• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENINGKATAN KANDUNGAN STIGMASTEROL PADA SIMPLISIA PURWOCENG (Pimpinella alpine, Molk) MELALUI PENGELOLAAN CAHAYA DAN PUPUK SULFUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENINGKATAN KANDUNGAN STIGMASTEROL PADA SIMPLISIA PURWOCENG (Pimpinella alpine, Molk) MELALUI PENGELOLAAN CAHAYA DAN PUPUK SULFUR"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

37

PENINGKATAN KANDUNGAN STIGMASTEROL PADA SIMPLISIA PURWOCENG (Pimpinella alpine, Molk) MELALUI PENGELOLAAN CAHAYA DAN PUPUK SULFUR

Nyudi Hermanto 1, Djoko Purnomo 2, dan W.S. Dewi 3 1 Mahasiswa Program Studi Agronomi Pascasarjana UNS 2 Dosen Pembimbing I Program Studi Agronomi Pascasarjana UNS 3 Dosen Pembimbing II Program Studi Agronomi Pascasarjana UNS

( e-mail: nyudi.hermanto@gmail.com )

ABSTRAK - Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari peningkatan kandungan stigmasterol pada tanaman Purwoceng yang diberi perlakuan naungan dan dosis pupuk S. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2010 sampai dengan Agustus 2010 di Kebun Percobaan BBPTO Tawangmangu di Tlaga Dlingo – Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah dengan ketinggian tempat kurang lebih 1800 m dpl, pada tanah Andisol.

Penelitian menggunakan Rancangan LingkunganAcak Lengkap (RAL), yang disusun secara spit plot dengan dua faktor perlakuan, yaitu naungan (3 taraf) terdiri dari N1 = naungan 20%, N2 = naungan 40%, dan N3 = naungan 55% dan dosis pupuk S (4 taraf) terdiri S0 = tanpa pupuk S, S1 = dosis 25kg ZA/Ha, S2 = dosis 50kg ZA/Ha, dan S3 = 75kg ZA/Ha. Masing masing kombinasi perlakuan diulang 5 kali dan setiap satuan percobaan terdapat 2 polybag sehingga terdapat 120 polybag.

Kadar stigmasterol simplisia tanaman diukur dengan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT). Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa naungan berperan penting terhadap peningkatan kadar stigmasterol, naungan terbaik untuk Purwoceng dalam meningkatkan stigmasterol adalah 40% dengan nilai 0,114%. Pupuk sulfur tidak berpengaruh terhadap kadar stigmasterol tanaman.

Kata kunci : Stigmasterol purwoceng, intensitas cahaya , dan pupuk Sulfur PENDAHULUAN

Purwoceng (Pimpinella alpine, Molk) merupakan salah satu tanaman obat tradisional yang dikenal berkhasiat sebagai obat aprodisiak seperti pada tanaman ginseng dari Korea (Balittro, 2000; Anwar, 2001). Bagian tanaman purwoceng yang digunakan sebagai bahan baku obat adalah akar. Kualitas simplisia akar sangat dipengaruhi oleh kandungan metabolit sekunder stigmasterol. Semakin tinggi stigmasterol, maka semakin bagus

kualitas simplisia tersebut sebagai bahan baku obat (Rofiatul et al., 2009).

Tanaman purwoceng bisa tumbuh subur pada ketinggian 1800 – 3300 meter dpl dengan kondisi tanah yang subur dan gembur, suhu udara berkisar 15 -26 C, kelembaban udara berkisar 60 -70 %, serta curah hujan diatas 4.000 mm/tahun (Rostiana et al, 2006). Purwoceng awalnya merupakan tanaman liar yang tumbuh di bawah tegakan tanaman keras atau hutan sehingga kurang bagus pertumbuhannya jika mendapat sinar matahari langsung.

(2)

38 Oleh karena itu, untuk mendapatkan pertumbuhan yang baik, diperlukan naungan buatan (paranet). (Rahardjo, 2005).

Pertumbuhan tanaman dan kualitas simplisia purwoceng dipengaruhi oleh banyak faktor, antara lain: naungan, kondisi iklim mikro, kandungan unsur hara di dalam tanah, dan interaksi dengan berbagai biota tanah (Rahardjo et al.,2006). Penggunaan naungan bertujuan untuk mengurangi intensitas radiasi yang sampai ke tajuk tanaman. Naungan berfungsi untuk pengurangan intensitas cahaya, memperkecil proses transpirasi dan respirasi, kecepatan angin dan temperatur udara ( Yulia, 2002 cit. Kusumodewi, 2003).

Kandungan unsur S dalam tanah di Tawangmangu sangat rendah, yaitu 15,26 ppm, hanya setengah dari kandungan unsur S dalam tanah di Dieng (Rahardjo,M et al., 2005). Pemupukan sulfur dapat meningkatkan kandungan minyak biji tanaman budidaya seperti Linu (rami halus) dan kedelai (Gardner et al.1991). Ketersediaan sulfur bagi tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk kelembaban, aerasi, suhu, dan pH tanah (Buckman dan Brady, 1982). Sulfur merupakan unsur esensial (penting) untuk seluruh tanaman budidaya. Sulfur sangat esensial untuk pertumbuhan tanaman karena dalam keadaan kekurangan unsur ini tanaman akan gagal tumbuh atau tidak dapat menyelesaikan daur hidup. Sulfur juga

merupakan unsur penyusun metabolit yang sangat diperlukan yaitu asam amino metionin (Gardner et al. 1991). Sulfur terutama diserap tanaman dalam bentuk ion sulfat (SO4²ˉ) dan ditranslokasikan secara pasif dan aktif, meskipun demikina daun juga dapat menyerap gas SO2 dalam jumlah yang cukup besar (Gardner, 1991). Ada tiga sumber alam pokok dari mana tanaman mendapatkan sulfur yaitu tanah mineral, gas sulfur dalam atmosfer dan sulfur dalam senyawa organik (Buckman and Brady, 1982). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh intensitas cahaya dan dosis pupuk S terhadap pertumbuh-an dpertumbuh-an kpertumbuh-andungpertumbuh-an stigmasterol tpertumbuh-anampertumbuh-an purwoceng.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di Stasiun Penelitian BPTO Tawangmangu di Tlaga Dlingo – Tawangmangu, kabupaten Karanganyar. Ketinggian tempat kurang lebih 1800 m dpl, dengan suhu berkisar antara 21 C pada siang hari dan pada malam hari 18C. Jenis tanah yang digunakan tanah Andisol. Pelaksanaan bulan Maret – Agustus 2010 .

Bahan percobaan bibit purwoceng (umur 3 bulan) berasal dari Dataran Tinggi Dieng (2050m dpl), polybag (30 x 45 cm), paranet (ukuran 20%, 40%, dan 55%). Alat percobaan meliputi 1) cangkul, 2) sabit, 3) meteran, 4) oven, 5) timbangan digital, 6) klorofil meter, 7) luxmeter, 8) thermometer.

(3)

39 Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) spit plot yang terdiri atas dua faktor perlakuan yaitu naungan terdiri 3 taraf (25,40, dan 55%) dan pupuk S menggunakan pupuk ZA terdiri atas 4 taraf (kontrol/tanpa pupuk S, 25, 50, dan 75 kg/ha, sehingga terdapat 12 kombinasi perlakuan, masing-masing diulang 5 kali. Setiap satuan percobaan terdiri atas 2 polybag sehingga terdapat 120 polibag.

Bibit purwoceng berumur 3 bulan yang diperoleh dari bibit pindahan dari lapang kedalam pot/polybag yang berasal dari daerah Dieng. Kemudian dipindah-kan ke polybag besar, setelah diisi media tanah bercampur pupuk kandang, kemudian disusun sesuai perlakuan.

Parameter yang diamati meliputi kadar klorofil daun, biomasa, panjang akar, kadar S pada tanaman, kandungan S di tanah, dan kadar stigmasterol tanaman. Tanaman diambil dengan cangkul sehingga tidak terjadi kerusakan akar atau yang tertinggal. Hasil panen tersebut dicuci bersih dengan air mengalir, kemudian dikering anginkan. Hasil pengamatan percobaan dianalisis dengan varian (anova) atau Uji Sidik Ragam (Uji F 5%) dan Sidik Ragam yang menunjukkan nilai F hitungnya nyata dilanjutkan dengan uji beda jarak berganda Duncan’s (DMRT).

HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Klorofil Daun

Tanaman purwoceng yang ditanam di lokasi dengan elevasi lebih rendah (1.800m dpl) daripada habitat asli (2.100m dpl) menunjukkan tanggapan berbeda terhadap beberapa intensitas cahaya (p<0,05), demikian pula terhadap penggunaan pupuk S (pupuk ZA) (p<0,05), dan kedua perlakuan terjadi interaksi. Kadar klorofil daun purwoceng tertinggi (58,91/cm² per tanaman) terjadi pada interaksi tanaman yang memperoleh penyinaran 83.200 lux (20% naungan) pada dosis pupuk S 75kg/ha. Hal ini dikarenakan semakin tinggi intensitas penyinaran akan semakin meningkatkan kadar klorofil daun yang membuat proses fotosintesis meningkat. Penelitian ini sejalan dengan Mendes et al. (2001), yang meneliti pengaruh cahaya sebagai faktor tunggal pada Myrtus communis yang hasilnya dinyatakan bahwa perlakuan tanpa naungan memberikan kadar klorofil lebih tinggi di banding dengan perlakuan 70% naungan.

Gambar 1. Tanggapan tanaman terhadap interaksi antara Intensitas cahaya (lux) dengan

(4)

40 Pemberian pupuk S (Pupuk ZA) berpengaruh nyata terhadap klorofil daun dan peningkatkan kadar klorofi daun secara linier (Gambar 1) yang berarti dosis pupuk S 75 kg per hektar belum merupakan dosis optimum. Peningkatan kadar klorofil daun akibat pengaruh unsur S dikarenakan Sulfur merupakan salah satu unsur makro yang berperan sebagai penyusun beberapa asam amino yaitu sistin, sistein dan metionin yang merupakan bahan sintesa protein dan klorofil (Gardner et al., 1996). Biomasa tanaman

Biomasa tanaman adalah hasil fotosintesis yang lebih lanjut disintesis menjadi organ tanaman (daun, batang, dan akar) setelah kehilangan air (karena pengeringan). Tanaman purwoceng yang ditanam di lokasi dengan elevasi lebih rendah (1.800 m dpl) daripada habitat asli (2.100 m dpl) menunjukkan tanggapan berbeda terhadap beberapa intensitas cahaya (p<0,05), demikian pula terhadap penggunaan pupuk S (pupuk ZA) (p<0,05), namun kedua perlakuan tidak terjadi interaksi. Bobot biomasa tanaman purwoceng tertinggi (6,67 g per tanaman) dicapai pada tanaman yang memperoleh penyinaran 41.500 lux (40% naungan). Tanaman yang memperoleh penyinaran dibawah (20.500 lux, 55% naungan) dan diatasnya (83.200 lux, 20% naungan) biomassa masing-masing mencapai 4,68 dan 2,87 g per tanaman.

Gambar 2. Pola hubungan antara biomasa tanaman dengan intensitas cahaya Cahaya intensitas lebih tinggi mengakibatkan hambatan pertumbuhan berhubungan dengan keseimbangan fotosintesis dan respirasi. Cahaya intensitas tinggi, meningkatkan suhu, sehingga meningkatkan respirasi yang berakibat pada biomasa lebih rendah. Intensitas cahaya lebih rendah berakibat pada penurunan laju fotosintesis sehingga biomasa lebih rendah (Purnomo dkk., 2010; Taiz and Zieger,1998).

Gambar 3. Tanggapan tanaman purwoceng terhadap dosis pupuk S

Pemberian pupuk S (Pupuk ZA) meningkatkan bobot biomasa secara linier (Gambar 3) yang berarti dosis pupuk S 75 kg per hektar belum merupakan dosis optimum. Unsur sulfur meningkatkan bobot biomasa karena

(5)

41 sulfur merupakan sebagai komponen dalam beberapa jenis asam amino yaitu sistin, sistein, dan metionin yang merupakan bahan penyusun protein dan co-enzim yang mempengaruhi metabolisme tanaman (Gardner et al., 1991). Dengan meningkatnya proses metabolisme pada tanaman maka akan meningkatkan hasil metabolit yang akhirnya meningkatkan berat kering. Panjang Akar

Tanggapan tanaman purwoceng yang ditanam di lokasi dengan elevasi lebih rendah (1.800m dpl) di Tawangmangu menunjukkan pengaruh nyata terhadap beberapa intensitas cahaya, tetapi terhadap penggunaan pupuk S (pupuk ZA) tidak memberikan pengaruh, dan kedua perlakuan tidak terjadi interaksi.

Panjang akar tanaman purwoceng tertinggi (22.57 cm per tanaman) dicapai pada tanaman yang memperoleh penyinaran (83.200 lux (20% naungan). Tanaman yang memperoleh penyinaran dibawah (41.500 lux, 55% naungan) dan, 20.500 lux, 40% naungan) panjang akar masing-masing mencapai 17.35 dan 17.39 cm per tanaman (gambar 4).

Hal ini bisa dikorelasikan dengan hasil biomasa tanaman. Tanaman yang mendapatkan intensitas cahaya tinggi menghasilkan biomasa yang lebih berat daripada tanaman yang dikenakan intensitas cahaya lebih rendah, biomasa tanaman terdiri dari bagian atas tanaman dan bawah tanaman, sehingga akar tanaman yang mendapatkan intensitas cahaya yang tinggi lebih panjang daripada tanaman yang mendapatkan intensitas cahaya yang rendah.

Kandungan S pada Tanaman

Tanggapan yang berbeda terhadap beberapa intensitas cahaya (p<0,05), demikian pula terhadap dosis pupuk S (pupuk ZA) (p<0,05) ditunjukkan tanaman purwoceng yang ditanam di Tawangmangu namun kedua perlakuan tidak terjadi interaksi. Kandungan S tertinggi terdapat pada tanaman dengan intensitas cahaya 20.500 lux (55% naungan), yaitu 0,354%. Sedangkan tanaman yang memperoleh penyinaran 83.200 lux (20% naungan) dan 41.500 lux (40% naungan) masing-masing kandungan S tanaman adalah 0,33% dan 0,35% (gambar 5). Ini menunjukkan bahwa tanaman purwoceng yang mendapatkan intensitas cahaya yang tinggi kandungan S tanaman menjadi rendah.

(6)

42 Gambar 5. Grafik pengaruh intensitas cahaya

terhadap kandungan Sulfur tanaman Hal ini bisa dilihat dari korelasi antara S tanaman dengan kadar klorofil daun. Pada analisa klorofil daun intensitas cahaya yang tinggi akan meningkatkan kadar klorofil daun, ini menunjukkan bahwa kandungan S tanaman banyak yang disintesa sebagai prekusor klorofil sehingga kandungan S tanamannya menjadi rendah.

Pemberian pupuk S (Pupuk ZA) meningkatkan kandungan S tanaman tetapi tidak secara signifikan dalam jumlah dosis yang diberikan (Gambar 6). Kandungan S tanaman tertinggi didapat pada dosis S (pupuk ZA) 75kg/ha yaitu 0,36%. Sedang pada dosis S 25kg/ha dan 50kg/ha nilainya masing-masing 0,355% dan 0,353% . Nilai tersebut tidak berbeda nyata, walaupun diluar perhitungan statistik penambahan S menaikkan kandungan S tanaman. Penambahan unsur S dengan jalan pemupukan meningkatkan ketersediaan sulfur bagi tanaman dan lebih banyak unsur ini yang diserap tanaman sehingga kandungan S tanaman meningkat.

Gambar 6. Grafik pengaruh dosis pupuk S terhadap kandungan Sulfur tanaman Kandungan S Tersedia di Tanah

Kandungan S tersedia ditanah adalah jumlah unsur S yang dapat di serap oleh tanaman dalam bentuk sulfat anionik (SO4² ). Unsur tersebut aktif diangkut ke dalam akar dan kemudian didistribusikan ke seluruh bagian tanaman. Dari hasil analisis ragam kadar S tersedia ditanah (tabel 9) bahwa tanaman purwoceng yang ditaman di Tawangmangu tidak menunjukan respon yang berbeda terhadap beberapa intensitas cahaya tetapi menunjukan respon yang berbeda terhadap penambahan pupuk S (pupuk ZA) (Tabel.7) Hasil kadar S tersedia di tanah tertinggi pada dosis pupuk S 75kg/ha yaitu 3,58 sedang pada dosis dibawahnya 25 dan 50kg/ha hasil masing-masing kadar S tersedia di tanah 3,32 dan 3,48. Hal ini berarti penambahan pupuk S (pupuk ZA) pada tanah yang kandungan S rendah (15,26 ppm, Raharjdo et al,.2005) bisa meningkatkan ketersedian S di tanah yang mudah diserap oleh akar tanaman dan dimanfaatkan untuk pertumbuhan tanaman.

(7)

43 Gambar 7. Grafik pengaruh dosis pupuk S

terhadap kandungan Sulfur tersedia di tanah Kandungan Stigmasterol

Stigmasterol merupakan zat yang berkasiat sebagai afrodisiak hasil dari metabolisme sekunder tanaman purwoceng yang habitat aslinya di daerah Dieng. Tanaman purwoceng yang ditanam di Tawangmangu dengan elevasi lebih rendah (1.800m dpl) daripada habitat asli (2.100m dpl) menunjukkan tanggapan berbeda terhadap beberapa intensitas cahaya, tetapi tidak demikian terhadap penggunaan pupuk S (pupuk ZA), dan kedua perlakuan tidak terjadi interaksi. Kandungan stigmasterol purwoceng tertinggi (0.114% per tanaman) dicapai pada tanaman yang memperoleh penyinaran 41.500 lux (40% naungan). Tanaman yang memperoleh penyinaran dibawah (20.500 lux, 55% naungan) dan diatasnya (83.200 lux, 20% naungan) kandungan stigmasterol masing-masing mencapai 0,096% dan 0,090% per tanaman. Kandungan stigmasterol sebesar 0.114% per tanaman lebih rendah dibandingkan dengan hasil stigmasterol purwoceng di Dieng yaitu 0,150% per tanaman (Riyadi, I, 2010). Ini menunjukkan bahwa tanaman purwoceng

optimum pada cahaya dengan intensitas 41.500 lux. Pada tanaman umumnya cahaya intensitas lebih tinggi meng-akibatkan hambatan pertumbuhan ber-hubungan dengan keseimbangan fotosintesis dan respirasi. Sedangkan intensitas cahaya lebih rendah berakibat penurunan laju fotosintesis.

Gambar 8. Grafik pengaruh intensitas cahaya terhadap kadar stigmasterol akar tanaman

Pemberian pupuk S (Pupuk ZA) tidak meningkatkan kandungan stigmasterol (Gambar 12). Bila dibandingkan dengan peran cahaya, peran pupuk S lebih rendah sebagai penentu kandungan stigmasterol. Unsur sulfur tidak meningkatkan kandungan stigmasterol karena sulfur merupakan sebagai komponen dalam beberapa jenis asam amino yaitu sistin, sistein, dan metionin yang merupakan bahan penyusun protein dan co-enzim yang mempengaruhi metabolisme tanaman (Gardner et al., 1991). Dengan meningkatnya proses metabolisme pada tanaman maka akan meningkatkan hasil metabolit tetapi tidak meningkatkan kandungan stigmasterol, dikarenakan stigmasterol merupakan hasil dari metabolisme sekunder yang dihasilkan

(8)

44 atau disintesa pada sel tanaman purwoceng akibat stress lingungan tertentu. Senyawa ini diproduksi hanya dalam jumlah sedikit tidak terus menerus untuk mempertahankan diri dari habitatnya dan tidak berperan penting dalam proses metabolisme utama (primer).(Mariska, I. 2013).

KESIMPULAN DAN SARAN

Aplikasi pengaturan cahaya lewat naungan berpengaruh nyata terhadap kadar stigmasterol akar tanaman, naungan 40% (intensitas cahaya 41.500 lux) menghasilan bobot biomasa dan kandungan stigmasterol yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan cahaya lewat naungan 20% (intensitas cahaya 83.200 lux) dan 55% (intensitas cahaya 20.500 lux).

Penambahan pupuk S (pupuk ZA) tidak berpengaruh terhadap kadar stigmasterol akar tanaman purwoceng tetapi meningkatkan bobot boimasa, kadar klorofil daun, kandungan S pada tanaman, dan kadar S tersedia di tanah.

Terjadi interaksi antara intensitas cahaya (lux) dan pemupukan S (pupuk ZA) terhadap kadar klorofi daun, yang menghasilkan kadar klorofil daun tertinggi (58,91) pada intensitas cahaya 83.200 lux dengan dosis pupuk S 75kg/ha.

Terdapat korelasi yang tinggi di antara parameter biomassa dengan kadar stigmasterol tanaman yaitu 0,81 dan

kandungan S pada tanaman dengan kadar S tersedia di tanah nilai 0,77.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, N.S. 2001. Manfaat obat tradisional sebagai ofrodisiak serta dampak positifnya untuk menjaga stamina. Makalah pada seminar Setengah hari “Menguak manfaat herbal sebagai vitalitas seksual”, Jakarta, 13 Oktober 2001.

Balittro, 2000. Penggalian pemanfaatan dan karakterisasi mutu tumbuhan obat potensial dan langka. Laporan penelitian Balittro, 47p

Buckman, O.H. dan Brady, N.C. 1992. Ilmu Tanah (Edisi Terjemahan oleh Soegiman). Jakarta; Penerbit PT.Bhatara Karya Aksara. 788 hal. Djoko Purnomo, Amalia T.S, Muji R, 2010.

Fisiologi Tumbuhan – Dasar Ilmu Pertanian. Fakultas Pertanian UNS dengan UNS Press.

Gardner, F.P., Brent R.P., and Roger, L.M. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. (Edisi terjemahan oleh Herawati Susilo dan Subiyanto). Jakarta: Universitas Indonesia Press.423 hal. Hans Lambers, F. Stuart Ch apin III, and

Thijs L.Pons. 1998. Plant Physiological Ecology. Springer-Verlag New York Inc.

James, E.R., Marilyn, K.S., Varro, E.T. 1996

Pharmacognosy and

Pharmacobiotecnology, Williams & Wilkins. 351 West Camden Street Baltimore, Maryland 21201-2436 USA.

Kwanchai A. Gomez and Arturo A.Gomez. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Penerjemah Endang Sjamsuddin, Justika S. Baharsjah. Penerbit universitas Indonesia (UI-Press). Jakarta.

Mariska, I. 2013. Metabolit Sekunder: Jalur pembentukan dan kegunaannya. Biogen Litbang Departemen Pertanian Bogor.

Rahardjo, M. 2005. Purwoceng budidaya dan pemanfaatan untuk obat perkasa pria. Penebar Swadaya, Jakarta 60 hlm.

(9)

45 Rahardjo, M., Rostiana. 2006. Budidaya

Tanaman Obat Langka purwoceng. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Tanaman Obat Menuju Kemandirian Masyarakat dalam Pengobatan Keluarga. Jakarta. Hal 138-146.

Rofiatul, U.E.M, Cahyono,B, Suzery, M. 2009. Analisa kadar stigmasterol dari tanaman purwoceng (Pimpinella alpine Molk.) yang tumbuh pada tingkat ketinggian berbeda. Jurusan Kimia FMIPA UNDIP, Semarang.

Rostiana, O., W. Haryudin dan S. Aisyah. 2006. Karakteristik nomor-nomor koleksi purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) di Gunung Putri. Prosiding Seminar Nasional dan pameran Tumbuhan Obat Indonesia XXVIII, Bogor. Hal. 55-61.

Taiz, L dan Zeiger, E. 1998. Plant Physiology. Sinauer Associates, Inc., Publisers. Sunderland, Massachusetts.

Widiyastuti, Y. 2000. Pengaruh pemberian sulphur dan pupuk mikro terhadap peningkatan kadar minyak astiripada budidaya bawang putih (Allium satiivum L.). Laporan Penelitian. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 41 hal.

Gambar

Gambar 1. Tanggapan tanaman terhadap  interaksi antara Intensitas cahaya (lux) dengan
Gambar 3. Tanggapan tanaman purwoceng  terhadap dosis pupuk S
Gambar 6. Grafik pengaruh dosis pupuk S  terhadap kandungan Sulfur tanaman
Gambar 8. Grafik pengaruh intensitas cahaya   terhadap kadar stigmasterol akar tanaman

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan, maka akan dilakukan penelitian tentang desain ulang shielding di ruang Linear Accelerator (Linac) yang akan digunakan di lantai 1

CEO transformational leadership and the new product development process: The mediating roles of organizational learning and innovation culture.. Seen Yu Ng, Garib Singh SK.,

Mi : tidak berpikir terlalu banyak/berat tentang sakit yang diderita, menganggap hal yang biasa jika dirinya menjadi beban bagi keluarganya, menerima sakit sebagai takdir,

In this paper, a Proportional-Integral- Derivative (PID) controller is applied to a laboratory helicopter model used in the experiment is a laboratory-scale

Temuan dalam penelitian ini mengindikasikan bahwa citra merek berpengaruh terhadap kepuasan dan loyalitas pelanggan baik secara positif maupun negatif namun hal tersebut

Penggunaan bibit unggul di awal penanaman sangat berpengaruh terhadap mutu produk kopi arabika yang dihasilkan. Secara umum petani di Sugih Jaya masih menggunakan

Tujuan dari penelitian terdahulu yakni untuk mendapatkan bukti empiris (1) Apakah perusahaan dengan kepemilikan saham oleh manajerial, kepemilikan saham oleh

Dimana karyawan tersebut telah memiliki masing - masing tugasnya yaitu pemilik sebagai seorang marketing yang bertugas untuk mencari konsumen, sebagai pengawas produksi,