• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Kandungan Gizi Cookies PGT

Analisis kandungan gizi cookies PGT meliputi kandungan gross energy, kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar karbohidrat, serat pangan, besi, kalsium, fosfor, zinc, dan vitamin C. Data kandungan gizi cookies kontrol maupun cookies PGT disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Kandungan gizi cookies kontrol dan cookies PGT

Komposisi Cookies kontrol Cookies PGT

Energi (kkal) 528 527 Kadar air (%bb) 4,17 3,70 Kadar abu (%bk) 1,01 1,84 Kadar protein (%bk) 9,06 10,52 Kadar lemak (%bk) 25,55 23,64 Kadar karbohidrat (%bk) 64,52 64,14

Kadar serat pangan (%bk) 3,94 5,19

Kadar besi (mg) 1,63 3,76

Kadar kalsium (mg) 265,35 405,18

Kadar fosfor (mg) 27,47 30,08

Kadar zinc (mg) 0,67 0,81

Vitamin C (mg) 1,01 1,04

A. Kandungan Gross Energy

Energi adalah kemampuan atau tenaga untuk melakukan kerja yang diperoleh dari zat-zat gizi penghasil energi (energy-producing nutrients), yaitu karbohidrat, lemak, dan protein (Dwiriani 2008). Pada penelitian ini energi diukur menggunakan bomb calorimeter digital. Energi yang diukur menggunakan alat ini adalah gross energy dari makanan yang menunjukkan total energi kimia dalam makanan. Meskipun demikian menurut Dwiriani (2008), tidak semua energi ini tersedia untuk dikonsumsi, tergantung pada penyerapan di saluran pencernaan dan komponen yang mengandung nitrogen (protein), karena nitrogen tidak teroksidasi sempurna dalam tubuh.

Energi dinyatakan dalam satuan unit panas yaitu kilokalori (kkal / Kal). Setiap 100 gram cookies kontrol mengandung gross energy sebesar 528 kkal, sedangkan cookies PGT mengandung 527 kkal/100 gram. Berdasarkan uji one-sample t-test (Lampiran 2) kandungan gross energy cookies PGT berbeda nyata (p<0.05) dengan cookies kontrol. Komponen zat gizi penyumbang energi terbesar pada cookies kontrol maupun PGT adalah lemak dan karbohidrat.

(2)

Merujuk pada SNI 01-2973-1992 tentang mutu dan cara uji biskuit, nilai energi untuk biskuit minimal sebesar 400 kkal/100 g. Kandungan energi cookies kontrol maupun cookies PGT berada di atas nilai energi yang dipersyaratkan sehingga dapat dinyatakan cookies kontrol dan cookies PGT yang dihasilkan pada penelitian ini telah memenuhi persyaratan mutu biskuit berdasarkan nilai energinya.

Cookies biasa dikonsumsi sebagai kudapan atau snack. Kontribusi pemenuhan energi dari kudapan adalah 20% dari total kebutuhan energi sehari. Almatsier (2006) menyatakan, rata-rata kebutuhan energi masyarakat Indonesia adalah 2000 kkal/per hari, meskipun demikian kebutuhan energi dan zat-zat gizi tersebut dapat bervariasi tergantung pada pelbagai faktor seperti umur, jenis kelamin, berat badan, iklim, dan akttivitas fisik. Merujuk pada rata-rata kebutuhan energi masyarakat Indonesia, maka 20% dari total kebutuhan energi sehari setara dengan 400 kkal. Pada pelaksanaannya konsumsi kudapan umumnya dibagi menjadi dua kali waktu makan, yakni selingan pagi dan sore.

Cookies yang dihasilkan rata-rata memiliki berat ± 8 gram, maka dalam 100 gram cookies akan terdapat ±12 keping cookies. Setiap keping cookies mengandung 42 kkal, sehingga untuk memenuhi kebutuhan energi 200 kkal jumlah cookies yang perlu dikonsumsi adalah 5 keping/saji. Kekurangan kalori dapat dipenuhi dari makanan atau minuman yang lain.

B. Kadar Air

Winarno (2008) menyebutkan air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa. Berdasarkan Tabel 10 diketahui bahwa kandungan air cookies kontrol dan PGT berturut-turut adalah 4.17% (bb) dan 3.70% (bb). Uji one-sample t-test (Lampiran 2) menunjukkan kandungan air cookies kontrol dan cookies PGT berbeda nyata (p<0.05). Kandungan air cookies PGT yang lebih rendah diduga berhubungan dengan tekstur adonan semakin poros sehingga laju penguapan air pada cookies PGT lebih tinggi.

BSN (1992) dalam SNI 01-2973-1992 menyebutkan kandungan air cookies maksimal 5%. Kandungan air cookies kontrol maupun PGT kurang dari 5% sehingga dapat dikatakan kandungan air cookies memenuhi standar SNI. Kandungan air cookies kontrol maupun PGT yang tergolong rendah dapat memperkecil risiko kerusakan. Menurut deMan (1997), penurunan mutu makanan secara kimia dan mikrobiologi dapat dipengaruhi oleh kandungan air.

(3)

Beberapa kerusakan seperti pertumbuhan mikroba, reaksi pencoklatan, dan hidrolisis lemak disebabkan oleh kandungan air yang tinggi.

C. Kadar Abu

Sudarmadji et al. (1996) menyatakan abu sebagai zat anorganik dari sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Penentuan kadar abu berhubungan dengan mineral suatu bahan. Kandungan abu cookies kontrol 0.77% (bk) sedangkan cookies PGT 1.77% (bk). Berdasarkan uji one-sample t-test (Lampiran 2) diketahui terdapat perbedaan nyata (p<0.05) antara kandungan abu cookies kontrol dan cookies PGT. Pada SNI 01-2973-1992 disebutkan, kandungan abu cookies maksimum 1.5% (bk). Cookies PGT menunjukkan kandungan abu lebih tinggi. Hal ini diduga karena kandungan mineral cookies yang tinggi. Menurut Soediaoetama (1996), bahwa kadar abu menggambarkan banyaknya mineral yang tidak terbakar menjadi zat yang tidak dapat menguap. D. Kadar Protein

Protein merupakan komponen utama dalam semua sel hidup. Protein adalah makromolekul yang mempunyai berat molekul antara lima ribu hingga beberapa juta. Protein terdiri atas rantai-rantai panjang asam amino yang terikat satu sama lain dalam rantai peptida. Asam amino terdiri atas unsur-unsur karbon, hydrogen, oksigen, dan nitrogen. Unsur nitrogen merupakan unsur utama protein karena terdapat di dalam semua protein akan tetapi tidak terdapat di dalam karbohidrat dan lemak. Unsur nitrogen merupakan 16% dari berat protein (Almatsier 2006).

Berdasarkan Tabel 10, diketahui kandungan protein cookies kontrol dan cookies PGT berturut-turut adalah 8.50% (bk) dan 9.94% (bk). Berdasarkan uji one-sample t-test (Lampiran 2), kandungan protein cookies kontrol dan cookies PGT berbeda nyata (p<0.05). Kandungan protein cookies PGT yang dihasilkan telah memenuhi persyaratan SNI mutu cookies karena kandungan minimum protein cookies sebesar 9% (bb). Sementara cookies kontrol tidak dapat memenuhi persyaratan SNI 01-2973-1992.

E. Kadar Lemak

Lemak merupakan sumber energi yang penting karena 1 gram lemak dapat memberikan sumbangan energi sebesar 9 kkal, sementara karbohidrat dan protein hanya dapat memberikan sumbangan energi sebesar 4 kkal (Winarno 2008). Kandungan lemak cookies kontrol 24.60% (bk) sementara

(4)

cookies PGT 23.37% (bk). Berdasarkan uji one-sample t-test (Lampiran 2), kandungan lemak cookies control dan cookies PGT berbeda nyata (p<0.05).

Kandungan lemak cookies kontrol dan cookies PGT yang dihasilkan telah memenuhi persyaratan SNI mutu cookies karena kandungan minimum lemak cookies sebesar 9,5% (bb). Kandungan lemak cookies yang tinggi diduga berhubungan dengan jenis lemak yang digunakan pada pembuatan cookies. Lemak yang digunakan terdiri dari mentega putih dan margarin. Lemak di dalam adonan berfungsi sebagai shortening sehingga tekstur cookies lebih lembut serta memberi flavor (Faridah 2008).

F. Kadar Karbohidrat

Menurut Winarno (2008), karbohidrat merupakan sumber kalori utama termurah bagi penduduk dunia, khususnya negara berkembang. Karbohidrat yang banyak dikenal masyarakat umumnya berasal dari zat tepung/pati dan gula. Pati banyak terdapat pada serealian dan umbi-umbian (Almatsier 2006).

Kandungan karbohidrat cookies kontrol 61.92% (bk), sedangkan cookies PGT 61.70% (bk). Hasil uji one-sample t-test (Lampiran 2) menunjukkan kandungan karbohidrat cookies kontrol dan cookies PGT berbeda nyata (p<0.05). Syarat mutu kandungan karbohidrat menurut SNI 01-2973-1992 adalah minimum 7.0% (bk) sehingga baik cookies kontrol maupun cookies PGT, keduanya telah memenuhi syarat mutu kandungan karbohidrat cookies menurut SNI.

Pada penelitian ini kandungan karbohidrat ditentukan dengan metode by difference, yaitu hasil pengurangan dari 100% dengan kandungan air, abu, protein, dan lemak sehingga kandungan karbohidrat bergantung pada faktor pengurangannya. Kandungan karbohidrat cookies yang cukup tinggi selain berhubungan dengan proporsi kandungan gizi lain dalam cookies juga berhubungan dengan kandungan karbohidrat bahan baku cookies itu sendiri. Pati garut mengandung karbohidrat sebesar 85.20% (bk) sementara tepung torbangun mengandung karbohidrat sebesar 56.02% (bk).

G. Kadar Serat Pangan

Serat pangan merupakan komponen dari jaringan tanaman yang tahan terhadap proses hidrolisis oleh enzim lambung dan usus halus. Serat pangan umumnya merupakan karbohidrat polisakasida. Serat pangan banyak berasal dari dinding sel berbagai sayuran dan buah-buahan (Winarno 2008).

(5)

Kandungan serat pangan pada cookies kontrol adalah 3.94%, sedangkan pada cookies PGT 5.36%. Uji one-sample t-test (Lampiran 2) menunjukkan bahwa kadar serat pangan cookies kontrol berbeda nyata (p<0.05) dengan cookies PGT. Serat dibutuhkan dalam jumlah 20 – 30 g/hari untuk menghindari kelebihan lemak jenuh, kolesterol gula, natrium serta membantu mengontrol berat badan (Winarno 2008). Namun Tensiska (2008) menyebutkan, serat pangan memberikan pengaruh negatif yang cukup besar terhadap penyerapan mineral, khususnya kalsium, besi, seng, dan magnesium.

H. Kadar Kalsium

Kalsium merupakan makromineral yang paling banyak jumlahnya dalam tubuh. Kalsium berperan dalam pembentukan tulang dan gigi. Kandungan kalsium cookies kontrol adalah 271.44 mg/100 g, sedangkan cookies PGT 376.60 mg/100 g. Uji one-sample t-test (Lampiran 2) menunjukkan, kadar kalsium cookies kontrol berbeda nyata (p<0.05) dengan cookies PGT.

WKNPG (2004) menetapkan AKG (Angka Kebutuhan Gizi) kalsium bagi pria maupun wanita dewasa adalah 800 mg/hari. Cookies kontrol berkontribusi mencukupi AKG sebesar 33.93%, sedangkan cookies PGT berkontribusi mencukupi AKG sebesar 47.07% kebutuhan. Berdasarkan ketentuan BPOM (2007), baik cookies kontrol maupun cookies PGT dapat dikatakan sebagai pangan tinggi kalsium, karena ketersediaan kalsiumnya lebih tinggi dari 30% AKG.

I. Kadar Zat Besi

Besi merupakan salah mikromineral yang dibutuhkan kurang dari 0,01% berat badan total. Meskipun demikian pemenuhan kebutuhan zat besi masih menjadi masalah di Indonesia (Kurniasih et al. 2010). Penambahan tepung torbangun pada cookies pati garut bertujuan meningkatkan zat gizi mikro cookies. Kandungan zat besi cookies kontrol adalah 2.00 mg/100 g, sedangkan cookies PGT sebesar 4.26 mg/100g. Berdasarkan uji one-sample t-test (Lampiran 2) diketahui, kadar besi cookies kontrol berbeda nyata (p<0.05) dengan cookies PGT.

WKNPG (2004) menetapkan AKG (Angka Kecukupan Gizi) zat besi bagi wanita dewasa adalah 26 mg/hari. Cookies kontrol hanya mencukupi 7.70% AKG besi wanita dewasa, sedangkan cookies PGT dapat mencukupi 16.37% AKG. Berdasarkan ketentuan BPOM (2007), cookies PGT tergolong pangan sumber zat besi, sementara cookies kontrol tidak. Hal ini dikarenakan hanya cookies

(6)

PGT yang kandungan zat besinya lebih dari 15% AKG pada bahan pangan kering.

J. Kadar Zinc

Sepertihalnya zat besi, zinc tergolong sebagai mikromineral. Zinc meskipun dibutuhkan dalam jumlah sangat sedikit, namun merupakan komponen penting berbagai enzim. Kandungan zinc pada cookies kontrol sebesar 0.66 mg/100 g, sedangkan cookies PGT 1.48 mg/100 g. Berdasarkan uji one-sample t-test (Lampiran 2) diketahui, kadar zinc cookies kontrol berbeda nyata (p<0.05) dengan cookies PGT. Menurut Stipanuk (1995), keberadaan zinc pada suatu bahan pangan atau makanan bersamaan dengan besi akan berkorelasi negatif dalam hal penyerapannya. Hal ini dikarenakan muatan ion Zn yang sama dengan Fe pada saat penyerapan yaitu 2+, (Zn2+ dan Fe2+).

K. Kadar Fosfor

Kandungan fosfor di dalam suatu bahan pangan dapat meningkatkan ataupun menurunkan penyerapan kalsium. Perbandingan kalsium:fosfor yang dianjurkan adalah 1:1 atau maksimal 2:1 (Almatsier 2004). Kandungan fosfor cookies kontrol adalah 13.75 mg/100 g, sedangkan cookies PGT adalah 15.28 mg/100 g. Berdasarkan uji one-sample t-test (Lampiran 2), kadar fosfor cookies kontrol berbeda nyata (p<0.05) dengan cookies PGT. Perbandingan kandungan kalsium dan fosfor pada cookies kontrol adalah 16:1, sedangkan cookies PGT 27:1. Dengan proporsi kalsium:fosfor seperti diatas, diduga fosfor tidak membantu meningkatkan penyerapan kalsium pada cookies.

L. Kadar Vitamin C

Vitamin C merupakan vitamin yang larut dalam air. Kandungan vitamin C pada cookies kontrol adalah 1.02 mg/100 g dan cookies PGT 1.04 mg/100 g. Hasil uji one-sample t-test (Lampiran 2) menunjukkan, kadar vitamin C cookies kontrol berbeda nyata (p<0.05) dengan cookies PGT. Menurut Almatsier (2006), vitamin C dapat membantu penyerapan zat besi, meskipun demikian vitamin C merupakan vitamin yang paling mudah rusak.

Analisis Kandungan Gizi Minuman

Air merupakan bahan yang sangat penting bagi kehidupan manusia karena fungsinya tidak dapat digantikan oleh senyawa lain. Menurut Winarno (2008), setiap hari manusia membutuhkan sekitar 2,5 liter air, diperkirakan 1,5 liter dipenuhi dari air minum dan 1 liter sisanya berasal dari bahan makanan.

(7)

Popkin et al. (2006) menyebutkan, pola konsumsi di Amerika menunjukkan 76% dari total kebutuhan air dipenuhi dari minuman selain air putih (baverage). Jenis minuman yang paling banyak dikonsumsi berturut-turut adalah air teh (33%), Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) (25%), air kopi (21%), susu (15%) dan jus jeruk (6%). Jenis minuman yang dikombinasikan dengan cookies dan dianalisis pada penelitian ini meliputi AMDK, susu cair siap minum (susu UHT), air teh (diseduh dari teh hitam celup), dan air kopi (diseduh dari kopi mix).

A. Kadar Air

Winarno (2008) menyebutkan kandungan air dalam makanan tidak dapat ditentukan dari keadaan fisik bahan tersebut, oleh karena itu diperlukan analisis kadar air. Pada Tabel 11 disajikan data kandungan air dan kandungan gizi minuman.

Tabel 11 Kandungan gizi minuman

Komposisi AMDK Susu Air Teh Air Kopi

Kadar air (%bb) 99,35 d 83,38 a 97,25 c 87,38 b

Kadar abu (%bk) 0,65 a 2,80 c 0,99 a 2,13 b

Kadar protein (%bk) 0,00 a 5,78 b 0,40 a 0,92 a

Kadar lemak (%bk) 0,00 a 1,63 b 0,00 a 1,25 b

Kadar karbohidrat (%bk) 0,00 a 6,42 c 1,56 b 8,31 d

Kadar serat pangan (%bk) 0,00 a 3,44 d 1,61 b 2,39 c

Kadar kalsium (mg/100g) 12,84 a 61,93 b 16,04 a 18,50 a

Kadar besi (mg/100g) 2,75 a 3,70 b 2,59 a 3,31 ab

Kadar zinc (mg/100g) 0,56 a 1,46 c 0,56 a 0,91 b

Kadar fosfor (mg/100g) 6,95 a 21,56 c 13,82 a 9,72 b

Vitamin C (mg/100g) 0,00 a 0,39 a 1,17 a 7,92 b

Kandungan air setiap minuman berbeda-beda, AMDK memiliki kandungan air paling tinggi (99,35%) adapun minuman dengan kandungan air terendah adalah susu (83,38%). Analisis sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan jenis minuman berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap kandungan air. Hal ini diduga berkaitan dengan proporsi kandungan zat gizi lain, teruma kadar protein, lemak, karbohidrat, dan abu. Minuman berkadar air tinggi cenderung memiliki kadar protein, lemak, karbohidrat, dan abu lebih rendah dibandingkan minuman lainnya.

Kadar air juga berbanding terbalik dengan zat padat terlarut dalam minuman. Diduga minuman dengan kandungan air rendah cenderung memiliki zat padat terlarut lebih tinggi. BSN (1998) dalam SNI 01-3950-1998 mempersyaratkan zat padat terlarut susu UHT yang diberi zat penyedap citarasa

(8)

minimal 12 mg/L, tanpa ada nilai ambang maksimal. Sebaliknya, BSN (2006) dalam SNI 01-3553-2006 mempersyaratkan zat padat terlarut AMDK maksimal 500 mg/L.

Kandungan air susu pada penelitian ini juga cenderung lebih rendah jika dibandingkan dengan kandungan air susu segar yang mencapai 88% (Winarno 2008). Hal ini diduga disebabkan oleh perbedaan jenis susu yang digunakan. Jenis susu yang digunakan pada penelitian ini adalah susu UHT yang diberi zat penyedap citarasa coklat. Diduga susu UHT tersebut telah mengalami penambahan bahan makanan atau bahan tambahan makanan lain yang diizinkan seperti gula dan coklat sehingga kadar airnya lebih rendah.

Selain itu, metode pengukuran kadar air yang digunakan juga dapat mempengaruhi hasil. Pada penelitian ini pengukuran kandungan air minuman dilakukan secara langsung (direct heating) melalui pemanasan dalam oven hingga berat sampel stabil. Menurut Winarno (2008), penetapan kandungan air dari bahan-bahan yang kadar airnya tinggi dan mengandung senyawa yang mudah menguap (volatile) seperti pada sayuran dan susu dapat menggunakan cara destilasi dengan pelarut tertentu misalnya toluena, xilol, dan heptana yang berat jenisnya lebih rendah daripada air.

B. Kadar Abu

Astawan (1999) mendefinisikan abu sebagai residu yang tertinggal setelah bahan pangan dibakar hingga bebas karbon. Dapat dilihat pada Tabel 11, kandungan abu minuman berkisar antara 0,65% sampai 2,80% (bk). Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan jenis minuman berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap kandungan abu. Meskipun demikian, berdasarkan hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 5B) diketahui kandungan abu AMDK dan teh tidak berbeda signifikan (p>0.05). Hal ini diduga berkaitan dengan kandungan mineral dalam AMDK dan teh.

Menurut Sudarmadji et al. (1997), kandungan abu secara kasar menggambarkan kandungan mineral suatu bahan pangan yang tidak terbakar menjadi zat yang dapat menguap. Dengan kata lain semakin kecil kandungan abu bahan pangan, semakin kecil mineral yang terkandung dalam bahan pangan tersebut. Nasution & Tjiptadi (1975) menyebutkan kandungan mineral dalam daun teh hitam 5,5% (bk). Komponen kimia teh memang bervariasi jumlahnya, bergantung pada jenis klon, variasi musim dan kondisi tanah, perlakuan kultur teknis, umur daun, dan banyaknya sinar matahari yang diterima.

(9)

C. Kadar Protein

Protein dapat ditemukan di berbagai macam bahan pangan. Protein berperan penting dalam struktur dan fungsi semua sel makhluk hidup. Kandungan protein minuman berkisar antara 0 - 5,78% (bk). Minuman yang mengandung protein tertinggi adalah susu (5,78% bk).

Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 4) menunjukkan jenis minuman berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap kandungan protein. Lebih lanjut berdasarkan uji Duncan (Lampiran 5C) diketahui kandungan protein AMDK, air teh, dan air kopi tidak berbeda nyata (p>0.05), meskipun demikian kandungan protein susu berbeda nyata dengan ketiganya. Rahman et al. (1992) menyebutkan komponen utama susu terdiri dari air, lemak, protein (kasein dan albumin), laktosa (gula susu), dan abu. Meskipun demikian kandungannya sangat bervariasi bergantung pada jenis ternak, umur ternak, waktu pemerahan, urutan pemerahan, musim, makanan ternak, dan penyakit. Menurut Hardinsyah & Briawan (1994) kandungan protein susu mencapai 6,6 gram /100 mL susu segar.

D. Kadar Lemak

Lemak merupakan sumber energi yang lebih efektif dibandingkan karbohidrat dan protein, karena 1 gram lemak dapat menghasilkan 9 Kal sementara karbohidrat dan protein dalam jumlah yang sama hanya menghasilkan 4 Kal (Almatsier 2006). Lemak terdapat pada hampir semua makanan dengan kadar yang berbeda-beda. Kadar lemak minuman yang dianalisis berkisar antara 0 - 1,63% (b/k). AMDK dan air teh kandungan lemaknya dianggap 0 % karena saat analisis tidak terdeteksi lemak pada sampel. Sebaliknya, pada susu dan air kopi terdapat sedikit lemak, meskipun demikian berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 5D) perbedaan kandungan lemak keduanya tidak signifikan (p>0.05). Menurut Hardinsyah & Briawan (1994) kandungan lemak susu mencapai 7,0 gram /100 mL susu segar. Kandungan lemak pada air kopi yang tinggi diduga disebabkan karena jenis kopi yang digunakan pada penelitian ini adalah coffe mix yang diduga telah mengalami penambahan susu, creamer, dan gula.

E. Kadar Karbohidrat

Kandungan karbohidrat dihitung secara tidak langsung by difference dimana kandungan karbohidrat adalah selisih dari penjumlahan kandungan zat gizi lainnya (kadar air, abu, protein, dan lemak). Kandungan karbohidrat keempat

(10)

jenis minuman berkisar antara 1 - 8,31% (bk). Berdasarkan analisis sidik ragam (Lampiran 4) jenis minuman berpengaruh nyata (p>0.05) terhadap kandungan karbohidrat. Hal ini diperkuat dengan hasil uji lanjut Duncan (Lampiran 5E) menunjukkan kandungan karbohidrat keempat minuman berbeda nyata (p>0.05). Hal ini diduga berkaitan erat dengan proporsi kandungan zat lain pada minuman yang dianalisis.

F. Kadar Serat Pangan

Serat pangan merupakan komponen dari jaringan tanaman yang tahan terhadap proses hidrolisis oleh enzim lambung dan usus halus. Serat pangan umumnya merupakan karbohidrat polisakasida. Serat pangan banyak berasal dari dinding sel berbagai sayuran dan buah-buahan (Winarno 2008).

Kandungan serat pangan keempat sampel yang dianalisis berkisar antara 0 – 3,44% (bk). Berdasarkan uji beda (Lampiran 4) jenis minuman berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap kandungan serat pangan. Kandungan serat pangan yang lebih tinggi pada susu diduga disebabkan karena susu yang dianalisis telah mengalami penambahan bahan-bahan pengisi sehingga kandungan serat pangan yang teranalisis lebih tinggi.

G. Kadar Kalsium

Kalsium merupakan mineral yang paling melimpah dalam tubuh. Kandungan kalsium minuman berkisar antara 12,84 - 61,93 mg/100g. Kandungan kalsium dari terendah hingga tertinggi secara berturut-turut adalah AMDK, air teh, air kopi, dan susu. Susu memang merupakan pangan sumber kalsium. Menurut Hardinsyah & Briawan (1994) kandungan kalsium susu segar mencapai 286 mg/100 g.

Berdasarkan analisis sidik ragam (Lampiran 4) kandungan kalsium minuman berbeda nyata (p<0.05). Berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 5G) kandungan kalsium susu berbeda nyata (p<0.05) dengan kandungan kalsium AMDK, air teh, dan air kopi, meskipun demikian ketiganya tidak berbeda nyata (p>0.05) satu sama lain. Sumber kalsium lain selain susu adalah sayuran berdaun hijau seperti kangkung, bayam, dan daun lobak cina, brokoli, kubis, bunga kol, kecambah, dan makanan yang difortifikasi kalsium seperti sereal dan jus buah (Bredbenner et al. 2007).

(11)

H. Kadar Zat Besi

Berdasarkan analisis sidik ragam (Lampiran 4) kandungan zat besi minuman berbeda nyata (p<0.05). Berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 5H) kandungan zat besi susu berbeda nyata (p<0.05) dengan kandungan zat besi AMDK dan air teh, meskipun demikian kandungan zat besi air teh dan kopi tidak berbeda nyata. Kandungan zat besi AMDK, air teh, air kopi, dan susu berturut-turut 2,75 mg/100g, 2,59 mg/100g, 3,31 mg/100g dan 3,70 mg/100g. Menurut Hardinsyah & Briawan (1994) kandungan kalsium susu segar mencapai 3,4 mg/100 g. Kandungan zat besi pada penelitian ini lebih tinggi daripada literatur. I. Kadar Zinc

Sepertihalnya zat besi, zinc tergolong sebagai mikromineral. Zinc meskipun dibutuhkan dalam jumlah sangat sedikit, namun merupakan komponen penting berbagai enzim. Berdasarkan analisis sidik ragam (Lampiran 4) kandungan zinc minuman berbeda nyata (p<0.05), namun berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 5I) diketahui kandungan zinc AMDK, air teh, dan air kopi tidak berbeda nyata (p>0.05). Meskipun demikian kandungan zinc susu berbeda nyata (p<0.05) dengan ketiga minuman lainnya. Kandungan zinc AMDK, air teh, air kopi, dan susu berturut-turut adalah 0,56 mg/100g, 1,46 mg/100g, 0,56 mg/100g dan 0,91 mg/100g. BSN (1998) dalam SNI 01-3950-1998 tentang susu UHT dan SNI 01-4446-1998 tentang kopi mix menetapkan, kandungan zinc susu UHT bercitarasa dan kopi mix maksimum 40,0 mg/Kg. Berdasarkan penelitian ini, susu UHT dan kopi mix yang diteliti telah memenuhi ketentuan tersebut, Tidak ada ketentuan kandungan zinc pada AMDK dan teh celup hitam yang ditetapkan oleh BSN.

J. Kadar Fosfor

Kandungan fosfor di dalam suatu bahan pangan dapat meningkatkan ataupun menurunkan penyerapan kalsium. Bahan pangan yang tinggi kalsium umumnya tinggi fosfor juga (Winarno 1997). Berdasarkan analisis sidik ragam (Lampiran 4) kandungan fosfor minuman berbeda nyata (p<0.05). Namun berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 5J), kandungan fosfor AMDK, air teh, dan air kopi tidak berbeda nyata (p>0.05). Meskipun demikian kandungan zinc susu berbeda nyata (p>0.05) dengan ketiga minuman lainnya.

Kandungan fosfor AMDK, air teh, air kopi, dan susu berturut-turut 6,95 mg/100g, 21,56 mg/100g, 13,82 mg/100g dan 9,72 mg/100g. Tidak ada ketentuan kandungan fosfor pada AMDK, susu UHT, teh celup hitam dan kopi

(12)

mix yang ditetapkan oleh BSN. Meskipun demikian menurut hardinsyah & Briawan (1994) kadar fosfor susu segar mencapai 120 mg/100 g. Kandungan zat fosfor susu pada penelitian ini lebih rendah dibandingkan literatur.

K. Kadar Vitamin C

Vitamin C merupakan vitamin yang larut dalam air yang dapat membantu penyerapan zat besi meskipun demikian vitamin C merupakan vitamin yang paling mudah rusak (Almatsier 2006). Berdasarkan analisis sidik ragam (Lampiran 4) kandungan vitamin C minuman berbeda nyata (p<0.05), namun berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 5K) kandungan vitamin C AMDK, air teh dan susu tidak berbeda nyata. Meskipun demikian ketiganya berbeda nyata (p<0.05)dengan air kopi.

Kandungan vitamin C air kopi mencapai 7,92 mg/100g sementara susu hanya 1,17 mg/100g. Kandungan vitamin C air the dan air kopi yang relatif lebih tinggi dibandinding jenis minuman lainnya. Diduga berhubungan dengan tingginya kandungan senyawa polifenol dalam kopi. Senyawa polifenol memiliki sifat antioksidasi sehingga dapat mereduksi larutan Dye yang digunakan sebagai indikator pada penentuan kandungan vitamin C minuman. Polifenol pun teranalisis sebagai vitamin C sehingga meningkatkan kandungan vitamin C pada air kopi maupun air teh.

Total Kalsium Campuran

Total kalsium menunjukkan jumlah kalsium yang terkandung dalam campuran cookies + minuman. Total kalsium didapat dengan menambahkan total kalsium cookies dengan total kalsium minuman pencampur. Pada penelitian ini terdapat 8 jenis campuran dari 2 jenis cookies yang diujikan (cookies kontrol dan cookies torbangun) dengan 4 jenis minuman pencampur (AMDK, susu, teh, dan kopi). Adapun 2 campuran lain dianggap sebagai kontrol masing-masing jenis cookies sehingga tidak dicampurkan dengan minuman jenis apapun. Cookies dan minuman dicampur dengan perbandingan 1 : 1 sesuai dengan takaran saji masing-masing. Pada Tabel 12 disajikan rata-rata total kalsium campuran.

Tabel 12 Rata-rata total kalsium campuran

Jenis Campuran Rata-rata Total Kalsium (mg/100g) Kontribusi AKG (%)

Cookies Minuman Campuran

Cookies kontrol 265,35 a - 265,35 a 33,17

Cookies kontrol + AMDK 265,35 a 12,84 a 278,18 a 34,77

Cookies kontrol + Susu 265,35 a 61,93 b 327,27 b 40,91

(13)

Jenis Campuran Rata-rata Total Kalsium (mg/100g) Kontribusi AKG (%)

Cookies Minuman Campuran

Cookies kontrol + Kopi 265,35 a 18,50 a 283,85 a 35,48

Cookies PGT 405,18 b - 405,18 c 50,65

Cookies PGT + AMDK 405,18 b 12,84 a 418,01 c 52,25

Cookies PGT + Susu 405,18 b 61,93 b 467,10 d 58,39

Cookies PGT + Teh 405,18 b 16,04 a 421,22 c 52,65

Cookies PGT + Kopi 405,18 b 18,50 a 423,68 c 52,96

Ket : * Angka-angka yang diikuti huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)

** n = 2

Total kalsium campuran berkisar antara 265,35 - 467,10 mg/100g (bk). Hasil sidik ragam (Lampiran 8) menunjukkan bahwa jenis kombinasi berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap total kalsium. Berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 9A) total kalsium cookies kontrol yang tidak dicampur minuman tidak berbeda nyata dengan cookies kontrol yang dicampur AMDK, air teh, dan air kopi. Meskipun demikian keempatnya berbeda nyata dengan cookies kontrol yang dicampur susu. Pola yang sama tampak pada cookies PGT.

Cookies kontrol dan cookies PGT yang dikombinasikan dicampur dengan susu berbeda signifikan (p<0,05) satu sama lain. Diduga hal ini disebabkan karena perbedaan total kalsium yang signifikan (p<0,05) antara kedua jenis cookies yang dicampur dengan susu. Total kalsium cookies PGT mencapai 405,18 mg/100g sementara total kalsium cookies PGK hanya 265,35 mg/100g. Berdasarkan uji beda menggunakan one sampel t-test (Lampiran 2) total kalsium cookies kontrol dan cookies PGT berbeda signifikan (p<0.05).

Cookies kontrol maupun PGT yang dicampur susu cenderung memiliki total kalsium yang lebih tinggi dibanding cookies yang dicampur minuman lain. Menurut Rolfes & Whitney (2008) ketersediaan kalsium pada susu memang relatif lebih tinggi dibandingkan jenis pangan lainnya. Segelas susu dapat menyediakan sekitar 300 mg kalsium. Lebih lanjut Anwar & Khomsan (2009) menjelaskan, kandungan protein susu masih dapat digantikan oleh protein hewani lainnya, akan tetapi kandungan kalsium susu agak sulit digantikan oleh bahan pangan lain (seperti sayuran hijau). Meski ketersediaan kalsium sayuran hijau tinggi tapi daya serapnya (bioavailabilitasnya) rendah.

Anwar & Khomsan (2009) menyebutkan, kontribusi susu dalam memenuhi asupan kalsium orang Indonesia rata-rata hanya 23 mg/hari. Konsumsi susu orang Indonesia memang sangat rendah dan tidak merata. Pada tahun 2002 saja diketahui rata-rata konsumsi susu orang Indonesia hanya ½

(14)

gelas per minggu. Konsumsi susu yang sangat tinggi hanya di DKI Jakarta yakni mencapai 22.3 kg/kap/thn.

Bioavailabilitas Kalsium Campuran

Total mineral yang tinggi pada pangan tidak selalu berbanding lurus dengan kemampuannya untuk diserap oleh tubuh. Berdanier (1998) mendefinisikan bioavailabilitas sebagai persentase mineral dikonsumsi yang dapat diabsorbsi oleh sel enterocyte di saluran pencernaan dan digunakan sesuai dengan fungsinya. Dengan kata lain bioavailabilitas tidak hanya menggambarkan mineral yang dikonsumsi, tetapi juga jumlah mineral yang tertahan dan tersedia untuk digunakan tubuh.

Pengujian bioavailabilitas kalsium pada penelitian ini dilakukan secara in vitro yang merupakan simulasi dari sistem pencernaan makanan pada saluran gastrointestinal (Roig et al. 1999). Pengujian bioavailabilitas in vitro dilakukan dengan teknik dialisis menggunakan kantung dialisis yang diasumsikan sebagai simulasi usus halus. Prinsip teknik dialisis adalah memisahkan makromolekul terlarut yang memiliki berat molekul rendah dari larutan terluar melalui membran semipermeabel yang memungkinkan terjadinya difusi senyawa (Bisswanger 2008).

Pertama-tama cookies dan berbagai jenis minuman pencampur dari masing-masing kombinasi ditimbang. Selanjutnya pH campuran diatur menjadi 2 dengan penambahan HCl 0,1 N. Pengaturan pH sampel menjadi 2 bertujuan agar kalsium dapat larut dan terbebas dari ikatan garamnya (Gropper et al. 2005). Miller (1996) menambahkan mineral akan bersifat bioavailable apabila mineral tersebut berada dalam bentuk terlarut (soluble) dan terbebas dari ikatan garamnya. Selain itu pH 2 juga merupakan pH dimana enzim-enzim pencernaan dapat aktif.

Kemudian pada campuran ditambahkan enzim pepsin dan diinkubasi pada penangas air bergoyang (shake waterbath) pada suhu 37˚C dengan kecepatan 5 selama dua jam. Penambahan enzim pepsin berfungsi untuk memecah protein sehingga mineral (zat besi maupun kalsium) dapat lepas dari bentuk ikatan zat besi-protein maupun kalsium-protein yang terdapat pada cookies (Roig et al. 1999). Linder (2006) menjelaskan pemecahan protein dimulai dari lambung melalui denaturasi dengan HCl dan proteolitis dari pepsin. Pencernaan protein lebih lanjut terjadi di usus halus dengan bantuan berbagai ekso dan endopeptidase dari pankreas dan cairan intestinal. Pengaturan suhu

(15)

37˚C didasarkan pada deskripsi produk enzim pepsin yang digunakan pada penelitian ini dimana disebutkan enzim tersebut aktif pada suhu 370C. Senada dengan deskripsi produk tersebut, Bisswanger (2008) menyatakan bahwa sebagian besar enzim aktif pada suhu fisiologis (37oC). Kondisi penangas bergoyang selama inkubasi merupakan simulasi dari kondisi tubuh saat pencernaan gastrointestinal terjadi (Puspita 2003).

Gambar 8 Inkubasi sampel bioavailabilitas kalsium in vitro dalam penangas air bergoyang (shaker water bath).

Langkah berikutnya adalah menetapkan konsentrasi NaHCO3 yang akan dimasukkan ke dalam kantung dialisis. Kantung dialisis kemudian dimasukkan ke dalam campuran untuk diinkubasi selama 30 menit. Setelah ditambahkan enzim pepsin dan pankreatin bile inkubasi dilanjutkan kembali hingga dua jam. Cairan yang tersisa pada kantung dialisat kemudian ditimbang dibaca dengan AAS (Atomic Absorption Spectrophotometric). Rata-rata bioavailabilitas kalsium berbagai jenis campuran disajikan pada diagram batang Gambar 9.

Gambar 9 Diagram batang rata-rata bioavailabilitas kalsium campuran

0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00

Cookies kontrol Cookies torbangun Cookies kontrol + AMDK Cookies torbangun + AMDK Cookies kontrol + Susu Cookies torbangun + Susu Cookies kontrol + Teh Cookies torbangun + Teh Cookies kontrol + Kopi Cookies torbangun + Kopi

5.92 5.70 4.62 3.42 11.46 8.91 1.48 0.76 3.99 1.51

(16)

Bioavailabilitas (ketersediaan biologis) mineral merupakan faktor yang menentukan kemampuan mineral untuk diserap tubuh. Bioavailabilitas kalsium campuran berada dalam rentang 0,76 – 11,46%. Analisis sidik ragam (Lampiran 8) terhadap rata-rata bioavailabilitas kalsium pada Tabel 13 menunjukkan jenis campuran cookies + minuman berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap bioavailabilitas kalsium. Berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 9B) diketahui campuran cookies kontrol + susu memiliki persentase bioavailabilitas kalsium tertinggi, meskipun demikian persentase tersebut tidak berbeda nyata (p>0.05) dengan campuran cookies PGT + susu. Pola yang sama nampak pada cookies kontrol dan cookies PGT yang tidak dicampur dengan jenis minuman apapun, keduanya tidak berbeda nyata satu sama lain.

Bioavailabilitas kalsium berbagai jenis campuran cookies + minuman yang dihasilkan pada penelitian ini tidak jauh berbeda dengan bioavailabilitas sayuran hijau dan hasil olahannya yang berkisar antara 0,69% sampai dengan 8,76% (Safitri 2003). Meskipun demikian, jika dibandingkan dengan susu bubuk komersial high calcium yang memiliki bioavailabilitas antara 6,40% - 9,60% (Puspita 2003), crackers yang memiliki bioavailabilitas antara 8,00% - 17,40% (Purwawinangsih 2011) dan produk sereal sarapan yang memiliki bioavailabilitas antara 2,69% - 33,46% (Rajagukguk 2004), bioavailabilitas kalsium berbagai jenis campuran cookies + minuman pada penelitian ini dapat dikatakan lebih rendah. Sebaliknya, bila dibandingkan dengan bioavailabilitas biji-bijian yang berkisar antara 3,50% - 4,20% (Kamchan 2003), bioavailabilitas kalsium berbagai jenis campuran cookies + minuman penelitian ini dapat dikatakan lebih tinggi.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas kalsium, baik sebagai faktor pendorong maupun penghambat penyerapan kalsium. Gropper et al. (2005) menyebutkan, vitamin D, gula dan alkohol serta protein merupakan faktor pendorong penyerapan kalsium. Sebaliknya, penyerapan kalsium dihambat oleh keberadaan serat, kandungan kation divalen (Zn, Mg) yang tinggi, fitat, oksalat, dan asam lemak yang tidak dapat diserap. Pada penelitian ini diamati pengaruh protein, serat pangan, vitamin C, total kalsium, total zat besi, zinc, dan fosfor terhadap bioavailabilitas kalsium.

(17)

Berdasarkan hasil uji korelasi Pearson (Lampiran 10) kadar protein berkorelasi positif (+0,644) secara signifikan (p<0.01) terhadap bioavailabilitas kalsium. Secara praktis korelasi positif memiliki makna, semakin tinggi kadar protein maka persentase bioavailabilitas kalsium campuran cookies + minuman juga akan semakin tinggi.

Weaver & Heaney (2008) menjelaskan absorpsi kalsium dapat terjadi melalui dua jalur, (a) transelular; melalui transfer aktif yang melibatkan protein pengikat kalsium, calbindin D9k, dan (b) paraselular; melalui difusi pasif kalsium Kedua jalur tersebut melibatkan protein dengan mekanisme yang berbeda. Calcitriol mempengaruhi penyerapan kalsium dengan menstimulasi protein pengikat kalsium (Calbindin) (Gropper et al. 2005). Satu molekul calbindin mengikat dua atau lebih ion kalsium (Anderson 2004). Kemudian penyerapan kalsium terjadi melalui tiga langkah, yaitu melalui membran brush border, pergerakan intaseluler, dan ekstrusi melalui membran basolateral (Gropper et al. 2005). Sementara itu, pada difusi pasif konsentrasi makromolekul seperti protein berperan dalam menimbulkan perbedaan tekanan osmotik di kompartemen luar sehingga ion kalsium dapat berdifusi ke dalam kantung dialisis (Bisswanger 2008). Winarno (2008) menyebutkan bahwa berat molekul protein sangat besar sehingga bila dilarutkan dalam air akan membentuk suatu dispersi koloidal.

Peran positif protein pada kedua jalur penyerapan kalsium dapat menunjukkan bahwa peningkatan protein memberikan pengaruh yang baik bagi penyerapan kalsium dalam tubuh. Namun, intik protein yang berlebihan juga tidak dianjurkan karena hasil penelitian Heaney (2002) menunjukkan peningkatan asupan protein akan meningkatkan ekskresi kalsium di urin sehingga menyebabkan keseimbangan kalsium negatif. Menurut Broody (1999) efek ini disebut calciuric effect of protein. Allen (1982) menjelaskan bahwa hal tersebut disebabkan karena reabsorpsi kalsium di ginjal menurun karena peningkatan glomerolus filtration rate (GFR). Heaney (2002) menyimpulkan bahwa protein dan kalsium bersifat sinergis terhadap tulang jika keduanya tersedia dalam jumlah yang cukup dalam diet. Protein dan kalsium bersifat antagonis jika asupan kalsium rendah.

Uji korelasi Pearson (Lampiran 10) juga menunjukkan korelasi bioavailabilitas kalsium dengan kandungan zat gizi lain. Kandungan serat pangan dan vitamin C tidak berpengaruh signifkan (p>0,05) terhadap bioavailabilitas kalsium. Begitu pun dengan total kalsium, kandungan zat besi, zinc dan fosfor.

(18)

Lebih rendahnya bioavailbilitas kalsium pada penelitian Safitri (2003), Kamchan (2003) juga penelitian ini, diduga disebabkan karena kandungan fitat, dan oksalat dalam sampel yang dianalisis. Anwar & Khomsan (2009) menyatakan, bioavailabilitas kalsium yang pada sayuran hijau memang cenderung lebih rendah karena terdapat banyak faktor penghambat penyerapan kalsium seperti serat, fitat, dan atau oksalat. Diantara tiga faktor penghambat penyerapan kalsium yang disebutkan di atas, fitat memiliki korelasi paling kuat terhadap penghambatan penyerapan kalsium pada pangan berbasis tumbuhan khususnya pada biji-bijian. Mekanisme penghambatan fitat, oksalat, dan beberapa jenis serat seperti hemiselulosa yaitu dengan mengikat kalsium sehingga keberadaannya menjadi kompleks kalsium yang tidak larut sehingga tidak dapat diserap oleh tubuh kemudian dikeluarkan melalui feses (Kamchan 2003). Pada penelitian ini, serat pangan tidak berkorelasi signifikan dengan bioavailabilitas kalsium. Rolfes & Whitney (2008) menyebutkan, pengaruh serat terhadap penyerapan kalsium memang relatif kecil.

Makanan yang tinggi kandungan vitamin C dapat meningkatkan bioavailabilitas kalsium. Vitamin C secara alami memiliki kemampuan mengkatalis reaksi reduksi-oksidasi. Oleh karena itu, vitamin C dapat meningkatkan absorbsi kalsium dengan merubah bentuk kalsium terokidasi menjadi bentuk kalsium tereduksi yang lebih mudah diserap (Berdanier 1998). Meskipun demikian, menurut Heaney (2001) berbeda dengan kondisi pencernaan sebenarnya, kondisi asam tidak terlalu dibutuhkan pada penyerapan kalsium secara in vitro. Sejalan dengan pendapat Haeney, pada penelitian ini tidak ditemukan korelasi yang signifikan antara vitamin C dan bioavailabilitas kalsium. Kadar vitamin C dalam campuran cookies + minuman juga relatif rendah, hanya berkisar antara 1,01 - 9.99 mg/100 g (bk).

Gropper et al. (2005) menjelaskan, keberadaan kation divalen (bervalensi 2) seperti magnesium, besi, dan seng dapat mengurangi absorpsi kalsium ketika mineral tersebut berada dalam keadaan berlebih dalam saluran pencernaan karena mineral tersebut akan saling berkompetisi untuk diserap di usus. Etcheverry et al. (2004) menjelaskan bahwa afinitas mineral-mineral tersebut untuk membentuk kompleks mineral lebih tinggi jika dibandingkan dengan afinitas mineral dengan reseptor pada sel usus. Hal ini menyebabkan kegagalan transfer kalsium ke dalam sel serta kegagalan aksi enzim proteolitis untuk melepaskan kalsium menjadi ion bebas. Meskipun demikian, korelasi kandungan

(19)

magnesium, besi dan seng pada susu komersial memiliki korelasi yang lemah terhadap bioavailabilitas kalsium. Pengaruh kation divalen dalam bioavailabilitas kalsium dapat dikurangi jika konsumsinya tidak bersamaan sehingga keberadaannya dalam usus lebih rendah dari kalsium (Gropper et al. 2005).

Kalsium dan fosfor memiliki hubungan yang erat dalam proses absorpsi kalsium. Berdanier et al. (2008) menyebutkan, rasio kalsium dan fosfor dapat mempengaruhi absorpsi kalsium. Secara teoritis, pengaruh fosfor terhadap absorpsi kalsium terjadi melalui dua jalan yaitu 1). secara langsung, mempengaruhi ketersediaan kalsium melalui interaksinya dalam diet dan 2). secara tidak langsung, dimediasi oleh respon hormonal tubuh terhadap kekurangan atau kelebihan fosfor (Allen 1982). McDowel (1992) dalam Rajagukguk (2004) menyebutkan, hubungan khusus antara kalsium dan fosfor disarankan berdasarkan kenyataan bahwa perbandingan kalsium dan fosfor dalam tulang berdasarkan berat adalah sekitar 2,2 : 1. Namun, pendapat lain menyatakan variasi perbandingan kalsium dan fosfor hanya sedikit pengaruhnya terhadap keseimbangan kalsium. Rasio kalsium dan fosfor dapat mempengaruhi absorpsi kalsium masih bersifat kontroversial dan menjadi perdebatan. Sejalan dengan pernyataan McDowel (1992), pada penelitian ini pun kandungan fosfor tidak memiliki hubungan signifikan terhadap bioavailabilitas kalsium.

Haney (2001) menyebutkan, analisis bioavailabilitas secara in vitro relatif murah tetapi sering menghasilkan informasi yang kurang akurat, terutama pada penelitian terkait kalsium. Hal ini disebabkan garam kalsium pada larutan yang dianalisis umumnya memiliki kelarutan yang sangat rendah sehingga berpengaruh terhadap penyerapannya. Oleh karena itu penelitian in vitro hanya merupakan penelitian pendahuluan yang hasilnya perlu diklarifikasi lebih lanjut melalui penelitian in vivo.

Total Kalsium Tersedia Campuran

Total kalsium tersedia menunjukkan jumlah kalsium yang dapat diserap oleh tubuh dan dipengaruhi oleh total kalsium dan bioavailabilitasnya. Makanan yang memiliki total kalsium tinggi namun bioavailabilitasnya rendah maka dimungkinkan total kalsium tersedianya menjadi rendah. Total kalsium tersedia dihitung dengan cara mengalikan total kalsium campuran dengan persen bioavailabilitasnya. Rata-rata total kalsium tersedia campuran disajikan pada Tabel 13.

(20)

Tabel 13 Rata-rata total kalsium tersedia campuran Jenis campuran Total Ca Bio Ca Total Ca Tersedia

Kontribusi AKG (mg/100g) (%) (mg/100g) 1 SZ (%)

Cookies kontrol 265,35 a 5,92 c 15,64 bc 37,54 4,69

Cookies kontrol + AMDK 278,18 a 4,62 c 12,77 abc 30,65 3,83

Cookies kontrol + Susu 327,27 b 11,46 d 37,62 d 90,30 11,29

Cookies kontrol + Teh 281,39 a 1,48 a 4,17 a 10,01 1,25

Cookies kontrol + Kopi 283,85 a 3,99 bc 11,09 ab 26,62 3,33

Cookies PGT 405,18 c 5,70 c 23,08 c 55,39 6,92

Cookies PGT + AMDK 418,01 c 3,42 abc 14,30 abc 34,32 4,29

Cookies PGT + Susu 467,10 d 8,91 d 41,77 d 100,24 12,53

Cookies PGT + Teh 421,22 c 0,76 a 3,19 a 7,67 0,96

Cookies PGT + Kopi 423,68 c 1,51 ab 6,41 ab 15,39 1,92

Ket : * Angka-angka yang diikuti huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)

** n = 2

*** SZ = Serving Size

Berdasarkan Tabel 14 dapat dilihat bahwa total kalsium yang tersedia pada campuran berkisar antara 3,19 - 41,77 mg/100g. Analisis sidik ragam (Lampiran 8) menunjukkan, total kalsium tersedia dipengaruhi oleh jenis campuran secara signifikan (p<0.05). Campuran yang memiliki total kalsium tersedia terendah adalah campuran cookies PGT + teh. Adapun campuran yang memiliki total kalsium tersedia terbesar adalah campuran cookies PGT + susu.

Uji lanjut Duncan (Lampiran 9C) memperlihatkan total kalsium jenis campuran cookies kontrol + susu dan campuran cookies PGT + susu berbeda nyata dengan berbagai jenis kombinasi lainnya. Meskipun demikian, keduanya tidak saling berbeda nyata (Lampiran 10). Diduga penambahan susu pada campuran dapat meningkatkan total kalsium campuran dan mempengaruhi nilai akhir total kalsium tersedia. Kadar kalsium susu mencapai 61,93 mg/100g. Susu memang merupakan sumber kalsium yang tidak dapat digantikan oleh bahan pangan lain seperti sayuran hijau (Anwar & Khomsan 2009). Berdanier (1998) menyebutkan total kalsium tersedia dipengaruhi tidak hanya oleh bioavailabilitas tetapi juga oleh total kalsiumnya.

Total kalsium tersedia per takaran saji memiliki pola yang sama persis dengan total kalsium tersedia per mg/100 g. Setiap satu takaran saji campuran, terdiri atas 40 gram cookies dan 200 mL minuman. Kontribusi pemenuhan AKG relatif berbeda-beda antar jenis campuran. Jenis campuran yang memiliki kontribusi terbesar dalam memenuhi AKG kalsium adalah cookies PGT + susu, yakni sebesar 12,53%. Kontribusi terendah diberikan oleh campuran cookies

(21)

PGT + teh dengan persentase kontribusi pemenuhan AKG 0,96%. Standar AKG yang digunakan adalah kebutuhan kalsium dewasa, baik laki-laki maupun perempuan, yakni 800 mg/hari.

Total kalsium tersedia campuran cookies + minuman lebih tinggi jika dibandingkan dengan sayuran hijau dan olahannya yaitu sebesar 0,24 sampai dengan 9,04 mg/100g (Safitri 2003) dan biji-bijian sebesar 2,90 sampai dengan 7,10 mg/100g (Kamchan 2003). Namun, jika dibandingkan dengan crackers yang memiliki memiliki total kalsium tersedia sebesar 15,61 sampai dengan 96,79 mg/30g (Purwawinangsih 2011), produk sereal sarapan komersial yang ditambah susu dengan total kalsium tersedia sebesar 109,30 sampai dengan 243,10 mg/30g (Rajagukguk 2004) dan produk susu bubuk komersial high calcium dengan total kalsium tersedia sebesar 92,36 sampai dengan 226,37 mg/100g (Puspita 2003), hasil penelitian ini jauh lebih rendah.

Total Zat Besi Campuran

Total zat besi menunjukkan jumlah zat besi yang terkandung dalam campuran cookies + minuman. Seperti halnya total kalsium, total zat besi didapat dengan menambahkan total zat besi cookies dengan total zat besi minuman pencampur. Menurut Winarno (2008), makanan yang dikonsumsi manusia normal umunya mengandung kira-kira 20 - 25 gram besi/hari. Pada tabel berikut disajikan rata-rata total zat besi campuran berikut kontribusinya dalam memenuhi kecukupan zat besi per hari (tanpa memperhitungkan bioavailabilitasnya).

Tabel 14 Rata-rata total zat besi campuran

Jenis campuran Rata-rata Total Zat Besi (mg/100g) Kontribusi AKG (%)

Cookies Minuman Campuran

Cookies kontrol 1,63 a - 1,63 a 6,26

Cookies kontrol + AMDK 1,63 a 2,75 a 4,38 c 16,83

Cookies kontrol + Susu 1,63 a 3,70 b 5,33 d 20,50

Cookies kontrol + Teh 1,63 a 2,59 a 4,21 bc 16,21

Cookies kontrol + Kopi 1,63 a 3,31 ab 4,93 d 18,98

Cookies PGT 3,76 b - 3,76 b 14,47

Cookies PGT + AMDK 3,76 b 2,75 a 6,51 e 25,04

Cookies PGT + Susu 3,76 b 3,70 b 7,46 f 28,70

Cookies PGT + Teh 3,76 b 2,59 a 6,35 e 24,42

Cookies PGT + Kopi 3,76 b 3,31 ab 7,07 f 27,18

Ket : * Angka-angka yang diikuti huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)

** n = 2

Rata-rata total zat besi berbagai jenis campuran berkisar antara 1,63 mg/100g sampai 7,46 mg/100g. Cookies kontrol yang tidak dicampur dengan

(22)

jenis minuman apapun memiliki total zat besi terendah, sebaliknya cookies PGT yang dicampur susu mengandung total zat besi tertinggi. Analisis sidik ragam (Lampiran 8) menunjukkan jenis campuran berpengaruh signifikan (p<0.05) terhadap total zat besi. Campuran cookies PGT cenderung memiliki kandungan total zat besi lebih tinggi dibandingkan dengan campuran cookies kontrol, pada semua jenis minuman.

Berdasarkan one sampel t-test (Lampiran 2), kadar zat besi cookies PGT berbeda nyata (p<0.05)dengan cookies kontrol. Kadar zat besi cookies PGT adalah 3,76 mg/100g, sementara cookies kontrol hanya 1,63 mg/100g cookies. Cookies kontrol, tanpa mempertimbangkan bioavailabilitasnya, hanya dapat memenuhi 6,26% kebutuhan besi per hari, bahkan jika dicampur dengan susu pun hanya dapat memenuhi 20,50% AKG. Namun jika cookies PGT yang dicampur dengan susu maka dapat memenuhi 28,70% AKG.

Berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 9D) diketahui cookies yang dicampur susu maupun kopi, baik pada cookies kontrol maupun cookies PGT tidak berbeda signifikan (p>0.05). Hal ini dikarenakan total zat besi kopi dan susu tidak berbeda signifikan. Mahmud et al. (2009) menyebutkan kandungan zat besi pada 100 g kopi bubuk instant mencapai 5,6 mg. Adapun kandungan zat besi pada 100 mL susu segar adalah 3,4 mg (Hardinsyah & Briawan 1994).

Bioavailabilitas Zat Besi Campuran

Tidak semua zat besi dalam produk pangan dapat diserap dan dimanfaatkan oleh tubuh, hal ini bergantung pada daya cerna (bioavailabilitas) zat besi tersebut. Latunde-Dada & Naele (1986) mendefinisikan bioavailabilitas zat besi sebagai jumlah zat besi dari bahan pangan yang ditransfer dari lumen usus ke dalam darah. Transfer zat besi erat kaitannya dengan proses absorbsi zat besi dalam usus halus (duodenum), oleh karena itu istilah bioavailabilitas zat besi dapat disamakan dengan absorbsi zat besi dalam usus halus (Puspitasari 2003).

Seperti halnya analisis bioavailabilitas kalsium, analisis bioavailabilitas zat besi pada penelitian ini juga dilakukan secara in vitro berdasarkan prinsip dialisis. Nur et al. (1989) menyatakan bahwa proses dialisis merupakan metode pemisahan molekul besar dari molekul kecil yang didasarkan pada sifat semipermeabel yang meloloskan molekul-molekul kecil akan tetapi menahan molekul-molekul besar. Rata-rata Bioavailabilitas zat besi berbagai jenis campuran disajikan pada Gambar 10.

(23)

Gambar 10 Diagram batang rata-rata Bioavailabilitas zat besi campuran Rata-rata bioavailabilitas zat besi berbagai jenis campuran berkisar antara 0,91 - 5,95%. Cookies kontrol yang tidak dicampur dengan jenis minuman apapun memiliki bioavailabilitas zat besi tertinggi. Sebaliknya, cookies + teh memiliki bioavailabilitas zat besi terendah. Analisis sidik ragam (Lampiran 8) menunjukkan jenis campuran berpengaruh signifikan (p<0.05) terhadap bioavailabilitas zat besi. Berdasarkan uji lanjut Duncan (Lampiran 9E) diketahui, bioavailabilitas zat besi cookies kontrol yang dicampur AMDK, susu, air teh, maupun air kopi tidak berbeda signifikan dengan cookies PGT yang dicampur dengan jenis minuman yang sama. Meskipun demikian, cookies kontrol dan cookies PGT yang tidak dicampur dengan minuman manapun berbeda signifikan dengan seluruh jenis campuran lain.

Williams et al. (1995) menjelaskan, zat besi dalam bahan pangan terdapat dalam dua bentuk, heme dan non-heme. Zat besi heme berhubungan dengan hemoglobin dan myoglobin, sehingga hanya ditemukan pada pangan hewani seperti daging, ayam, dan ikan. Zat besi non-heme ditemukan baik pada pangan hewani maupun pangan nabati. Pangan hewani 60% zat besinya berupa zat besi non-heme, sementara pangan nabati 100% zat besinya berada dalam bentuk non-heme. Zat besi heme memiliki daya cerna lebih tinggi dibandingkan zat besi non-heme. Sekitar 10-30% zat besi heme diserap oleh usus, sementara hanya 2-10% zat besi nonheme yang dapat diserap usus. Torbangun merupakan pangan nabati, sehingga zat besi yang ditambahkan pada cookies diduga adalah zat besi non-heme yang bioavailabilitasnya rendah.

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00

Cookies kontrol Cookies torbangun Cookies kontrol + AMDK Cookies torbangun + AMDK Cookies kontrol + Susu Cookies torbangun + Susu Cookies kontrol + Teh Cookies torbangun + Teh Cookies kontrol + Kopi Cookies torbangun + Kopi

5.95 3.77 2.12 0.96 2.56 2.05 1.30 0.91 1.94 1.62

(24)

Bioavailabilitas zat besi (dan kalsium) yang relatif rendah pada penelitian ini diduga disebabkan karena keberadaan zat anti-gizi, seperti fitat, oksalat, dan tanin. Hal ini didasari dari kecenderungan campuran cookies PGT yang memiliki bioavailabilitas zat besi (dan kalsium) lebih rendah dibandingkan dengan campuran cookies kontrol, pada semua jenis kombinasi minuman. Dugaan adanya zat anti-gizi yang menghambat bioavailabilitas zat besi (dan kalsium) pada penelitian ini diperkuat oleh pernyataan Stephenson (2001), dimana berdasarkan uji fitokomia di dalam tanaman torbangun terkandung alkaloid, flavonoid, dan tanin. Tanin memang tersebar luas pada sayuran dan berbagai minuman seperti teh dan kopi (Stipanuk 1995). Williams (1995) menambahkan, makanan dengan kandungan tanin yang tinggi dapat menurunkan bioavailabilitas zat besi nonheme hingga 60%.

Fitat dan oksalat umum dikenal sebagai penghambat bioavailabilitas zat besi. Fitat tersebar luas pada berbagai sayuran dan serealia. Fitat dan oksalat menurunkan bioavailabilitas zat besi non-heme melalui pembentukan garam yang tidak larut sehingga zat besi tidak bioavailable untuk diserap (Gallagher 2007). Lebih lanjut Marliyati (1995) menjelaskan, berdasarkan penelitiannya diketahui fitat mempunyai efek menghambat ketersediaan zat besi lebih besar dibandingkan zat anti-nutrisi lain seperti lignin, serat pangan, tanin, oksalat, gum arab, dan pektin. Menurut Oberleas (1971), berdasarkan struktur molekulnya, setiap molekul fitat dapat mengikat empat buah zat besi.

Rolfes & Whitney (2008) menyebutkan, bioavailabilitas zat besi secara keseluruhan tergantung pada proporsi relatif antara faktor-faktor pendorong dan penghambat. Kedua faktor tersebut melalui interaksi sinergis mempengaruhi pelepasan zat besi dari bahan makanan. Gropper et al. (2005) menyebutkan, asam seperti asam askorbat, asam sitrat, asam laktat, dan asam tartarat berpotensi meningkatkan bioavailabilitas zat besi. Begitupun dengan gula, daging merah, daging unggas, daging ikan, dan mucin. Sebaliknya, kandungan polifenol (seperti tanin dan turunannya yang terdapat dalam teh dan kopi), oksalat, fitat, dan zat gizi lain seperti kalsium, fosfat, mangan, dan nikel dapat menghambat penyerapan zat besi. Pada penelitian ini hanya diamati pengaruh kandungan protein, serat pangan, vitamin C, kalsium, total zat besi, zinc dan fosfor terhadap bioavailabilitas zat besi.

(25)

Berdasarkan hasil uji korelasi Pearson (Lampiran 10) kadar protein dan vitamin C tidak berpengaruh signifkan (p>0.05) terhadap bioavailabilitas zat besi. Begitu pun dengan total kalsium. Sebaliknya, kadar serat pangan, zinc, dan fosfor berkorelasi negatif secara signifikan (p<0.05) terhadap bioavailabilitas zat besi. Korelasi negatif memiliki makna semakin tinggi kadar zinc, fosfor, dan total serat pangan pada campuran, maka % bioavailabilitas zat besi akan semakin redah.

Hubungan antagonis nampak sangat jelas antara total zat besi dengan biovailabilitas zat besi. Uji korelasi Pearson (Lampiran 10) menunjukkan bahwa total zat besi berpengaruh negatif (-0,743) secara signifikan (p<0.01) terhadap bioavailabilitas zat besi. Oleh karena itu, berbanding terbalik dengan total zat besi, campuran cookies PGT memiliki bioavailabilitas zat besi lebih rendah dibandingkan dengan campuran cookies kontrol, pada semua jenis kombinasi minuman.

Korelasi negatif antara total zat besi dengan bioavailabilitasnya sejalan dengan penelitian Lewis et al. (1989) yang menyatakan bahwa terdapat indikasi adanya penurunan proporsi zat besi dari makanan yang diserap oleh usus pada asupan zat besi yang tinggi. Weaver & Heaney (2008) juga menyatakan bahwa fraksi zat besi yang diserap umumnya bervariasi dan rata-rata akan berkebalikan dengan asupannya. Efisiensi absorbsi zat besi memang berbanding terbalik dengan total zat besi dalam makanan. Semakin besar total zat besi makanan, maka persentase zat besi yang diabsorbsi akan semakin rendah (Yeung & Laquarta 2003)

Menurut Gropper et al. (2005), kalsium dan fosfor saling berinteraksi dan berpotensi menghambat absorbsi zat besi melalui pembentukan kelat Fe : Ca : PO4 pada mukosa usus. Kalsium mempengaruhi absorbsi zat besi heme maupun non-heme terutama pada tahap transportasi zat besi di mukosa usus. Hasil penelitian menunjukkan, pemberian 300 – 600 mg kalsium baik dalam bentuk kalsium fosfat, kalsium sitrat, kalsium karbonat, maupun kalsium klorida jika dilakukan bersamaan dengan pemberian 18 mg zat besi dalam bentuk ferro sulfat atau bersamaan dalam makanan, berpotensi menurunkan absorbsi zat besi hingga 70%. Meskipun demikian, menurut Gallagher (2007), jumlah kalsium yang adekuat dalam makanan berpotensi meningkatkan bioavailabilitas zat besi melalui pembentukan kompleks dengan zat penghambat absorbsi zat besi seperti fosfat, fitat, dan oksalat.

(26)

Selain berinteraksi dengan kalsium dan fosfor, zat besi juga berinteraksi dengan zinc. Interaksi zinc dan zat besi berpotensi menurunkan bioavailabilitas keduanya. Hal ini dikarenakan zat besi dan zinc berkompetisi untuk diserap pada jalur yang sama, yakni dimediasi oleh DCT 1. Perbandingan zinc dan zat besi pada konsentrasi 1:1 terbukti menghambat penyerapan zat besi hingga 66%, sementara perbandingan zinc dan zat besi pada konsentrasi 2,5:1 menghambat penyerapan zat besi hingga 80% (Gropper et al. 2005).

Serat pangan dalam jumlah besar berpotensi menurunkan bioavailabilitas zat besi non-heme (Stipanuk 1995). Mekanisme penghambatan absorbsi zat besi oleh serat terjadi melalui pembentukan kelat yang tidak larut atau memicu pengangkutan zat besi yang cepat di saluran pencernaan (Williams et al. 1995). Meskipun demikian, Marliyati (1995) menyebutkan, serat pangan dan komponennya menunjukkan pengaruh yang bervariasi terhadap ketersediaan zat besi. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kemampuan dalam membentuk kelat dengan zat besi.

Faktor utama dalam makanan yang berpotensi meningkatkan bioavailabilitas zat besi non-heme adalah keberadaan asam organik, baik dalam bentuk asam sitrat, asam askorbat, asam malat, dan asam laktat. Asam organik ini umumnya ditemukan pada buah-buahan yang memiliki rasa asam (Stipanuk 1995). Vitamin C mencegah oksidasi zat besi ferro (Fe3+) menjadi ferri (Fe 2+) sehingga melindungi zat besi dari pembentukan ferri hidroksida yang tidak larut. Selain itu, vitamin C juga dapat membentuk kelat dengan Fe 3+ pada pH asam sehingga zat besi tetap larut meskipun terjadi kenaikan pH dalam sistem pencernaan di usus halus (Hurrel et al. 1988). Pengaruh asam askorbat dalam meningkatkan penyerapan zat besi hanya terlihat jika dikonsumsi bersamaan dengan makanan. Setelah 4 sampai 6 jam mengkonsumsi makanan, pemberian asam askorbat tidak berpengaruh. Asam askorbat jika dikonsumsi bersama dengan makanan dapat memperkuat penyerapan zat besi sebanyak 3-6 kali. Asam askorbat yang telah mengalami oksidasi hampir tidak lagi mempunyai kemampuan memperkuat zat besi (Monsen 1988).

Williams (1995) menambahkan, MFP (Meat, Fish, Poultry) adalah faktor yang belum diketahui dengan pasti namun terbukti dapat meningkatkan absorbsi zat besi heme maupun non-heme. Penambahan sejumlah kecil MFP factor pada sayuran dan serealia terbukti meningkatkan zat besi non-heme. Menurut

(27)

Berdanier (1998), diperkirakan lisin, histidin, sistein, dan metionin adalah komponen protein yang memegang peranan dalam proses tersebut.

Puspitasari (2003) melakukan studi pengaruh pemasakan terhadap bioavailabilitas zat besi sayur santan daun bangun-bangun. Bioavailabilitas zat besi daun bangun-bangun yang dimasak, baik yang ditambahkan bumbu dan santan (3,41%) ataupun tidak (3,76%) memiliki bioavailabilitas lebih rendah dibandingkan dengan daun torbangun segar (6,61%). Menurut Puspitasari (2003), proses pemasakan relatif tidak berpengaruh signifikan (p>0.05) terhadap bioavailabilitas zat besi. Tingginya bioavailabilitas sayuran dalam bentuk segar atau mentah dikarenakan ketersediaan zat gizinya masih berada dalam jumlah maksimum dan belum terjadi interaksi antara komponen-komponen yang ada dalam sayuran tersebut. Selain itu faktor pendorong penyerapan zat besi pada daun bangun-bangun segar, dalam hal ini vitamin C, juga relatif lebih tinggi dibandingkan kelompok perlakuan karena belum banyak kehilangan akibat perlakuan.

Studi lain terkait bioavailabilitas zat besi dilakukan oleh Marliyati (1995), lebih tepatnya untuk melihat pengaruh pengeringan terhadap kadar senyawa antinutrisi yang mempengaruhi ketersediaan zat besi serta fortifikasi zat besi pada rempah-rempah. Terdapat 24 jenis rempah-rempah yang diteliti bioavailabilitasnya setelah masing-masing rempah-rempah difortifikasi fero sulfat dan fero furamat. Ketersediaan zat besi setelah difortifikasi fero sulfat dan fero furamat berturut-turut berada pada kisaran 2,37 - 22,89% dan 2,33 - 23,03%. Ketersediaan zat besi pada penelitian Marliyati (1995) relatif tinggi untuk bahan pangan nabati. Marliyati (1995) menduga hal ini disebabkan karena adanya mineral lain dalam bahan pangan yang terikat pada senyawa antinutrisi sehingga senyawa besi yang ditambahkan tidak membentuk kompleks (kelat) dengan senyawa antinutrisi dan terukur hampir seluruhnya. Pencampuran yang tidak sempurna antara senyawa besi dan tepung rempah-rempah juga diduga berperan menyebabkan senyawa besi berada dalam keadaan bebas sehingga bioavailabilitas zat besi yang terukur tinggi.

Whitney et al. (1998) mengkategorikan ketersediaan besi nonheme dalam makanan berdasarkan penyerapannya, yaitu (1) ketersediaan tinggi; jika besi nonheme diserap sebesar 8%, (2) ketersediaan sedang; jika besi nonheme diserap sebesar 5%, dan (3) ketersediaan rendah; jika besi nonheme hanya diserap sebesar 3%. Berdasarkan klasifikasi tersebut sebagian besar jenis

(28)

campuran tergolong ke dalam jenis makanan dengan nilai ketersediaan zat besi rendah, yaitu kurang dari 3%. Hanya cookies kontrol (5,95%) yang tidak ditambah minuman apapun tergolong memiliki ketersediaan zat besi sedang. Menurut Rolfes & Whitney (2008), zat besi nonheme umumnya memang memiliki bioavalilabilitas yang rendah karena adanya efek dari ligan-ligan penghambat baik secara langsung maupun tidak langsung. Bioavailabilitas zat besi yang tinggi umumnya terdapat pada daging, ikan dan unggas, sedang pada serealia dan kacang-kacangan memiliki kandungan zat besi sedang, adapun ketersediaan zat besi pada sayuran umumnya rendah, terutama pada sayuran yang mengandung oksalat dan fitat seperti pada bayam.

Analisis bioavailabilitas metode in vitro memiliki beberapa keterbatasan, antara lain adalah enzim yang digunakan hanya dua jenis, yakni pepsin dan pankreatin bile yang berfungsi untuk memecah protein sehingga kalsium yang terikat akan lepas dan dapat berdifusi ke dalam kantung dialisis. Pada pencernaan manusia yang sebenarnya, tidak hanya terdapat dua enzim, dimana aktivitas enzim yang berbeda akan menghasilkan tingkat bioavailabilitas yang berbeda pula. Adanya interaksi yang kompleks antar mineral-mineral, serat pangan, dan komponen lain dalam makanan juga menyebabkan keseimbangan mineral pada manusia sulit dipelajari secara in vitro (Wilson et al. 1979). Meskipun demikian metode ini dinilai lebih menguntungkan karena dapat dilakukan dengan cepat, praktis, dan lebih murah (Damayanthi & Rimbawan 2008). Metode in vitro juga memungkinkan pengontroloan kondisi secara tepat selama pengujian dan mengurangi keragaman yang terjadi dalam penentuan secara in vivo (Sudharma 1995).

Total Zat Besi Tersedia Campuran

Total zat besi tersedia menunjukkan jumlah zat besi yang dapat diserap oleh tubuh dan dipengaruhi oleh total zat besi serta bioavailabilitasnya. Total zat besi tersedia dihitung dengan cara mengalikan total zat besi campuran cookies + minuman dengan persen bioavailabilitasnya. Jika di dalam suatu bahan pangan kandungan total zat besinya tinggi namun bioavailabilitasnya rendah maka total zat besi tersedianya pun menjadi relatif lebih rendah. Total zat besi tersedia campuran disajikan pada Tabel 15.

(29)

Tabel 15 Rata-rata total zat besi tersedia campuran

Jenis kombinasi Total Fe Bio Fe Total Fe Tersedia Kontribusi AKG (mg/100g) (%) (mg/100g) 1 SZ (%)

Cookies kontrol 1,63 a 5,95 d 0,097 ab 0,232 0,89

Cookies kontrol + AMDK 4,38 c 2,12 ab 0,093 ab 0,223 0,86

Cookies kontrol + Susu 5,33 d 2,56 b 0,137 c 0,330 1,27

Cookies kontrol + Teh 4,21 bc 1,30 ab 0,056 a 0,134 0,52

Cookies kontrol + Kopi 4,93 d 1,94 ab 0,097 ab 0,232 0,89

Cookies PGT 3,76 b 3,77 c 0,142 c 0,340 1,31

Cookies PGT + AMDK 6,51 e 0,96 a 0,062 a 0,150 0,58

Cookies PGT + Susu 7,46 f 2,05 ab 0,153 c 0,368 1,41

Cookies PGT + Teh 6,35 e 0,91 a 0,058 a 0,139 0,54

Cookies PGT + Kopi 7,07 f 1,62 ab 0,114 ab 0,275 1,06

Ket : * Angka-angka yang diikuti huruf superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)

** n = 2

*** SZ = Serving Size

Berdasarkan Tabel 17 dapat dilihat bahwa total zat besi tersedia pada campuran berkisar antara 0,056 - 0,153 mg/100 g. Campuran yang memiliki total zat besi tersedia terendah adalah campuran cookies kontrol + teh. Adapun campuran yang memiliki total zat besi tersedia terbesar adalah campuran cookies PGT + susu. Campuran cookies PGT + susu memang memiliki persentase bioavailabilitas zat besi terendah, namun karena total zat besi campuran cookies PGT + susu lebih tinggi secara signifikan (p<0.05) dibandingkan jenis campuran lain, maka total zat besi tersedia campuran cookies PGT + susu dapat mencapai 0,153 mg/100g.

Hal ini menunjukkan total zat besi tersedia untuk dimanfaatkan tubuh tidak hanya bergatung pada bioavailabilitas pangan, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh total mineral pangan. Yeung & Laquarta (2003) menyebutkan total zat besi tersedia akan tetap tinggi seiring dengan peningkatan total zat besi. Penambahan tepung torbangun dapat dikatakan bermanfaat dalam meningkatkan total zat besi (maupun kalsium) cookies PGT. Kandungan zat besi cookies kontrol hanya 2.00 mg/100 g, sedangkan cookies PGT sebesar 4.26 mg/100g. Begitupun dengan konsumsi cookies PGT dengan susu, dapat meningkatkan total zat besi campuran. Kandungan zat besi susu mencapai 3,70 mg/100g, sehingga total zat besi campuran cookies PGT + susu mencapai 7,46 mg/100g.

Berdasarkan analisis sidik ragam (Lampiran 8) diketahui total zat besi tersedia dipengaruhi oleh jenis campuran secara signifikan (p<0.05). Uji lanjut Duncan (Lampiran 9F) juga memperlihatkan total zat besi campuran cookies

Gambar

Tabel 10 Kandungan gizi cookies kontrol dan cookies PGT
Gambar 8 Inkubasi sampel bioavailabilitas kalsium in vitro dalam penangas air  bergoyang (shaker water bath)
Tabel 13 Rata-rata total kalsium tersedia campuran
Gambar 10 Diagram batang rata-rata Bioavailabilitas zat besi campuran  Rata-rata  bioavailabilitas  zat  besi  berbagai  jenis  campuran  berkisar  antara 0,91 - 5,95%
+2

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dapat dikembangkan dengan memanfaatkan teknik SEO yang lebih advance untuk dapat meningkatkan sensitifitas mesin pencari terhadap kata kunci organic maupun non

penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, teknik pengambilan sampel pada umumnya dilakukan

a) Pemisahan tugas fungsi marketing dengan fungsi chasier dilakukan perusahaan sehingga dapat mengurangi risiko terjadi manipulasi, misalnya manipulasi terhadap

Manakala, Volker Kuester (2004) pula menjelaskan pembahagian dialog dalam dialog kehidupan dipecahkan kepada dua; minda dan hati. Seperti yang diungkapkan oleh Kuester, “ the

Lumut dengan propolis 5%, 10%, dan 15% w/v dapat memperpanjang umur simpan secara signifikan dibandingkan kontrol yang ditunjukkan dengan diperlambatnya kenaikan

Sehingga pada parsentase terbentuknya buah dapat diketahui pada Varietas Juliet yang dibudidayakan di luar rumah plastik (P6) memiliki nilai persentase tertinggi

Pada tahap ekstraksi kontur dilakukan analisis objek-objek dengan menggunakan rata-rata nilai keabuan objek dan warna pada tepi objek. Menurut Wang api memiliki panjang

Di Desa Kernang KTH yang rnernperoleh pembinaan baik oleh pendamping maupun penyuluh dengan intensitas yang tinggi ternyata lebih dinamis dan rnerniliki tingkat