia mengkonsepsikan lansia. Di masa lalu misalnya konsep ―usia emas‖ (golden age) merupakan perspektif dominan yang banyak di anut berbagai budaya. Dalam pandangan ini individu lanjut
23
usia dianggap lebih dekat kepada Tuhan, dan karenanya, perilaku dan posisi mereka di masyarakat mencerminkan kedekatan ini. Kebijaksanaan (wisdom), spiritualitas dan kekuatan magis merupakan beberapa keistimewaan yang dimiliki oleh lansia karena pengalaman panjang mereka menjalani hidup atau karena kedekatan mereka dengan tahap akhir kehidupan: kematian.
Kemudian muncullah teori modernitas (Cogwill and Holmes, 1972) yang berargumen bahwa munculnya materialism, industrialisasi, urbanisasi dan westernisasi dalam panggung peradaban manusia sedikit banyak berimplikasi pada runtuhnya otoritas keagamaan dan solidaritas keluarga yang kemudian menyebabkan menurunnya penghargaan terhadap keistimewaan-keistimewaan yang diasosiasikan dengan usia lanjut tadi. Perubahan cara pandang ini sangat wajar muncul karena pertimbangan material yakni berubahnya otoritas dan kontrol yang dimiliki oleh lansia terhadap sumber daya (resources). Ketika lansia menguasai sumber daya: tanah, rumah hunian keluarga, dan asset keluarga lain serta memegang otoritas dalam semua aspek kehidupan sosial: pernikahan, status sosial, informasi dan lainnya maka sangat wajar generasi muda menghargai mereka. Namun ketika perubahan zaman dan struktur masyarakat memungkinkan generasi muda mencari pekerjaan di luar komunitas, pergi ke kota, dan browsing di internet, maka kebutuhan dan alasan menghargai lansia menurun bahkan hilang. Tentu saja,
24
teori ini banyak mendapatkan kritik terutama karena idenya yang sangat simplistik. Peran orang tua dalam masyarakat tradisional sekalipun beragam: mereka tidak selalu mendapatkan posisi istimewa dalam masyarakat, dan tidak sedikit yang hidup dalam kondisi kemiskinan dan jauh dari sejahtera tanpa ada dukungan keluarga atau masyarakat. Namun bagi para politisi dan pemegang kebijakan, teori materialist ini cukup menarik karena menjustifikasi mereka untuk menetapkan kebijakan tentang perlunya melestarikan nilai tradisional yang meletakkan lansia dalam posisi superior dan karenanya,
kebijakan serta support dari pemerintah terhadap lansia tidak dibutuhkan.
Kajian tentang lansia dalam konteks gerontologi sosial berawal pada akhir 1940 an ketika muncul perubahan demografik dan sosial yang diakibatkan perang dunia ke II. Negara-negara Eropa dan Amerika Serikat pada kurun waktu itu mulai melihat isu aging sebagai fenomena sosial yang penting dan karenanya perlu dikaji dengan serius (Vincent. 1996). Mulai saat itulah—untuk pertama kali—dunia politik dan ekonomi memandang lansia sebagai masalah atau problem sosial (Jones, 1993). Tidak heran jika literatur gerontologi di Barat—yang kurang lebih merepresentasikan pandangan modern masyarakat barat—mencerminkan adanya persepsi negatif terhadap lansia.
25
Mazhab Fungsional: Teori Disengagement, Teori Aktif dan Teori Kontinuitas
Salah satu teori yang berpengaruh dalam dunia gerontologi adalah teori disenggagment yang di gagas oleh Elaine Cummins and William Henry (1961). Mengadopsi paradigma fungsionalis-struktural yang sangat dominan di Amerika pada kurun 1930–1960an, teori ini berasumsi bahwa lansia perlu menarik diri (disengage) dari kehidupan ekonomi dan sosial dalam masyarakat untuk menyiapkan diri memasuki pensiun abadi (ultimate
disengagement) yakni kematian. Proses ini merupakan proses yang tidak saja
tak terhindarkan dan bersifat universal, tapi juga berguna dan dibutuhkan oleh kedua belah pihak yakni lansia sendiri dan masyarakat di sekitarnya. Bagi lansia, proses ini merupakan masa peralihan yang mengantarkan hilangnya peran yang harus mereka emban sebagai orang tua atau professional yang secara aktif bekerja. Proses penarikan diri ini juga dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada lansia melakukan refleksi diri sambil menyerahkan tanggung jawabnya kepada generasi muda. Bagi masyarakat,
disengagement yang dilakukan lansia memungkinkan beralihnya tanggung
26
yang mereka miliki kepada generasi muda, yang pada gilirannya— memungkin generasi ini memiliki fungsi signifikan dalam masyarakat. Dengan kata lain, proses penarikan diri lansia dari kehidupan sosial ekonomi dimaksudkan sebagai upaya mengurangi disrupsi (gangguan) sosial dan menjaga keseimbangan sosial, lebih tegasnya, memungkinkan masyarakat tetap berfungsi ketika anggota senior mereka harus meninggal (Neurgarten, 1998). Selanjutya teori ini juga menyatakan bahwa proses penarikan diri tersebut dianggap natural karena menurunnya kemampuan fisik dan mental-psikologis yang dialami oleh individu lanjut usia.
Banyak yang berargumen bahwa teori ini jelas memiliki implikasi pada kebijakan dan realitas kehidupan lansia. Misalnya saja pada dekade 60an komunitas lansia di negara-negara industri sangat di dukung untuk melakukan disengagement dalam bentuk pensiun dan tidak melakukan intervensi terhadap proses pembanguan dan pengembangan yang sedang dilakukan masyarakat. Bahkan di setting pedesaan—dimana lansia masih diharapkan untuk berpatisipasi melalui pengetahuan dan skillnya—kemajuan tekhnologi telah mengurangi penghargaan masyarakat terhadap pengalaman dan skill lansia.
Seiring dengan berkembangnya demografi lansia secara signifikan, serta kehadiran mereka yang kian terlihat jelas di wilayah publik, klaim
27
universalitas dari teori disengagement mendapatkan perlawanan dan kritik. Salah satunya adalah ‗fungsi positif‖ penarikan diri sebagaimana yang dijelaskan di atas, dalam realitas sosial tidak selalu terjadi. Alih-alih, ketika individu harus menjalani masa pensiun dalam waktu yang signifikan maka yang terjadi adalah isolasi baik secara sosial maupun finansial yang berakibat pada hilangnya martabat lansia. Kritik ini kemudian memunculkan apa yang sering disebut sebagai teori aktif (activity theory). Dalan teori aktif, usia tua dipandang sebagai fase yang terhubung dengan usia pertengahan (middle age) bukan sebagai fase yang sama sekali terpisah baik dalam pengertian biologis maupun psikologis sebagaimana digagas teori disengagement (Havighurst and Albrecht, hal. 953 sebagaimana di kutip Katz 1996). Bagi pengusung teori aktif, usia tua bisa menjadi pengalaman yang dinamis dan kreatif. Peran sosial yang hilang akibat usia tua atau pensiun harus digantikan dengan peran dan aktifitas baru yang bisa memastikan tercapainya kebahagiaan, penghargaan dan kesejahteraan bagi lansia. Pendeknya persepsi aktif menawarkan ―solusi‖ yang sangat efektif bagi masyarakat yang semakin menua. Dapat dilihat bahwa teori ini dibangun beradarkan asumsi bahwa proses biologis menjadi tua bisa dimodifikasi melalui layanan kesehatan modern, sehingga satu-satunya yang membedakan antara usia pertengahan dengan usia tua adalah proses biologis yang bisa dimodifikasi tersebut, dan
28
bukan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Dalam kacamata lain teori ini menegaskan adanya korelasi positif antara aktivitas dan kepuasan hidup; semakin besar hilangnya aktifitas pada lansia, semakin kecil kepercayaan dan rasa berharga yang dimiliki, dan demikin sebaliknya. Lebih singkatnya, harkat dan martabat lansia sangat dipengaruhi peran yang mereka emban dalam masyarakat. Dalam konteks teori ini pensiun menjadi sesuatu yang tidak membahayakan, jika individu tersebut masih menjaga peran dan fungsinya dalam keluarga dan masyarakat.
Dua teori besar di atas dikritik menggunakan pendekatan yang terlalu makro. Teori aktif misalnya gagal menyentuh isu heteroginitas kelompok lansia dan karenanya tidak mampu merespon isu ketidaksetaraan individu. Artinya, tidak semua lansia memiliki kondisi sosial-biologis yang sama, sehingga sebuah persepsi yang menyamakan semua lansia tanpa memandang kebutuhan dan kondisi individu lansia dianggap tidak tepat. Whilst Phillipson (1998) berpendapat bahwa paradigma fungsionalist dalam dua teori di atas memaksaan penjelasan kausalitas dan menempatkan lansia dalam posisi yang sangat terpolarisasi: pensiun atau aktif. Kritik-kritik tersebut di atas kemudian melahirkan lagi sebuah teori baru yang disebut teori kontinuitas— masih dari kubu fungsionalis structural. Teori kontinuitas ini mencoba menawarkan jalan tengah dengan mengemukakan bahwa ketika beranjak tua
29
individu akan menunjukkan pola perilaku yang konsisten dengan mengganti peran yang hilang (akibat usia dan pensiun) dengan peran serupa. Pada saat yang sama, individu ini pun akan menjaga pola adaptasi yang constant atau berkelanjutan dengan lingkungan sosial. Dengan demikian, teori ini menggaris bawahi bahwa kepuasan hidup ditentukan oleh adanya konsistensi antara aktivitas atau pola hidup seorang lansia di saat sekarang dengan pola hidupnya di masa lampau (Neugarten, Havinghurst, Tobin 1968).
Mazhab Kritis–Strukturalis
Sama yang terjadi pada disiplin ilmu lain, mazhab fungsionalisme dalam gerontologi yang telah melahirkan teori-teori besar di atas harus mengakhiri masa kejayannya dengan munculnya ide marxis yang menggugat kapitalisme sebagai nafas masyarakat modern. Marxisme dalam gerontology tereflkesi dalam teori ekonomi politik (political economy of old age); sebuah teori makro yang memberikan fokus pada faktor-faktor sosial yang membentuk dan mendefinisikan ―ketuaan atau ageing‖. Dalam teori ini usia lansia merupakan produk dari konstruksi masyarakat yang dibangun agar sesuai dengan kebutuhan ekonomi masyarakat modern (Estes 1979). Secara sederhana ini bisa diartikan bahwa seseorang atau satu kelompok didefinisikan tua karena secara ekonomis mereka ―harus‘ menjadi tua. Yang menjadi berbeda dalam teori ini dengan teori-teori sebelumnya adalah
30
berubahnya fokus dalam menjelaskan fenomena lansia dari faktor individu kepada faktor sosial, ekonomi dan politik. Dengan kata lain, faktor utama yang menentukan lansia dan pengalaman menjadi lansia bukanlah faktor individu, tapi faktor sosial ekonomi termasuk kelas sosial, usia, gender, ras dan orientasi seksual.
Menurut Phillipson (1998) implikasi dari pandangan ini di Inggris dan negara-negara industri lainnya, adalah diasosiasikannya lansia dengan pengeluaran sosial (social expenditure); mereka tidak hanya dipandang dalam kacamata medis saja tapi juga sumberdaya pemerintah. Pandangan inilah yang mendorong munculnya persepsi masyarakat modern bahwa lansia merupakan ―BEBAN‖ bagi masyarakat modern. Phillipson (1998: 17) mengatakan:
'Older people came to be viewed as a burden on western economies, with demographic change... seen as creating intolerable pressures on public expenditure'.
Fokus utama dalam teori politik ekonomi adalah relasi antara aging dan struktur ekonomi. Di Amerika, teori ini tercermin dalam karya-karya Estes (1979), dan Estes, Swan and Gerard (1982). Di Inggris, tokohnya antara lain Walker (1981), Townsend (1981) dan Phillipson (1982). Estes misalnya menyuarakan kembali ide Marxist dengan mengatakan bahwa martabat sesorang sangat ditentukan oleh fungsi produksinya, dan persepsi inilah yang melandasi semua kebijakan dan persepsi masyarakat tentang lansia.
31
Pandangan negatif tentang lansia serta kemiskinan dan problem lansia lain bisa dijelaskan oleh hilangnya ―harkat dan martabat‖ mereka akibat hilangnya fungsi produksi. Estes (1979) juga mengklaim bahwa teori inilah yang memapankan peran negara pada kelompk lansia; karena negaralah yang memiliki wewenang mengalokasikan sumber daya, maka negara juga yang berhak mengatur alokasi dana pensiun yang kemudian menjadi kunci dalam menentukam harkat dan martabat lansia.
Lebih jauh, Phillipson (1982) berargumen bahwa kebijakan pensiun merupakan pemaksaan untuk undur diri dari aktivitas kerja yang ditujukan sebagai upaya mereduksi biaya dan pengeluaran negara. Untuk itu—dia bicara lebih lanjut—negaralah yang sesungguhnya punya peran untuk menentukan bagaimana posisi sosial dan masa depan warga negara senior ini, negara juga yang secara tidak langsung membentuk perilaku sosial dan kultural tehadap lansia. Dalam konteks inilah semua wacana terkait perubahan welfare state (secara sederhana bisa definisikan dengan berkurangnya peran negara dalam program kesejahteraan masyarakat) menjadi justifikasi dari persepsi bahwa lansia merupakan beban negara. Meniru cara berfikir ini, Townsend (1981) menegaskan bahwa masyarakat menciptakan problem sosial lansia melalui pola pikir ageism yang diinstitusionalkan melalui kebijakan pensiun, melalui langkanya sumber daya yang dialokasikan kepada komunitas ini, serta
32
jeleknya kualitas layanan panti (residential care) dan juga layanan masyarakat terhadap lansia, Lebih jelasnya ada perspektif structural serta aturan sumber daya yang mengatur lansia dalam masyarakat modern (Townsend 1981: 9).
Ada banyak teori dalam lain disiplin gerontologi yang menawarkan cara pandang dan mencoba menjelaskan dimana letak ―permasalahan‖ dalam isu lansia. Perspektif femisnime dan postodernisme yang muncul belakangan juga menawarkan cara pandang mereka yang tentu saja memperkaya spectrum perspektif mengenai lansia. Selain ranah sosial, lansia juga bisa dilihat dari teori-teori medis biologis atau psikologis. Jelasnya, terus munculnya berbagai teori tentang lansia merefleksikan perubahan cara pandang masyarakat terhadap komunitas ini sesuai dengan perubahan budaya, struktur sosial serta kemajuan peradaban manusia. Kalau mungkin digaris bawahi ada beberapa isu utama yang muncul dari teori-teori sosial di atas. Diantaranya adalah bagaimana lansia diposisikan oleh negara dan masyarakat? Bagaimana posisi atau persepsi tadi terefleksi dalam kebijakan dan program kesejahteraan lansia?
C. Prinsip dan Arah Kebijakan
Sebagaimana sudah disebutkan, perkembangan demografi pada populasi lansia telah menyebabkan hampir semua negara memberi perhatian
33
serius kepada populasi ini meski kemudian persepsi, ideologi dan bentuk kebijakan serta program yang berbeda antara satu negara dengan negara lain. Tentu saja perlu dipahami bahwa teori tidak bisa secara langsung diterjemahkan ke dalam kebijakan, atau lebih tepatnya, penyusunan sebuah kebijakan dan program pelayanan lansia merupakan proses politik yang dipengaruhi banyak hal dimana teori hanyalah salah satunya. Dalam konteks itu, ada beberapa prinsip dan aspek yang mungkin bisa ditarik dari teori dan persepsi di atas yang mempengaruhi kebijakan dan program lansia di berbagai negara. Pertama, adanya kesadaran bahwa lansia tidak bisa di anggap sebagai kelompok yang homogen atau tunggal, melainkan sebuah populasi yang beragam. Meski masih umum dipakai, batasan usia tidak bisa lagi dianggap sebagai satu-satunya faktor penentu (defining factor) dalam mendefiniskan lansia serta kebutuhannya. Kedua, semakin disadari oleh masyarakat internasional bahwa lansia adalah konsep yang dibangun oleh masyarakat/budaya, dan sayangnya pemahaman yang ada tentang lansia selama ini didominasi oleh potret negatif, yang berimplikasi negatif bagi lansia itu sendiri maupun kondisi sosial ekonomi negara. Untuk itu, perubahan kepada persepsi yang lebih positif tentang lansia menjadi hal yang mulai disosialisasikan oleh masyarakat internasional. Ketiga, terkait dengan pertanyaan tentang siapa yang bertanggung jawab menyediakan program dan
34
layanan untuk lansia; negara, atau keluarga dan masyarakat? Aspek ketiga inilah yang mendominasi perbincangan dan wacana tentang lansia dan kebijakan lansia di berbagai negara. Ada dua kunci penting yang menjadi fokus dari aspek ini yaitu kompetisi ekonomi dan solidaritas sosial. Sebagian negara berpendapat bahwa dalam dunia yang secara ekonomi semakin kompetitif, solidaritas sosial terhadap lansia yang diwujudkan dalam peran sentral pemerintah dalam menyediakan layanan dan program yang maksimal untuk lansia tidak mungkin lagi dipertahankan. Dana untuk pelayanan dan program-program kesejahteraan lansia dianggap terlalu besar untuk ditanggung negara sendiri, sehingga keterlibatan keluarga, masyarakat termasuk kelompok industri dan privat menjadi sangat penting. Pandangan inilah yang menjadi topik utama dalam wacana perubahan welfare state; yang dalam kasus lansia diwujudkan dalam berkurangnya peran negara terutama melalui pengurangan budget untuk pembiayaan program dan pelayanan kesejahteraan sosial terhadap lansia. Sementara sebagian negara lain, seperti negara-negara Skandinavia, tetap berpendapat bahwa kompetisi ekonomi masih bisa berjalan secara harmonis dengan solidaritas sosial. Untuk itu, negara tetap menjadi aktor sentral dalam pemenuhan hak dan kesejahteraan lansia sementara peran keluarga dan masyarakat lebih bersifat pelengkap (suplementary).
35
Terkait dengan landasan konseptual dan arah kebijakan tentang lansia, PBB sebagai lembaga internasional sudah menetapkan beberapa prinsip kebijakan yang mulai dibangun sejak Konggres Dunia pertama tentang lansia (the first UN World Assembly on Ageing) tahun 1982, kemudian dituangkan sebagai konsep yang matang pada pertemuan Majelis Umum tahun 1991, dengan nama UN Principle for Elderly. Ada 5 prinsip yang diharapkan PBB untuk diadopsi semua negara dalam kebijakan dan program-program lansia yang diselenggarakan, yaitu:
1) Kemandirian
Dalam dokumen tersebut dijelaskan bahwa untuk mencapai kemandirian lansia ada beberapa aspek penting yang harus ada yakni: a) tercukupinya kebutuhan dasar: makanan, air, tempat tinggal, pakaian dan pelayanan kesehatan yang memadai, b) Memiliki kesempatan bekerja dan mendaatkan penghasilan, c). Memiliki kesempatan penuh untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan terkait kapan dan bagaimana proses pensiun akan diatur, d). Lansia harus memiliki kesempatan memperoleh pendidikan dan pelatihan serta, 5). Bisa hidup dalam lingkungan yang aman dan diatur sesuai dengan kebutuhan dan perubahan kemampuan yang dimiliki lansia.
36 2) Partisipasi
Partisipasi yang dimaksudkan di sini adalah kesempatan melakukan kegiatan sosial politik yang meliputi: kesempatan untuk tetap tinggal dan aktif di masyarakat serta terlibat dalam semua pengambilan keputusan dan kebijakan terkait lansia, kesempatan untuk terlibat dalam pelayanan masyarakat termasuk menjadi relawan serta kesempatan untuk berorganisasi dan membentuk gerakan lansia.
3) Care/ Perawatan
Terkait dengan perawatan dokumen PBB ini menegaskan bahwa lansia berhak mendapatkan perawatan dan perlindungan dari keluarga dan masyarakat yang sesuai dengan sistem dan nilai yang dianut masyarakat tersebut. Lansia juga harus bisa mendapatkan akses perawatan kesehatan secara optimal sehingga mereka bisa mempertahankan dan menjaga kesehatan fisik, psikologis dan spiritual serta terhindar dari penyakit. Termasuk dalam perawatan yang di maksud disini adalah perlindungan hukum, serta akses kepada pelayanan institusi/panti yang memberikan perlindungan, rehabilitasi dan program-program stimulatif. Secara lebih jelas ditegaskan dalam dokumen PBB bahwa lansia berhak untuk menikmati pemenuhan Hak
37
Asasi, kebebasan, pelayanan penuh serta terjaga harkat dan martabatnya sebagai manusia.
4) Dignity/Harkat dan Martabat Lansia
Point tentang harkat dan martabat yang sudah disebutkan dalam poin ―care‖ di atas ditegaskan dalam poin tersendiri mengenai dignity yang menyebutkan bahwa lansia berhak hidup secara terhormat dan aman dari segala bentuk ekploitasi dan kekerasan fisik maupun psikologis. Mereka juga harus dihargai sebagai manusia tanpa melihat latar belakang agama, ras dan etnis, gender, disabilitas atau status sosial lainnya.
5) Pencapaian Individu ( personal fulfillment)
Kembali ditegaskan dalam prinsip ini bahwa lansia berhak mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan dan akses kepada sumber-sumber pendidikan, budaya, spiritual dan rekreasional.
Disamping 5 prinsip di atas, pada tahun 1999 PBB melakukan langkah lebih jauh dengan menetapkan apa yang mereka sebut sebagai konsep dasar (conceptual framework of aging) yang memuat beberapa hal penting yang belum termuat dalam UN Principles. Dua di antara konsep yang penting untuk dicatat disini adalah persepsi yang positif tentang aging dan hubungan antar
38
generasi (intergenerational relationship), yakni upaya memupuk pemahaman dan kepedulian antara lansia dengan generasi muda. Penting juga untuk dicatat bahwa badan internasional lain seperti WHO juga memberikan perhatian kepada isu lansia, misalnya dengan merumuskan konsep sehat lansia
(healthy ageing) sebagai bagian dari HEALTH For All 21 (kesehatan untuk
semua abad 21). Dalam konsep tersebut ditekankan bahwa kesehatan lansia merupakan proses yang harus dipupuk sepanjang siklus kehidupan individu, artinya untuk menjadi lansia sehat perlu dimulai dari bayi dan balita sehat.
Healthy aging juga menekan perlunya beberapa hal yang sudah di singgung
dalam UN principles seperi partisipasi sosial lansia dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk yang paling penting adalah keikutsertaan mereka dalam pengambilan keputusan (WHO: Healthy 21) Selain nilai-nilai diatas, perkembangan wacana lansia kini juga diwarnai oleh beberapa pendekatan penting lain seperti pemenuhan hak dan inklusi sosial.
Dalam konteks Indonesia, kebijakan lansia juga sudah cukup mengalami perubahan. Secara ringkas, bisa dipahami bahwa fenomena meningkatnya populasi aging sudah disadari masyarakat internasional sebagai isu penting yang harus di respon. Prinsip dan konsep di atas ditawarkan sebagai nilai-nilai dasar yang perlu disepakati dan harus dijadikan landasan
39
bagi penyusunan kebijakan dan program pelayanan dan perlindungan untuk lansia.
D. Gambaran Program Pelayanan Sosial Lansia
Mengamati praktek yang dilakukan berbagai negara, kebijakan, program dan pelayanan kesejahteraan lansia biasanya diwujudkan dalam beberapa skema pokok yakni:
1. Perlindungan Sosial ( Social Protection)
Secara luas, perlindungan sosial bisa didefinisikan sebagai upaya untuk mencegah, mengatur dan menanggulangi kondisi-kondisi yang mempengaruhi kesejahteraan individu. Untuk itu biasanya perlindungan sosial berisi kebijakan dan program yang dimaksudkan untuk mengurangi kemiskinan, kerentanan atau resiko sosial seperti kehilangan pekerjaan, sakit atau kecelakaan, disabilitas, dan menjadi tua. Bentuk perlindungan sosial beragam, namun yang paling umum dijumpai adalah: 1) intervensi pemerintah terhadap lapangan kerja mulai dari perluasan kesempatan kerja termasuk pendidikan dan pelatihan maupun perlindungan pekerja, 2) asuransi sosial yakni asuransi yang ditujukan untuk mengurangi resiko akibat pengangguran, sakit, kecelakaan kerja, disabilitas maupun ketuaan, 3) bantuan sosial yakni bantuan yang diberikan kepada mereka yang tidak
40
memiliki pendapatan, atau pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Bantuan sosial biasanya berbentuk tunai, makanan atau kebutuhan dasar lain.
Dari definisi di atas jelas bahwa ‗ketuaan‖ merupakan kondisi rentan yang menjadi salah satu target utama perlindungan sosial, dan karenanya hampir semua negara memiliki skema perlindungan sosial untuk lansia meski model dan jangkauannya (coverage) sangat beragam. Salah satu skema perlindungan sosial yang paling umum dijumpai adalah pensiun hari tua, yang biasanya masuk dalam kategori asuransi sosial. Sebagai sebuah bentuk asuransi, perolehan pensiun mensyaratkan adanya pembayaran premi, yang biasanya diambil dari gaji penerima semasa dia bekerja. Secara garis besar ada tiga model pensiun yang ada di dunia yang perbedaannya terletak pada siapa yang berhak mendapatkan (coverage):
a) Universal Age Pension yakni pensiun yang keikutsertaanya
dilandaskan hanya pada faktor usia. Artinya siapapun yang sudah memasuki usia tua—bervariasi antara 60 sampai 70—dan merupakan warga negara berhak mendapatkan pensiun tersebut. Negara seperti New Zeland dan Brunei Darussalam termasuk yang mengadopsi system ini.
41
b) Universal Mean Pension. Mirip dengan skema di atas, model pensiun
ini mentargetkan hampir semua waranegara yang mencapai usia tertentu (60 ke atas), namun ada sedikit test (pension test) yang mengiliminir beberapa lansia dengan kriteria tertentu (misalnya yang memiliki income di atas rata-rata). Thailand, Switzerland, Swedia, Finlandia adalah beberapa negara yang mengaplikasikan model ini.
c) Means- tested Pension. Cukup berbeda dengan dua model di atas,
pensiun ini hanya menjangkau sedikit warga negara lansia karena keikutsertaanya didasarkan pada kriteria yang lebih detail, seperti hanya diperuntukkan pada sektor formal dan sangat tergantung jumlah penghasilan.
Indonesia merupakan negara yang menganut mean tested pension, untuk itu coveragenya masih sangat terbatas untuk pegawai negeri atau sedikit pegawai di perusahaan besar saja. Data dari World Labour Report 1999 misalnya memaparkan bahwa di Indonesia hanya 6-7 persen lansia yang memiliki pensiun. Angka ini sangat kecil dibanding China yang memiliki coverage sebesar 21 persen atau Filipina yang bahkan mencapai 53 %. Adapun negara Asia lain yakni Singapura, Jepang dan Malaysia memiliki model pensiun universal sehingga hampir 100 persen warga memiliki pensiun.
42
Dibandingkan dengan negara maju, negara di Asia cenderung memiliki batasan usia pensiun yang lebih rendah yakni antara 50 sampai 65 tahun. Singapura misalnya usia wajib pensiun adalah 55. Terkait dengan semakin panjangnya angka harapan hidup, maka usia wajib pensiun yang rendah memiliki konsekuensi dibutuhkannya biaya pasca pensiun lebih banyak. Memperpanjang usia pensiun merupakan solusi yang dipikirkan oleh banyak negara untuk menanggulangi beban ekonomi masyarakat ageing sekaligus memberi ruang partisipasi bagi lansia. Finlandia misalnya pada tahun 2005 meningkatkan usia wajib pensiun sebanyak tiga tahun dari 65 ke 68. Ada beberapa cara yang dilakukan oleh berbagai negara yang mungkin bisa menjadi pilihan bagi Indonesia. Diantaranya adalah menghilangkannya usia wajib pensiun. Dengan kebijakan ini lansia bisa memutuskan sendiri kapan atau di usia berapa dia akan mulai pensiun. Jalan lain adalah dengan menetapkan kebolehan pensiun secara bertahap, misalnya dengan menetapkan jam kerja yang fleksibel atau membolehkan pekerja lansia untuk bekerja separuh waktu sebelum dia berhenti total.
Menarik untuk di catat, dalam konteks Asia kecenderungan yang muncul justru memperpendek usia wajib pensiun. Trend ini muncul karena budaya senioritas dalam dunia kerja—semakin senior maka gaji
43
semakin tinggi—tidak lagi dianggap tepat, terutama karena adanya asumsi kuat bahwa produktifitas pekerja akan menuru seiring penambahan usia. Untuk merespon kondisi ini, beberapa negara seperti Korea Selatan mulai mendorong warganya untuk pensiun lebih dini dengan cara mengembangkan skema-skema perlindungan sosial. Memang penelitian di beberapa negara Asia menunjukkan bahwa semakin luas skema perlindungan sosial yang diberikan pemerintah, semakin tinggi keinginan masyarakat untuk pensiun lebih dini. Rendahnya usia pensiun di Asia juga dirangsang oleh kebijakan mekanisme perbankan yang menawarkan skema investasi serta simpanan yang menjajikan. Indonesa, bersama dengan Korea Selatan, Singapura dan Thailand dilaporkan sebagai negara yang dalam 30 tahun terakhir menunjukkan peningkatan angka investasi yang tinggi dan menyebabkan warganya melakukan pensiun dini.
Hal lain yang perlu di catat, di beberapa negara asuransi sosial terkait lansia sudah diperluas cakupannya sampai ke caregiver atau mereka yang merawat lansia, bisa pasangan (suami/istri), anak maupun anggota keluarga lain. Bentuknya bervariasi seperti hak cuti kerja, pengurangan dan pengembalian pajak ataupun pembayaran yang dilakukan oleh negara atas jasa perawatan yang diberikan. Di Kanada misalnya individu yang tinggal bersama dan merawat anggota keluarga
44
yang memiliki hambatan fisik atau mental, termasuk orang tua yang sudah tidak bisa mandiri, berhak menerima pengembalian pajak (tax return). Ketika individu ini harus berhenti bekerja atau cuti karena orang tua atau anggota keluarga tersebut sakit keras atau ―sekarat‖ maka dia juga berhak menerima tunjangan yang disebut Compassionate Care Benefit sebagai bagian dari Asuransi kerja (Employment Insurace). Dengan tunjangan ini individu yang bersangkutan bisa menerima $ 50/minggu, dalam waktu maksimal 6 minggu.
Bentuk lain dari perlidungan sosial untuk lansia adalah bantuan sosial (social assistance) yakni bantuan yang diberikan oleh pemerintah kepada lansia miskin yang tidak memiliki pendapatan atau pendapatannya tidak cukup untuk hidup. Berbeda dengan asuransi atau pensiun yang meniscayakan pembayaran atau kontribusi dari penerima, bantuan sosial tidak mensyaratkan pembayaran premi dan merupakan subsidi yang diberikan negara kepada masyarakat miskin. Bantuan sosial umumnya diberikan dalam bentuk pembayaran tunai (cash transfer) atau pemberian makanan (misalnya kupon makanan/food stamp) dan bertujuan agar lansia tersebut bisa memenuhi kebutuhan dasar. ASLUT (Asistensi Lanjut Usia ) dan JSLU (Jaminan sosial Lanjut Usia), bedah rumah, bantuan makanan dan program pelayanan kesejahteraan lansia lainnya yang ditetapkan
45
Kementerian Sosial Indonesia semua masuk kategori bantuan sosial sehingga target groupnya adalah lansia miskin atau terlantar. Di beberapa negara seperti Amerika dan Kanada bantuan sosial kepada lansia diberi nama tambahan pendapatan (supplement security income).
2. Layanan Kesehatan
Asuransi atau jaminan kesehatan merupakan bentuk lain dari perlindungan sosial yang bisa ditemui di hampir semua negara. Ada banyak negara yang memilik model asuransi kesehatan universal, dimana semua warga tanpa kecuali, memiliki asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemerintah, yang dananya diambil dari uang pajak. BPJS yang baru saja mulai diaplikasikan di Indonesia merupakan langkah pemerintah menuju universalisasi jaminan kesehatan meski saat ini beberapa komponen masyarakat masih belum memiliki.
Terkait secara spesifik dengan lansia, jaminan kesehatan menjadi isu serius karena besarnya anggaran yang dikeluarkan negara bagi perawatan kesehatan lansia. Data dari pemerintah Kanada tahun 1998– 2009 misalnya menunjukan bahwa pengeluaran pemerintah pusat dan propinsi untuk kesehatan satu lansia usia 65 ke atas berkisar antara $ 6.375/tahun, 5 kali lipat lebih tinggi dari anggaran kesehatan untuk usia 20–64 yang hanya seputar $ 1,282. Mahalnya anggaran kesehatan untuk
46
lansia membuat banyak negara mempertanyakan sustainabilitas jaminan kesehatan mereka, dan pada beberapa kasus melahirkan tumbuhnya sektor swasta.
Beberapa komponen penting yang menjadi fokus dalam pelayanan kesehatan lansia adalah home care dan pelayanan kesehatan jangka panjang (long term atau residential care). Konsep perawatan berbasis rumah (home care) biasanya terdiri dari perawatan medis—seperti perawatan dokter, perawat dan terapis—serta non medis yakni bantuan personal mulai dari memandikan, membersihkan rumah, memasak dan lainnya. Di sebagian negara perawatan home care medis dikelola dan diberikan oleh kementerian kesehatan, sementara yang perawatan non medis diselenggarakan oleh kementerian (di Indonesia melalui dinas sosial). Namun disebagian negara lain menggabungkan komponen medis dan non medis dibawah satu pengelolaan. Di propinsi Quebec, Kanada misalnya, sejak 1974 pelayanan sosial dan kesehatan diintegrasikan dalam satu atap, sehingga pelayanan home care terdiri dari komponen medis dan non medis diberikan melalui Center for Health and Social Services, dikenal dengan nama CSSS atau CLSCs, Sementara di Skandinavia, Dermark dan Norwegia, pelayanan home care—yang juga meliputi dua
47
aspek diatas—menjadi tanggung jawab pemerintah lokal, kota/municipalities.
Bagi negara yang mengaplikasikan jaminan kesehatan universal, home care services biasanya sudah termasuk dalam skema jaminan yang ada. Namun negara seperti Amerika (sebelum kebijakan terahir Obama), yang jaminan kesehatannya belum menyeluruh, home care merupakan pelayanan yang berada di luar jaminan kesehatan dan karenanya pasien harus membayar ekstra atau menanggung sebagian biaya, kecuali bagi mereka yang miskin.
Lansia yang sudah tidak memungkinkan lagi tinggal di rumah karena beberapa kondisi seperti; 1) Menurunnya kemampuan kognitif, misalnya karena dementia, 2) Hilangnya kemampuan menjalankan aktivitas sehari-hari, 3) Tidak adanya support keluarga atau masyarakat, 4) Tingginya stress yang dihadapi keluarga atau caregiver; maka perawatan jangka panjang berbasis institusi menjadi pilihan terakhir. Namun dengan perkembangan tekhnologi, kecenderungan de-institusionalisi dan pelayanan berbasis masyarakat (community based), kini pelayanan jangka panjang juga mulai diberikan dalam setting rumah baik itu rumah hunian, tempat tinggal yang diawasi (assisted living) atau nursing home (rumah
48
perawatan). Inilah kemudian yang memunculkan istilah residential care (perawatan berbasis hunian).
Perawatan jangka panjang dikenal cukup mahal dan menjadi beban signifikan bagi jaminan kesehatan. Data dari Amerika menyebutkan bahwa pada tahan 2009, anggaran untuk perawatan jangka panjang bagi lansia mencapai $ 119 juta. Dari angka ini ada perbedaan antara tipe hunian yang dipilih. Untuk nursing home, biaya satu kamar mencapai $ 81,030/tahun , atau lebih dari $ 7 ribu/bulan. Anggaran rata-rata tahunan untuk nursing home diprediksi melebihi simpanan pensiun setahun yang bisa dikumpulkan seorang warga Amerika. Jika prediksi pertambahan populasi lansia sebanyak 14 % di tahun 2040 terbukti benar, bisa dipastikan bahwa negara tidak akan sanggup membayar biaya perawatan jangka panjang, padahal sampai saat ini biaya long term care di Amerika tidak sepenuhnya dibebankan pada negara, melainkan gabungan antara negara, asuransi privat dan juga pengeluaran pribadi. Adapun negara-negara Eropa sudah selangkah lebih maju dengan menetapkan skema-skema pembiayaaan yang menjadi bagian dari asuransi kesehatan pemerintah. Belanda sejak 1967 sudah menetapkan Exceptional Medical
Expenses Act yang diantaranya membiayai long term care. Jerman
49
care di dalam asuransi kesehatan yang wajib diikuti warganya.
Mekanisme pembiayaan perawatan jangka panjang di Norwegia sedikit berbeda. Sejak 1988 negara ini menetapkan kebijakan untuk membayar
caregiver informal yakni keluarga yang melakukan perawatan jangka
panjang bagi anggota keluarga lansia. Langkah ini diikuti negara-negara tetangganya seperti Denmark, Finlandia, Sweden dan negara Nordic lain.
Di Indonesia, pelayanan jangka panjang belum menjadi bagian dari program kesejahteraan lansia, sehingga beban dan biaya perawatan jangka panjang masih sepenuhnya menjadi tanggung jawab. Pada beberapa aspek, panti lansia (Panti Sosial Werdha) sedikit mirip dengan konsep long term care. Namun ada perbedaan yang sangat signifikan mengingat panti menuntut kemandirian lansia sebagai salah satu kriteria masuk, sementara long term care dalam teorinya diperuntukkan bagi lansia yang sudah kehilangan kemandirian total. Kriteria inilah yang mungkin perlu dikaji kembali, karena jika panti—yang seringkali menjadi pilihan satu-satunya bagi lansia miskin dan terlantar—menuntut penerimanya memiliki kemandirian, lalu kemanakah lansia terlantar yang sudah tidak bisa mandiri dan membutuhkan perawatan jangka panjang?
50
Di samping perawatan kesehatan sebagaiman dijelaskan di atas, pelayan sosial atau non medis merupakan aspek pokok dalam pelayanan kesejahteraan sosial lansia di berbagai negara. Bentuk dan jenis program pelayanan non medis sangat bervariatif, diantara yang umum dijumpai adalah
a. Home Care
Pelayanan home care yang kini ada di berbagai negara diberikan kepada lansia yang masih memiliki kemampuan untuk mandiri dan bisa tinggal di rumah sendiri, meskipun lansia tersebut membutuhkan bantuan untuk melakukan aktifitas harian seperti mandi, memasak dan lainnya. Bahkan di beberapa negara yang sudah memiliki pengalaman panjang seperti Swedia, lansia dalam kondisi sakit keras atau memiliki disabilitas bisa diberikan home care berupa pengawasan ketat 24 jam.
Home care dianggap salah satu pilihan yang bisa menekan
biaya perawatan kesehatan, dibanding misalnya dengan perawatan rumah sakit atau panti. Yang lebih penting lagi, home care dianggap lebih sesuai dengan prinsip-prinsip pelayanan lansia seperti menghormati independensi dan inklusi sosial. Dengan kata lain home