PERTUMBUHAN DAN HASIL VARIETAS KEDELAI (Glycine max L.) DI LAHAN GAMBUT PADA BERBAGAI TINGKAT NAUNGAN
JUSNIATI
Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Tamansiswa
ABSTRAK
Pengembangan tanaman kedelai sebagai tanaman sela atau tumpangsari di lahan gambut merupakan alternatif untuk meningkatkan produksi kedelai. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan varietas kedelai yang dapat tumbuh dan berproduksi baik pada naungan di lahan gambut. Percobaan disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan faktorial. Faktor pertama adalah naungan (N), terdiri dari tanpa naungan (N0), naungan1 lapis daun sawit = intensitas naungan rendah (N1), naungan 2 lapis daun sawit = intensitas naungan sedang (N2) dan 3 lapis daun sawit = intensitas naungan tinggi (N3). Faktor kedua adalah varietas (V), terdiri dari varietas Lokal (V1), varietas Burangrang (V2) dan varietas Anjasmoro (V3) dengan 3 ulangan. Data yang diperoleh disidikragam dengan uji f dan apabila F hitung besar dari F tabel dilanjutkan dengan Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) 5%. Hasil percobaan menunjukkan bahwa varietas Anjasmoro memiliki respon yang baik terhadap intensitas naungan tinggi dibandingkan dengan varietas Burangrang dan Lokal.
Kata kunci : Naungan, Kedelai, Gambut PENDAHULAN
Kedelai merupakan salah satu komoditi pangan yang memegang peranan penting sebagai bahan makanan utama disamping beras dan jagung, karena merupakan salah satu sumber gizi yang tinggi yaitu protein nabati (Adisarwanto, 2009). Kedelai
dapat dimanfaatkan bijinya karena biji kedelai kaya protein dan lemak serta beberapa bahan gizi penting seperti karbohidrat, Kalium, Fosfor, Besi, Vitamin A dan Vitamin B serta air. Biji kedelai mengandung 42-45% protein (Departemen Pertanian, 2004).
Produksi kedelai yang menunjukkan perkembangan yang
laju permintaan konsumen dan kenyataan di lapangan bahwa produksi kedelai Indonesia belum mampu untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri, sehingga untuk mencukupinya Indonesia mengimpor kedelai. Impor kedelai mencapai 2.08 juta ton/tahun,
luas panen adalah 622.254 ha, produktivitas adalah 13.68 ton/ha dan produksi adalah 851.286 ton/tahun sedangkan tahun 2012 total kebutuhan kedelai nasional 2.2 juta ton (Badan Pusat Statistik, 2012).
Upaya yang dapat dilakukan meningkatkan produksi kedelai melalui perluasan areal. Penambahan luas areal penanaman kedelai yang dilakukan di lahan tegakan yang berusia muda. Tanaman kedelai dapat ditanam disela-sela tanaman karet atau tanaman kelapa sawit (Soverda dkk., 2009). Selain itu usaha peningkatan
produksi kedelai dalam negeri terus diupayakan yaitu dengan program ekstensifikasi. Usaha ekstensifikasi dihadapkan pada semakin berkurangnya lahan-lahan produktif, untuk itu diperlukan pembukaan lahan baru yang umumnya merupakan lahan marginal salah satunya tanah gambut (Noor, 2001).
Tanah gambut merupakan lahan alternatif sebagai lahan bukaan baru baik untuk pertanian maupun tanaman perkebunan. Lahan gambut mempunyai potensi yang cukup besar mengingat arealnya cukup luas tersebar di Indonesia (Triana, 2001).
secara tumpang sari, pemanfaatan di lahan seperti ini terkendala oleh
rendahnya intensitas cahaya akibat faktor naungan yang tinggi.
Tanaman kedelai termasuk tanaman yang membutuhkan sinar matahari penuh karena kedelai merupakan tanaman Heliofit yaitu tanaman yang tumbuh baik jika terkena cahaya matahari penuh. Intensitas cahaya dan lama penaungan mempengaruhi pertumbuhan dan hasil kedelai. Penurunan intensitas cahaya menjadi 40% sejak perkecambahan
mengakibatkan penurunan jumlah buku, cabang, diameter cabang, jumlah polong, dan hasil biji serta kadar protein. Tanaman kedelai yang dinaungi atau ditumpangsarikan akan mengalami penurunan hasil 6-52%, pada tumpangsari kedelai dan jagung 2-56% pada tingkat naungan 33% (Asadi dkk., 2000).
Untuk memperoleh produksi kedelai yang optimal di bawah naungan tinggi atau lahan yang intensitas cahayanya rendah diperlukan upaya untuk memperoleh varietas yang relatife berproduksi tinggi dan tahan terhadap penaungan. Varietas kedelai yang mempunyai produktivitas tinggi antara lain: Wilis, Anjasmoro, Kipas Putih, Lokon, Tidar dan Unggul Lokal (Asadi, 2000).
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis telah melakukan percobaan yang berjudul Pertumbuhan dan Hasil Varietas Kedelai (Glycine max L.) di Lahan Gambut Pada
BAHAN DAN METODE
Percobaan ini telah dilaksanakan di lahan gambut Nagari Aia Bangih Kecamatan Sungai
Beremas Kabupaten Pasaman Barat yang di mulai pada bulan April-Juli 2013.
Bahan yang di gunakan dalam percobaan ini adalah benih kedelai varietas Lokal, Anjasmoro, dan varietas Burangrang (deskripsi pada Lampiran 4 dan 5), pupuk Urea, SP-36, KCl, insektisida Decis. Peralatan
yang di gunakan adalah alat pengolah tanah cangkul, ajir, label, ember, meteran, pisau, sprayer, parang, timbangan, seperangkat tulis, naungan yang terbuat dari daun sawit, kayu atau bambu untuk tiang, tugal.
Percobaan ini menggunakan pola faktorial dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL). Faktor pertama adalah naungan (N), terdiri dari tanpa naungan (N0), naungan 1 lapis daun sawit = intensitas naungan rendah (N1), naungan 2 lapis daun sawit = intensitas naungan sedang (N2), dan naungan 3 lapis daun sawit = intensitas naungan tinggi (N3). Faktor kedua adalah varietas kedelai (V) terdiri dari
Pelaksanaan percobaan meliputi pengolahan tanah, pembuatan naungan atau perlakuan, penanaman, pemupukan, pemeliharaan dan panen. Pengolahan tanah meliputi pembersihan lahan dari gulma, kemudian dibajak sekitar sedalam 20 cm dan dibuat plot ukuran 1.5 m x 1.5 cm dengan jarak antar plot 50 cm. Pembuatan naungan atau perlakuan meliputi membuat kerangka berbentuk
persegi panjang yang empat sudutnya ditancapkan kayu atau bambu yang berukuran 1.6 m. Setelah itu daun sawit diletakkan memanjang dari ujung ke ujung di atas kerangka sesuai dengan perlakuan. Tinggi naungan 1.6 m dari permukaan tanah. Penanaman dilakukan secara tugal dengan 3 biji/lobang dengan jarak tanam 20 cm x 25 cm, kemudian ditutup dengan tanah dan dilakukan pemasangan label. Pemupukan dilakukan seminggu
setelah tanam yaitu pupuk di berikan 100 kg Urea/hektar atau setara dengan 0.225 g per plot, 75 kg SP-36/hektar atau setara dengan 0.168 g/plot dan
100 kg KCl atau setara dengan 0.225 g/plot. Pemupukan dilakukan dengan cara dilarik pada barisan tanaman dalam plot.
Pemeliharaan meliputi penyiraman, penjarangan, penyiangan, dan pengendalian hama dan penyakit. Panen dilakukan setelah polong sempurna masak yaitu tanaman kedelai
dilakukan dengan cara menyabit seluruh tanaman kedelai
Parameter yang diamati meliputi : tinggi tanaman, jumlah cabang primer, jumlah bintil akar, jumlah bintil akar
efektif, bobot brangkasan kering, umur berbunga, jumlah polong/tanaman, bobot 1000 biji, produksi/plot.
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Tinggi Tanaman
Hasil sidik ragam tinggi tanaman kedelai menunjukkan bahwa pemberian naungan dan varietas secara interaksi tidak berpengaruh, begitu
juga dengan pemberian naungan secara tunggal tidak berpengaruh, sedangkan varietas kedelai secara tunggal menunjukkan pengaruh nyata.
Tabel 1. Tinggi tanaman pada berbagai tingkat naungan dan beberapa varietas kedelai.
Naungan Lokal Burangrang Anjasmoro Rata-Rata Tinggi Tanaman (cm)
N0 65.10 61.27 69.68 65.35
N1 64.47 68.22 70.77 67.82
N2 57.42 67.94 64.63 63.33
N3 62.77 66.01 66.49 65.09
Rata-Rata 62.44 b 65.86 ab 67.89 a KK = 0.57%
Angka sebaris diikuti huruf kecil sama berbeda tidak nyata menurut DMRT 5% Perbedaan tinggi tanaman
diduga akibat sifat genetik masing-masing varietas. Hal ini merupakan bahwa varietas Anjasmoro (V3) lebih toleran terhadap kondisi lingkungan
(gen) dan lingkungan. Lingkungan yang naungannya tinggi dapat mengakibatkan perbedaan tinggi tanaman, ini disebabkan oleh rendahnya intensitas cahaya yang diterima oleh tanaman (Zhamal, 2008). Harjadi dan Yahya (2007) menyatakan
bahwa kekurangan cahaya pada tanaman menyebabkan bentuk tanaman lebih tinggi dan lemah. Bentuk tanaman yang lebih tinggi (etiolasi) ini disebabkan aktivitas hormone pertumbuhan, yakni auksin.
Varietas yang mengalami peningkatan tinggi tanaman merupakan varietas yang cenderung dapat beradaptasi dengan lingkungan yang ternaungi, begitu juga dengan varietas yang mengalami peningkatan tinggi lebih tinggi merupakan varietas yang peka terhadap lingkungan yang ternaungi karena intensitas cahaya matahari mempengaruhi pertumbuhan tinggi tanaman kedelai. Hal ini karena intensitas naungan mempengaruhi
berbagai proses dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman terutama adalah fotosintesis yang diungkapkan oleh Asadi dkk., (2000). William dkk., (2005) menyatakan bahwa berkurangnya cahaya yang diterima oleh tanaman akan dapat mempengaruhi pengurangan pertumbuhan akar, serta tanaman menunjukkan gejala etiolasi yaitu dengan pertumbuhan panjang batang pada intensitas naungan tinggi.
B. Jumlah Cabang Primer
Hasil sidik ragam cabang primer menunjukkan bahwa tingkat naungan dan beberapa varietas secara interaksi
secara tunggal menunjukkan pengaruh nyata.
Tabel 2 memperlihatkan N0 tidak berbeda dengan N1 dan N3 tetapi berbeda dengan N2. Uchimiya (2001) menyatakan tanaman mengalami pemanjangan di buku batang (jarak
antar ruas pada batang) akibat kekurangan cahaya. Tanaman yang tumbuh di bawah intensitas naungan tinggi cenderung sedikit bercabang, tanaman lebih banyak untuk menaikkan aspek batangnya menuju ke puncak kanopi.
Tabel 2. Jumlah cabang primer pada berbagai tingkat naungan dan beberapa varietas kedelai
Naungan Lokal Burangrang Anjasmoro Rata-Rata Jumlah Cabang Primer
N0 6.67 7.75 8.33 7.58 A
N1 6.75 7.91 8.50 7.72 A
N2 6.08 7.33 7.91 7.11 B
N3 6.58 7.50 8.00 7.36 AB
Rata-Rata 6.52 c 7.62 b 8.18 a KK = 2.71%
Angka sebaris diikuti huruf kecil sama dan angka sekolom diikuti huruf besar sama berbeda tidak nyata menurut DMRT 5%
Banyaknya jumlah cabang primer pada varietas Anjasmoro (V3) diduga karena jumlah cabang yang dihasilkan berhubungan dengan tinggi tanaman. Dalam hal ini terdapat kecendrungan semakin tinggi batang tanaman kedelai maka jumlah cabang primer yang dihasilkan juga semakin meningkat, ini
C. Jumlah Bintil Akar
Hasil sidik ragam jumlah bintil akar pada tingkat naungan secara tunggal tidak berpengaruh, perlakuan naungan dan varietas secara interaksi juga tidak
berpengaruh, tetapi perlakuan varietas secara tunggal menunjukkan pengaruh sangat nyata.
Tabel 3. Jumlah bintil akar pada berbagai tingkat naungan dan beberapa varietas kedelai.
Naungan Lokal Burangrang Anjasmoro Rata-rata Jumlah Bintil Akar (Buah)
N0 7.50 15.17 28.75 17.14
N1 7.17 13.25 28.75 16.39
N2 9.08 13.18 25.33 15.86
N3 7.33 13.00 23.17 14.50
Rata-Rata 7.77 c 13.65 b 26.50 a KK = 1.40%
Angka sebaris diikuti huruf kecil sama berbeda tidak nyata menurut DMRT 5%. Banyaknya bintil akar yang
dihasilkan varietas Anjasmoro (V3) bahwa setiap varietas memberikan respon yang berbeda pada kondisi lingkungan yang berbeda sehinggga setiap varietas kedelai memiliki bintil akar yang berbeda tergantung kepada sifat genetis varietas tanaman itu sendiri dan tersedianya N dalam tanah
menyebabkan fotosintesis semakin meningkat sehingga translokasi
fotosintat ke seluruh bagian tanaman berlangsung dengan baik.
D. Jumlah Bintil Akar Efektif
Hasil sidik ragam jumlah bintil akar efektif pada tingkat naungan secara tunggal menunjukkan pengaruh nyata. Perbedaan varietas secara tunggal
berpengaruh sangat nyata sedangkan perlakuan naungan dan varietas kedelai secara interaksi juga menunjukkan pengaruh nyata.
Tabel 4. Jumlah bintil akar efektif pada berbagai tingkat naungan dan beberapa varietas kedelai.
Naungan Lokal Burangrang Anjasmoro Jumlah Bintil Akar Efektif (Buah)
N0 4.08 Aa 10.42 Bb 25.50 Cc
N1 3.58 Aa 9.00 Bb 24.08 Cc
N2 5.42 Aa 10.08 Bb 21.58 Cc
N3 3.75 Aa 9.08 Bb 17.42 Dc
KK = 1.35%
Angka sebaris diikuti huruf kecil sama dan angka sekolom diikuti huruf besar sama berbeda tidak nyata menurut DMRT 5%.
Setiap varietas memberikan respon yang berbeda pada kondisi lingkungan yang berbeda sehinggga setiap varietas kedelai memiliki bintil akar yang berbeda tergantung kepada sifat genetis varietas tanaman itu sendiri. Faktor lingkungan terutama cahaya penting bagi pembentukan bintil akar efektif. Bila naungan terlalu
E. Bobot Brangkasan Kering
Sidik ragam bobot brangkasan kering pada beberapa tingkat naungan menunjukkan pengaruh nyata. Perbedaan varietas menunjukkan tidak
berpengaruh. Interaksi antara tingkat naungan dan beberapa varietas kedelai juga tidak berpengaruh
Tabel 5. Bobot brangkasan kering pada berbagai tingkat naungan dan beberapa varietas kedelai
Naungan Lokal Burangrang Anjasmoro Rata-rata Bobot Brangkasan Kering (g)
N0 11.77 12.70 9.28 11.25 A
N1 10.05 10.49 10.06 10.20 A
N2 7.55 8.38 5.49 7.50 B
N3 8.42 4.71 9.60 7.17 B
Rata-Rata 9.45 9.07 8.61 KK = 2.23%
Angka sekolom diikuti huruf besar sama berbeda tidak nyata menurut DMRT 5%. Tingginya bobot brangkasan
kering intensitas tanpa naungan (N0) diduga kedelai dapat memanfaatkan cahaya dengan baik untuk kenaikan bobot brangkasan kering karena tanaman kedelai akan tumbuh baik jika terkena cahaya penuh dan semakin rendahnya bobot brangkasan pada intensitas naungan tinggi (N3)
disebabkan oleh xilem kurang berkembang karena pembesaran sel pada batang terhambat sehingga terjadi penurunan berat bobot. Selain
penurunan berat bobot pada beberapa varietas karena pada setiap varietas memiliki respon yang berbeda dalam mekanisme penyesuaian atau toleransi. F. Umur Berbunga
Hasil sidik ragam umur berbunga menunjukkan bahwa tingkat naungan tidak berpengaruh. Perbedaan varietas kedelai menunjukkan pengaruh nyata.
Interaksi antara tingkat naungan dan varietas kedelai menunjukkan tidak berpengaruh.
Tabel 6. Umur berbunga pada berbagai tingkat naungan dan beberapa varietas kedelai.
Naungan Lokal Burangrang Anjasmoro Rata-rata Umur Berbunga (Hari)
N0 45.75 38.58 39.42 41.25
N1 44.17 36.83 36.75 39.25
N2 42.42 35.62 35.17 37.74
N3 43.08 35.92 39.50 39.50
Rata-Rata 43.85 a 36.74 b 37.71 b KK = 0.64%
Angka sebaris diikuti huruf kecil sama berbeda tidak nyata menurut DMRT 5%. Soverda dkk., (2009)
menyatakan tanaman yang ditanam di dalam naungan akan menghasilkan fotosintat yang lebih sedikit dibanding tanaman yang ditanam pada pencahayaan penuh. Namun, kurangnya cahaya yang diterima oleh
energi pada tubuh tanaman yang ditanam di dalam naungan lebih cepat terkumpul untuk pembentukan bunga. Umur berbunga berkaitan
dengan pertumbuhan tinggi tanaman dan jumlah cabang primer. Varietas Anjasmoro (V3) memperlihatkan kecendrungan pertumbuhan lebih tinggi dan jumlah cabang lebih banyak sehingga periode berbunga lebih cepat. Hal ini disebabkan sifat genetis
tanaman kedelai lebih besar peranannya dalam menentukan umur berbunga. Semakin cepat memasuki fase pembungaan tentu akan menambah peluang suatu varietas untuk dapat membentuk polong lebih banyak (Hasnah, 2003).
G. Jumlah Polong/Tanaman
Jumlah polong/tanaman secara sidik ragam pada beberapa tingkat naungan menunjukkan pengaruh nyata. Perbedaan varietas juga menunjukkan
pengaruh nyata. Interaksi antara tingkat naungan dan varietas kedelai tidak berpengaruh.
Tabel 7. Jumlah polong/tanaman pada berbagai tingkat naungan dan beberap varietas kedelai
Naungan Lokal Burangrang Anjasmoro Rata-rata Jumlah Polong/Tanaman (Polong)
N0 29.42 42.17 44.58 38.72 A
N1 32.84 41.84 43.75 39.48 A
N2 27.67 40.17 37.58 35.15 B
N3 29.25 36.17 40.17 35.20 B
Rata-Rata 29.79 b 40.08 b 41.52 a KK = 0.59%
Intensitas tanpa naungan (N0) memiliki jumlah polong yang berbeda dengan intensitas naungan sedang (N2) dan intensitas naungan tinggi (N3). Selanjutnya antara intensitas naungan sedang (N2) dan intensitas naungan tinggi (N3) memiliki hasil yang tidak berbeda. Afriani (2003) menyatakan bahwa naungan berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah polong hampa dan polong isi, intensitas naungan
tinggi mengalami penurunan jumlah polong perbatang dan jumlah polong isi. Apabila intensitas naungan tinggi di berikan mulai awal pengisian polong, maka jumlah polong dan hasil biji lebih rendah dibandingkan dengan tanaman tanpa naungan. Hal ini disebabkan dengan turunnya kadar karbohidrat daun yang disebabkan oleh turunnya proses fotosintesa (Ogren dan Rinne, 2002).
Banyaknya polong yang dihasilkan varietas Anjasmoro (V3) diduga karena erat kaitannya dengan jumlah cabang yang dihasilkan semakin banyak jumlah cabang dapat
meningkatkan produksi tanaman sebaliknya sedikitnya jumlah cabang yang dihasilkan akan menurunkan produksi jumlah polong yang terlihat pada varietas Lokal (V1).
Perbedaan jumlah polong/tanaman merupakan akibat adanya variasi dalam jumlah bunga pada awal pembentukannya dan tingkat keguguran organ reproduksinya sehingga hasil panen terutama ditentukan oleh jumlah polong yang
H. Bobot 1000 Biji
Hasil sidik ragam bobot 1000 biji pada beberapa tingkat naungan secara tunggal tidak berpengaruh. Perbedaan varietas kedelai secara
tunggal menunjukkan pengaruh nyata. Beberapa tingkat naungan dan varietas kedelai secara interaksi tidak berpengaruh terhadap bobot 1000 biji. Tabel 8. Bobot 1000 biji pada berbagai tingkat naungan dan beberapa varietas
kedelai.
Naungan Lokal Burangrang Anjasmoro Rata-rata Bobot 1000 Biji (g)
N0 39.11 53.54 58.68 50.44
N1 35.82 50.26 53.53 46.54
N2 33.79 47.57 52.68 44.68
N3 31.25 44.95 51.08 42.43
Rata-Rata 34.99 c 49.08 b 53.99 a KK = 1.82%
Angka sebaris diikuti huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata menurut DMRT 5%. Perbedaan bobot 1000 biji
diduga karena sifat genetik tanaman. Sifat genetik tanaman salah satunya adalah ukuran biji, semakin besar biji maka semakin besar bobot 1000 biji serta kemampuan tanaman mengabsorbsi hara dari lingkungan. Kenaikan bobot 1000 biji disebabkan faktor genetik dari varietas kedelai. Setiap varietas memiliki keunggulan
tinggi akan terjadi penurunan aktifitas fotosintesis, sehingga alokasi fotosintat ke organ reproduksi menjadi berkurang (Osumi dkk., 2002), hal ini
menyebabkan ukuran biji menjadi lebih kecil sehingga bobot biji menjadi lebih ringan seperti yang terjadi pada varietas Lokal (V1).
I. Produksi/Plot
Hasil sidik ragam produksi/plot dan produksi/hektar pada beberapa tingkat naungan secara tunggal menunjukkan pengaruh nyata. Perbedaan varietas kedelai secara
tunggal juga menunjukkan pengaruh nyata. Pemberian naungan dan beberapa varietas kedelai secara interaksi tidak berpengaruh terhadap produksi/plot.
Tabel 9. Produksi/plot pada berbagai tingkat naungan dan beberapa varietas kedelai Naungan Lokal Burangrang Anjasmoro Rata-rata
Produksi/plot (g)
N0 501.05 536.05 552.63 529.91 A
N1 484.84 515.42 537.89 512.72 A
N2 464.58 488.53 513.94 489.02 B
N3 418.53 473.05 483.37 458.32 C
Rata-Rata 467.25 c 503.26 b 521.96 a KK = 22.30%
Angka sebaris diikuti huruf kecil sama dan angka sekolom diikuti angka besar sama berbeda tidak nyata menurut DMRT 5%
Table 10. Produksi/hektar pada berbagai tingkat naungan dan beberapa varietas kedelai
Naungan Lokal Burangrang Anjasmoro Rata-rata Produksi/hektar (ton)
N0 2.23 2.38 2.46 2.36 A
N1 2.15 2.29 2.39 2.28 A
N2 2.06 2.17 2.28 2.17 B
N3 1.86 2.10 2.15 2.04 C
Angka sebaris diikuti huruf kecil sama dan angka sekolom diikuti angka besar sama berbeda tidak nyata menurut DMRT 5%
Tingginya intensitas naungan akan mengakibatkan jumlah polong isi dan hasil biji lebih rendah dibandingkan dengan tanaman tanpa naungan. Intensitas naungan memiliki
peran penting dalam proses pengisian biji. Penurunan polong isi dan hasil biji ini akibat menurunnya karbohidrat daun hasil proses fotosintesis tanaman (Karamoy, 2009).
Tingginya produksi oleh varietas Anjasmoro (V3) dan tanpa naungan (N0) karena semua cahaya yang masuk ke tanaman dapat mendukung pertumbuhan tanaman sehingga mampu meningkatkan produktivitas kedelai sedangkan rendahnya produksi varietas Lokal (V1) dan intensitas naungan tinggi (N3) diduga karena berkurangnya intensitas cahaya yang masuk diterima oleh tanaman sehingga proses
fosintesis terganggu yang mengakibatkan jumlah polong isi menjadi sedikit. Pengaruh intensitas cahaya yang rendah terhadap hasil berbagai komoditi sudah banyak dilaporkan. Kedelai yang berada di bawah naungan menyebabkan jumlah polong berisi sedikit serta persentase polong hampa yang tinggi, sehingga produksi biji kedelai rendah (Sopandie dkk, 2003).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil percobaan disimpulkan . Varietas Anjasmoro
Burangrang dan varietas Lokal. Terdapat interaksi antara pemberian naungan dan perbedaan varietas. Tanpa
naungan (N0) memberikan respon Kedelai di Lahan Sawah-Kering-Pasang Surut. Penebar Swadaya, Bogor. 244 hal.
Adisarwanto, T. 2007. Kedelai. Cetakan ke-3. Penebar Swadaya. Jakarta. 108 hal.
Adisarwanto, T. 2009. “Kedelai” Budidaya Dengan Pemupukan Yang Efektif dan Pengoptimalan Bintil Akar. Penebar Swadaya. Bogor. 86 hal. Afriana. 2003. Adaptasi Morfologi, Anatomi dan Fisiologi Kedelai (Glicyne max .L. Merr) pada Kondisi Cekaman Naungan. Skripsi. Program Studi Agronomi, IPB, Bogor. 56 hal. Afrizal Elva. 2003. Pengaruh Pemberian Pupuk Kandang dan SP-36 Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kedelai (Glicyne max .L. Merr). Skripsi Fakultas Pertanian
Jurusan Agroteknologi Tamansiswa, Padang. 48 hal.
Andrianto,T dan N. Indarto. 2004. Budidaya dan Analisis Usaha Tani Kedelai, Kacang Hijau, Kacang Panjang. Cetakan Pertama. Penerbit Absolut, Yogyakarta. Hlm: 205 hal.
Anggraeni, B.W, Jupri, Mulyana. 2010. Studi Agronomi, Morfo-Anatomi dan Fisiologi Kedelai (Glycine max (L) Merr) pada Kondisi Cekaman Intensitas Cahaya Rendah. Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Faperta, IPB. 54 hal.
Anonimous, 2008. Menggenjot Produksi Kedelai Dengan Teknologi. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 30(1):510 hal.
Asadi dan D. Arsyad, 2000. Adaptasi varietas kedelai pada pertanaman tumpang sari dan naungan buatan. Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan, Bogor. Hal 10 -15.
Badan Pusat Statistik. 2012. Data Kedelai 2012. http://www.bps.go.id. [28 Juni 2013].
Baharsjah, J. S. 2002. Legum. Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 98 hal.
Ministry of Education and Culture. Pp 104-122.
Departemen Pertanian, Direktorat Jendral Tanaman Pangan dan Hortikultura, 2003. Budidaya Tanaman Palawija Pendukung Program Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS). Jakarta. 53 hal. Departemen Pertanian. 2004. Profil Kedelai (Glycine max L.). Buku 1. Direktorat Kacang-kacangan dan Umbi-umbian, Jakarta. Hal. 97 hal. Fachruddin, L. 2000. Budidaya Lubis, S.G., Nugroho, M. R., Saul, M. A., Diha; G. B., Hong, H. H., Bailey. 2001. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. UNILA Press, Lampung. 486 hal.
Hanafiah, K.A, 2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Di dalam: Rizwan., Raja Grafindo Persada, Jakarta. 78 hal. Harjadi, S.S dan S. Yahya, 2007. php?mod=basisdata, 2008. Kedelai (glycine max L) 20 April 2008.
Karamoy, L.T. 2009. Hubungan Iklim dengan Pertumbuhan Kedelai (Glycine max (L.) Merril). Soil Environment 7(1):65-68.
Kartono. 2005. Persilangan buatan pada empat varietas kedelai. Buletin Teknik Pertanian 10(2):49-52. Mangunsoekarjo, S dan H. Semangun, 2003. Manajemen Agribisnis Kelapa
Sekolah Pascasarjana, IPB, Bogor. 103 hal.
Noor, M., 2001. Pertanian Lahan Gambut, Potensi dan Kendala.
Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Hlm: 144-145.
Osumi, K., K. Katayama, LU., de la Cruz, & AC. Luna. 2002. Fruit bearing behavior of 4 legumes