• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Sikap otoritarian direfleksikan oleh variabel otoritarianisme sayap kanan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Sikap otoritarian direfleksikan oleh variabel otoritarianisme sayap kanan"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

10 BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Otoritarianisme Sayap Kanan

2.1.1 Definisi Otoritarianisme Sayap Kanan

Sikap otoritarian direfleksikan oleh variabel otoritarianisme sayap kanan (Laythe, Finkle, & Kirkpatrick, 2001; Hunsberger, et al., Wylie & Forest, 1992). Altemeyer (1981) mendefinisikan otoritarianisme sayap kanan (selanjutnya dibaca OSK) sebagai kepatuhan psikologis kepada pihak-pihak yang dianggap berwenang atau berkuasa dalam tatanan kehidupan seseorang (Authoritarian Submission). Beberapa contoh pihak yang berwenang itu adalah orangtua, pemerintah, pemuka agama, atasan dalam dunia militer, Tuhan, dan konstitusi sebuah negara (Altemeyer, 1996).

Teori Altemeyer pertama kali muncul dalam bukunya, yang mencakup survei kritis terhadap validasi psikometrik skala OSK selama bertahun-tahun. Skala barunya yang dikembangkan setelah bertahun-tahun menggunakan empiris validasi yang baik, merupakan ukuran unidimensional tiga kelompok: autoritarian submission, autoritarian aggression, dan konvensionalisme.

Altemeyer berpendapat bahwa asal mula sikap otoritarian dapat dijelaskan dengan pembelajaran sosial (1996). Altemeyer merumuskan hasilnya teori pembelajaran sosial (Bandura, 1977) dari psikodinamika Freudian yang mengemukakan adanya dua pengaruh pembelajaran sosial pada sikap individu. Pertama, pengaruh didikan dan contoh yang diberikan langsung oleh orangtua atau

(2)

figur signifikan lainnya, seperti teman, selebritis idola, dan figur media lainnya. Kedua, pengaruh interaksi langsung dengan objek sikap dan prasangka itu sendiri (misalnya: interaksi dengan gay atau lesbian). Altemeyer (1996) menyatakan bahwa orang-orang otoritarian cenderung memiliki orangtua otoriter yang mengajarkan mereka sikap otoritarian. Ketika mereka keluar dari lingkungan keluarga, orang-orang otoritarian cenderung memilih teman yang otoritarian pula.

Individu dengan tingkat ideologi OSK yang tinggi adalah orang-orang yang religius, karena ia tunduk pada Tuhan dan hukum-hukum-Nya. oleh karena itu, ketika Tuhan berfirman melalui kitab suci bahwa homoseksualitas adalah dosa, maka individu dengan OSK yang tinggi akan mematuhinya dengan bersikap negatif terhadap kaum homoseksual. Tidak hanya itu, Altemeyer dan Hunsberger (1992) menemukan bahwa individu dengan OSK yang tinggi juga cenderung mengungkapkan kebenciannya terhadap kaum homoseksual (social deviant) lewat perilaku agresi (Authoritarian Aggression).

Individu dengan tingkat ideologi OSK yang tinggi juga sangat konvensional (Altemeyer, 1996). Hal ini membuat individu dengan OSK yang tinggi sangat mencintai nilai-nilai tradisional yang sudah ajek di masyarakat, misalnya nilai-nilai agama (Altemeyer, 1996). Segala bentuk perubahan atau nilai-nilai yang muncul, misalnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertentangan dengan pemahaman tradisional agama, akan ditolak.

Altemeyer mengemukakan bahwa individu dengan skor OSK tinggi adalah individu yang sangat menghargai konformitas. Altemeyer (1998) menemukan hubungan positif yang signifikan antara skor OSK dengan Values Type-Conformity milik Schwartz (1992). Individu dengan skor OSK tinggi juga menjunjung tinggi normalitas (1988). Ketika diminta untuk menyusun peringkat pentingnya 10 nilai,

(3)

seperti ‘keteguhan hati’, ‘integritas’, ‘hidup sebagai orang yang normal’ dan ‘belas kasihan’, individu dengan skor OSK tinggi menilai bahwa ‘hidup sebagai orang yang normal’ lebih penting daripada individu hidup dengan skor OSK rendah. Dalam eksperimen berbeda, Altemeyer (1998) menemukan bahwa orang-orang otoritarian cenderung mengubah sikap yang dilaporkannya supaya terlihat normal. Hal ini terjadi karena orang-orang yang otoritarian sangat termotivasi untuk cocok dengan kelompoknya dan terlihat normal.

Selain menjunjung tinggi konformitas dan normalitas, orang-orang otoritarian juga sangat patuh terhadap pemimpin atau pihak-pihak lain yang dianggap berwenang atau berkuasa (Altemeyer, 1981). Dalam eksperimen yang dilakukan oleh Altemeyer, partisipan diminta untuk mematuhi perintah gurunya untuk menyetrum confederate dengan tingkat tegangan listrik yang mereka pilih sendiri (1=tegangan rendah hingga 5=tegangan tinggi). Altemeyer (1981) menemukan bahwa orang-orang dengan skor OSK tinggi bersedia memberikan setruman yang lebih kuat. Eksperimen ini membuktikan bahwa orang-orang otoritarian tinggi merasa lebih nyaman mengikuti aturan baku yang ada daripada menciptakan aturan mereka sendiri.

Otoritarianisme sayap kanan berhubungan dengan sifat-sifat yang menekankan bahaya atau kepatuhan (Duckitt, Wagner, de Plessis, & Birum, 2002). Ide mengenai kepribadian otoritarian muncul tahun 1950an untuk menjawab pertanyaan tentang mengapa ada orang-orang yang mau tunduk dan patuh pada pemimpin yang agresif, sombong dan otoriter, seperti Hitler (Altemeyer, 1998; Whitley & Egisdottir, 2000).

Sejumlah ahli, Adorno, Frenkel Brunswik, Levinson, dan Sanford, yang kemudian dikenal dengan julukan ‘Tim Peneliti Berkeley’, berupaya menjawab pertanyaan tersebut dengan teori psikoanalitik (1950). Altemeyer (1981) menyajikan

(4)

konsep otoritarianisme yang dibuat dalam buku The Authoritarian Personality yang menyatakan bahwa sikap dan perilaku otoritarian dapat dikaitkan dengan pengalaman masa kecil seseorang dengan orangtuanya (Adorno et al., 1950). Anak yang sering dihukum orangtuanya karena melanggar aturan-aturan kedisiplinan, akan memendam rasa benci pada orangtuanya. Namun, kebencian tersebut tidak disalurkan secara langsung ke orangtua, sehingga diarahkan ke target pengganti (displacement). Target pengganti tersebut umumnya adalah kelompok minoritas atau kategori sosial lainnya yang dianggap mengalami penurunan nilai moral, seperti kelompok radikal dan homoseksual (Adorno et al., 1950).

‘Tim Peneliti Berkeley’ mengajukan The Fascism (F) Scale yang mengukur sembilan komponen kepribadian otoritarian (Altemeyer, 1981), yaitu:

1. Conventionalism: ketaatan yang kaku (rigid) pada nilai-nilai yang konvensional.

2. Authoritarian Submission: kepatuhan atau sikap submisif yang tidak kritis pada pemimpin kelompok yang dihormati.

3. Authoritarian Aggression: kecenderungan untuk menolak dan menghukum pihak-pihak yang dianggap melanggar norma-norma konvensional.

4. Anti-Intraception: penolakan terhadap hal-hal yang berhubungan dengan subjektivitas, imajinasi, kebebasan bepikir, dan berperasaan.

5. Superstition dan Stereotype: superstition adalah kecenderungan untuk mengalihkan pertanggungjawaban atas kejadian sehari-hari, dari diri sendiri kepada kekuatan lain di luar kontrol dirinya, seperti kekuatan mistis. Stereotype adalah kecenderungan untuk berpikir kaku, terlalu menyederhanakan kategori-kategori sosial dalam format hitam dan putih.

(5)

6. Power dan Thougness: penyatuan diri dengan figur yang memiliki kekuatan. Hal ini dapat memuaskan baik kebutuhan untuk memiliki kekuatan, maupun kebutuhan untuk tunduk pada kekuatan. Selain itu, terdapat pula penolakan pada kelemahan personal.

7. Destructiveness dan Cynism: merasionalkan agresi, dan fitnah, serta memandang rendah kelompok-kelompok lain di luar kelompoknya.

8. Projectivity: kecenderungan untuk percaya bahwa hal-hal yang berbahaya dan liar akan terus terjadi di dunia.

9. Sex: kekhawatiran berlebihan pada perkembangan seksualitas yang bertentangan dengan seksualitas yang dianggap normal, salah satunya terhadap homoseksualitas.

Kesembilan komponen kepribadian otoritarian tersebut di atas mendapat kritik dari sejumlah pakar. Konsep kepribadian yang diajukan oleh (Adorno et al., 1950) tersebut dianggap terlalu menitikberatkan pada mekanisme pertahanan diri secara tidak sadar (unconscious defense mechanism) yang sulit diuji secara empiris (Duckit, 1989). Altemeyer (1981) juga mengkritik bahwa sebetulnya ada lebih dari sembilan komponen kepribadian, karena superstition dan stereotype merupakan dua hal yang berbeda.

2.1.2 Komponen Otoritarianisme Sayap Kanan

Meskipun banyak dikritik, studi tentang kepribadian otoritarian yang dilakukan oleh Adorno et al. (1950) sangatlah penting untuk memulai studi-studi dengan paradigma baru yang sangat dibutuhkan dari konsep otoritarianisme yang lama. Berangkat dari studi Adorno et al. (1950) inilah, Altemeyer mengembangkan konstruk yang dikenal dengan istilah otoritarianisme sayap kanan (OSK) (Altemeyer,

(6)

1996). Teori Altemeyer (1996) tentang OSK mengambil tiga komponen kepribadian yang pernah diajukan oleh Adorno et al. (1950), yaitu:

1. Authoritarian Submission, yakni kepatuhan yang kuat pada otoritas (pihak yang berwenang) yang dianggap akan didirikan dan sah dalam kehidupan masyarakat.

2. Authoritarian Aggression, yakni kekerasan dan kebencian yang diarahkan pada outgroup (berbagai kelompok luar), yang dapat diterima oleh otoritas yang diakui.

3. Conventionalism, yakni ketaatan yang kuat terhadap norma-norma sosial dan tradisi yang ditentukan dan dianggap harus didukung oleh masyarakat dan otoritas yang telah ditetapkan oleh otoritas yang diakui.

Berdasarkan tiga komponen tersebut, Altemeyer membuat skala psikologis bernama Right-Wing Authoritarianism Scale. Selama lebih dari dua dekade, Altemeyer mengembangkan Right-Wing Authoritarianism Scale menjadi alat yang reliable untuk mengukur otoritarianisme. Skala OSK telah divalidasi di populasi yang berbeda-beda di sejumlah negara di dunia dan terbukti memiliki korelasi yang positif dengan etnosentrisme, religiusitas, heterosexisme, dan konservatisme (Altemeyer, 1996).

Individu yang memiliki ideologi otoritarianisme sayap kanan ingin berinteraksi masyarakat dan sosial yang terstruktur dengan cara meningkatkan kesamaan dan meminimalkan keragaman. Untuk mencapai itu, mereka cenderung mendukung kontrol sosial, pemaksaan, dan penggunaan otoritas kelompok untuk menempatkan kendala pada perilaku orang-orang seperti gay dan lesbian, pembangkang politik, etnis minoritas, imigran, feminis dan ateis. Hal ini adalah kesediaan untuk mendukung atau mengambil tindakan yang mengarah pada keseragaman sosial

(7)

meningkat yang membuat OSK lebih dari sekedar ketidaksukaan pribadi untuk perbedaan. OSK ditandai dengan ketaatan kepada otoritas, absolutisme moral, prasangka rasial dan etnis, dan intoleransi dan punitiveness terhadap pembangkang dan penyimpangan.

Terkait dengan cara berpikir (cognitive style), Adorno et al. (1950) menyatakan bahwa orang-orang otoritarian memiliki sistem kognitif yang kaku, dogmatis dan tertutup (close-minded). Sejumlah penelitian lain tentang authoritarian cognitive style menguatkan pendapat Adorno et al. (1950) tersebut dengan menemukan bahwa orang-orang otoritarian sulit untuk mengolah informasi yang ambigu (Peterson & Lane, Watson et al., 2003).

2.2 Gangguan Seksual GSBI (Garos Sexual Behavior Inventory) 2.2.1 Definisi Gangguan Seksual GSBI

Menurut Sheila Garos (1998), gangguan seksual adalah gangguan frekuensi dan pengendalian perilaku seksual yang biasanya disebut sebagai impulsif atau kompulsif atau adiktif. Dalam literatur, telah terdapat sejumlah teori yang menjelaskan tentang gangguan/penyimpangan seksual, seperti perspektif biologis, konsepsi psikodinamika, teori-teori belajar, teori-teori sosiokultural, dan teori-teori evolusioner (Auchincloss & Vaughan, 2001; Ellis, 1991; Hogben & Byrne, 1998; Meliala, 2004).

De Block dan Adriaens (2013) dalam kajian sistematiknya baru-baru ini memperlihatkan sejarah perdebatan di kalangan psikiater dan seksolog dalam membahas gangguan jiwa seksual (penyimpangan seksual / sexual deviations, parafilia, ketidakwajaran seksual / perversions) dan perilaku seksual imoral, tidak

(8)

etis, atau ilegal. Mereka menemukan bahwa pada dasarnya ada tiga pendekatan penyelidikan, yakni (1) posisi naturalistik, yang menekankan bahwa definisi penyimpangan seksual itu bersifat bebas-nilai (value-free); (2) posisi normativistik, yang menekankan bahwa segenap penilaian tentang penyimpangan seksual itu memuat nilai-nilai (value-laden); dan (3) posisi hibrida, yang mengombinasikan kedua posisi tersebut. Terdapat pula nuansa perdebatan yang lain, yang nampak sepanjang penyusunan DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) pertama kalinya sampai dengan DSM Kelima, yakni (1) pendekatan patologis, yang menekankan bahwa penyimpangan seksual merupakan penyakit, dan (2) pendekatan teori normalitas, yang menekankan bahwa ketidakwajaran seksual merupakan varian normal biologis dari variasi seksual. Lebih lanjut, dewasa ini telah tercapai kesepakatan bahwa, "non normative sexuality need not necessarily be a mental disorder" (De Block & Adriaens, 2013, h. 293).

Variabel gangguan seksual secara operasional diturunkan dari konsep Garos (Garos, 1997; Garos & Stock, 1998; Garos, 2009). Alat ukur yang dihasilkannya adalah Garos Sexual Behavior Inventory (GSBI). GSBI dapat digunakan untuk klien forensik maupun populasi umum (Davis, 2008; Western Psychological Services, 2012). Garos (dalam Davis, 2008) menyatakan "I think what sets this test apart is that it's not targeted at one single group. This test is not restricted for use with any one clinical group, such as people with sexual dysfunctions or sexoffenders. The GSBI was normed on the general population. As a result, it has a greater clinical utility. It can tell you if you have a client that you should investigate more thoroughly with regard to his or her sexual behavior."

(9)

2.2.2 Faktor-Faktor Gangguan Seksual GSBI

Ada 4 (empat) faktor perilaku seksual menyimpang menurut Sheila Garos (1998), yaitu:

1. Discordance; mencerminkan konflik, rasa tidak aman (insecurity), rasa bersalah dan rasa malu, atau keresahan (uneasiness) seseorang terhadap perilaku seksual dan seksualitasnya.

2. Sexual obsession; mencerminkan preokupasi terhadap seks dan kesulitan mengendalikan impuls seks.

3. Permissiveness; mencerminkan orientasi nilai seksual yang "liberal", atau "tidak konvensional", "tidak konservatif".

4. Sexual stimulation; mencerminkan kenyamanan (comfort) dengan rangsangan seks dan keterbangkitan seksual (sexual arousal).

2.3 Pondok Pesantren

2.3.1 Definisi Pondok Pesantren

Kata pondok berasal dari funduq (bahasa Arab) yang artinya ruang tidur, asrama atau wisma sederhana, karena pondok memang sebagai tempat penampungan sederhana dari para pelajar/santri yang jauh dari tempat asalnya (Zamahsyari Dhofir, 1982). Menurut Manfred dalam Ziemek (1986) kata pesantren berasal dari kata santri yang diimbuhi awalan pe- dan akhiran -an yang berarti menunjukkan tempat, maka artinya adalah tempat para santri. Terkadang juga dianggap sebagai gabungan kata sant (manusia baik) dengan suku kata tra (suka menolong), sehingga kata pesantren

(10)

dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik. Sedangkan menurut Geertz pengertian pesantren diturunkan dari bahasa India Shastri yang berarti ilmuwan Hindu yang pandai menulis, maksudnya pesantren adalah tempat bagi orang-orang yang pandai membaca dan menulis. Dia menganggap bahwa pesantren dimodifikasi dari para Hindu (Wahjoetomo, 1997).

Dalam buku Pola Pembelajaran di Pesantren (Depag, 2003), disebutkan istilah pesantren berasal dari India, karena adanya persamaan bentuk antara pendidikan pesantren dan pendidikan milik Hindu dan Budha di India ini dapat dilihat juga pada beberapa unsur yang tidak dijumpai pada sistem pendidikan Islam yang asli di Mekkah. Unsur tersebut antara lain seluruh sistem pendidikannya berisi murni nilai-nilai agama, kiai tidak mendapatkan gaji, penghormatan yang tinggi kapada guru serta letak pesantren yang didirikan di luar kota. Data ini oleh sebagian penulis sejarah pesantren dijadikan sebagai alasan untuk membuktikan asal-usul pesantren adalah karena pengaruh dari India.

Menurut Arifin (1991), Pondok Pesantren adalah “suatu lembaga pendidikan Islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat sekitar, dengan sistem asrama atau kampus, di mana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau Madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari seorang atau beberapa kyai dengan ciri khas yang bersifat kharismatik, serta independent dalam segala hal.

Menurut Nurchalish Majid, sebagimana yang dikutip oleh HM. Amin Haedari dalam bukunya “Masa Depan Pesantren”, Beliau mengatakan pesantren adalah artefak peradapan Indonesia yang dibangun sebagai institusi pendidikan keagamaan bercorak tradisional, unik dan indigenous.

(11)

Sedangkan menurut Mastuhu, sebagaimana dikutip oleh Drs. Hasbullah dalam bukunya “Kapita Selekta Pendidikan Islam”, yaitu pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari- hari.

Dari beberapa definisi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud pondok pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari ajaran Islam untuk diamalkan dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari. Pesantren memiliki misi untuk mengembangkan dakwah Islam. Dalam pembelajaran, pondok pesanten memiliki ciri khas yang tidak dipraktekkan di lembaga-lembaga pendidikan pada umumnya.

2.3.2 Elemen Dasar Tradisi Pesantren

Menurut Zamakhsyari Dhofier (1982) terdapat lima elemen dasar dari tradisi pesantren yang sekaligus menunjukan unsur-unsur pokoknya, serta membedakannya dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya adalah sebagai berikut:

a. Pondok. Sebuah pondok pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional di mana para siswanya tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan seorang (atau lebih) guru yang lebih dikenal dengan sebutan “kyai”. Asrama untuk para siswa tersebut berada dalam lingkungan komplek pesantren di mana kyai bertempat tinggal yang juga menyediakan sebuah masjid untuk beribadah, ruang untuk belajar dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang lain. Komplek pesantren ini biasanya dikelilingi dengan tembok untuk dapat mengawasi keluar dan masuknya para santri sesuai dengan peraturan yang berlaku. Ada tiga alasan utama pesantren harus menyediakan asrama bagi para santri.

(12)

Pertama, kemasyhuran seorang kyai dan kedalaman pengetahuannya tentang Islam menarik santri-santri dari jauh. Untuk dapat menggali ilmu dari kyai tersebut secara teratur dan dalam waktu yang lama, para santri tersebut harus meninggalkan kampung halamannya dan menetap di dekat kediaman kyai.

Kedua, hampir semua pesantren berada di desa-desa di mana tidak tersedia perumahan yang cukup untuk dapat menampung santri-santri, dengan demikian perlu adanya suatu asrama khusus bagi para santri.

Ketiga, ada sikap timbal balik antara kyai dan santri, di mana para santri menganggap kyainya seolah-olah sebagai bapaknya sendiri, sedangkan kyai menganggap para santri sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa dilindungi. Sikap timbal balik ini menimbulkan keakraban dan kebutuhan untuk saling berdekatan terus-menerus. Sikap ini juga menimbulkan perasaan tanggung jawab di pihak kyai untuk dapat menyediakan tempat tinggal bagi para santri.

Di samping itu dari pihak santri tumbuh perasaan pengabdian kepada kyainya, sehingga para kyai memperoleh imbalan dari para santri sebagai sumber tenaga bagi kepetingan pesantren dan keluarga kyai.

Pentingnya pondok pesantren sebagai asrama para santri tergantung kepada jumlah santri yang datang dari daerah-daerah yang jauh. Untuk pesantren kecil, para santri banyak yang tinggal di rumah-rumah penduduk di sekitar pesantren, mereka menggunakan pondok hanya untuk keperluan-keperluan tertentu saja.

Untuk pesantren besar, para santri harus tinggal bersama-sama dengan sepuluh sampai dengan limabelas santri dalam satu kamar. Tidak semua santri dapat tidur dalam kamar tersebut di waktu malam, beberapa diantara mereka tidur di serambi masjid. Pesantren pada umumnya tidak menyediakan kamar khusus untuk santri

(13)

senior yang kebanyakan juga merangkap sebagai ustadz (guru muda). Mereka tinggal dan tidur bersama-sama santri yunior.

Pondok tempat tinggal santri wanita biasanya dipisahkan dengan pondok untuk laki-laki, selain dipisahkan oleh rumah kyai dan keluarganya, juga oleh masjid dan ruang-ruang madrasah. Sistem pondok bukan saja merupakan elemen penting dari tradisi pesantren, tetapi juga menopang utama bagi pesantren untuk dapat terus berkembang.

b. Masjid Masjid merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan dengan pesantren dan dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek sembahyang lima waktu, khutbah dan sembahyang jum’ah, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik.

Para kyai selalu mengajar murid-muridnya di masjid dan menganggap masjid sebagai tempat yang paling tepat untuk menanamkan disiplin para murid dalam mengerjakan kewajiban sembahyang lima waktu, memperoleh pengetahuan agama dan kewajiban agama yang lain.

Seorang kyai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren, biasanya pertama-tama akan mendirikan masjid di dekat rumahnya. Langkah ini biasanya diambil atas perintah gurunya yang telah menilai bahwa ia akan sanggup memimpin sebuah pesantren. Masjid adalah sebagai pusat kegiatan ibadah dan belajar mengajar.

Masjid merupakan sentral sebuah pesantren karena disinilah pada tahap awal bertumpu seluruh kegiatan di lingkungan pesantren, baik yang berkaitan dengan ibadah, shalat berjamaah, zikir, wirid, do’a, i’tiqaf, dan juga kegiatan belajar-mengajar (Yasmadi, 2002:64).

(14)

c. Kitab-kitab klasik Unsur pokok lain yang cukup membedakan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya adalah bahwa pada pesantren diajarkan kitab-kitab Islam klasik atau yang sekarang terkenal dengan sebutan kitab-kitab kuning, yang dikarang oleh para ulama terdahulu mengenai berbagai macam ilmu pengetahuan agama Islam dan bahasa arab. Pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab tentang berbagai ilmu yang mendalam. Tingkatan suatu pesantren dan pengajarannya, biasa diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan (Hasbullah, 1996:50).

Tujuan utama pengajaran ini ialah untuk mendidik calon-calon ulama. Para santri yang bercita-cita ingin menjadi ulama , mengembangkan keahliannya dalam bahasa Arab melalui sistem sorogan dalam pengajian sebelum mereka pergi ke pesantren untuk mengikuti sistem bandongan.

Meskipun kebanyakan pesantren telah memasukan pengajaran pengetahuan umum sebagai suatu bagian penting dalam pendidikan pesantren, namun pengajaran kitab-kitab Isalm klasik tetap diberikan sebagai upaya untuk meneruskan tujuan utama pesantren mendidik calon-calon ulama, yang setia kepada faham Islam tradisional.

Keseluruhan kitab-kitab klasik yang diajarkan di pesantren dapat digolongkan kedalam 8 kelompok:

1. nahwu (syntax) dan saraf (morfologi); 2. fiqh;

3. usul fiqh; 4. hadis; 5. tafsir;

(15)

6. tauhid;

7. tasawuf dan etika, dan

8. cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah.

Kitab-kitab tersebut meliputi teks yang sangat sampai pendek sampai teks yang terdiri dari berjilid-jilid tebal mengenai hadis, tafsir, fiqh, usul fiqh, dan tasawuf. Kesemuanya ini dapat pula digolongkan kedalam tiga kelompok yaitu:

1. kitab-kitab dasar;

2. kitab-kitab tingkat menengah; 3. kitab-kitab besar.

Seorang kyai yang memimpin pesantren kecil mengajar sejumlah kecil santri tentang beberapa kitab dasar dalam berbagai kelompok pelajaran. Dalam pesantren besar, masing-masing kyai mengkhususkan diri dalam mata pelajaran-pelajaran tertentu. Sistem pendidikan pesantren yang tradisional ini, yang biasanya dianggap sangat “statis” dalam mengikuti sistem sorogan dan bandongan dalam menerjemahkan kitab-kitab klasik ke dalam bahasa Jawa, dalam kenyataannya tidak hanya sekedar membicarakan bentuk dengan melupakan isi ajaran yang tertuang dalam kitab-kitab tersebut.

Para kyai sebagai pembaca dan penerjamah kitab tersebut, bukanlah sekedar “membaca teks, tetapi juga memberikan pandangan-pandangan pribadi, baik mengenai isi maupun bahasa dari teks.

Dengan kata lain, para kyai tersebut memberikan pula komentar atas teks sebagai pandangan pribadinya. Oleh karena itu, para penerjermah tersebut haruslah menguasai tatabahasa Arab, literatur dan cabang-cabang pengetahuan agama Islam yang lain.

(16)

1. Santri mukmin yaitu murid-murid yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap dalam kelompok pesantren. Santri mukmin yang paling lama tinggal di pesantren tersebut biasanya merupakan satu kelompok tersendiri yang memegang tanggungjawab mengurusi kepentingan pesantren sehari-hari; mereka juga memikul tanggungjawab mengajar santri-santri muda tentang kitab-kitab dasar menengah.

2. Santri kalong yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa di sekeliling pesantren, yang biasanya tidak menetap dalam pesantren. Untuk mengikuti pelajarannya di pesantren, mereka bolak-balik dari rumahnya sendiri. Yang membedakan antara pesantren besar dengan pesantren kecil biasanya terletak pada komposisi atau perbandingan antara kedua kelompok santri tersebut. Biasanya pesantren-pesantren besar memiliki santri mukmin yang lebih besar dari santri kalong, sedang pesantren yang tergolong kecil, mempunyai lebih banyak santri kalong. Seorang santri pergi dan menetap di suatu pesantren karena berbagai alasan:

1. Ia ingin mempelajari kitab-kitab lain yang membahas Islam secara lebih mendalam di bawah bimbingan kyai yang memimpin pesantren tersebut. 2. Ia ingin memperoleh pengalaman kehidupan pesantren, baik dalam bidang

pengajaran, keorganisasian maupun hubungan dengan pesantren-pesantren yang terkenal.

3. Ia ingin memusatkan studinya di pesantren tanpa disibukan oleh kewajiban sehari-hari di rumah keluarganya.

Di samping itu, rumahnya sendiri ia tidak mudah pulang-balik meskipun kadang-kadang menginginkannya.

(17)

e. Kyai. Kyai merupakan elemen yang paling esensial dari suatu pesantren. Ia sering kali bahkan merupakan pendirinya. Sudah sewajarnya bahwa pertumbuhan suatu pesantren semata-mata bergantung kepada kemampuan pribadi kyainya. Menurut asal-usulnya, perkataan kyai dalam bahasa jawa dipakai untuk tiga jenis gelar yang saling berbeda:

1. Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang dianggap keramat; umpamanya, “Kyai Garuda Kencana” dipakai untuk sebutan Kereta Emas yang ada di Keraton Yogyakarta.

2. Gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya

3. Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya. Selain gelar kyai, ia juga sering disebut seorang alim (orang yang memiliki pengetahuan tentang Islam secara mendalam). Para kyai dengan kelebihan pengetahuannya dalam Islam, seringkali dilihat sebagai orang yang senantiasa dapat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam, hingga dengan demikian mereka dianggap memiliki kedudukan yang tak terjangkau, terutama oleh kebanyakan orang awam.

Dalam beberapa hal, mereka menunjukan kekhususan mereka dalam bentuk-bentuk pakaian yang merupakan simbol kealiman yaitu kopiah dan sorban. Untuk menjadi seorang kyai, pertama-tama ia biasanya merupakan anggota keluarga kyai. Setelah menyelesaikan pelajarannya di berbagai pesantren, kyai pembimbingnya yang terakhir akan melatihnya untuk mendirikan pesantren sendiri.

Kadang-kadang kyai pembimbing tersebut turut secara langsung dalam pendirian proyek pesantren yang baru, sebab kyai yang muda ini dianggap mempunyai potensi untuk menjadi seorang alim yang baik. Campurtangan kyai

(18)

biasanya lebih banyak lagi; antara lain calon kyai tersebut dicarikan jodoh, dan diberi didikan istimewa agar menggunakan waktu terakhirnya di pesantren khusus untuk mengembangkan bakat kepemimpinannya.

Masyarakat biasanya mengharapkan seorang kyai dapat menyelesaikan persoalan-persoalan keagamaan praktis sesuai dengan kedalaman pengetahuan yang dimilikinya. Semakin tinggi kitab-kitab yang diajarkan, ia akan semakin dikagumi. Ia juga diharapkan dapat menunjukkan kepemimpinannya, kepercayaannya kepada diri sendiri dan kemampuannya, karena banyak orang datang meminta nasehat dan bimbingan dalam banyak hal. Ia juga diharapkan untuk rendah hati, menghormati semua orang, tanpa melihat tinggi rendah kelas sosialnya, kekayaan dan pendidikannya, banyak prihatin dan penuh pengabdian kepada Tuhan dan tidak pernah berhenti memberikan kepemimpinan keagamaan, seperti memimpin sembahyang lima waktu, memberikan khutbah jum’ah dan menerima undangan perkawinan, kematian dan lain-lain.

Adanya kyai dalam pesantren merupakan hal yang mutlak bagi sebuah pesantren, sebab dia adalah tokoh sentral yang memberikan pengajaran, karena kyai menjadi salah satu unsur yang paling dominan dalam kehidupan suatu pesantren.

Kemasyhuran, perkembangan dan kelangsungan suatu pesantren banyak bergantung pada keahlian dan ke dalam ilmu, kharismatik, wibawa dan ketrampilan kyai yang bersangkutan dalam mengelola pesantrennya (Hasbullah, 1996:49).

Menurut Imam Banawi sebagaimana dikutip oleh Yasmadi (2002:63), keberadaan seorang kyai dalam lingkungan sebuah pesantren laksana jantung bagi kehidupan manusia. Intensitas kyai memperlihatkan peran yang otoriter disebabkan karena kyailah perintis, pendiri, pengelola, pengasuh, pemimpin, dan bahkan juga pemilik tunggal sebuah pesantren.

(19)

Oleh sebab ketokohan kyai di atas, banyak pesantren akhirnya bubar lantaran ditinggal wafat kyainya. Sementara kyai tidak memiliki keturunan yang dapat melanjutkan usahanya. Menurut Faisal Ismail yang ditulis oleh Yasmadi (2002:64), kyai dapat juga dikatakan tokoh non formal yang ucapan-ucapan dan seluruh perilakunya akan dicontoh oleh komunitas di sekitarnya.

Kyai berfungsi sebagai sosok model atau teladan yang baik (uswah hasanah) tidak saja bagi santrinya, tetapi juga bagi seluruh komunitas di sekitar pesantren. Secara umum pondok pesantren memiliki fungsi-fungsi sebagai:

1. lembaga pendidikan yang melakukan transfer ilmu-ilmu agama (tafaqquh fi aldin) dan nilai-nilai Islam (Islamic values),

2. lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial (social control), dan 3. lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial (social engineerimg)

(Depag, 2005:7).

2.3.3 Ciri-Ciri Pesantren

Menurut A. Mukti Ali, yang ditulis oleh M. Affan Hasyim (2003), ciri-ciri pesantren sebagai berikut:

a. Adanya hubungan yang akrab antara murid (santri) dengan kyai. Hal ini dimungkinkan karena mereka tinggal dalam satu pondok.

b. Tunduknya santri kepada kyai. Para santri menganggap bahwa menentang kyai selain dianggap kurang sopan juga bertentangan dengan ajaran agama.

c. Hidup hemat dan sederhana benar-benar dilakukan dalam kehidupan pesantren.

d. Semangat menolong diri sendiri sangat terasa dan kentara di pesantren. Hal ini disebabkan santri menyuci pakaiannya sendiri, membersihkan kamar tidurnya

(20)

sendiri, dan bahkan tidak sedikit dari mereka yang memasak makanannya sendiri.

e. Jiwa tolong menolong dan suasana persaudaraan sangat mewarnai pergaulan di pesantren.

f. Disiplin sangat ditekankan dalam kehidupan pondok pesantren.

g. Berani menderita untuk mencapai sesuatu tujuan merupakan salah satu pendidikan yang diperoleh pesantren.

2.3.4 Bentuk-Bentuk Pondok Pesantren

Pada tahun 1979 Menteri Agama mengeluarkan peraturan No. 3 Tahun 1979 (dalam Departemen Agama, 2003) yang mengungkapkan bentuk pondok pesantren diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Pondok pesantren yang menyelenggarakan pengajian kitab-kitab klasik (salafiyah/tradisional). Para santri dapat diasramakan, kadangkala tidak diasramakan. Mereka yang tidak diasramakan tinggal di masjid dan rumah-rumah penduduk yang berada di sekitar masjid atau rumah-rumah kyai.

b. Pondok pesantren yang telah diungkapkan pada poin a namun memberikan tambahan latihan keterampilan atas kegiatan pada para santri pada bidang-bidang tertentu dalam upaya penguasaan ketarmpilan individu atau kelompok. Termasuk dalam kategori ini adalah pondok pesantren yang menyelenggarakan kegiatan pemberdayaan potensi umat.

c. Pondok pesantren yang menyelenggarakan kegiatan pengajian kitab namun lebih mengarah pada upaya pengembangan tarekat/sufisme, namun para santrinya kadang-kadang ada yanbg diasramakan, adakalanya pula tidak diasramakan.

(21)

d. Pondok pesantren yang hanya menyelenggarakan kegiatan ketrampilan khusus agama Islam, kegiatan keagamaan, seperti tahfidz (hafalan) Al-Quran dan Majelis Taklim, seperti halnya dengan yang tersebut sebelumnya, adakalanya santri diasramakan, adakalanya tidak.

e. Pondok pesantren yang menyelenggarakan pengajian kitab klasik, namun juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan formal ke dalam lingkungan pondok pesantren (biasanya disebut pesantren modern). Siswa pada lembaga pendidikan formal ada yang tidak tinggal diasrama bukan termasuk kategori santri (tidak ikut pengajian). Kadang-kadang ada santri yang hanya ikut pengajian saja tidak tinggal di asrama.

f. Pondok pesantren yang menyelenggarakan pengajaran pada orang-orang yang menyandang masalah sosial. Patut dicatat bahwa dalam rangka pemerataan pemenuhan hak warga negara untuk memperoleh pengajaran yang layak, maka diupayakan adanya penyelenggaraan pondok pesantren yang memberikan bentuk pengajaran khusus mereka yang memiliki cacat tubuh atau keterbelakangan mental dalam sebuah penyelenggaraan Madrasah Luar Biasa di pondok pesantren dan juga bagi mereka yang yatim piatu atau anak jalanan dalam sebuah panti asuhan yang dikelola sebagai pondok pesantren.

g. Pondok pesantren yang merupakan kombinasi dari beberapa poin atau seluruh poin yang tersebut di atas.

Dalam pelaksanaan pendidikan yang diselenggarakan pondok pesantren, secara garis besar dapat digolongkan ke dalam dua bentuk yang penting:

a. Pondok Pesantren Salafiyah Pondok Pesantren Salafiyah adalah pondok pesantren yang menyelenggarakan pengajaran Al-Quran dan ilmu-ilmu agama

(22)

Islam yang kegiatan pendidikan dan pengajarannya sebagaimana yang berlangsung sejak awal pertumbuhannya. Pembelajaran (pendidikan dan pengajaran) yang ada pada pondok pesantren ini dapat diselenggarakan dengan cara non-klasikal atau dengan klasikal. Jenis pondok ini pun dapat meningkat dengan membuat kurikulum sendiri, dalam arti kurikulum ala pondok pesantren yang bersangkutan yang disusun sendiri berdasarkan ciri khas yang dimiliki oleh pondok pesantren. Penjenjangan dilakukan dengan cara memberikan kitab pegangan yang lebih tinggi dengan funun (tema kitab) yang sama, setelah tamatnya suatu kitab. Para santri dapat tinggal dalam asrama yang disediakan dalam lingkungan pondok pesantren, dapat juga mereka tinggal di luar lingkungan pondok pesantren (santri kalong).

b. Pondok Pesantren Khalafiyah (Ashriyah) Pondok Pesantren Khalafiyah adalah pondok pesantren yang selain menyelenggarakan kegiatan kepesantrenan, juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan formal (jalur sekolah), baik itu jalur sekolah umum (SD, SMP, SMU, dan SMK), maupun jalur sekolah ciri khas agama Islam (MI, MTs, MA, atau MAK).

Biasanya kegiatan pembelajaran kepesantrenan pada pondok pesantren ini memiliki kurikulum pondok pesantren yang klasikal dan berjenjang, dan bahkan pada sebagian kecil pondok pesantren pendidikan formal diselenggarakannya berdasarkan pada kurikulum mandiri, bukan dari Departemen Pendidikan Nasional atau Departemen Agama. Pondok pesantren ini dapat pula dikatakan sebagai Pondok Pesantren Salafiah plus.

Pondok Pesantren Salafiah yang menambah lembaga pendidikan formal dalam pendidikan dan pengajarannya. Penjenjangan yang dilakukan berdasarkan pada

(23)

sekolah formalnya atau berdasarkan pengajiannya. Para santri yang ada di pondok pesantren tersebut pun adakalanya“mondok”, dalam arti sebagai santri dan sebagai siswa sekolah. Adakalanya pula sebagian siswa lembaga sekolah bukan santri pondok pesantren, hanya ikut pada lembaga formal saja. Bahkan dapat pula santrinya hanya mengikuti pendidikan kepesantrenan saja (Depag, 2003:41).

Menurut Depag (2003:44), dalam pembelajaran yang diberikan oleh pondok pesantren kepada santrinya, sesungguhnya pondok pesantren mempergunakan suatu bentuk “kurikulum” tertentu yang telah lama dipergunakan. Yaitu dengan sistem pengajaran tuntas kitab yang dipelajari (kitabi) yang berlandaskan pada kitab pegangan yang dijadikan rujukan utama pondok pesantren tersebut untuk masing-masing bidang studi yang berbeda.

(24)

2.4 Kerangka Berpikir

(+) (-) (-) (-)

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Sumber: Diolah Oleh Peneliti

Pesantren menurut Arifin (1991) adalah “suatu lembaga pendidikan Islam yang tumbuh serta diakui oleh masyarakat sekitar, dengan sistem asrama atau kampus, di mana santri-santri menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau Madrasah yang sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari seorang atau beberapa kyai dengan ciri khas yang bersifat kharismatik, serta independent dalam segala hal”. Tetapi, kebanyakan orang-orang di pesantren menganggap seksualitas adalah suatu hal yang dianggap tabu dan tidak layak diperbincangkan. Di pesantren, para santri

Pesantren

• Seks = Tabu

• Tempat tinggal dan aktifitas bersama • Peraturan cukup ketat

• Whistle Blower

• Junior menyamar menjadi senior

Right Wing Authoritarianism

Gangguan Seksual GSBI

(25)

tinggal bersama dan melakukan aktifitas yang, mulai dari makan, mencuci, mandi, belajar, mengaji, sampai dengan tidur bersama. Didalam pesantren, peraturan cukup ketat untuk santri yang melanggar peraturan yang telah diterapkan di pesantren. Ada juga santri yang sebenarnya baik, tetapi terpengaruh dengan santri lain yang nakal, jadi santri yang nakal itu membawa pengaruh kepada santri lainnya. Di beberapa pesantren diajarkan materi seksualitas yang dikhususkan kepada santri yang telah senior saja, tetapi ada santri junior yang menyamar untuk mengikuti materi seksualitas.

Otoritarianisme sayap kanan diasumsikan berkorelasi positif dengan sexual discordance. Otoritarianisme sayap kanan diasumsikan berkorelasi negatif dengan sexual permissiveness, sexual stimulation, dan sexual obsession.

(26)
(27)

Gambar

Gambar 2.1  Kerangka Berpikir  Sumber: Diolah Oleh Peneliti

Referensi

Dokumen terkait

Konsep desain (Gambar 1) ditentukan berdasarkan problematika yang diangkat. Dari kesulitan komunikus pemula dalam membuat komik, kurangnya pengetahuan dasar

Kepala Program Study Ilmu Bedah Dekan FK Unsri atau yg mewakilkan Dengan para Sp.B Baru.. Sesi

Untuk produk-produk yang memerlukan biaya cukup besar dilakukan pemilihan proses yang tepat dan efisien, mengingat cairan fermentasi merupakan campuran yang

Instalasi gawat darurat merupakan suatu unit di rumah sakit yang memiliki tim kerja dengan kemampuan khusus dan peralatan yang lengkap serta memadai untuk memberikan pelayanan

Penilaian acuan patokan (PAP) merupakan penilaian yang diacukan pada tujuan instruksional yang harus dikuasai oleh siswa, sedangkan penilaian acuan norma (PAN)

Manfaat dari penelitian ini bagi UMKM adalah mendapatkan solusi bagi penanganan pelanggan yang selama ini menggunakan email, IM chat , dan telepon menjadi sistem dengan

(1) pelaku utama yang melaksanakan agribisnis sesuai dengan produk/komoditi yang diperlukan pasar dan telah ditetapkan melalui pertemuan rembugtani Desa; (2) bersedia

kakao Ghana dipengaruhi oleh harga produsen Ekuador, Republik Dominika, Indonesia, dan Nigeria, nilai tukar Pantai Gading dan Republik Dominika juga mempengaruhi harga biji