• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. studi filsafat, (3) faktor penyebab eksistensi manusia mencegah kerusakan alam, dan (6) kebebasan manusia dan tanggung jawab.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. studi filsafat, (3) faktor penyebab eksistensi manusia mencegah kerusakan alam, dan (6) kebebasan manusia dan tanggung jawab."

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

10 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Bab II menguraikan mengenai kajian pustaka sebagai landasan dalam penelitian ini. Adapun uraian itu, (1) sastra dan karya sastra, (2) eksistensi dalam studi filsafat, (3) faktor penyebab eksistensi manusia mencegah kerusakan alam, (4) kesadaran manusia, (5) bentuk kebebasan manusia mencegah kerusakan alam, dan (6) kebebasan manusia dan tanggung jawab.

2.1 Sastra dan Karya Sastra

Kata sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sanskerta; akar kata sas-, dalam kata kerja turunan berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi. Akhiran -tra biasanya menunjukkan alat, sarana. Maka dari itu sastra dapat berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pengajaran (Teeuw, 1984:23). Gagasan tersebut selaras dengan pernyataan Wellek dan Warren bahwa istilah “sastra” paling tepat diterapkan pada seni sastra, yaitu sastra sebagai karya imajinatif. Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni (Wellek dan Warren, 2016:3).

Menurut Ricoeur (dalam Lathief, 2010:21), tulisan karya sastra memang mengambil jarak dari situasi dan kondisi nyata yang menjadi lingkungan produksinya. Sebagai tulisan, karya sastra tidak lagi mengacu pada pengarang dan pembaca serta situasi dan kondisi asalnya. Karya sastra, sebagai tulisan, mampu melampaui situasi dan kondisi tersebut untuk memasuki situasi dan kondisi yang hidup dalam ruang dan waktu yang berbeda dari situasi dan kondisi asal karya sastra tersebut (Faruk, 2012:48). Sedangkan pendapat lain menyatakan bahwa

(2)

karya sastra merupakan dokumen dan sebagai dokumen kekuatan yang telah menghasilkannya (Endraswara, 2013:30).

Karya sastra yang menjadi objek penelitian ini adalah novel. Sebuah novel merupakan sebuah totalitas, suatu kemenyeluruhan yang bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel memunyai bagian-bagian, unsur-unsur yang saling berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling menggantungkan. Jika novel dikatakan sebagai sebuah totalitas itu, unsur kata dan bahasa merupakan salah satu bagian dari totalitas itu, salah satu unsur pembangun cerita itu, salah satu subsistem organisme itu (Nurgiyantoro, 2013:29).

Adapun unsur-unsur pembangun dalam novel yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik (intrinsic) adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan suatu teks hadir sebagai teks sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur instrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita. Kepaduan antarberbagi unsur instrinsik inilah yang membuat sebuah novel berwujud. Atau sebaliknya, jika dilihat dari sudut kita pembaca, unsur-unsur (cerita) inilah yang akan dijumpai jika membaca sebuah novel. Unsur yang dimaksud, untuk menyebut sebagiannya saja misalnya, peristiwa, cerita, plot, penokohan, tema, latar, sudut pandang pencitraan, bahasa atau gaya bahasa, dan lain-lain (Nurgiyantoro, 2013:30).

Di pihak lain, unsur ekstrinsik (extrinsic) adalah unsur-unsur yang berada di luar teks sastra itu, tetapi secara tidak langsung memengaruhi bangun atau sistem organisme teks sastra. Atau, secara lebih khusus ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang memengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, namun sendiri

(3)

tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Sebagaimana halnya unsur instrinsik, unsur ekstrinsik juga terdiri dari sejumlah unsur. Unsur biografi pengarang akan turut menentukan corak karya yang dihasilkan. Unsur ekstrinsik berikutnya adalah psikologi, baik yang berupa psikologi pengarang (yang mencakup proses krestifnya), psikologi pembaca, maupun penerapan prinsip psikologi dalam karya. Keadaan di lingkungan pengarang seperti ekonomi, politik, dan sosial juga akan berpengaruh terhadap karya sastra, dan hal itu merupakan unsur ekstrinsik pula. Unsur ekstrinsik yang lain misalnya pandangan hidup suatu bangsa, berbagai karya seni yang lain, dan sebagainya (Nurgiyantoro, 2013:30-31).

2.2 Hubungan Filsafat dan Sastra

Sebelum melaksanakan penelitian berkaitan dengan filsafat dan sastra maka perlu memahami hakikat filsafat dan sastra itu sendiri supaya penelitian yang dilakukan dapat tercapai sesuai tujuan. Hakikat filsafat dan sastra adalah pencarian kebenaran kedua bidang itu agar dapat diraih secara definitif (Adraswaran, 2012:1). Pencapaian definitif merupakan bentuk kebenaran yang dapat melacak sebuah fenomena dari sudut pandang berbeda, baik sisi etimologi maupun epistemologi.

Filsafat sebagai suatu disiplin yang menghendaki kearifan melihat kebenaran dalam hidup mengharuskan manusia senantiasa bijak dalam bertindakan. Hal itu tidak jauh berbeda dalam sudut pandang sastra yang menjadi wahana untuk mengajarkan kearifan dan kebijaksanaan dalam hidup. Berdasarkan pengertian itu, maka dapat dikatakan bahwa konsep filsafat dan sastra jelas memiliki titik temu. Kedua disiplin tersebut sama-sama mengajarkan kearifan hidup yang diramu dalam tindakan kebijaksanan melihat problem sosial yang

(4)

sedang dan akan terjadi. Belajar sastra adalah mempelajari kebijaksanaan hidup secara estetis, sedangkan filsafat adalah ilmu yang menyajikan tentang kebenaran hidup (Edraswara, 2012:3).

Filsafat dan sastra sejatinya tidak dapat dipisahkan karena kedua ilmu itu sama-sama membicarakan manusia dan kondisi sosial sekitar. Karya sastra filsafati tentu membutuhkan perenungan dalam penciptaan. Itulah sebabnya, dapat dinyatakan bahwa keterkaitan antara filsafat dan sastra saling memberi bobot. Tugas peneliti sastra adalah menemukan bobot karya sastra itu. Oleh karena esensi filsafat sejajar dengan sastra, hendak menyajikan kebenaran hidup, maka baik sastra maupun filsafat sama-sama bermediakan manusia

2.3 Eksistensi dalam Studi Filsafat

Istilah eksistensi berasal dari kata existere (eks= keluar, sistere = ada atau berada). Dengan demikian eksistensi memiliki arti sebagai “sesuatu yang sanggup keluar dari keberadaannya” atau “sesuatu yang mampu melampaui dirinya sendiri”. Eksistensialisme tidak mencari esensi atau substansi yang ada dibalik penampakan manusia melainkan hendak mengungkap eksistensi manusia sebagaimana yang dialami oleh manusia itu sendiri (Abidin, 2006:33). Eksistensi mengandung pengertian ruang dan waktu. Eksistensi merupakan keadaan tertentu yang lebih khusus dari sesuatu, dalam arti bahwa, apapun yang bereksistensi tentu nyata ada tetapi tidak sebaliknya. Sesuatu hal dikatakan bereksistensi jika hal itu ialah sesuatu yang, menurut W.T. Stace, bersifat publik (Kattsoff, 1996:50).

Eksistensi memiliki segi necessitas dan segi hal kebetulan (onbepaaldheid en noodzakelijkheid). Ada hal yang tidak menentu karena kadang-kadang eksistensi ialah suatu permulaan baru, suatu permulaan yang tidak cukup

(5)

didasarkan kondisi-kondisi yang diketemui dan menjadi sendiri dasar bagi akibat-akibatnya (Brouwer 1988:60). Hal demikian selaras dengan yang dikemukakan oleh Sartre dalam buku Filsafat Eksistensialisme bahwa eksistensi itu sendiri merupakan hal yang kontingen. Bahwa eksistensi tidak mempunyai sebab melainkan ia menjadi penyebab dirinya sendiri dan menjadi tujuan yang tidak memiliki sebab boleh disebut kebetulan.

Eksistensialisme merupakan suatu upaya penanganan yang serius dan adil terhadap masalah-masalah yang begitu jauh diabaikan oleh filsafat. Filsafat barat tradisional telah memusatkan perhatian hampir secara eksklusif pada metafisika tentang “ada” esensi-esensi, rasionalitas manusia, dan dunia objektif eksternal,

serta melewatkan emosi-emosi manusia tentang makna hidup, penderitaan, dan kematian (Misiak, 1988:90). Berdasarkan pemahaman tersebut, bahwa kajian tentang eksistensi erat kaitannya dengan pengalaman hidup manusia, kehidupan manusia dalam memaknai fenomena yang terjadi.

Menurut Banusuru (2013:48) eksistensi merupakan suatu aliran filsafat yang lahir karena ketikpuasan beberapa filsuf yang memandang filsafat pada masa Yunani hingga modern, seperti protes terhadap rasionalisme Yunani, khususnya pandangan spekulatif tentang manusia. Pandangan filsafat tentang eksistensialisme tidak luput dari adanya gejala yang berpangkal pada manusia yang memiliki tanggung jawab dan kemauan yang bebas. Selain itu usaha mendeskripsikan manusia beserta pengalamannya menggunakan metode fenomelogi dilakukan oleh filsuf seperti Sartre, Heiddeger, dan lain-lain.

Eksistensialisme memandang manusia sebagai terbuka, artinya manusia adalah realita yang belum selesai yang masih harus dibentuk. Eksistensialisme

(6)

memberi tekanan pada pengalaman konkrit, pengalaman yang eksistensialisme. Namun arti pengalaman ini berbeda-beda, filsuf Jaspers mengartikan pengalaman hidup yang bermacam-macam seperti nasib, perjuangan, kematian, penderitaan, dan kesalahan (Dagun 2005:88). Eksistensi adalah label khusus yang hanya dikenakan kepada manusia. Dengan keluar dari diri manusia menemukan dirinya. Dia bukan obyek, dan bukan sekedar ada dan mengada, dia selalu keluar, muncul dari tidak sadar menjadi sadar. Muncul dari non “Aku” menjadi “Aku”. “Aku” yang sadar selalu menampilkan intensionalitas sebagai subyek yang mengarahkan kepada obyek (Muzairi, 2002:30). Oleh sebab itu eksistensi merupakan kondisi konkrit yang terjadi atas kesadaran manusia sebagai subjek kehidupan. Manusia satu-satunya yang memiliki eksistensi di dunia karena mampu menjawab keseluruhan pertanyaan dan tangkap terhadap fenomena yang terjadi.

2.4 Faktor Penyebab Eksistensi Manusia Mencegah Kerusakan Alam

Eksistensi manusia merupakan suatu eksistensi yang dipilih dalam kebebasan. Bereksistensi berarti bereksistensi dalam suatu perbuatan yang harus dilakukan tiap orang bagi dirinya sendiri. Artinya bereksistensi berani mengambil keputusan yang menentukan hidup (Sobur, 2013:177). Menurut Bakker (2000:22) bahwa eksistensi itu menunjukan cara-berada manusia yang khas, yang membedakannya dari semua ha yang lain. Hanya manusialah yang bereksistensi dengan keterbukaan hakiki bagi yang lain.

Eksistensi dalam pandangan Marleau-Ponty jauh lebih luas dan dalam, karena tidak hanya mengetahui diri yang sadar saja. Menurut Marleau-Ponty eksistensi itu ialah pemaknaan, hidup yang memberi arah, arti, dan makna tidak hanya di tingkat sadar tapi terutama di bidang yang tidak sadar, dan prasadar

(7)

(Brouwe, 1988:202-203). Sekalipun dari para eksistensialisme banyak yang berbeda pandangan satu yang menjadi hal mendasarnya yaitu pembahasan eksistensi merujuk kepada aspek ontologi yaitu membahas tentang ada.

Pandangan lain tentang eksistensi manusia, Kierkegaard juga menegaskan bahwa eksistensi manusia bukanlah suatu “ada” yang statis, melainkan “menjadi” yakni perpindahan dari “kemungkinan” kepada “kenyataan”. Perpindahan ini adalah suatu yang bebas, sebab pemilihan manusia. Artinya eksisitensi manusia merupakan eksistensi yang dipilih dalam kebebasan (Hadiwijoyo, 1992:124 dalam Haryati). Selaras dengan pandangan Lathief (2010:14) eksistensi hanya terdapat pada makhluk manusia yang sadar akan dirinya dan keberadaannya di alam semesta.

Penjelasan Muzairi dalam buku yang berjudul Eksistensialisme Jean Paul Sartre membedakan dua cara ada secara radikal. Sartre menghindari idealisme, melainkan langsung kepada ada yang hadir pada kenyataan. Oleh karena itu, ada di tengah-tengah dunia dalam dasar ontologi Sartre mempunyai dua bentuk yang sekaligus dibedakan secara radikal: “Being-for-itself” (entre-pour-soi), bisa juga ditulis dengan “for-itself” (pour-soi). Sedangkan untuk selanjutnya di sini hanya ditulis “For-itself” (pour-soi). Yang kedua; Being-in-itself” (entre-en-soi) yang selanjutnya akan ditulis “In-itself” (dalam Muzairi, 2002:111).

2.4.1 Being-For-Itself

Aliran filsafat Sartre, “for-itsef” adalah “Ada” yang berkesadaran. Itulah manusia yang berbeda dengan “Ada” yang tidak berkesadaran. Dia menghadapi realitas yang bukan dirinya, yang mampu mengatasinya. Prinsip dari “for-itself” adalah kemampuannya untuk bertanya dan menerima jawaban baik negatif

(8)

maupun positif. Kesadaran tampil terhadap obyek, dia menanyakannya dan yang ditanyakan itu tidaklah dirinya sendiri sebagai kesadaran. Oleh karena itu, kesadaran tidak pernah identik dengan dirinya sendiri (Muzairi, 2002:111-112).

Karena “fot-itself” selalu mengatasi “in-itself”, maka sebagai kesadaran, “manusia” dapat mengatur dan memilih serta memberikan makna dalam

kepadatan, serta memberikan bentuk tertentu sebagai dunia yang cocok bagi dirinya. “For-itself” sebagai manusia adalah seribu satu kemungkinan walaupun dia sendiri tidak pernah identik dengan kemungkinan-kemungkinan itu. Dia selalu mendahului dirinya, karena dia sadar, dan sadar itu tidak pernah identik dengan dirinya. Kesadaran bukanlah suatu ragam pengetahuan khusus yang mungkin dinamakan dengan suatu pengertian batin atau pengetahuan diri; ia adalah suatu dimensi yang mengatasi phenomena ada dalam subyek; “to be conscious of something is to be confronted with a concrete and full presence which is not consciousness,” (dalam Muzairi, 2002:113).

Menurut Sartre, struktur langsung dari “for-itself” adalah: (a) presence to self (penghadiran diri), (b) the facticity of the for-itself (faktisitas dari for-itself), (c) the itself and the being of value (itself dan adanya nilai), (d) the for-itself and the being possibility (for-for-itself dan adanya kemungkinan-kemungkinan), (e) the self and the circuit selfness (diri dan lingkungan kedirian) (dalam Muzairi, 2002:116). Artinya eksistensi manusia dapat dimaknai ketika manusia secara berkesadaran merepresentasikan lima aspek itu dalam perilaku merespon fenomena setiap nadir kehidupan.

(9)

a. Presence to self

Di dalam masalah ini, yang perlu diketahui, bahwa menurut pendapat Sartre, manusia dalam sadar diri, dia menjadi berjarak antara diri sebagai yang disadari dengan kesadarannya. Dan ini adalah merupakan struktur langsung dari “for-itself” sebagai penghadiran diri. Oleh karena itu, kesadaran tidak pernah identik dengan dirinya sendiri. Maka dalam pandangan Sartre “diri” bukanlah merupakan sesuatu yang terdekat dengan manusia itu sendiri.

Pendapat Sartre tersebut berpangkal dari pengertian bahwa manusia jika sadar diri akan berjarak sehingga tidak bisa dekat dengan dirinya sendiri. Diri tidak dapat didekati dengan cara lain kecuali dengan refleksi, dan ini seperti menghadapi hal lain dari dia. Seseorang dapat mengatakan kursi adalah kursi, akan tetapi “for-itself” tidak dapat mengatakan “Aku” adalah “Aku”, akan tetapi kesadaran tentang diriku, ini merupakan tindakan reflektif, dan sekaligus penghadiran diri (dalam Muzairi, 2002:116-117).

b. Facticity of the for-itself

Sebagai ada yang berkesadaran, “for-itself” mengahadapi suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari yaitu faktisitas. Pengertian faktisitas adalah “the for-it-self necessary conection with the in-for-it-self, hence with the world and its own past”. Jadi keharusan bagi “for-itself” yang tidak bisa lepas dari dunia serta temporalitas. Sedangkan “for-itself” tidak bisa juga lepas dari kebebasannya, dan itulah yang dinamakan faktisitas kebebasan. Seseorang bisa menentukan menjadi pejuang, atau dokter, atau ahli hukum, dengan kebebasan memilih. Akan tetapi faktisitas tidak dapat mengkonstitusikan seseorang sebagai “for-itself” menjadi pejuang, dokter, atau ahkli hukum (Muzairi, 2002:117-118).

(10)

c. The for-itself and the being of value

Pengertian nilai di sini adalah bukan dari instansi yang ada di luar manusia yang dianggap normatif serta menentukan tingkah laku manusia sebagai ”the for-itself”. Akan tetapi menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk kekurangan dengan adanya keinginannya. Dia bukan pertama kali muncul lalu dikuti dengan kekurangan itu; kenyataannya begitu ada dia tidaklah sempurna. Karenanya “for-itself” selalu ingin mengatasi kekurangannya dengan tidak menyadarkan pada instansi yang transenden. Dia membuat nilai bagi dirinya sendiri (Muzairi, 2002:118).

d. The for-itself and the being possibility

Kenyataan yang ada bahwa kemungkinan-kemungkinan itu muncul di dunia hanya melalui ada yang mempunyai kemungkinan-kemungkinan. Hal tersebut tentu dihubungkan dengan “for-itself”. Sebab dia adalah yang mempunyai potensi itu. Berlainan dengan “in-selft” dengan kodratnya, dia adalah “what is”, atau “is”, sehingga kemungkinan itu sendiri tidak dapat masuk ke dalamnya. Jadi kemungkinan yang dimiliki oleh “for-itself” adalah dalam rencananya terhadap apa-apa yang telah dipilihnya. Dia mempunyai berbagai kemungkinan, dia tidak identik dengan kemungkinan itu. Meski dia mempunyai berbagai kemungkinan, suatu yang tidak mungkin adalah menangkap diri menjadi satu dengan itself” dalam waktu yang bersamaan. Suatu rencana dari “for-itself” untuk memakan roti adalah mungkin, akan tetapi kesadaran tentang makan tidak bersatu dengan dirinya (Muzairi, 2002:119-120).

(11)

e. The self and the circuit selfness

Tidak ada ciri yang lebih khas dan manusiawi serta tunggal dari pada kesadaran diri manusia, sebagai kedirian yang unik. Karena itu diri dan kedirian hanya terdapat pada “for-itself” yang berbeda dengan “in-itself” dari segala segi. Hal tersebut dapat dimengerti jika pengertian „in-itself” adalah “is” dalam filsafat Sartre yang berarti dia selalu identik dengan dirinya sendiri. Karena itu menurut Sartre dalam masalah diri dan kedirian sebagai struktur “for-itself”, dikonkretkan menjadi pertautan dengan dunia. Oleh sebab itu dunia dipandang sebagai ada totalitas yang terdiri dari lingkungan kedirian, tentu saja hanya “for-itself” yang mengatasi terhadap dirinya sendiri dengan kemungkinan-kemungkinannya. Kemungkinan itu adalah “for-itself” seperti menghadirkan “in-itself” di mana kesadarannya terarah kepadanya. Dan bagaimana manusia menghadapi dunia adalah kesatuan manusia sebagai “for-itself”, yaitu “Aku”, kesadaran tentang dunia, dan dunia ini direfleksikan (Muzairi, 2002:120-121).

2.4.2 Being-In-Itself

Sebagaimana telah disebutkan terdahulu bahwa Sartre, sebagai penganut ontologi, membedakan secara radikal tentang “ada”. Pertama, telah disebutkan: “for-itself” atau “Ada” yang berkesadaran yaitu manusia. Sedangkan yang kedua, yaitu “in-itself”, yakni “Ada” yang tidak berkesadaran, atau “non-conscious being”. Dalam ontologi Sartre, “for-itself” bukan hanya ada atau berada di dunia ini, akan tetapi “sadar akan adanya di dunia ini” (conscious-being-in-tha-world) (dalam Muzairi, 2002-122).

Manusia memiliki kesadaran atas kondisi yang dialami di tengah-tengah dunia ini, dan “for-itself” mendapatkan ada yang berkesadaran. Sedangkan kursi,

(12)

meja, kayu, batu, dan benda-benda material lainnya adalah ada yang tidak berkesadaran; mereka telah ditentukan essensinya dan beradanya, dan itulah “in-itself”. “In-itself” adalah ada diri yang konsisten, sebagaimana Sartre menyebutnya: “The self-concistency of being is beyond the active as it is beyond the passive”. Begitu sempurna dan padatnya sehingga ketiadaan (nothingness) tidak bisa masuk ke dalamnya. Sehingga adanya memang tanpa dasar atau alasan apapun (dalam Muzairi, 2002-122).

Makna dari In-itself merupakan suatu imanensi yang tidak dapat merealisasikan dirinya sendiri, dia tidak pernah dipisahkan dengan dirinya sendiri baik dalam refleksi maupun temporalitas, oleh karena itu disebut dengan “ada dalam dirinya sendiri” (in-itself). Di samping ada dalam dirinya sendiri, dia adalah gelap bagi dirinya sendiri dan penuh dengan dirinya sendiri. Secara sederhana, “in-itself” adalah ada atau masih, artinya tidak ada hubungan keluar; bagaimana dia akan mengadakan hubungan keluar sedangkan dia tidak berkesadaran; dia bukanlah afirmatif maupun negatif (Muzairi, 2002:122-123).

2.5 Kesadaran Manusia

Kesadaran terhadap diri sendiri merupakan suatu konsep yang harus dipahami oleh individu karena dengan itu dia akan menyadari perannya sebagai manusia yang memiliki eksistensi. Selaras dengan pandangan Koeswara (1987:31) bahwa kesadaran diri sebagai kapasitas yang memungkinkan manusia mampu mengamati dirinya sendiri maupun membedakan dirinya dari dunia (orang lain), serta kapasitas yang memungkinkan manusia mampu menempatkan diri dalam waktu (masa kini, masa lampau, dan masa depan). Mampu menempatkan

(13)

diri dalam waktu, artinya manusia bisa belajar dari pengalaman masa lampau untuk melakukan suatu tindakan masa kini menuju masa depan.

Kesadaran diri memungkinkan manusia mampu menciptakan dan menggunakan simbol, khususnya bahasa yang begitu penting bagi komunikasi dengan sesama maupun dari pengenalan maupun pemahaman dunia dengan berbagai aspeknya (Koeswara 1987:31). Melalui kesadaran ini manusia mampu menempatkan diri dalam dunia batin sehingga manusia dapat membayangkan apa yang dirasakan oleh orang lain. Dunia batin merupakan dasar bagi kemampuan-kemampuan dunia lain yaitu kemampuan-kemampuan memberi cinta terhadap sesama, kemampuan memiliki kepekaan etis, kemampuan untuk menegakkan kebenaran, kemampuan menciptakan keindahan, serta kemampuan memotivasi diri sendiri atas ide-ide yang muncul.

Manusia menjadikan dirinya manusia ketika dia menyadari sebagai pour-soi. Dan secara penuh, pour-soi merealisasikan dirinya di tengah pilihan-pilihan kontingen, yang dia lakukan setiap saat sesuai dengan pilihannya sendiri (Wibowo, 2011:32). Karena demikian manusia ditentukan oleh keadaan dan situasinya masing-masing. Sebab kesadaran manusia atau individu tidak mungkin disamakan dengan kesadaran orang lain atau individu yang lain. Berangkat dari pemahaman tersebut bahwa struktur kesadaran manusia dalam hubungannya dengan cara berada di dunia itu berbeda.

Lebih lanjut Abidin (2006:198) menjelaskan bahwa kesadaran pra-reflektif adalah kesadaran yang langsung terarah pada objek perhatian (baik objek dalam kehidupan sehari-hari maupun objek dalam pemikiran atau penelitian), tanpa disadari berusaha untuk merefleksikannya. Misalnya ketika membaca buku,

(14)

kesadaran yang dialami tidak terarah pada perbuatan pembaca melainkan pada isi buku. Adapun kesadaran reflektif adalah kesadaran yang membuat kesadaran pra-reflektif menjadi tematik. Dapat dipahami bahwa kesadaran membuat kesadaran yang-tidak-disadari menjadi kesadaran yang disadari. Sedangkan kesadaran reflektif adalah kesadaran yang membuat kesadaran pra-reflektif menjadi tematik, atau dengan perkataan lain: kesadaran yang membuat kesadaran yang tidak-disadari menjadi “kesadaran yang-tidak-disadari”. Dalam refleksi (kesadaran reflektif) kesadaran saya tidak lagi terarah pada buku yang tadi saya baca, melainkan pada perbuatan saya ketika tadi saya membaca buku (kesadaran yang tidak-disadari).

Sartre menjelaskan (dalam Dagum 1990:104) biasanya kesadaran kita bukanlah kesadaran „akan‟ dirinya melainkan kesadaran diri (tanpa kata akan). Jikalau kita secara reflektif menginsyafi cara kita mengarahkan diri kepada objek misalnya melihat suatu objek, kesadaran kita diberi bentuk kesadaran akan diri. Kata „akan‟ memberikan indikasi tematis dan nontematis. Karena itu ada perbedaan antara kesadaran akan sesuatu dengan kesadaran (akan) diri. Pada waktu melihat, mendengar, kesadaran kita diberi bentuk cousciensice de soi (kesadaran akan diri).

Kesadaran menurut Jacob Needleman adalah sesuatu yang dia tuju sendiri, dia adalah sesuatu-yang-keluar-menuju-kepada-sesuatu-yang-lain. Kesadaran itu merupakan suatu proses, suatu intensionalitas kejiwaan atau mentalitas yang terarah. Karena itu dalam suatu proses kesadaran selalu hadir dua aspek: yaitu yang-menyadari dan yang-disadari. Kesadaran adalah sesuatu-yang-menyadari-sesuatu-yang-disadari (sengaja menggunakan tanda penghubung untuk mengacu unitas makna kalimat yang ada (Lathief, 2010:9-10). Di lain sisi

(15)

kesadaran juga berarti menyadari sesuatu, sesuatu yang berada di luar dirinya atau sesuatu yang berada dalam dirinya, sesuatu sebagai subjek atau obyek (Lathief, 2010:13).

2.6 Bentuk Kebebasan Manusia Mencegah Kerusakan Alam

Kebebasan merupakan nilai yang melekat dalam diri manusia yang paling utama dijalankan sebagai pemenuhan hidup. Dalam kehidupan manusia di dunia, dibenturkan dengan kebebasan yang masing-masing dimiliki setiap manusia dan sama mengakui kebebasan manusia lain. Hal demikian selaras dengan pandangan Sartre bahwa kebebasan yang sejati adalah suatu anugerah, bukan suatu ketentuan; kebebasan yang sejati merupakan pengakuan akan kebebasan orang lain (Wibowo, 2011:82).

Sartre menempatkan kebebasan sebagai tema sentra dalam teorinya mengenai sastra. Kebebasan manusia adalah kesadaran bahwa dirinya adalah subjek yang membedakan dirinya dari objek. Tatapan manusia mengobjekkan apapun yang dipandangnya. Kebebabasan manusia menciptakan dunia. Pada dasarnya manusia ingin menjadi subjek tunggal atas dunia ini, akan tetapi ia menemukan manusia lain yang ingin menjadi subjek. Karena itu dihadapan yang lain aku adalah objek. Manusia hidup dalam kecemasan antara menghidupi kutuk kebebasan (berarti menjadi etre-pour-soi) atau menolak untuk menghidupi kebebasan (menjadi etre-en-soi) (dalam Wibowo, 2011:94).

2.6.1 Kebebasan Manusia dalam Faktisitas

Hanya manusia yang mampu menemukan dirinya dan bertindak bebas atas kehendak dalam kehidupan di dunia. Hal itu senada dengan yang disampaikan Muzairi (2002:152) bahwa manusia adalah kehadiran di dunia, dia mengada di

(16)

tengah-tengah dunia dan di sana dia selalu “terbuka baginya”, terserah kepada yang lain dan selalu dalam dimensi ruang dan waktu. Dia hanya menemukan sesuatu yang menampakkan diri kepadanya, disebut dengan “kenyataan”, yang tidak dapat dihindari. Kenyataan yang tak dapat dihindari itulah yang disebut oleh Sartre dengan Faktisitas.

Faktisitas sebagai struktur “for-itself” diartikan oleh Sartre sebagai “The for-itself necessary conection with the in-self”. Dalam hubungan ini, ada beberapa faktisitas yang tidak dapat ditiadakan akan tetapi bisa melupakan sejenak, memanipulasi, dan mengolahnya. Diantaranya yang tercantum dalam karyanya Being and Nothingness sebagai berikut: (a) place (tempat di mana orang tinggal), (b) past (masa lampau) (c) environtment (lingkungan), (d) fellowmen (di sini tidak termasuk hubungan antarmanusia, dan adanya manusia masing-masing dengan eksistensinya), (e) death (maut) (Muzairi, 2002:153).

2.6.2 Kebebasan Manusia dan Hubungan Antarmanusia

Interaksi individu dengan individu yang lain ditandai dengan adanya suatu konflik yang muncul. Sebagaimana dalam karya Sartre yang berjudul L‟etre et le neant ajarannya tentang relasi antarmanusia pada khususnya. Di situ dikatakan bahwa relasi antarmanusia diasalkan dari konflik atau situasi konflik. Inti setiap relasi antarmanusia adalah konflik (dalam Wibowo, 2011:74). Ada keterkaitan erat kesadaran yang dimiliki manusia terhadap konflik yang menjadi sumber relasi antarmanusia. Ciri khas dari kesadaran manusia adalah menindak, dan itulah yang menyebabkan konflik.

Sarana terpenting dari sebuah konflik adalah tatapan atau sorotan mata. Tatapan atau sorotan mata dapat diartikan secara luas. Tatapan atau sorotan mata

(17)

orang lain dianggap menjadi sebuah ancaman, yang dapat menjadikan aku sebagai objek. Sartre kemudian memandang relasi antarmanusia adalah sebuah perseteruan (Abidin, 2003:196). Menurut Kierkegaard setiap individu pada dasarnya harus mempunyai keterlibatan dan komitmen tertentu pada setiap peristiwa yang dilihat atau dialaminya, sehingga dia tidak bisa hanya berperan sebagai pengamat obyektif, melainkan seorang aktor yang berperan aktif dalam setiap apa yang dilihat atau dialaminya itu (Abidin, 2003:130).

Bagi Sartre, masalah hubungan antarmanusia dan peranan ketubuhan seseorang memainkan peranan penting, karena manusia sebagai eksistensi, disamping kesadaran, juga ditandai dengan ketubuhannya. Sehingga penampilan secara keseluruhan merupakan hal yang diamati, “Aku” yang bertubuh ini diarah oleh segala sesuatu, sehingga dibawah pengamatan orang lain, “aku kehilangan kebebasanku”. Pada hal manusia tidak bisa bereksistensi tanpa ketubuhan, itulah dimensi ontologi ketubuhan. Dan dengan tubuh menandakan dia bereksistensi dalam dimensi ruang dan waktu (dalam Muzairi, 2002:167).

Beberapa bentuk relasi wujud antaramanusia di antaranya yaitu indifference (sikap acuh tak acuh), love (sikap cinta), hate (sikap benci), sexuality (hubungan seksual). Dari uraian-uraian tersebut di atas, tampak jelas pandangan Sartre mengenai hubungan antarmanusia sangat berpihak. Di mana gerak eksistensi timbal balik saling mengisi satu sama lainnya, dalam arti yang positif (dalam Muzairi, 2002:180).

2.7 Kebebasan Manusia dan Tanggung Jawab

Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang memiliki akal sebagai media berpikir. Karena itu kemerdekaan manusia merupakan hak asasi yang

(18)

utama dan paling utama. Eksistensi yang diartikan sebagai suatu keberadaan individu harus ditentukan dengan bebas dan merdeka. Oleh sebab itu Dagun (1990:107) menegaskan bahwa kebebasan manusia itu tampak dalam rasa cemas. Maksudnya adalah konsekuensi logis dari setiap perbuatan yang dilakukan akan kembali kepada diri sendiri untuk mempertanggungjawabkan sesuai yang telah dilakukan. Itulah yang menimbulkan kecemasan dalam diri manusia. Kebebasan adalah diri manusia yang tidak ditentukan, yang tidak diembel-embeli apapun (Wibowo, 2011:29-30).

Menurut Koeswara, (1987:14) kebebasan adalah konsep yang memberi aroma kuat pada eksistensialisme, sebab menjadi ciri esensial dari manusia. Karena itu di saat manusia diberi kebebasan maka di saat yang bersamaan ia menerima tanggung jawab yang selalu dipikul. Menurut Sartre, manusia tiada lain merupakan bagaimana ia menjadikan dirinya sendiri. Manusia tiada lain ialah rencananya sendiri, ia mengada hanya sejauh ia memenuhi dirinya sendiri, oleh karenanya ia adalah kumpulan tindakannya, ialah hidupnya sendiri. Hal ini berarti bahwa manusia bertanggung jawab terhadap dirinya sendri. Apa pun jadinya eksistensinya, apa pun makna yang hendak diberikan kepada eksistensinya itu tidak lain adalah dirinya sendiri yang bertanggung jawab menurut Hassan (dalam Zulfa, 2015:24).

Menurut Al-Kindi, jiwa manusia terbagi menjadi tiga bagian, yaitu jiwa Syahwat, jiwa emosional, dan jiwa rasional. Jiwa-jiwa itu akan tetap kekal meski raga telah hancur. Bahwa Al-Farabi juga menegaskan bahwa manusia terdiri dari badan dan jiwa. Manusia dikatakan sempurna bila menjadi makhluk yang bertindak (dalam Hambali dan Asiah, 2011). Bila seorang individu mengambil

(19)

keputusan untuk melakukan suatu kebebasan, maka akan ada tanggung jawab sebab memilih bebas selalu mengandung konsekuensi tersendiri. Para eksistensialis melihat kebebasan selalu berkaitan dengan tanggung jawab dalam membuat keputusan (dituntut tanggung jawab) atas segala keputusan dan tindakan-tindakan yang dilakukan dalam membentuk kehidupan atau keberadaan dirinya (Koeswara, 1987:14). Oleh sebab itu tanggung jawab dan kebebasan seperti dua sisi mata uang yang tak boleh dipisahkan yang saling memiliki keterkaitan satu dengan yang lain.

Sebagaimana sudah dijelaskan di awal bahwa kebebasan dan tanggung jawab adalah dua istilah yang selalu terkait dan menyertai satu dan yang lain. Bila ada kebebasan maka ada tanggung jawab. Karena demikian, mencoba menempatkan kebebasan dan tanggung jawab pada ranah terpisah ialah abstraksi yang tak dapat dibenarkan. Seperti yang dikemukakan Muzairi (2001:181) justru kebebasan itu akan bermakna dengan tampilnya tanggung jawab yang menyertainya dalam setiap tindakan manusia dan pilihannya yang diputuskan.

Adapun yang dimaksud dengan tanggung jawab di sini, menurut Sartre, “For-itself” tidak dapat menghindari suatu kekuasaan dari tindakan atau obyek. Karena dalam pandangan Sartre; “man defines himself by his acts”, bahwa suatu tindakan bagi diri sendiri tak dapat dielakkan. Apa yang dilakukan dengan tindakan berdasarkan kebebasannya, dia sendiri yang bertanggung jawab. Manusia sebagai kebebasan, maka dia bukan akibat dari situasi lingkungan atau sekedar nasibnya. Dia adalah yang unik dan subyektif. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang tidak ditentukan esensinya lebih dahulu, ini berarti ada yang tidak bereksistensi (dalam Muzairi, 2002:182-183). Manusia tidak dapat

(20)

terlepas dari tanggung jawab atas kehendak bebas karena syarat hakiki sebagai manusia ialah kebebasan yang melekat dalam diri dan telah ada ketika manusia dilahirkan.

Referensi

Dokumen terkait

“Dialah yang menghidupkan dan mematikan, maka apabila Dia menetapkan sesuatu urusan, Dia hanya berkata kepadanya: “Jadilah”, maka jadilah ia.” (Q.S. Ada yang disebabkan

Fakultas Tarbiyah dan Kependidikan merupakan lembaga akademis yang dikembangkan dari Jurusan Tarbiyah dengan beberapa program studi yang lebih dimantapkan. Arti penting

Begitu juga dengan takaran bubuk gypsum yang sama, semakin sedikit air yang digunakan untuk memanipulasi maka akan semakin cepat semakin sedikit air yang digunakan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui; 1) Bentuk pola asuh yang diterapkan orangtua perantau terhadap anak dan 2) Dampak pola asuh yang diterapkan orangtua perantau

Di bidang fiqih, dalam dalam bentuk risalah maupun fatwa, Syekh Arsyad menulis Kita>b Nika>h, berisi tentang fiqih pernikahan berdasarkan madzah Syafi’i,

Akuntabilitas, dari konsistensi antara tugas dan fungsi masing-masing seksi dengan kegiatan yang dilaksanakan oleh Kantor Kecamatan Seberang Ulu II Kota Palembang

Dari uraian tersebut di atas dapat diperoleh kejelasan, bahwa padi hibrida unggul, dapat membantu peningkatan hasil gabah di tingkat petani pada tanah berpengairan teknis..

Rekomendasi Rincian Kewenangan klinis untuk dokter dalam menjalankan prosedur tindakan medis di Rumah Sakit Umum Aulia diberikan dalam rangka peningkatan kualitas