PEMERASAN DENGAN ANCAMAN KEKERASAN OLEH ANAK
DI BAWAH UMUR
(Studi Komparatif Hukum Positif dan Hukum Pidana Islam)
SKRIPSI
Oleh
Nazilatul Fitria Amri NIM. C03213046
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syari’ah dan Hukum
Jurusan Hukum Publik Islam Prodi Hukum Pidana Islam SURABAYA
ABSTRAK
Skripsi ini membahas tentang Pemerasan Dengan Ancaman Kekerasan Oleh Anak di Bawah umur (Studi Komaparatif Hukum Positif dan Hukum Pidana Islam). Penelitian ini bertujuan untuk menjawab dua pertanyaan. Pertama, Bagaimana pemerasan dengan ancaman kekerasan oleh anak di bawah umur menurut hukum positif dan hukum pidana Islam. Kedua, Bagaimana Sanksi hukum tentang tindak pidana pemerasan dengan ancaman kekerasan oleh anak di bawah umur menurut hukum positif dan hukum pidana Islam.
Skripsi yang berjudul “Pemerasan Dengan Ancaman Kekerasan Oleh Anak Di Bawah Umur (Studi Komparatif Hukum Positif dan Hukum Pidana Islam)” ini merupakan hasil penelitian kualitatif deskriptif untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang komparasi antara tindak pidana pemerasan dengan ancaman kekerasan oleh anak di bawah umur dalam hukum positif dan hukum pidana Islam. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian komparatif yaitu penelitian yang bersifat membandingkan persamaan dan perbedaan, kekurangan dan kelebihan dua atau lebih fakta-fakta dan sifat-sifat objek yang diteliti berdasarkan kerangka pemikiran tertentu.
Dari hasil penelitian ini menghasilkan persamaan dan perbedaan antara tindak pidana pemerasan dengan ancaman kekerasan oleh anak di bawah umur menurut hukum pidana Islam dan hukum positif. Persamaannya adalah adanya unsur-unsur trersendiri seseorang dapat dikatakan sebagai pelaku pemerasan dengan ancaman kekerasan, tujuan adanya sanksi yaitu sama-sama memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana, dan tidak ada kesamaan batas usia seseorang dikatakan sebagai anak. Perbedaannya terletak pada undang-undang yang mengatur dan sanksi.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
PERSEMBAHAN ... v
ABSTRAK ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TRANSLITERASI ... xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 16
C. Batasan Masalah... 17
D. Rumusan Masalah ... 17
E. Kajian Pustaka ... 18
F. Tujuan Penelitian ... 19
G. Kegunaan Hasil Penelitian ... 19
H. Definisi Operasional... 20
J. Sistematika Pembahasan ... 24
BAB II TINDAK PIDANA PEMERASAN DENGAN ANCAMAN
KEKERASAN OLEH ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM
A. Tindak Pidana Pemerasan Dalam Hukum Pidana Islam ... 26
B. Tindak Pidana Pemerasan Dengan Ancaman Kekerasan ... 37
C. Tindak Pidana Pemerasan Dengan Ancaman
Kekerasan Oleh Anak Di Bawah Umur.. ... 43
BAB III TINDAK PIDANA PEMERASAN DENGAN ANCAMAN
KEKERASAN OLEH ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM PIDANA
A. Tindak Pidana Pemerasan Dalam Hukum Positif
Indonesia ... 49
B. Tindak Pidana Pemerasan Dengan Ancaman Kekerasan ... 57
C. Tindak Pidana Pemerasan Dengan Ancaman Kekerasan
Oleh Anak Di Bawah Umur ... 61
BAB IV TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMERASAN DENGAN ANCAMAN KEKERASAN OLEH ANAK DI BAWAH UMUR
A. Tindak Pidana Pemerasan Dengan Ancaman Kekerasan Oleh Anak Di Bawah Umur Menurut Hukum Positif dan
Hukum Pidana Islam ... .. 72
1. Tindak Pidana Pemerasan Dengan Ancaman Kekerasan Oleh Anak di Bawah Umur Menurut
2. Tindak Pidana Pemerasan Dengan Ancaman Kekerasan Oleh Anak di Bawah Umur Menurut
Hukum Pidana Islam ... .. 79
3. Persamaan dan Perbedaan Antara Tindak Pidana Pemerasan Dengan Ancaman Kekerasan Oleh Anak di Bawah Umur Menurut Hukum Positif dan
Hukum Pidana Islam ... .. 82
4. Kekurangan dan Kelebihan Antara Tindak Pidana Pemerasan Dengan Ancaman Kekerasan Oleh Anak di Bawah Umur Menurut Hukum Positif dan
Hukum Pidana Islam ... .. 83
B. Sanksi Hukum Tentang Tindak Pidana Pemerasan Dengan Ancaman Kekerasan Oleh Anak di Bawah Umur
Menurut Hukum Positif dan Hukum Pidana Islam ... .. 85
1. Sanksi Hukum Tentang Tindak Pidana Pemerasan Dengan Ancaman Kekerasan Oleh Anak di Bawah
Umur Menurut Hukum Positif ... .. 85
2. Sanksi Hukum Tentang Tindak Pidana Pemerasan Dengan Ancaman Kekerasan Oleh Anak di Bawah
Umur Menurut Hukum Pidana Islam ... .. 88
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 92
B. Saran ... 93
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Tindak pidana pemerasan menjadi fenomena yang marak di Indonesia.
Tindak pidana pemerasan banyak sekali di beritakan pada media massa. Dari
sabang hingga merauke banyak kasus mengenai tindak pidana pemerasan
dengan kekerasan. Tindak pidana pemerasan ini dimuat dalam pasal 368
KUHP dan dirumuskan sebagai berikut: “Dengan maksud untuk
menguntungkan dirinya atau orang lain dengan melanggar hukum, memaksa
orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan supaya orang itu
memberikan suatu barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang itu
atau orang ketiga, atau supaya orang itu mengutang atau menghapuskan
piutang”. Tindak pidana ini dinamakan kualifikasi “pemerasan (afpersing)”
dan diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun.1
Tindak pidana pemerasan ini sangat mirip dengan pencurian dengan
kekerasan dari pasal 365 KUHP. Bedanya ialah, bahwa dalam hal pencurian si
pelaku sendiri mengambil barang yang dicuri, sedangkan dalam hal pemerasan
si korban setelah dipaksa dengan kekerasan menyerahkan barangnya kepada si
1
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung : Eresco, 1986)
2
pemeras. Kalau misalnya di tengah jalan raya seorang A ditodong dengan
pistol oleh B, yang kemudian mengambil sendiri dompet berisi uang dari saku
si A, maka yang terjadi ialah pencurian dengan kekerasan dari pasal 365
KUHP. Sedangkan apabila A ditodong oleh B dan kemudian atas permintaan
si B, A menyerahkan dompetnya berisi uang kepada B, maka yang terjadi
ialah pemerasan dari pasal 368 KUHP.2
Tindak pidana pemerasan sering kali dibarengi dengan tindakan
pengancaman. Tindak pidana pengancaman atau afdreiging ini mempunyai
beberapa kesamaan dengan tindak pidana pemerasan atau afpersing, yakni di
dalam kedua tindakan pidana tersebut, undang-undang telah mensyaratkan
tentang adanya pemaksaan terhadap seseorang agar orang tersebut
menyerahkan sesuatu benda yang sebagian atau seluruhnya adalah kepunyaan
orang tersebut atau kepunyaan pihak ketiga, dan mengadakan perikatan utang
piutang sebagai pihak yang berutang atau meniadakan utang. Kedua tindak
pidana ini juga mempunyai unsur yang sama yaitu dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum. Perbedaan
antara kedua tindak pidana tersebut terletak pada cara tentang bagaimana
pemaksaan itu harus dilakukan oleh pelaku. Pada tindak pidana pemerasan,
pemaksaan itu dilakukan dengan ancaman akan memfitnah dengan lisan,
memfitnah dengan tulisan atau akan mengumumkan suatu rahasia, sedangkan
2
Ibid. Pemiripan kedua tindak pidana ini juga terlihat dari pasal 368 ayat 2 KUHP yang menyatakan bahwa ayat 2,3, dan dari pasal 365 KUHP tentang penambahan hukuman-hukuman berlaku juga pada tindak pidana dari pasal 368 ayat 1 KUHP.
3
pada tindak pidana pemerasan, pemaksaan itu dilakukan dengan memakai
kekerasan atau ancaman kekerasan.3
Pemerasan disertai dengan ancaman kekerasan, menurut hukum pidana
Islam termasuk dalam kategori h{ira>bah atau qat}’u at}-t}a>riq (perampokan) atau
dinamakan juga penyamun. Dalam al-Qur’an Allah menamakan orang yang
memerangi Allah dan Rasulnya, orang yang berbuat kerusakan di muka bumi.
Kalau merusakkan keamanan itu dilakukan di tempat sepi dinamakan
penyamunan. Akan tetapi, kalau dilakukan di tempat ramai dinamakan
perampokan. Di tempat sunyi, si korban tidak dapat meminta tolong,
sedangkan di kota-kota, ia dapat meminta pertolongan. Itulah sebabnya dapat
diberi istilah penyamunan dan perampokan.4
Perbedaan yang asasi antara pencurian dan perampokan/pembegalan
terletak pada cara pengambilan harta, yaitu dalam pencurian secara diam-diam
sedangkan dalam perampokan secara terang-terangan atau disertai kekerasan.
Teknis operasional perampokan ada beberapa kemungkinan, yaitu:5
1. Seseorang pergi dengan niat untuk mengambil harta secara terang-terangan
dan mengadakan intimidasi, namun ia tidak jadi mengambil harta dan tidak
membunuh.
3
Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan-Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, (Bandung: Sinar Baru, 1998) 82
4
H.Ibnu Mas’ud; H.Zainal Abidin S, Edisi Lengkap Fiqih Madzhab Syafi’i Buku 2 : Muamalat, Munakahat, Jinayat, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007) 533-534
5
4
2. Seseorang berangkat dengan niat untuk mengambil harta dengan
terang-terangan dan kemudian mengambil harta termaksud tetapi tidak
membunuh.
3. Seseorang berangkat dengan niat merampok, kemudian membunuh tapi
tidak mengambil harta korban.
4. Seseorang berangkat untuk merampok kemudian ia mengambil harta dan
membunuh pemiliknya.
Bagi seseorang yang telah melakukan tindak pidana penyamunan, ada
empat macam hukumannya, yaitu sesuai dengan keadaan perbuatannya.
Pertama, hukuman mati, bila si penyamun telah membunuh orang. Kedua,
hukuman mati di kayu salib, bila si penyamun telah membunuh dan
mengambil barang seseorang. Ketiga, hukuman potong tangan dan kaki
sekaligus, bila si penyamun hanya mengambil barang saja. Keempat, hukuman
buangan ke tempat lain, bila si penyamun itu hanya menakut-nakuti orang di
jalan. Dalam al-Qur’an surat al-Maidah 33-34 dijelaskan perbuatan yang telah
dilakukan seorang penyamun sehingga ia dijatuhi hukuman yang begitu rupa.
Menurut lahirnya ayat tersebut terhadap orang melakukan penyamunan,
apapun yang dilakukanna, hukumannya boleh saja dijatuhkan menurut ayat
al-Qur’an di atas, tetapi sungguh bukan itu. Hukuman yang dinyatakan Allah
5
khusus pula, sesuai dengan ringan atau beratnya perbuatan yang telah
dilakukan oleh penyamun.6
Pelaku tindak pidana dalam hal ini dapat dikatakan sebagai perampok.
Perampok adalah orang yang menggunakan kekerasan (bersenjata) terhadap
orang-orang yang tak berdosa dan tak mempunyai rasa permusuhan terhadap
mereka sebelumnya.7 Perampok biasanya sudah mempunyai niat untuk
melakukan tindak pidana pencurian dan pembunuhan sekaligus dalam satu
waktu.8 Pelaku tindak pidana pemerasan bukan hanya dilakukan oleh orang
dewasa saja melainkan pula oleh anak di bawah umur. Banyak sekali tindakan
kriminal yang lazimnya tidak dilakukan oleh anak tetapi justru dilakukan.
Tindakan kriminalitas oleh anak dapat berupa perbuatan mengancam,
intimidasi, memeras, maling, mencuri, mencopet, merampok, melakukan
pembunuhan dengan jalan menyembelih korbannya, mencekik, meracun,
tindakan kekerasan.9
Baru-baru ini pihak yang berwajib telah dapat mengungkapkan masalah
kenakalan anak-anak baik individual maupun kelompok. Mereka telah berani
mempergunakan senjata yang dipakai untuk menodong orang becak atau
menjambret barang yang sedang dipakai. Dengan membentuk gang atau club
tersebut jelas bahwa mereka telah mempunyai pekerjaan untuk itu. Bahkan
6
H. Ibnu Mas’ud; H. Zainal Abidin S, Edisi Lengkap Fiqih Madzhab Syafi’i Buku 2: Muamalat, Munakahat, Jinayat, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2007) 534-535
7
Abdur Rahman I Doi, Tindak Pidana dalam Syariat Islam, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1992) 57
8
Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta : Logung Pustaka, 2004) 119
9
Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional Perlindungan
6
penjambretan yang terjadi di dalam bus-bus banyak dilakukan oleh anak-anak
yang berusia antara 10-14 tahun.10
Secara umum, perbuatan-perbuatan anak yang secara yuridis
dikategorikan sebagai melawan hukum dapat diidentifikasi dari rumusan
pengertian tentang kenakalan anak. Kenakalan anak adalah suatu tindakan
atau perbuatan pelanggaran norma, baik norma hukum maupun norma sosial
yang dilakukan oleh anak-anak muda.11 Bagi kejahatan yang dilakukan oleh
anak-anak dan remaja dipergunakan istilah Delinquency, istilah ini
mencerminkan perasaan keadilan bagi masyarakat bahwa perlu ada perbedaan
pertimbangan bagi pelanggaran yang dilakukan anak-anak atau remaja
dibandingkan yang dilakukan oleh orang dewasa.12
Menurut Simanjuntak,13 suatu perbuatan itu disebut deliquen apabila
perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan norma-norma yang ada
dalam masyarakat dimana ia hidup, suatu perbuatan yang anti-sosial yang
didalamnya terkandung unsur-unsur antinormatif. Menurut Paul Moedikodo,
semua perbuatan dari orang dewasa merupakan kejahatan, bagi anak-anak
merupakan delinquency, jadi semua tindakan yang dilarang oleh hukum piana
seperti pencurian, penganiayaan, dan sebagainya.14 Pernyataan tersebut
sejalan dengan apa yang dikatakan Bimo Walgito,15 bahwa juvenile
10
Romli Atmasasmita, Problema Kenakalan Anak-anak/Remaja, (Bandung: Armico, 1983) 7
11
Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, (Bandung: PT Refika Aditama, 2010) 11
12
Romli Atmasasmita, Bunga Rampai Kriminologi, (Jakarta: Rajawali, 1992) 31-33
13
B.Simanjuntak, Pengantar Kriminologi dan Sosiologi, (Bandung: Tarsito, 1977) 295
14
B.Simanjuntak, Latar Belakang Kenakalan Remaja, (Bandung: Alumni, 1984) 47
15
Bimo Walgito, Kenakalan Anak (Juvenile Delinquency), (Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM, 1982) 2
7
Delinquency adalah tiap perbuatan yang bila dilakukan oleh orang dewasa,
maka perbuatan itu merupakan kejahatan. Jadi, perbuatan yang melawan
hukum yang dilakukan oeh anak khususnya anak remaja. Kenakalan anak dan
pemuda sudah merupakan bagian yang besar dalam kejahatan, lagi pula
kebanyakan penjahat yang sudah dewasa padda umumnya sudah sejak
mudanya menjadi penjahat sudah merosot kesusilaannya sejak kecil.16
Sebab-sebab timbulnya kenakalan anak atau faktor-faktor yang
mendorong anak melakukan kenakalan atau dapat juga dikatakan latar
belakang dilakukannya perbuatan itu, dengan kata lain perlu diketahui
motivasinya. Motivasinya sering juga diartikan sebagai usaha-usaha yang
menyebabkan seseorang atau kelompok tertentu tergerak untuk melakukan
suatu perbuatan karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau
mendapat kepuasan dengan perbuatannya. Bentuk motivasi itu ada dua
macam, yaitu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Yang dimaksud
dengan motivasi intrinsik adalah dorongan atau keinginan pada diri seseorang
yang tidak perlu disertai perangsang dari luar, sedangkan motivasi ekstrinsik
adalah dorongan yang datang dari luar diri seseorang.17
Yang termasuk faktor intrinsik dari pada kenakalan anak-anak adalah
sebagai berikut :18
16
Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, (Pembangunan: Jakarta) 105-106
17
Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, (Bandung: PT Refika Aditama, 2010) 16-17
18
8
1. Faktor intelegentia, yaitu kecerdasan seseorang. Dengan kecerdasan yang
rendah dan wawasan sosial yang kurang tajam, mereka mudah sekali
terseret oeh ajakan buruk untuk menjadi delikuen kejahatan.
2. Faktor usia, usia adalah faktor yang paling penting dalam sebab-sebab
timbulnya kejahatan atau kenakalan. Usia seorang anak yang sering
melakukan kenakalan atau kejahatan adalah berkisar di antara usia 15
sampai 18 tahun.
3. Faktor kelamin, jumlah anak laki-laki yang melakukan kenakalan jauh lebih
banyak dari pada anak perempuan pada batas usia tertentu.
4. Faktor kedudukan anak dalam keluarga, yaitu kedudukan seorang anak
dalam keluarga menurut urutan kelahirannya.
Yang termasuk faktor ekstrinsik dari pada kenakalan anak-anak adalah
sebagai berikut:19
1. Faktor keluarga, keluarga merupakan kelompok masyarakat terkecil, akan
tetapi merupakan lingkungan yang paling kuat dalam membesarkan anak
dan terutama bagi anak yang belum sekolah. Oleh karena itu keluarga
memiliki peranan penting20 dalam perkembangan anak.
2. Faktor pendidikan dan sekolah, sekoah adalah sebagai media atau perantara
bagi pembinaan jiwa anak-anak atau dengan kata lain sekolah ikut
bertanggungjawab atas pendidikan anak-anak, baik pendidikan keilmuan
19
Ibid., 20-25
20
Peranan penting, keluarga merupakan lingkungan terdekat untuk membesarkan, mendewasakan dan di dalamnya anak mendapatkan pendidikan untuk yang pertama kalinya.
9
maupun pendidikan tingkah laku. Dalam konteks ini sekolah merupakan
ajang kedua setelah lingkungan keluarga bagi anak.
3. Faktor pergaulan anak, semakin luas anak bergaul semakin intensif
relasinya dengan anak nakal. Perlu mendidik anak agar bersikap formal dan
tegas supaya mereka terhindar dari pengaruh-pengaruh yang datang dari
lingkungan pergaulan yang kurang baik.
4. Pengaruh mass media, keinginan atau kehendak yang tertanam pada diri
anak untuk berbuat jahat kadang-kadang timbul karena pengaruh bacaan,
gambar-gambar dan film.
Sikap dan peranan yang dibawakan baik oleh orang tua, masyarakat
(khususnya masyarakat pendidik) dan alat negara (pihak kepolisian) dewasa
ini masih jauh daripada memuaskan. Keadaan tersebut kiranya dapat
dikembalikan kepada keadaan tingkat kehidupan sosial ekonomi dan
intelektual masyarakat, dan keadaan anggaran belanja Pemerintah yang jauh
daripada mencukupi khususnya untuk masalah kesejahteraan anak-anak.21
Seorang delikuen sangat membutuhkan adanya perlindungan hukum.
Masalah perlindungan hukum bagi anak merupakan salah satu cara melindungi
tunas bangsa di masa depan. Perlindungan hukum terhadap anak menyangkut
semua aturan hukum yang berlaku. Perlindungan ini perlu karena anak
merupakan bagian masyarakat yang memepunyai keterbatasan secara fisik dan
21
10
mentalnya. Oleh karena itu anak memerlukan perlindungan dan perawatan
khusus.22
Anak sebagai input penduduk, ahli waris, dan pemegang nasib bangsa,
juga ikut menentukan lajunya proses pembangunan nasional di segala bidang.
Dalam pembangunan hukum, anak harus dikondisikan secara awal untuk
memahami akan hak dan kewajibannya masing-masing baik dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pengkondisian ini diperlukan agar
anak tidak menjadi korban atau objek dalam pembangunan yang pada
gilirannya akan merugikan pembangunan itu sendiri. Oleh karena itu anak
perlu mendapat perlindungan hak, baik secara perdata maupun pidana.23
Kegiatan perlindungan anak merupakan suatu tindakan hukum yang berakibat
hukum. Kepastian hukum perlu diusahakan demi kegiatan kelangsungan
perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat
negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan
anak.24 Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.25
Dengan mengembalikan fungsi dan peran keluarga, masyarakat serta alat
negara khususnya pihak kepolisian kepada fungsinya yang semula sebagai
22
Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, (Bandung : PT Refika Aditama, 2009) 42
23
Bunadi Hidayat, Pemidanaan Anak di Bawah Umur, (Bandung: PT Alumni, 2014) 35
24
Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1993) 222
25
Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011) 107
11
social control terhadap setiap masalah yang timbul dalam masyarakat
khususnya dalam masalah kenakalan anak-anak ini, maka usaha prevensi dan
reprensif terhadap kenakalan anak-anak dapat berlangsung dengan
memuaskan.26 Social control adalah kemampuan kelompok sosial atau
lembaga-lembaga di masyarakat untuk melaksanakan norma-norma atau
peraturan menjadi efektif.27 Perlindungan anak Indonesia berarti melindungi
potensi sumber daya insani dan membangun manusia Indonesia seutuhnya,
menuju masyarakat yang adil dan makmur, materil spiritual berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.28
Pengertian anak secara etimologis diartikan dengan manusia yang masih
kecil ataupun manusia yang belum dewasa.29 Dilihat dari aspek sosiologis
kriteria seseorang dapat dikategorikan sebagai seorang anak, bukan
semata-mata didasarkan pada batas usia yang dimiliki seseorang, melainkan
dipandang dari segi mampu tidaknya seseorang untuk dapat hidup mandiri
menurut pandangan sosial kemasyarakatan dimana ia berada.30 Batas usia
anak memberikan pengelompokan terhadap seseorang untuk kemudian dapat
disebut sebagai seorang anak. Yang dimaksud dengan batas usia adalah
pengelompokan usia maksimum sebagai wujud kemampuan anak dalam status
hukum, sehingga anak tersebut beralih status menjadi usia dewasa atau
26
Romli Atmasasmita, Problema Kenakalan Anak-anak/Remaja, (Bandung: Armico, 1983) 111
27
Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional Perlindungan Anak Serta Penerapannya, (Yogyakarta: Graha Ilmu,2013) 29
28
Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012) 1
29
W. J. S Poerdamawinta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Balai Pustaka : Arminco, 1984) 25
30
Nandang Sambas, Peradilan Pidana Anak di Indonesia dan Instrumen Internasional
12
menjadi seorang subjek hukum yang dapat bertanggungjawab secara mandiri
terhadap perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan
anak itu.31
Begitu juga dalam pandangan hukum Islam, untuk membedakan antara
anak dan dewasa tidak didasarkan pada batas usia.ketentuan hukum Islam
hanya mengenal perbedaan antara masa anak-anak ( belum balig dan balig).
Dalam pandangan hukum Islam, seseorang yang dikategorikan memasuki usia
balig merupakan ukuran yang digunakan untuk menentukan umur awal
seseorang mempunyai kewajiban melaksanakan syariat Islam dalam kehidupan
sehari-harinya. Dengan kata lain terhadap mereka telah balig dan berakal,
berlakulah seluruh ketentuan hukum Islam.32
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak ditemukan secara
jelas definisi tentang anak, melainkan definisi tentang belum cakap umur,
pada Bab IX yang memberikan salah satu unsur pengertian tentang aak adalah
pasal 45 KUHP yang berbunyi “Dalam menuntut orang yang belum cukup
umur (minderjarig) karena melakukan perbuatan sebelum umur enam belas
tahun, hakim dapat menentukan, memerintahkan supaya yang bersalah
dikembalikan pada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, tanpa pidana
apapun atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada
pemerintah, tanpa pidana apapun yaitu jika perbuatan merupakan kejahatan
atau salah satu pelanggaran tersebut pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503, 505,
31
Maulana Hasan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Gramedia Widisarana Indonesia, 2000) 24
32
Zakiah Dradjat, Remaja Harapan dan Tantangan, (Jakarta: Ruhama, 1994) 11
13
514, 517-519, 526, 531, 532, 536 dan 540 serta elum lewat dua taun sejak
dinyatakan salah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran
tersebut di atas, dan putusannya menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana”.33
Yang pada intinya dikatakan anak yang belum dewasa apabila berumur
sebelum enam belas tahun.
Pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia dalam pasal 1 angka 5 yaitu setiap manusia yang
berusia di bawah delapan belas tahun dan belum menikah, termasuk anak yang
masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.
Sedangkan anak menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak yaitu anak yang telah berumur dua belas tahun
tetapi belum berumur delapan belas tahun. Menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 47 yang dimaksud dengan anak adalah
yang belum mencapai delapan belas tahun. Menurut Undang-Undang Nompr
13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan pasal 1 Angka 3 yang dimaksud
anak adalah setiap orang yang berumur di bawah delapan belas tahun.
Berbagai macam definisi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia, Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan,
menunjukkan adanya disharmonisasi perundang-undangan yang ada, pada
33
14
hakekatnya yang dimaksud dengan anak adalah setiap orang yang masih di
bawah delapan belas tahun atau orang yang belum mencapai usia delapan
belas tahun.
Pemberian pertanggungjawaban pidana terhadap anak harus
mempertimbangkan perkembangan dan kepentingan terbaik anak di masa
yang akan datang. Penanganan yang salah menyebabkan rusak bahkan
musnahnya bangsa di masa depan, karena anak adalah generasi penerus bangsa
dan cita-cita negara. Sedangkan mengenai penjatuhan sanksi, diberikan
batasan umur terhadap anak yang masih berumur delapan tahun sampai
dengan dua belas tahun, akan diberikan tindakan kembali ke orang tuanya,
ditempatkan pada organisasi sosial, atau diserahkan ke negara.34
Pada pasal 71 Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) ini
ditentukan bahwa pidana pokok bagi anak terdiri atas:35
1. Pidana peringatan, yakni pidana ringan yang tidak mengakibatkan
pembatasan kebebasan anak
2. Pidana dengan syarat, pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat,
pengawasan
3. Pelatihan kerja
4. Pembinaan dalam lembaga
5. Penjara
34
Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, (Bandung : PT Refika Aditama, 2009) 73
35
M.Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015) 142
15
Selain itu juga terdapat pidana tambahan yang terdiri atas perampasan
keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana atau pemenuhan kewajiban
adat. Apabila dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa penjara
dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja. Hal yang ditekankan
juga bahwa pidana yang dijatuhkan kepada anak dilarang melanggar harkat
dan martabat anak.
Anak nakal dan anak terlantar perlu diselesaikan melalui suatu badan,
yaitu lembaga peradilan khusus, agar ada jaminan untuk kesejahteraan anak
yang bersangkutan dan kepentingan masyarakat, tanpa mengabaikan
terlaksananya hukum dan keadilan.36 Wujud dari suatu keadilan adalah
dimana pelaksanaan hak dan kewajiban seimbang.37
Pengadilan anak dibentuk memang sebagai upaya pembinaan dan
perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik,
mental, dan sosial anak secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang. Oleh
karenanya, ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan bagi anak
dilakukan secara khusus.38
Anak dijatuhi pidana di Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak (LPKA)
apabila keadaan dan perbuatan anak akan membahayakan masyarakat. Pidana
penjara terhadap anak ini hanya digunakan sebagai upaya terakhir. Adapun
pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak paling lama satu perdua
36
Agung Wahyono, Siti Rahayu, Tinjauan Tentang Peradilan Anak di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1993) 2
37
Wagiati Soetedjo, Melani, Hukum Pidana Anak (Edisi Revisi), (Bandung : Refika Aditama, 2013) 52
38
16
dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa. Untuk pembinaan
di LPKA dilaksanakan sampai anak berumur delapan belas tahun. Sementara
itu, jika tindak pidana yang dilakukan anak merupakan tindak pidana yang
diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, pidana yang
dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama sepuluh tahun.39
Pada skripsi ini lebih memperdalam mengenai tindak pidana pemerasan
disertai dengan ancaman kekerasan oleh anak di bawah umur dilihat dari segi
hukum positif dan hukum pidana Islam.
B.Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas terdapat beberapa masalah dan
penelitian ini. Adapun masalah-masalah tersebut dapat diidentifikasi sebagai
berikut:
1. Definisi pemerasan
2. Sanksi tindak pidana pemerasan
3. Pelaku tindak pidana pemerasan
4. Definisi anak
5. Contoh tindak pidana yang dilakukan oleh anak
6. Faktor penyebab anak melakukan perbuatan tindak pidana
7. Hukuman menurut hukum pidana Islam
8. Tinjauan hukum pidana Islam terhadap tindak pidana pemerasan
39
M.Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, (Jakarta: Sinar Grafika 2015) 142-143
17
C.Batasan Masalah
Dari uraian identifikasi masalah di atas, perlu dijelaskan batasan masalah
yang akan dikaji agar penelitian ini lebih terfokuskan pada persoalan:
1. Tinjauan hukum positif dan hukum pidana Islam dalam kasus pemerasan
dengan ancaman kekerasan oleh anak di bawah umur
2. Sanksi pidana dan pidana Islam bagi tindak pidana pemerasan dengan
ancaman kekerasan oleh anak di bawah umur.
D.Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang di atas, agar dalam pengkajian
permasalahan pokok yang diteliti lebih terarah, maka dapat dirumuskan
masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pemerasan dengan ancaman kekerasan oleh anak di bawah umur
menurut hukum positif dan hukum pidana Islam?
2. Bagaimana sanksi hukum tentang tindak pidana pemerasan dengan
ancaman kekerasan oleh anak di bawah umur menurut hukum positif dan
18
E. Kajian Pustaka
Kajian pustaka pada penelitian ini pada dasarnya adalah untuk
mendapatkan gambaran hubungan topik yang akan diteliti dengan penelitian
sejenis yang pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, sehingga diharapkan
tidak ada pengulangan materi penelitian secara mutlak. Setelah menelusuri
melalui kajian pustaka di perpustakaan penulis menemukan skripsi yang dapat
dijadikan bahan masukan dalam penulisan penelitian ini, antara lain:
1. Tindak pidana pemerasan dengan kekerasan pasal 368 (1) KUHP yang
dilakukan anak di bawah umur dalam prespektif hukum pidana Islam; studi
putusan No.18/Pdt.B/2012/PN.Lmg (Khoirotul Ainiyah), skripsi ini
membahas tentang pertimbangan hukum yang dipakai hakim Pengadilan
Negeri Lamongan dalam penetapan sanksi tindak pidana pemerasan dengan
kekerasan pasal 368 (1) KUHP yang dilakukan oleh anak di bawah umur.
Dan membahas tentang tinjauan hukum pidana Islam terhadap putusan
hakim Pengadilan Negeri Lamongan.
2. Tindak pidana oleh anak di bawah umur; studi komparasi hukum pidana
Islam dan UU RI No.3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak (Purnomo).
Dalam skripsi ini membahas tindak pidana oleh anak di bawah umur
menurut UU No.3 Tahun 1997, menurut hukum Islam
Terlihat bahwa penulisan kali ini berbeda dengan sebelumnya yaitu
penulis ingin membahas tentang tinjauan hukum pidana Islam terhadap
19
komparatif hukum positif dan hukum pidana Islam, guna mendapatkan
gambaran yang lebih jelas, juga untuk melengkapi penelitian-penelitian yang
berkaitan dengan tindak pidana pemerasan disertai ancaman kekerasan yang
dilakukan oleh anak di bawah umur.
F. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah yang ditulis di atas, maka skripsi ini
bertujuan sebagai berikut:
1. Mengetahui dan memahami pemerasan dengan ancaman kekerasan oleh
anak di bawah umur menurut hukum positif dan hukum pidana Islam.
2. Mengetahui dan memahami sanksi hukum tentang tindak pidana pemerasan
dengan ancaman kekerasan oleh anak di bawah umur menurut hukum
positif dan hukum pidana Islam.
G.Kegunaan Hasil Penelitian
Adapun kegunaan dari hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
sekurang-kurangnya untuk :
1. Aspek Keilmuan (Teoritis)
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi terhadap
kajian akademis sekaligus hasil studi ini menambah dan memperkaya
20
terhadap pemerasan dengan ancaman kekerasan oleh anak di bawah umur
dan bagi peneliti berikutnya, dapat digunakan sebagai acuan dalam
melakukan penelitian yang berkaitan dengan pidana pemerasan dengan
ancaman kekerasan oeh anak di bawah umur
2. Aspek Terapan (Praktis)
Hasil penelitian ini diharapkan bisa menjadi wacana an diskusi bagi
para mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Hukum Publik Islam
Prodi Hukum Pidana Islam (HPI) Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
khususnya, serta bagi para masyarakat umumnya. Hasil studi ini dapat
dijadikan sebagai sumbangan informasi bagi masyarakat tentang betapa
pentingnya pendidikan, pengawasan tumbuh kembang anak agar tidak
berbuat kriminal dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan,
penyuluhan khususnya bagi penegak hukum serta bagi praktisi hukum pada
umumnya.
H.Definisi Operasional
Agar para pembaca mendapatkan kesamaan pemahaman mengenai judul
yang termuat dalam skripsi ini, maka penulis merasa perlu memaparkan istilah
kata kunci sebagai berikut:
1. Hukum Pidana Islam : aturan-aturan dalam fiqih jinayah yang membahas
semua jenis pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan oleh manusia.
21
3. Pemerasan dengan ancaman kekerasan : tindakan dimaksud untuk
menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain secara melawan hukum.
Membuat seseorang yang diancam itu ketakutan karena ada sesuatu yang
akan merugikan dirinya dengan kekerasan. Ancaman kekerasan ini dapat
berupa dengan menodongkan senjata tajam.
4. Anak di bawah umur : dalam UU No.23 Tahun 2002 yang dimaksud dengan
anak adalah seseorang yang belum berusia delapan belas tahun termasuk
anak yang masih dalam kandungan. Berbagai macam definisi dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang No.39 Tahun
1999 Tentang Hak Asasi Manusia, UU No.11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak (SPPA), UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
UU No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, menunjukkan adanya
disharmonisasi perundang-undangan yang ada, pada hakekatnya yang
dimaksud dengan anak adalah setiap orang yang masih di bawah delapan
belas tahun atau orang yang belum mencapai usia delapan belas tahun.
Maka penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah
seseorang yang usianya masih di bawah delapan belas tahun.
I. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan suatu cara atau jalan untuk memperoleh
22
dikenal adanya beberapa macam teori untuk menerapkan salah satu metode
relevan terhadap permasalahan tertentu.40
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif deskriptif, yaitu penelitian yang menggunakan latar alamiah,
dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan
jalan melibatkan berbagai metode yang ada.41
Jenis penelitian yang peneliti gunakan adalah penelitian komparatif
yaitu penelitian yang bersifat membandingkan, penelitian ini dilakukan
untuk membandingkan persamaan dan perbedaan dua atau lebih fakta-fakta
dan sifat-sifat objek yang diteliti berdasarkan kerangka pemikiran tertentu.
Dari komparasi fakta-fakta dapat dibuat konsep atau abstraksi teoritisnya.
Dengan data komparatif dapat mengarah ke ditemukannya keragaman, dan
selanjutnya bukan mustahil menghasilkan modifikasi teori.42 Penelitian
lainnya adalah analisis isi, yaitu suatu model yang dipakai untuk meneliti
dokumen yang dapat berupa teks, gambar, simbol dan sebagainya.
2. Sumber Bahan Hukum
Pada penelitian ini Bahan hukum data terbagi menjadi dua macam :
a. Bahan primer adalah bahan yang isinya mengikat karena dikeluarkan
oleh pemerintah.43 Bahan primer dalam penulisan ini yaitu
40
Joko Subagyo, Metode Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 2004) 1-2
41
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 1989) 5
42
Noeng Muhajir, dkk, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Yogyakarta: Rake Serasin, 1996) 88
43
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004) 103
23
menggunakan bahan yang diambil dari Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), Kitab Fiqh Jinayah, dan Undng-Undang Nomor 11
Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
b. Bahan hukum skunder yaitu data yang masih memiliki kaitan dengan
obyek terkaji yang memiliki keterkaitannya secara tidak langsung. Data
yang diperoleh secara tidak langsung, tetapi data tersebut diperoleh dari
bahan kepustakaan.44
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data dari
dokumen. Teknik ini digunakan untuk memperoleh data-data yang
nantinya dapat membantu memperkuat serta melengkapi data dengan
masalah penelitian. Dalam penelitian ini penulis mengumpulkan data yang
berbentuk kajian dokumen.
4. Teknik Analisa Data
Analisa data adalah proses mengolah, memisahkan, mengelompokkan
dan memadukan sejumlah data yang dikumpulkan baik di lapangan maupun
dari dokumen. Kegiatan analisa data ini merupakan suatu proses
penyederhanaan data kepada bentuk yang mudah dibaca dan selanjutnya
diinterpretasikan. Data-data yang telah terkumpul dan sudah
diinterpretasikan itu, selanjutnya akan dianalisis berdasarkan teori-teori
yang ada.
44
24
J. Sistematika Pembahasan
Penulisan sistematika pembahasan sangatlah penting yaitu sangat
membantu untuk mempermudah dalam penulisan dan penyusunan skripsi.
Dalam penulisan sistematika pembahasan juga bertujuan untuk memberikan
gambar gambaran secara umum mengenai isi penelitian agar jelas dan
terstruktur. Sistematika pembahasannya tersusun sebagai berikut:
BAB I: Dalam bab ini, pendahuluan merupakan tahap awal dari seluruh
rangkaian pembahasan yaitu meliputi latar belakang masalah,
identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, kajian
pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi
operasional, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
BAB II: Berisi landasan teori tentang tindak pidana pemerasan dengan
ancaman kekerasan meliputi: pemerasan dengan ancaman
kekerasan oleh anak di bawah umur menurut hukum pidana
Islam, sanksi tindak pidana pemerasan dengan ancaman
kekerasan oleh anak di bawah umur menurut hukum pidana
Islam.
BAB III: Berisi landasan teori tentang tindak pidana pemerasan dengan
ancaman kekerasan meliputi: pemerasan dengan ancaman
kekerasan oleh anak di bawah umur menurut hukum positif,
sanksi tindak pidana pemerasan dengan ancaman kekerasan
25
BAB IV: Merupakan bab yang menganalisis lebih mendalam mengenai
tinjauan hukum pidana Islam terhadap pemerasan dengan
ancaman kekerasan oleh anak di bawah umur. Untuk
mengetahui perbedaan antara hukum positif dan hukum pidana
Islam.
BAB V: Dalam bab ini berisikan penutup yang memaparkan tentang
kesimpulan dan saran. Setelah bab penutup dilengkapi pula
BAB II
TINDAK PIDANA PEMERASAN DENGAN ANCAMAN KEKERASAN
OLEH ANAK DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM
A.Tindak Pidana Pemerasan Dalam Hukum Pidana Islam
Dalam hukum Islam terdapat dua istilah tindak pidana, yaitu jina>yah dan
jari>mah. Para fuqah>a’ menyatakan bahwa lafal jina>yah sama artinya dengan
jari>mah. Sayid Sabiq memberikan definisi jina>yah sebagai berikut
ِْ ِﺎ ُدﺒﺴﺮُْﺒﺴو
“Yang dimaksud dengan jina>yah dalam istilah syara’ adalah setiap perbuatan yang dilarang. Dan perbuatan yang dilarang itu adalah setiap perbuatan yang oleh syara’ dilarang untuk melakukannya, karena adanya bahaya terhadap agama, jiwa, akal, kehormatan, atau harta benda.”1
Pengertian jina>yah dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan istilah
peristiwa pidana, delik atau tindak pidana. Istilah jari>mah mempunyai
kandungan arti yang sama dengan istilah jina>yah, baik dari segi bahasa atau
dari segi istilah. Dari segi bahasa jari>mah merupakan kata jadian (masdar)
dengan asal kata jarama yang artinya berbuat salah, sehingga jari>mah
mempunyai arti perbuatan salah. Dari segi istilah, al-Mawardi mendefinisikan
1
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, (Jakarta : Media Grafika, 2004 ) 13
27
jari>mah adalah larangan-larangan syara’2 yang diancam oleh Allah dengan
hukuman had atau ta‘zi>r.3
Apa yang menyebabkan suatu perbuatan dianggap sebagai suatu tindak
kejahatan tidak lain adalah karena perbuatan itu sangat merugikan kepada
tatanan kemasyarakatan, atau kepercayaan-kepercayaan atau harta benda,
nama baik, kehormatan, jiwa dan lain sebagainya, yang kesemuanya itu
menurut hukum syara’ harus dipelihara dan dihormati serta dilindungi. Suatu
sanksi diterapkan kepada pelanggar syara’ dengan tujuan agar seseorang tidak
mudah berbuat jari>mah. Dengan harapan dengan diterapkannya ancaman dan
hukuman bagi pelaku jari>mah akan terwujud kemaslahatan umat. Demikian
juga hukum Islam ditegakkan untuk melindungi lima hal, yaitu untuk
perlindungan terhadap agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta benda.4
Ajaran Islam sangat menjunjung tinggi kesucian hidup dan harta benda
manusia. Al-Quranulkarim merupakan sebuah kitab petunjuk yang sempurna
bagi seluruh kehidupan manusia. Tatanan hidup yang Islami merupakan suatu
keseluruhan yang tumbuh mapan serta memelihara baik jasmani maupun
rohani umat manusia. Oleh karena itu tatanan moral al-Qur’an harus diikuti
dengan ketat guna menciptakan kehidupan manusia di bumi ini yang hayati
dan damai. Sebagai anggota Ummah yang dibebaskan, maka setiap anggota
masyarakat harus membela kebenaran dari Allah dan dibebaskan dari rasa
2
Kata-kata “syara’ ”yang dimaksud adalah sesuatu perbuatan dianggap jarimah apabila perbuatan itu dilarang oleh Syara’. Lihat Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam ( Jakarta : Bulan Bintang, 1990) 1
3
Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, (Jogjakarta : Logung Pustaka, 2004) 3- 4
4
28
kekhawatiran ataupun perbudakan terhadap kelemahan manusia yang
mengganggu, ternak, merampas harta atau nyawa orang lain dengan kekerasan
tangan.5
Pemerasan dalam hukum Islam termasuk perilaku kriminal, yaitu
penodong dan/atau perampok diistilahkan dalam kitab-kitab fikih klasik
muharib. Secara harfiah h}ira>bah pada umumnya cenderung mendekati
pengertian pencuri. Perbedaannya adalah mencuri berarti mengambil barang
orang lain dengan cara diam-diam, sedangkan h}ira>bah adalah mengambil
barang orang lain dengan cara anarkis misalnya merampok, mengancam atau
menakut-nakuti orang. pemerasan disertai dengan ancaman kekerasan
termasuk dalam kategori h}ira>bah.6Abd al-Qadir ‘Awdah mengistilahkan
h{ira>bah dengan sariqah kubra> (pencurian besar),7 sedangkan pengambilan
harta yang dilakukan dengan cara diam-diam disebut sariqah sughra>
(pencurian kecil).8
Jari>mah h}ira>bah adalah jari>mah gangguan keamanan di jalan umum.
Secara epistimologis, h}ira>bah berarti memotong jalan (qat{‘u at{-t{a>riq).
Perbuatan ini sangat berdampak psikologis bagi korban, sehingga
menimbulkan trauma yang menghantuinya dalam jangka waktu yang panjang,
bahkan seumur hidupnya. Itulah sebabnya wajar kalau syari’at Islam
5
Abdur Rahman I Doi, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam, (Jakarta:Rineka Cipta, 1992) 55
6
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2009) 69
7
Rahmat Hakim dalam bukunya berjudul Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah) juga sependapat dengan Abd Al-Qadir Auda, bahwa perampokan atau pembegalan sering pula diistilahkan dengan
sariqah kubra (pencurian besar), Lihat Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, (Bandung : Pustaka Setia: 2000) 88
8
Abd Al Qadir Audah, At-Tasyri>y Al-Jina>iy Al-Isla>miy Juz II, (Da>r Al-Kitab.Al-‘Arabi, Beirut, tanpa tahun)638
29
menghukuminya dengan hukuman yang sangat berat, seberat dampak
psikologis yang diderita korban yang sukar dinilai dengan materi.9
Dalam hukum Islam perilaku kriminal yang sedemikian, yaitu penodong
dan/atau perampok diistilahkan dalam kitab-kitab fikih klasik muharib. Secara
harfiah h}ira>bah pada umumnya cenderung mendekati pengertian pencuri.
Perbedaannya adalah mencuri berarti mengambil barang orang lain dengan
cara diam-diam, sedangkan h}ira>bah adalah mengambil barang orang lain
dengan cara anarkis misalnya merampok, mengancam atau menakut-nakuti
orang. pemerasan disertai dengan ancaman kekerasan termasuk dalam kategori
h}ira>bah.10Abd al-Qadir ‘Awdah mengistilahkan h{ira>bah dengan sariqah kubra>
(pencurian besar),11 sedangkan pengambilan harta yang dilakukan dengan cara
diam-diam disebut sariqah sughra>h (pencurian kecil).12
Jari>mah h}ira>bah adalah jari>mah gangguan keamanan di jalan umum.
Secara epistimologis, h}ira>bah berarti memotong jalan. Perbuatan ini sangat
berdampak psikologis bagi korban, sehingga menimbulkan trauma yang
menghantuinya dalam jangka waktu yang panjang, bahkan seumur hidupnya.
Itulah sebabnya wajar kalau syari’at Islam menghukuminya dengan hukuman
9
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), (Bandung : Pustaka Setia: 2000) 88
10
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2009) 69
11
Rahmat Hakim dalam bukunya berjudul Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah) juga sependapat dengan Abd Al-Qadir Auda, bahwa perampokan atau pembegalan sering pula diistilahkan dengan
sariqah kubra (pencurian besar), Lihat Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, (Bandung : Pustaka Setia: 2000) 88
12
Abd Al Qadir Audah, At-Tasyri>y Al-Jina>iy Al-Isla>miy Juz II, (Da>r Al-Kitab.Al-‘Arabi, Beirut,
30
yang sangat berat, seberat dampak psikologis yang diderita korban yang sukar
dinilai dengan materi.13
H{ira>bah adalah termasuk dosa besar, oleh karena itu al-Qur’an
memutlakkan orang yang melakukan h}ira>bah sebagai orang yang menyerang
Allah, Rasul-Nya, dan orang yang berusaha membuat kerusakan di atas bumi,
Allah akan memberi hukuman berat pada pelakunya. Termasuk dalam
pengertian h}ira>bah adalah gerombolan pembunuh, sindikat penculik anak-anak
kecil, sindikat penjahat untuk menggarong rumah-rumah dan bank-bank,
sindikat penculik perempuan untuk dijadikan pelacur.14
Para fuqah>a’ berbeda pendapat dalam mendefinisikan jari>mah
perampokan (h}ira>bah) diantaranya:
1. Pendapat Hanafiyah :
ِﺬْ ﺴِﻷ ُﺗْوُﺮُْ ﺒ...ﺴﺔﺴﺒﺴﺮِْ ﺒﺴو
ِﺔﺴﺎﺴ ِأ ﺴﱃِأ ُﺗْوُﺮُْ ﺒ ﺒﺴﺬ ىدﺴأ ﺒﺴذِأ ِﺔﺴﺴﺎﺴُْﺒ ِِْﺴ ﻰﺴﺴ ِلﺴﺎ ْﺒ
ﺳنﺎﺴ ِْأ ِْﺴـْوﺴأ ِلﺎﺴْﺒ ِﺬْ ﺴأْوﺴأ ِِْ ﺒ
“H{ira>bah...adalah ke luar untuk mengambil harta dengan jalan kekerasan yang realisasinya untuk menakut-nakuti orang yang lewat di jalan, atau mengambil harta, atau membunuh orang”.15
2. Pendapat Malikiyah :
ًﺔﺴ ﺴدﺴﺎُ ِلﺎﺴ ﺒُﺬْ ﺴأ
ْوﺴﺒ ِةﻮُْﺒ ِلﺎﺴِْْ ﺒ ﺴ ﺴ
ﺴﺎِﺎﺴِْْ ﺒ ِمﺴﺪﺴ ﺴ ﺴ
“Mengambil harta dengan tipuan (taktik), baik menggunakan kekuatan maupun tidak”.16
13
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), (Bandung : Pustaka Setia: 2000) 88
14
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 9 diterjemahkan oleh Moh. Nabhan Husein, (Bandung :Alma’arif, 1993) 175
15
Abd. Al-Qadir Audah, At-Tasyriy Al-Jinaiy Al-Islamiy Juz II, ( Beirut : Al-Resalah Publishing House, tanpa tahun) 639
16
Ibid., 641
31
3. Pendapat Syafi’iyah :
ِﺔﺴْﻮﺸ ﺒ ﻰﺴﺴ ﺒًدﺎﺴِْ ِﺒًةﺴﺮِﺎﺴ ُ ﺳبﺎﺴْرِأْوﺴأ ﺳْﺴِْوﺴأ ﺳلﺎﺴِﺬْ ﺴِﻷُزْوُﺮُـْﺒ ﺴﻰِ ...ُﺔﺴﺒﺴﺮِْ ﺒ
ِ ﺴ ِﺪُْـْﺒ ﺴ ﺴ
ِﺖْﻮﺴْﺒ
“H{ira>bah... adalah ke luar untuk mengambil harta, atau membunuh, atau menakut-nakuti, dengan cara kekerasan, dengan berpegang kepada kekuatan, dan jauh dari pertolongan (bantuan)”.17
4. Pendapat Hanabilah :
ﺴُ ِلﺎﺴْﺒ ُ ُﻬﺴـْﻮُـﺴ ْ ُـﺴـﺳءﺒﺴﺮﺴ ﺴ ﺒ ِ ِﺘﺴ ِﺎ ِسﺎِ ﺴنْﻮُﺿﺴﺮُْـ ﺴِْﺬﺴﺒ
ﺲةﺴﺮِﺎ
“Orang yang mengambil harta orang lain secara terang-terangan di padang pasir dengan menggunakan senjata”.18
5. Pendapat Zhahiriyah :
ِضْرﺴْﻷﺒ ِ ُﺪﺳ ُْْﺒ ِِْﺮﻄْﺒ ِ ْﺴِﻷ ُ ِْ ُْﺒُﺮِﺎﺴ ُْﺒﺒﺴﻮُ ُبِرﺎﺴ ُْﺒ
“Perampok adalah orang yang melakukan tindak kekerasan dan mengintimidasi orang yang lewat, serta melakukan perusakan di muka bumi”.19
Dari definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ulama di atas, dapat
dikemukakan bahwa inti persoalan tindak pidana perampokan adalah
keluarnya sekelompok orang dengan maksud untuk mengambil harta dengan
terang-terangan dan kekerasan, apakah dalam realisasinya pengambilan
tersebut terjadi atau tidak. Hanya definisi Imam Malik dan Zhahiriyah yang
sedikit berbeda. Imam Malik dalam mendefinisikan perampokan lebih
mementingkan otak, taktik, dan, strategi dibandingkan dengan kekuatan fisik.
17
Ibid., 640
18
Enceng Arif Faizal, Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana Islam), ( Bandung : Pustaka Bani Quraisy, 2004) 152
19
Abd. Al-Qadir Audah, At-Tasyriy Al-Jinaiy Al-Islamiy Juz II, ( Beirut : Al-Resalah Publishing
32
Sedangkan definisi Zhahiriyah sangat umum, sehingga pencurian pun dapat
dimasukkan ke dalam tindak pidana perampokan.20
Dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan h}ira>bah adalah
suatu tindak kejahatan dengan menggunakan senjata atau alat21 yang
dilakukan oleh manusia secara terang-terangan dimana saja baik dilakukan
oleh satu orang ataupun berkelompok tanpa memikirkan siapa korbannya
disertai dengan tindak kekerasan ataupun ancaman kekerasan.
Dasar hukum h}ira>bah adalah firman Allah SWT yaitu :
ُـ ﺴ ُْوﺴأ آْﻮُـ ﺴُـ ْنﺴأ ﺒًدﺎﺴ ﺴ ِضْرﺴْﻷﺒ ِ ﺴنْﻮﺴْ ﺴﺴو ُﺴْﻮُ ﺴرﺴو ﺴﷲ ﺴنْﻮُـِرﺎﺴُﳛ ﺴِْﺬ ﺒُؤآﺴﺰﺴﺟﺴﺎﳕِأ
آْﻮ
ُﺟْرﺴأﺴو ْ ِﻬِْﺪْﺴأ ﺴ ﻄﺴُـْوﺴأ
ِضْرﺴْﻷﺒ ﺴ ِﺒْﻮﺴْـُـْوﺴأ ﺳﺧﺴ ِ ْ ِ ْ ُﻬُ
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasulnya membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka secara bersilang atau dibuang dari negeri (kediamannya). Yang demikian itu sebagai suatu penghinaan bagi mereka di dunia an di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar”. (QS. al-Maidah: 33) 22
Atas dasar ini para ulama mensyaratkan pada seorang perampok harus
mempunyai kekuatan fisik untuk memaksa, bahkan Imam Abu Hanifah dan
Imam Ahmad mensyaratkan seorang perampok harus membawa senjata tajam,
sedangkan menurut Imam Syafi’i yang penting seorang perampok harus
mempunyai kekuatan fisik untuk memaksa. Apabila perampok terdiri dari
20
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2005 ) 95
21
Suatu tindakan pengambilan harta secara paksa dikualifikasikan sebagai jarimah h{ira>bah jika para pelakunya menggunakan senjata/ alat. Alasannya, perampokan tidak akan terpenuhi kecuali dengan menggunakan senjata untuk menakut-nakuti. Lihat Enceng Arif Faizal, Jaih Mubarok,
Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana Islam), (Bandung : Pustaka Bani Quraisy, 2004) 156
22
Kementrian Agama RI, AL-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi Yang Disempurnakan) Jilid II, (Jakarta:Widya Cahaya, 2011) 389
33
segerombolan manusia, maka seluruh mereka dianggap sebagai perampok
selama masing-masing melaksanakan perbuatan langsung atau tidak langsung.
Hanya saja menurut Imam Syafi’i orang yang disebut sebagai perampok
adalah orang yang melakukan perbuatan langsung. Adapun yang tidak
langsung disebut sebagai perampok dan kejahatannya termasuk kejahatan
biasa yang diancam dengan hukuman ta‘zir.23
H{ira>bah atau Perampokan bukan hanya suatu pelanggaran terhadap
manusia dan masyarakat melainkan juga, berdasarkan ayat diatas, seakan-akan
merupakan suatu pernyataan perang terhadap Allah dan Rasul-Nya dengan
menggunakan kekerasan. Melakukan perang terhadap suatu masyarakat
mungkin akan mengakibatkan kekacauan, kekalutan, dan hilangnya rasa aman
dipikiran dan dihati. Maka setiap orang yang mengacau atau berusaha
mengganggu tatanan hidup itu merupakan pelanggar hukum, dan patut
menerima hukuman yang berat.24
Orang-orang yang mengganggu keamanan dan mengacau ketentraman,
menghalangi berlakunya hukum, keadilan dan syariat, merusak kepentingan
umum seperti membinasakan ternak, merusak pertanian, dan lain-lain, mereka
dapat dibunuh, disalib, dipotong tangan dan kakinya dengan bersilang atau
diasingkan. Hukuman dalam ayat ini ditetapkan sedemikian berat, karena dari
segi gangguan keamanan yang dimaksud itu selain ditujukan kepada umum
juga kerapkali mengakibatkan pembunuhan, perampasan, perusakan dan
lain-23
A.Djazuli, Fiqh Jinayah (upaya menanggulangikejahatan dalam Islam), ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000) 88
24
34
lain. Oleh sebab itu kejahatan-kejahatan ini oleh siapapun tidak boleh diberi
ampunan.25
Adapun untuk dapat dikenakan hukuman h{ad, pelaku h{ira>bah disyaratkan
harus:
Pertama, Mukalaf, yaitu balig dan berakal. Di samping itu, Imam Abu
Hanifah juga mensyaratkan pelaku h{ira>bah harus laki-laki dan tidak boleh
perempuan. Dengan demikian, apabila di antara peserta pelaku terdapat
seorang perempuan maka ia tidak dikenakan hukuman h{ad. Akan tetapi, Imam
Ath-Thahawi menyatakan bahwa perempuan dan laki-laki dalam tindak
pidana ini statusnya sama. Dengan demikian, perempuan yang ikut serta
dalam melakukan perampokan tetap harus dikenakan hukuman h{ad. Menurut
Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Zhahiriyah, dan Syi’ah Zaidiyah,
perempuan yang turut serta melakukan perampokan tetap harus dikenakan
hukuman. Dengan demikian mereka tidak membedakan antara pelaku
perempuan dan laki-laki, seperti halnya jari>mah hudud yang lainnya.26
Kedua, Harta yang diambil. Pada prinsipnya persyaratan untuk harta yang
diambil harus menjadi niat para pelaku sehingga dapat dikualifikasikan
sebagai jari>mah h{ira>bah. Imam Malik berpendapat, dalam jari>mah h{ira>bah
tidak disyaratkan nishab untuk barang yang diambil. Pendapat ini diikuti oleh
sebagian fuqaha> Syafi’iyah. Imam Ahmad dan Syi’ah Zaidiyah berpendapat
25
Kementrian Agama RI, AL-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi Yang Disempurnakan) Jilid II, (Jakarta:Widya Cahaya, 2011) 390
26
Abd. Al-Qadir Audah, At-Tasyriy Al-Jinaiy Al-Islamiy Juz II, ( Beirut : Al-Resalah Publishing House, tanpa tahun) 642-643
35
bahwa dalam harta yang diambil oleh semua pelaku secara keseluruhan, dan
tidak memperhitungkan perolehan perorangan.27
Ketiga, menyangkut tempat dilakukannya jari>mah h{ira>bah. Syarat-syarat
tersebut adalah jari>mah perampokan harus terjadi di negeri Islam, perampokan
harus terjadi di luar kota jauh dari keramaian, Malikiyah dan Syafi’iyah
mensyaratkan adanya kesulitan atau kendala untuk meminta pertolongan.28
Sebagian ulama menjelaskan bahwa untuk menjatuhkan h}ad h}ira>bah
disyaratkan pula lokasi h}ira>bah yang dilancarkan pelakunya ada di tempat
padang yang jauh dari keramaian.
Keempat, pelaku h{ira>bah membawa senjata. Untuk dapat menjatuhkan
h}ad h}ira>bah disyaratkan pula bahwa dalam melancarkan h}ira>bah pelakunya
terbukti membawa senjata. Karena senjata itulah merupakan kekeuatan yang
diandalkan olehnya dalam melancarkan h}ira>bah bila ia tidak membawa
senjata, maka tindakannya tak bisa dikatakan h}ira>bah. Imam Syafi’i, Malik,
pengikut Hambali, Abu Yusuf, Abu Tsaur, dan Ibnu Hazm mengatakan bahwa
tindakannya dihukumi h}ira>bah meskipun hanya bersenjatakan batu dan
tongkat. Karena dalam tindakan h}ira>bah tidak ada ketentuan mengenai jenis
senjata. Yang dianggap sebagai h}ira>bah adalah motif tindak kejahatannya itu,
dan bukan jenis senjatanya. Abu Hanifah mengatakan bahwa tindakan yang
hanya bersenjatakan batu dan tongkat tersebut tidak dihukumi sebagai
tindakan h}ira>bah.29
27
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) 97
28
Ibid.,98
29
36
Hal-hal yang dapat menggugurkan hukuman h}ad h}ira>bah adalah sebagai
berikut: Pertama, orang-orang yang menjadi korban perampokan tidak
mempercayai pengakuan pelaku perampokan atas perbuatan perampokannya.
Kedua, para pelaku perampokan mencabut kembali pengakuannya. Ketiga,
orang-orang yang menjadi korban perampokan tidak mempercayai para saksi.
Keempat, pelaku perampokan berupaya memiliki barang yang dirampoknya
secarah sah, sebelum perkaranya dibawa ke pengadilan. Pendapat ini
dikemukakan oleh kebanyakan ulama Hanafiyah. Sedangkan menurut
ulama-ulama yang lain upaya tersebut tidak dapat mengubah status hukum pelaku,
sehingga ia tetap harus dikenakan hukuman h}ad. Kelima, karena tobatnya
pelaku perampokan sebelum mereka ditangkap oleh penguasa.30 Hal ini sesuai
dengan firman Allah dalam surah al-Maidah ayat 34 :
ﺲِْرﺲرْﻮُﺴ ﺴﷲ نﺴﺒآْﻮُﺴْ ﺎﺴ ْ ِﻬْﺴﺴ ﺒْوُرِﺪْﺴـ ْنﺴﺒ ِْﺴـ ْ ِﺒْﻮُـﺴﺎ ﺴِْﺬ ﺒ ِﺒ
“Kecuali orang-orang yang bertobat sebelum kamu dapat menguasai mereka; maka ketahuilah, bahwa Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Ma’idah :34) 31
Para pengganggu keamanan dan hukumannya telah dijelaskan pada ayat
33, jika mereka tobat sebelum ditangkap oleh pihak penguasa, maka bagi
mereka tidak berlaku lagi hukuman-hukuman yang tertera pada ayat 33, yang
menurut istilah syariat disebut dengan hudu>dullah, dan juga tidak dilakukan
lagi terhadap mereka hukuman yang lain seperti hukuman h{ad, hukum sariqah
dan hukum jina>yah (pidana). Keringanan yang diberikan kepada orang yang
30
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005) 104
31
Kementrian Agama RI, AL-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi Yang Disempurnakan) Jilid II, (Jakarta : Widya Cahaya, 2011) 389
37
bertobat itu sesuai dengan sifat Allah Yang Maha Pengampun dan Maha
Penyayang.32
Bertaubat itu harus lahir-bathin. Fiqh hanya dapat memandang dan
menyoroti lahirnya saja. Karena tak ada yang dapat mengetahui batin kecuali
Allah. Bila pelaku h{ira>bah bertaubat sebelum dapat dibekuk, maka taubatnya
diterima. Dan wajiblah atas imam menerima kedatangan pelaku h{ira>bah yang
bertaubat sebelum dapat dibekuk. Sebagian ulama’ mensyaratkan bahwa
pelaku h{ira>bah yang bertaubat itu harus minta perlindungan keamanan kepada
hakim, dan hakim harus melindunginya. Akan tetapi sebagian ulama’ lagi ada
yang mengatakan bahwa hal seperti itu tidak disyaratkan.33
B.Tindak Pidana Pemerasan dengan Ancaman Kekerasan
Tindak pidana pemerasan sering kali dibarengi dengan tindakan
pengancaman. Orang yang melakukan tindak pidana pemerasan dengan
ancaman kekerasan dapat disebut dengan penodong atau perampok. Penodong
adalah merampas atau mengambil harta milik orang lain dengan cara memaksa
korbannya. Pada umumnya kata penodong lebih lazim dipakai terhadap tindak
pidana yang dilakukan di luar rumah. Perampok adalah orang yang
menggunakan kekerasan (bersenjata) terhadap orang-orang yang tak berdosa
dan tak mempunyai rasa permusuhan terhadap mereka sebelumnya. Beratnya
32
Ibid., 391
33
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 9 diterjemahkan oleh Moh. Nabhan Husein, (Bandung :Alma’arif,
38
tindak perampok ini tetap sama apakah ia dilakukan di sebuah kota, desa
ataupun di padang pasir, dan korban tiada berdaya, tidak memperoleh
pertolongan atau dilarang berteriak tolong.34
Adapun unsur jari>mah h}ira>bah adalah ke luar untuk mengambil harta, baik
dalam kenyataannya pelaku tersebut mengambil harta atau tidak.35
Unsur-unsur h{ira>bah yang utama adalah dilakukan di jalan umum atau di luar
pemukiman korban, dilakukan secara terang-terangan, serta adanya unsur
kekerasan atau ancaman kekerasan. Di samping itu, terdapat unsur-unsur yang
ada dalam jari>mah pencurian, seperti pemindahan barang yang bukan miliknya
serta kesengajaan dalam melakukan tindakan tersebut.36
Bentuk-bentuk tindak pidana pembegalan atau perampokan itu ada empat
macam yaitu sebagai berikut :37
1. Apabila ia keluar rumah dengan niat mengambil harta milik orang lain
dengan cara anarkis sehingga membuat suasana menakutkan atau
mencekam, walaupun ia tidak berhasil mengambil harta dan/atau
membunuh pemilik harta.
2. Apabila ia keluar rumah dengan niat mengambil harta milik orang lain
dengan cara anarkis dan berhasil mengambil harta tetapi tidak membunuh
pemilik harta.
34
Abdur Rahman I Doi, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992) 57
35
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2005 ) 95
36
Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), (Bandung : Pustaka Setia: 2000) 88
37
Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, ( Jakarta : Sinar Grafika, 2009) hlm 69
39
3. Apabila ia keluar rumah dengan niat mengambil harta milik orang lain
dengan cara anarkis, tidak berhasil mengambil harta tetapi membunuh
pemilik harta
4. Apabila ia keluar rumah dengan niat mengambil harta milik orang lain
dengan cara anarki, berhasil mengambil harta dan membunuh pemiliknya.
Sanksi bagi perampok menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan
Imam Ahmad berbeda-beda sesuai dengan perbuatannya. Mereka
berargumentasi dari surat al-Maidah ayat 33 di atas dengan memfungsikan
huruf ataf aw litanwi artinya perincian. Bila hanya mengambil harta dan
membunuh ia dihukum salib, jika ia tidak mengambil harta tetapi membunuh
ia dihukum bunuh, jika hanya mengambil harta dengan paksa dan tidak
membunuh ia maka sanksinya adalah potong tangan dan kaki secara bersilang,
bila hanya menakut-nakuti maka dihukum penjara.38
Dari bentuk-bentuk jari>mah h}ira>bah di atas tindak pidana pemerasan
dengan ancaman kekerasan masuk pada bentuk jari>mah h}ira>bah yang kedua
yaitu mengambil harta tanpa membunuh si korban. Apabila jenis perampokan
hanya mengambil harta tanpa membunuh maka menurut Imam Abu Hanifah,
Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan Syi’ah Zaidiyah hukumannya adalah
dipotong tangan dan kakinya dengan bersilang, yaitu dipotong tangan kanan
dan kaki kirinya. Mereka beralasan dengan firman Allah dalam Surah
Al-Maidah ayat 33:
38
Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, (Jogjakarta : Logung Pustaka, 2004)
40
ﺳﺧﺴ ِ ْ ِ ْ ُﻬُُﺟْرﺴأﺴو ْ ِﻬِْﺪْﺴأ ﺴ ﻄﺴُـْوﺴأ
...
“...atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik...”39
Imam Malik berpendapat, bahwa sesuai dengan penafsiran terhadap huruf
aw dalam Surah al-Maidah ayat 33, hukuman untuk pelaku perampokan dalam
pengambilan harta ini diserahkan kepada hakim untuk memilih
hukuman-hukuman yang terdapat dalam Surah Al-Maidah ayat 33, asal jangan
pengasingan. Hal ini karena jari>mah h}ira>bah itu adalah pencurian berat,
sedangkan hukuman pokok untuk pencurian adalah potong tangan. Oleh
karena itu, untuk perampokan jenis kedua ini (mengambil harta) tidak boleh
lebih ringan daripada potong tangan. Itulah sebabnya pengasingan tidak
termasuk salah satu alternatif hukuman yang dapat dipilih oleh hakim.
Sedangkan Zhahiriyah berpendapat bahwa hakim dibolehkan untuk memilih
hukuman apa saja dari empat jenis hukuman yang tercantum dalam Surah
al-Maidah ayat 33.40
Hukuman untuk tindak pidana perampokan ini sama dengan hukuman
pencurian dua kali. Pelipatan hukuman di sini adalah adil, karena bahaya
perampokan lebih besar daripada bahaya pencurian biasa dan kesempatan
untuk meloloskan diri lebih banyak daripada kesempatan dalam pencurian
biasa.41 Hukuman pemotongan anggota badan dijatuhkan apabila ia
mengambil harta tetapi tidak melakukan pembunuhan. Yang dimaksud dengan
39
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005) 102
40
Ibid
41
Ahmad Wardi Muslich,Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah), (Jakarta:Sinar Grafika, 2004) 151
41
pemotongan ialah pemotongan tangan kanan dan kaki kirinya sekaligus, yakni
tangan dan kaki berseling-seling. Pada dasarnya penjatuhan hukuman tersebut
sama dengan penjatuhan hukuman pencurian. Akan tetapi karena jari>mah
pembegalan atau perampokan ini biasanya dikerjakan di jalan-jalan umum
yang jauh dari keramaian. Hukuman pembegalan atau perampokan disamakan
dengan hukuman pencurian dua kali, dan pelipatan di sini adalah adil karena
bahaya pembegalan atau perampokan tidak kalah bahayanya dengan pencurian
biasa dan karena kesempatan untuk meloloskan diri lebih banyak daripada
kesempatan dalam pencurian biasa.42
Bila tindakan h{ira>bah itu hanya merampas harta tanpa mengadakan
pembunuhan, maka hukuman yang diberikan adalah dipotong tangan kanan
dan kaki kiri. Mengenai tangan dan kaki yang dipotong silang ini, juga ada
maksudnya, yaitu agar manfaat tangan dan kaki tidak hilang sama sekali.
Mereka masih bisa memanfaatkan tangan kiri dan kaki kanannya. Kemudian
bila mereka masih melakukan perampasan dalam h{ira>bah tanpa pembunuhan,
maka tangan kiri dan kaki kanannya dipotong. Dengan demikian, ia sudah tak
punya tangan dan kaki.43
Pemberian hukuman seberat ini disebabkan perbuatan si pelaku bukanlah
hanya sekedar mengambil harta seperti layaknya pencuri, tetapi juga
melakukannya secara paksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan,
bahkan bisa jadi akan dilakukan dengan pembunuhan seandainya si korban
melawan atau bersikeras untuk tidak menyerahkan harta yang dibawanya.
42
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990) 276
43