• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN KINERJA T.A.2016 DIREKTORAT JENDERAL PERUNDINGAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN KINERJA T.A.2016 DIREKTORAT JENDERAL PERUNDINGAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN

KINERJA

T.A.2016

DIREKTORAT JENDERAL

PERUNDINGAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

KEMENTERIAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA

2017

(2)

i

KATA PENGANTAR

Selaras dengan RPJMN 2015 – 2019, Direktorat Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional (Ditjen PPI), Kementerian Perdagangan terus meningkatkan perannya dalam diplomasi dan negosiasi di Fora Internasional. Peningkatan peran tersebut, difokuskan untuk meningkatkan daya saing produk ekspor non-migas dan jasa melalui peningkatkan nilai tambah agar lebih kompetitif untuk mengisi pasar internasional. Ditjen PPI juga melakukan optimalisasi upaya pengamanan

perdagangan guna mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Perundingan perdagangan internasional yang dilakukan pada tahun 2016 dilaksanakan dalam berbagai fora, antara lain: Penanganan Sengketa dalam forum Dispute Settlement Body di Fora Multilateral, Peningkatan peran aktif Indonesia dalam perumusan Masyarakat Ekonomi ASEAN Pasca 2015 dan keketuaan di Fora RCEP dan partsisipasi di APEC, serta melanjutkan beberapa perundingan di Fora Bilateral melalui pendekatan Comprehensive Economic Partner-ship

Agreement (CEPA) dalam rangka membuka akses pasar Indonesia di pasar Australia dan Eropa

dan Free Trade Agreement (PTA) .

Laporan Kinerja merupakan bentuk pertanggungjawaban kinerja untuk melaporakan dan mengevaluasi hasil pemantauan capaian kinerja Ditjen PPI pada Tahun Anggaran 2016 dengan prinsip-prinsip pelaporan yang jujur, objektif, akurat dan transparan. Kinerja Ditjen PPI diukur berdasarkan capaian dari setiap Sasaran Program dan Indikator Kinerja yang telah ditetapkan dalam Perjanjian Kinerja Ditjen PPI di awal Tahun 2016.

Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional (Ditjen PPI) merupakan bentuk pertanggungjawaban atas pencapaian kinerja pada Tahun Anggaran 2016 guna mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) yang mengacu pada i) Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah; ii) Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 53 Tahun 2014 Tentang Petunjuk Teknis Perjanjian Kinerja, Pelaporan Kinerja dan Tata Cara Review atas Laporan Kinerja Instansi Pemerintah; dan iii) Keputusan Menteri Perdagangan Nomor:794/M-DAG/KEP/8/2015 tentang Pedoman Penyusunan SAKIP di Lingkungan Kementerian Perdagangan.Semoga Laporan Kinerja ini dapat diterima sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban pencapaian kinerja Ditjen PPI dan dapat mendorong peningkatan kinerja bagi seluruh unit di lingkungan Ditjen PPI di masa mendatang.

Jakarta, 14 Maret 2017 Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional,

(3)

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i DAFTAR ISI...ii DAFTAR TABEL ... 1 DAFTAR GRAFIK ... 2 DAFTAR GAMBAR ... 2 RINGKASAN EKSEKUTIF ... 3 BAB I - PENDAHULUAN... 5 A. Latar Belakang ... 5 B. Tujuan ... 6 C. Struktur Organisasi ... 6

D. Peran Strategis Organisasi ... 7

BAB II - PERENCANAAN KINERJA ... 9

A. Rencana Strategis ... 9

B. Perjanjian Kinerja ... 10

BAB III - AKUNTABILITAS KINERJA ... 11

A. Capaian Kinerja ... 11

Sasaran I: Pengembangan Sektor Prioritas Jasa yang Berorientasi Ekspor ... 12

Sasaran II: Penurunan Hambatan Tarif dan Non Tarif di Negara Mitra... 16

Sasaran III: Peningkatan Implementasi Hasil Perundingan ... 20

Sasaran IV: Pengamanan Kebijakan Nasional di Fora Internasional ... 23

Sasaran V: Kepastian Tindak Lanjut dan Peta Kerja Sama Perdagangan Internasional ... 25

Sasaran VI: Peningkatan Pemahaman dan Pemanfaatan Hasil Kerja Sama Perdagangan Internasional ... 26

B. Kinerja Anggaran ... 29

BAB IV PENUTUP ... 32

LAMPIRAN I - STRUKTUR ORGANISASI DIREKTORAT JENDERAL PERUNDINGAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL ... 34

LAMPIRAN II - PERJANJIAN KINERJA DITJEN PPI TAHUN 2016 ... 35

(4)

1

DAFTAR TABEL

TABEL 1 REALISASI CAPAIAN KINERJA DITJEN PPI TAHUN 2016 ... 3

TABEL 2 : INDIKATOR DAN TARGET KINERJA DITJEN PPI TAHUN 2015-2019 ... 10

TABEL 3 REALISASI CAPAIAN INDIKATOR KINERJA DITJEN PPI TAHUN 2016 ... 11

TABEL 4 REALISASI CAPAIAN INDIKATOR PERTUMBUHAN EKSPOR JASA ... 12

TABEL 5 PERKEMBANGAN EKSPOR JASA TAHUN 2014-2016 (JUTA USD) ... 14

TABEL 6 REALISASI CAPAIAN INDIKATOR PENURUNAN RATA-RATA TARIF TERBOBOT ... 16

TABEL 7 REALISASI CAPAIAN INDIKATOR PENURUNAN INDEX NON TARIFF MEASURES ... 17

TABEL 8 REALSIASI CAPAIAN INDIKATOR IMPLEMENTASI ... 20

TABEL 9 REALISASI CAPAIAN INDIKATOR PERSENTASE PENGAMANAN KEBIJAKAN NASIONAL DI FORA INTERNASIONAL ... 23

TABEL 10 REALIASASI CAPAIAN INDIKATOR DOKUMEN KEPASTIAN TINDAK LANJUT ... 25

TABEL 11 REALISASI CAPAIAN INDIKATOR PERSENTASE PEMAHAMAN ... 26

TABEL 12 REALISASI CAPAIAN INDIKATOR PENINGKATAN NILAI EKSPOR YANG MENGGUNAKAN SKA PREFERENSI... 27

TABEL 13 REALISASI PERTUMBUHAN NILAI EKSPOR YANG MENGGUNAKAN SKA PREFERENSI ... 28

TABEL 14 NILAI EKSPOR DENGAN SKA PREFERENSI DAN NON PREFERENSI ... 28

TABEL 15 PENYERAPAN ANGGARAN BERDASARKAN KEGIATAN ... 30

(5)

2

DAFTAR GRAFIK

GRAFIK 1 PERKEMBANGAN NILAI EKSPOR JASA 2011-2016 ... 12

GRAFIK 2 PERTUMBUHAN NILAI EKSPOR JASA 2011-2016 ... 13

GRAFIK 3 PERKEMBANGAN JUMLAH PELAWAT MANCANEGARA 2011-2016 ... 14

GRAFIK 4 PERKEMBANGAN KEBIJAKAN NON TARIFF MEASURES IN FORCE PERIODE TAHUN 2007- 2016 ... 18

GRAFIK 5 GRAFIK PERBANDINGAN NILAI EKSPOR YANG MENGGUNAKAN SKA PREFERENSI ... 29

GRAFIK 6 PERBANDINGAN CAPAIAN SERAPAN ANGGARAN DITJEN PPI 2014-2016 ... 30

GRAFIK 7 REALISASI SERAPAN ANGGARAN UNIT ESELON I ... 31

DAFTAR GAMBAR

GAMBAR 1 : VISI DAN MISI DITJEN PPI TAHUN 2015-2019 ... 9

(6)

3

RINGKASAN EKSEKUTIF

Dalam rangka meningkatkan daya saing dan akses pasar barang maupun jasa, Indonesia berpartisipasi aktif dalam forum perundingan perdagangan internasional baik dalam kerangka bilateral, regional, maupun multilateral. Terkait dengan hal tersebut, maka Ditjen PPI sebagai salah satu unit Eselon I di bawah Kementerian Perdagangan bertugas dan bertanggung jawab dalam melakukan perundingan-perundingan perdagangan di berbagai forum internasional.

Pada tahun 2016, Direktorat Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional dalam Perjanjian Kinerja kepada Menteri Perdagangan telah menetapkan 6 (enam) sasaran dan 8 (delapan) indikator kinerja yang merupakan tolak ukur keberhasilan dari suatu tujuan dan sasaran strategis organisasi. Berikut adalah Tabel realisasi dan capaian dari masing-masing indikator yang telah ditetapkan Ditjen PPI pada tahun 2016:

Tabel 1 Realisasi Capaian Kinerja Ditjen PPI Tahun 2016

No Sasaran Program dan Indikator Kinerja Satua

n Target

Realisas

i Capaian (%) I Pengembangan Sektor Prioritas Jasa yang Berorientasi Ekspor

1. Pertumbuhan Ekspor Jasa % 13-16 8,69 66,85

II Penurunan Hambatan Tarif dan Non Tarif di Negara Mitra 2. Penurunan Rata-Rata Tarif Terbobot di Negara

Mitra FTA (6 negara berdasarkan baseline 2013) nilai 8,47 7,93 106,81 3. Penurunan Index Non Tariff Measures (baseline

tahun 2013 berdasarkan data WTO) Index 33,74 87,16 38,71

III Peningkatan Implementasi Hasil Perundingan 4. Implementasi Hasil Perundingan Perdagangan

Internasional Melalui Proses Ratifikasi % 85 50 50

IV Pengamanan Kebijakan Nasional di Fora Internasional 5. Persentase Pengamanan Kebijakan Nasional di

Fora Internasional % 75 100 133,33

V Kepastian Tindak Lanjut dan Peta Kerja Sama Perdagangan Internasional 6. Dokumen Kepastian Tindak Lanjut dan Peta Kerja

Sama Perdagangan Internasional Dok 1 0 0

VI Peningkatan Pemahaman dan Pemanfaatan Hasil Kerja Sama Perdagangan Internasional 7. Persentase Pemahaman Terhadap Hasil Kerja

Sama Perdagangan Internasional % 62 81 130,65

8. Peningkatan Nilai Ekspor yang Menggunakan SKA

(7)

4 Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa dari kedelapan indikator yang telah ditetapkan, indikator 2, 5, dan 7 telah memenuhi target dengan capaian melebihi 100%, indikator 1 dan 8 belum memenuhi target namun telah melebihi 50%, sedangkan indikator 3 dan 4 juga belum memenuhi target dan masih dibawah 50%, dan realisasi indikator 6 yang capaiannya 0 % dikarenakan penghematan anggaran. Penjelasan dari keberhasilan maupun ketidakberhasilan masing-masing indikator dapat dilihat pada Bab III.

Untuk mendukung capaian kinerja tahun 2016, Ditjen PPI telah mengalokasikan anggaran sebesar Rp.99.961.143.000,- (Setelah penghematan dan selfblocking). Dari pagu anggaran tersebut realisasi yang dilakukan Ditjen PPI pada tahun 2016 adalah sebesar Rp.95.887.374.967 atau dengan nilai capaian 95,92%. Penjelasan dari detail realisasi anggaran dapat dilihat pada Bab IV.

(8)

5

BAB I - PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Laporan Kinerja adalah ikhtisar yang menjelaskan secara ringkas dan lengkap tentang capaian kinerja yang disusun berdasarkan rencana kerja yang ditetapkan dalam rangka pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Laporan kinerja merupakan bentuk pertanggungjawaban akuntabilitas dari pelaksanaan tugas dan fungsi yang dipercayakan kepada kementerian atas penggunaan anggaran. Penyusunan laporan kinerja merupakan suatu tahapan yang tidak terpisahkan dari penyelenggaraan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP). SAKIP adalah rangkaian sistematik dari berbagai aktivitas, alat, dan prosedur yang dirancang untuk tujuan penetapan dan pengukuran, pengumpulan data, pengklasifikasian, pengikhtisaran, dan pelaporan kinerja pada instansi pemerintah, dalam rangka pertanggungjawaban dan peningkatan kinerja instansi pemerintah.

Penyelenggaraan SAKIP pada Kementerian Negara/Lembaga merupakan amanat dari Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah. Untuk melaksanakan ketentuanketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006, pada bulan April 2014 telah ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah, yang merupakan perbaikan dari Instruksi Presiden Nomor 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Dalam kedua peraturan tersebut dijelaskan bahwa setiap instansi pemerintah wajib menyusun laporan kinerja dan laporan keuangan untuk mempertanggungjawabkan pelaksanaan kegiatan sesuai tugas dan fungsinya, termasuk pengelolaan sumber daya dengan didasarkan suatu perencanaan strategis. Pertanggungjawaban dimaksud dilaporkan kepada pemberi mandat, pimpinan masing-masing instansi, lembaga pengawasan dan penilai akuntabilitas, dan akhirnya disampaikan kepada Presiden.

Sebagai tindak lanjut dari penetapan dan Peraturan Presiden Nomor 29 Tahun 2014, tanggal 18 Agustus 2015 Kementerian Perdagangan telah menetapkan Pedoman Penyusunan Dokumen SAKIP di lingkungan Kementerian Perdagangan yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 794 Tahun 2015 (merupakan revisi dari Kepmendag Nomor 1011 Tahun 2012). Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 794 Tahun 2015 mengamanatkan kegiatan pemantauan dan pelaporan kinerja di lingkungan Kementerian Perdagangan diterapkan secara bertingkat mulai dari tingkat Unit Kerja Eselon II dan Satuan Kerja sampai dengan Kementerian, serta dilaksanakan secara berkala dan berkelanjutan dengan menyampaikan Laporan Kinerja Triwulanan dan melampirkan Formulir Pengukuran Pencapaian Kinerja.

(9)

6

B. Tujuan

Penyusunan laporan kinerja bertujuan untuk mengkomunikasikan capaian kinerja kementerian dalam satu tahun anggaran. Pelaporan atas capaian kinerja di lingkungan Ditjen PPI telah dilaksanakan secara berkala dan berkelanjutan agar dapat diambil suatu tindakan perbaikan atau antisipasi apabila ditemukan adanya penyimpangan terhadap perencanaan kinerja. Pada akhirnya, proses pelaksanaan program dan kegiatan dapat berjalan baik dan selaras dengan tujuan dan sasaran strategis Ditjen PPI yang telah ditetapkan sebelumnya dalam Dokumen Perjanjian Kinerja yang telah ditandatangani oleh Dirjen PPI dan Menteri Perdagangan.

Ditjen PPI selaku salah satu unit di bawah Kementerian Perdagangan yang bertugas dan bertanggung jawab dalam melakukan perundingan-perundingan perdagangan di berbagai forum internasional, telah menyampaikan dokumen pelaporan secara berkala (triwulan) kepada Menteri Perdagangan. Selanjutnya, pada Triwulan ke-empat disampaikan dalam bentuk Laporan Kinerja (LAPKIN) Ditjen PPI Tahun Anggaran 2016.

C. Struktur Organisasi

Melalui Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2015 Tentang Kementerian Perdagangan dan kemudian dikukuhkan melalui Permendag Nomor 08/M-DAG/PER/2/2016, Ditjen PPI mempunyai tugas menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang peningkatan akses pasar barang dan jasa di forum internasional, dengan fungsi:

1. perumusan kebijakan di bidang kerja sama dan perundingan perdagangan barang, perdagangan jasa, investasi perdagangan barang dan jasa, kerja sama ekonomi dan teknik perdagangan, fasilitasi perdagangan di forum bilateral, regional, dan multilateral serta organisasi internasional lainnya;

2. pelaksanaan kebijakan di bidang kerja sama dan perundingan perdagangan barang, perdagangan jasa, investasi perdagangan barang dan jasa, kerja sama ekonomi dan teknik perdagangan, fasilitasi perdagangan di forum bilateral, regional, dan multilateral serta organisasi internasional lainnya;

3. pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang kerja sama dan perundingan perdagangan barang, perdagangan jasa, investasi perdagangan barang dan jasa, kerja sama ekonomi dan teknik perdagangan, fasilitasi perdagangan di forum bilateral, regional, dan multilateral serta organisasi internasional lainnya;

4. pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional; dan

5. pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.

Adapun struktur organisasi Ditjen PPI berdasarkan Permendag No.08/M-DAG/PER/2/2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Perdagangan, dapat dilihat pada Lampiran 1.

(10)

7

D. Peran Strategis Organisasi

Saat ini perkembangan perekonomian dunia sangatlah cepat sehingga Indonesia harus siap untuk menghadapi persaingan yang ketat dengan negara lain. Penting bagi Indonesia untuk meningkatkan daya saing dengan berpartisipasi aktif dalam forum internasional dan meningkatkan posisi runding baik dalam kerangka bilateral, regional, dan multilateral.

Dalam rangka meningkatkan akses pasar barang dan jasa, dilakukan multitrack strategy di fora multilateral, regional, dan bilateral. Melalui multitrack strategy ini, Indonesia telah memperkuat perannya di berbagai fora internasional, baik multilateral, yang bertumpu pada sistem perdagangan multilateral (WTO); regional, yang terfokus pada ASEAN dan APEC; dan bilateral, yang berorientasi pada penjajakan pengembangan

Comprehensive Economic Partnership dan Free Trade Agreement (FTA).

Strategi yang dilakukan dalam kerja sama perdagangan pada forum bilateral dilakukan dengan diversifikasi pasar tujuan ekspor, dimana hal tersebut dilakukan dengan pengelompokan pasar tujuan ekspor, yaitu: Pasar tradisional, Pasar non tradisional, Pasar Alternatif, dan Diversifikasi Produk.

Pada tahun 2016, Indonesia senantiasa memperkuat perundingan di berbagai fora internasional melalui:

1. Penguatan perundingan perdagangan multilateral yang akan terus memperjuangkan keseimbangan kepentingan dan mengatur kebijakan internasional yang berpihak kepada negara berkembang di forum WTO serta senantiasa menurunkan hambatan tarif dan non tarif yang fokus pada tindak lanjut Paket Bali dan Paket Nairobi; menangani disputes baik yang bersifat offensive maupun defensive; perundingan

Doha Development Agenda (DDA); perundingan Non-DDA; dan Trade Policy Review Mechanism.

2. Penguatan perundingan ASEAN dan Mitra ASEAN yang fokusnya antara lain pada Implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN; ASEAN Economic Community (AEC)

Beyond 2025; RCEP; ASEAN+1 FTA; Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia-Philippines East ASEAN Growth Area (BIMP-EAGA), dan Indonesia-Malaysia-Thailand Growth Triangle (IMT-GT) guna meningkatkan akses pasar dan meningkatkan

kontribusi Indonesia dalam GVC.

3. Penguatan perundingan di Forum APEC dan Organisasi Internasional yang akan fokus pada forum APEC yang menitikberatkan Perluasan dan Pengamanan Akses Pasar; Fasilitasi Perdagangan; dan Development, dan berperan aktif pada organisasi internasional seperti Organisasi Konferensi Islam (OKI), Development Eight (D-8), The

Indian Ocean Rim Association (IORA), guna meningkatkan dialog perdagangan

dengan sesama negara berkembang dan menghasilkan solusi atau kesepakatan terkait isu-isu strategis perdagangan di lingkungan negara berkembang dan di dunia; dan memperkenalkan potensi ekonomi Indonesia dalam berbagai forum seperti

World Economic Forum (WEF) Davos dan WEF East Asia; serta partisipasi aktif melalui

diplomasi komoditi di fora internasional seperti International Tripartite Rubber

Council (ITRC), Asian and Pacific Coconut Community (APCC), International Coffee Organization (ICO), dan International Pepper Community (IPC) guna menjaga

stabilitas harga di tingkat yang remuneratif bagi petani dan upaya menjaga kepentingan perdagangan.

(11)

8 4. Penguatan perundingan regional juga difokuskan pada persiapan dan penjajakan kepentingan Indonesia dalam perjanjian TPP dengan fokus memahami teks perjanjian, melakukan cost – benefit analysis dan gaps analysis.

5. Penguatan perundingan di Forum Bilateral dengan pendekatan kerja sama yang berorientasi pada pengembangan Comprehensive Economic Partnership Agreement, Preferential Trade Agreement (PTA), Joint Study towards the Feasibility of Free Trade Agreements, Joint Committee, bilateral consultations dan forum pertemuan bilateral reguler lainnya. Indonesia akan fokus dan memprioritaskan perundingan Bilateral dengan Uni Eropa, Australia, EFTA, dan Turki, serta melanjutkan perundingan dengan Jepang, Chile, Pakistan, Turki dan India.

6. Penguatan perundingan perdagangan jasa di berbagai fora internasional dan menyusun roadmap sektor jasa yang diharapkan akan mengembangkan jasa prioritas yang berorientasi ekspor dan membuka akses pasar sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan ekspor jasa sesuai target yang ditetapkan pemerintah.

(12)

9

BAB II - PERENCANAAN KINERJA

A. Rencana Strategis

Selaras dengan RPJMN 2015 – 2019, Ditjen PPI, Kementerian Perdagangan harus meningkatkan perannya dalam diplomasi dan negosiasi guna dapat meningkatkan daya saing produk ekspor non-migas dan jasa melalui peningkatkan nilai tambah yang lebih tinggi dan peningkatan kualitas agar lebih kompetitif di pasar internasional, serta optimalisasi upaya pengamanan perdagangan guna mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.

Terkait dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005 – 2025, peran strategis Kementerian Perdagangan dalam membangun daya saing pada sektor perdagangan diharapkan terpadu dengan baik sehingga dapat mewujudkan satu dari delapan misi pembangunan RPJP tersebut yaitu: ”mewujudkan bangsa yang berdaya saing”.

Arah kebijakan Rencana Pembangunan Jangka Panjang 2005 – 2025 adalah ”perdagangan

luar negeri yang lebih menguntungkan dan mendukung perekonomian nasional agar mampu memaksimalkan manfaat, sekaligus meminimalkan efek negatif dari proses integrasi dengan dinamika globalisasi”. Upaya yang perlu dilakukan sesuai arah kebijakan

tersebut adalah memperkuat posisi nasional di berbagai fora perundingan perdagangan internasional. Program yang diselenggarakan oleh Ditjen PPI dalam rangka melaksanakan upaya tersebut adalah ”Penguatan Perundingan Perdagangan Internasional”. Dalam rangka mewujudkan cita-cita yang ingin dicapai dalam jangka menengah dan panjang yang selaras dengan visi Presiden Republik Indonesia tahun 2015 – 2019, maka visi Ditjen PPI tahun 2015-2019 yang ditetapkan sesuai dengan visi Presiden.

(13)

10 Visi dan misi tersebut telah sejalan dengan Arah kebijakan RPJP 2005 – 2025 dan RPJMN 2015-2019 yang dilakukan melalui Program penguatan perundingan perdagangan internasional yang terdiri dari beberapa kegiatan, yaitu 1) peningkatan peran dan kemampuan diplomasi perdagangan internasional; 2) penguatan perundingan perdagangan jasa; 3) penguatan perundingan perdagangan ASEAN dan Mitra ASEAN; 4) penguatan perundingan perdagangan bilateral; 5) Penguatan perundingan perdagangan di forum APEC dan Organisasi Internasional; 6) penguatan perundingan perdagangan multilateral; 7) dukungan manajemen dan dukungan teknis lainnya Direktorat Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional, dengan Target dan Indikator sebagai berikut:

Tabel 2 : Indikator dan Target Kinerja Ditjen PPI Tahun 2015-2019

Indikator Tahun

2015 2016 2017 2018 2019

Pertumbuhan ekspor jasa 12 - 14% 13 - 16% 14 - 17% 15 - 18% 16 - 19% Penurunan rata-rata tarif terbobot di negara mitra

FTA (6 negara; berdasarkan baseline 2013)

9,05 8,47 7,92 7,33 6,78

Penurunan index Non - Tariff Measures (baseline tahun 2013 berdasarkan data WTO)

38,32 33,74 29,16 24,58 20

Implementasi hasil perundingan perdagangan internasional melalui proses ratifikasi

80% 85% 90% 90% 90%

Presentase pengamanan kebijakan nasional di fora internasional

70% 75% 80% 85% 90%

Dokumen kepastian tindak lanjut kerja sama perdagangan internasional 1 Dokumen 1 Dokumen 1 Dokumen 1 Dokumen 1 Dokumen

Presentase pemahaman terhadap hasil kerja sama perdagangan internasional

60% 62% 63% 64% 65%

Peningkatan nilai Ekspor yang menggunakan SKA 6% 7% 8% 9% 10%

B. Perjanjian Kinerja

Perjanjian Kinerja merupakan perwujudan kesepakatan antara Direktur Jenderal PPI dengan Menteri Perdagangan dalam menetapkan kinerja sesuai dengan tujuan dan sasaran pada Rencana Strategis. Perjanjian Kinerja menggambarkan capaian kinerja yang akan diwujudkan oleh suatu instansi pemerintah dalam satu tahun anggaran dengan mempertimbangkan sumber daya yang dikelolanya.

Dalam rangka mewujudkan manajemen pemerintahan yang efektif, transparan dan akuntabel serta berorientasi pada hasil, Direktur Jenderal PPI telah menandatangani Perjanjian Kinerja Tahun 2016 yang mencakup Sasaran Program, Indikator Kinerja, Satuan, Target, dan Anggaran, sebagaimana terlampir pada Lampiran 2.

Perjanjian Kinerja tersebut akan menjadi acuan dalam pengukuran capaian kinerja dalam Pelaporan Kinerja Ditjen PPI tahun 2016, dimana secara keseluruhan terdapat 8 Indikator Kinerja dari 6 Sasaran Program yang telah ditetapkan pada tahun 2016.

(14)

11

BAB III - AKUNTABILITAS KINERJA

Akuntabilitas kinerja merupakan perwujudan kewajiban suatu organisasi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan/kegagalan pelaksanaan program dan kegiatan yang telah diamanatkan dalam rangka mencapai misi organisasi secara terukur dengan sasaran/target kinerja yang telah ditetapkan.

A. Capaian Kinerja

Pada tahun 2016, Direktorat Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional telah menetapkan 6 sasaran dan 8 indikator kinerja yang merupakan ukuran keberhasilan dari suatu tujuan dan sasasaran strategis organisasi.

Pengukuran tingkat capaian kinerja Ditjen PPI tahun 2016, dilakukan dengan cara membandingkan antara target dan realisasi masing-masing indikator kinerja. Berikut adalah capaian kinerja Ditjen PPI tahun 2016:

Tabel 3 Realisasi Capaian Indikator Kinerja Ditjen PPI Tahun 2016

No Sasaran Program dan Indikator Kinerja Satuan Target Realisasi % Capaian I Pengembangan Sektor Prioritas Jasa yang Berorientasi Ekspor

1. Pertumbuhan Ekspor Jasa % 13-16 8,69 66,85

II Penurunan Hambatan Tarif dan Non Tarif di Negara Mitra

2. Penurunan Rata-Rata Tarif Terbobot di Negara Mitra FTA (6 negara berdasarkan baseline 2013)

nilai 8,47 7,93 106,81

3. Penurunan Index Non Tariff Measures (baseline tahun 2013 berdasarkan data WTO)

Index 33,74 87,16 38,71

III Peningkatan Implementasi Hasil Perundingan

4. Implementasi Hasil Perundingan Perdagangan Internasional Melalui Proses Ratifikasi

% 85 50 50

IV Pengamanan Kebijakan Nasional di Fora Internasional

5. Persentase Pengamanan Kebijakan Nasional di Fora Internasional

% 75 100 133,33

V Kepastian Tindak Lanjut dan Peta Kerja Sama Perdagangan Internasional

6. Dokumen Kepastian Tindak Lanjut dan Peta Kerja Sama Perdagangan Internasional

Dok 1 0 0

VI Peningkatan Pemahaman dan Pemanfaatan Hasil Kerja Sama Perdagangan Internasional

7. Persentase Pemahaman Terhadap Hasil Kerja Sama Perdagangan Internasional

% 62 81 130,65

8. Peningkatan Nilai Ekspor yang Menggunakan SKA Preferensi

(15)

12

Sasaran I: Pengembangan Sektor Prioritas Jasa yang Berorientasi Ekspor

Tabel 4 Realisasi Capaian Indikator Pertumbuhan Ekspor Jasa

Indikator Target (%) Realisasi (%) Capaian (%) 2015 2016 2015 2016 2015 2016

Pertumbuhan Ekspor Jasa 12-14 13-16 -6,96 8,69 -58 66,85

Indikator Kinerja I: Pertumbuhan Ekspor Jasa

Tren perdagangan global ke depan tidak saja dipengaruhi oleh peranan perdagangan barang, tetapi juga oleh perdagangan jasa yang diperkirakan akan terus meningkat dan menjadi bagian penting dari mesin pertumbuhan global. Perkembangan jaringan produksi regional dan global yang mendorong peningkatan intra-industry trade antar negara menjadi salah satu faktor terjadinya peningkatan perdagangan jasa antar negara. Hal ini tentunya karena salah satu peranan jasa adalah sebagai input antara dalam proses produksi sektor lainnya, termasuk sektor jasa itu sendiri. Berdasarkan Input-Output Tahun 2008, dari total output jasa, 34% diantaranya digunakan sebagai input dalam aktivitas produksi nasional. Sebagai contoh: jasa logistik dan distribusi, jasa transportasi, dan jasa keuangan digunakan sebagai input di sektor manufaktur maupun pertanian.

Mengingat pentingnya peran sektor jasa dalam perekonomian nasional, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2015-2019 memberikan prioritas pembangunan sektor jasa dan perdagangan jasa. Jasa menjadi salah satu dari tiga sasaran perdagangan luar negeri nasional, yaitu peningkatan rasio ekspor jasa terhadap PDB berkisar antara 2,7 – 3,5% selama periode 2015-2019. Di level Kementerian Perdagangan dijabarkan sebagai indikator pertumbuhan ekspor jasa yang menjadi salah satu indikator kinerja utama (IKU) Ditjen PPI dengan menargetkan pertumbuhan ekspor jasa sebesar 13% – 16% pada tahun 2016.

Perkembangan nilai ekspor jasa nasional ke Dunia selama periode 2011-2016 disajikan pada Grafik 1. Berdasarkan grafik tersebut, terlihat bahwa ekspor jasa nasional dari tahun ke tahun mengalami fluktuatif, namun ada kecenderungan meningkat. Rata-rata ekspor jasa per tahun selama periode 2012-2016 sebesar 23.3 Miliar USD per tahun. Ekspor jasa terendah terjadi pada tahun 2012 sebesar 21.8 Miliar USD dan ekspor tertinggi pada tahun 2016 sebesar 24.1 USD.

Grafik 1 Perkembangan Nilai Ekspor Jasa 2011-2016

Sumber: Bank Indonesia (21 Feb 2017)

20.500 21.000 21.500 22.000 22.500 23.000 23.500 24.000 24.500 20 11 20 12 20 13 20 14 20 15 20 16 Ekspor Jasa 21.8 23.6 22.9 23.5 22.2 24.1 N ilai (J u ta USD)

(16)

13 Dari sisi pertumbuhan nilai ekspor jasa, disajikan grafik pertumbuhan nilai ekspor jasa selama periode tahun 2011-2015 pada Grafik 2. Berdasarkan grafik tersebut terlihat bahwa pertumbuhan ekspor jasa selama periode tersebut mengalami fluktuatif dan terdapat kecenderungan menurun. Rata-rata pertumbuhan ekspor jasa selama periode 2011-2016 sebesar 2,15% per tahun. Pertumbuhan nilai ekspor jasa terendah terjadi pada tahun 2015 sebesar -5,57% dan pertumbuhan tertinggi pada tahun 2016 sebesar 8,69% (jauh di atas rata-rata per tahun). Peningkatan nilai ekspor jasa dan pertumbuhan nilai ekspor jasa tahun 2016 seiring dengan meningkatnya perhatian pemerintah terhadap sektor jasa sebagaimana dituangkan dalam RPJMN 2015-2016. Meskipun realisasi pertumbuhan ekspor jasa tahun 2016 paling tinggi selama 5 tahun terakhir, namun demikian realisasi dimaksud masih lebih rendah dibandingkan dengan target ekspor jasa tahun 2016 sebesar 13-16%. Berdasarkan target yang telah ditetapkan dan realisasi target pada tahun 2016, maka capaian IKU pertumbuhan ekspor jasa sebesar 66,85%.

Grafik 2 Pertumbuhan Nilai Ekspor Jasa 2011-2016

Sumber: Bank Indonesia (21 Feb 2017)

Peningkatan pertumbuhan ekspor jasa pada tahun 2016 bersumber dari ekspor jasa pemeliharaan dan perbaikan tumbuh sebesar 228,88%, ekspor jasa transportasi tumbuh 2,52%, ekspor jasa perjalanan tumbuh sebesar 13,40%, ekspor jasa asuransi dan pensiun tumbuh 98,49% dan ekspor jasa bisnis lainnya tumbuh sebesar 6,07%. Peningkatan ekspor jasa pemeliharaan dan perbaikan salah satunya dipengaruhi oleh adanya insentif pemerintah terhadap jasa pemeliharaan dan perbaikan pesawat berupa penghapusan bea masuk impor suku cadang (sparepart) pesawat. Kebijakan ini mendorong pertumbuhan bisnis maintenance, repair and operations (MRO) pesawat Indonesia.

Peningkatan penerimaan jasa perjalanan didorong oleh meningkatnya jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung ke Indonesia. Data jumlah pelawat mancanegara disajikan pada Grafik 3. Berdasarkan grafik tersebut, terlihat bahwa selama 5 tahun terakhir selalu mengalami peningkatan dengan jumlah wisman tertinggi tahun 2016 sebanyak 10,93 juta orang. Rata-rata pertumbuhan wisman selama periode tahun 2012-2016 sebesar 7,18% per tahun dengan pertumbuhan tertinggi pada tahun 2016 sebesar 11,59%. Peningkatan jumlah wisman akan meningkatkan total konsumsi wisman akan barang dan jasa domestik sehingga meningkatkan ekspor jasa perjalanan. Peningkatan jumlah wisman salah satunya dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah pembebasan visa kunjungan ke Indonesia berdasarkan Perpres Nomor 69 Tahun 2015 tentang Bebas Visa Kunjungan (45 negara) dan Perpres Nomor 21 Tahun 2016 tentang Bebas Visa kunjungan (169 negara).

2012 2013 2014 2015 2016 Pertumbuhan Ekspor 8,10 -3,03 2,56 -5,57 8,69 y = -0,1362x + 2,5575 R² = 0,0011 -8,00 -6,00 -4,00 -2,00 0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 Pertu m b u h an (% )

(17)

14 Grafik 3 Perkembangan Jumlah Pelawat Mancanegara 2011-2016

Sumber: http://www.bi.go.id/id/statistik/seki/ (diolah)

Berdasarkan data Bank Indonesia, selama 5 tahun terakhir rata-rata pertumbuhan nilai ekspor jasa perjalanan per tahun sebesar 8,89% dengan pertumbuhan terendah pada tahun 2012 sebesar 4,09%. Sementara itu, pertumbuhan ekspor jasa perjalanan tertinggi terjadi pada tahun 2016 sebesar 13,40%, dari nilai ekspor jasa perjalanan sebesar 10,76 miliar juta USD pada tahun 2015 dan meningkat menjadi 12,20 miliar juta USD. Berdasarkan asal wisman, Tiongkok, Australia, Singapura, dan Malaysia merupakan asal wisman terbesar yang berkunjung ke Indonesia. Adapun tujuan favorit wisman ke Indonesia masih terkonsentrasi pada tiga daerah, yaitu Bali, Jakarta, dan Batam.

Sementara itu sektor jasa yang pada tahun 2016 memiliki pertumbuhan negatif adalah jasa manufaktur, jasa konstruksi, jasa keuangan, jasa biaya penggunaan kekayaan intelektual, jasa komunikasi dan jasa personal, kultural dan rekreasi. Pertumbuhan negatif ekspor jasa konstruksi dan jasa keuangan salah satunya disebabkan adanya peningkatan demand domestik yang sangat besar sejalan dengan adanya program utama pemerintah dalam pembangunan infrastruktur sehingga akan menyerap jasa konstruksi dan jasa keuangan domestik yang sangat besar bahkan akan meningkatkan impor jasa dimaksud. Berdasarkan Kajian suply-demand jasa nasional kerjasama antara World Bank dan DPPJ (2015) dengan mengunakan data Input Output 2010, jasa konstruksi dan jasa keuangan memiliki excess

demand, masing-masing sebesar 0,04% dan 2,94% dibandingkan dengan total kebutuhan

domestik. Demikian juga untuk jasa komunikasi memiliki excess demand sebesar 0,24% pada tahun 2010.

Tabel 5 Perkembangan Ekspor Jasa Tahun 2014-2016 (Juta USD)

SEKTOR Nilai Ekspor Pertumbuhan

2014 2015 2016 2015 2016

Total Ekspor Jasa 23530,93 22228,05 24150,87 -5,54 8,65

Jasa Manufaktur 425,02 355,56 350,51 -16,34 -1,42

Jasa Pemeliharaan dan Perbaikan 100,47 118,3 389,07 17,75 228,88

Transportasi 3790,96 3479,4 3566,99 -8,22 2,52

Perjalanan 10261,11 10760,95 12203,04 4,87 13,40

Jasa Konstruksi 711,73 378,29 237,85 -46,85 -37,12

Jasa asuransi dan dana pensiun 25,68 26,49 52,58 3,15 98,49

Jasa keuangan 222,92 263,61 262,04 18,25 -0,60

Biaya penggunaan kekayaan intelektual 59,61 54,47 46,05 -8,62 -15,46 Jasa Telekomunikasi, komputer, dan informasi 1139,88 1045,56 981,5 -8,27 -6,13 Jasa Bisnis lainnya 6032,5 4998,62 5301,91 -17,14 6,07 Jasa Personal, Kultural, dan rekreasi 149,68 114,96 81,12 -23,20 -29,44

Jasa Pemerintah 611,35 631,84 678,2 3,35 7,34

Sumber: Bank Indonesia (21 Feb 2017)

0,00 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 20 12 20 13 20 14 20 15 20 16 Jumlah pelawat mancanegara 8,11 8,86 9,49 9,79 10,93 Ju m lah p elawat m an can egara (ju ta o ra n g)

(18)

15 Dalam beberapa fora perundingan Indonesia mendapatkan akses pasar untuk 12 sektor jasa di berbagai mitra dagangnya. Melalui instrumen FTA/CEPA yang terkait dengan ASEAN (AFAS, ASEAN+1 FTAs, RCEP) Indonesia mendapatkan setidaknya 15 pasar untuk sektor jasa. Hal ini berarti Indonesia mendapatkan juga potensi pasar untuk hal lain mengingat karakteristik sektor jasa yang berkaitan erat dengan perdagangan berbasis elektronik (mode 1), investasi (mode 3) dan pengiriman tenaga terampil Indonesia ke pasar internasional (mode 4). Selain itu, proses perundingan kerja sama perdagangan Indonesia yang tengah berjalan juga berpotensi bagi Indonesia untuk mendapatkan pasar komoditas jasa dengan 28 negara anggota Uni Eropa dan 4 negara EFTA di samping pendalaman komitmen akses pasar dengan Australia.

Pada tahun 2016 pada perundingan ASEAN-Hong Kong Free Trade Agreement (AHKFTA), dalam hal market access, pihak Hong Kong telah membuka penuh akses pasar (moda 3) di beberapa sektor, antara lain: telecommunication; construction; environmental; financial; tourism and travel related services; recreational, cultural and sporting; transportation; spa services; professional services kecuali medical and dental, midwives, nurses, phsysiotherapists and para-medical personel; dan distribution Services, kecuali wholesale trade fisheries product. Hal ini perlu menjadi perhatian Indonesia untuk dapat meningkatkan ekspor Jasa, khususnya untuk akses pasar yang telah dibuka oleh pihak Hong Kong.

Upaya-upaya ke depan yang akan dilakukan oleh Ditjen PPI untuk mencapai indikator pertumbuhan ekspor jasa, antara lain:

1. Memperkuat koordinasi dengan Kementerian Teknis/Lembaga terkait lainnya selaku otoritas pembina sektor untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas dari Lembaga Sertifikasi Profesi pada sektor-sektor jasa yang telah di Mutual Recognition

Arrangement (MRA)-kan di ASEAN yaitu jasa keinsinyuran, jasa arsitektur, jasa

keperawatan, jasa praktisi medis/dokter, jasa kedokteran gigi, jasa pariwisata, jasa surveying, dan jasa akuntan dalam rangka meningkatkan kemampuan daya saing tenaga kerja dalam negeri agar dapat berkompetisi dengan tenaga kerja dari negara anggota ASEAN lainnya.

2. Dalam rangka peningkatan ekspor sektor jasa, salah satunya melalui penguatan pembangunan sektor jasa dan perdagangan jasa, dibutuhkan penyusunan dan implementasi peta jalan (roadmap) sektor jasa. Roadmap ini diharapkan dapat menjadi pedoman bagi pembangunan sektor jasa dan perdagangan jasa untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas pasokan jasa domestik yang berdaya saing ke pasar internasional, meningkatkan efisiensi dan produktivitas ekonomi, serta meningkatkan fasilitasi perdagangan.

3. Melakukan monitoring terhadap arus tenaga kerja terampil dari negara anggota ASEAN yang masuk dengan menggunakan persetujuan Movement Natural Person (MNP) Agreement. Hanya tenaga kerja terampil (skilled labour) saja yang dapat memanfaatkan persetujuan ini.

4. Melakukan peninjauan kembali atas peraturan dalam negeri apabila dipandang perlu untuk mengamankan pangsa pasar pekerja nasional.

5. Memperkuat koordinasi dan sinergi dengan Kementerian Teknis/Lembaga Terkait dan Pemerintah Daerah untuk pengawasan tenaga kerja asing dari ASEAN dan secara berkala memberikan akurasi data statistik tenaga kerja asing.

(19)

16

Sasaran II: Penurunan Hambatan Tarif dan Non Tarif di Negara Mitra

Indikator Kinerja II: Penurunan Rata-Rata Tarif Terbobot di Negara Mitra FTA

Tabel 6 Realisasi Capaian Indikator Penurunan Rata-Rata Tarif Terbobot dan Indikator Penurunan Index Non Tarif Measures Tahun 2016

Indikator Target (Nilai) Realisasi (Nilai) capaian (%) 2015 2016 2015 2016 2015 2016 Rata-rata terbobot penurunan tarif

di negara mitra 9,05 8,47 9,13 7,93 99,12 106,81

Kebijakan perdagangan luar negeri merupakan kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah dalam rangka perdagangan internasional. Kebijakan ini mencakup berbagai tindakan yang berbeda dan menggunakan sejumlah instrumen yang berbeda, antara lain: pajak impor, pajak ekspor, kouta, subsidi dan tindakan-tindakan lain yang secara umum dikelompokkan menjadi dua, yaitu: tarif dan non-tariff measures (NTMs).

Dalam upaya meningkatkan peran perdagangan luar negeri bagi pertumbuhan ekonomi nasional, pemerintah melakukan berbagai kerja sama perdagangan internasional guna menurunkan tarif dan NTMs yang diharapkan dapat meningkatkan keunggulan komparatif produk nasional di pasar negara partner. Pencapaian penurunan tarif sebagai hasil kerja sama perdagangan internasional dapat diukur indikator rata-rata tarif sederhana maupun rata-rata tarif terbobot.

Dalam rata-rata tarif sederhana, nampak bahwa penurunan tarif masing-masing produk dijumlahkan dan dibagi populasi. Ini artinya, upaya penurunan tarif impor dinegara tujuan ekspor pada sektor yang tidak memiliki ekspor juga akan menurunkan rata-rata tarif sederhana sehingga penurunan tarif tersebut tidak dapat dimanfaatkan oleh domestik. Sementara itu, rata-rata tarif terbobot, memberikan bobot yang kecil pada sektor yang memiliki ekspor kecil dan memberikan bobot yang besar pada sektor yang memiliki ekspor besar. Artinya, penurunan tarif impor di negara tujuan ekspor pada sektor yang nilai ekspornya kecil tidak banyak berpengaruh terhadap pencapaian target penurunan tarif impor di negara partner,demikian juga sebaliknya.

Karena itu, indikator rata-rata tarif terbobot lebih baik digunakan sebagai indikator pencapaian penurunan tarif dalam perundingan perdagangan internasional. Hal ini dimaksudkan untuk meningkakan konsentrasi permintaan penurunan tarif di negara-negara dan di sektor-sektor yang masih memiliki hambatan tarif yang tinggi.

Target tahunan penurunan rata-rata tarif terbobot didasarkan pada perkiraan proyeksi penyelesaian perundingan dengan negara mitra, nilai ekspor ke negara tersebut dan proyeksi penurunan tarif impor yang diperoleh dari negara impor tersebut. Rata-rata penurunan tarif terbobot di negara mitra dihitung berdasarkan komitmen 6 (enam) negara yaitu Jepang, China, Korea, India, Australia, dan New Zealand terhadap Indonesia pada Perundingan ASEAN dengan Mitra Dialog. Adapun target yang ditetapkan Ditjen PPI pada tahun 2016 untuk

(20)

17 indikator penurunan rata-rata tarif terbobot adalah 8,47 dengan satuan nilai. Berikut adalah rumus perhitungan realisasi indikator ini:

𝑡̅ =(( 𝑡1 𝑥 𝑋1) + (𝑡𝑛 𝑥 𝑋𝑛 )) (𝑋1+ 𝑋2+ 𝑋𝑛)

Keterangan:

t = rata-rata tarif terbobot di negara partner Xn= nilai ekspor produk ke-n di negara partner tn= tarif produk ke-n di negara partner

n= jumlah populasi produk ekspor di negara partner

Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan sesuai dengan rumus di atas, maka realisasi indikator penurunan rata-rata tarif terbobot pada tahun 2016 adalah 7,93, dengan capaian 106,81%. Adapun perhitungan indikator ini menggunakan data total ekspor indonesia ke Negara mitra yang didapatkan dari BPS dan dikelola oleh Pusat Data dan Informasi, Kementerian Perdagangan, kemudian disesuaikan dengan rumus yang telah ditetapkan oleh Ditjen PPI. Sedangkan, untuk menghitung capaian dari realisasi indikator ini Ditjen PPI menggunakan rumus “terbalik” (Target/Realisasi X 100%) dengan gambaran semakin kecil realisasi maka semakin tinggi capaiannya, atau semakin baik kinerjanya.

Indikator Kinerja III: Penurunan Index Non Tariff Measures

Tabel 7 Realisasi Capaian Indikator Penurunan Index Non Tariff Measures

Indikator Target (Index) Realisasi (Index) Capaian (%) 2015 2016 2015 2016 2015 2016 Penurunan Index Non Tariff Measures 38,32 33,74 37,25 87,16 103 38,71

Pengukuran indikator Non Tariff Measure (NTM), umumnya suatu negara akan merujuk pada indikator yang digunakan oleh organisasi perdagangan dunia atau World Trade

Organization (WTO). Adapun dalam situs resmi WTO, terdapat database khusus yang

menghitung besaran NTM di setiap negara anggota yang dinamakan Integrated Trade

Intelligence Portal (I-TIP). Berikut adalah link yang digunakan untuk memperoleh database

dimaksud: https://i-tip.wto.org/goods/Forms/ TableView.aspx. Dalam statistik tersebut, dapat terlihat perkembangan kebijakan NTM yang dikenakan oleh suatu negara terhadap barang yang diekspor oleh negara mitra dagang.

Penghitungan nilai index tersebut didasarkan pada baseline tahun 2010, sedangkan penetapan target pada tahun 2015-2019 menggunakan interpolasi dengan konstanta selisih antara index tahun 2013 dan target yang diharapkan di tahun 2019. Target yang tetapkan untuk indikator penurunan nilai index NTM di tahun 2016 adalah sebesar 33,74 dengan satuan index. Target penurunan NTM hanya mencakup yang affected to Indonesia belum termasuk yang potensial NTMs.

Adapun jenis NTM yang diobservasi antara lain Anti dumping (ADP), Safeguards (SG),

Sanitary and Phytosanitary (SPS) Emergency and Regular, Special Safeguard (SSG), Technical Barriers to Trade (TBT), Countervailing (CV). Status NTM yang diobservasi adalah NTM yang

bersifat in force atau yang telah ditetapkan, dengan periode NTM per tahun selama 10 tahun.

(21)

18 Setelah memperoleh data tersebut, masing-masing total NTM untuk setiap negara dibobot berdasarkan pangsa pasar ekspor masing-masing negara. Pangsa pasar ekspor dihitung berdasarkan total nilai ekspor kelima negara. Selanjutnya, nilai terbobot lima negara dijumlahkan sehingga diperoleh total NTM terbobot dari kelima negara mitra.

Weighted NTM for year x:

Weighted NTM x = ∑𝑗 ( ∑𝑖 𝑁𝑇𝐵𝑖𝑗 𝑥 𝑀𝑆𝑗)

Keterangan:

j= negara mitra yang ditentukan I= jenis NTB (Non Tariff Measure/Barrier) MS= market share pada tahun yang ditentukan

Index NTM =

Index NTM x = 𝑤𝑒𝑖𝑔ℎ𝑡𝑒𝑑 𝑁𝑇𝑀

𝑁𝑇𝑀𝑏𝑎𝑠𝑒𝑙𝑖𝑛𝑒𝑥 100

Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan sesuai dengan rumus di atas, maka realisasi indikator penurunan nilai index NTM pada tahun 2016 adalah 87,16 dengan capaian 38,71%. Adapun perhitungan capaian dari realisasi indikator ini Ditjen PPI menggunakan rumus “terbalik” (Target/Realisasi X 100%) dengan gambaran semakin kecil realisasi maka semakin tinggi capainnya, atau semakin baik kinerjanya.

Grafik 4 Perkembangan kebijakan Non Tariff Measures in force periode Tahun 2007-2016

Sumber: diolah dari data WTO (2015)

Pada grafik 4 dapat dilihat bahwa salah satu penyebab terbesar meningkatnya nilai index NTM yang terjadi pada tahun 2016 adalah meningkatnya Technical Barriers to Trade (TBT) yang dilakukan oleh United States of America, dimana peningkatannya mencapai 137% dari tahun sebelumnya. Tiga sektor yang mendukung besarnya TBT yang dilakukan oleh US adalah: (i) Machinery and electrical equipment, (ii)Products of the chemical and allied

industries, dan (iii) Resins, plastics and articles; rubber and articles.

Index tersebut di atas adalah gambaran tentang peningkatan NTM di Negara anggota WTO yang berpengaruh terhadap upaya peningkatan ekspor Indonesia. Menghadapi hal tersebut Ditjen PPI telah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi NTM Negara Mitra dagang

2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016

China 1 5 13 104 8 8 2 2 12 62

India 2 5 6 6 4 5 4 6 1 2

Japan 13 8 17 20 22 19 9 14 14 14

Singapore 0 1 1 3 6 5 7 4 3 1

United States of America 120 102 163 145 190 160 139 106 69 138

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200

(22)

19 yang menghambat ekspor Indonesia, dan pada saat yang bersamaan Ditjen PPI melakukan upaya pengamanan terhadap kebijakan Nasional yang dianggap Negara Mitra dagang sebagai NTM.

Sebagai upaya untuk dapat menurunkan nilai index NTM tersebut, Kementerian Perdagangan secara aktif berkoordinasi dengan seluruh stakeholders untuk menyiapkan posisi Indonesia terkait kebijakan-kebijakan negara mitra yang dapat menghambat akses pasar ekspor Indonesia yang kemudian disampaikan pada sidang-sidang di forum WTO maupun pada pertemuan-pertemuan yang dilakukan secara bilateral.

Pada forum perundingan multilateral, khususnya pada perundingan di WTO, guna menurunkan nilai index NTM adalah dengan melakukan depth analisis pada Trade Policy

Review (TPR) yang dikeluarkan oleh negara-negara yang merupakan mitra dagang utama

Indonesia dan mengajukan klarifikasi pada forum Trade Policy Review Mechanism (TPRM) terhadap kebijakan yang merugikan Indonesia, serta meminta klarifikasi dan keberatan kepada negara mitra dagang utama Indenesia melalui comitte dan council yang terdapat di WTO.

Pada forum perundingan regional, khususnya pada perundingan di ASEAN, saat ini rutin melakukan pembahasan NTMs dan melakukan update serta penyelesaiannya secara bilateral terlebih dahulu dan tercatat rapi prosesnya pada matrik kasus NTMs di ASEAN yang dipublikasikan melalui website Sekretariat ASEAN. Dengan makin terbukanya perdagangan melalui perjanjian FTA di bawah perjanjian perdagangan bilateral dan regional, Kemendag melihat peningkatan jumlah NTMs di beberapa negara besar dirancang untuk melindungi perusahaan dan industi dalam negerinnya. Menurut data yang dikumpulkan oleh UNCTAD jumlah aturan non-tarif tingkat produk (non-tariff measures, NTM) untuk beberapa negara di ASEAN meningkat 3 (tiga) kali lipat dan ASEAN +1 FTA (China, India, Japan, Korea, Autralia dan New Zeland) meningkat 10 (sepuluh) kali lipat selama 10 tahun (2006-2016) terakhir. UNCTAD juga melaporkan bahwa NTMs naik secara substansial di dunia, namun peningkatan jumlah NTMs global belum tentu buruk bagi perekonomian dunia. Salah satu faktor peningkatan NTM tersebut disebabkan oleh perlindungan konsumen, tuntutan atas kesehatan, keselamatan dan lingkungan. Tantangan bagi para pembuat kebijakan adalah untuk merancang NTMs sehingga efektif dan maksimal dalam menanggapi kekhawatiran konsumen, dan meminimalkan inefisiensi ekonomi dan kepentingan suatu negara. Bagi pelaku usaha, NTMs menimbulkan tantangan tersendiri karena faktor transparansi dalam proses penerapan NTMs. Database NTM untuk 10 Negara Anggota ASEAN dapat di akses di http://asean.i-tip.org/ sedangkan untuk NTM negara ASEAN +1 FTA masih dalam studi pengembangan database oleh ERIA.

Perkembangan Pembahasan Matrix of Actual Cases NTM di ASEAN pada tahun 2016, masih terdapat 20 kasus NTM yang belum diselesaikan dari total 70 kasus yang ada di dalam matrik of actual cases NTM. ASEAN secara regular telah melakukan update terkait dengan perkembangan matrik NTM yang masih dalam proses, terutama dari Indonesia baik sebagi responding maupun reporting country.

(23)

20

Sasaran III: Peningkatan Implementasi Hasil Perundingan

Indikator Kinerja IV:

Implementasi Hasil Perundingan Perdagangan Internasional Melalui Proses Ratifikasi

Tabel 8 Realsiasi Capaian Indikator Implementasi

Hasil Perundingan Perdagangan Internasional Melalui Proses Ratifikasi

Indikator Target (%) Realisasi (%) Capaian (%) 2015 2016 2015 2016 2015 2016 Implementasi Hasil Perundingan

Perdagangan Internasional Melalui Proses Ratifikasi

80 85 78 50 98 50

Indikator kinerja ini menggambarkan hasil perundingan perdagangan internasional yang diimplementasikan melalui proses ratifikasi, dengan perhitungan Realisasi berdasarkan penyampaian atau pelimpahan dokumen dari Kementerian Perdagangan c.q. Ditjen PPI kepada K/L untuk ditindaklanjuti sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pada tahun 2016 Ditjen PPI menargetkan 85% atau 4 dokumen dari 5 dokumen perjanjian yang akan masuk dalam proses diratifikasi, dari target tersebut Ditjen PPI telah merealisasikan 50% atau 2 dokumen perjanjian yang telah masuk dalam proses ratifikasi di DPR, atau dengan capaian 50% dari target yang telah ditetapkan. Berikut adalah 2 (dua) dokumen yang telah diratifikasi pada tahun 2016:

1. Protocol To Implement The Ninth Package Of Commitments Under The ASEAN Framework Agreement On Services (the 9th Package of AFAS).

Dokumen ini ditandatangani oleh AEM secara ad-referendum pada tanggal 27 November 2015 di Manila, Filipina. Protokol tersebut memiliki tiga annex yaitu : (i) Horizontal

Commitment; (ii) Schedule of Specific Commitments; (iii) MFN Exemption dari

masing-masing negara anggota, adapun komitmen yang diperjanjikan dalam dokumen dimaksud antara lain:

 97 subsektor jasa (FEP: 49-70%), meningkat 11 subsektor dibandingkan dengan Paket 8;

 11 subsektor meliputi: jasa bisnis; jasa distribusi; jasa komunikasi; jasa konstruksi dan teknik terkait; jasa pendidikan; jasa kesehatan dan sosial; jasa lingkungan; jasa pariwisata dan perjalanan; jasa rekreasi, budaya dan olahraga; jasa transportasi serta jasa lainnya;

 Khusus jasa pariwisata (hotel dan resort bintang 3, 4 dan 5) dan jasa rekreasi dan olahraga (golf courses and other facilities serta tourist resort), FEP 100%.

Manfaat yang didapatkan dari implementasi dokumen tersebut adalah (i) Meningkatkan akses pasar jasa, (ii) Memberikan kepastian hukum bagi para penyedia jasa dalam negeri dan luar negeri, dan (iii) Memberikan pilihan atas produk-produk jasa yang variatif. Perkembangan terakhir dari proses ratifikasi adalah penyampaian dokumen ratifikasi oleh Mendag kepada Menlu tanggal 28 Maret 2016.

(24)

21 2. Agreement Between The Republic of Indonesia and The Economic Research Institute for ASEAN and East Asia on The Privilages and Immunities of The Secretariat of Economic Research Institute for ASEAN East Asia.

Dokumen ini ditandatangani pada bulan Oktober 2014. Dengan diratifikasinya persetujuan ini maka secara resmi akan berdiri dan beroperasional Sekretariat ERIA. Hal ini akan memaksimalkan fungsi ERIA sebagai lembaga penelitian sehingga dapat menghasilkan rekomendasi kebijakan yang dapat memperkuat integrasi ekonomi kawasan. Perkembangan terakhir dari proses ratifikasi adalah penyampaian dokumen ratifikasi oleh Mendag kepada Menlu tanggal 8 April 2016.

Dalam penjabarannya, fungsi ERIA adalah melaksanakan penelitian dan analisis kebijakan untuk memfasilitasi pembentukan Komunitas Ekonomi ASEAN, mendorong integrasi ekonomi yang luas dan pembangunan berkelanjutan di Asia Timur, dan berkontribusi terhadap upaya mengurangi tingkat kesenjangan di kawasan, secara kolektif maupun sendiri-sendiri. Untuk mencapai maksud di atas ERIA akan melaksanakan kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

1. Melakukan analisis kebijakan, perencanaan strategis, dan memberikan rekomendasi kebijakan untuk upaya-upaya kebijakan regional, dan memperoleh arahan kebijakan dari hasil pertukaran pandang dengan para Pemimpin, para Menteri, dan para Pejabat Tinggi di kawasan;

2. Menyediakan forum dengan keterlibatan tiga pihak yang diperuntukkan bagi dialog kebijakan dan interaksi antar pembuat kebijakan, peneliti dan pengusaha/masyarakat madani.

Adapun ratifikasi yang belum dapat diselesaikan atau masih terhambat adalah proses ratifikasi Global System of Trade Preferences among Developing Countries (GSTP); Annex on

Dispute Settlement Mechanism of the Preferential Trade Agreement among D-8 Member Countries (PTA D-8); dan Indonesia-Iran.

Protokol Putaran São Paulo atas Persetujuan Global System of Trade Preferences Among

Developing Countries (GSTP) telah ditandatangani tanggal 15 Desember 2010, di Foz do

Iguaçu, Brazil. Keikutsertaan Indonesia dalam Protokol São Paulo akan meningkatkan perdagangan dan perluasan akses ke pasar-pasar non-tradisional Indonesia seperti Amerika Latin dan Afrika, yang memiliki potensi besar bagi ekspor produk Indonesia yang belum dimanfaatkan secara optimal.

Kementerian Perdagangan c.q Ditjen PPI bersama instansi terkait telah melakukan serangkaian rapat pembahasan ratifikasi dan sepakat bahwa jika persetujuan ini diimplementasikan tidak akan memberatkan industri dalam negeri dan akan memotivasi para eksportir untuk meningkatkan ekspor Indonesia ke Negara-negara Partisipan GSTP. Namun saat ini perundingan Protokol GSTP sementara dihentikan, sehingga ratifikasi belum dapat diproses kembali sampai perundingannya kembali di jalankan dan kemudian draf tersebut dilimpahkan ke Kementerian Luar Negeri.

Developing Eight (D-8) didirikan melalui Deklarasi Istanbul yang merupakan hasil Konferensi

Tingkat Tinggi Pertama (KTT I) pada tanggal 15 Juni 1997 di Istanbul, Turki. Tujuan utama pembentukan kerja sama D-8 adalah untuk meningkatkan posisi negara berkembang dalam perekonomian dunia; memperluas dan menciptakan peluang baru dalam hubungan perdagangan; meningkatkan partisipasi negara berkembang dalam pengambilan keputusan di tingkat internasional; dan mengupayakan peningkatan taraf hidup bagi rakyatnya.

(25)

22 Kementerian Perdagangan c.q Ditjen PPI telah mengajukan draf protocol annex on dsm kepada Sekretariat D8, namun hingga sekarang belum mendapat tanggapan dari negara anggota. Tahun 2017 direncanakan akan kembali dilaksanakan ad-hoc meeting on DSM di Malaysia, untuk mencari titik temu dari hasil ratifikasinya.

Pengesahan Persetujuan Perdagangan Indonesia-Iran dimaksudkan untuk melakukan pengembangan pasar tujuan ekspor Indonesia melalui diversifikasi pasar khususnya pengembangan dan peningkatan pasar-pasar non-tradisional yang memiliki potensi besar untuk pasar ekspor Indonesia seperti Iran dan kawasan Timur Tengah lainnya.

Dengan terwujudnya pengesahan Persetujuan Perdagangan, maka akan berdampak pada peningkatan produk ekspor Indonesia, melalui pengurangan/penghapusan hambatan perdagangan baik tarif maupun non tarif yang diterapkan oleh pihak Iran, mengingat negara-negara di kawasan Timur Tengah sangat bergantung pada produk impor. Disamping itu, Timur Tengah merupakan kawasan yang strategis serta kaya akan sumber daya mineral. Kementerian Perdagangan c.q Ditjen PPI telah menyelesaikan draft perjanjian dalam bahasa Indonesia, dan sudah diserahkan kepada Kemenlu untuk mendapatkan persetujuan bahasa indonesia atas perjanjian dimaksud. Selanjutnya Kementerian Pedagangan akan melanjutkan proses ratifikasi melalui ijin prakasa kepada Presiden.

Sementara itu, pada tahun 2016 Ditjen PPI melanjutkan proses ratifikasi 6 (enam) Perjanjian ASEAN dan ASEAN Mitra FTA (Australia-New Zealand, China, India, dan Korea). Pada tanggal 13 September 2016 di Ruang Rapat Komisi VI DPR RI telah dilaksanakan Rapat Dengar Pendapat antara Ditjen PPI, Kemendag dengan Komisi VI DPR RI untuk membahas penetapan proses ratifikasi 6 (enam) Perjanjian ASEAN dan ASEAN Mitra FTA (Australia-New Zealand, China, India, dan Korea) sesuai dengan amanat Pasal 84 Undang-Undang Perdagangan No.7 Tahun 2014.

Pada tanggal 1 Desember 2016 telah dilaksanakan konsinyering antara Ditjen PPI, Kemendag dengan Komisi VI DPR RI di Hotel Pullman Jakarta. Tiga dari enam Perjanjian tersebut telah dibahas secara komprehensip dan dinilai sudah cukup memadai untuk dibawa ke Rapat Pleno DPR Komisi VI yang akan dilaksanakan pada tanggal 15 Desember 2016.

Ketiga Perjanjian yang telah selesai pembahasannya adalah:

1. Protocol to Amend the Agreement Establishing the ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area;

2. ASEAN Agreement on Medical Device Directive (AMDD); dan

3. Third Protocol to Amend the Agreement on Trade in Goods under the Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation among the Governments of the Republic of Korea and the ASEAN.

Pada tanggal 9 Desember 2016, Menteri Perdagangan melalui Surat No. 1643/M- DAG/SD/12/ 2016 mengusulkan kiranya pembahasan ke-3 Protokol Perjanjian yang dibahas pada tanggal 1 Desember 2016 dapat ditetapkan proses ratifikasinya di Sidang Pleno Komisi VI tanggal 15 Desember 2016. Dengan pengesahan protokol perjanjian tersebut diharapkan akan dapat memanfaatkan peluang akses pasar perdagangan barang yang lebih luas, dan iklim perdagangan yang kondusif serta tranparan bagi pelaku usaha dalam negeri untuk meningkatkan ekspor dan pemenuhan industri maupun konsumen dalam negeri.

(26)

23

Sasaran IV: Pengamanan Kebijakan Nasional di Fora Internasional

Indikator Kinerja V: Persentase Pengamanan Kebijakan Nasional di Fora Internasional

Tabel 9 Realisasi Capaian Indikator Persentase Pengamanan Kebijakan Nasional di Fora Internasional

Indikator Target (%) Realisasi (%) Capaian (%) 2015 2016 2015 2016 2015 2016 Persentase Pengamanan Kebijakan

Nasional di Fora Internasional 70 75 100 100 143 133

Pengamanan kebijakan perdagangan melalui klarifikasi atas pertanyaan/tanggapan terkait kebijakan perdagangan R.I. di luar negeri, merupakan langkah Indonesia untuk dapat terhindar dari proses sengketa perdagangan yang mungkin diajukan oleh negara mitra dagang.

Pada tahun 2016 target yang ingin dicapai untuk indikator ini adalah 75%. Indikator didapatkan dari total yang dapat diklarifikasi dibagi total pertanyaan/tanggapan/ keberatan terhadap kebijakan nasional terkait perdagangan yang masuk dari negara lain dikalikan seratus persen. Indikator ini menggambarkan kinerja diplomasi yang dapat mengamankan kepentingan nasional di fora internasional. Selama keberatan dimaksud tidak masuk ke Panel DSB WTO, maka dianggap keberatan dari negara lain tersebut dapat diklarifikasi. Sepanjang tahun 2016, terdapat 5 (lima) pertanyaan/tanggapan yang diterima oleh Indonesia, dan Kementerian Perdagangan telah melakukan klarifikasi atas kebijakan nasional Indonesia terkait perdagangan yang dipertanyakan oleh negara anggota WTO terkait kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia. Dari total keseluruhan pertanyaan yang masuk tersebut, hingga akhir tahun 2016 seluruhnya dapat diklarifikasi atau diselesaikan, sehingga tidak dilanjutkan atau disengketakan ke Dispute Settlement Body (DSB). Berdasarkan penjelasan tersebut, maka realisasi persentase pengamanan kebijakan nasional di fora internasional adalah sebesar 100% atau dengan persentase capaian sebesar 133%. Berikut adalah beberapa kebijakan dan penyelesaian isu yang masuk dan diklarifikasi oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 2016, antara lain:

1. Peraturan Menteri Perindustrian No.24/M-IND/PER/4/2013 tentang Pemberlakuan SNI secara wajib untuk Mainan telah direvisi melalui Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 55/M-IND/PER/11/2013 ditetapkan pada tanggal 11 November 2013 dan pemberlakuan secara efektif 30 April 2014;

2. Peraturan Menteri Kesehatan Indonesia No. 30 Tahun 2013: Tentang Pencantuman Informasi Kandungan Gula, Garam, dan Lemak Serta Pesan Kesehatan untuk Pangan Olahan dan Pangan Siap Saji;

3. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 139/PERMENTAN/PD.410/12/2014 Tahun 2014, Tentang Pemasukan Karkas, Daging, dan/atau Olahannya ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia, dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 02/Permentan/PD.410/1/2015, Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Pertanian Nomor 139/Permentan/PD.410/12/2014 Tentang Pemasukan Karkas, Daging, dan/atau Olahannya ke Dalam Wilayah Negara Republik Indonesia;

4. Kebijakan TKDN yang diterapkan oleh Indonesia untuk produk 4G/LTE; 5. Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH).

(27)

24 Kementerian Perdagangan terus melakukan koordinasi intensif dengan kementerian terkait guna menyiapkan jawaban/tanggapan Pemerintah Indonesia, sehingga dalam proses klarifikasi tersebut di atas, Indonesia dapat memberikan jawaban/klarfikasi dan terhindar dari proses sengketa perdagangan yang diajukan olen negara mitra ke tingkat yang lebih tinggi atau Dispute Settlement Body (DSB).

Proses sengketa pada Dispute Settlement Body adalah suatu kewajaran, karena WTO merupakan satu-satunya organisasi internasional yang memiliki badan penyelesaian sengketa yang keputusannya bersifat final dan mengikat secara hukum (legally binding), sehingga apabila terdapat anggota yang merasa bahwa akses pasarnya terhambat dengan adanya kebijakan dari negara lain, maka bisa mengajukan penyelesaian sengketa melalui DSB.

Tahap pertama yang dilakukan suatu negara ketika akses pasar nya terhambat adalah dengan mengajukan klarifikasi dalam bentuk Specific Trade Concern (STC) pada

Committee/Council di WTO, seperti telah dijelaskan diatas bahwa sepanjang tahun 2016

Indonesia menerima lima pertanyaan dan permintaan klarifikasi terhadap beberapa kebijakan Indonesia melalui komite/council di WTO dan telah dijawab seluruhnya oleh pemerintah Indonesia. Upaya pemberian klarifikasi secara jelas pada forum tersebut bisa menghindarkan Indonesia secara sementara dari tuntutan hukum melalui DSB.

Upaya yang dilakukan Indonesia melalui pemberian klarifikasi secara jelas pada komite//council di WTO sepanjang tahun 2016 cukup efektif dan terbukti telah menahan negara-negara tersebut untuk tidak menggugat Indonesia di DSB.

(28)

25

Sasaran V: Kepastian Tindak Lanjut dan

Peta Kerja Sama Perdagangan Internasional

Indikator Kinerja VI: Dokumen Kepastian Tindak Lanjut dan Peta Kerja Sama Perdagangan Internasional

Tabel 10 Realiasasi Capaian Indikator Dokumen Kepastian Tindak Lanjut dan Peta Kerja Sama Perdagangan Internasional

Indikator

Target (Dok) Realisasi

(Dok) Capaian (%)

2015 2016 2015 2016 2015 2016

Dokumen Kepastian Tindak Lanjut

dan Peta Kerja Sama Perdagangan Internasional

1 - 1 - 100 0

Pada tahun 2016, Ditjen PPI menargetkan tersusunnya 1 (satu) dokumen Kepastian Tindak Lanjut dan Peta Kerja Sama Perdagangan Internasional dalam bentuk dokumen roadmap perundingan perdagangan internasional. Dokumen tersebut memaparkan perkembangan atau kondisi FTA saat ini, serta gambaran kesepakatan nasional akan kondisi yang diharapkan, juga strategi perundingan yang akan dilaksanakan.

Pada triwulan kedua tahun 2016 Ditjen PPI telah melakukan proses pembahasan dan sinkronisasi secara internal dengan masing-masing unit Eselon II di lingkungan Ditjen PPI dan eksternal dengan BAPPENAS.

Namun, pada triwulan tiga berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang Langkah-Langkah Penghematan dan Pemotongan Belanja Kementerian/Lembaga Dalam Rangka Pelaksanaan APBN TA 2016, Surat Menteri Keuangan Nomor S-377/MK.02/2016 tanggal 13 Mei 2016 perihal Penghematan/Pemotongan Belanja Kementerian/Lembaga TA 2016, Kementerian Perdagangan diminta untuk melakukan penghematan, sehingga Ditjen PPI memutuskan untuk menunda kelanjutan penyusunan roadmap perundingan perdagangan internasional hingga tahun 2017. Roadmap Perundingan Perdagangan Internasional diharapkan dapat dilanjutkan proses penyusunannya hingga selesai pada tahun 2017, agar perundingan perdagangan internasional memiliki peta yang jelas terkait tahapan perundingan dan kesepakatan nasional untuk posisi offensive dan defensive Indonesia.

(29)

26

Sasaran VI: Peningkatan Pemahaman dan Pemanfaatan Hasil Kerja Sama

Perdagangan Internasional

Indikator Kinerja VI: Persentase Pemahaman Terhadap Hasil Kerja Sama Perdagangan Internasional

Tabel 11 Realisasi Capaian Indikator Persentase Pemahaman Terhadap Hasil Kerja Sama Perdagangan Internasional

Indikator

Target (Dok) Realisasi (Dok) Capaian (%)

2015 2016 2015 2016 2015 2016

Persentase Pemahaman Terhadap Hasil

Kerja Sama Perdagangan Internasional 60 62 76 81 127 130,65

Salah satu cara untuk mengetahui tingkat pemahaman terhadap hasil kerja sama perdagangan internasional adalah mengukur melalui metode survei dengan salah satu caranya menggunakan kuesioner. Pada indikator ini, survei dilakukan melalui kuesioner yang dibagikan kepada para peserta saat pra dan pasca penyelenggaraan sosialisasi/edukasi/konsultasi publik yang dilak-sanakan Ditjen PPI di beberapa daerah baik tingkat provinsi maupun tingkat kota/kabupaten di Indonesia.

Pada tahun 2016, Ditjen PPI menetapkan target indikator persentase pemahaman terhadap hasil kerja sama perdagangan internasional sebesar 62%. Realisasi yang berhasil dicapai oleh Ditjen PPI adalah 81% atau dengan capaian sebesar 130,65%. Persentase realisasi tingkat pemahaman pada tahun 2016 mengalami peningkatan sebesar 7% jika dibandingkan dengan tahun 2015 yang hanya 76%. Pelaksanaan survei dilakukan di 6 (enam) daerah yang meliputi: (i) Bali; (ii) Bantaeng; (iii) Jakarta; (iv) Palembang; (v) Surabaya; dan (vi) Medan. Tingginya realisasi tersebut mengindikasikan bahwa semakin meningkatnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat atas hasil perundingan kerja sama perdagangan internasional yang dilakukan oleh Indonesia. Dengan meningkatnya pemahaman, maka diharapkan masyarakat dapat mengambil manfaat dari hasil kerja sama perdagangan

internasional.

Penyebaran informasi terkait hasil perundingan kerja sama perdagangan internasional memang tidak hanya dilakukan melalui sosialisasi/ edukasi/konsultasi publik. Ditjen PPI juga secara berkala menyebarkan informasi melalui leaflet/brosur dan buletin yang menginformasikan secara singkat tentang hasil dan perkembangan perundingan dan hasil kerja sama perdagangan internasional.

Gambar

Tabel 1 Realisasi Capaian Kinerja Ditjen PPI Tahun 2016  No  Sasaran Program dan Indikator Kinerja  Satua
Gambar 1 :  Visi dan Misi Ditjen PPI Tahun 2015-2019
Tabel 2 : Indikator dan Target Kinerja Ditjen PPI Tahun 2015-2019
Tabel 3 Realisasi Capaian Indikator Kinerja Ditjen PPI Tahun 2016
+7

Referensi

Dokumen terkait

TPSA dirancang untuk menyediakan pelatihan, penelitian dan bantuan teknis bagi instansi peme- rintah Indonesia, sektor swasta—khususnya usaha kecil dan menengah (UKM)—akademisi,

Di wilayah DIY tanah – tanah berstatus sultan grond masih bisa dijumpai, walaupun terkadang keberadaanya seperti siluman yang bisa disadari maupun tidak,

Dengan dilakukannya penelitian ini, maka hasil yang diperoleh diharapkan bisa memberikan manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung bagi pihak-pihak yang

Salah satu hipotesis yang paling menarik dalam teori atribusi adalah bahwa orang sampai kepada perrsepsi keadaan intern mereka sen- diri dengan cara yang sama jika mereka sam-

Hal ini sesuai dengan yang tertuang dalam Undang-undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidik dan tenaga kependidikan

Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri subjek penelitian adalah pemahaman yang baik tentang diri sendiri, sikap anggota masyarakat yang menyenangkan, tidak

b) Hepatitis C (HCV).. Hepatitis C disebabkan oleh virus hepatitis C yang masuk ke sel hati dan mereplikasikan diri dengan menggunakan material yang terdapat dalam sel

Sebanyak 22 pos tarif ban, 10 di antaranya akan langsung 0% saat IC-CEPA berlaku sedangkan sisanya dihapuskan secara bertahap dalam waktu 5 dan 7 tahun.. Lemari Pendingin: