• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dr.dr. Susy Purnawati, MKK Prof. Dr.dr. Putu Astawa, Sp.OT (K), M.Kes.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Dr.dr. Susy Purnawati, MKK Prof. Dr.dr. Putu Astawa, Sp.OT (K), M.Kes."

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA STRES KERJA TERHADAP METABOLIK

SINDROM PADA KARYAWAN RESTORAN DI DESA PELIATAN

KECAMATAN UBUD

Dr.dr. Susy Purnawati, MKK

Prof. Dr.dr. Putu Astawa, Sp.OT (K), M.Kes.

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2016

(2)

HUBUNGAN ANTARA STRES KERJA TERHADAP METABOLIK

SINDROM PADA KARYAWAN RESTORAN DI DESA PELIATAN

KECAMATAN UBUD

1Susy Purnawati, 2Putu Astawa 1Bagian Ilmu Faal Fakultas Kedokteran

2 Anggota Ikatan Ilmu Faal Indonesia,Fakulatas Kedokteran Universitas Udayana; Dosen Pengajar Program Studi Magister Pascasarjana Universitas Udayana.

Abstract. Job stress can be assosciated to several diseases, such as gastric ulcerations, nephrosclerosis, myocardial infarction, rheumatoid arthritis and other conditions are termed as "Diseases of Adaptation". Similarly, the metabolic syndrome among workers can be also triggered by job stress or chronic stress. The workers of a busy restaurant in a tourist area are at risk of job stress which results in dysfunction of the body's adaptation system. This cross-sectional analytic study conducted in September to December 2014. The participants were restaurant employees in the village of Peliatan Ubud, Bali Province, which aims to determine the relationship between job stresses with metabolic syndrome among workers. From the six restaurants including the category of busy restaurants were selected two restaurants randomly. Of the 50 subjects that are designated as sample, there are two incomplete in filling questionnaires and the three subjects do not come when the data retrieval. We assessed job stress variable by job strain index (JSI), as measured using a questionnaire Brief Job Stress Questionnaire (BJSQ). While metabolic syndrome is determined based on abnormality at least 3 of the following 5 criteria, such as: central obesity (if the waist circumference of more than 90 cm in men and 80 cm in women, hypertension is blood pressure is over 130/85 mmHg or under treatment with anti-hypertensive drugs, triglyceride levels over 150 mg / dl, HDL cholesterol <40 mg / dl in men or <50 mg / dl in women, and glucose intolerance that is the fasting plasma glucose level of 100 mg / dl.

The results of this study we found that: of the 45 study subjects, 32 (71%) men and 13 (29%) women with a mean age of 37 ± 10.96 y.o. Thirteen subjects (24%) experiencing job stress (JSI> 1). The prevalence of metabolic syndrome in a restaurant in the village Peliatan employees obtained 42% (male, 68%; women, 32%). Chi-square test results showed that no significant relationship between job stress and the metabolic syndrome, in which the value of p = 0.314 (p> 0.05).

It can be concluded that in this study found no significant association between job stress and the metabolic syndrome in a restaurant employee in the District Peliatan village of Ubud.

Keywords: metabolic syndrome, job stress, employee restaurants

Abstrak. Stres kerja dapat dihubungkan dengan beberapa penyakit, seperti: gastric ulcerations, nephrosclerosis, myocardial infarction, rheumatoid arthritis dan kondisi-kondisi lainnya yang diistilahkan sebagai “Diseases of Adaptation”. Demikian juga halnya dengan metabolic sindrom pada pekerja yang dapat dipicu oleh stres kronis. Pekerja-pekerja restoran di daerah wisata dengan tingkat kunjungan yang tinggi berisiko mengalami stres kerja yang berakibat terjadinya disfungsi sistem adaptasi tubuh. Telah dilakukan penelitian cross sectional analitik pada bulan September sampai Desember

(3)

tahun 2014 karyawan restoran di Desa Peliatan, Kecamatan Ubud, Gianyar, Bali yang bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara stres kerja dengan sindrom metabolik pada pekerja tersebut. Dari enam restoran yang termasuk kategori ramai pengunjung dipilih secara random sebanyak dua restoran. Dari 50 subjek yang ditetapkan sebagai sampel, terdapat dua kuesioner yang tidak lengkap terisi dan tiga orang subjek penelitian tidak datang saat pengambilan data. Stres kerja dinilai berdasarkan job strain index (JSI), yang diukur menggunakan kuesioner Brief Job Stress Questioner (BJSQ). Sedangkan metabolik sindrom ditentukan berdasarkan ditemukan sedikitnya 3 kelainan dari 5 kriteria berikut, yaitu: obesitas sentral yaitu lingkar pinggang 90 cm pada pria dan 80 cm pada wanita, hipertensi yaitu tekanan darah 130/ 85 mmHg atau sedang dalam pengobatan dengan obat anti hipertensi, kadar trigliserida 150 mg/dl, kadar kolesterol HDL < 40 mg/dl pada pria atau < 50 mg/dl pada wanita, dan intoleransi glukosa yaitu kadar glukosa plasma puasa 100 mg/dl.

Hasil penelitian mendapatkan bahwa: dari 45 subjek penelitian, 32 (71 %) pria dan 13 (29 %) wanita dengan rerata usia 37 ± 10,96 tahun. Tiga belas subjek (24%) mengalami job stress (JSI > 1). Prevalensi sindrom metabolik pada karyawan restoran di Desa Peliatan didapatkan 42% (laki-laki, 68%; wanita, 32%). Hasil uji chi square menunjukkan bahwa tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara stres kerja dan sindrom metabolik, di mana nilai p = 0,314 (p > 0,05).

Dapat disimpulkan bahwa dalam penelitian ini tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara stres kerja dan sindrom metabolik pada karyawan restoran di Desa Peliatan Kecamatan Ubud.

Kata kunci: sindrom metabolik, stres kerja, karyawan restoran

1. PENDAHULUAN

Bali sebagai daerah tujuan wisata mengundang meluasnya industri restoran atau rumah makan. Kemajuan dalam perkembangan pemberian pelayanan jasa menuntut diadakannya perubahan-perubahan dalam kecepatan dan metode pelayanan. Tuntutan tugas dalam memberikan pelayanan yang memuaskan bagi konsumen yang tidak diimbangi dengan kapasitas kerja yang memadai berisiko terhadap timbulnya gangguan stres akibat kerja atau job stress(Dean and Robert, 2000).

Stres secara umum, ataupun stress kerja dapat dihubungkan dengan beberapa penyakit, seperti: gastric ulcerations, nephrosclerosis, myocardial infarction, rheumatoid arthritis kondisi-kondisi lainnya yang diistilahkan sebagai “Diseases of Adaptation”. (Folkow, 2014). Demikian juga halnya dengan metabolik sindrom yang dapat dipicu akibat respon stress kronis terhadap pasokan energy tubuh yang tidak sesuai dengan kebutuhan normal. Metabolik sindrom adalah kumpulan kelainan metabolik baik lipid maupun non-lipid yang merupakan faktor risiko penyakit kardiovaskuler. Kumpulan

(4)

gejalanya terdiri atas obesitas sentral, dislipidemia aterogenik (kadar trigliserida tinggi dan kadar kolesterol High-Density Lipoprotein yang rendah), hipertensi, dan glukosa plasma yang abnormal. Glukosa yang abnormal terjadi akibat resistensi insulin.

Pekerja-pekerja restoran di daerah wisata dengan tingkat kunjungan yang tinggi berisiko mengalami stres kerja yang berakibat terjadinya disfungsi system adaptasi tubuh. Selain terhadap aspek mental, manifestasi lainnya berakibat gangguan metabolisme sebagai respon dari stimulasi terhadap SAM (simpato-adreno-medulary)-axis dan HPA (hipothalamo-pituitari-adrenal)-axis yang mengarah kepada kondisi patologis.

Proses kerja di industri penyaji makanan atau restoran menuntut kerja fisik yang disertai pemenuhan target waktu penyelesaian pesanan pelanggan dengan cepat. Hal ini memberi tendensi munculnya job stress. Tuntutan kinerja dengan penampilan kerja yang sangat prima baik dalam kondisi fisik dan mental sangat dibutuhkan bagi karyawan restoran. Pekerja yang mengalami job stress dapat mengalami ketidak stabilan emosi yang berakibat kepada perilaku makan berlebihan dan semakin memperbesar risiko untuk terjadinya metabolik sindrom. Saat ini metabolik syndrom telah sangat diyakini sebagai faktor risiko timbulnya penyakit jantung koroner dan cerebrovascular accident atau yang lebih umum dikenal sebagai penyakit stroke.

Faktor umur juga berperan dalam kejadian metabolik syndrom. Karyawan dengan kategori umur 45 tahun ke atas memiliki hambatan-hambatan dalam aktivitas fisik sehingga lebih banyak memilih sikap kerja yang sedentary dan berakibat kepada risiko metabolik syndrom. Selain fator umur, indeks masa tubuh kategori over weight dan obesitas (terutama obesitas sentral) juga dihubungkan dengan risiko metabolik syndrom.

Penelitian ini dilakukan untuk dapat mengidentifikasi stres kerja pada karyawan restoran serta menganalisis hubungannya dengan metabolik syndrom. Penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam upaya pencegahan metabolik syndrom di masa mendatang.

II. METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Desa Peliatan Kecamatan Ubud pada bulan September sampai Desember tahun 2014, menggunakan rancangan cross sectional, dengan sampel penelitian adalah pekerja restoran di Desa Peliatan Ubud sebanyak 50 orang, yang ditentukan secara random sederhana. Dari enam restoran yang termasuk kategori ramai

(5)

pengunjung dipilih secara random sebanyak dua restoran yang kemudian menjadi tempat di mana subjek penelitian diambil.

Data stres kerja yang dinilai dari job strain index diukur memakai kuesioner BJSQ (Brief Job Stress Questionnaire). Stres kerja didefinisikan sebagai kondisi distres yang terjadi akibat ketidaksesuaian antara job demand (tuntutan tugas) dan job control (kemampuan mengantisipasi tugas). Dinilai berdasarkan job strain index (JSI), yang diukur berdasarkan skor job demand (7 pernyataan) dan job control (3 pernyataan) dalam kuesioner Brief Job Stress Questioner (BJSQ) dengan 4 skala Likert. JSI ditentukan dengan rumus skor job demand dibagi job control. Dikatakan mengalami stres kerja jika JSI > 1. Sedangkan metabolik sindrom didefinisikan sebgai sekumpulan gejala penyakit. Kriteria sindroma metabolik yang digunakan adalah berdasarkan statement bersama dari IDF, NHLBI, WHF, IAS, dan AHA, yaitu bila ditemukan sedikitnya 3 kelainan dari 5 kriteria berikut: obesitas sentral yaitu lingkar pinggang 90 cm pada pria dan 80 cm pada wanita, hipertensi yaitu tekanan darah 130/ 85 mmHg atau sedang dalam pengobatan dengan obat anti hipertensi, kadar trigliserida 150 mg/dl, kadar kolesterol HDL < 40 mg/dl pada pria atau < 50 mg/dl pada wanita, dan intoleransi glukosa yaitu kadar glukosa plasma puasa 100 mg/dl (Folkow, 2014).

Semua subjek diambil contoh darah plasma untuk pemeriksaan profil lipid lengkap dan gula darah setelah berpuasa selama 12 jam sebelumnya. Pemeriksaan lingkar pinggang, diukur dengan posisi subjek berdiri tegak tanpa alas kaki dengan jarak kedua kaki 25-30 cm. Pengukuran dilakukan melingkar secara horizontal dari titik tengah antara puncak krista iliaka dan tepi bawah kosta terakhir pada garis aksilaris medium (Adam et al, 2011). Lingkar pinggang dinyatakan abnormal bila > 90 cm pada pria dan > 80 cm pada wanita.

III. HASIL PENELITIAN

Dalam penelitian ini sebanyak 50 karyawan yang terpilih sebagai sample dalam penelitian. Berdasarkan data yang terkumpul, terdapat dua kuesioner yang tidak lengkap terisi dan tiga orang subjek penelitian tidak datang saat pengambilan data atas alasan ijin tidak masuk kerja (dengan alasan pulang kampung untuk upacara adat). Sehingga dalam

(6)

penelitian ini terdapat 45 data subjek penelitian yang dianalisis. Hasil penelitian dipaparkan dalam uraian berikut.

3.1 Karakteristik Subjek Penelitian

Subjek penelitian terdiri dari 32 (71 %) pria dan 13 (29 %) wanita dengan rerata usia 37 ± 10,96 tahun.

Lingkungan kerja berupa mikroklimat di dapur restoran memiliki temperature basah 30oC dan temperature kering 27oC. Karyawan restoran melakukan pekerjaan menyiapkan hidangan-hidangan bagi para tamu-tamu disesuaikan dengan pesanan yang masuk ke bagian penerimaan pesanan.

Tabel 1. Karakteristik subjek penelitian (n= 45)

Variabel Minimum Maksimum Rerata

Simpang Baku

Umur (tahun) 19 57 37 10,96

IMT (Kg/m2) 16 34 22,7 4,78

Job strain index (JSI) 0,52 1,41 0,90 0,20

Lingkar perut (cm) 64.0 116.0 81.87 14.30

Triglyserida (g/DL) 50.0 365.0 124.20 73.66

Gula darah puasa (g/DL) 80.0 156.0 96.29 13.93

Kolesterol total (g/DL) 116.0 246.0 171.62 30.71

Kolesterol LDL (g/DL) 61.0 169.0 112.60 26.44

Kolesterol HDL (g/DL) 26.0 73.0 41.89 8.94

Tekanan darah sistolik (mmHg) 100 150 117 12,9

Tekanan darah diastolik (mmHg) 60 100 80 10,3

Tabel 2. Prevalensi metabolik syndrome pada karyawan restoran di Desa peliatan berdasarkan jenis kelamin

Variabel

Jenis Kelamin Total

Laki-laki Wanita

Metabolic syndrome tidak 19 7 26

ya

(7)

Pada Tabel 2 di atas dapat dilihat bahwa prevalensi sindroma metabolik pada karyawan restoran di Desa Peliatan didapatkan 42% (laki-laki, 68%; wanita, 32%).

Tabel 3. Tabulasi silang prevalensi stress kerja pada karyawan restoran di Desa Peliatan berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin Total

Laki-laki Wanita

Job stress tidak 24 8 32

ya 8 5 13

Tiga belas subjek (24%) terdiri dari 8 orang laki-laki dan 5 orang wanita mengalami job stress (JSI > 1), sesuai dengan Tabel 3.

3.2 Hubungan antara stres kerja dan metabolik syndrome

Table 4. Hasil analisis statistik hubungan antara stres kerja dan sindrom metabolik dengan chi square test (n = 45)

Metabolic Syndrome

Tidak Ya Nilai p

Stres Kerja

Tidak 20 12 0,314

Ya 6 7

Berdasarkan table 2 di atas, dalam penelitian ini hasil uji chi square menunjukkan bahwa tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara stres kerja dan sindrom metabolic pada karyawan restoran di Desa Peliatan. Hasil uji chi square mendapatkan nilai p = 0,314 atau nilai p > 0,05.

IV. PEMBAHASAN

Dalam penelitian ini tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara stress kerja dan sindrom metabolik (nilai p = 0,314 atau nilai p > 0,05). Hal ini berbeda dengan studi meta analisis oleh Bergmann et al yang menemukan dari sebagian studi yang dianalisis tentang hubungan yang bermakna antara kedua variabel tersebut(Bergmann et al, 2014). Hal yang kontra lainnya bahwa sampai saat ini belum sinkronnya temuan beberapa

(8)

(Heraclides et al, 2011). Penjelasan lainnya adalah juga karena Meskipun dalam teori general mal-adaptation respon stres fisik maupun psikologis secara simultan dapat men-drive mekanisme lanjutannya dalam HPA-axis dan SAM-axis(Guyton and Hall, 2006), akan tetapi terdapat variasi individual respon stres psikologis terhadap mekanisme lapar dan kenyang di hypothalamus yang berakibat sebagian orang yang mengalami stress kerja yang berpengaruh terhadap kecemasan dan pola makan yang tidak terkontrol yang berdampak kepada risiko munculnya metabolic syndrome. Jumlah sampel yang kecil dapat menjadi penyebab tidak terjawabnya hipotesis alternatif dalam penelitian ini.

Berbeda halnya dengan penelitian Giang et al, (2014), yang meneliti perbedaan skor stres kerja pada 2687 pekerja di Shanghai yang mengalami metabolik syndrome dan yang tidak (Giang et al, 2014). Dalam penelitian tersebut ditemukan perbedaan yang signifikan. Demikian juga halnya dengan Chandola et al (2006) dalam penelitian prospective cohort study melihat hubungan antara stress di tempat kerja terhadap metabolic syndrome terhadap 10.308 orang pegawai sipil di London, yang di-follow up selama rata-rata 14 tahun menemukan hubungan respon dosis antara paparan stress kerja setelah 14 tahun terhadap risiko sindrom metabolik. Pekerja yang mengalami stress kronis dan memiliki tiga atau lebih jenis paparan memiliki risiko lebih dari dua kali lipatnya mengalami syndrome metabolic dibandingkan pekerja yang tidak mengalami stress kerja. Studi tersebut menyimpulkan bahwa stres di tempat kerja merupakan faktor risiko yang sangat penting terhadap metabolic syndrome.

Fakta lainnya menemukan bahwa metabolic syndrome erat hubungannya dengan inaktivitas fisik, riwayat minum alkohol dan gangguan fungsi hati oleh penyebab lain yang tidak targali dalam penelitian ini. Aktivitas fisik dengan melakukan exercise misalnya terbukti sangat efektif dalam mencegah hipertensi dan potensinya 10 kali lipat disbanding diit rendah garam. Exercise dapat menghilangkan perasaan depresi dan kecemasan dan memberi perasaan kesejahteraan psikologis(Rosch, 2014). Menurut Jim Henry, secara teori, hipertensi primer yang ditemukan pada kebanyakan kasus-kasus hipertensi di masyarakat, erat hubungannya atau seringnya diinisiasi oleh respon neurohormonal terhadap stres psikososial (Giang, 2014; Rosch, 2014). Predisposisi polygenetic berinteraksi dengan factor lingkungan masih dipercaya sebagai penyebab hipertensi primer. Hipertensi juga merupakan salah satu gejala selain gabungan gejala

(9)

dislipidemia dalam menentukan metabolic syndrome. Mekanisme terjadinya hipertensi related stress dapat dijelaskan bahwa stimulasi sympatho-adrenomedullary berakibat aktivasi produksi renin yang dimediasi oleh ß1-receptor-mediated. Yang pada akhirnya menstimulasi the renin-angiotensin-aldosterone axis.

Dalam penelitian ini tidak dilakukan analisis hubungan antara stres kerja terhadap hipertensi. Dan hanya 7 orang responden dalam penelitian ini dengan tekanan darah sistolik di atas 120 mmHg. Menurut teori Jim Henry, abdominal obesity, insulin resistance, lipid disturbances dan manifestasi lain dari metabolik syndrome adalah akibat stress-related yang meningkatkan sekresi hormon glucocorticoid, dan dalam axis yang lain stress psikososial juga meningkatkna sekresi catecholamines. Resistensi insulin yang juga merupakan bagian dari gejala metabolik syndrome juga sering menyertai gejala hipertensi primer. Aktivasi dari hypothalamic-pituitary-adrenal axis berakibat peningkatan cortisol dan hormone-hormon lainnya yang mengakibatkan insulin resistance dan juga penumpukan (deposit) visceral fat.

Penelitian tentang kondisi stress kerja yang dihubungkan dengan metabolic syndrome belum pernah dilakukan di Indonesia. Akan tetapi mengacu pada studi-studi yang telah dilakukan di Negara lain dapat sebagai predictor bahwa hubungan antara variable tersebut memiliki hubungan yang signifikan. Penelitian yang dilakukan di Makassar oleh Adam dkk (2011) misalnya sudah menggali tentang prevalensi metabolic syndrome di masyarakat, hanya saja tidak mengikutkan variable status pekerjaan sebagai satu factor risiko38. Penelitian Adam dkk tersebut dilakukan terhadap pengunjung Poliklinik Penyakit Dalam / Klinik Diabetes, Obesitas, dan Lipid sebuah Rumah Sakit Swasta dan klinik pribadi di Makassar yang datang untuk pemeriksaan kesehatan rutin sebanyak 1219 orang selama periode Oktober 2002 sampai dengan Desember 2004. Adam dkk menemukan prevalensi metabolic syndrome pada subjek penelitiannya pada wanita lebih banyak dibandingkan pria yaitu masing-masing 47,1% dan 19,6%. Studi-studi tentang metabolic syndrome lainnya di Indonesia juga masih terbatas pada pasien-pasien yang datang ke klinik-klinik maupun rumah sakit ketika mengalami suatu keluhan suatu gejala fisik. Untuk mengetahui gambaran yang lebih mendekati kondisi yang sebenarnya di masyarakat, tentunya sangat dibutuhkan studi-studi untuk mencari prevalensi metabolic syndrome pada pekerja di berbagai bidang pekerjaan yang

(10)

dihubungkan dengan stres kerja. Pertimbangan untuk pembuktian stress kerja menggunakan biomarker tentunya akan memberikan data kondisi stress kerja yang menjadi risiko sindrom metabolik yang lebih valid untuk subjek penelitian orang Indonesia.

Kelemahan Penelitian

1. Penilaian stress kerja menggunakan kuesioner yang bersifat subjektif. Subjek dalam penelitian ini sebagaimana juga halnya gambaran masyarakat Indonesia (masyarakat timur), tidak mengekspresikan dengan sebenar-benarnya (secara terus terang) apa yang sebenarnya dirasakan. Ada keengganan menyampaikan kondisi yang sebenarnya karena pengaruh budaya setempat dan adat ketimuran. Sehingga kemungkinan rendahnya skor job strain indeks dikarenakan oleh kondisi tersebut.

2. Terdapatnya chance of confounding variable yang tidak digali dalam penelitian ini yaitu inaktivitas fisik, riwayat minum alcohol dan gangguan fungsi hati oleh penyebab lain yang berhubungan dengan sindrom metabolik.

3. Jumlah sampel yang kecil dikarenakan keterbatasan waktu dan dana penelitian.

V. SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: (1) Tiga belas karyawan (24%) mengalami job stress (JSI > 1) dan prevalensi sindroma metabolik didapatkan 42% (laki-laki, 68%; wanita, 32%); (2) Tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara stres kerja dan metabolik sindrome pada pekerja restoran di Desa Peliatan, Ubud.

Dapat disarankan, bahwa dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan hubungan antara stres kerja dan sindrom metabolik menggunakan marker biologi untuk mengukur kondisi stres kerja pada karyawan. Sehingga data mengenai stres kerja yang dipakai untuk melakukan analisis hubungan antar variabel tersebut bersifat objektif. Misalnya dengan melakukan pengukuran kadar hormon kortisol saliva pagi hari. Serta dengan jumlah sampel penelitian yang lebih besar.

(11)

DAFTAR PUSTAKA

Adam JM, Herman Adriansjah H, Fabiola MSA. (2011). Sindroma metabolik di klinik,

hasil penelitian di Makassar. Available from:

http://dokternetworkangk97/2011/02/sindroma-metabolik-di-klinik-hasil.html. Access 1/12/2014

Alyssa BS. (2009). Metabolic syndrome and workplace outcomes. (Disertation). Doctor of Philosophy (Kinesiology) in the University of Michigan.

Anne S. (2003). Working time. Its impact on safety and health. International Labour Office and Occupational Safety & Health Research Institute Korea Occupational Safety & Health Agency.

Bergmann, N., Gyntelberg F and Faber J. (2014). The appraisal of chronic stress and the development of the metabolic syndrome: a systematic review of prospective cohort studies. Endocr Connect 2014 vol. 3 no. 2.

Chandola T, Brunner E and Marmot M. (2006). Chronic stress at work and the metabolic syndrome: prospective study. BMJ, 332(7540): 521–525.

Dean BB. and Robert AK. (2000). Stress. Occupational Health. Lippincott Williams Wilkins: Philadelphia. p. 419-36.

Debra KD, Donald IT, Michael JC. (1996). The Human factors aspects of shift work. Occupational ergonomic. Marcel Dekker, INC. p. 403-16.

Evolahti A, Hultcrantz M and Collins A. (2006). Women’s work stress and cortisol levels: a longitudinal study of the association between the psychosocial work environment and serum cortisol. Journal of Psychosomatic Research, 61: 645 – 652

(12)

Folkow B. (2014). Stress, Hypertension and the Metabolic Syndrome http://www.stress.org/stress-hypertension-and-the-metabolic-syndrome

Giang Z, Li X, Yunsheng M, Persuitte G, Jinsong W, Miaozhao M, Liwu J and Li J. (2014). Relationship between job stress and metabolic syndrome in occupational population. J Am Coll Cardiol;64(16_S).

Guyton and Hall. (2006). Adrenocortical hormones. In Textbook of Medical Physiology. 7th ed. Philadelphia, Pennsylvania: Elsevier Inc.

Heraclides AM, Chandola T, Witte DR & Brunner EJ. (2011). Work stress, obesity and the risk of type 2 diabetes: gender-specific bidirectional effect in the Whitehall II study. Obesity 20 (428) 33

Inoue A, Kawakami N, Tsuno K, Tomioka K and Nakanishi Y. (2012). Organizational Justice and Psychological Distress Among Permanent and Non-permanent Employees in Japan: A Prospective Cohort Study. Int J Behav Med.

Karasek R. (1992). Stress prevention through work reorganization: A Summary of 19 international case studies. Condition of Work Digest; 11, 2.

Kawaguchi Y, Toyomasu K, Yoshida N, Baba K, Uemoto M, Minota S. (2007). Measuring job stress among hospital nurses: an attempt to identify biological markers. Fukuoka Acta Med; 98 (2): 48 – 55.

Kroemer KHE. (2009). Workload and stress. In Fitting the Human, Introduction to Ergonomics. USA: Taylor & Francis. p. 235 – 245.

(13)

Lee H, Hyunmi, Miller A, Chang GP and Kim SJ. 2012. Acculturative stress, work-related psychosocial factors and depression in Korea-Chinese migrant workers in Korea. J Occup Health; 54: 206-14.

Lin QH, Jiang CQ and Lam TH. (2013). The relationship between occupational stress, burnout, and turnover intention among managerial staff from Sino-Japanese joint venture in Guangzhou, China. J Occup Health; 55: 458-467.

Montgomery B. (2008). CBT (Cognitive Behavior Therapy). International workshop on clinical skill for CBT. Denpasar. April 22-24th

Munandar AS. (2001). Stres dalam Pekerjaan. Psikologi Industri & organisasi. UIP.

Rachmad S, Andi W, Sidartawan S, Tommy H. (2004). Estimating BMI and waist circumference cut-offs for obesity in Indonesia and health impact (ISSO Epidemiological Study). Proceeding 3rd National Obesity Symposium (NOS III). p. 1-12.

Rolf H and Walter R. (1998). Fatigue and recovery. Encyclopedia of Occupational Health and Safety Fourth Edition. Geneva: ILO. p. 29.39

Rosch PJ. (2014). Stress, Hypertension and the Metabolic Syndrome. Available from: http://www.stress.org/stress-hypertension-and-the-metabolic-syndrome. Access 1/12/2014

Sastroasmoro S dan Ismael S. (2005). Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Jakarta: Binarupa Aksara.

Shimazu A, Kawakami N, Irimajiri H, Sakamoto M and Amano S. (2005). Effects of web-based psycho-education on self-efficacy, problem solving behavior, stress responses and job satisfaction among workers: A controlled clinical trial. J Occup Health; 47, 405-413.

(14)

Shimazu A, Kubota K, Bakker AB, Demerouti E, Shimada K, and Kawakami N. (2013). Work-to-family conflict and family-to-work conflict among Japanese dual-earner couples with preschool children: A spillover-crossover perspective. J Occup Health. Accepted for Publication: April 17.

Shimomitsu. (2000). The brief job stress questionnaire (BJSQ) for self-stress monitoring. In Kawakami, N. 2010. Assessment of job stress, lecture material. October. Tokyo University. Japan.

Siegrist J. (1996). Adverse health effects of high-effort/low-reward conditions. J Occup Health Psych; 1: 24-41

Smith JC. (2002). Stress Management, A Comprehensive Handbook of Techniques and Strategies. New York: Springer Publishing Company, Inc.

Sonnentag S and Fritz C. (2006). Endocrinological processes associated with job stress: catecholamine and cortisol responses to acute and chronic stressors. Employee Health, Coping and Methodologies Research in Occupational Stress and Wellbeing. Elsevier Ltd., 5: 1-59

Stephen P. (1991). Shiftwork. Ergonomics, Work and health. p. 165-73.

Steven Sauter and Gwendolyn Puryear Keita. Work Stress and Health’99: Available from: http://www.cdc.gov/niosh/stress99.html. Akses tanggal 27/09/14.

Sun W, Fu J, Chang Y and Wang L. (2012). Epidemiological study on risk factors for anxiety disorder among Chinese doctors. J. Occup Health; 34: 1-8.

Susy-Purnawati. (2010). CBO stress management program on vigilance, stress index and cortisol among A Bank “X” employees in Bali. Journal Spirits; 1(2) Mei: 133-148.

(15)

Susy-Purnawati. (2012). Pekerja stres dan solusinya. Koran mingguan Tokoh. No.670/Tahun ke XII, November 20-26th.

Susy-Purnawati. (2014). Program manajemen stres kerja di perusahaan: sebuah petunjuk untuk menerapkannya. Buletin Psikologi; 22(1) Juni: 36-44

Winfried, Peter R. (1998). Psychological Aspects. Encyclopaedia of Occupational Health and Safety Fourth Edition. ILO: Geneva. p 94.2 – 94.13.

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini dapat dianalisis lokasi-lokasi yang mengalami degradasi hutan, dimana, lokasi yang mengalami penurunan nilai indeks vegetasi dengan kondisi vegetasi

Hasil dari riset ini juga selaras dengan teori yang mendasari penelitian yaitu teori atribusi dimana teori ini menjelaskan mengenai hubungan antara sebab dan

Syukur Alhamdulillah saya panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan laporan penelitian dengan

Menurut KSAP (Komite Standar Akuntansi Pemerintah), Standar Akuntansi Pemerintahan adalah prinsip-prinsip akuntansi yang diterapkan dalam menyusun dan menyajikan

Berdasarkan hasil pengujian di laboratorium dapat diperoleh jenis surfactant yang sesuai dengan batuan dan fluida reservoir lapangan “X”, serta besarnya konsentrasi

6 Berdasarkan syarat penelitian yang dikeluarkan rumah sakit yang bersangkutan, peneliti tidak diijinkan menuliskan nama rumah sakit tersebut sehingga dalam penelitian ini, nama

Hal yang menarik dalam penelitian ini yang coba diangkat oleh peneliti adalah program CSR yang dilakukan dalam mendukung olahraga terutama Bulutangkis sebagai bagian dari

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada PT Jasaraharja Putera Surabaya, perusahaan tidak melakukan Pengungkapan atas premi asuransi dalam catatan atas laporan