• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENYOAL RANGKAP JABATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MENYOAL RANGKAP JABATAN"

Copied!
2
0
0

Teks penuh

(1)

MENYOAL RANGKAP JABATAN

Ketika sesepuh para politisi, Dr Roeslan Abdoulgani berbicara bahwa sebaiknya ketua partai melepaskan jabatannya begitu menjadi pejabat publik muncul reaksi pro dan kontra. Sesepuh politisi itu mengemukakan argumentasi yang bersifat moral dan historis dengan mengatakan bahwa Bung Karno dan Bung Hatta, dua bapak bangsa, begitu memegang jabatan publik kontan mengundurkan diri dari jabatan partainya. Kepentingan negara lebih besar ketimbang kepentingan partai yang sempit.

Ternyata keteladanan yang telah ditampakkan secara nyata oleh Bung Karno dan Bung Hatta tidak diikuti oleh para politisi sekarang. Termasuk politisi anak Bung Karno sendiri, yaitu Megawati Seokarnoputri yang ketika menjadi Presiden masih merangkap menjadi Ketua umum PDIP. Usul Roeslan Abdulgani bersama teman-temannya ternyata mentah dan tak berlaku di kandangnya sendiri. Tokoh-tokoh teras PDIP menolak usul itu dengan alasan Megawati masih

diperlukan sebagai ketua, sebab tanpa dia partainya bakal berantakan.

Partai lain yang ketuanya menjadi pejabat publik adalah Partai Golkar, PPP, PBB, dan PAN. Dalam partai Golkar, Akbar Tanjung yang Ketua DPR masih merangkap sebagai Ketua Partai Golkar, Dalam PPP, Hamzah Haz yang Wakil Presiden masih menjadi Ketua Umum PPP, demikian juga Yusril Ihza Mahendra yang menjadi Menteri Kehakiman dan HAM masih menjadi Ketua Umum PBB, dan HM Amien Rais yang menjadi Ketua MPR juga masih merangkap menjadi Ketua MPR.

Sebenarnya secara hukum dan secara konstitusi partai tidak ada larangan untuk merangkap jabatan. Artinya jika para tokoh itu tetap bertahan dan ngotot terus memegang jabatan rangkap, tidak dapat dikenai sanksi hukum dan sanksi poliitk oleh partai. Alasan inilah yang selalu dipergunakan oleh para pendukung yang ketua partainya masih merangkap sebagai pejabat publik.

Publik atau rakyat Indonesia tentunya masih merasakan luka dan sakitnya hati ketika menyaksikan bagaimana di zaman Orde Baru dulu perangkapan jabatan itu justru direstui dan dipergunakan sebagai strategi untuk melanggengkan kekuasaan Golkar. Para memegang jabatan publik dari tingkat puncak (Presiden) sampai yang terbawah (Kepala Desa) sekaligus menjadi fungsionaris Golkar. Dengan demikian publik menjadi kehilangan akses untuk mengontrol atau mendesakkan transparansi manajemen birokrasi dan manajemen politik para pejabat publik itu. Mereka seringkali memanfaatkan jabatan publiknya untuk kepentingan partainya (Golkar). Dengan demikian menjadi tidak jelas lagi, uang rakyat banyak kemudian dipergunakan untuk menjalankan dan membiayai kepentingan Golkar.

Sekarang pun ketika jabatan publik dirangkap dengan jabatan partai oleh orang yang sama, orang sering merasa rancu, apakah perjalanan atau tindakan pengamalan pejabat publik itu untuk kepentingan partai atau untuk kepentingan publik. Siapa yang membiayai mereka? Apakah negara, rakyat, atau partainya?

(2)

perebutan sumber dana partai. Jadi rakyat atau publik dikorbanlkan. Terlebih ketika kebijakan publik dari pemegang jabatan public itu kemudian ternyata tidak memihak rakyat dan membebani rakyat yang sudah miskin menjadi lebih miskin lagi. Sepertinya munculnya kebijakan menaikkan berbagai barang kebutuhan pokok dan berbagai tariff untuk pelayanan publik lainnya. Siapa yang

diuntungkan dari semua itu? Jelas bukan publik dan bukan rakyat. Memang kemudian ada pemecahan jalan tengah untuk mengatasi kontroversi perangkapan jabatan ini. Yaitu dengan dimasukkannya masalah ini dalam RUU Parpol yang akan diajukan pemerintah Maret ini. Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno pun akan mengkaji kemungkinan ini.

Tapi lagi-lagi, RUU belum lagi dibahas, mereka yang menolak

dihapuskannya rangkap jabatan sudah pasang kuda-kuda untuk menolak. Mereka yang berkepentingan dan diuntungkan oleh adanya rangkap jabatan ini pun melempar dalih bahwa itu merupakan masalah intern partai. Jadi tidak perlu diatur dalam UU. Mereka tidak mengemukana soal etika atau fatsun politik apakah pantas dua jabatan yang dapat menimbulkan kerancuan dan kerangkapan

kepentingan (kepentingan sempit partai dan kepentingan besar bangsa) itu dipisah saja.

Kalau rangkap jabatan ini terus berlarut-larut seperti zaman Orde Baru, jangan-jangan kita memang sedang bergerka kembali ke masa Orde baru. Benarkah? Mudah-mudahan tidak. Sebab kalau ini terjadi, apa gunanya rakyat Indonesia dulu mencanangkan reformasi? (tof, dari berbagai sumber)

Referensi

Dokumen terkait

Adapun materi dalam mujahadah yang ada di pesantren tersebut dimulai dengan shalat tasbih 4 rakaat, shalat hajat 2 rakaat beserta doanya 22 dilanjutkan dengan membaca

Dan dari segi proses kegiatan pembelajaran peneliti menyimpulkan bahwa dengan tipe make a match ini dapat memberikan manfaat bagi santri, diantaranya adalah: (1) mampu

Analisis ujian inferensi juga digunakan bagi menjawab persoalan kajian ketiga dan keempat, iaitu untuk mengenal pasti sama terdapat hubungan dan perbezaan yang

Tujuan dari tahap implementasi ini adalah menyiapkan semua kegiatan penerapan sistem sesuai dengan rancangan yang telah ditentukan, dalam hal ini berupa aplikasi

Produk akhir yang dihasilkan yaitu instrumen asesmen berbasis keteram- pilan proses sains pada materi kla- sifikasi materi dengan karakteristik sebagai berikut: (1)

5.2.2 Bagi Fakultas kedokteran dan Ilmu Kesehatan Bagi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan kiranya. melakukan penelitian terkait diet yang

Berbagi link melalui note dapat dilakukan oleh guru Anda, kawan-kawan Anda, maupun Anda sendiri. Apabila Anda ingin berdiskusi atau menanyakan sesuatu melalui website

Tugas akhir ini ditulis sebagai prasyarat untuk menyelesaikan pendidikan sarjana (S1) di Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial,