• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 penyakit paru kerja

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 1 penyakit paru kerja"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kemajuan dalam bidang industri di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Proses pengembangan industri yang menggunakan beraneka ragam teknologi modern sesuai dengan pembangunan perekonomian nasional tersebut mampu menyerap jutaan tenaga kerja.

Peningkatan ini memberikan berbagai dampak positif, yaitu terbukanya lapangan kerja dan meningkatnya taraf sosial ekonomi masyarakat. Namun, dampak negatif pun tak dapat dielakkan, salah satunya adalah pencemaran udara oleh debu yang timbul dari proses pengolahan atau hasil industri.

Debu dengan berbagai faktor tertentu dapat menyebabkan timbulnya gangguan pada saluran pernapasan bila terisap dan akan tertahan dan tertimbun pada saluran napas bagian atas atau tengah bahkan sampai ke saluran napas kecil paling ujung sampai ke alveoli. Partikel debu yang berukuran satu hingga tiga mikron disebut debu respirabel dan merupakan ukuran yang paling berbahaya karena dapat tertahan di saluran pernapasan.

Penyakit paru kerja yang dapat timbul akibat debu industri antara lain adalah pneumokoniosis batubara, silikosis, bronkitis industri, asma kerja, dan kanker paru. Apabila penyakit paru kerja telah terjadi, umumnya penyakit tersebut tidak dapat diobati.

1.2. Ruang Lingkup Pembahasan

Dalam makalah ini akan dibahas mengenai Penyakit Paru Akibat Kerja yang mencakup antara lain: definisi, klasifikasi, faktor-faktor yang berperan serta langkah pencegahannya. 1.3. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan laporan ini adalah untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik senior dibagian kesehatan masyarakat Fakultas Kedokteran USU dan meningkatkan pemahaman mahasiswa mengenai penyakit paru akibat kerja.

(2)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. Penyakit Paru Akibat Kerja 2.1. Definisi

Penyakit paru kerja (pneumokoniosis) adalah penyakit atau kerusakan paru disebabkan oleh debu, uap atau gas berbahaya yang terhirup pekerja di tempat kerja. Berbagai penyakit paru dapat terjadi akibat pajanan zat seperti serat, debu, dan gas yang timbul pada proses industrialisasi. Jenis penyakit paru yang timbul tergantung pada jenis zat pajanan, tetapi manifestasi klinis penyakit paru kerja mirip dengan penyakit paru lain yang tidak berhubungan dengan kerja. Penyakit paru kerja ternyata merupakan penyebab utama ketidakmampuan, kecacatan, kehilangan hari kerja dan kematian pada pekerja.1

2.2. Klasifikasi

Penyakit paru kerja dapat diklasifikasikan dalam beberapa jenis, salah satunya adalah klasifikasi berdasarkan gejala klinis atau penyakit seperti tampak pada tabel 1.

(3)

Terdapat beberapa karakteristik penyakit paru kerja yaitu: 2,3

1 1. Penyakit paru kerja dan lingkungan mempunyai gejala yang tidak khas sehingga sulit dibedakan dengan penyakit paru lainnya. Dengan demikian penyebab penyakit paru kerja atau lingkungan harus dievaluasi dan ditata laksana secara berkala.

2 2. Pajanan di tempat kerja dapat menyebabkan lebih dari satu penyakit atau kelainan, misalnya kobal dapat menyebabkan penyakit pada parenkim paru atau saluran napas.

3 3. Beberapa penyakit paru disebabkan oleh berbagai faktor, dan faktor pekerjaan mungkin berinteraksi dengan faktor lainnya. Misalnya risiko menderita penyakit kanker pada pekerja terpajan debu asbes yang merokok, lebih besar dibandingkan pekerja yang terpajan asbestos atau rokok saja.

4 4. Dosis pajanan penting untuk menentukan proporsi orang yang terkena penyakit atau beratnya penyakit. Dosis umumnya berhubungan dengan beratnya penyakit pada penderita yang mengalami toksisitas langsung nonimunologi seperti pneumonia toksik kimia, asbestosis atau silikosis. Pada penyakit keganasan atau immune-mediated, dosis biasanya lebih berhubungan dengan insidens dibandingkan beratnya penyakit.

5 5. Ada perbedaan kerentanan pada setiap individu terhadap pajanan zat tertentu. Faktor pejamu yang berperan dalam kerentanan terhadap agen lingkungan masih belum banyak diketahui, tetapi diduga meliputi faktor genetik yang diturunkan maupun faktor yang didapat seperti diet, penyakit paru lain dan pajanan lainnya.

6 6. Penyakit paru akibat pajanan di tempat kerja atau lingkungan biasanya timbul setelah periode laten yang dapat diduga sebelumnya.

Untuk menentukan apakah penyakit paru disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan, harus ditentukan penyakitnya, ditentukan sifatnya, kemudian ditentukan tingkat pajanan di tempat kerja atau lingkungan yang mungkin menjadi penyebab. Beberapa kriteria yang digunakan untuk menentukan bahwa suatu penyakit memang disebabkan oleh agen di tempat kerja atau lingkungan, antara lain gejala klinis dan perkembangannya sesuai dengan diagnosis, hubungan sebab akibat antara pajanan dan kondisi diagnosis telah ditentukan sebelumnya atau diduga kuat berdasarkan kepustakaan medis, epidemiologi atau toksikologi,

(4)

terdapat pajanan yang diduga sebagai penyebab penyakit serta tidak ditemukan diagnosis lain.

Beberapa contoh pneumokoniosis adalah: 1,4

1. Silikosis

Silikosis adalah penyakit fibrosis paru oleh karena debu silika ataupun kristal silikon dioksida. Penyakit ini banyak dijumpai pada pekerja tambang logam, penggali terowongan, pemotong batu, penuangan besi dan baja, industri gelas dan amplas, pabrik semen dan pembuat gigi palsu.

Patogenesisnya belum jelas, namun diperkirakan fagositosis debu silika oleh makrofag menyebabkan lisisnya makrofag. Hal ini terjadi berulang sehingga terjadi proliferasi fibrosis.

Penatalaksanaannya terbatas pada pemberian oksigen, inhalasi kortikosteroid dan pemberian antibiotik sesuai indikasi.

2. Asbetosis

Asbetosis terjadi akibat inhalasi serat asbes secara kronis ditandai dengan fibrosis interstisial difus parenkim paru. Kadang disertai penebalan pleura visceralis dan kalsifikasi pleura.

Penyakit ini banyak dijumpai pada pekerja pembuat bahan kabel, pembuat cat, pembuat ban mobil, atap asbes. Gejalanya berupa batuk tanpa dahak sewaktu bekerja, kemudian akan memberat setelah beberapa tahun, dan akhirnya terjadi fbrosis paru dan komplikasinya bisa menjadi kor pulmonal, keganasan paru dan kematian.

Tidak ada pengobatan khusus untuk asbetosis, yang diberikan adalah pengobatan simptomatis.

(5)

Berryliosis adalah pneumokoniosis yang timbul akibat menghirup debu berrylium. Penyakit ini umumnya terjadi pada pembuat logam campuran berrylium dan tembaga, pembuat tabung radio, tabung fluorescent, dan sumber tenaga atom.

Gejala awalnya adalah nasofaringitis dan trakheobronkitis, demam ringan, batuk kering, sesak nafas yang semakin memberat, batuk lalu menjadi berdahak, sesak nafas dan penurunan berat badan.

4. Siderosis

Siderosis adalah pneumokoniosis akibat menghirup debu besi dan terdapat pada pekerja pengolahan bijih besi. Penyakit ini tidak begitu berbahaya dan tidak begitu progresif. Siderosis akan menjadi semakin berat bila disertai dengan silikosis.

5. Stannosis

Stannosis adalah pneumokoniosis akibat debu timah putih dan tidak begitu berbahaya. Penyakit ini dijupai pada pekerja pengolahan bijih timah, penambang bijih timah putih.

Pada stannosis tidak ada tanda cacat paru dan jarang menimbulkan komplikasi. Yang ada adalah penambahan corakan paru dan pelebaran hilus, penampakan nodul awalnya idi paru kanan lalu paru kiri.

6. Pneumokoniosis batubara

Penyakit ini disebabkan oleh paparan debu batubara dalam jangka waktu lama. Ada faktor kerentanan individual dalam progresivitas penyakit ini. Penyakit ini bisa didapatkan pada pekerja setelah bekerja lebih dari 10 tahun.

(6)

Disebabkan oleh debu kapas. Komponen pentingnya adalah endotoksin bakteri dan zat tannin dari akar, daun dan buah lapas. Gejalanya terjadi setiap hari senin atau setelah masuk kerja kembali, batuk berdahak, demam dan nyeri tulang. Keluhannya membaik bila pekerja libur.

Stadium lanjutnya bisa menjadi PPOK dan terapi suportif berupa beta agonis, steroid inhalasi, antihistamin dan oksigen.

8. Pneumonitis hipersensitif

Disebut juga farmer’s lung disease, ekstrinsik alergik alveolitis, dan Bagassosis. Etiologinya berupa jamur, bakteri, amuba, bahan protein, kayu, dan sebagainya. Paparan antigen berulang akan menyebabkan terbentuknya antigen kompleks, terjadinya alveolitis limfositik, pneumonitis granulomatosa, fibrosis interstisial dan bronkiolitis obliterans. Gejalanya timbul 6-8 jam setelah kontak terhadap bahan pemicu.

Terapinya berupa prednison 1 mg/kgB/hari dan bila membaik setelah terapi 4 minggu, dosis dapat diturunkan dan dilakukan tappering off.

9. Kelainan paru akibat gas toksik

Gas-gas iritan berbahaya yang dapat menyebabkan kerusakan paru dalam jangka panjang antara lain gas amoniak, klorin, ozon, nitrogen oksida, fosgen (CCl4), dan

sulfur dioksid (SO2).

2.3. Faktor-faktor

Ada 3 faktor yang berperan dalam penyakit akibat kerja yaitu5 :

1. Faktor fisik

Partikel – partikel yang terinhalasi dapat dalam bentuk : • Uap

• Gas • Asap

(7)

Partikel – partikel yang terinhalasi atau yang membuat paparan juga terbagi atas : • Partikel yang tidak larut

• Partikel yang larut Contohnya:

Partikel yang tidak larut : asbestos gangguan lokal.

Partikel yang larut : Mangan menimbulkan efek sistemik dan efek lokal, sehingga mempengaruhi otak, ginjal serta organ-organ lainnya sesuai dengan sifat sistemiknya Disamping faktor diatas yang tidak kalah pentingnya adalah :

• Ukuran • Densitas

• Bentuk, daya penetrasi.

– > 10 mikron tersaring dan tinggal

o pada bulu hidung, tetapi akibat aktifitas kerja yang mungkincukup tinggi hingga bahan ini juga pada akhirnya dapat terbawa masuk ke saluran nafas atas.

– 5 – 10 mikron tertahan disaluran nafas atas tengah – 3 mikron akan sampai ke alveoli

Ukuran lebih kecil kemungkinan akan terbang kembali melalui hidung sewaktu ekspirasi. Penimbunan ini bertambah bila pernafasan cepat dan dangkal. Alveolar juga merupakan salah satu tempat penimbunan debu partikel 0,5 – 5 mikron hal ini mengakibatkan gangguan atau penyakit pada parenkim paru.

2. Faktor kimia

• Dari bahan-bahan terinhalasi dapat langsung bereaksi dengan jaringan sekitarnya dan menimbulkan kerusakan.

• Tingkat keasaman ataupun tingkat kebasaan yang tinggi dapat melumpuhkan silia serta mengganggu sistem enzim yang berfungsi mengontrol metabolisme sel.

3. Faktor host (penjamu)

Sistem mekanisme pertahanan paru berfungsi dalam pembersihan debu dari paru. Partikel-partikel yang tertimbun pada mukus diatas epitel yang bersilia akan dibersihkan dalam waktu 1 jam oleh mekanisme “mucociliary clearance” silia akan mendorong mukus

(8)

ke farings yang kemudian dikeluarkan. Hal ini juga tergantung kepada ada tidaknya kelainan bawaan atau cacat pada sistem silia dan saluran nafas atas.

Selain 3 faktor utama diatas, faktor lain yang turut berperan dalam terjadinya penyakit akibat pekerjaan termasuk faktor lingkungan.

• Tempat tinggal:

– Rumah dan daerah sekitar rumah apakah ada juga ditemukan bahan-bahan yang berbahaya.

– Lokasi tempat tinggal didaerah yang mempunyai udara yang yang baik.

– Ventilasi ditempat tinggal (rumah).hobbi termasuk apakah pemahat, mematri atau adanya pekerjaan yang berhubungan dengan penggunaan perkayuan. – Alat-alat yang dipergunakan dirumah.

• Riwayat pekerjaan lain disamping pekerjaan utama

2.4. Diagnosis 6

Untuk dapat mendiagnosis Penyakit Akibat Kerja pada individu perlu dilakukan suatu pendekatan sistematis untuk mendapatkan informasi yang diperlukan dan menginterpretasinya secara tepat.

Pendekatan tersebut dapat disusun menjadi 7 langkah yang dapat digunakan sebagai pedoman:

1. Tentukan Diagnosis klinisnya

Diagnosis klinis harus dapat ditegakkan terlebih dahulu, dengan memanfaatkan fasilitas-fasilitas penunjang yang ada, seperti umumnya dilakukan untuk mendiagnosis suatu penyakit. Setelah diagnosis klinik ditegakkan baru dapat dipikirkan lebih lanjut apakah penyakit tersebut berhubungan dengan pekerjaan atau tidak.

(9)

Pengetahuan mengenai pajanan yang dialami oleh seorang tenaga kerja adalah esensial untuk dapat menghubungkan suatu penyakit dengan pekerjaannya. Untuk ini perlu dilakukan anamnesis mengenai riwayat pekerjaannya secara cermat dan teliti, yang mencakup:

- Penjelasan mengenai semua pekerjaan yang telah dilakukan oleh penderita secara khronologis

- Lamanya melakukan masing-masing pekerjaan - Bahan yang diproduksi

- Materi (bahan baku) yang digunakan - Jumlah pajanannya

- Pemakaian alat perlindungan diri (masker) - Pola waktu terjadinya gejala

- Informasi mengenai tenaga kerja lain (apakah ada yang mengalami gejala serupa) - Informasi tertulis yang ada mengenai bahan-bahan yang digunakan (MSDS, label, dan sebagainya)

3. Tentukan apakah pajanan tersebut memang dapat menyebabkan penyakit tersebut

Apakah terdapat bukti-bukti ilmiah dalam kepustakaan yang mendukung pendapat bahwa pajanan yang dialami menyebabkan penyakit yang diderita. Jika dalam kepustakaan tidak ditemukan adanya dasar ilmiah yang menyatakan hal tersebut di atas, maka tidak dapat ditegakkan diagnosa penyakit akibat kerja. Jika dalam kepustakaan ada yang mendukung, perlu dipelajari lebih lanjut secara khusus mengenai pajanan sehingga dapat menyebabkan penyakit yang diderita (konsentrasi,jumlah, lama, dan sebagainya).

4. Tentukan apakah jumlah pajanan yang dialami cukup besar untuk dapat mengakibatkan penyakit tersebut.

Jika penyakit yang diderita hanya dapat terjadi pada keadaan pajanan tertentu, maka pajanan yang dialami pasien di tempat kerja menjadi penting untuk diteliti lebih lanjut dan membandingkannya dengan kepustakaan yang ada untuk dapat menentukan diagnosis penyakit akibat kerja.

5. Tentukan apakah ada faktor-faktor lain yang mungkin dapat mempengaruhi.

Apakah ada keterangan dari riwayat penyakit maupun riwayat pekerjaannya, yang dapat mengubah keadaan pajanannya, misalnya penggunaan APD, riwayat adanya pajanan serupa

(10)

sebelumnya sehingga risikonya meningkat. Apakah pasien mempunyai riwayat kesehatan (riwayat keluarga) yang mengakibatkan penderita lebih rentan/lebih sensitif terhadap pajanan yang dialami.

6. Cari adanya kemungkinan lain yang dapat merupakan penyebab penyakit

Apakah ada faktor lain yang dapat merupakan penyebab penyakit? Apakah penderita mengalami pajanan lain yang diketahui dapat merupakan penyebab penyakit. Meskipun demikian, adanya penyebab lain tidak selalu dapat digunakan untuk menyingkirkan penyebab di tempat kerja.

7. Buat keputusan apakah penyakit tersebut disebabkan oleh pekerjaannya.

Sesudah menerapkan ke enam langkah di atas perlu dibuat suatu keputusan berdasarkan informasi yang telah didapat yang memiliki dasar ilmiah.

Seperti telah disebutkan sebelumnya, tidak selalu pekerjaan merupakan penyebab langsung suatu penyakit, kadang-kadang pekerjaan hanya memperberat suatu kondisi yang telah ada sebelumnya. Hal ini perlu dibedakan pada waktu menegakkan diagnosis.

Suatu pekerjaan/pajanan dinyatakan sebagai penyebab suatu penyakit apabila tanpa melakukan pekerjaan atau tanpa adanya pajanan tertentu, pasien tidak akan menderita penyakit tersebut pada saat ini.

Sedangkan pekerjaan dinyatakan memperberat suatu keadaan apabila penyakit telah ada atau timbul pada waktu yang sama tanpa tergantung pekerjaannya, tetapi pekerjaannya/pajanannya memperberat/mempercepat timbulnya penyakit.

Dari uraian di atas dapat dimengerti bahwa untuk menegakkan diagnosis Penyakit Paru Akibat Kerja diperlukan pengetahuan yang spesifik, tersedianya berbagai informasi yang didapat baik dari pemeriksaan klinis pasien, pemeriksaan lingkungan di tempat kerja (bila memungkinkan) dan data epidemiologis.

2.5. Pencegahan 1

Pencegahan sangat penting dalam bidang penyakit paru kerja. Dalam kaitan ini dikenal pencegahan primer, sekunder dan tersier.

(11)

2.5.1. Pencegahan primer 1

Pencegahan primer artinya mengurangi faktor risiko sebelum terserang penyakit. Hal tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain :

1 1. Ada Undang-Undang atau Peraturan yang mengatur tentang masalah Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Di Indonesia terdapat berbagai macam Undang-undang dan Peraturan tentang hal tersebut antara lain.

1 - UU No.1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja

Undang-undang ini adalah sebagai undang-undang pokok yang memuat aturan-aturan dasar atau ketentuan-ketentuan umum tentang keselamatan kerja di semua tempat kerja baik di darat, dalam tanah, di permukaan air maupun di udara yang berada di wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia. Undang-undang ini memuat tentang syarat-syarat keselamatan kerja dan separuhnya (50%) merupakan syarat-syarat kesehatan kerja.

Pada pasal 8 disebutkan kewajiban untuk :

1 a. Memeriksakan kesehatan badan, kondisi mental dan kemampuan fisik tenaga kerja yang akan diterima maupun yang akan dipindahkan, sesuai dengan sifat pekerjaan yang akan diberikan kepada pekerja.

2 b. Memeriksakan kesehatan semua tenaga kerja yang berada di bawah pimpinannya secara berkala ( periodik ) pada dokter yang ditunjuk oleh pengusaha dan dibenarkan (disahkan) oleh Direktur.

1 - UU No. 14/1969 tentang Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja

Pada Bab IV Pasal 9 dan 10 Undang-undang tersebut disebutkan : Setiap tenaga kerja berhak mendapat perlindungan atas keselamatan, kesehatan, kesusilaan, pemeliharaan moril kerja serta perlakuan yang sesuai dengan martabat dan moral agama. Pemerintah membina perlindungan kerja yang mencakup :

(12)

2 b. Norma Kesehatan Kerja 3 c. Norma Kerja

4 d. Pemberian ganti rugi, perawatan dan rehabilitasi dalam hal kecelakaan kerja. 2 - UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan 7

Pada Bab X Paragraf 5 Tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pasal 86 dan 87 Undang-undang tersebut disebutkan:

Pasal 86

1. Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas : a. keselamatan dan kesehatan kerja;

b. moral dan kesusilaan; dan

c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama. 2. Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.

3. Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku.

Pasal 87

1.. Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.

2. Ketentuan mengenai penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal ini sebenarnya dapat dipakai untuk mempertahankan hak tenaga kerja yang terkena penyakit. Pemberi kerja (pemerintah atau pengusaha) wajib memberi perlindungan bagi tenaga kerja, tidak boleh memberhentikan begitu saja dan juga wajib memberi pengobatan serta upah yang menjadi hak mereka.

Dan masih banyak lagi Undang-undang atau peraturan yang mengatur tentang kesehatan dan keselamatan kerja.

1 2. Substitusi.

Yang dimaksud di sini yaitu mengganti bahan yang berbahaya dengan bahan yang tidak berbahaya atau kurang berbahaya. Sebagai contoh adalah serat asbes yang dapat

(13)

menimbulkan asbestosis, kanker paru dan mesotelioma, digantikan oleh serat buatan manusia. Contoh lain adalah debu silika yang diganti dengan alumina.

1 3. Modifikasi proses produksi untuk mengurangi pajanan sampai tingkat yang aman. 1 4. Metode basah.

Melakukan proses produksi dengan cara membasahi tempat produksi sehingga tidak menghasilkan debu dengan kadar yang tinggi.

1 5. Mengisolasi proses produksi.

Bila bahan yang berbahaya tidak dapat dihilangkan, pajanan terhadap pekerja dapat dihindari dengan mengisolasi proses produksi. Teknik ini telah digunakan dalam menangani bahan radioaktif dan karsinogen, dan juga telah berhasil digunakan untuk mencegah asma kerja akibat pemakaian isosianat dan enzim proteolitik.

1 6. Ventilasi keluar.

Bila proses isolasi produksi tidak bisa dilakukan, maka masih ada kemungkinan untuk mengurangi bahan pajanan dengan ventilasi keluar ( exhaust ventilation ). Metode ventilasi keluar telah berhasil digunakan untuk mengurangi kadar debu di industri batubara dan asbes.

1 7. Alat Pelindung Diri ( APD ).

Alat pelindung diri di sini bukan hanya sekedar masker, namun yang terbaik adalah respirator. Respirator adalah suatu masker yang menggunakan filter sehingga dapat membersihkan udara yang dihisap. Ada 2 macam respirator, yaitu yang half-face respirator, di sini berfungsi hanya sebagai penyaring udara, dan full-face respirator, yaitu sekaligus berfungsi sebagai pelindung mata.

Pemakaian respirator adalah usaha terakhir, bila usaha lain untuk mengurangi pajanan tidak memberikan efek yang optimal. Untuk menggunakan respirator, seseorang harus melalui evaluasi secara medis. Hal ini penting karena respirator tidak selalu aman bagi setiap orang. Pemakaian respirator dapat berakibat jantung dan paru bekerja lebih keras sehingga pemakaian respirator dapat menjadi tidak aman bagi penderita asma, gangguan jantung atau orang yang mempunyai masalah dengan saluran napasnya. Pelatihan bagi pekerja yang akan menggunakan respirator sangat penting. Dengan pelatihan tersebut pekerja diberi pemahaman

(14)

tentang jenis respirator, cara memilih respirator yang cocok, cara pemakaian serta cara perawatan agar tidak mudah rusak.

Pemakaian alat pelindung diri mempunyai beberapa kelemahan : • Tergantung kepatuhan pekerja

• Tidak 100% efisien

• Memerlukan ketrampilan dan perawatan teratur

• Disesuaikan dengan kebutuhan fisiologis dari masing-masing pemakai • Dapat mengganggu kemampuan melakukan pekerjaan

2.5.2. Pencegahan sekunder 1

Adalah melakukan deteksi dini penyakit dan deteksi dini pajanan zat yang dapat menimbulkan penyakit. Dilakukan pemeriksaan berkala pada pekerja yang terpajan zat yang berisiko tinggi terjadinya gangguan kesehatan. Pemeriksaan berkala dilakukan sejak tahun pertama bekerja dan seterusnya.

Surveilans medik adalah kegiatan yang sangat mendasar, bertujuan untuk mendeteksi efek pajanan yang tidak diinginkan sebelum menimbulkan gangguan fungsi pernapasan pekerja dan selanjutnya dilakukan usaha untuk mencegah perburukan. Tanpa usaha-usaha tersebut, surveilans hanya berperan mencatat besar angka kesakitan daripada pencegahan sekunder. Dalam prakteknya pencegahan berdasarkan surveilans adalah untuk mencegah pajanan.

2.5.3 Pencegahan tertier 1

Pencegahan tersier berguna untuk mencegah penyakit bertambah buruk dan penyakit menjadi menetap. Bila diduga telah terjadi penyakit atau diagnosis telah ditegakkan, perlu secepat mungkin menghindarkan diri dari pajanan lebih lanjut.

Pajanan dari tempat kerja dan lingkungan yang diduga atau diketahui mempunyai efek sinergi terhadap terjadinya kanker paru seperti merokok harus dihentikan. Contoh lain pencegahan tersier adalah pencegahan terhadap penyakit TB pada pekerja yang terpajan debu silika.

(15)

BAB III KESIMPULAN

Penyakit paru kerja (pneumokoniosis) merupakan penyakit atau kerusakan paru disebabkan oleh debu, uap atau gas berbahaya yang terhirup pekerja di tempat kerja. Berbagai penyakit paru dapat terjadi akibat pajanan zat seperti serat, debu, dan gas yang timbul pada proses industrialisasi. Jenis penyakit paru yang timbul tergantung pada jenis zat pajanan, tetapi manifestasi klinis penyakit paru kerja mirip dengan penyakit paru lain yang tidak berhubungan dengan kerja.

Penyakit paru akibat kerja ini bersifat irreversibel yang berarti tidak dapat disembuhkan. Terapinya hanya berupa tindakan suportif. Maka yang dapat dilakukan adalah melalui pencegahan primer, sekunder dan tersier.

(16)

Pencegahan primer adalah untuk mengurangi faktor resiko pajanan. Pencegahan sekunder adalah melakukan deteksi dini kelainan pada pekerja yang beresiko. Pencegahan tersier adalah pencegahan penyakit agar tidak menjadi semakin parah.

DAFTAR PUSTAKA

1. Ikhsan, Mukhtar. Penyakit Paru Kerja. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

2. Redlich CA. Occupational lung disorders : General principles and approaches. In : Fishman AP. Pulmonary Diseases and Disorders. 3rd. New York : McGraw-Hill Co; 1998:867-75.

3. Blanc PD. General principles and diagnostic approaches. In : Murray JF, Nadel JA.Editors. Textbook of Respiratory Medicine. 3rd. Philadelphia : WB Saunders Co. 2000: 1803-9.

4. Soetedjo, Farida A. Penyakit Paru Kerja. Presentasi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.

5. Pandia, PS. Penyakit Paru Kerja. Presentasi Departemen Paru FK-USU. H. Adam Malik Medan, 2008.

(17)

6. Sulistomo, Astrid. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja dan Sistem Rujukan, Kesehatan Kerja. Cermin Dunia Kedokteran, 2000.

Gambar

Tabel 1. Klasifikasi penyakit paru kerja  1

Referensi

Dokumen terkait

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2015 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi/Komisi

Pengembangan indikator 4 C’s yang selaras dengan Kurikulum 2013 pada mata pelajaran matematika SMP/MTs kelas VIII semester 1 ini dikembangkan berdasarkan model Plomp yang

Tujuan umum: setelah posyandu lansia terbentuk diharapkan dapat meningkatkan derajat kesehatan dan mutu peningkatan kesehatan serta pencegahan penyakit lansia

Jika pencarian tersebut gagal, maka ES akan mencari rule lain yang memiliki konklusi yang sama dengan rule pertama tadi.. Tujuannya adalah membuat rule kedua

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya formalin pada tahu cina yang dijual di pasar tradisional sekitar Darmaga, Kabupaten Bogor; menentukan kadar fotmalin

Dewasa ini banyak metode-metode pembelajaran inovatif yang ditawarkan, salah satunya adalah ‘Stationenlernen’, yakni sebuah metode belajar, di mana siswa belajar

Skema ini mengacu pada Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 223 Tahun 2016 tentang Penetapan Jenjang Kualifikasi Nasional Indonesia bidang

BPOM mengawasi produk yang beredar di masyarakat dengan cara memberikan persetujuan, pencantuman tulisan halal pada label berdasarkan sertifikasi halal yang dikeluarkan oleh