• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pedoman PMTCT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pedoman PMTCT"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

PEDOMAN PENCEGAHAN

PENULARAN HIV DARI I BU KE ANAK

(PPIA)

2014

RSUD Sangatta Jl. Soekarno - Hatta Tel 0549 - 5523215 Sangatta

(2)

PEDOMAN PPIA

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala rahmat yang telah dikaruniakan kepada penyusun, sehingga Buku Pedoman Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA /

Prevention of Mother-to-Child HIV Transmission / PMTCT) Rumah Sakit Umum Daerah Sangatta ini dapat selesai disusun.

Buku Pedoman PPIA di Rumah Sakit Umum Daerah Sangatta ini disusun untuk lebih memantapkan upaya penanggulangan HIV/AIDS, keselamatan pasien, keselamatan kerja, serta meningkatkan mutu pelayanan.

Dalam buku pedoman ini diuraikan Standar Ketenagaan, Standar Fasilitas, Tatalaksana Pelayanan Terapi Antiretroviral (ARV), Logistik, Keselamatan Pasien, Keselamatan Kerja, dan Pengendalian Mutu.

Tidak lupa penyusun sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya atas bantuan semua pihak dalam menyelesaikan Buku Pedoman Pelayanan Terapi Antiretroviral (ARV) di Rumah Sakit Umum Daerah Sangatta.

Sangatta, Januari 2014

(3)

PEDOMAN PPIA

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1. Denah Ruangan Pelayanan terapi ARV di RSUD Sangatta ... 6 Gambar 4.1. Alur proses ibu hamil menjalani kegiatan PRONG 3 dan 4 dalam PPIA ... 11

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Distribusi ketenagaan pelayanan PPIA RSUD Sangatta ... 5 Tabel 4.1. Pilihan persalinan ... 8

(4)

PEDOMAN PPIA

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Laporan Epidemi HIV Global UNAIDS 2012 menunjukkan bahwa terdapat 34 juta orang dengan HIV di seluruh dunia. Sebanyak 50% di antaranya adalah perempuan dan 2,1 juta anak berusia kurang dari 15 tahun. Di Asia Selatan dan Tenggara, terdapat kurang lebih 4 juta orang dengan HIV dan AIDS. Menurut Laporan Progres HIV-AIDS WHO Regional SEARO (2011) sekitar 1,3 juta orang (37%) perempuan terinfeksi HIV. Jumlah perempuan yang terinfeksi HIV dari tahun ke tahun semakin meningkat, seiring dengan meningkatnya jumlah laki-laki yang melakukan hubungan seksual tidak aman, yang selanjutnya akan menularkan pada pasangan seksualnya.

Di sejumlah negara berkembang HIV-AIDS merupakan penyebab utama kematian perempuan usia reproduksi. Infeksi HIV pada ibu hamil dapat mengancam kehidupan ibu serta ibu dapat menularkan virus kepada bayinya. Lebih dari 90% kasus anak terinfeksi HIV, ditularkan melalui proses penularan dari ibu ke anak atau mother-tochild HIV transmission(MTCT). Virus HIV dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi HIV kepada anaknya selama kehamilan, saat persalinan dan saat menyusui. Data estimasi UNAIDS/WHO (2009) juga memperkirakan 22.000 anak di wilayah Asia-Pasifik terinfeksi HIV dan tanpa pengobatan, setengah dari anak yang terinfeksi tersebut akan meninggal sebelum ulang tahun kedua.

Program Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA) telah terbukti sebagai intervensi yang sangat efektif untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke anak. Di negara maju risiko anak tertular HIV dari ibu dapat ditekan hingga kurang dari 2% karena tersedianya intervensi PPIA dengan layanan optimal. Namun di negara berkembang atau negara miskin, dengan minimnya akses intervensi, risiko penularan masih berkisar antara 20% dan 50%.

Sebagian besar infeksi HIV dapat dicegah dengan upaya pencegahan penularan dari ibu-ke-anak yang komprehensif dan efektif di fasilitas pelayanan kesehatan. RSUD Sangatta merupakan salah satu fasyankes yang menjalankan upaya-upaya terkait PPIA.

1.2. Tujuan

1. Mengetahui standar ketenagaan di Pelayanan PPIA di RSUD Sangatta. 2. Mengetahui standar fasilitas di Pelayanan PPIA di RSUD Sangatta. 3. Mengetahui tata cara PPIA di RSUD Sangatta.

4. Mengetahui keselamatan pasien dalam PPIA di RSUD Sangatta. 5. Mengetahui keselamatan kerja dalam PPIA di RSUD Sangatta.

1.3. Ruang Lingkup Pelayanan

PPIA merupakan upaya-upaya yang ditempuh untuk pencegahan penularan HIV dari ibu ke anaknya di lingkup instalasi rawat jalan, instalasi rawat inap, instalasi gawat darurat, instalasi laboratorium, instalasi farmasi, dan rekam medis.

(5)

PEDOMAN PPIA

1.4. Batasan

Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) adalah suatu gejala berkurangnya kemampuan pertahanan diri yang disebabkan oleh masuknya virus HIV ke dalam tubuh seseorang.

Anti Retroviral Therapy (ART) adalah sejenis obat untuk menghambat kecepatan replikasi virus dalam tubuh orang yang terinfeksi HIV/AIDS. Obat diberikan kepada ODHA yang memerlukan berdasarkan beberapa kriteria klinis, juga dalam rangka Prevention of Mother To Child Transmission (PMTCT).

Human Immuno-deficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyebabkan AIDS.

Orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA) adalah orang yang tubuhnya telah terinfeksi virus HIV/AIDS.

Perawatan dan dukungan adalah layanan komprehensif yang disediakan untuk ODHA dan keluarganya. Termasuk di dalamnya konseling lanjutan, perawatan, diagnosis, terapi, dan pencegahan infeksi oportunistik, dukungan sosioekonomi dan perawatan di rumah.

Persetujuan layanan adalah persetujuan yang dibuat secara sukarela oleh seseorang untuk mendapatkan layanan.

Informed Consent (Persetujuan Tindakan Medis) adalah persetujuan yang diberikan oleh orang dewasa yang secara kognisi dapat mengambil keputusan dengan sadar untuk melaksanakan prosedur (tes HIV, operasi, tindakan medik lainnya) bagi dirinya atau atas spesimen yang berasal dari dirinya. Juga termasuk persetujuan memberikan informasi tentang dirinya untuk suatu keperluan penelitian.

1.5. Landasan Hukum

1. Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit. 2. Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.

3. Keputusan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat nomor 9/KEP/1994 tentang Strategi Nasional Penanggulangan AIDS di Indonesia;

4. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1278 tahun 2009 tentang Rumah Sakit Rujukan bagi ODHA

5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 tahun 2013 tentang Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA)

6. Pedoman Nasional Pencegahan Penuralan HIV dari Ibu ke Anak (PPIA), Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2012.

7. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Orang Dewasa, Kementrian Kesehatan, Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011

8. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada Anak, Kementrian Kesehatan, Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, 2011.

9. Peraturan Bupati Kutai Timur nomor 36 Tahun 2012 tentang Pola Tata Kelola Rumah Sakit Umum Daerah Sangatta;

(6)

PEDOMAN PPIA

BAB II

STANDAR KETENAGAAN

2.1. Kualifikasi Sumber Daya Manusia

Dalam melaksanakan pelayanan PPIA di RSUD Sangatta dipimpin oleh Ketua Tim Penanggulangan HIV/AIDS. Distribusi ketenagaan pelayanan PPIA disesuaikan dengan kualifikasi dan beban kerja yang ada. Untuk distribusi ketenagaan pelayanan PPIA disebutkan dalam tabel 2.1 sesuai dengan tugas masing-masing.

Tabel 2.1. Distribusi ketenagaan pelayanan PPIA RSUD Sangatta Nama

Jabatan

Klasifikasi Jumlah

Kebutuhan

Tenaga

yang Ada Keterangan Formal Non Formal

Dokter Dokter Umum dan/atau Dokter Spesialis Pelatihan PPIA sesuai dengan standar WHO atau lebih sesuai dengan kebutuhan 1 1 dokter umum, 1 dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan Cukup Koordinator Ruang Perawatan Kebidanan dan Kandungan DIII Kebidanan Pelatihan PPIA sesuai dengan standar WHO atau lebih sesuai dengan kebutuhan 1 1 Cukup Petugas Laboratorium DIII Analis Kesehatan atau SMAK Pelatihan sesuai dengan standar WHO atau lebih sesuai dengan kebutuhan

1 1 Cukup

Petugas Farmasi

S1 Apoteker Pelatihan sesuai dengan standar WHO atau lebih sesuai dengan kebutuhan 1 1 Cukup Petugas Administrasi DIII Administrasi Kesehatan Pelatihan sesuai dengan standar WHO atau lebih sesuai dengan kebutuhan

1 1 Cukup

2.2. Distribusi Ketenagaan

Tim PPIA berjumlah 6 orang, yang terbagi menjadi dokter CST, dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan, koordinator ruang perawatan kebidanan dan kandungan, petugas laboratorium, petugas farmasi, dan petugas administrasi.

(7)

PEDOMAN PPIA

BAB III

STANDAR FASILITAS

3.1. Denah Ruangan

RSUD Sangatta tidak memiliki ruang khusus untuk pelayanan PPIA, namun terintegrasi di pusat layanan HIV/AIDS RSUD Sangatta di ruang poli VCT (lihat gambar), ruang Poliklinik Kebidanan dan Kandungan, Kamar Bersalin, dan Ruang Perawatan Kebidanan dan Kandungan.

Gambar 3.1. Denah Ruangan Pelayanan PPIA di RSUD Sangatta

3.2. Standar Fasilitas

Fasilitas yang cukup harus tersedia bagi staf medis sehingga dapat tercapai tujuan dan fungsi pelayanan PPIA yang optimal bagi pasien.

3.3. Kriteria

Tersedia ruangan khusus pelayanan klien yang berfungsi sebagai pusat pelayanan HIV/AIDS di RSUD Sangatta meliputi kegiatan konseling, penatalaksanaan, pencatatan dan pelaporan, serta menjadi pusat jejaring internal atau eksternal pelayanan HIV/AIDS di RSUD Sangatta.

1. Ruang tersebut memenuhi persyaratan sarana dan prasarana ruangan pelayanan terapi ARV. 2. Tersedia peralatan untuk melakukan pelayanan terapi ARV.

3. Tersedia ruangan laboratorium yang mampu melakukan pemeriksaan antibodi anti-HIV.

(8)

PEDOMAN PPIA

BAB IV

TATA LAKSANA PELAYANAN

Pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak (PPIA) dilaksanakan melalui kegiatan kompehensif yang meliputi empat pilar (4 prong) yaitu :

1. Pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi (15-49 tahun) 2. Pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada perempuan HIV positif 3. Pencegahan penularan HIV dari ibu hamil ke bayi yang dikandungnya

4. Dukungan psikologis, sosial, dan perawatan kesehatan selanjutnya kepada ibu yang terinfeksi HIV dan bayi serta keluarganya

4.1. PRONG 1 : Pencegahan Penularan HIV pada Perempuan Usia Reproduksi

Prong 1 merupakan langkah pencegahan primer yang paling efektif dalam penularan HIV dari ibu ke anak. Upaya ini dilakukan dengan penyuluhan-penyuluhan dan penjelasan yang benar terkait HIV/AIDS dan penyakit IMS dalam koridor kesehatan reproduksi. Untuk menghindari perilaku seksual berisiko dalam upaya mencegah penularan HIV menggunakan strategi “ABCDE” yaitu :

A (Abstinence), artinya Absen seks atau tidak melakukan hubungan seks bagi orang yang belum menikah;

B (Be Faithful), artinya Bersikap saling setia kepada satu pasangan seks (tidak berganti-ganti pasangan);

C (Condom), artinya Cegah penularan HIV melalui hubungan seksual dengan menggunakan kondom;

D (Drug No), artinya Dilarang menggunakan narkoba.

E (Education), artinya dengan penyebarluasan informasi dan edukasi mengenai HIV/AIDS. Kegiatan yang dapat dilakukan antara lain :

1. Menyebarkan informasi dan edukasi tentang HIV/AIDS dan kesehatan reproduksi baik secara individu maupun secara kelompok. Edukasi sangat perlu diberikan pada wanita remaja, sehingga mereka dapat mengetahui cara agar tidak terinfeksi HIV.

2. Mobilisasi masyarakat, dimana melibatkan petugas lapangan dan komunitas tertentu (kelompok dukungan sebaya, tokoh agama, dan tokoh masyarakat) sebagai pemberi informasi pencegahan HIV dan IMS.

3. Layanan Test HIV. Dilakukan melalui pendekatan konseling dan testing atas inisiasi petugas kesehatan (KTIP) serta konseling dan testing sukarela (KTS). Layanan ini diberikan pada pelayanan ANC terpadu dan layanan KIA di rumah sakit.

(9)

PEDOMAN PPIA

4.2. PRONG 2 : Pencegahan Kehamilan yang Tidak Direncanakan pada Perempuan

dengan HIV

Konseling yang berkualitas,penggunaan alat kontrasepsi yang aman dan efektif serta penggunaan kondom secara konsisten akan membantu perempuan dengan HIV agar melakukan hubungan seksual yang aman, serta menghindari terjadinya kehamilan yang tidak direncanakan. Perlu diingat bahwa infeksi HIV bukan merupakan indikasi aborsi. Kegiatan dalam prong ini dilakukan pada saat pasien wanita HIV positif datang kontrol ke poliklinik VCT/CST atau memeriksakan diri ke poliklinik lainnya, terutama poliklinik kebidanan dan kandungan.

Apabila wanita HIV positif tidak ingin hamil, maka kontrasepsi yang dianjurkan adalah kontrasepsi jangka panjang dan kondom. Sedangkan yang tidak ingin punya anak lagi disarankan untuk menggunakan kontrasepsi mantap dan kondom. Apabila wanita HIV positif masih ingin memiliki anak, maka dilakukan konseling lanjutan untuk merencanakan kehamilannya. Ibu dengan HIV berhak menentukan keputusannya sendiri atau setelah berdiskusi dengan pasangan, suami, atau keluarga.

4.3. PRONG 3 : Pencegahan Penularan HIV dari Ibu Hamil dengan HIV ke Bayi

yang Dikandungnya

Kegiatan pada prong ini dilaksanakan pada setiap pasien wanita hamil HIV positif yang memeriksakan diri pada poliklinik kebidanan dan kandungan atau datang kontrol ke poliklinik VCT/CST atau dalam proses persalinan di ruang bersalin (VK). Strategi ini merupakan inti dari layanan PPIA dan merupakan kegiatan layanan KIA yang komprehensif meliputi :

1. Layanan ANC terpadu termasuk penawaran dan tes HIV, merupakan jalan bagi ibu hamil untuk mengetahui status HIV, sehingga dapat pengobatan ARV sedini mungkin, dukungan psikologis, dan KIE tentang HIV/AIDS.

2. Diagnosis HIV. Alur pemeriksaan anti HIV dalam darah dengan menggunakan metode cepat (rapid) atau ELISA.

3. Pemberian ARV untuk ibu hamil HIV positif. Diberikan berdasarkan Pedoman Terapi ARV. Pemberian ARV dimulai tanpa memandang stadium klinis ataupun jumlah CD4, dan dikonsumsi seumur hidup. Bertujuan untuk mengurangi risiko penularan dan mengoptimalkan kesehatan ibu.

4. Persalinan yang aman. Pemilihan persalinan diputuskan oleh ibu setelah mendapatkan konseling lengkap tentang pilihan persalinan, risiko penularan, dan berdasarkan penilaian petugas kesehatan.

(10)

PEDOMAN PPIA

Dengan demikian, untuk memberikan layanan persalinan yang optimal kepada ibu hamil dengan HIV direkomendasikan kondisi-kondisi berikut ini:

 Pelaksanaan persalinan, baik secara bedah sesar maupun normal, harus memperhatikan kondisi fisik dan indikasi obstetri ibu berdasarkan penilaian dari tenaga kesehatan. Infeksi HIV bukan merupakan indikasi untuk bedah sesar.

 Ibu hamil harus mendapatkan konseling sehubungan dengan keputusannya untuk menjalani persalinan per vaginam atau pun per abdominam (bedah sesar).

 Tindakan menolong persalinan ibu hamil, baik secara persalinan per vaginam maupun bedah sesar harus selalu menerapkan kewaspadaan standar, yang berlaku untuk semua jenis persalinan dan tindakan medis.

5. Tatalaksana pemberian makanan bagi bayi/anak. Dilakukan konseling tentang risiko penularan HIV melalui ASI. Konseling dilakukan selama ANC atau sebelum persalinan. Pengambilan keputusan di tangan ibu setelah mendapatkan konseling lengkap. Sangat dianjurkan untuk menggunakan susu formula sebagai makanan bagi bayi, apabila syarat AFASS (affordable, feasible, acceptable, sustainable, and safe) terpenuhi keseluruhannya. Apabila salah satu syarat tidak terpenuhi, maka ASI diberikan secara eksklusif selama 6 bulan. Tidak dianjurkan untuk menyusui campur (mixed feeding) artinya diberikan ASI dan PASI bergantian.

6. Mengatur kehamilan dan keluarga berencana, seperti yang telah dijelaskan pada PRONG 2. 7. Pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksasol pada bayi/anak. ARV yang diberikan adalah

Zidovudine (AZT) dimulai pada hari pertama kehidupan sampai 6 minggu, dengan dosis 4 mg/kgBB diberikan 2 kali sehari. Setelah 6 minggu, diberikan profilaksis kotrimoksasol dengan dosis 4-6 mg/kgBB (dosis trimeptoprim) diberikan 1 kali sehari sampai diagnosis HIV dapat ditegakkan.

8. Pemeriksaan diagnostik HIV pada bayi yang lahir dari ibu HIV. Pemeriksaan untuk antibodi anti HIV dengan metode cepat (rapid) hanya dapat digunakan apabila anak berumur lebih dari 18 bulan, atau dapat dilakukan lebih awal pada usia 9-12 bulan, dengan catatan bila hasil positif maka harus diulang setelah berusia 18 bulan. Bila usia anak kurang dari 18 bulan, maka pemeriksaan yang dilakukan adalah PCR untuk melihat HIV DNA, yang dilakukan minimal 2 kali, pertama pada usia 4-6 minggu dan 4 minggu setelah pemeriksaan pertama.

4.4. PRONG 4 : Pemberian dukungan psikologis, sosial, dan perawatan kepada ibu

dengan HIV beserta anak dan keluarganya.

Penting untuk menjamin kerahasiaan status HIV ibu untuk menghindai stigma dan diskriminasi di masyarakat. Dukungan juga harus diberikan kepada anak dan keluarganya. Beberapa hal yang mungkin dibutuhkan ibu dengan HIV antara lain :

 Pengobatan ARV jangka panjang  Pengobatan gejala penyakitnya

(11)

PEDOMAN PPIA

 Konseling dan dukungan kontrasepsi dan pengaturan kehamilan  Informasi dan edukasi pemberian makanan bayi

 Pencegahan dan pengobatan infeksi oportunistik untuk diri sendiri dan bayinya.  Penyuluhan kepada anggota keluarga tentang cara penularan HIV dan pencegahannya  Layanan klinik dan rumah sakit yang bersahabat

 Kunjungan ke rumah (home visit)

 Dukungan teman-teman sesama HIV positif, terlebih sesama ibu dengan HIV  Adanya pendamping saat sedang dirawat

 Dukungan dari pasangan

 Dukungan kegiatan peningkatan ekonomi keluarga  Dukungan perawatan dan pendidikan bagi anak

(12)

PEDOMAN PPIA

BAB V

LOGISTIK

Pengadaan logistik untuk pelayanan PPIA dilakukan dengan permintaan secara berkala kepada Dinas Kesehatan Propinsi Kalimantan Timur.

5.1. Obat Antiretroviral (ARV)

Pengadaan, pengelolaan, dan pengawasan ARV merupakan tanggung jawab instalasi farmasi RSUD Sangatta di bawah petugas farmasi Tim Penanggulangan HIV/AIDS RSUD Sangatta. Obat ARV yang diminta terdiri dari :

1. Zidovudin (AZT) 2. Tenofovir (TDF) 3. Lamvudin (3TC) 4. Emtricitabine (FTC) 5. Efavirenz (EFV) 6. Nevirapine (NVP)

Selain obat-obat tersebut, bisa dimintakan obat dalam kombinasi dosis tetap (KDT) yang terdiri dari 1. Zidovudine (AZT) + Lamivudine (3TC) dengan nama paten Duviral

2. Tenofovir (TDF) + Lamivudine (3TC) + Efavirenz (EFV) dengan nama paten Atripla 3. Tenofovir (TDF) + Emtricitabine (FTC) dengan nama paten Aluvia

Petugas farmasi Tim HIV/AIDS RSUD Sangatta mengajukan pemesanan obat ARV kepada Dinas Kesehatan Propinsi Kalimantan Timur melalui sistem pelaporan online IOMS setiap bulannya sebelum tanggal 25.

5.2. Logistik Laboratorium

Pengadaan dan pengelolaan logistik laboratorium berkaitan dengan pelayanan VCT (pemeriksaan antibodi anti-HIV) merupakan tanggung jawab petugas laboratorium tim VCT dibawah pimpinan unit laboratorium RSUD Sangatta. Kebutuhan logistik laboratorium terkait pemeriksaan anti-HIV antara lain :

1. Jarum dan semprit steril *

2. Tabung dan botol tempat penyimpan darah * 3. Kapas alkohol *

4. Cairan desinfektan * 5. Sarung tangan karet * 6. Apron plastik *

7. Sabun dan tempat cuci tangan dengan air mengalir *

8. Tempat sampah barang terinfeksi, barang tidak terinfeksi, dan barang tajam (sesuai petunjuk Kewaspadaan Universal Departemen Kesehatan) *

(13)

PEDOMAN PPIA

11. Lemari pendingin *

12. Ruang penyimpanan testing-kit , barang habis pakai

13. Buku-buku register (stok barang habis pakai, penerimaan sampel, hasil testing, penyimpanan sampel, kecelakaan okupasional) atau komputer pencatat.

14. Pedoman testing HIV

Catatan : * inventaris rumah sakit (pengadaan oleh RSUD Sangatta)

Petugas laboratorium VCT mengajukan permohonan logistik laboratorium kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Kutai Timur.

5.3. Logistik Dokumentasi

Logistik dokumentasi terkait dengan pelayanan PPIA merupakan formulir-formulir dan rekam medis pasien HIV positif meliputi :

1. Ikhtisar perawatan pasien HIV/ART 2. Kartu pasien

3. Register Pra-ART 4. Register ART

5. Register pemberian Obat 6. Register Stok Obat 7. Formulir Rujukan

Untuk dokumentasi pelaporan dilakukan melalui sistem online dengan menggunakan program IOMS dan dilakukan setiap bulan sebelum tanggal 25.

(14)

PEDOMAN PPIA

BAB VI

KESELAMATAN PASIEN

6.1. Pengertian

Keselamatan pasien adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman. Hal ini termasuk asesmen risiko, identifikasi, dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan, dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko.

Sedangkan insiden keselamatan pasien adalah setiap kejadian atau situasi yang dapat mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan harm (penyakit, cidera, cacat, kematian, dan lain-lain) yang tidak seharusnya terjadi.

6.2. Tujuan

Tujuan sistem ini adalah mencegah terjadinya cidera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil. Selain itu sistem keselamatan pasien ini mempunyai tujuan agar tercipta budaya keselamatan pasien di rumah sakit, meningkatkan akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat, menurunnya kejadian tidak diharapkan di rumah sakit, dan terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan kejadian tidak diharapkan.

6.3. Tata Laksana Keselamatan Pasien

Dalam melaksanakan keselamatan pasien terdapat tujuh langkah menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit. Adapun tujuh langkah tersebut adalah :

1. Membangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien. Menciptakan kepemimpinan dan budaya yang terbuka dan adil.

2. Memimpin dan mendukung karyawan. Membangun komitmen dan fokus yang kuat dan jelas tentang keselamatan pasien.

3. Mengintegrasikan aktivitas pengelolaan risiko. Mengembangkan sistem dan proses pengelolaan risiko, serta melakukan identifikasi dan asesmen hal potensial bermasalah.

4. Menerapkan tujuh langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit seperti tersebut di atas 5. Menerapkan stancak keselamatan pasien rumah sakit dan melakukan self assesment dengan

instrumen akreditasi pelayanan keselamatan pasien rumah sakit. 6. Program khusus Keselamatan Pasien Rumah Sakit.

7. Mengevaluasi secara periodik pelaksanaan program keselamatan pasien rumah sakit dan kejadian tidak diharapkan.

6.4. Sasaran Keselamatan Pasien HIV/AIDS di RSUD Sangatta

1. Ketepatan identifikasi pasien

(15)

PEDOMAN PPIA

Ketetpatan identifikasi pasien adalah ketepatan penentuan identitas pasien sejak awal pasien masuk sampai dengan pasien keluar terhadap semua pelayanan yang diterima oleh pasien. Setiap pasien HIV/AIDS yang datang ke RSUD Sangatta harus diverifikasi identitasnya dengan menggunakan nama dan alamat, atau nama dan tanggal lahir.

2. Peningkatan komunikasi yang efektif, yaitu komunikasi lisan yang menggunakan prosedur “SBAR”; write, read, dan repeat back (reconfirm).

3. Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai (high alert).

Obat-obatan yang perlu diwaspadai (high alert medication) adalah obat yang sering menyebabkan terjadi kesalahan atau kesalahan serius dan obat yang berisiko tinggi menyebabkan dampak yang tidak diinginkan. Untuk antiretroviral (ARV) yang waktu penggunaannya jangka panjang harus diwaspadai juga masa/tanggal kada luarsanya.

4. Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan

Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan terbesar dalam tatanan pelayanan kesehatan. Infeksi biasa dijumpai dalam semua bentuk pelayanan kesehatan termasuk infeksi saluran kemih, infeksi pada aliran darah, pneumonia yang sering berhubungan dengan ventilasi mekanis. Pokok eliminasi infeksi ini maupun infeksi-infeksi lain adalah cuci tangan yang tepat. 5. Pengurangan risiko pasien jatuh.

Pengurangan pengalamam pasien yang tidak direncanakan untuk terjadinya jatuh. Suatu jehadian jatuh yang tidak disengaja pada seseorang saat istirahat yang dapat dilihat/dirasakan, atau kejadian jatuh yang tidak dapat dilihat karena suatu kondisi tertentu seperti stroke, pingsan, dan lainnya. Untuk pasien HIV/AIDS yang rawat inap, dikaji pula risiko jatuhnya. Apabila termasuk berisiko, pasien tersebut dipasang gelang kuning.

(16)

PEDOMAN PPIA

BAB VII

KESELAMATAN KERJA

Undang-Undang nomor 36 tahun 2009 pasal 164 ayat 1 menyatakan bahwa upaya kesehatan kerja ditujukan untuk melindungi pekerja agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan. Rumah sakit adalah tempat kerja yang termasuk dalam kategori seperti disebut di atas, berarti wajib menerapkan upaya keselamatan dan kesehatan kerja. Program keselamatan dan kesehatan kerja di tim pendidikan pasien dan keluarga bertujuan melindungi karyawan dari kemungkinan terjadinya kecelakaan di dalam dan di luar rumah sakit.

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat (2) disebutkan bahwa “setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Dalam hal ini yang dimaksud pekerjaan adalah pekerjaan yang bersifat manusiawi, yang memungkinkan pekerja berada dalam kondisi sehat dan selamat, bebas dari kecelakaan dan penyakit akibat kerja, sehingga dapat hidup layak sesuai dengan martabat manusia.

Keselamatan dan kesehatan kerja atau K3 merupakan bagian integral dari perlindungan terhadap pekerja dalam hal ini tim penanggulangan HIV/AIDS dan perlindungan terhadap Rumah Sakit. Pegawai adalah bagian integral dari rumah sakit. Jaminan keselamatan dan kesehatan kerja akan meningkatkan produktivitas pegawai dan meningkatkan produktivitas rumah sakit. Undang-Undang nomor 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja dimaksudkan untuk menjamin :

1. Agar pegawai dan setiap orang yang berada di tempat kerja selalu berada dalam keadaan sehat dan selamat.

2. Agar faktor-faktor produksi dapat dipakai dan digunakan secara efisien. 3. Agar proses produksi dapat berjalan secara lancar tanpa hambatan.

Faktor-faktor yang menimbulkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat digolongkan pada tiga kelompok, yaitu :

1. Kondisi dan lingkungan kerja. 2. Kesadaran dan kualitas pekerja. 3. Peranan dan kualitas manajemen.

Dalam kaitannya dengan kondisi dan lingkungan kerja, kecelakaan dan penyakit akibat kerja dapat terjadi bila :

1. Pelatan tidak memenuhi standar kualitas atau bila sudah aus.

2. Alat-alat produksi tidak disusun secara teratur menurut tahapan proses produksi.

3. Ruang kerja terlalu sempit, ventilasi udara kurang memadai, ruangan terlalu panas atau dingin. 4. Tidak tersedia alat-alat pengaman.

(17)

PEDOMAN PPIA

7.1. Perlindungan Keselamatan Kerja dan Kesehatan Petugas Kesehatan

1. Petugas kesehatan yang merawat pasien HIV/AIDS harus mendapatkan pelatihan/sosialisasi mengenai cara penularan dan penyebaran penyakit, tidakan pencegahan dan pengendalian infeksi yang sesuai dengan protokol.

2. Petugas yang tidak terlibat secara langsung dengan pasien harus diberikan penjelasan umum mengenai penyakit tersebut.

4.2. Petunjuk Pencegahan Infeksi untuk Petugas Kesehatan

1. Untuk mencegah transmisi penyakit menular dalam tatanan pelayanan kesehatan, petugas harus menggunakan alat pelindung diri (APD) yang sesuai untuk kewaspadaan standar sesuai dengan penyebaran penyakit. APD untuk pelayanan pasien HIV adalah goggle, masker, apron, serta sarung tangan untuk petugas laboratorium.

2. Semua petugas kesehatan harus mendapatkan pelatihan/sosialisasi tentang gejala HIV/AIDS 3. Pasien HIV yang juga terdiagnosis sebagai penderita TB, harus mengenakan masker jika berada

(18)

PEDOMAN PPIA

BAB IX

PENUTUP

Pedoman pelayanan PPIA merupakan bahan rujukan bagi pimpinan rumah sakit dalam rangka pelayanan PPIA, juga sebagai bahan rujukan akreditasi rumah sakit. Keberhasilan pelaksanaan layanan PPIA di rumah sakit sangat bergantung pada komitmen dan kemampuan para penyelenggara pelayanan kesehatan serta dukungan stake holder terkait untuk mencapai hasil optimal.

Pedoman pelayanan ini senantiasa akan disesuaikan dengan perkembangan ilmu dan teknologi serta kebijakan dan peraturan terkait penanggulangan HIV/AIDS yang ada di Indonesia.

DIREKTUR RSUD SANGATTA

dr. Bahrani Penata Tk. I

Gambar

Tabel 2.1. Distribusi ketenagaan pelayanan PPIA RSUD Sangatta  Nama
Gambar 3.1. Denah Ruangan Pelayanan PPIA di RSUD Sangatta
Gambar 4.1. Alur proses ibu hamil menjalani kegiatan PRONG 3 dan 4 dalam PPIA

Referensi

Dokumen terkait

Karakteristik Pasien HIV/AIDS dengan Kandidiasis Orofaringeal di Rumah Sakit Cipto Mangun Kusumo Jakarta.. JointsUnited Programme on

Sasaran dibuatnya Buku Pedoman Pelaksanaan Pengurangan Dampak Buruk Napza adalah institusi kesehatan, institusi pemerintah maupun non pemerintah yang terkait dengan

Buku Pedoman Penyusunan Disertasi ini disusun sebagai perbaikan buku pedoman yang telah disusun sebelumnya, dalam rangka memberikan acuan kepada semua mahasiswa Program

Buku ini disusun dalam rangka revisi buku Pedoman Pelayanan Rumah Sakit kelas B1, B2, C1, C2 dan D yang diterbitkan tahun 1986 dan buku Standar Peralatan, Ruang

Upaya penanggulangan HIV/AIDS yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Mojokerto haruslah didasari bahwa masalah HIV dan AIDS sudah menjadi masalah sosial

Buku ini disusun dalam rangka revisi buku Pedoman Pelayanan Rumah Sakit kelas B 1, B2, C 1, C2 dan D yang diterbitkan tahun 1986 dan buku Standar Peralatan, Ruang

Mengacu kepada kebijakan nasional penanggulangan HIV dan AIDS, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP) melakukan koordinasi

Rumah sakit dalam melaksanakan penanggulangan HIV/AIDS sesuai dengan standar pelayanan bagi rujukan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dan satelitnya dengan langkah-langkah