• Tidak ada hasil yang ditemukan

ARBITRASE Jilid I IAH AGUNG RI. oleh : Ny. S.U.T. Girsang, SH.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ARBITRASE Jilid I IAH AGUNG RI. oleh : Ny. S.U.T. Girsang, SH."

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)

ARBITRASE

Jilid I

oleh :

Ny. S.U.T. Girsang, SH.

IAH AGUNG RI

1.52

Mahkamah Agung - RI

1992

(2)

ARBITRASE

M i I i k

Perpustakaan

Mahkamah Agung - RJ

Jilid I

oleh :

Ny. S.U.T. Girsang, SH.

*

Mahkamah Agung - RI

(3)

Tanggal

No.

Induk

No. Kias

,

Beli/Hadiah ;

5 V / . O .C'

t

- 4

...- ... \

(4)

KATA PENGANTAR

Buku yang secara lengkap membahas Lembaga Arbitrase ini, dapat diselesaikan berkat usaha dan jerih payah penulis, yang telah menulis dan menyelesaikan buku tersebut dalam rangka keijasama antara Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan Pemerintah Belanda.

Usaha penulisan buku-buku yang bermutu dan berguna bagi para pembacanya, khususnya para Hakim, selalu akan dipupuk dan di­ tingkatkan, agar benar-benar mencapai tujuannya, yaitu membantu para Hakim dalam menegakkan Hukum dan Keadilan.

Saya berharap, bahwa buku ini akan bermanfaat bagi kalangan praktisi dan rekan-rekan Hakim dalam mengemban tugas mereka di kemudian hari.

Akhir kata saya ucapkan terima kasih kepada penulis dan semua pihak yang telah membantu penerbitan buku ini.

Jakarta, 24 Agustus 1992 Litbang Diklat Mahkamah Agung - RI.

(5)
(6)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR... iii BAB I : ARBITRASE DI INDONESIA... 1

BAB II : PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE

NEGARA ASING DI INDONESIA ... .... 13 LAMPIRAN :

1. Peraturan Hukum Acara Perdata (RV) Buku Ketiga, Bab Pertama, Pasal 615 — 651 31 2. The 1958 New York C on v en tio n ... 42 3. KEPPRES No. 34 Tahun 1981 Beserta

Lampirannya ... 51 4. Undang-undang No. 5 Tahun 1968, Ten­

tang Persetujuan atas Konvensi Tentang Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal Beserta Penjelasannya ... 54 5. PERMA No. 1 Tahun 1990 ... 60 6. Beberapa Yurisprudensi :

a. Ahju Forestry melawan Sutomo/Direktur PT. Balapan Jaya Reg. No. 2924 K/Sip/

1981... 65 b. PT. Arpeni Pratama Ocean Line mela­

wan PT. Shorea Mas Reg. No. 3179 K/ Pdt/1984... 73 c. Dato Wong Heck Guong dan PT. Me­

tropolitan Timbers Ltd. melawan Gapki Trading Co Ltd. PT. Reg. No. 225 K/ Sip/1976... 83 d. Indonesian Cotton Trading Co Ltd. me­

lawan Firma Rayun Reg. No. 1/1959 Pem.Put.Wst... 101 e. PT. Multi Plaza Properties melawan

Yahya Wijaya Reg. No. 1 Banding/ Wasit/1981... 105

(7)

f. PT. Bakrie & Brothers melawan Trading Corporation of Pakistan Limited, Reg. No. 64/Pdt/G/1984/PN. Jk t. Sel... 110 g. Navigation Maritime Bulgare melawan

PT. Nizwar Penetapan PN. Jakarta Selatan No. 2288/1979 P... 123

(8)

BAB I

ARBITRASE DI INDONESIA

Dasar hukum berlakunya arbitrase

a. Seperti kita ketahui pasal 377 HIR (pasal 705 RBG) menye­ butkan: ’’Jika orang Indonesia dan orang Timur Asing meng­ hendaki perselisihan mereka diputus oleh Juru pisah (arbiter) maka wajib memenuhi peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa.

Peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa yang dimaksud adalah sebagaimana yang diatur dalam Reg- lement o f de Burgerlijke Rechtsvordering (disingkat RV) dalam sbl 1847-52 jo sbl 1849-63.

Peraturan arbitrase dalam RV ini dimuat dalam Buku Ketiga Bab Pertama, Pasal 615-651 yang meliputi:

— Persetujuan arbitrase dan

pengangkatan para arbiter (pasal 615-623) — Pemeriksaan dimuka arbitrase (pasal 624-630)

— Putusan arbitrase (pasal 631-647)

— Upaya-upaya terhadap putus- (pasal 641-647) an arbitrase

— Berakhirnya acara arbitrase (pasal 648-651)

Dengan demikian berdasarkan pasal II, Aturan Peralihan Un­ dang-Undang Dasar 1945 jo pasal 377 HIR, maka peraturan yang diatur dalam RV masih tetap berlaku bagi pemeriksa­ an perkara arbitrase di Indonesia.

b. Juga dapat kita lihat dalam memori penjelasan pasal 3 (1) Undang-undang No. 14/1970, diuraikan: ’’Penyelesaian per­ kara diluar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase) tetap dibolehkan.”

c. Undang-undang No. 1/1950, tentang susunan kekuasaan dan jalannya pengadilan Mahkamah Agung RI, dalam pasal 15 juga mengatur tentang arbitrase, selain kekuasaan pengadilan dalam tingkat kedua sebagai yang termuat dalam konstitusi, Mah­ kamah Agung RI juga memutus dalam tingkat kedua atas putus­

(9)

an-putusan wasit yang ternyata mengenai nilai harga Rp. 25.000,— atau lebih.

Dalam Undang-undang No. 14/1985, tentang Mahkamah Agung RI tidak mengatur arbitrase, akan tetapi hal ini tidak berarti sejak berlakunya Undang-undang No. 14/1985, Mahkamah Agung RI tidak berwenang untuk memeriksa perkara arbitrase, karena sesuai dengan pasal 80 Undang-undang No. 14/1985, yang memuat ketentuan peralihan yang menentukan bahwa semua peraturan pelaksanaan yang telah ada mengenai Mah­ kamah Agung RI, dinyatakan tetap berlaku selama ketentuan yang baru berdasarkan Undang-undang ini, belum dikeluar­ kan dan sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.

Persetujuan arbitrase menurut RV

Menurut RV dasar pertama untuk sesuatu arbitrase adalah apa yang dinamakan persetujuan arbitrase, yaitu persetujuan antara 2 orang/pihak yang terlibat dalam suatu sengketa untuk mengajukan sengketa itu kepada pemutusan seorang arbiter/ para arbiter.

Ada 2 (dua) cara untuk menyerahkan penyelesaian sengketa pada arbitrase:

a. Pihak-pihak dapat mengikatkan diri satu sama lain untuk menyerahkan penyelesaian sengketa yang mungkin timbul dikemudian hari pada arbitrase (pasal 615 ayat 3 RV). Per­ janjian yang berisikan clausule demikian dinamakan pactum

de compromittendo.

b. Dengan membuat perjanjian tersendiri (tertulis) yang berisi­ kan persetujuan untuk menyerahkan sengketa yang telah ada pada arbitrase (pasal 618 RV)

Mahkamah Agung RI, dalam putusannya tertanggal 22 Pebruari 1982, dalam perkara Ahju Forestry Company Limited, me­ nyatakan bahwa dalam hal adanya clausula arbitrase, Pengadil­ an Negeri tidak berkuasa mengadili perkara itu. Ahju Forestry Company Limited yang berkedudukan di Korea dan memilih domisili dikantor salah seorang pengacara di Jakarta, digugat oleh mitra usahanya di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Penga­ dilan menerima dan mengabulkan gugatan penggugat,

(10)

meski-pun tergugat, Ahju Forestry Company Limited mengajukan eksepsi perihal adanya klausula arbitrase dalam Basic Agreement for Joint Venture yang telah ditutup antara penggugat dan ter­ gugat. Ditingkat banding putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta. Ditingkat kasasi putusan ini dibatalkan oleh Mahkamah Agung RI.

Keberatan pemohon kasasi yang menyatakan bahwa ketentuan mengenai dewan arbitrase sebagaimana disebutkan dalam Basic Agreement for Joint Venture telah mengikat para pihak sebagai undang-undang (pasal 1338 BW) dan karenanya putusan judex faxti telah bertentangan dengan pasal 615 RV, dibenarkan. Mah­ kamah Agung RI, membatalkan putusan judex facti dan me­ nyatakan Pengadilan Negeri tidak berkuasa mengadili perkara itu.

Begitu juga dalam putusannya antara PT. Arpeni Pratama Ocean Line melawan PT. Shorea Mas, maupun dalam perkara antara Dato Wong Heck Guang dan PT. Metropolitan Timber Ltd me­ lawan Gapki Trading Co Ltd, Mahkamah Agung RI berpendi­ rian sama yaitu bahwa dalam hal ada klausula arbitrase Pengadilan Negeri tidak berwenang memeriksa dan mengadili gugatan baik dalam konvensi maupun dalam rekonvensi. Bahkan Mahkamah Agung RI dalam pertimbangan putusan itu juga menyatakan bahwa melepaskan klausula arbitrase harus dilakukan secara tegas dengan suatu perjanjian persetujuan yang ditanda-tangani oleh kedua belah pihak. Hal ini ditambahkan berhubung adanya pendapat Majelis Hakim ditingkat pertama yang menyatakan bahwa ’’penggugat ternyata telah menggunakan haknya untuk menggugat tergugat dihadapan Pengadilan Negeri dan melepas­ kan haknya untuk menyelesaikan sengketa ini dengan arbitrase” , tanpa merinci bagaimana dan dengan cara apa klausula arbitrase tersebut dilepaskan.

3. Bentuk-bentuk klausula arbitrase a. Pactum de Compromittendo

Pactum de Compromittendo merujuk pada pasal 615 ayat 3 RV, dimana pihak-pihak dapat mengikatkan diri satu sama lain untuk menyerahkan persengketaan yang mungkin timbul dikemudian hari kepada seorang atau beberapa orang arbiter. Jadi sejak semula para pihak telah membuat peijanjian bahwa yang akan memeriksa dan memutus sengketa yang mungkin

(11)

timbul dikemudian hari adalah Arbitrase bukan pengadilan. Menurut pasal 615 ayat 3 RV tidak ditentukan apakah pactum de compromittendo harus secara tertulis tetapi dalam prak­ tek pactum de compromittendo umumnya dibuat secara ter­ tulis dan klausulanya dapat dibuat terpisah atau menjadi satu dengan perjanjian pokok dengan syarat asal pembuatannya dilakukan sebelum teijadi sengketa.

Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan adanya saling per­ bedaan pendapat mengenai ada atau tidaknya klausula ar­ bitrase dan demi kepastian hukum.

Meskipun pasal 615 ayat 3 RV tidak mencantumkan secara tegas pembuatan klausula arbitrase yang berbentuk pactum de compromittendo harus tertulis, tetapi dalam praktek pe­ ngadilan cenderung mengarah kepada keharusan tertulis. Hal tersebut nampak dalam putusan Mahkamah Agung RI, No. 3179 K/Pdt/1984, ’’Melepaskan klausula arbitrase harus di­ lakukan secara tegas dengan suatu persetujuan yang ditanda­ tangani oleh kedua belah pihak”

Secara a kontrario dapat ditafsirkan kalau melepaskan klau­ sula harus dilakukan secara tegas dan ditanda-tangani oleh kedua belah pihak, maka pembuatan klausula yang berben­ tuk pactum de compromittendo juga harus dilakukan se­ cara tertulis.

b. Akta kompromis

Akta kompromis yang diatur dalam 618 RV pada dasarnya memuat persetujuan para pihak untuk menyerahkan seng­ keta yang telah timbul pada arbitrase. Bentuk akta kompro­ mis ini harus tertulis dan ditanda tangani oleh kedua belah pihak. Jika para pihak tidak mampu menanda-tangani, maka persetujuan harus dibuat dimuka seorang Notaris.

Akta kompromis ini memuat antara lain: — Masalah yang disengketakan.

— Nama dan tempat para pihak.

— Nama dan tempat tinggal (kedudukan) para arbiter yang mereka setujui.

— Jumlah arbiter harus ganjil.

Dalam pasal 618 ayat 3 RV, menyebutkan akta kompromis yang tidak memenuhi ketentuan tersebut diatas, persetujuan arbitrasenya dinyatakan batal.

(12)

Arbiter yang telah menerima tugasnya secara tertulis (pasal 622 ayat 1 RV) tidak dapat melepaskan diri tanpa alasan yang sah (pasal 623 RV).

4. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI)

Sebagaimana diketahui penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat diserahkan kepada arbiter perorangan atau Badan Arbit­ rase Instutisional, seperti halnya Badan Arbitrase Nasional In­ donesia yang atas prakarsa KADIN telah berdiri sejak tanggal 3 Desember 1977. BANI memiliki peraturan beracara yang di­ sebut Peraturan Prosedur Arbitrase pada BANI.

Peraturan ini akhir-akhir ini sudah diperbaiki pada tanggal 3 Desember 1980.

Pada prinsipnya bagaimana prosedur Arbitrase akan dilaku­ kan, terserah pada para pihak itu sendiri, apakah akan diserah­ kan pada Arbiter/para Arbiter yang dipilih pihak-pihak itu sen­ diri (arbitrase perorangan) atau akan diserahkan kepada Ar- bitrase/BANI dengan memakai klausula standar yang dianjur­ kan BANL

Dalam pada itu antara BANI dan KADIN telah tercapai kesepakat­ an bahwa apabila seorang anggota KADIN terlibat suatu sengketa yang diselesaikan lewat Arbitrase/BANI, maka KADIN akan meng­ gunakan pengaruhnya agar anggota tersebut mentaati keputusan Arbitrase/BANI tersebut.

Bahwa dalam melaksanakan tugasnya BANI adalah bebas (oto­ nom) dan tidak boleh dicampuri oleh sesuatu kekuasaan lain (pasal 1 ayat 2, ketentuan BANI).

Pada hakekatnya Arbitrase (BANI) dianggap sebagai upaya al­ ternatif dari penyelesaian sengketa melalui Pengadilan, dimana dua atau lebih pihak-pihak menyerahkan penyelesaian seng­ keta mereka kepada pihak ketiga (BANI) yang memperoleh kewenangannya dari perjanjian yang diadakan antara para pihak itu sendiri.

5. Tidak semua sengketa dapat diserahkan penyelesaiannya pada arbitrase

Hanya sengketa mengenai hak-hak subjektif yang sepenuh­ nya dikuasai para pihak saja yang dapat diajukan pada peradil­ an arbitrase.

(13)

Tidaklah diperkenankan atas ancaman kebatalan untuk meng­ adakan suatu persetujuan arbitrase mengenai penghibahan atau penghibah wasiatan nafkah, mengenai perceraian atau perpisah­ an dari meja dan tempat tidur antara suami dan isteri, menge­ nai kedudukan hukum seseorang, ataupun mengenai lain-lain sengketa tentang mana oleh ketentuan undang-undang tidak diperbolehkan mengadakan suatu perdamaian (pasal 616 RV). 6. Siapa-siapa yang dapat menjadi arbiter

Siapa saja dapat diperbolehkan menjadi arbiter, kecuali anak yang belum dewasa dan mereka-mereka yang terkena pasal 34 Hukum Acara Perdata (pasal 34 Hukum Acara Perdata mela­ rang para Hakim, para Jaksa dan para Panitera Pengadilan un­ tuk menjadi juru kuasa dan arbiter).

Dinyatakannya wanita tidak cakap untuk menjadi arbiter ada­ lah sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan dewasa ini, karena menurut Undang-Undang Tentang Perkawinan (Undang-Un­ dang No. 1 Tahun 1974) dinyatakan: bahwa dalam suatu per­ kawinan, si isteri mempunyai kecakapan yang sama dengan si suami untuk melakukan perbuatan hukum.

7. Seorang arbiter adalah pihak ketiga yang tidak memihak

Bahwa seorang arbiter sebagaimana halnya seorang Hakim adalah pihak ketiga yang tidak memihak, hal ini dapat kita sim­ pulkan dari ketentuan pasal 621 RV yang menyatakan bahwa alasan-alasan untuk melawan seorang arbiter adalah sama dengan alasan-alasan yang dipakai untuk melawan seorang Hakim. Benar tidaknya alasan-alasan tersebut akan selekasnya diperiksa dan diputus oleh Hakim yang sedianya berwenang memeriksa seng­ ketanya seandainya tidak ada persetujuan arbitrase.

8. Putusan arbitrase

Para arbiter harus memutus berdasarkan peraturan-peraturan hukum dan apabila disetujui para pihak dapat memutus ber­ dasarkan ex aequo et bono (pasal 631 RV). Putusan arbitrase mengikat kedua belah pihak dan putusan ini harus dijalankan dengan suatu perintah dari Ketua Pengadilan (Exequatur).

Tempat diucapkannya putusan arbitrase ini memegang peran­ an penting. Karena kewenangan Pengadilan Negeri untuk men­ jalankan siuatu putusan arbitrase dikaitkan dengan tem pat di­ jatuhkannya putusan arbitrase itu (pasal 637 RV).

(14)

9. Upaya-upaya hukum terhadap putusan arbitrase

Apabila pihak yang dikalahkan tidak bersedia memenuhi isi putusan tersebut dapat dijalankan menurut cara biasa yang ber­ laku bagi pelaksanaan suatu putusan pengadilan (pasal 639 RV) Perlawanan terhadap putusan arbitrase tidak diperkenankan (pasal 636 RV)

Banding terhadap putusan arbitrase diperkenankan dalam hal pokok perselisihannya mempunyai nilai lebih f 500 kecuali para pihak secara tegas melepaskan hak untuk banding (pasal 641 RV). Perihal dilepaskannya hak untuk banding ini, Mahkamah Agung RI dalam perkara antara PT. Multi Plaza Properties melawan Yahya Wijaya No. 1 Banding/wasit/1981, tanggal 10 Juli 1984, maupun dalam perkara antara Indonesia Cotton Trading Ltd melawan Firma Rayun, Reg. No. 1/1959/Pem. Put. Wst., ter­ tanggal 5 September 1959, menyatakan: bahwa dalam hal ke­ mungkinan banding telah ditiadakan oleh pihak-pihak, maka permohonan banding tersebut tidak dapat diterima.

Menurut pasal 163 RO banding tersebut ditujukan terhadap Hooggerechtshof. Hal ini sesuai dengan pasal 15 Undang-un­ dang Mahkamah Agung RI (Undang-undang No. 1 Tahun 1950) yang menyatakan Mahkamah Agung RI memutus dalam ting­ kat banding terhadap putusan-putusan arbitrase yang mengenai nilai harga Rp. 25.000,— atau lebih.

Kasasi atau Rekes Sipil tidak diperkenankan, walaupun hal itu diperjanjikan oleh kedua belah pihak (pasal 642 RV).

Terhadap upaya hukum pembatalan diatur dalam pasal 643 RV yaitu terhadap putusan arbitrase yang tidak dapat diminta­ kan banding.

Ada 10 hal yang dapat dipergunakan sebagai alasan untuk me­ minta pembatalan yang bersifat limitatif.

1. Apabila putusan itu diberikan melewati batas persetujuan 2. Apabila putusan itu diberikan berdasarkan suatu persetuju­

an yang adalah batal atau telah lewat waktunya.

3. Apabila putusan itu telah diberikan oleh sejumlah arbiter yang tidak berwenang memutus tanpa hadirnya arbiter-ar­ biter yang lainnya.

4. Apabila telah diputus tentang hal-hal yang telah tidak di­ tu n tu t atau putusan telah mengabulkan lebih daripada yang dituntut.

(15)

5. Apabila putusan arbiter itu mengandung keputusan-ke- putusan yang satu sama lain bertentangan.

6. Apabila para arbiter telah melalaikan untuk memberikan keputusan tentang satu atau beberapa hal yang menurut persetujuan telah diajukan kepada mereka untuk diputus. 7. Apabila para arbiter telah melanggar formalitas-formalitas

hukum acara yang harus diturut atas ancaman kebatalan. Tetapi ini hanya berlaku apabila menurut ketentuan-ke­ tentuan yang tegas dimuat dalam persetujuan para arbiter diwajibkan mengikuti hukum acara biasa yang berlaku dimuka pengadilan.

8. Apabila telah diberikan keputusan berdasarkan surat-su­ rat yang setelah keputusan itu diberikan, diakui sebagai palsu atau telah dinyatakan sebagai palsu.

9. Apabila, setelah surat-surat diberikan, surat-surat yang me­ nentukan yang dulu disembunyikan oleh para pihak, di- ketemukan lagi.

10. Apabila putusan didasarkan pada kecurangan atau itikad jahat, yang dilakukan selama beijalannya' pemeriksaan,

yang dikemudian diketahui.

Tenggang waktu untuk mengajukan gugatan pembatalan ini adalah enam bulan terhitung sejak putusan tersebut diberitahukan kepada para pihak ditempat tinggal mereka (pasal 644 RV). Tuntutan pembatalan putusan arbitrase dilakukan dengan gugat­ an yang berisikan perlawanan terhadap perintah pelaksanaan putusan tersebut (pasal 645 RV).

Materi gugatan perlawanan pembatalan ini adalah menuntut dibatalkannya putusan arbitrase dengan alasan bahwa putus­ an arbitrase yang bersangkutan mengandung salah satu cacad hukum sebagaimana dirinci dalam pasal 643 RV. Pengadilan yang berwenang memeriksa dan mengadili perkara gugatan pem­ batalan ini adalah pengadilan yang telah mengeluarkan perintah pelaksanaan putusan arbitrase tersebut (Exequatur) pasal 646 RV.

10. Pelaksanaan putusan arbitrase

Dalam waktu 14 hari sekedar mengenai Jawa dan Madura dan jika mungkin dalam waktu tiga bulan sekedar mengenai tempat-tempat lainnya, terhitung mulai hari diambilnya pu­ 8

(16)

tusan, maka asli putusan itu oleh salah seorang arbiter atau salah seorang kuasa yang khusus dikuasakan oleh para arbiter atau salah seorang diantara mereka, harus disimpan dikantor Penga­ dilan Negeri yang dalam daerah hukumnya putusan itu telah diucapkan (pasal 634 RV). Selain putusan para arbiter diwajib­ kan pula menyimpan asli surat pengangkatan mereka atau salin­ an resminya di Kepaniteraan Pengadilan Negeri tersebut (pasal 635 RVj.

Putusan arbitrase harus dijalankan dengan suatu perintah Ke­ tua Pengadilan Negeri ditempat mana putusan arbitrase itu di­ jatuhkan dan disimpan. Perintah Ketua Pengadilan Negeri itu

harus dikeluarkan dalam bentuk sebagaimana diterangkan dalam pasal 435 RV jo pasal 4 ayat 1 Undang-undang No. 14 Tahun 1970, yaitu dalam bentuk suatu putusan pengadilan yang me­ muat kata-kata Demi Keadilan berdasarkan ke-Tuhan-an Yang Maha Esa. Perintah itu dituliskan diatas asli surat putusan ar­ bitrase dan akan dibuat salinannya apabila dikeluarkan (pasal 637 RV).

Ketua Pengadilan Negeri, pada waktu akan memberikan pelak­ sanaan kepada suatu putusan arbitrase, sekali-sekali tidak di- bolehkan untuk menilai isi maupun pertimbangan-pertimbang­ an putusan arbitrase. Ia hanya dibolehkan menolak atau mem­ berikan perintah pelaksanaan yang diminta itu, atas dasar per­ timbangan bahwa putusan arbitrase telah melanggar ketertib­ an umum atau tidak.

Terhadap penolakan untuk memberikan perintah pelaksanaan didalam RV sendiri tidak ada ketentuannya. Tetapi dalam Un­ dang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (Undang-undang No. 14 Tahun 1970) terdapat ketentuan pasal 10 ayat 3 bahwa terhadap setiap putusan yang diberikan dalam tingkat terakhir oleh pengadilan lain daripada Mahkamah Agung RI, kasasi dapat diminta kepada Mahkamah Agung RI.

Berdasarkan ketentuan ini, maka terhadap penetapan Ketua Pe­ ngadilan Negeri yang memberikan atau menolak untuk memberi­ kan perintah pelaksanaan (Exequatur) tersebut di atas, dapat juga dimintakan kasasi (Prof. R. Subekti, SH, dalam Arbitrase Per­ dagangan, cetakan pertama, September 1981, halaman 24). Se­ lanjutnya pasal 640 RV menyatakan bahwa putusan arbitrase yang telah diberi perintah pelaksanaan oleh Ketua Pengadilan yang

(17)

berwenang, harus dijalankan menurut cara yang biasa berlaku bagi suatu pelaksanaan putusan pengadilan.

Pasal 640 RV mengatur perihal Pengadilan Negeri mana yang secara relatif kompeten memeriksa dan mengadili perlawan­ an terhadap eksekusi yaitu Pengadilan Negeri yang ketuanya telah mengeluarkan perintah pelaksanaan.

Mengingat tata cara pelaksanaan suatu putusan Pengadilan pa­ da saat ini tidak lagi diatur oleh RV melainkan oleh pasal 195 HIR, maka ketentuan pasal 640 RV pun harus dibaca dalam kaitannya dengan pasal 195 (6) HIR yang menyatakan bahwa perlawanan terhadap putusan, juga dari orang lain yang me­ nyatakan barang yang disita itu miliknya, dihadapkan serta di­ adili oleh Pengadilan Negeri, yang daerah hukumnya terjadi pelaksanaan putusan ini.

Mengenai peraturan-peraturan arbitrase yang dimuat dalam RV ini belum pernah diadakan perobahan sejak mulai berlakunya. Hakim dalam iklim 'kemerdekaan ini dapat memakai peratur­ an-peraturan arbitrase yang dimuat dalam RV sebagaimana hal­ nya peraturan lainnya yang berasal dari pembuat undang-un­ dang zaman Hindia Belanda sebagai pedoman, sehingga ia tidak terlalu terikat pada ketentuan-ketentuan dari peraturan-per­ aturan yang bersangkutan.

Oleh sebab itu Hakim bebas untuk mengenyampingkan bagi­ an-bagian tertentu dari peraturan-peraturan arbitrase yang di­ muat dalam RV yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan dewasa ini (misalnya peraturan yang termuat dalam pasal 617 yang tidak memungkinkan untuk mengangkat wanita sebagai arbiter).

(18)

PERTANYAAN

1. Sebutkan dasar hukum berlakunya arbitrase di Indonesia.

2. Apakah Peraturan-peraturan tentang arbitrase dalam Rv, kini masih berlaku seutuhnya?

Berikan penjelasan Saudara?

3. Ada beberapa cara untuk menuangkan klausula Arbitrase? Urai­ kan!

4. Badan Arbitrase Nasional Indonesia adalah suatu Arbitrase Ins­ titusional.

Apa yang dimaksud dengan Badan Arbitrase Institusional?

5. Sengketa-sengketa yang boleh diserahkan penyelesaiannya pada Arbitrase terbatas jumlah/jenisnya apakah sebabnya?

Dimanakah dasar hukumnya?

Apakah akibat hukumnya apabila Arbitrase memutuskan suatu sengketa yang termasuk masalah yang sebenarnya tidak bisa diserahkan penyelesaiannya pada Arbitrase?

6. Siapa saja yang dapat menjadi Arbiter?

Dapatkah Hakim ditunjuk sebagai seorang Arbiter? Dapatkah Hakim menunjuk Arbiter?

Dalam hal-hal apa saja?

7. Apakah ada upaya hukum yang dapat diajukan dalam hal para pihak tidak sepakat perihal penunjukan Arbiter?

Bagaimanakah cara kita mengatasi apabila dalam suatu perjan­ jian tidak terdapat pengaturan yang lengkap tentang tatacara

penunjukan Arbiter?

8. Apakah putusan Arbiter memiliki kekuatan yang sama seperti halnya putusan Hakim?

Apakah putusan Arbiter memiliki ’’gezag van gewijsde”?

9. Upaya hukum apa sajakah yang terbuka terhadap suatu putusan Arbitrase?

Dapatkah para pihak mengadakan kesepakatan lain tentang hal tersebut?

10. Bagaimanakah tata cara pelaksanaan putusan Arbitrase? Apakah yang dimaksud dengan exequatur?

(19)
(20)

BAB II

PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE NEGARA ASING DI INDONESIA

Suatu putusan pengadilan pada hakekatnya merupakan pen­ jelmaan dari kedaulatan suatu Negara. Oleh karena itu jika putusan

itu dijalankan di Negara lain, hal itu merupakan pelanggaran ter­ hadap Negara itu. Dengan demikian dapatlah dimengerti apabila putus­ an suatu pengadilan hendak dilaksanakan dalam kaitannya dengan lalu lintas antar Negara. Bagaimanapun putusan Hakim/arbiter asing itu tidak dapat diperlakukan sepenuhnya sama seperti Hakim/arbiter di Negara sendiri.

Juga menurut hukum Indonesia (pasal 436 RV), suatu putusan pe­ ngadilan asing tidak dapat dilaksanakan di Indonesia. Putusan penga­ dilan negara asing itu tidak mempunyai kekuatan executorial. Lain halnya dengan putusan pengadilan kita sendiri, yang dapat segera di­ berikan perintah pelaksanaan oleh Hakim Indonesia.

Di dalam HIR maupun di dalam RV, tidak memuat pengaturan apa­ pun tentang tata cara pelaksanaan putusan Hakim/Pengadilan Negara Asing. HIR maupun RV hanya mengatur masalah tata cara pelaksanaan putusan Hakim/Pengadilan Dalam Negeri saja.

Namun demikian (menurut RV) putusan Hakim/Pengadilan Asing itu mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta otentik. Dengan demikian menurut hukum di Indonesia, perkara harus diulangi di Pengadilan yang berwenang di Indonesia, dan dalam pemeriksaan tersebut surat-surat/dokumen-dokumen serta putusan dari Negara Asing itu merupakan surat-surat bukti otentik yang mempunyai ke­ kuatan pembuktian sebagai demikian menurut undang-undang.

Demikian halnya dengan putusan arbitrase. Bahkan dalam hal arbitrase tidak ada sesuatu dokumen yang memarut undang-undang diberi­ kan kekuatan pembuktian sebagai suatu akta otentik sebagaimana halnya dengan suatu putusan pengadilan.

Namun hal ini tidaklah berarti bahwa putusan pengadilan maupun putusan arbitrase yang dijatuhkan di Negara asing, sama sekali tidak dapat dilaksanakan di Indonesia ataupun sebaliknya.

(21)

1. Beberapa Konvensi Yang Memungkinkan Putusan Arbitrase Asing Dapat Dilaksaanakan Di Indonesia.

a. Konvensi Jenewa 1927 (The 1927 Jenewa Convention on the Execution o f Foreign Arbitral Awards).

Dalam hal ini Pemerintah Belanda, yang juga bertindak atas nama negara jajahannya Hindia Belanda, telah menanda-tangani konvensi yang disebut konvensi Jenewa, dimana putusan- putusan arbitrase yang diberikan oleh Majelis Arbitrase dari salah satu Negara penanda-tangan konvensi dapat dilaksana­ kan di Negara penanda-tangan lainnya menurut cara-cara yang berlaku di Negara tersebut untuk pelaksanaan suatu putusan arbitrase (Stbl. 1933 No. 131)

b. Convention on the Settlement of Investment Disputes be­ tween States and Nationals o f Other States (CSID).

Pada tanggal 28 September 1968, Indonesia telah meratifikasi Konvensi CSID tersebut yaitu suatu konvensi tentang Penye­ lesaian sengketa-sengketa Investasi antara Negara dan Warga- negara dari Negara lain, yang disponsori oleh World Bank dan ditanda-tangani di Washington pada tanggal 18 Maret 1965. Washinghton Convention ini telah melahirkan ICSID (Inter­ national Centre for Settlement of Investment Disputes. Ra­ tifikasi tersebut telah dilakukan dengan Undang-undang

No. 5 Tahun 1968 sebagai tindak lanjut dari Undang-undang No. 1 Tahun 1967, tentang Penanaman Modal Asing. Un­ dang-undang tersebut dalam pasal 2 menetapkan bahwa dalam hal terjadi sengketa mengenai investasi modal asing antara Pemerintah Republik Indonesia dengan seorang Warga Negara Asing, maka Pemerintah Republik Indonesia berwenang un­ tuk menyetujui bahwa sengketa tersebut akari diputus me­ nurut ICSID dengan suatu putusan arbitrase. Bahwa yang di­ maksud dalam ICSID ini adalah persetujuan Arbitrase yang diadakan antara Negara dan Warga Negara suatu Negara Asing lainnya.

Selanjutnya pasal 3 Undang-undang tersebut menentukan bahwa untuk melaksanakan putusan sebagaimana dimaksud dalam konvensi tersebut memerlukan ijin tertulis dari Mah­ kamah Agung RI bahwa putusan tersebut dapat dilaksana­ kan, yang dikenal sebagai pemberian Exequatur.

c. New York Convention 1958.

Bahwa pada tanggal 10 Juni 1958, oleh PBB telah ditanda-14

(22)

tangani konvensi tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan- putusan Arbitrase Asing (Convention on the Recognition and Enforcement o f Foreign Arbitral Awards) yang terkenal de­ ngan sebutan New York Convention 1958 dan telah mulai berlaku sejak tanggal 7 Juni 1959. Berbeda halnya dengan ICSID, dalam New York Convention yang diatur adalah Perjanji­ an Arbitrase antara sesama Warga Negara yang putusan arbitrase­ nya dijatuhkan di luar Wilayah RI atau antara Warga Negara Asing dan Warga Negara Indonesia yang putusannya juga di­ jatuhkan di luar wilayah RI.

Dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia. No. 34 Tahun 1981 (LN 1981 — 40), Republik Indonesia telah turut serta dalam New York Convention ini yang berlaku sejak tanggal diumumkannya yaitu tanggal 5 Agustus 1981, sehingga me­ mungkinkan pelaksanaan keputusan Arbitrase Asing di Negara kita.

Dengan demikian keputusan-keputusan arbitrase yang telah diucapkan didalam Wilayah Republik Indonesia dapat juga dilaksanakan di Luar Negeri atas dasar timbal balik (azas re- siprositas).

Artinya apabila putusan Arbitrase Republik Indonesia dapat dilaksanakan di salah satu Negara peserta konvensi ini, maka keputusan arbitrase Negara peserta konvensi tersebut juga dapat dilaksanakan didalam Wilayah Republik Indonesia. Pelaksanaan tersebut apabila diminta oleh pihak yang telah menang Arbitrase di Luar Negeri terhadap seorang yang ting­ gal dalam Wilayah Republik Indonesia tidak dapat ditolak. 2. Beberapa Pendapat . Mengenai Masih Tetap/Tidak Berlakunya

Konvensi Jenewa 1927 a. Pendapat pertama:

Berdasarkan pasal 10 ayat 2 Konvensi Jenewa tertanggal 26 September 1927, maka Pemerintah Belanda memberitahukan maksudnya untuk memberlakukan konvensi tersebut di Wila­ yah Hindia Belanda. Pada tanggal 28 April 1933, konvensi tersebut dinyatakan berlaku untuk daerah Hindia Belanda (Stbl. 1933 No. 131).

Meskipun kita sudah menjadi Negara merdeka dan berdaulat Konvensi Jenewa 1927 masih tetap berlaku, karena konvensi ini belum secara tegas dicabut oleh Pemerintah Indonesia,

(23)

maka berdasarkan azas-azas mengenai peralihan kekuasaan Negara dan Hukum Internasional serta Persetujuan Peralih­ an (overgangovereenkomst) dari Konperensi Meja Bundar yang diadakan berkenaan dengan peralihan kedaulatan dari pihak Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, konvensi harus dianggap tetap masih berlaku untuk Indonesia. Pasal 5 Per­ setujuan Peralihan menyatakan bahwa persetujuan-persetu- juan Internasional yang berlaku untuk Wilayah Republik Indonesia Serikat tetap berlaku untuk wilayah tersebut se­ lama persetujuan bersangkutan tidak dicabut oleh Pemerin­ tah Republik Indonesia Serikat sendiri.

Karena Republik Indonesia tidak menyatakan hendak keluar daripada konvensi bersangkutan, maka berdasarkan state sucession, agar supaya tidak terjadi suatu vacuum, Konvensi Jenewa dianggap masih berlaku dan tidak memerlukan Per­ aturan Pelaksanaan (self executing).

b. Pendapat kedua:

Setelah Konperensi Meja Bundar karena Republik Indonesia tidak menyatakan secara aktif masih hendak terikat, maka dapat dikatakan Republik Indonesia tidak mutlak terikat pada Perjanjian Internasional yang dahulu ditanda-tangani oleh Pemerintah Belanda yang telah dinyatakan berlaku un­ tuk Hindia Belanda. Mahkamah Agung RI tidak dapat me­ nerima berlakunya prinsip state succession yang menyata­ kan bahwa Negara bekas jajahan secara otomatis, sesuai stel- sel pasif, terikat pada perjanjian-perjanjian Internasional yang telah diadakan oleh Negara penjajahnya.

Lagi pula berdasarkan Undang-undang No. 13 Tahun 1956 (LN No. 27 Tahun 1956) Pemerintah Republik Indonesia telah menyatakan tidak terikat lagi pada Perjanjian KMB, dan secara sepihak telah membatalkan keterikatannya.

c. Pendapat Departemen Luar N egeri:

Bahwa perjanjian-perjanjian Internasional yang dahulu diadakan oleh Pemerintah Belanda atas nama Hindia Belanda, tidak secara otomatis beralih pada Republik Indonesia, tetapi harus secara tegas dinyatakan demikian.

Mengenai pelaksanaan Arbitrase Asing ini, ada Penetapan Penga­ dilan Negeri Jakarta Pusat, tanggal 19 Juni 1981, perkara

(24)

per-data No. 2288/1979/P, antara Navigation Maritime Bulgare, sebagai pemohon, melawan PT. Nizwar sebagai termohon, di mana Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah mengabulkan permohonan dari pihak Navigation Maritime Bulgare, agar putusan arbitrase di London diberikan fiat eksekusi, sehingga mempunyai kekuatan hukum sebagai putusan yang dapat segera dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri Indonesia.

Dasar hukum nya:

1 ) Stbl. 1933 No. 132 jo 133, yang mengatur voorzieningen voor Indonesie ter uitvoering van het verdrag nopens de ten- uitvoerlegging van in het buitenland gewezen scheidsrechter- lijke uitpraken van 26 September 1927 di Konvensi Jenewa 26 September 1927, yang sampai saat ini belum ada peratur­ an dari Republik Indonesia yang mencabutnya kembali. Setidak-tidaknya tidak ada peraturan yang menyatakan bah­ wa Stbl. itu tidak berlaku lagi di sini.

2) Berdasarkan pasal 5 Peraturan Peralihan KMB berkenaan de­ ngan peralihan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia dan Peraturan Presiden No. 2 tanggal 10 Oktober 1945, maka Persetujuan Internasional yang ber­ laku untuk Wilayah Republik Indonesia pada saat penyerahan kedaulatan tetap berlaku untuk Republik Indonesia (i.e. Kon­ vensi Jenewa berikut Stbl. 1933 No. 132 jo 133), kecuali apabila Republik Indonesia telah membatalkannya.

Termohon PT. Nizwar mengajukan kasasi.

Sementara perkara tersebut dalam pemeriksaan kasasi keluar­ lah Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981, tanggal 5 Agustus 1981 dan lampirannya, tentang pengesahan Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards, yang memungkinkan pelaksanaan putusan Aritrase Asing di Indonesia.

Mahkamah Agung RI, dalam putusannya tertanggal 20 Agustus 1984 telah membatalkan penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan 3 alasan pokok.

a) Bahwa pada azasnya sesuai dengan Yurisprudensi di Indone­ sia putusan Pengadilan Asing dan putusan Hakim Arbitrase Asing tidak dapat dilaksanakan di Indonesia, kecuali antara

(25)

Republik Indonesia dan Negara Asing yang bersangkutan diadakan perjanjian tentang pelaksanaan putusan Pengadilan Asing/putusan Arbitrase Asing.

b) Bahwa meskipun menurut pasal 5 Peraturan Peralihan Perjan­ jian KMB, perihal : penyerahan kedaulatan dari Kerajaan

Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia Perjanjian Internasional yang berlaku untuk Wilayah Indonesia tetap berlaku bagi Republik Indonesia, namun hal ini tidak berarti Republik Indonesia mutlak terikat pada Perjanjian KMB tersebut maupun pada Perjanjian Internasional yang dahulu dibuat oleh Pemerintah Kerajaan Belanda dengan alasan Per­ janjian-perjanjian Internasional tersebut (i.e. Stbl. 1933 No. 131) terjadi pada waktu dunia Internasional sepenuhnya dikuasai oleh Negara-negara penjajah, dengan demikian prin­ sip state succession berdasarkan Hukum Internasional juga dikuasai oleh keadaan tersebut, di mana kalau kelak suatu Negara jajahan memperoleh kemerdekaannya, maka Negara jajahan tersebut otomatis (suatu stelsel passif) terikat pada Perjanjian-perjanjian Internasional yang telah diadakan oleh Negara penjajahnya.

Bahwa pada dewasa ini setelah Perang Dunia II, praktis kea­ daan dunia telah berubah, karena timbulnya kekuatan-keku­ atan baru dalam bentuk Negara-negara yang sedang berkem­ bang. Bahkan dunia sekarang dikuasai oleh aliran Interde- pensi (saling ketergantungan) yang intinya adalah common concern dari family of nations tentang keadaan di dunia. (Prof. Z. Asikin Kusumah Atmadja SH. dalam Seminar Sehari 16Nopember 1988).

c) Bahwa selanjutnya mengenai Keputusan Presiden No. 34 Ta­ hun 1981 dan lampirannya tentang pengesahan Convention on the Recognition and Enforcement o f Foreign Arbitral Awards sesuai praktek hukum yang masih berlaku harus ada peraturan pelaksanaannya tentang apakah permohonan ekse­ kusi putusan Hakim Arbitrase Asing dapat diajukan langsung pada Pengadilan Negeri, kepada Pengadilan Negeri yang mana atau permohonan eksekusi diajukan melalui Mahkamah Agung RI dengan maksud untuk dipertimbangkan apakah putusan tersebut tidak mengandung hal-hal yang bertentang­ an dengan Ketertiban Hukum di Indonesia. Atas dasar alasan

(26)

tersebut, maka permohonan pelaksanaan putusan Hakim Arbitrase Asing seharusnya dinyatakan tidak dapat diterima. Beberapa pendapat setelah adanya KEPPRES No. 34 Tahun 1981

Sehubungan dengan tata cara pelaksanaan ini, apakah putusan Arbitrase Asing itu bersifat self executing, dalam artian putusan tersebut dapat langsung dilaksanakan tanpa tata cara apapun, di Negara kita masih ada perbedaan pendapat.

Ada pendapat yang menyatakan bahwa setelah adanya KEPPRES No. 34 Tahun 1981, maka putusan Arbitrase Asing dapat langsung dilaksanakan di Indonesia.

Pendapat ini menunjuk pada bagian terakhir article III New York Convention yang menentukan : ’’There shall not be imposed substantially more onerous condition of higher fees o f charges on the recognition of enforcement o f arbitral awards to which this convention applies than are imposed on the recognition or enforcement o f domestic arbitral awards.”

Pendapat lain menyatakan bahwa bagaimanapun putusan Arbitrase Asing itu tetap merupakan putusan Hakim/Arbiter Asing. Ia tidak sama dan tidak dapat sepenuhnya diperlakukan sama dengan pu­ tusan Arbiter/Hakim Negara kita sendiri.

Article IV dari Konvensi menyebutkan : ”To obtain the recogniti­ on and enforcement mentioned in the preceding articles, the party applying for recognition and enforcement shall, at the time of the application supply . . . etc.” , yang merupakan persyaratan- persyaratan bagi pelaksanaan Arbitrase Asing yang berbeda bila dibandingkan dengan persyaratan-persyaratan bagai pelaksanaan

putusan Arbitrase Dalam Negeri.

Juga article V, ayat 2 menentukan bahwa :

’’Recognition and enforcement of the award may be refused, at the request o f the party against whom it is revoked, only if that party furnishes to the competent authority where the recognition and enforcement is songhtfind t h a t :

a) the subject matter of the differences is not capable o f settle­ ment by arbitration under the law o f that country; or

b) the recognition or enforcement of the award would be contrary to the public policy o f that country”.

Dengan demikian tidak tertutup kemungkinan untuk menolak eksekusi putusan Arbitrase Asing apabila pihak termohon eksekusi menunjukkan adanya bukti-bukti sebagaimana disebut dalam

(27)

article V, New York Convention tersebut.

Alasan untuk penolakan hanyalah terbatas pada alasan-alasan seba­ gaimana disebutkan dalam article V tersebut. Pengadilan untuk melakukan penolakan tidak mengadakan penilaian kembali terha­ dap isi putusan arbitrase.

Mengenai penilaian kembali ini oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dalam keputusan No. 64/Pdt/G/1984, telah menyatakan bahwa Award o f Arbitration No. 2282, tanggal 8 September 1984, yang telah diucapkan di London oleh Federation of Oils, Seed and Association (Fosfa) terhadap PT. Bakrie & Brothers Jakarta seba­ gai tidak berkekuatan hukum dan karena itu tidak dapat dilaksa­ nakan.

Menurut pendirian Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dari article V New York Convention 1958 ini, dapat ditarik kesimpulan bah­ wa pengakuan dan pelaksanaan keputusan dapat ditolak oleh salah satu pihak dengan menyatakan kepada pihak yang berwenang. Menurut Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang dimaksud dengan pihak yang berwenang di sini adalah jelas Pengadilan Negeri, kare­ na badan inilah yang akan melaksanakan eksekusi keputusan arbi­ trase tersebut dan atas itu pengadilan bisa menilai apakah putusan arbitrase bersangkutan sesuai dengan jiwa konvensi itu sendiri, di mana ketentuan-ketentuan dari Hukum Negara yang bersangkutan harus diperhatikan.

Secara tegas dinyatakan di sini, sesuai dengan ketentuan article III konvensi, hukum acara mengenai pelaksanaan arbitrase di Ne­ gara yang diminta pelaksanaan adalah yang harus dipakai.

Selanjutnya Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, menganggap bahwa keputusan arbitrase yang telah diucapkan di London ini tidak ter­ lebih dahulu mendengar kedua belah pihak yang bersangkutan. Dalam acara arbitrase di Indonesia, yang dikenal dalam pasal 631 — 650 RV, menurut Pengadilan Negeri Jakarta Selatan harus dilaku­ kan hal ini. Keputusan arbitrase di London tidak terbukti telah mendengar pihak pembantah (PT. Bakrie & Brothers). Keputusan tersebut semata-mata didasarkan atas permintaan pihak terbantah (Trading Corporation of Pakistan Limited) dan pembantah sendiri tidak merasa bertanggung jawab atas kebenaran keterangan-kete­ rangan tadi. Dan bahwa menurut hukum yang berlaku di Indone­ sia, para pihak masing-masing menunjuk seorang untuk mewakili di forum arbitrase tersebut.

(28)

Kita lihat di sini Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah secara seluruhnya menilai keputusan arbitrase bersangkutan, sedang me­ nurut New York Convention 1958, sesungguhnya alasan-alasan untuk penolakan hanyalah terbatas pada alasan-alasan sebagaimana dicantumkan dalam article V tersebut. Nampaknya yang ditekan­ kan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, adalah tidak diberikan proper notice (sebagaimana ketentuan pasal V ayat 1 b) mengenai pengangkatan dari pihak arbiter atau karena ia disebabkan se­ suatu hal lain, tidak dalam kemungkinan untuk melakukan pem­ belaan. Inilah yang telah ditekankan oleh Pengadilan Negeri Jakar­ ta Selatan, dalam menyatakan Award dari London mengenai peru­ sahaan Pakistan yang telah minta pelaksanaan di Indonesia terha­ dap suatu perusahaan di Indonesia sebagai tidak dapat diterima. Selain penolakan sebagaimana disebutkan dalam article V tersebut, sesuai dengan prinsip Hukum Perdata Internasional, suatu putusan Hakim Asing termasuk di dalamnya putusan Arbiter Asing selalu dapat ditolak pelaksanaannya dalam hal putusan Hakim/Arbiter Asing itu bertentangan dengan azas Ketertiban Umum (publik order) yang berlaku di Indonesia.

3. Exequatur

Suatu putusan arbitrase memiliki exectoriale titel hanya apabila putusan ini diberikan exequatur. Pemberian exequatur hanya da­ pat dilakukan apabila dilampirkan bukti bahwa Negara si pemohon secara reprositas juga bersedia mengeksekusi putusan Arbitrase di Negara kita. Sebagaimana halnya suatu putusan Arbitrase Dalam Negeri, maka suatu putusan, Arbitrase Asing hanya dapat dimohon­ kan eksekusinya apabila sebelum atau pada saat dilakukan permo­ honan tersebut didepositokan pula surat putusan arbitrase maupun surat penunjukan arbiternya, setelah mendapat otentikasi seper­ lunya.

Mengenai siapa yang berwenang memberi exequatur terhadap sua­ tu putusan Arbitrase Asing ini KEPPRES No. 34 Tahun 1981, tidak memberikan pengaturannya.

Juga article V dari New York Convention tidak memberikan peng­ aturannya. Article V dari New York Convention yang mengatur perihal penolakan pelaksanaan hanya menyebutkan perihal ada­ nya suatu competent authority. Pejabat mana yang dimaksud

(29)

de-ngan competent authority tidak disebutkan dalam article V New York Convention tersebut.

Lain halnya dengan Undang-undang No. 5 Tahun 1968, mengenai pengakuan terhadap Convention of the Settlement o f Investment Disputes between State and Nationals of Other States, di mana pasal 3 menyebutkan bahwa untuk melaksanakan putusan Mahka­ mah Arbitrase sebagaimana dimaksud dalam konvensi diperlukan surat dapat dilaksanakan (exequatur) dari Mahkamah Agung. Beberapa tata cara pelaksanaan putusan Arbitrase/Hakim Asing a. Tata cara yang mengenai pelaksanaan putusan Arbitrase ini da­ pat kita temui dalam ketentuan Stbl. 1933 No. 132 jo 133, peri­ hal : ’’voorzieningen voor Indonesie ter uitvoering van het ver- drag nopens de tenuitvoerlegging van in het biutenland scheid- srechterlijke uitspraken” .

b. Hal yang sama mengenai pelaksanaan putusan Hakim Asing ini kita jumpai pula dalam pasal 431 Rv Nederland.

c. Perma No. 1 tahun 1990 yang memuat tentang tata cara pelak­ sanaan putusan Arbitrase Asing.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan putusan Arbi­ trase Asing.

a. Demi kepastian hukum dan lancarnya pelaksanaan putusan badan Arbitrase Asing perlu ditentukan terlebih dahulu apakah dalam putusan tersebut terdapat hal-hal yang nyata-nyata ber­ tentangan dengan Ketertiban Umum yang berlaku di Indonesia. b. Di samping itu perlu juga diatur hal-hal yang berkenan dengan

jurudiksi, yaitu apakah pelaksanaan putusan Badan Arbitrase tersebut dapat dilakukan oleh Pengadilan di dalam wilayah hu­ kum mana termohon berdomisili atau demi lancarnya pelak­ sanaan dilakukan oleh Mahkamah Agung RI, seperti halnya Undang-undang No. 5 Tahun 1968.

c. Juga perlu pengaturan tentang tata cara permohonan setidak- tidaknya penegasan misalnya bahwa yang berlaku adalah tata cara sebagaimana dalam RV yaitu ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi pelaksanaan putusan Arbitrase Dalam Negeri. d. Hal yang penting lainnya adalah adanya bukti bahwa pemohon

dalam wilayah hukum mana putusan Arbitrase telah dijatuh-22

(30)

kan juga menjadi peserta Convention New York atas dasar reprositas dan bahwa putusan Arbitrase Asing tersebut diserah­ kan setelah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dan dilegali­ sasi melalui saluran diplomatik yang lazim.

e. Dan yang terakhir yang perlu diperhatikan sehubungan dengan KEPPRES No. 34 Tahun 1981, adalah pernyataan (declaration) yang b erb u n y i:

’’Pursuant to the provision of article I (3) of this Convention, the Government o f the Republic of Indonesia declares that it will apply the Convention on the basis of reprocity, to the re­ cognition and enforcement of awards made only in the terri­ tory of another contracting state, and that it will apply the Convention only to differences arising out of legal relation­ ships, whether contractual o f not, which are considered as commercial under the Indonesian Law” .

Terjemahan dalam Bahasa Indonesia :

’’Sesuai dengan ketentuan pasal I (3) dari Perjanjian, maka Pe­ merintah Republik Indonesia menyatakan, bahwa Pemerintah akan mempergunakan perjanjian itu berdasarkan asas timbal balik, untuk pengakuan dan pelaksanaan keputusan-keputusan yang dibuat hanya di wilayah dari Negara lain yang mengadakan perjanjian, dan bahwa Pemerintah akan mempergunakan Perjan­ jian itu hanya untuk perbedaan-perbedaan yang timbul dari

hubungan-hubungan hukum, apakah berdasar atas perjanjian atau tidak, yang dianggap komersial menurut undang-undang Indonesia” .

Declaration ini membatasi berlakunya Convention hanya atas dasar-dasar resprositas dan hanya mengenai hal-hal yang menurut hukum kita whether contractual or not, are considered as commer­ cial.

Mengenai siapa yang berwenang menentukan dipenuhi atau tidak­ nya persyaratan dalam declaration tersebut merupakan persoalan tersendiri yang memerlukan pengaturan, apakah penilaiannya di­ tentukan oleh Pengadilan Negeri atau ditentukan oleh Mahkamah Agung RI.

Dalam hubungan pelaksanaan New York Convention 1958 ini, pada tanggal 1 Juli 1982, Badan Arbitrase Nasional Indonesia, menulis surat yang ditujukan kepada Menteri Kehakiman

(31)

Repu-bilk Indonesia, yang pada pokoknya menanyakan tentang sudah berlaku dan dapat diterapkannya di Indonesia atau belum New York Convention 1958 tersebut, demi untuk menghilangkan ke­ ragu-raguan di masyarakat. Atas dasar surat tersebut kemudian Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman RI, pada tanggal 22 September 1982, membuat surat kepada Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia, yang isinya menyatakan bahwa : ’’New York Covention 1958” tersebut se­ jak tanggal pengesahannya berlaku dan dapat diterapkan di In­

donesia.

Walaupun sudah ada KEPPRES No. 34 tahun 1981, dalam prak­ teknya, untuk memperoleh pelaksanaan putusan Arbitrase Asing masih memerlukan peraturan pelaksanaan.

Peraturan Mahkamah Agung RI, No. 1 Tahun 1990.

Pada tgl. 1 Maret 1990, Mahkamah Agung RI telah mengeluar­ kan peraturan Mahkamah Agung RI, No. 1 Tahun 1990, sehingga kekosongan hukum tersebut telah terisi.

Peraturan Mahkamah Agung RI, No. 1 Tahun 1990, memuat ke­ tentuan perihal tata cara pelaksanaan putusan Arbitrase Asing se­ bagai akibat keikutsertaan Negara Republik Indonesia pada The New York Convention 1958, yaitu dengan telah diratifikasinya Konvensi New York 1958 dengan Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1982, tgl. 5 Agustus 1981. (Lembaga Negara 1981 No. 40). Kebutuhan akan adanya suatu peraturan pelaksanaan sebagai akibat keikut-sertaan Negara kita dalam Konvensi New York 1958, telah dinyatakan Mahkamah Agung RI dalam putusan kasus Na­ vigation Maritime Bulgare melawan PT. Nizwar, dimana dalam pertimbangannya Mahkamah Agung RI, menyatakan: bahwa KEPPRES No. 34 Tahun 1981, tanggal 5 Agustus 1981 dan lam­ pirannya tentang pengesahan Convention on The Recognition and Envorcement of Foreign Arbitral Awards, sesuai dengan praktek hukum yang berlaku masih harus ada peraturan pelaksanaannya tentang apakah permohonan eksekusi putusan Hakim/Arbitrase Asing dapat diajukan langsung pada Pengadilan Negeri, kepada Pengadilan Negeri yang mana ataukah melalui Mahkamah Agung RI dengan maksud untuk dipertimbangkan apakah putusan tersebut tidak mengandung hal-hal yang bertentangan dengan ketertiban hukum di Indonesia.

(32)

Peraturan Mahkamah Agung RI ini merupakan perwujudan dari fungsi mengatur (regelende functie) yang dimiliki Mahkamah Agung RI.

Dalam PERMA tersebut disebutkan:

’’Bahwa yang diberi wewenang untuk masalah pelaksanaan putus­ an Arbitrase Asing ini adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.” Bahwa yang dimaksud dengan putusan Arbitrase Asing adalah: a. Putusan yang dijatuhkan oleh suatu Badan Arbitrase/Arbiter

perorangan di luar wilayah hukum RI.

b. Putusan suatu Badan Arbitrase/Arbiter perorangan yang me­ nurut ketentuan hukum RI dianggap sebagai suatu putusan Arbitrase Asing.

Bahwa putusan Arbitrase Asing dapat dilaksanakan dalam Wila­ yah Hukum RI, bila memenuhi syarat-syarat:

a. Putusan dijatuhkan oleh suatu Badan Arbitrase/Arbiter Per­ orangan di suatu Negara yang dengan Negara Indonesia terikat dalam suatu Konvensi Internasional perihal pengakuan serta pelaksanaan putusan Arbitrase Asing yang pelaksanaannya didasarkan atas Azas Timbal Balik (Resiprositas).

b. Putusan-putusan Arbitrase Asing yang dimaksud hanyalah terbatas pada putusan-putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup Hukum Dagang.

c. Putusan-putusan Arbitrase tersebut hanya dapat dilaksanakan di Indonesia bila tidak bertentangan dengan ketertiban umum. d. Putusan Arbitrase Asing dapat dilaksanakan di Indonesia

setelah memperoleh Exequatur dari Mahkamah Agung RI.

Yang berwenang memberi Exequatur ini adalah Ketua Mah­ kamah Agung, Wakil Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Muda Bidang Hukum Perdata Tertulis.

Untuk memperoleh Exequatur maka putusan Arbitrase Asing harus dideponir (didaftarkan) di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sesuai tata cara menurut pasal 377 HIR/pasal 705 RBG selan­ jutnya Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengirimkan berkas

permohonan eksekusi Arbitrase Asing tersebut ke Panitera/ Sekjen Mahkamah Agung RI untuk memperoleh Exequatur.

(33)

di-laksanakan paling lambat 14 hari setelah diterimanya permohon­ an tersebut dengan disertai:

a. Asli putusan atau turunan putusan Arbitrase Asing yang telah diotentikasi, sesuai dengan ketentuan otentikasi dokumen asing, serta naskah terjemahan resminya, sesuai ketentuan hu­ kum yang berlaku di Indonesia.

b. Asli peijanjian/turunan perjanjian yang menjadi dasar putusan Arbitrase Asing.

c. Keterangan dari Perwakilan Diplomatik Indonesia di Negara di mana putusan Arbitrase Asing tersebut diberikan yang menya­ takan Negara pemohon terikat secara bilateral atau secara ber­ sama-sama dengan Indonesia dalam suatu Konvensi Internasio­ nal, perihal pengakuan serta pelaksanaan suatu putusan Arbi­ trase Asing.

Setelah Mahkamah Agung RI memberikan Exequatur maka pelak­ sanaan selanjutnya diserahkan pada :

a. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

b. Dalam hal pelaksanaan putusan harus dilakukan di daerah hu­ kum lain dari daerah hukum Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, maka harus diteruskan kepada Pengadilan Negeri yang secara re­ latif berwenang melaksanakan. (Pasal 195 HIR/pasal 206 ayat 2 RBG).

c. Sita eksekutorial dapat dilakukan atas harga kekayaan serta barang-barang milik termohon eksekusi sesuai tata cara dalam HIR/RBG.

(34)

P E N U T U P

Dari uraian ini ternyata masalah eksekusi putusan Arbitrase Asing yang dahulu merupakan hal yang rumit, maka setelah dikeluarkannya PERMA No. 1 Tahun 1990, vacuum di bidang tersebut sudah diisi. Hal ini amat penting mengingat apabila Negara kita terus menerus tidak dapat melaksanakan putusan Arbitrase Asing tersebut, maka Pemerin­ tah kita dapat dituduh tidak serius dalam meratifikasi Perjanjian-peijan- jian Internasional atau melanggar konvensi yang telah dinyatakan ber­ laku untuk Republik Indonesia (New York Convention 1958).

Dan hal demikian tentu merugikan posisi kita dalam hubungan Perda­ gangan Internasional.

Dengan diterbitkannya PERMA No. 1 Tahun 1990, maka hal ini merupakan bukti bahwa Pemerintah RI (Mahkamah Agung) bersung­ guh-sungguh dalam mengupayakan agar putusan Arbitrase Asing dapat segera dilaksanakan di Negara kita.

(35)

PERTANYAAN

1. Apakah yang dimaksudkan dengan konvensi ? Apakah konvensi itu sumber hukum ?

Adakah konvensi yang sudah disetujui oleh Negara kita, yang memungkinkan dilaksanakannya suatu putusan Arbitrase Asing ? 2. Bagaimanakah kedudukan Konvensi Jenewa tahun 1927, tentang

pelaksanaan putusan Arbitrase Asing pada saat ini ?

3. Sudah berapa kalikah Indonesia ikut serta dalam Konvensi Inter­ national khusus mengenai Arbitrase ?

4. Pernahkah Saudara mendengar tentang CSID ? Apa maksudnya ?

5. Ukuran apakah yang dapat Saudara gunakan untuk menentukan apakah suatu putusan Arbitrase itu termasuk putusan arbitrase domestik ataukah putusan Arbitrase Asing ?

6. Mengapa Arbitrase, khususnya Arbitrase Dagang International kini memegang peranan penting ?

7. Apakah adanya klausula Arbitrase (asing) dapat mengakibatkan bahwa pengadilan di Negara kita tidak lagi berwenang memeriksa serta mengadili perkaranya ?

Jelaskan ?

8. Bagaimanakah tata cara pelaksanaan putusan Arbitrase Asing menurut Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 1990 ?

9. Apakah hubungan antara ’’public policy” dengan pemberian exe­ quatur dalam hal pelaksanaan putusan Arbitrase Asing ?

Apakah yang dimaksud dengan public policy ? Berikan uraian Saudara ?

10. Apakah terbuka suatu upaya hukum terhadap pemberian exequa­ tur ?

Bilamana ada apa bentuknya ?

(36)

DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. Prof. R. Subekti, SH. Arbitrase Perdagangan.

Cetakan Pertama, September 1981, Bina Cipta Bandung. 2. Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama.

Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional. Alumni, 1985, Bandung.

3. Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama. Indonesia dan Arbitrase Internasional. Alumni, 1986, Bandung.

4. Prof. Zainal Asikin Kusumah Atmadja, SH.

Konvensi/Ratifikasi dan Eksekusi Putusan Arbitrase. Makalah disampaikan dalam Simposium Sehari di Jakarta,

16 Nopember 1988.

5. Frank Elkouri dan Edna Elkouri. How Arbitration Works.

Washington DC, 1974.

6. Bunga Rampai Eksekusi Putusan Arbitrase Asing, Jilid I—IV. Diterbitkan Tim Pengkajian dan Penelitian Hukum Mahkamah Agung Republik Indonesia, 1988.

(37)
(38)

LAMPIRAN

PERATURAN HUKUM ACARA PERDATA

(Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering, disingkat R.V.) BUKU KETIGA

ANEKA ACARA BAB PERTAMA

Putusan wasit Bagian pertama

Persetujuan perwasitan dan pengangkatan para wasit

Pasal 615

1. Adalah diperkenankan kepada siapa saja, yang terlibat dalam suatu sengketa yang mengenai hak-hak yang berada dalam ke­ kuasaannya untuk melepaskannya, untuk menyerahkan pemu­ tusan sengketa tersebut kepada seorang atau beberapa orang wasit.

2. Semua orang yang dengan kekuasaan hakim telah diangkat da­ lam sesuatu tugas-jabatan, atau yang berdasarkan ketentuan- ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau Kitab Undang-undang Hukum Dagang, untuk mengadakan suatu per­ damaian atau menjual barang, memerlukan kuasa dari hakim, tidak diperkenankan dalam jabatan tersebut menyerahkan pe­ mutusan sengketa-sengketa kepada wasit, tanpa telah menda­ pat kuasa seperti itu.

3. Bahkan adalah diperkenankan mengikatkan diri satu sama lain, untuk menyerahkan sengketa-sengketa yang mungkin timbul di kemudian hari, kepada pemutusan seorang atau beberapa orang wasit.

(39)

Pasal 616

Tidaklah diperkenankan, atas ancaman kebatalan, untuk mengada­ kan suatu persetujuan perwasitan mengenai penghibahan atau peng- hibah-wasiatan nafkah; mengenai perceraian atau perpisahan dari meja dan tempat tidur antara suami dan isteri; mengenai keduduk­ an hukum seseorang, ataupun mengenai lain-lain sengketa tentang mana oleh ketentuan-ketentuan undang-undang tidak diperboleh­ kan mengadakan suatu perdamaian.

Pasal 617

1. Dengan kekecualian sebagaimana termuat dalam ketentuan pa­ sal 34, maka siapa saja yang diperbolehkan menjadi seorang jurukuasa, juga diperbolehkan untuk diangkat sebagai seorang

wasit.

2. Dari ketentuan ini dikecualikan wanita dan anak yang belum dewasa.

(Pasal 34 Peraturan Hukum Acara Perdata melarang para hakim para jaksa dan para panitera Pengadilan untuk menjadi juru­ kuasa dan wasit).

Pasal 618

1. Persetujuan perwasitan harus diadakan secara tertulis dan di­ tandatangani oleh kedua pihak; jika para pihak tidak mampu menandatangani, maka persetujuan harus dibuat di muka se­ orang notaris.

2. Persetujuan harus memuat masalah yang menjadi sengketa ■ nama-nama dan tempat-tempat tinggal para pihak, dan juga

nama nama serta tempat-tempat tinggal wasit atau para wasit, yang selalu harus dalam jumlah ganjil.

3. Semua atas ancaman kebatalan. Pasal 619

Apabila, dalam hal seperti yang diterangkan dalam ayat ketiga dari pasal 615, pada waktunya sengketa timbul, para pihak tidak men­ capai sepakat tentang hal memilih wasitnya, maka atas permohon­ an pihak yang paling berkepentingan, wasit atau para wasit itu akan diangkat oleh hakim yang sedianya berwenang memeriksa sengketa­ nya seandainya tidak ada persetujuan perwasitan.

(40)

Pasal 620

1. Persetujuan perwasitan harus menentukan jangka waktu da­ lam mana sengketa yang diajukan untuk diputusi oleh wasit, harus sudah diputus; dan dalam hal tidak telah ditetapkan jang­ ka waktu seperti itu, maka kuasa yang diberikan kepada wasit atau para wasit, akan berlaku untuk enam bulan terhitung mulai hari para wasit telah menerima baik pengangkatan mereka.

2. Selama jangka waktu tersebut, kekuasaan para wasit tidak boleh ditarik kembali kecuali atas kesepakatan bulat para pihak.

Pasal 621

1. Para wasit yang tidak diangkat oleh hakim, tidak dapat dila­ wan kecuali atas alasan-alasan yang timbul setelah pengangkat­ an mereka.

2. Para wasit yang diangkat oleh hakim, apabila para pihak baik secara tegas atau secara diam-diam telah menyetujui pengang­ katan mereka, tidak dapat dilawan atas alasan yang timbul se­ telah itu.

3. Alasan-alasan untuk melawan seorang wasit adalah sama dengan alasan-alasan yang dapat dipakai untuk melawan seorang hakim; benar-tidaknya alasan-alasan tersebut akan selekasnya diperiksa dan diputusi oleh hakim yang disebutkan dalam pasal 619.

Pasal 622

1. Penerimaan penugasan para wasit itu harus dilakukan secara ter­ tulis.

2. Penerimaan tersebut dapat ditulis pada surat pengangkatan me­ reka.

Pasal 623

Para wasit yang telah menerima baik pengangkatan mereka, tidak diperkenankan mengundurkan diri dari tugas mereka, kecuali atas alasan-alasan yang disetujui oleh hakim yang disebutkan dalam pa­ sal 619. Mereka dapat dihukum untuk mengganti kerugian kepada para pihak, apabila mereka, tanpa sesuatu alasan yang dapat diterima, tidak memberikan keputusan mereka dalam jangka waktu yang telah ditetapkan untuk itu.

(41)

Bagian kedua

Pemeriksaan di muka para wasit Pasal 624

Pemeriksaan akan dilakukan dengan cara dan dalam jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam persetujuan perwasitan, atau apa bila tentang itu tidak telah ditetapkan sesuatu, menurut cara sebagai­ mana ditetapkan oleh para wasit.

Pasal 625

Setelah jangka waktu itu berakhir, maka para wasit hanya akan me­ mutus berdasarkan keterangan-keterangan tertulis serta surat-surat yang telah diajukan kepada mereka.

Pasal 626

Apabila tidak satu pun dari para pihak telah mengajukan sesuatu surat, maka atas permintaan para pihak, para wasit dapat menetap­ kan suatu jangka waktu baru atau menyatakan bahwa tugas mereka telah berakhir.

Pasal 627

Semua perintah-perintah untuk mengadakan tindakan-tindakan se­ mentara yang dikeluarkan oleh para wasit dan tiap pengaturan yang dibuat berkenan dengan soal-soal acara, harus dilaksanakan tanpa formalitas-formalitas lebih lanjut, sejak perintah atau pengaturan itu diberitahukan kepada para pihak.

Pasal 628

1. Apabila perlu diadakan pemeriksaan kehakiman tentang ke­ aslian atau kepalsuan surat-surat, atau apabila secara tiba-tiba timbul suatu perselisihan mengenai suatu peristiwa yang ber­ sifat pidana, maka para wasit akan mempersilakan para pihak untuk menempuh jalan hukum kepada pengadilan biasa.

2. Dalam hal yang demikian, jangka waktu-jangka waktu akan mu­ lai beijalan lagi mulai pada hari putusan pengadilan yang di­ berikan tentang insiden tersebut, memperoleh kekuatan hu­ kum yang tetap.

(42)

Pasal 629

1. Ketentuan ayat-ayat dari pasal yang lalu berlaku juga, dalam hal para wasit telah memberikan putusan mengenai suatu in­ siden atau dalam hal mereka memberikan suatu putusan sela. 2. Dalam hal yang terakhir, mereka bahkan diperkenankan un­ tuk memperpanjang jangka waktu yang telah ditetapkan ber­ hubungan dengan putusan akhir yang akan mereka berikan.

Pasal 630

1. Apabila para wasit telah memerintahkan didengarnya saksi- saksi, tetapi saksi-saksi ini tidak menghadap secara sukarela atau menolak mengangkat sumpah atau memberikan keterangan, maka pihak yang berkepentingan harus mengajukan permo­ honan kepada Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukum­ nya perintah pendengaran saksi-saksi tersebut telah dikeluar­ kan, dengan permohonan supaya pengadilan itu mengangkat seorang hakim yang diberikan tugas khusus untuk melakukan pendengaran saksi-saksi tersebut dengan cara yang lazim berlaku dalam perkara-perkara biasa di muka pengadilan.

Bagian ketiga Putusan wasit

Pasal 631

Para wasit harus memutus menurut peraturan-peraturan hukum ke­ cuali persetujuan perwasitan telah memberikan kekuasaan kepada mereka untuk memutus menurut kebijaksanaan (ex aequo et bono).

Pasal 632 1. Putusan wasit harus memuat:

nama-nama dan tempat-tempat tinggal para pihak;

suatu kesimpulan tentang pendirian mereka masing-masing alas­ an-alasan (pertimbangan) serta amarnya putusan.

2. Putusan itu harus diberikan tanggal, dengan menyebutkan tem ­ pat di mana ia diambil dan harus ditandatangani oleh semua wasit.

(43)

Apabila bagian terkecil para wasit menolak menandatangani, maka hal ini harus disebutkan oleh para wasit lainnya dan putusan akan mempunyai kekuatan hukum yang sama seperti.jika ia ditanda tangani oleh semua wasit.

Pasal 633

Pasal 634

1. Dalam waktu empat belas hari sekedar mengenai Jawa dan Ma­ dura, dan jika mungkin dalam waktu tiga bulan sekedar menge­ nai tempat-tempat lainnya, terhitung mulai hari diambilnya putusan, maka asli dari putusan itu oleh salah seorang wasit atau oleh seorang jurukuasa yang khusus dikuasakan oleh para wasit atau salah seorang mereka, harus disimpankan kepada kantor Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya putus­ an itu telah diambilnya.

2. Akte penyimpanan tersebut harus ditulis pada bagian bawah atau bagian samping dari asli putusan yang disimpankan, dan harus ditandatangani oleh panitera dan orang yang melakukan penyimpanan tersebut.

3. Panitera pengadilan harus membuat akte penyimpanan terse­ but;

tiada biaya untuk akte itu maupun biaya-biaya lain dapat di­ minta dari para wasit, karena para pihak sendirilah yang me­ nanggung biaya-biaya itu.

Pasal 635

Para wasit diwajibkan, selain putusan mereka, menyimpankan pula asli surat pengangkatan mereka atau salinan resmi dari surat itu, pada kantor panitera.

Pasal 636

Putusan wasit dari macam apa pun juga, tidak dapat dibantah. Pasal 637

Putusan wasit harus dijalankan dengan suatu perintah dari ketua Pe­ ngadilan Negeri yang disebutkan dalam pasal 634, yang dikeluar­ kan dalam bentuk seperti yang diuraikan dalam pasal 435. Perin­ tah itu dituliskan di atas asli surat putusan wasit dan akan dibuat salinan apabila ia dikeluarkan.

(44)

Apabila wasit-wasit ditugaskan memutusi dalam tingkat banding suatu perkara yang dalam tingkat pertama telah diperiksa oleh sebuah pe­ ngadilan biasa, maka putusan wasit harus disimpankan di kantor pa­ nitera dari pengadilan yang sedianya memeriksa perkara itu dalam tingkat banding, sedangkan perintah pelaksanaan juga akan dike­ luarkan oleh ketua pengadilan tersebut.

Pasal 639

Putusan wasit yang memuat perintah pelaksanaan yang diberikan oleh ketua dari Pengadilan Negeri yang berwenang, harus dijalan­ kan menurut cara yang biasa berlaku bagi suatu pelaksanaan putus­ an pengadilan.

Pasal 638

Pasal 640

Pengadilan yang ketuanya telah mengeluarkan perintah pelaksana­ an, harus memeriksa semua sengketa berhubungan dengan pelak­ sanaan putusan wasit tersebut.

Bagian keempat

Upaya-upaya terhadap putusan-putusan wasit Pasal 641

1. Menurut ketentuan pasal 163 ’’Reglement.op de Rechter lijke Organisatie en het Beleid der Justitien (R.O), diperkenankan banding kepada Hooggerechtshof terhadap putusan-putusan wasit yang pokok perselisihannya mempunyai nilai lebih dari 500 rupiah, kecuali para pihak secara tegas melepaskan hak mereka untuk naik banding.

2. Ketentuan-ketentuan sebagaimana termuat dalam bab keenam dari Buku Pertama Kitab Undang-undang ini berlaku untuk banding tersebut.

(menurut pasal 15 Undang-undang Mahkamah Agung (Undang undang No. 1 tahun 1950), Mahkamah Agung memutus dalam tingkat banding terhadap putusan-putusan wasit yang menge­ nai nilai harga Rp. 2 5 .0 0 0 ,- atau lebih).

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian berjudul “Kontra Narasi Hoaks Ratna Sarumpaet tentang Pemukulan Wajahnya oleh Orang Asing dalam Perspektif Dekonstruksi Jacques Derrida” kira-kira memiliki

6.. kandungan logam berat Fe dibandingkan dengan arang aktif. Hal ini disebabkan, struktur pori zeolit berupa kristal yang menyebabkan ukuran pori spesifik dan

Penggunaan alat peraga dalam pembelajaran dapat dilengkapi dengan Lembar Kegiatan Siswa yang dapat menfasilitasi siswa berpikir lebih tinggi dari sekedar berpikir

Pada Model SEIRS, populasi dibagi menjadi 4 kelas yaitu kelas S untuk menyatakan populasi yang rentan, kelas E menyatakan jumlah individu yang sebenarnya telah

Kepala BNN Kota Mataram mengembalikan surat yang telah di disposisi kepada Kasubag Umum untuk ditindak lanjuti.. Kasubag Umum memeriksa disposisi petunjuk Kepala

2. Faktor yang paling dominan mempengaruhi persepsi kualitas jasa yang baik di Dunia Fantasi adalah responsiveness. Hal ini mengindikasikan bahwa ketika pelanggan merasa Dunia

¾ Komputer adalah perangkat elektronik, beroperasi dibawah perintah pengendali yang disimpan pada memori komputer, dapat menerima data, memproses data berdasarkan aturan