P P O K
(Penyakit Paru Obstruktif Kronik)
Diagnosis
dan
Penatalaksanaan
P P O K
(Penyakit Paru Obstruktif Kronik)
Diagnosis dan Penatalaksanaan
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) EDITOR
TIM KELOMPOK POKJA PPOK Budhi Antariksa Susanthy Djajalaksana Pradjnaparamita Joko Riyadi Faisal Yunus Suradi
P P O K
(Penyakit Paru Obstruktif Kronik)
Diagnosis dan Penatalaksanaan
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) TIM KELOMPOK KERJA PPOK
Ketua: Budhi Antariksa, Anggota: Adlan N. L. Sitompul, Alexander K Ginting, Azril Hasan, Benjamin Y. Tanuwihardja, Bobby Drastyawan, Daniel Maranatha, Dewi Wahyu Fitrina, Dianiati Kusumo Sutoyo, Dwi Hartanto, Faisal Yunus, Ida Bagus Ngurah Rai, Hadiarto Mangunnegoro, I Nyoman Nama Putra, Iswanto, Joko Riyadi, Joni Anwar, Muhammad Amin, Nur Aida, Pradjnaparamita, Reviono, Rita Rogayah, Santi Rahayu, Suradi, Susanthy Djajalaksana, Taufik, Tamsil Syafiuddin, Wiwien
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang memperbanyak, mencetak dan menerbitkan sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara dan dalam bentuk apapun tanpa seijin penulis dan penerbit.
Diterbitkan pertama kali oleh:
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Jakarta, 2002
Revisi pertama (Edisi Buku Lengkap), Juli 2011
BAB I DEFINISI
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang
dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun / berbahaya, disertai efek ekstraparu yang berkontribusi terhadap derajat berat penyakit.
Karakteristik hambatan aliran udara pada PPOK disebabkan oleh gabungan antara obstruksi saluran napas kecil (obstruksi bronkiolitis) dan kerusakan parenkim (emfisema) yang bervariasi pada setiap individu. PPOK seringkali timbul pada usia pertengahan akibat merokok dalam waktu yang lama. PPOK sendiri juga mempunyai efek sistemik yang bermakna sebagai petanda sudah terdapat kondisi komorbid lainnya. Dampak ppok pada setiap individu tergantung derajat keluhan (khususnya sesak dan penurunan kapasitas latihan), efek sistemik dan gejala komorbid lainnya. Hal tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh derajat keterbatasan aliran udara.
Bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK karena:
Emfisema merupakan diagnosis patologik
Bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis
Selain itu keduanya tidak selalu mencerminkan hambatan aliran udara dalam saluran napas.
BAB II
PERMASALAHAN DI INDONESIA
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Penyebabnya antara lain meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor risiko, seperti faktor pejamu yang diduga berhubungan dengan kejadian PPOK; semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda; serta pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat kerja.
Data Badan Kesehatan Dunia (WHO), menunjukkan tahun 1990 PPOK menempati urutan ke-6 sebagai penyebab utama kematian di dunia, dan tahun 2002 menempati urutan ke-3 setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker (WHO, 2002). Di negara Amerika Serikat dibutuhkan dana sekitar 18 miliar US$ setahun untuk penatalaksanaan PPOK dan biaya tak langsung sebesar 14 miliar US$, dengan jumlah pasien sebanyak 16 juta orang dan lebih dari 100 ribu orang meninggal.
The Asia Pacific COPD Round Table Group memperkirakan, jumlah penderita PPOK sedang hingga berat dinegara-negara Asia pasifik tahun 2006 mencapai 56,6 Juta penderita dengan prevalensi 6,3 %. Angka prevalensi berkisar 3,5 – 6,7%, seperti : China dengan angka kasus mencapai 38,160 juta jiwa, Jepang (5,014 juta jiwa) dan Vietnam (2,068 juta jiwa) sementara di Indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta penderita dengan prevalensi 5,6%. Angka ini bisa meningkat dengan makin banyaknya jumlah perokok karena 90 % penderita PPOK adalah perokok atau mantan perokok.
Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Pada Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke-5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama. SKRT Depkes RI 1992 menunjukkan angka kematian karena asma, bronchitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian
Hasil survei penyakit tidak menular oleh Direktorat Jenderal PPM & PL di 5 rumah sakit propinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan) pada tahun 2004, menunjukkan PPOK menempati urutan pertama penyumbang angka kesakaitan (35%), diikuti asma bronkial bronkial (33%), kanker paru (30%) dan lainnya (2%) (Depkes RI, 2004).
Berdasarkan hasil SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2001, sebanyak 54,5 % penduduk laki-laki dan 1,2% perempuan merupakan perokok, 92,0% dari perokok menyatakan kebiasaannya merokok di dalam rumah ketika bersama anggota rumah tangga lainnya, dengan demikian sebagian besar anggota rumah tangga merupakan perokok pasif (BPS, 2001). Jumlah perokok yang berisiko menderita PPOK atau kanker paru berkisar antara 20-25%. Hubungan antara rokok dengan PPOK merupakan hubungan dose response, lebih banyak batang rokok yang dihisap setiap hari dan lebih lama kebiasaan merokok tersebut maka risiko penyakit yang ditimbulkan akan lebih besar.
...Masukan dari Pneumobile...Prof Faisal...
Seiring dengan majunya tingkat perekomian dan industri otomotif, jumlah kendaraan bermotor meningkat dari tahun ke tahun di Indonesia. Selain mobil-mobil baru, mobil tua yang mengeluarkan gas buang yang banyak dan pekat, banyak beroperasi di jalanan. Gas buang dari kendaraan tersebut menimbulkan polusi udara. Tujuh puluh sampai delapan puluh persen pencemaran udara berasal dari gas buang kendaraan bermotor, sedangkan pencemaran udara akibat industri 20-30%. Dengan meningkatnya jumlah perokok dan polusi udara sebagai faktor risiko terhadap penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) maka diduga jumlah penyakit tersebut juga akan meningkat. Usia Harapan Hidup (UUH) di Indonesia pada tahun 1990 meningkat dari 60 tahun menjadi 68 tahun pada tahun 2006, dan apabila PPOK tidak dapat ditanggulangi dengan baik, maka UHH di Indonesia akan menjadi menurun karena perjalanan PPOK bersifat kronik dan progresif
Faktor yang berperan dalam peningkatan penyakit tersebut, yaitu :
60- Pertambahan penduduk
Meningkatnya usia rata-rata penduduk dari 54 tahun pada tahun 1960-an menjadi 63 tahun pada tahun 1990-an
Industrialisasi
Polusi udara terutama di kota besar, di lokasi industri, dan di pertambangan
Di negara dengan prevalensi TB paru yang tinggi, terdapat sejumlah besar penderita yang sembuh setelah pengobatan TB. Pada sebagian penderita, secara klinik timbul gejala sesak terutama pada aktiviti, radiologik menunjukkan gambaran bekas TB (fibrotik, kalsifikasi) yang minimal, dan uji faal paru menunjukkan gambaran obstruksi jalan napas yang tidak reversibel. Kelompok penderita tersebut dimasukkan dalam kategori penyakit Sindrom Obstruksi Pascatuberkulosis (SOPT).
Fasiliti Pelayanan kesehatan di Indonesia yang bertumpu di Puskesmas sampai di rumah sakit pusat rujukan masih jauh dari fasiliti pelayanan untuk penyakit PPOK. Disamping itu kompetensi sumber daya manusianya, peralatan standar untuk mendiagnosis PPOK seperti sprirometri hanya terdapat di rumah sakit besar saja, sering kali jauh dari jangkauan Puskesmas.
Pencatatan Departemen Kesehatan tidak mencantumkan PPOK sebagai penyakit yang dicatat. Karena itu perlu sebuah Pedoman Penatalaksanaan PPOK untuk segera disosialisasikan baik untuk kalangan medis maupun masyarakat luas dalam upaya pencegahan, diagnosis dini, penatalaksanaan yang rasional dan rehabilitasi.
BAB III FAKTOR RISIKO
Identifikasi faktor risiko merupakan langkah penting dalam pencegahan dan penatalaksanaan PPOK. Meskipun saat ini pemahaman faktor risiko PPOK dalam banyak hal masih belum lengkap, diperlukan pemahaman interaksi dan hubungan antara faktor-faktor risiko sehingga memerlukan investigasi lebih lanjut.
Beberapa studi longitudinal telah mengikuti populasi hingga 20 tahun, termasuk periode pra-dan perinatal yang penting dalam membentuk masa depan individu yang berisiko PPOK. Pada dasarnya semua risiko PPOK merupakan hasil dari interaksi lingkungan dan gen. Misalnya, dua orang dengan riwayat merokok yang sama, hanya satu yang berkembang menjadi PPOK, karena perbedaan dalam predisposisi genetik untuk penyakit ini, atau dalam berapa lama mereka hidup.
Status sosial ekonomi dapat dihubungkan dengan berat badan lahir anak yang dapat berdampak pada pertumbuhan dan pengembangan paru. Dengan demikian beberapa hal yang berkaitan dengan risiko timbulnya PPOK sampai saat ini dapat disimpulkan pada tabel dibawah ini:
Tabel 1. Risiko PPOK
1. Asap rokok 2. Polusi udara Dalam ruangan Diluar ruangan 3. Stres oksidatif 4. Gen
5. Tumbuh kembang paru 6. Sosial ekonomi
1. Asap rokok
Kebiasaan merokok adalah satu-satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Asap rokok mempunyai prevalensi yang tinggi sebagai penyebab gejala respirasi dan gangguan fungsi paru. Dari beberapa penelitian dilaporkan bahwa terdapat rerata penurunan VEP1.
Angka kematian pada perokok mempunyai nilai yang bermakna dibandingkan dengan bukan perokok. Perokok dengan pipa dan cerutu mempunyai morbiditi dan mortaliti lebih tinggi dibandingkan bukan perokok, tetapi masih lebih rendah jika dibandingkan dengan perokok sigaret. Tipe lain dari jenis rokok yang populer di berbagai negara tidak dilaporkan.
Risiko PPOK pada perokok tergantung dari dosis rokok yang dihisap, usia mulai merokok, jumlah batang rokok pertahun dan lamanya merokok ( Indeks Brinkman )
Tidak semua perokok berkembang menjadi PPOK secara klinis, karena dipengaruhi oleh faktor risiko genetik setiap individu. Perokok pasif (atau dikenal sebagai environmental tobacco smoke-ETS) dapat juga memberi kontribusi terjadinya gejala respirasi dan PPOK, dikarenakan terjadinya peningkatan jumlah inhalasi pertikel dan gas. Merokok selama kehamilan dapat berisiko terhadap janin, mempengaruhi tumbuh kembang paru di uterus dan dapat menurunkan sistem imun awal.
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan : a. Riwayat merokok
Perokok aktif
Perokok pasif
Bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :
Ringan : 0-200
Sedang : 200-600
Asap rokok merupakan penyebab terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya
Identifikasi merokok sebagai faktor risiko yang paling biasa ditemui untuk PPOK telah menyebabkan penggabungan program berhenti merokok sebagai elemen kunci dari pencegahan PPOK, serta intervensi penting bagi pasien yang sudah memiliki penyakit.
2. Polusi udara
Berbagai macam partike dan gas yang terdapat di udara sekitar dapat menjadi penyebab terjadinya polusi udara. Ukuran dan macam partikel akan memberikan efek yang berbeda terhadap timbulnya dan beratnya PPOK. Agar lebih mudah mengidentifikasi partikel penyebab, polusi udara terbagi menjadi :
Polusi di dalam ruangan
- Asap rokok - Asap kompor
Polusi di luar ruangan
- Gas buang kendaraan bermotor - Debu jalanan
Polusi tempat kerja (bahan kimia, zat iritasi, gas beracun)
Polusi di dalam ruangan.
Kayu, serbuk gergaji, batu bara dan minyak tanah yang merupakan bahan bakar kompor menjadi penyebab tertinggi polusi di dalam ruangan. Kejadian polusi di dalam ruangan dari asap kompor dan pemanas ruangan dengan ventilasi kurang baik merupakan faktor risiko terpenting timbulnya PPOK, terutama pada perempuan di negara berkembang (Case control studies).
Hampir 3 milyar penduduk dunia memakai biomass dan batubara sebagai sumber utama energi untuk memasak, pemanas ruangan, dan keperluan rumah tangga lainnya, sehingga populasi yang berisiko menjadi sangat banyak.
Bahan bakar biomass yang digunakan oleh perempuan untuk memasak sehingga meningkatkan prevalensi PPOK pada perempuan bukan perokok di Asia dan Afrika.
Polusi di dalam ruangan diperkirakan akan membunuh 2 juta perempuan dan anak-anak setiap tahunnya (GOLD, 2010)
Polusi di luar ruangan
Tingginya polusi udara dapat menyebabkan gangguan jantung dan paru. Mekanisme polusi di luar ruangan seperti polutan di atmosfer dalam waktu lama sebagai penyebab PPOK belum jelas, tetapi lebih kecil prevalensinya jika dibandingkan dengan pajanan asap rokok. Efek relatif jangka pendek, puncak pajanan tertinggi dalam waktu lama dan pajanan tingkat rendah adalah pertanyaan yang harus dicari solusinya.
3. Stres oksidatif
Paru selalu terpajan oleh oksidan endogen dan eksogen. Oksidan endogen timbul dari sel fagosit dan tipe sel lainnya sedangkan oksidan eksogen dari polutan dan asap rokok.
Oksidan intraseluler (endogen) seperti derivat elektron mitokondria transpor termasuk dalam mekanisme seluler signaling pathway. Sel paru dilindungi oleh oxydative chalenge yang berkembag secara sistem enzimatik atau non enzimatik.
Ketika keseimbangan antara oksidan dan antioksidan berubah bentuk, misalnya ekses oksidan dan atau deplesi antioksidan akan menimbulkan stres oksidatif. Stres oksidatif tidak hanya menimbulkan efek kerusakan pada paru tetapi juga menimbulkan aktifitas molekuler sebagai awal inflamasi paru.
Jadi, ketidakseimbangan antara oksidan dan anti oksidan memegang peranan penting pada patogenesi PPOK.
3. Infeksi saluran napas bawah berulang
Infeksi virus dan bakteri berperan dalam patogenesis dan progresifitas PPOK. Kolonisasi bakteri menyebabkan inflamasi jalan napas, berperan secara bermakna menimbulkan eksaserbasi. Infeksi
Terdapat beberapa kemungkinan yang dapat menjelaskan penyebab keadaaan ini, karena seringnya kejadian infeksi berat pada anak sebagai penyebab dasar timbulnya hiperesponsif jalan napas yang merupakan faktor risiko pada PPOK.
Pengaruh berat badan lahir rendah akan meningkatkan infeksi viral yang juga merupakan faktor risiko PPOK.
Kebiasaan merokok berhubungan dengan kejadian emfisema. Riwayat infeksi tuberkulosis berhubungan dengan obstruksi jalan napas pada usia lebih dari 40 tahun.
4. Sosial ekonomi
Sosial ekonomi sebagai faktor risiko terjadinya PPOK belum dapat dijelaskan secara pasti. Pajanan polusi di dalam dan luar ruangan, pemukinan yang padat, nutrisi yang jelek, dan faktor lain yang berhibungan dengan status sosial ekonomi kemungkinan dapat menjelaskan hal ini.
Peranan nutrisi sebagai faktor risiko tersendiri penyebab berkembangnya PPOK belum jelas. Malnutrisi dan penurunan berat badan dapat menurunkan kekuatan dan ketahanan otot respirasi, karena penurunan masa otot dan kekuatan serabut otot. Kelaparan dan status anabolik/katabolik berkembang menjadi empisema pada percobaan binatang. CT scan paru perempuan dengan kekurangan nutrisi akibat anoreksia nervosa menunjukkan seperti empisema. 5. Tumbuh kembang paru
Pertumbuhan paru ini berhubungan dengan proses selama kehamilan, kelahiran, dan pajanan waktu kecil. Kecepatan maksimal penurunan fungsi paru seseorang adalah risiko untuk terjadinya PPOK. Studi metaanalias menyatakan bahwa berat lahir mempengaruhi nilai VEP1pada masa anak.
6. Asma
Asma kemungkinan sebagai faktor risiko terjadinya PPOK, walaupun belum dapat disimpulkan. Pada laporan “The Tucson Epidemiological Study” didapatkan bahwa orang dengan asma 12 kali lebih tinggi risiko terkena PPOK daripada bukan asma meskipun
berkembang menjadi PPOK dengan ditemukannya obstruksi jalan napas ireversibel.
7. Gen
PPOK adalah penyakit poligenik dan contoh klasik dari interaksi gen-lingkungan. Faktor risiko genetik yang paling sering terjadi adalah kekurangan alpha-1 antitrypsin sebagai inhibitor dari protease serin. Sifat resesif ini jarang, paling sering dijumpai pada individu origin Eropa Utara. Ditemukan pada usia muda dengan kelainan emphysema panlobular dengan penurunan fungsi paru yang terjadi baik pada perokok atau bukan perokok dengan kekurangan alpha-1 antitripsin yang berat. Banyak variasi individu dalam hal beratnya emfisema dan penurunan fungsi paru.
Meskipun kekurangan -1 antitrypsin yang hanya sebagian kecil dari populasi di dunia, hal ini menggambarkan adanya interaksi antara gen dan pajanan lingkungan yang menyebabkan PPOK. Gambaran di atas menjelaskan bagaimana faktor risiko genetik berkontribusi terhadap timbulnya PPOK.
Risiko obstruksi aliran udara yang di turunkan secara genetik telah diteliti pada perokok yang mempunyai keluarga dengan PPOK berat. Hasil penelitian menunjukkan keterkaitan bahwa faktor genetik mempengaruhi kerentanan timbulnya PPOK. Telah diidentifikasi kromosom 2q7 terlibat dalam patogenesis PPOK, termasuk TGF-1, mEPHX1dan TNF.
Gen-gen di atas banyak yang belum pasti kecuali kekurangan alpha-1 antitrypsin.
Faktor risiko PPOK mungkin juga dihubungkan dengan cara yang lebih kompleks, karena harapan hidup manusia yang menjadi lebih lama, memungkinkan terjadinya paparan seumur hidup yang lebih besar terhadap berbagai faktor risiko.
BAB IV
PATOGENESIS DAN PATOLOGI
Inhalasi asap rokok dan partikel berbahaya lainnya menyebabkan inflamasi di saluran napas dan paru seperti yang terlihat pada pasien PPOK. Respon inflamasi abnormal ini menyebabkan kerusakan jaringan parenkim yang mengakibatkan emfisema), dan mengganggu mekanisme pertahanan yang mengakibatkan fibrosis saluran napas kecil. Perubahan patologis menyebabkan udara perangkap dan keterbatasan aliran udara progresif.
Sebuah gambaran singkat berikut memperlihatkan perubahan patologis dalam PPOK, mekanisme mereka seluler dan molekuler, dan bagaimana mendasari kelainan fisiologis dan gejala karakteristik penyakit.
PATOGENESIS
Inflamasi saluran napas pasien PPOK merupakan amplifikasi dari respon inflamasi normal akibat iritasi kronis seperti asap rokok. Mekanisme untuk amplifikasi ini belum dimengerti, kemungkinan disebabkan faktor genetik. Beberapa pasien menderita PPOK tanpa merokok, respon inflamasi pada pasien ini belum diketahui. Inflamasi paru diperberat oleh stres oksidatif dan kelebihan proteinase. Semua mekanisme ini mengarah pada karakteristik perubahan patologis PPOK.
Gambar 1. Patogenesis PPOK
Sel inflamasi PPOK ditandai dengan pola tertentu peradangan yang melibatkan neutrofil, makrofag, dan limfosit. Sel-sel ini melepaskan mediator inflamasi dan berinteraksi dengan sel-sel struktural dalam saluran udara dan parenkim paru-paru.
Tabel 2. Sel inflamasi pada PPOK
Neutrofil: meningkat dalam dahak perokok. Peningkatan neutrofil
pada PPOK sesuai dengan beratnya penyakit. Neutrofil ditemukan sedikit pada jaringan. Keduanya mungkin berhubungan dengan hipersekresi lendir dan pelepasan protease.
Makrofag: banyak ditemukan di lumen saluran napas, parenkim paru
dan cairan bronchoalveolar lavage (BAL). Berasal dari monosit yang mengalami diferensiasi di jaringan paru. Makrofag meningkatkan mediator inflamasi dan protease pada pasien PPOK sebagai respon terhadap asap rokok dan menunjukkan fagositosis yang tidak sempurna.
Limfosit T: sel CD4+dan CD8+meningkat pada dinding saluran napas
dan parenkim paru, dengan peningkatan rasio CD8+: CD4+. Peningkatan sel T CD8+ (Tc1) dan sel Th1 yang mensekresikan
interferon-dan mengekspresikan reseptor kemokin CXCR3, mungkin merupakan sel sitotoksik untuk sel-sel alveolar yang berkontribusi terhadap kerusakan alveolar.
Limfosit B meningkat dalam saluran napas perifer dan folikel limfoid sebagai respon terhadap kolonisasi kuman dan infeksi saluran napas Eosinofil meningkat di dalam sputum dan dinding saluran napas selama eksaserbasi.
Sel epitel: mungkin diaktifkan oleh asap rokok sehingga menghasilkan mediator inflamasi.
Mediator inflamasi
Berbagai macam mediator inflamasi yang telah terbukti meningkat pada pasien PPOK menarik sel inflamasi dari sirkulasi (faktor kemotaktik), menguatkan proses inflamasi (sitokin pro inflamasi), dan mendorong perubahan struktural (faktor pertumbuhan).
Tabel 3. Mediator inflamasi dalam PPOK Faktor kemotaktik:
• Lipid mediator: misalnya, leukotriene B4 (LTB4) menarik neutrofil dan limfosit T
• Kemokin: misalnya, interleukin-8 (IL-8) menarik neutrofil dan monosit.
Sitokin proinflamasi: misalnya tumor necrosis factor-(TNF-), IL-1, dan IL-6 memperkuat proses inflamasi dan berkontribusi terhadap efek sistemik PPOK.
Faktor pertumbuhan: misalnya, TGF-ß dapat menyebabkan
fibrosis pada saluran napas perifer.
(Dikutip dari Gold 2010)
Stres oksidatif
Stres oksidatif dapat menjadi mekanisme penguatan penting dalam PPOK. Biomarker stres oksidatif (misalnya, peroksida hidrogen, 8-isoprostan) meningkat dalam dahak, kondensat hembusan napas dan sirkulasi sistemik pada pasien PPOK. Stres oksidatif lebih lanjut meningkat pada eksaserbasi.
Oksidan yang dihasilkan oleh asap rokok dan partikulat yang dihirup lainnya yang dilepaskan dari sel-sel inflamasi ( seperti makrofag dan neutrophil ) diaktifkan. Mungkin juga ada penurunan antioksidan endogen pada pasien PPOK.
Stres oksidatif memiliki beberapa konsekuensi yang merugikan di paru, termasuk aktivasi gen inflamasi, inaktivasi antiproteases, stimulasi sekresi lendir, dan stimulasi eksudasi plasma meningkat. Banyak dari efek samping dimediasi oleh peroxynitrite, yang dibentuk melalui interaksi antara anion superoksida dan oksida nitrat. Oksida nitrat yang dihasilkan oleh sintase oksida nitrat induktif, terdapat pada saluran udara perifer dan parenkim paru pasien PPOK. Stres oksidatif juga dapat mencakup pengurangan dalam kegiatan histone deacetylase pada jaringan paru dari pasien PPOK, yang dapat menyebabkan peningkatan ekspresi gen inflamasi dan juga pengurangan tindakan anti-inflamasi glukokortikosteroid.
Tabel 4.Protease dan Antiproteases pada PPOK
Peningkatan Protease Penurunan Antiprotease
Serin protease Neutrofil elastase Cathepsin G Proteinase 3 Sistein proteinase B Cathepsins, K, L, S Matrix metaloproteinase (MMPs) MMP-8, MMP-9, MMP-12 Alpha-1 antitrypsin Alpha-1 antichymotrypsin Sekretori leukoprotease inhibitor Elafin
Cystatins
Tissue inhibitor of MMP 1-4 (TIMP1-4) (Dikutip dari Gold 2010)
Ketidakseimbangan protease-Antiprotease
Ada bukti kuat mengenai ketidakseimbangan protease dan antiprotease pasien PPOK, yaitu protease yang memecah komponen jaringan ikat dan antiproteases yang melindunginya. Beberapa protease, berasal dari sel inflamasi dan sel epitel, yang meningkat pada pasien PPOK. Protease-mediated perusakan elastin, komponen jaringan utama penghubung dalam parenkim paru-paru, adalah faktor penting dari emphysema dan kemungkinan tidak dapat diubah
PATOLOGI
Perubahan patologis karakteristik PPOK ditemukan di saluran napas proksimal, saluran napas perifer, parenkim dan vascular paru. Perubahan patologis akibat inflamasi kronis terjadi karena peningkatan sel inflamasi kronis di berbagai bagian paru yang menimbulkan kerusakan dan perubahan struktural akibat cedera dan perbaikan berulang. Secara umum, perubahan inflamasi dan struktural saluran napas akan tetap berlangsung sesuai dengan beratnya penyakit walaupun sudah berhenti merokok.
Tabel 5. Perubahan patologis pada PPOK
Saluran napas proksimal (trakea, bronkus diameter > 2 mm)
Sel inflamasi: makrofag, limfosit T CD8+(sitotoksik), sedikit neutrofil atau eosinofil
Perubahan struktural: sel goblet, pembesaran kelenjar submukosa (keduanya menyebabkan hipersekresi lendir) metaplasia sel epitel skuamosa
Saluran napas perifer (bronkiolus diameter < 2 mm)
Sel inflamasi: makrofag, limfosit T (CD8+> CD4+), limfosit B, folikel limfoid,
fibroblas, sedikit neutrophils atau eosinofil.
Parenkim paru (bronchioles pernapasan dan alveoli)
Sel inflamasi: makrofag, limfosit T CD8+.
Perubahan struktural: kerusakan dinding alveolus, apoptosis sel epitel dan endotel • Emfisema sentrilobular: dilatasi dan kerusakan bronkiolus; paling sering terlihat pada perokok
• Emfisema panacinar: perusakan alveolus dan bronkiolus; paling sering terlihat pada kekurangan-1 antitrypsin
Pembuluh darah paru
Sel inflamasi: makrofag, limfosit T
Perubahan struktural: penebalan intima, disfungsi sel endotel, penebalan otot polos (hipertensi pulmonal).
PATOFISIOLOGI
Saat ini telah diketahui dengan jelas tentang mekanisme patofisiologis yang mendasari PPOK sampai terjadinya gejala yang karakteristik. Misalnya penurunan FEV1 yang terjadi disebabkan peradangan dan
penyempitan saluran napas perifer, sementara transfer gas yang menurun disebabkan kerusakan parenkim yang terjadi pada emphysema.
Gambar 2. Patofisiologi PPOK
(Dikutip dari: Rahman, Oxidative Stress, 2005)
Keterbatasan Aliran Udara dan Air Trapping
Tingkat peradangan, fibrosis, dan eksudat luminal dalam saluran udara kecil berkorelasi dengan penurunan FEV1 dan rasio FEV1/FVC.
Penurunan FEV1merupakan gejala yang khas pada PPOK, obstruksi jalan
napas perifer ini menyebabkan udara terperangkap dan mengakibatkan hiperinflasi.
Meskipun emfisema lebih dikaitkan dengan kelainan pertukaran gas dibandingkan dengan FEV1 berkurang, hal ini berkontribusi juga pada
udara yang terperangkap yang terutama terjadi pada alveolar. Ataupun saluran napas kecil akan menjadi hancur ketika penyakit menjadi lebih parah.
Hiperinflasi mengurangi kapasitas inspirasi seperti peningkatan kapasitas residual fungsional, khususnya selama latihan (bila kelainan ini dikenal sebagai hiperinflasi dinamis), yang terlihat sebagai dyspnea dan keterbatasan kapasitas latihan. Hiperinflasi yang berkembang pada awal penyakit merupakan mekanisme utama timbulnya dyspnea pada aktivitas. Bronkodilator yang bekerja pada saluran napas perifer mengurangi perangkap udara, sehingga mengurangi volume paru residu dan gejala serta meeningkatkan dan kapasitas berolahraga.
Mekanisme Pertukaran Gas
Ketidak seimbangan pertukaran gas menyebabkan kelainan hipoksemia dan hypercapnia yang terjadi karena beberapa mekanisme. Secara umum, pertukaran gasakan memburuk selama penyakit berlangsung. Tingkat keparahan emfisema berkorelasi dengan PO2 arteri dan tanda lain dari
ketidakseimbangan ventilasi-perfusi (VA / Q).
Obstruksi jalan napas perifer juga menghasilkan ketidakseimbangan VA / Q, dan penggabungan dengan gangguan fungsi otot ventilasi pada penyakityang sudah parah akan mengurangi ventilasi, yang menyebabkan retensi karbon dioksida. Kelainan pada ventilasi alveolar dan berkurangnya pembuluh darah paru akan lebih memperburuk kelainan VA / Q.
Hipersekresi lendir
Hipersekresi lendir, yang mengakibatkan batuk produktif kronis, adalah gambaran dari bronkitis kronis tidak selalu dikaitkan dengan keterbatasan aliran udara. Sebaliknya, tidak semua pasien dengan PPOK memiliki gejala hipersekresi lendir. Hal ini disebabkan karena metaplasia mukosa yang meningkatkan jumlah sel goblet dan membesarnya kelenjar submukosa sebagai respons terhadap iritasi kronis saluran napas oleh asap rokok atau agen berbahaya lainnya. Beberapa mediator dan protease merangsang hipersekresi lendir melalui aktivasi reseptor faktor EGFR.
Hipertensi Paru
Hipertensi paru ringan sampai sedang mungkin terjadi pada PPOK akibat proses vasokonstriksi yang disebabkan hipoksia arteri kecil pada paru yang kemudian mengakibatkan perubahan struktural yang meliputi hiperplasia intimal dan kemudian hipertrofi otot polos / hiperplasia.
Respon inflamasi dalam pembuluh darah sama dengan yang terlihat di saluran udara dengan bukti terlihatnya disfungsi sel endotel. Hilangnya kapiler paru pada emfisema juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan dalam sirkulasi paru sehingga terjadi. pulmonary hypertension yang bersifat progresif dapat mengakibatkan hipertrofi ventrikel kanan dan akhirnya gagal jantung kanan (cor pulmonale).
Gambaran Dampak Sistemik
Dari beberapa laporan penelitian, ternyata pasien PPOK memberikan pula beberapa gambaran dampak sistemik, khususnya pada pasien dengan penyakit berat, hal ini berdampak besar terhadap kualitas hidup dan penyakit penyerta.
Kakeksia umumnya terlihat pada pasien dengan PPOK berat. Disebabkan karena hilangnya massa otot rangka dan kelemahan sebagai akibat dari apoptosisyang meningkat dan / atau tidak digunakannya otot-otot tersebut.Pasien dengan PPOK juga mengalami peningkatan proses osteoporosis, depresi dan anemia kronis.
Peningkatan konsentrasi mediator inflamasi, termasuk TNF- IL-6, dan radikal bebas oksigen dengan keturunannya, dapat beberapa efek sistemik. Peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler, berkorelasi dengan peningkatan protein C-reaktif (CRP).
Berikut ini adalah gambar tentang POOK dengan berbagai penyakit yg bisa berkolerasi.
Gambar 3. PPOK dengan berbagai penyakit penyerta
Dikutip dari: Lusuardi et.al, Monaldi Arch Chest Dis, 2008,69[1]: 11-7)
Eksaserbasi
Eksaserbasi merupakan amplifikasi lebih lanjut dari respon inflamasi dalam saluran napas pasien PPOK, dapat dipicu oleh infeksi bakteri atau virus atau oleh polusi lingkungan. Mekanisme inflamasi yang mengakibatkan eksaserbasi PPOK, masih banyak yang belum diketahui. Dalam eksaserbasi ringan dan sedang terdapat peningkatan neutrophil, beberapa studi lainnya juga menemukan eosinofil dalam dahak dan dinding saluran napas. Hal ini berkaitan dengan peningkatan konsentrasi mediator tertentu, termasuk TNF-, LTB4 dan IL-8, serta peningkatan biomarker stres oksidatif.
Pada eksaserbasi berat masih banyak hal yang belum jelas, meskipun salah satu penelitian menunjukkan peningkatan neutrofil pada dinding saluran nafas dan peningkatan ekspresi kemokin. Selama eksaserbasi terlihat peningkatan hiperinflasi dan terperangkapnya udara, dengan aliran ekspirasi berkurang, sehingga terjadi sesak napas yang meningkat. Terdapat juga memburuknya abnormalitas VA / Q yang mengakibatkan hipoksemia berat.
BAB V DIAGNOSIS
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda dan gejala ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan sampai ditemukan kelainan yang jelas dan tanda inflasi paru.
Diagnosis PPOK dipertimbangkan bila timbul tanda dan gejala yang secara rinci diterangkan pada tabel 5 berikut:
Tabel 6. Indikator kunci untuk mendiagnosis PPOK
Gejala Keterangan
Sesak yaitu: Progresif (sesak bertambah berat seiringberjalannya waktu) Bertambah berat dengan aktivitas Persistent (menetap sepanjang hari) Dijelaskan oleh bahasa pasien sebagai "Perlu usaha untuk bernapas,"
Berat, sukar bernapas, terengah-engah Batuk Kronik Hilang timbul dan mungkin tidak berdahak. Batuk kronik berdahak: Setiap batuk kronik berdahak dapat
mengindikasikan PPOK. Riwayat terpajan factor
resiko, terutama Asap rokok.Debu dan bahan kimia di tempat kerja Asap dapur
Pertimbangkan PPOK dan lakukan uji spirometri, jika salah satu indikator ini ada pada individu di atas usia 40 tahun. Indikator ini bukan merupakan diagnostik pasti, tetapi keberadaan beberapa indikator kunci meningkatkan kemungkinan diagnosis PPOK. Spirometri diperlukan untuk memastikan diagnosis PPOK.
Untuk menegakkan diagnosis PPOK secara rinci diuraikan sebagai berikut:
Gambaran Klinis
1. Anamnesis
Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan
Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat
badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
Batuk berulang dengan atau tanpa dahak Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
2. Pemeriksaan Fisis
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
Inspeksi
- Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup / mencucu)
- Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas - Hipertropi otot bantu napas - Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai
- Penampilan pink puffer atau blue bloater
Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah
Auskultasi
- Suara napas vesikuler normal, atau melemah
- Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa
- Ekspirasi memanjang
- Bunyi jantung terdengar jauh Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed-lips breathing
Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan rongki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer
Pursed-lips breathing
Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulutmencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2yangterjadi pada gagal napas
kronik.
Pemeriksaan rutin
1. Faal Paru
Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan
atau VEP1/KVP (%).
- Obstruksi : % VEP1 (VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1%
(VEP1/KVP) < 75%
- VEP1 % merupakan parameter yang paling umum
dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit
- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%
Tabel 7. Pemeriksaan spirometri Persiapan
Spirometer perlu di kalibrasi secara teratur.
Spirometer harus menghasilkan hard copy /rekaman secara otomatis
untuk mendeteksi kesalahan teknis atau untuk mengidentifikasi apakah uji sudah memenuhi syarat.
Petugas yang melakukan uji spirometri perlu pelatihan untuk
mendapatkan hasil yang efektif .
Usaha maksimal dari pasien diperlukan dalam melaksanakan uji ini
guna menghindari kesalahan diagnosis maupun manajemen.
Kinerja
Spirometri harus dilakukan menggunakan teknik yang memenuhi
standar
Volume ekspirasi dilakukan dengan benar
Rekaman harus dilakukan cukup waktu untuk mencatat suatu kurva
volume/waktu yang dicapai, mungkin memerlukan waktu lebih dari 15 detik pada penyakit berat.
Baik KVP maupun VEP1 harus merupakan nilai terbesar yang
diperoleh dari salah satu 3 kurva dengan teknis yang benar, nilai KVP dan nilai VEP1 dalam tiga kurva harus bervariasi dengan perbedaan
tidak lebih dari 5% atau 100 ml.
Rasio VEP1/KVP harus diambil dari kurva yang secara teknis dapat
diterima dengan nilai terbesar dari KVP maupun VEP1. Evaluasi
Pengukuran spirometri dievaluasi dengan membandingkan hasil
pengukuran terhadap nilai acuan yang tepat berdasarkan usia, tinggi badan, jenis kelamin dan ras
Nilai VEP1pasca bronkodilator < 80% prediksi serta nilai VEP1/KVP
<0,70 memastikan ada hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel
Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1atau APE, perubahan VEP1 atau APE <20% nilai
awal dan <200 ml
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
Tabel 8. Uji bronkodilator pada PPOK Persiapan
Uji harus dilakukan ketika pasien secara klinis stabil dan bebas dari
infeksi pernapasan.
Pasien sebaiknya tidak menggunakan bronkodilator inhalasi kerja
cepat enam jam sebelum uji, bronkodilator kerja lama 12 jam sebelum uji, atau teofilin lepas lambat 24 jam sebelum uji.
Spirometri
VEP1harus diukur sebelum diberikan bronkodilator
Bronkodilator harus diberikan dengan inhaler dosis terukur melalui perangkat spacer atau nebulizer untuk meyakinkan telah dihirup
Dosis bronkodilator harus ditentukan untuk mendapatkan kurva tertinggi pada dosis tertentu
Protokol dosis yang memungkinkan adalah 400 g 2-agonis, hingga 160 g antikolinergik, atau gabungan keduanya. VEP1 harus
diukur lagi 10-15 menit setelah diberikan bronkodilator kerja singkat atau 30-45 menit setelah diberikan bronkodilator kombinasi.
Kesimpulan:
Peningkatan VEP1 yang baik dan dianggap bermakna bila lebih besar dari
200 ml atau 12% di atas VEP1 sebelum pemberian bronkodilator. Hal ini
2. Laboratorium darah Hb, Ht, Tr, Lekosit Analisis Gas Darah 3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain
Pada emfisema terlihat gambaran :
Hiperinflasi
Hiperlusen
Ruang retrosternal melebar
Diafragma mendatar
Jantung menggantung (jantung pendulum/tear drop / eye drop appearance)
Pada bronkitis kronik :
Normal
Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21% kasus
Pemeriksaan penunjang lanjutan
1. Faal paru lengkap
Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total (KRT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
DLCO menurun pada emfisema
Raw meningkat pada bronkitis kronik
Sgaw meningkat
Variabiliti Harian APE kurang dari 20% 2. Uji latih kardiopulmoner
Sepeda statis (ergocycle)
Jentera (treadmill)
Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal 3. Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktivitas bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat hipereaktivitas bronkus derajat ringan
4. Analisis gas darah Terutama untuk menilai :
Gagal napas kronik stabil
Gagal napas akut pada gagal napas kronik 5. Radiologi
CT-Scan resolusi tinggi
Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos
Scan ventilasi perfusi
Mengetahui fungsi respirasi paru 6. Elektrokardiografi (EKG)
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh P pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan
7. Ekokardiografi
Menilai fungsi jantung kanan 8. Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia
9. Kadar-1 antitripsin
Kadar antitripsin -1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia muda), defisiensi antitripsin -1 jarang ditemukan di Indonesia
BAB VI
DIAGNOSIS BANDING
Tabel 9. Diagnosis banding PPOK
Diagnosis Gejala
PPOK Onset pada usia pertengahan. Gejala progresif lambat. Lamanya riwayat merokok. Sesak saat aktivitas
Sebagian besar hambatan aliran udara ireversibel. Asma Onset awal sering pada anak.
Gejala bervariasi dari hari ke hari. Gejala pada malam / menjelang pagi. Disertai alergi, rinitis atau eksim . Riwayat keluarga dengan asma.
Sebagian besar keterbatasan aliran udara reversibel Gagal Jantung
kongestif Auskultasi,terdengar ronchi halus di bagian basal.Foto toraks tampak jantung membesar, edema paru. Uji fungsi paru menunjukkan restriksi bukan obstruksi. Bronkiektasis Sputum produktif dan purulen.
Umumnya terkait dengan infeksi bakteri. Auskultasi terdengar ronki kasar
Foto toraks /CT-scan toraks menunjukkan pelebaran dan penebalan bronkus.
Tuberkulosis Onset segala usia
Foto toraks menunjukkan infiltrat di paru. Konfirmasi mikrobiologi (sputum BTA)
Diagnosis Gejala
Bronkiolitis obliterans Onset pada usia muda, bukan perokok.
Mungkin memiliki riwayat rheumatoid arthritis atau pajanan asap.
CT-scan toraks pada ekspirasi menunjukkan daerah hypodense
Panbronkiolitis
diffusa Lebih banyak pada laki-laki bukan perokok.Hampir semua menderita sinusitis kronis.
Foto toraks dan HRCT toraks menunjukkan nodul opak menyebar kecil di centrilobular dan gambaran
hiperinflasi
Gejala gejala diatas ini sesuai karakteristik penyakit masing-masing, tetapi tidak terjadi pada setiap kasus. Misalnya, seseorang yang tidak pernah merokok dapat menderita PPOK (terutama di negara berkembang di mana faktor risiko lain mungkin lebih penting daripada merokok); asma dapat berkembang di usia dewasa dan bahkan pasien lanjut usia.
(Dikutip dari: Gold, 2010)
Asma
SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberkulosis)
Adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada penderia pascatuberkulosis dengan lesi paru yang minimal
Pneumotoraks
Gagal Jantung kronik
Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal : bronkiektasis, destroyed lung
Asma dan PPOK adalah penyakit obstruksi saluran napas yang sering ditemukan di Indonesia, karena itu diagnosid yang tepat harus ditegakkan karena terapi dan prognosisnya berbeda.
Perbedaan antara Inflamasi PPOK dan Asma.
Meskipun PPOK dan asma berhubungan dengan inflamasi kronis saluran napas namun terdapat perbedaan dalam hal sel inflamasi dan mediator
inflamasi antara asma berat dan PPOK. Beberapa pasien PPOK memiliki gambaran seperti asma dan mungkin memiliki pola inflamasi yang ditandai dengan peningkatan eosinofil. Sebaliknya, pasien asma yang merokok memiliki gambaran patologis mirip dengan PPOK.
Tabel 10. Perbedaan sel inflamasi asma dan PPOK
PPOK Asma Asma berat
Sel Neutrophils ++ Macrophages +++ CD8+ T cells (Tc1) Eosinophils ++ Macrophages + CD4+ T cells (Th2) Neutrophils + Macrophages CD4+ T cells (Th2), CD8+ T cells (Tc1) Mediator kunci IL-8
TNF-_, IL-1_, IL-6 NO +
Eotaxin
IL-4, IL-5, IL-13 NO +++
IL-8 IL-5, IL-13 NO ++
Stres oksidatif +++ + +++
Lokasi Saluran napas perifer Parenkim paru Pembuluh darah paru
Saluran napas
proksimal Saluran napasproksimal Saluran napas perifer Dampak anatomis Metaplasia
skuamosa Metaplasia mukosa Fibrosis saluran napas kecil Destruksi parenkim Remodelling pembuluh darah paru
Epitel yang rapuh Metaplasia mukosa Penebalan
membrana basalis Bronkokonstriksi
Respons terapi Kurang respon terhadap bronkodilator Kurang respons terhadap steroid Respon baik terhadap bronkodilator Respon baik terhadap steroid Kurang respon terhadap bronkodilator Kurang respon terhadap steroid (Dikutip dari: Gold, 2010)
Gambar 4. Inflamasi di asma dan PPOK
BAB VII KLASIFIKASI
Terdapat ketidak sesuaian antara nilai VEP1dan gejala penderia, oleh
sebab itu perlu diperhatikan kondisi lain. Gejala sesak napas mungkin tidak bisa diprediksi dengan VEP1.
Tabel 11. Klasifikasi PPOK
Gold 2010
Derajat Klinis Faal Paru
Gejala klinis
(batuk, produksi sputum) Normal Derajat I :
PPOK Ringan
Gejala batuk kronik dan
produksi sputum ada tetapi tidak sering. Pada derajat ini pasien sering tidak menyadari bahwa fungsi paru mulai menurun
VEP1/ KVP < 70 %.
VEP180% prediksi
Derajat II : PPOK Sedang
Gejala sesak mulai dirasakan saat aktivitas dan kadang ditemukan gejala batuk dan produksi sputum. Pada derajat ini biasanya pasien mulai memeriksakan kesehatannya VEP1/KVP < 70 % 50% < VEP1 < 80% prediksi Derajat III PPOK Berat
Gejala sesak lebih berat, penurunan aktivitas, rasa lelah dan serangan eksaserbasi semakin sering dan berdampak pada kualitas hidup pasien
VEP1/KVP < 70 % 30% < VEP1 < 50% prediksi Derajat IV: PPOK Sangat Berat
Gejala di atas ditambah tanda-tanda gagal napas atau gagal jantung kanan dan
ketergantungan oksigen. Pada derajat ini kulitas hidup pasien memburuk dan jika eksaserbasi dapat mengancam jiwa
VEP1/ KVP < 70 %
VEP1< 30% prediksi atau
VEP1 < 50% prediksi
disertai gagal napas kronik
BAB VIII
PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan PPOK mencakup beberapa komponen yaitu:
1. Mengurangi gejala
2. Mencegah progresifitas penyakit 3. Meningkatkan toleransi latihan 4. Meningkatkan status kesehatan 5. Mencegah dan menangani komplikasi 6. Mencegah dan menangani eksaserbasi
7. Menurunkankematian
PENATALAKSANAAN SECARA UMUM
Tabel 12. Penatalaksanaan menurut derajat PPOK
(Dikutip dari: Gold, 2010)
DERAJAT I VEP1/KVP < 70% VEP1 80 % prediksi DERAJAT II** VEP1/KVP < 70% 50 % < VEP1< 80 % prediksi DERAJAT III VEP1/KVP70% 30 %VEP150 % prediksi DERAJAT IV VEP1/KVP < 70% VEP1< 30 % prediksi
Hindari faktor risiko : BERHENTI MEROKOK, PAJANAN KERJA
Dipertimbangkan pemberian vaksinasi influenza
Tambakan bronkodilator kerja pendek (bila diperlukan)
Berikan pengobatan rutin dengan satu atau lebih bronkodilator kerja lama
Tambahkan rehabilitasi fisis
Tambahkan inhalasi glukokortikosteroid jika terjadi eksaserbasi berulang-ulang
Tambahkan pemberian oksigen jangka panjang kalau terjadi gagal napas kronik Lakukan tindakan operasi bila diperlukan
Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi : Edukasi Berhenti merokok Obat-obatan Rehabilitasi Terapi oksigen Ventilasi mekanik Nutrisi 1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat penyakit adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan dari asma.
Tujuan edukasi pada pasien PPOK :
Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
Melaksanakan pengobatan yang maksimal
Mencapai aktiviti optimal
Meningkatkan kualiti hidup
Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya. Edukasi dapat diberikan di poloklonik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun di ICCU dan di rumah. Secara intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling, karena memerlukan waktu yang khusus dan memerlukan alat peraga. Edukasi yang tepat diharapkan dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan keterbatasan aktiviti. Penyesuaian aktiviti dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualiti hidup pasien PPOK. Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan
dengan derajat berat penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan soaial, kultural dan kondisi ekonomi penderita.
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah :
Pengetahuan dasar tentang PPOK
Obat-obatan, manfaat dan efek sampingnya
Cara pencegahan perburukan penyakit
Menghindari pencetus (berhenti merokok)
Penyesuaian aktiviti
Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan ditentukan skala prioriti bahan edukasi sebagai berikut :
Berhenti merokok
Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis PPOK ditegakkan
Penggunaan obat-obatan - Macam obat dan jenisnya
- Cara penggunaannya yang benar (oral, MDI atau nebuliser)
- Waktu penggunaan yang tepat (rutin dengan selang waktu tertentu atau kalau perlu saja)
- Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
Penggunaan oksigen
- Kapan oksigen harus digunakan - Berapa dosisnya
- Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya Tanda eksaserbasi :
- Batuk atau dan sesak bertambah - Sputum bertambah
- Sputum berubah warna
Mendeteksi dan menghinddari pencetus eksaserbasi
Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima, langsung ke pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu. Pemberian edukasi sebaiknya diberikan berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu banyak pada setiap kali pertemuan. Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil, karena PPOK merupakan penyakit kronik progresif yang ireversibel.
Pemberian edukasi berdasar derajat penyakit.
2. Berhenti merokok
Berhenti merokok merupakan satu-satunya intervensi yang paling efektif dalam mengurangi risiko berkembangnya PPOK dan memperlambat progresivitas penyakit (Bukti A).
Strategi untuk membantu pasien berhenti merokok 5A:
a. Ask (Tanyakan)
Mengidentifikasi semua perokok pada setiap kunjungan. b. Advise (Nasihati)
Dorongan kuat pada semua perokok untuk berhenti merokok. c. Assess (Nilai)
Keinginan untuk usaha berhenti merokok (misal: dalam 30 hari ke depan).
d. Assist (Bimbing)
Bantu pasien dengan rencana berhenti merokok, menyediakan konseling praktis, merekomendasikan penggunaan farmakoterapi.
e. Arrange (Atur)
Buat jadwal kontak lebih lanjut.
2. Obat-Obatan
Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang.
Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat berefek panjang (long acting).
Macam-macam bronkodilator : - Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali perhari).
- Golongan agonis-2
Bentuk inhaler digunakan unttuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis-2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita. - Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut.
Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.
Tabel 13. Derajat dan rekomendasi pengobatan PPOK
DERAJAT KARAKTERISTIK REKOMENDASI PENGOBATAN
Semua derajat Edukasi (hindari faktor pencetus)
Bronkodilator kerja singkat (SABA, Antikolinergik kerja cepat, Xantin) bila perlu
Vaksinasi influenza Derajat I :
PPOK Ringan VEPVEP11/KVP < 70% 80 % prediksi Dengan atau tanpa gejala
Bronkodilator kerja singkat (SABA, Antikolinergik kerja cepat, Xantin) bila perlu
Derajat II :
PPOK Sedang VEP50 % < VEP1/KVP < 70%1< 80 % prediksi
Dengan atau tanpa gejala
1. Pengobatan reguler dengan bronkodilator: Agonis-2 kerja panjang sebagai terapi
pemeliharaan (LABA)
Antikolinergik kerja lama sebagai terapi pemeliharaan
Simptomatik
2. Rehabilitasi (edukasi, nutrisi, rehabilitasi respirasi) Derajat III:
PPOK Berat
VEP1/KVP70% 30 %VEP150 % prediksi
dengan atau tanpa gejala
1. Pengobatan reguler dengan 1 atau lebih bronkodilator:
Agonis-2 kerja panjang sebagai terapi pemeliharaan (LABA)
Anti kolinergik kerja lama sebagai terapi pemeliharaan
Simptomatik
Kortikosteroid inhalasi bila memberikan respons klinis atau eksaserbasi berulang PDE-4 inhibitor
2. Rehabilitasi (edukasi, nutrisi, rehabilitasi respirasi) Derajat IV:
PPOK Sangat Berat
VEP1/KVP < 70% VEP1< 30 % prediksi atau gagal napas atau gagal jantung kanan
1. Pengobatan reguler dengan 1 atau lebih bronkodilator:
Agonis-2 kerja panjang sebagai terapi pemeliharaan (LABA)
Antikolinergik kerja lama sebagai terapi pemeliharaan
Pengobatan komplikasi
Kortikosteroid inhalasi bila memberikan respons klinis atau eksaserbasi berulang PDE-4 inhibitor
2. Rehabilitasi (edukasi, nutrisi, rehabilitasi respirasi)
3. Terapi oksigen jangka panjang bila gagal napas 4. Ventilasi mekanis noninvasif
5. Pertimbangkan terapi pembedahan
Tabel 14. Obat-obatan PPOK berdasarkan gejala
Gejala Golongan Obat Obat & Kemasan Dosis
Tanpa gejala - Tanpa obat
Gejala intermiten (pada waktu aktivitas)
Agonis2 Inhalasi kerja cepat Bila perlu
Gejala terus
menerus Antikolinergikkerja singkat Antikolinergik kerja lama Ipratropium bromida 20gr Tiotropium bromida 80gr 2 – 4 semprot 3 – 4 x / hari 1 hisap 1 x / hari Inhalasi Agonis 2kerja cepat Fenoterol 100gr/ semprot salbutamol 100gr / semprot Terbutalin 0,5 mgr/ semprot Prokaterol 10gr/ semprot 2 – 4 semprot 3 – 4 x/ hari 2 – 4 semprot 3 – 4 x/hari 2 – 4 semprot 4 x/ hari 2 – 4 semprot 3 x/hari Kombinasi terapi Indicaterol
Ipratropium bromida 20gr + salbutamol 100gr per semprot 1 hisap, 1x/hari 2 – 4 semprot 3 – 4 x/ hari
Gejala Golongan Obat Obat & Kemasan Dosis
Pasien memakai inhalasi agonis2
kerja singkat rutin Atau
timbul gejala pada waktu malam atau pagi hari Inhalasi Agonis 2kerja lama` (tidak dipakai untuk eksaserbasi) Formoterol 6gr, 12gr/ semprot Indacaterol Salmeterol 25gr/ semprot 1-2 semprot 2 x / hari tidak melebihi 2 x/ hari 1x sehari 1-2 semprot 2 x/ hari tidak melebihi 2 x/ hari Teofilin Indicaterol
Teofilin lepas lambat Teofilin/ aminofilin
150 mg x 3-4x/hari
1 hisap, 1x/hari 400 – 800 mg / hari 3 – 4 x/ hari Anti oksidan N asetil sistein 600 mg/ hr Pasien tetap
mem-punyai gejala dan atau terbatas dalam aktiviti harian meskipun mendapat pengobatan bron-kodilator maksimal Kortikosteroid oral ( uji kortikosteroid ) Prednison
Tabel 15. Obat-obatan PPOK
Obat IDT
*/ISK * ( ugr )
Nebulizer
(mg) Oral (mg) injeksiVial Lamakerja ( jam )
Antikolinergik
Ipratropium 40 – 80 0,25 – 0,50 - 6 – 8
Tiotropium 18 - 24
Agonis2kerja singkat
Fenoterol 100 – 200 0,5 – 2,0 - 4 – 6
Salbutamol 100 – 200 2,5 – 5.0 2 – 4 4 – 6 Terbutalin 250 – 500 5 – 10 2,5 - 5 4 – 6 Prokaterol 10 0,03 – 0,05 0,25 – 0,5 6 – 8
Agonis2kerja lama
Formoterol 4,5 – 12 - - 12 Indacaterol 150 – 300 - - 24 Salmeterol 50 – 100 - - 12 Terapi kombinasi Fenoterol + Ipratropium 200 + 20 - 4 – 8 Salbutamol + Ipratropium 75 + 15 2,5 + 0,5 - 4 – 8 Flutikason + salmeterol 50/125 +25 12 Budesonid + formoterol 80/160 +4,5 12 Metilxantin Aminofillin - - 200 240 4 – 6 Teofilin LL *** - - 100 - 400 Bervarias, bisa sampai 24 jam
Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1
pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg. Digunakan pada PPOK stabil mulai derajat III dalam bentuk glukokortikoid, kombinasi LABACs dan PDE-4.
Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat eksaserbasi. Antibiotik yang digunakan (lihat di halaman 52, tentang penatalaksanaan eksaserbasi)
Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N-asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin
Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous (misalnya ambroksol, erdostein). Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
Antitusif
Diberikan dengan hati-hati.
Phosphodiesterase-4 inhibitor
Diberikan kepada pasien dengan derajat III atau derajat IV dan memiliki riwayat eksaserbasi dan bronkitis kronik. Phosphodiesterase-4 inhibitor, roflumilast dapat mengurangi
Roflumilast juga dapat mengurangi eksaserbasi jika dikombinasikan dengan LABA. Sejauh ini belum ada penelitian yang membandingakan Roflumilast dengan glukokortikosteroid inhalasi.
Gambar dibawah ini memperlihatkan target terapi masa depan yang kemungkinan akan ada.
Gambar 5. Target terapi masa depan
(Dikutip dari: Barnes PJ. Chest 2008;134:1278-86)
3. Rehabilitasi PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi letihan dan memperbaiki kualiti hidup penderita PPOK. Penderita yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal yang disertai :
Simptom pernapasan berat
Beberapa kali masuk ruang gawat darurat
Program dilaksanakan di dalam maupun di luar rumah sakit oleh suatu tim multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan psikolog.
Program rehabilitasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis, psikososial dan latihan pernapasan.
Latihan fisis
Ditujukan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasiti sistem transportasi oksigen. Latihan fisis yang baik akan
menghasilkan :
- Peningkatan VO2max
- Perbaikan kapasiti kerja aerobik maupun anaerobik - Peningkatan cardiac output dan stroke volume - Peningkatan efisiensi distribusi darah
- Pemendekkan waktu yang diperlukan untuk recovery Latihan jasmani pada PPOK terdiri dari dua kelompok : - Latihan untuk meningkatkan kemampuan otot
pernapasan
- Endurance exercise
Latihan untuk meningkatkan kemampuan otot pernapasan: Latihan ini diprogramkan bagi penderita PPOK yang mengalami kelelahan otot pernapasannya sehingga tidak dapat menghasilkan tekanan inspirasi yang cukup untuk melakukan ventilasi maksimal yang dibutuhkan. Latihan khusus pada otot pernapasan akan mengakibatkan bertambahnya kemampuan ventilasi maksimal, memperbaiki kualiti hidup dan mengurangi sesak napas.
Pada penderita yang tidak mampu melakukan latihan endurance, latihan otot pernapasan ini akan besar manfaatnya. Apabila kedua bentuk latihan tersebut bisa dilaksanakan oleh penderita, hasilnya akan lebih baik. Oleh karena itu bentuk latihan pada penderita PPOK bersifat indivudual. Apabila ditemukan kelelahan otot pernapasan, maka porsi latihan otot pernapasan diperbesar, sebaliknya apabila didapatkan CO2
Endurance exercise
Respons kardiovaskuler tidak seluruhnya dapat terjadi pada pendrita PPOK. Bertambahnya cardiac output maksimal dan transportasi oksigen tidak sebesar pada orang sehat.
Latihan jasmani pada penderita PPOK berakibat meningkatnya toleransi latihan karena meningkatnya kapasiti kerja maksimal dengan rendahnya konsumsi oksigen. Perbaikan toleransi latihan merupakan resultante dari efisiensinya pemakaian oksigen di jaringan dan toleransi terhadap asam laktat.
Sesak napas bukan satu-satunya keluhan yang menyebabkan penderita PPOK menghentikan latihannya, faktor lain yang mempengaruhi ialah kelelahan otot kaki. Pada penderita PPOK berat, kelelahan kaki mungkin merupakan faktor yang dominan untuk menghentikan latihannya.
Berkurangnya aktiviti kegiatan sehari-hari akan menyebabkan penurunan fungsi otot skeletal. Imobilisasi selama 4-6 minggu akan menyebabkan penurunan kekuatan otot, diameter serat otot, penyimpangan energi dan aktiviti enzim metabolik. Berbaring di tempat tidur dalam jangka waktu yang lama menyebabkan menurunnya oxygen uptake dan kontrol kardiovaskuler.
Latihan fisis bagi penderita PPOK dapat dilakukan di dua tempat :
- Di rumah
* Latihan dinamik
* Menggunakan otot secara ritmis, misal : jalan, jogging, sepeda
- Rumah sakit
Program latihan setiap harinya 15-30 menit selama 4-7 hari per minggu. Tipe latihan diubah setiap hari. Pemeriksaan denyut nadi, lama latihan dan keluhan subyektif dicatat.
Pemeriksaan ulang setelah 6-8 minggu di laboratorium dapat memberikan informasi yang objektif tentang beban latihan yang sudah dilaksanakan.
Dua bentuk latihan dinamik yang tampaknya cocok untuk penderita di rumah adalah ergometri dan walking-jogging. Ergometri lebih baik daripada walking-jogging. Begitu jenis latihan sudah ditentukan, latihan dimulai selama 2-3 menit, yang cukup untuk menaikkan denyut nadi sebesar 40% maksimal. Setelah itu dapat ditingkatkan sampai mencapai denyut jantng 60%-70% maksimal selama 10 menit. Selanjutnya diikuti dengan 2-4 menit istirahat. Setelah beberapa minggu latihan ditambah sampai 20-30 menit/hari selama 5 hari perminngi. Denyut nadi maksimal adalah 220 – umur dalam tahun.
Apabila petunjuk umum sudah dilaksanakan, risiko untuk menderita dapat diperkecil. Walaupun demikian latihan jasmani secara potensial akan dapat berakibat kelainal fatal, dalam bentuk aritmia atau iskemi jantung.
Hal-hal yang perlu diperhatian sebelum latihan : - Tidak boleh makan 2-3 jam sebelum latihan - Berhenti merokok 2-3 jam sebelum latiham
- Apabila selama latihan dijumpai angina, gangguan mental, gangguan koordinasi atau pusing latihan segera dihentikan
- Pakaian longgar dan ringan Psikososial:
Status psikologi penderita perlu diamati dengan cermat dan apabila diperlukan dapat diberikan obat
Latihan Pernapasan:
Tujuan latihan ini adalah untuk mengurangi dan mongontrol sesak napas. Teknik latihan meliputi pernapasan diafragma dan pursed lips breathing guna memperbaiki ventilasi dan
4. Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ lainnya.
Manfaat oksigen:
Mengurangi sesak
Memperbaiki aktiviti
Mengurangi hipertensi pulmonal
Mengurangi vasokonstriksi
Mengurangi hematokrit
Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
Meningkatkan kualiti hidup Indikasi:
PaO2< 60 mmHg atau Sat O2< 90 %
PaO2 diantara 55-59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai
Korpulmonal, perubahan P pulmonal, Ht > 55 % dan tanda-tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain Macam terapi oksigen :
Pemberian oksigen jangka panjang
Pemberian oksigen pada waktu antiviti
Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
Pemberian oksigen secara intensif pada waktu gagal napas Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi oksigen di rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat berat dengan gagal napas kronik. Sedangkan di rumah sakit oksigen diberikan pada PPOK aksesarbasi akut di unit gawat darurat, ruang rawat ataupun ICU. Pemberian oksigen untuk penderita PPOK yang dirawat di rumah dibedakan :
Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan stabil terutama bila tidar atau sedang aktiviti, lama pemberian 15 jam setiap hari, pemberian oksigen dengan nasal kanul 1-2 L/mnt. Terapi oksigen pada waktu tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang sering terjadi bila penderita tidur.
Terapi oksigen pada waktu aktiviti bertujuan menghilangkan sesak napas dan meningkatkan kemampuan aktiviti. Sebagai parameter digunakan analisis gas darah atau pulse oksimetri. Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen di atas 90%.
Alat bantu pemberian oksigen
Nasal kanul
Sungkup venturi
Sungkup rebreathing
Sungkup nonrebreathing
Pemilihan alat bantu harus dilakukan secara hati-hati, disesuaikan dengan tujuan terapi oksigen dan kondisi analisis gas darah pada waktu tersebut. Pemberian okisgen yang terlalu tinggi dapat menyebabkan peningkatan kadar CO2. Bila terdapat kenaikan PCO2
dipilih sungkup nonrebreathing.
5. Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat dengan gagal napas kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di rumah.
Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara :
Ventilasi mekanik tanpa intubasi
Ventilasi mekanik tanpa intubasi:
Ventilasi mekanik tanpa intubasi digunakan pada PPOK dengan gagal napas kronik dan dapat digunakan selama di rumah. Bentuk ventilasi mekanik tanpa intubasi adalah noninvasive intermitten positif pressure (NIPPV) atau Negative pressure Ventilation (NPV).
NIPPV dapat diberikan dengan tipe ventilasi : - Volume control
- Pressure control
- Bilevel positive airway pressure (BiPAP) - Continous positive airway pressure (CPAP)
NIPPV bila digunakan bersamaan dengan terapi oksigen terus menerus (LTOT/Long Term Oxygen Therapy) akan memberikan perbaikan yang signifikasi pada :
- Analisis gas darah - Kualiti dan kuantiti tidur - Kualiti hidup
- Analisis gas darah Indikasi Penggunaan NIPPV :
- Sesak napas sedang sampai berat dengan penggunaan muskulus respirasi dan abdominal paradoksal
- Asidosis sedang sampai berat pH < 7.30 – 7.35 - Frekuensi napas > 25 kali per menit
NPV tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan obstruksi saluran napas atas, disamping harus menggunakan peerlengkapan yang tidak sederhana.
Ventilasi mekanik dengan intubasi
Pasien PPOK dipertimbangkan untuk menggunakan ventilasi mekanik di rumah sakit bila di temukan keadaan sebagai berikut :
Gagal napas yang pertama kali
Indikasi penggunaan ventilasi mekanik invasif :
Sesak napas berat dengan penggunaan muskulus respirasi tambahan dan pergerakan abdominal paradoksal
Frekuensi napas > 35 permenit
Hipoksemia yang mengancam jiwa (PaO2< 40 mmHG) Asidosis berat pH < 7,25 dan hiperkapni (PCO2> 60 mmHg) Henti nafas
Somnolen, gangguan kesadaran
Komplikasi kardiovaskuler (hipotensi, syok, gagal jantung)
Komplikasi lain (gangguan metabolisme, sepsis, pneumonia, emboli paru, barotrauma, efusi pleura masif)
Telah gagal dalam penggunaan NIPPV
Ventilasi mekanik sebaiknya tidak diberikan pada pasien PPOK dengan kondisi sebagai berikut :
PPOK derajat berat yang telah mendapat terapi maksimal sebelumnya
Terdapat ko-morbid yang berat, misalnya edema paru, keganasan
Aktiviti sebelumnya terbatas meskipun terapi sudah maksimal Komplikasi penggunaan ventilasi mekanik :
Ventilator-acquired pneumonia (VAP)
Barotrauma
Kesukaran weaning
Kesukaran dalam proses weaning dapat diatasi dengan
Keseimbangan antara kebutuhan respirasi dan kapasiti muskulus respirasi
Bronkodilator dan obat-obatan lain adekuat
Nutrisi seimbang