• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II SISTEM PENDIDIKAN ISLAM SECARA UMUM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II SISTEM PENDIDIKAN ISLAM SECARA UMUM"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

SISTEM PENDIDIKAN ISLAM SECARA UMUM

A. Pengertian Sistem Pendidikan Islam

Sistem adalah seperangkat komponen atau unsur-unsur yang saling berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan (Oemar Hamalik, 2009: 1). Begitupun menurut Taqiyuddin (2011: 83) sistem adalah suatu unit yang terdiri dari beberapa sub unit dan masing-masing sub unit tersebut saling mendukung dan saling mempengaruhi. Pendidikan Islam sebagai sebuah sistem, karena di dalamnya terdiri dari sub unit pendidikan Islam. Dari pengertian tersebut, H.M. Arifin (2011: 90) menjelaskan bahwa pendidikan Islam sebagai disiplin ilmu dapat dianalisis dari segi sistematis atau pendekatan sistem. Dalam konteks ini, pendidikan Islam dipandang sebagai proses yang terdiri dari sub-sub sistem atau komponen-komponen yang saling berkaitan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan Islam.

Teori sistemik dikembangkan oleh para ilmuan muslim pada abad ke-8 sampai dengan ke-13 M, masa itu merupakan periode keemasan sejarah kebudayaan Islam. Daya kreativitas para ilmuan muslim pada prinsipnya bersumber dari informasi al-Quran yang memberikan petunjuk tentang sistem gerak benda-benda samawi dan kehidupan makhluk termasuk dalam diri manusia sendiri secara biologis dan psikologis berjalan menurut mekanisme hukum-hukum Tuhan. Dalam kehidupan jasmaniah dan rohaniah manusia, Tuhan telah memberikan suatu sistem bekerjanya organ-organ yang teratur dan berjalan koordinatif antara satu organ dengan organ lain sebagai suatu kesatuan yang utuh. Kondisi yang bersifat sistematik dan mekanistik itu

merupakan sunatullah. Untuk melangsungkan, menumbuhkan dan

mengembangkan kehidupan manusia sebagai hamba Allah yang paling mulia dan paling baik struktur kejadiannya diantara makhluk-makhluk lainnya (H.M. Arifin, 2011: 91).

Dengan mencontoh sistem mekanisme bekerjanya semesta alam dan tubuh manusia sendiri, para ilmuan khususnya di bidang pendidikan dapat

(2)

menginspirasi dan memotivasi umatnya untuk maju sesuai kebutuhan umat manusia yang mendambakan kemajuan yang mensejahterakan hidupnya masa kini dan masa depan sampai hidup di alam akhirat.

Selanjutnya beralih kepada pengertian mengenai pendidikan Islam, dalam membahas pendidikan Islam tidak terlepas dari pengertian pendidikan secara umum, sehingga akan diperoleh batasan-batasan pengertian pendidikan Islam secara jelas. Menurut Hasan Langgulung yang dikutip oleh Abuddin Nata (2003: 59) menyatakan bahwa pendidikan itu dapat dilihat dari dua segi, yakni dari sudut pandang masyarakat dan dari sudut pandang individu. Masyarakat memandang pendidikan sebagai pewarisan kebudayaan atau nilai-nilai budaya baik bersifat intelektual, keterampilan, keahlian dari generasi tua kepada generasi muda agar masyarakat tersebut dapat memelihara kelangsungan hidupnya atau tetap memelihara kepribadiannya. Dari segi pandangan individu pendidikan berarti upaya pengembangan potensi-potensi yang dimiliki individu yang masih terpendam agar dapat teraktualisasi secara konkrit, sehingga hasilnya dapat dinikmati oleh individu tersebut dan juga masyarakat.

Dari pengertian di atas maka dapat dipahami bahwa pendidikan mempunyai dua fungsi, yakni pada satu sisi pendidikan berfungsi untuk memindahkan nilai-nilai dalam upaya memelihara kelangsungan hidup suatu masyarakat dan peradaban. Sedangkan di sisi lain pendidikan berfungsi untuk mengaktualisasikan fitrah manusia agar dapat hidup secara optimal, baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat dan mampu memikul tanggung jawab, sehingga memperoleh kebahagiaan dan kehidupan yang sempurna.

M. Yusuf Qardhawi yang dikutip oleh Abuddin Nata (2003: 60) menyatakan bahwa pengertian pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya yakni akal dan hatinya serta jasmani dan rohaninya, akhlak dan keterampilannya karena itu pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkannya untuk

(3)

menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatan, manis dan pahit.

Adapun menurut salah satu pakar pendidikan Islam Naquib Al-Attas yang dikutip oleh Taqiyuddin (2011: 18) menuliskan bahwa, kata ta’dib merupakan istilah yang paling tepat dan cermat menunjukkan sebuah sistem sebuah pendidikan dalam Islam yang di dalamnya ada tiga sub-sistem yaitu pengetahuan, pengajaran dan pengasuhan (tarbiyah). Ini artinya bahwa, kata

tarbiyah merupakan salah satu sub sistem saja dari sistem ta’dib.

Selanjutnya Azyumardi Azra (2012: 6) menjelaskan tentang pengertian-pengertian pendidikan Islam penekanannya pada “bimbingan”, bukan “pengajaran” yang mengandung konotasi otoritatif pihak pelaksana pendidikan, katakanlah guru. Dengan bimbingan sesuai dengan ajaran-ajaran Islam maka anak didik mempunyai ruang gerak yang cukup luas untuk mengaktualisasikan segala potensi yang dimilikinya dan guru hanya sebagai fasilitator.

Berkaitan dengan hal tersebut, lebih lanjut Azyumardi Azra (2012: 10) menjelaskan pendidikan Islam memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan sistem pendidikan lainnya, diantaranya:

Pertama, pendidikan Islam penekanannya pada pencarian ilmu pengetahuan, penguasaan dan pengembangan. Ilmu ini merupakan suatu proses yang berkesinambungan dan pada prinsipnya berlansung seumur hidup (life long education) dalam sistem pendidikan modern. Sebagai sebuah ibadah proses pengembangan ilmu tersebut sangat menekankan pada nilai-nilai akhlak. Dalam konteks ini maka kejujuran, sikap tawadlu, menghormati sumber pengetahuan dan sebagainya merupakan prinsip-prinsip penting yang perlu dipegangi setiap pencari ilmu.

Kedua, sikap pengakuan akan potensi dan kemampuan seseorang untuk berkembang dalam suatu kepribadian. Setiap pencari ilmu dipandang sebagai makhluk Tuhan yang perlu dihormati dan disantuni, agar potensi-potensi yang dimilikinya dapat teraktualisasi dengan sebaik-baiknya.

(4)

Karakteristik pendidikan Islam berikutnya yaitu pengamalan ilmu pengetahuan atas dasar tanggung jawab kepada Tuhan dan masyarakat. Di sinilah pengetahuan bukan hanya untuk diketahui dan dikembangkan melainkan sekaligus dipraktikkan dalam kehidupan nyata. Dengan demikian, terdapat konsistensi antara apa-apa yang diketahui dengan pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam Islam, mengetahui suatu ilmu pengetahuan sama pentingnya dengan pengalamannya secara konkret sehingga dapat terwujud kemaslahatan (Azyumardi Azra, 2012: 10).

Setelah mengatahui pengertian mengenai sistem, pendidikan dan pendidikan Islam secara terperinci, maka penulis dapat memberikan sedikit simpulan bahwa sistem pendidikan Islam adalah satu kesatuan komponen pendidikan Islam yang satu sama lain saling berkaitan dan saling berinteraksi untuk mencapai suatu hasil yang diharapkan secara optimal sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan yakni sesuai dengan ajaran Islam.

Untuk menghindari kerancuan dalam penulisan serta lebih memfokuskan pada pokok pembahasan ini, penulis hanya akan memaparkan sub-sub sistem atau komponen-komponen pendidikan Islam yang meliputi: tujuan pendidikan Islam, pendidik dalam pendidikan Islam, peserta didik dalam pendidikan Islam, materi dalam pendidikan Islam, metode dalam pendidikan Islam, sarana dan prasarana dalam pendidikan Islam serta evaluasi dalam pendidikan Islam. Uraian selengkapnya akan dibahas pada poin selanjutnya.

B. Tujuan Pendidikan Islam

Dilihat dari segi cakupan atau ruang lingkupnya, tujuan pendidikan dapat dibagi dalam enam tahapan sebagai berikut.

1. Tujuan Pendidikan Secara Universal

Rumusan tujuan pendidikan yang bersifat universal dapat dirujuk pada hasil kongres tentang pendidikan Islam sebagai berikut (Abuddin Nata, 2012: 61).

(5)

“Pendidikan harus ditunjukan untuk menciptakan keseimbangan pertumbuhan kepribadian manusia secara menyeluruh dengan cara melatih jiwa, akal pikiran, perasaan dan fisik manusia dengan demikian. Pendidikan harus mengupayakan tumbuhnya seluruh potensi manusia. baik yang bersifat spiritual, intelektual, daya khayal, fisik, ilmu pengetahuan. Maupun bahasa, baik secara perorangan maupun kelompok dan mendorong tumbuhnya seluruh aspek tersebut agar mencapai kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan terletak pada terlaksananya pengabdian yang penuh kepada Allah, baik pada tingkat perorang, kelompok maupun kemanusiaan dalam arti yang seluas-luasnya”.

Tujuan pendidikan Islam yang bersifat universal ini dirumuskan dari berbagai pendapat para pakar pendidikan, seperti Al-Attas, Athiyah al-Abrasy, Munir Musri, Ahmad D. Marimba, Muhammad Fadhil al-Jamil Mukhtar Yahya, Muhammad Quthb dan sebagainya. Al-Attas, menghendaki tujuan pendidikan Islam yaitu manusia yang baik, sedangkan Athiyah al-Abrasyi menghendaki tujuan akhir pendidikan Islam yaitu manusia yang berakhlak mulia. Munir Mursi menghendaki tujuan akhir pendidikan yaitu manusia sempurna. Ahmad D. Marimba berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya orang yang berkepribadian muslim (Abuddin Nata, 2012: 62).

Muhammad Fadhil al-Jamali merumuskan tujuan pendidikan Islam dengan empat macam, yaitu:

a. Mengenalkan sesama manusia perannya di antara sesama makhluk dan tanggung jawab dalam hidup ini;

b. Mengenalkan manusia akan interaksi sosial dan tanggung jawabnya dalam tata hidup bermasyarakat;

c. Mengenalkan manusia akan alam dan mengajak mereka untuk mengetahui hikmah diciptakannya serta memberi kemungkinan kepada mereka untuk mengambil manfaat darinya; dan

d. Mengenakan manusia akan pencipta alam (Allah) dan menyuruhnya beribadah kepada-Nya (Abuddin Nata, 2012: 62).

Menurut Mukhtar Yahya yang dikutip oleh Abuddin Nata (2012: 62) berpendapat bahwa tujuan pendidikan Islam adalah memberikan

(6)

pemahaman ajaran-ajaran Islam pada peserta didik dan membentuk keluhuran budi pekerti sebagaimana misi Rasulullah SAW sebagai pengemban perintah menyempurnakan akhlak manusia, untuk memenuhi kebutuhan kerja.

Kemudian menurut Muhammad Quthb berpendapat, bahwa tujuan pendidikan adalah membina manusia secara pribadi dan kelompok sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai hamba Allah dan Khalifah-Nya guna membangun dunia ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan Allah (Abuddin Nata, 2012: 63).

Sebagaimana pendapat al-Abrasy yang dikutip oleh Abuddin Nata (2003: 213) bahwa tujuan pendidikan Islam adalah mendidik akhlak dengan memperhatikan segi-segi kesehatan, pendidikan fisik dan mental, perasaan dan praktek mempersiapkan manusia menjadi anggota masyarakat. Suatu moral yang tinggi adalah tujuan utama dan tertinggi dari pendidikan Islam dan bukan sekedar mengajarkan kepada anak-anak apa yang tidak diketahui mereka, tetapi lebih jauh dari itu menanamkan fadilah, membiasakan bermoral tinggi, sopan santun, islamiyah, tingkah perbuatan yang baik sehingga hidup ini menjadi suci, kesucian yang disertai dengan keikhlasan.

Menurut Hasan Langgulung yang dikutip oleh Abuddin Nata (2003: 211) tujuan pendidikan Islam adalah suatu istilah untuk mencari fadilah, kurikulum pendidikan Islam berintikan akhlak yang mulia dan mendidik jiwa manusia berkelakuan dalam hidupnya sesuai dengan sifat-sifat kemanusiaan yakni kedudukan yang mulia yang diberikan Allah SWT melebihi makhluk-makhluk lain dan dia diangkat sebagai khalifah.

Lebih lanjut menurut Ahmad Tafsir (2012: 206) dalam pandangan Islam pendidikan harus mengutamakan pendidikan keimanan. Pendidikan di sekolah juga demikian. Sejarah telah membuktikan bahwa pendidikan yang tidak atau kurang memperhatikan pendidikan keimanan akan menghasilkan lulusan yang kurang baik akhlaknya. Akhlak yang rendah itu akan sangat berbahaya bagi kehidupan bersama, dapat menghancurkan sendi-sendi kehidupan bersama bahkan dapat menghancurkan negara bahkan dunia.

(7)

Lulusan sekolah yang kurang kuat imannya akan sangat sulit menghadapi kehidupan pada zaman yang benar-benar global kelak. Adapun tujuan pendidikan Islam menurut Arifin (2014: 54) yakni penggambaran nilai-nilai islami yang hendak diwujudkan dalam pribadi manusia didik pada akhir dari proses tersebut.

Dengan istilah lain, tujuan pendidikan Islam adalah perwujudan nilai-nilai islami dalam pribadi manusia didik yang diikhtiarkan oleh pendidik muslim melalui proses yang tercermin pada hasil yang berkepribadian Islam yang beriman, bertakwa dan berilmu pengetahuan yang sanggup mengembangkan dirinya menjadi hamba Allah yang taat.

Tujuan pendidikan Islam yang bersifat universal tersebut memiliki ciri-ciri sebagai berikut.

a. Mengandung prinsip universal (syumuliyah) antara aspek kaidah, bidah, akhlak, dan muamalah; Keseimbangan dan kesederahanaan (tawazul dan iqtisyadiyah) antara aspek pribadi, komunitas, dan kebudayaan; Kejelasan (tabayyun), terhadap aspek kejiwaan manusia (qalb, akal dan hawa nafsu) dan hukum setiap masalah; Kesesuain atau tidak bertentangan antara berbagai unsur dan cara pelaksanaannya; Realisme dan dapat dilaksanakan, tidak berlebih-lebihan, praktis, realistik, sesuai dengan fitrah dan kondisi sosioekonomi, sosiopolitik dan sosiokultural yang ada; Sesuai dengan perubahan yang diinginkan, baik pada aspek rohaniah dan nafsaniyah, serta perubahan kondisi psikologi, sosiologi, pengetahuan, konsep, pikiran, kemahiran, nilai-nilai, sikap peserta didik untuk mencapai dinamisasi kesempurnaan pendidikan; Menjaga perbedaan individu, serta prinsip dinamis dalam menerima perubahan dan perkembangan yang terjadi pada pelaku pendidikan serta lingkungan dimana pendidikan itu dilaksanakan.

b. Mengandung keinginan untuk mewujudkan manusia yang sempurna (insan kamil) yang di dalamnya memiliki wawasan kaffah agar mampu menjalankan tugas-tugas kehambaan, kekhalifahan dan pewaris Nabi (Abuddin Nata, 2012: 63).

(8)

Apabila ciri-ciri tersebut dikaitkan dengan ayat-ayat al-Qur’an dan hadits, maka tujuan pendidikan Islam adalah sebagai berikut (Abuddin Nata, 2003: 213).

1) Tujuan pertama adalah menumbuhkan dan mengembangkan ketakwaan kepada Allah SWT sebagaimana firman Allah SWT:



























“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan mati dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali Imran, 3: 102).

(Depag RI, 2000: 92)

2) Tujuan pendidikan Islam adalah membina dan memupuk akhlakul karimah sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW, (Syekh Maulana Muhammad Yusuf Al-Kandhawi Raha, 2005: 421):

ِقَلاْخَلاْا َمِراَكَم َمِمَتِلا ُتْثِعُب اَمنَِّا

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.”

(HR. Al-Baihaqi)

3) Tujuan pendidikan Islam adalah menumbuhkan sikap dan jiwa yang selalu beribadah kepada Allah, sebagaimana firman-Nya:















“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (QS.Ad-Dzariyaat, 51: 56). (Depag RI, 2000: 862)

Dijelaskan lebih lanjut oleh Quraish Shihab yang dikutip oleh Abuddin Nata (2008: 265) bahwa pengabdian kepada Allah sejalan dengan tujuan memperhambakan diri kepada Allah sebagai tujuan pendidikan dan telah disepakati pula oleh umumnya para pakar dalam pendidikan Islam.

Muhammad Natsir mengatakan bahwa tujuan pendidikan ialah tujuan hidup manusia. Memperhambakan diri kepada Allah, akan menjadi hamba Allah, inilah tujuan hidup kita di dunia ini dan oleh sebab itulah pula tujuan

(9)

pendidikan yang wajib kita berikan kepada anak-anak yang sedang menghadapi kehidupan (Susanto A, 2010: 122).

Dengan demikian, menghambakan diri kepada Allah dapat juga berpengaruh kepada timbulnya akhlak yang mulia. Itulah sebabnya rumusan lain dari tujuan pendidikan sebagaimana dikemukakan oleh Athiyah al-Abrasy adalah mendidik akhlak dan jiwa anak didik. Menanamkan rasa fadhilah (keutamaan), membiasakan mereka dengan kesopanan yang tinggi, mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya, ikhlas dan jujur.

Dengan dasar ini maka tujuan pokok dan terutama dari pendidikan Islam ialah mendidik budi pekerti dan pendidikan jiwa. Athiyah lebih lanjut menghimbau agar semua mata pelajaran harus mengandung nilai-nilai akhlak, dan setiap guru harus memperhatikan akhlak, setiap juru didik haruslah memikirkan akhlak keagamaan sebelum yang lain-lainnya, karena akhlak keagamaan adalah akhlak yang tertinggi, sedang akhlak mulia adalah tiang dari pendidikan Islam.

Senada dengan uraian di atas, Hasan Langgulung mengatakan bahwa tujuan pendidikan itu berbicara tentang tujuan hidup manusia. rumusannya didasarkan pada suatu prinsip bahwa pendidikan hanyalah suatu alat yang digunakan oleh manusia untuk dapat memelihara kelanjutan hidupnya, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.

Dengan bersandar pada surat Adz-Dzaariyaat ayat 56 dengan berbagai tafsirannya, nampaknya dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan adalah beribadah kepada Allah dalam arti seluas-luasnya yang tercermin dalam akhlak yang keluar secara spontanitas dari aktifitas kehidupannya.

Aktifitas pengabdian kepada Allah selanjutnya dikombinasi dengan peran manusia sebagai khalifah di muka bumi. Al-Qur’an dengan tegas mengatakan:

(10)



























































“Dan (Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.’ Mereka berkata: ‘mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih memuji Engkau dan mensucikan Engkau?’ Tuhan berfirman: ‘Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. al-Baqarah, 2:

30). (Depag RI, 2000: 13)

Artinya manusia yang dijadikan khalifah itu bertugas memakmurkan atau membangun bumi ini sesuai dengan konsep yang ditetapkan oleh yang menugaskan, yaitu Allah. Dengan kata lain yakni berupa pengabdian kepada Allah sejalan dengan tujuan penciptaan manusia.

Lebih lanjut mengenai khalifah, Quraish Shihab mengatakan bahwa kekhalifahan mengharuskan adanya empat hal yang saling berkaitan:

1. Pemberi tugas, dalam hal ini Allah SWT.

2. Penerima tugas, dalam hal manusia, perorangan maupun kelompok. 3. Tempat atau lingkungan di mana manusia berada.

4. Materi-materi penugasan yang harus mereka lakukan.

Keempat materi inilah yang kemudian menjadi dasar penilaian tentang kesuksesan manusia dalam melaksanakan fungsi kekhalifahannya. Quraish Shihab lebih lanjut menjelaskan, bahwa tugas kekhalifahan tersebut tidak akan dinilai berhasil apabila materi penugasan tersebut tidak dilaksanakan atau apabila kaitan antara penerima tugas dengan lingkungannya tidak diperhatikan.

Khusus menyangkut kaitan antara penerima tugas dan lingkungannya harus digaris bawahi bahwa corak hubungan tersebut dapat berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lain. Karena itu penjabaran tugas

(11)

kekhalifahan harus sejalan dan diangkat dari dalam masyarakat itu masing-masing.

c. Tujuan Pendidikan Islam Secara Nasional

Tujuan pendidikan Islam nasional ini adalah tujuan pendidikan Islam yang dirumuskan oleh setiap negara (Islam). Dalam kaitan ini, maka setiap negara merumuskan tujuan pendidikannya dengan mengacu kepada tujuan universal sebagaimana tersebut di atas. Tujuan pendidikan Islam secara nasional di Indonesia, tampaknya secara eksplisit belum dirumuskan, karena Indonesia bukanlah negara Islam.

Untuk itu tujuan pendidikan Islam secara nasional dapat dirujuk kepada tujuan pendidikan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional sebagai berikut (Sukarno, 2003. 5).

“Membentuk manusia yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia,

berkepribadian, memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi,

keterampilan, sehat jasmani dan rohani, memiliki rsa seni, serata bertanggung jawab bagi masyarakat, bangsa, dan negara”.

Rumusan tujuan pendidikan nasional tersebut, maupun secara eksplisit tidak menyebutkan kata-kata Islam, namun substansinya memuat ajaran Islam. Dalam rumusan tujuan pendidikan nasional tersebut mengandung nilai-nilai ajaran yang telah terobjektivasi, yakni ajaran Islam yang telah mentransformasi kedalam nila-nilai yang telah disepakati dalam kehidupan nasional. Rumusan tujuan pendidikan nasional tersebut memperlihatkan tentang kuatnya pengaruh ajaran Islam ke dalam pola pikir (mindset) bangsa Indonesia.

d. Tujuan Pendidikan Islam Secara Institusional

Tujuan pendidikan islam secara institusional adalah tujuan pendidikan yang dirumuskan oleh masing-masing lembaga pendidikan Islam, mulai dari tingkat taman kanak-kanak atau raudatul atfal, sampai dengan perguruan tinggi.

(12)

e. Tujuan Pendidikan Islam pada Tingkat Program Studi (Kurikulum)

Tujuan pendidikan Islam pada tingkat program studi ialah tujuan pendidikan yang disesuaikan dengan program studi.

f. Tujuan Pendidikan Islam pada Tingkat Mata Pelajaran

Tujuan pendidikan Islam pada tingkat mata pelajaran yaitu tujuan pendidikan yang didasarkan pada tercapainya pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran Islam yang terdapat pada bidang studi atau mata pelajaran tertentu.

g. Tujuan Pendidikan Islam pada Tingkat Pokok Bahasan

Tujuan pendidikan Islam pada tingkat pokok bahasan yaitu tujuan pendidikan yang didasarkan pada tercapainya kecakapan (kompetensi) utama dan kompetensi dasar yang terdapat pada pokok bahasan tersebut. h. Tujuan Pendidikan Islam pada Tingkat Subpokok Bahasan

Tujuan pendidikan Islam pada tingkat subpokok bahasan yaitu tujuan pendidikan yang didasarkan pada tercapainya kecakapan (kompetensi) yang terlihat pada indikator-indikatornya secara terukur.

Sebagaimana tujuan pendidikan yang dilihat dari segi ruang lingkup dan cakupannya sebagaimana tersebut di atas, terdapat pula tujuan pendidikan yang dilihat dari segi kepentingan masyarakat, individu peserta didik dan gabungan antara keduanya.

1. Tujuan pendidikan dari segi kepentingan sosial, yakni tujuan pendidikan yang diharapkan oleh masyarakat. Termasuk pula di dalamnya tujuan pendidikan yang diharapkan oleh agama, msyarakat, negara ideologi, organisasi dan sebagainya. Dalam konteks ini, maka pendidikan sering kali menjadi alat untuk mentransformasikan nilai-nilai yang dikehendaki oleh agama, masyarakat negara, ideologi dan organisasi tersebut.

2. Tujuan pendidikan Islam dari segi kepentingan individual yaitu tujuan yang menyangkut individu, melalui proses belajar dalam rangka mempersiapkan dirinya dalam kehidupan dunia dan akhirat. Dengan tujuan ini, maka pendidikan bukanlah mentransformasikan atau mentransmisikan nilai-nilai yang berasal dari luar kepada diri peserta didik, melainkan lebih bersifat

(13)

menggali, mengarahkan dan mengembangkan motivasi, minat, bakat dan potensi anak didik agar tumbuh, berkembang dan terbina secara optimal, sehingga potensi yang semula terpendam itu menjadi muncul ke permukaan dan menjadi aktual atau nyata dalam realitas.

3. Tujuan pendidikan dari segi perpaduan (konvergensi) antara bakat dari anak dan nilai budaya yang berasal luar. Dengan pandangan ini, maka dari satu sisi pendidikan memberikan ruang gerak dan kebebasan bagi peserta didik untuk mengekspresikan bakat, minat dan potensinya yang bersifat khas individualistik, namun dari sisi lain pendidikan memberikan atau memutuskan nilai-nilai atau ajaran yang bersifat universal dan diakui oleh masyarakat ke dalam diri anak (Abuddin Nata, 2012: 63-69).

Berdasarkan pendapat dari beberapa tokoh pemikiran Islam di atas, maka dapat disimpulkan bahawa tujuan pendidikan Islam mengorientasikan pada tujuan hidup manusia di muka bumi serta pengaplikasian rasa ketakwaannya kepada Allah SWT itu ditunjukkan dengan memiliki akhlak yang mulia.

C. Pendidik dalam Pendidikan Islam

Pendidik ialah tenaga profesional yang diserahi tugas dan tanggung jawab untuk menumbuhkan, membina, mengembangkan bakat, minat, kecerdasan, akhlak, moral, pengalaman, wawasan dan keterampilan peserta didik. Seorang pendidik adalah orang yang berilmu pengetahuan dan berwawasan luas, memiliki keterampilan, pengalaman, berkepribadian mulia, memahami yang tersurat dan tersirat, menjadi contoh dan model bagi muridnya, senantiasa membaca dan meneliti, memiliki keahlian yang dapat diandalkan, serta menjadi penasihat (Abuddin Nata, 2012: 165).

Selanjutnya, dalam konteks pendidikan Islam banyak sekali kata yang mengacu pada pengertian guru, seperti murabbi, mu’allim dan mu’addib. Ketiga kata tersebut memiliki fungsi penggunaan yang berbeda-beda. Disamping itu, guru kadang disebut melalui gelarnya, seperti al-ustadz dan

(14)

oleh Sri Minarti (2013: 108) yaitu kata ‘alim bentuk jamaknya adalah ‘ulama atau mudarris yang berarti pengajar (orang yang memberi pelajaran). Namun secara umum, mu’allim lebih banyak digunakan daripada kata mudarris. Sementara itu, kata mu’addib merujuk kepada guru yang secara khusus mengajar di istana. Lain halnya dengan kata ustadz yang mengacu kepada guru yang khusus mengajar agama Islam. Terakhir, syaikh digunakan untuk merujuk kepada guru dalam bidang tasawuf.

Setelah mengetahui pengertian pendidik dalam pendidikan Islam, jika dilihat dari pengertiannya saja bahwa salah satu faktor yang paling menentukan berhasilnya proses belajar mengajar dalam kelas adalah pendidik atau guru. Karena itu, guru tidak saja mendidik melainkan bertugas profesional memindahkan ilmu pengetahuan atau penyalur ilmu pengetahuan yang dikuasai kepada anak didik.

Manusia memiliki potensi jiwa yaitu kekuatan yang tidak terlihat dan tidak diketahui materi dan cara kerjanya yaitu alat untuk mengadakan kontak dengan Tuhan. Potensi-potensi rohaniah tersebut antara lain pendengaran, penglihatan dan hati sanubari.

































“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (QS. an-Nahl, 16: 78). (Depag RI, 2000:

413).

Potensi-potensi tersebut di samping sebagai alat yang menghubungkan pengetahuan atau informasi dari luar ke dalam diri manusia, juga sekaligus merupakan objek yang harus diisi dengan materi-materi pendidikan. Untuk itu ada materi-materi pendidikan yang difokuskan kepada pembinaan rohani yang antara lain penanaman nilai-nilai akhlak yang mulia, etika kesopanan pergaulan serta nilai-nilai keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan. Pembinaan rohani manusia itu penting, karena dari rohani yang sehat itu akan muncul perbuatan yang sehat pula.

(15)

Berkaitan dengan pembinaan rohani tersebut, dalam al-Qur’an banyak ayat-ayat yang menekankan pentingnya keimanan sebagai bagian yang amat essensial bagi pangkal tolak ketakwaan dan timbulnya ketenangan batin.

Berikut adalah salah satu ayat yang menunjukkan kualitas iman yang harus dipilih oleh seseorang serta sekaligus menunjukkan pengaruh positif yang akan ditimbulkan dari keimanan yang berkualitas itu.









































“Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah, ‘Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuki kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang benar’.” (QS. al-Hujurat, 49: 17).

(Depag RI, 2000: 848).

Ayat ini antara lain menjelaskan bahwa iman adalah merupakan salah satu karunia yang terbesar dari Allah dan kekuatan rohani yang diisi dengan iman itulah yang kemudian dapat menjadi penuntun kepada kebenaran dan merupakan penghubung antara manusia dengan Tuhan, ia merupakan kekuatan yang paling besar, paling hebat dan paling kuat dalam berhubungan dengan alam nyata.

Potensi berikutnya Abuddin Nata (2008: 275) menyebutkan potensi yang dimiliki oleh manusia adalah potensi akal yang merupakan salah satu kekuatan manusia yang paling besar dan merupakan pemberian Tuhan yang tidak dapat dinilai harganya dengan apapun.

Dalam hubungan dengan potensi akal tersebut al-Qur’an menegaskan:



























“Katakanlah: ‘Dialah yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati’, tetapi amat sedikit kamu bersyukur’.” (QS. al-Mulk, 67: 23). (Depag RI, 2000: 957).

(16)

Kata ‘hati’ yang terdapat dalam ayat tersebut menurut Muhammad Quthb adalah dipakai untuk pengertian akal atau kekuatan menangkap atau mengindera pada umumnya. Dengan ayat tersebut menjadi jelas, bahwa akal adalah pemberian Allah dan itu harus disyukuri dengan memelihara, mendidik dan memakainya seoptimal mungkin.

Selanjutnya ayat yang menerangkan tentang akal yaitu sebagai berikut.























“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab (Taurat)?, maka tidakkah kamu berfikir?.” (QS. al-Baqarah, 2: 44).

(Depag RI, 2000: 16).

Dengan demikian akal dalam pengertian Islam bukanlah otak, tetapi daya berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia. pengertian serupa ini sejalan dengan keterangan yang diberikan oleh al-Qur’an yang lebih menunjukkan kepada aktifitas berfikir dan bukan pada mempermasalahkan substansi akal itu sendiri.

Sehubungan dengan adanya akal itulah, maka pendidik dalam pendidikan Islam hendaknya memiliki tingkat intelektual yang baik, sehingga memiliki keterampilan berfikir dan memecahkan permasalahan. Kemampuan berpikir dengan menggunakan akal secara cepat, tepat dan benar itu sangat dibutuhkan oleh seorang hamba yang akan sekaligus menjadi khalifah di muka bumi.

Menurut Muzayyin Arifin (2011: 118) guru juga menjadi pemimpin atau pendidik dan pembimbing di kalangan anak didiknya. Oleh karena itu sebagai seorang pendidik harus memiliki kemampuan untuk mengorganisasikan ide-ide yang perlu dikembangkan guna tercapainya pembelajaran yang efektif,

pendidik pun harus mampu mengarahkan dan membina untuk

mengembangkan bakat dan kemampuan anak didik serta meningkatkan kejiwaan dan jasmaninya.

(17)

Adapun ketentuan tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang tenaga pendidik profesional, yakni sebagaimana yang ada dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen: “Adalah berfungsi untuk meningkatkan martabat, dan peran guru sebagai agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.”

Sementara itu pada Pasal 5 UU No. 14 Tahun 2005 tersebut dinyatakan, bahwa:

“Kedudukan dosen sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran sebagai agen pembelajaran, pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, serta pengabdi kepada masyarakat berfungsi untuk untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.”

Al-Ghazali mengemukakan kriteria pendidikan yang dikutip oleh Abuddin Nata (2012: 169) yaitu seorang pendidik hendaknya seorang yang manusiawi, humanis, demokratis, terbuka, adil, jujur, berpihak pada kebenaran, menjunjung akhlak mulia, toleran, egaliter, besahabat, pemaaf dan menggembirakan. Dengan sifat-sifat yang demikian itu, maka seorang pendidik dapat menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar dalam keadaan yang partisipatif, aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan.

Menurut al-Ghazali dalam bukunya Abdul Mujib (2006: 90) menyebutkan bahwa tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan, menyucikan, serta membawakan hati manusia untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT.

Sejalan dengan itu, Al-Abrasyi dalam kutipan Abuddin Nata (2012: 169) berpendapat bahwa seorang harus memiliki kriteria sebagai berikut. 1. Mempunyai watak kebapakan sebelum menjadi seorang pendidik,

sehingga dapat menyayangi peserta didiknya seperti menyayangi anaknya sendiri.

2. Adanya komunikasi yang aktif antara pendidik dan peserta didik. 3. Memerhatikan kemampuan dan kondisi peserta didiknya.

4. Mengetahui kepentingan bersama, tidak terfokus pada sebagian peserta didik saja.

(18)

5. Mempunyai sifat-sifat keadilan, kesucian dan kesempurnaan.

6. Ikhlas dalam menjalankan aktivitasnya, tidak banyak menuntut hal-hal yang di luar kewajibannya.

7. Dalam mengajar selalu mengaitkan materi yang diajarkan dengan materi lainnya.

8. Memberi bekal kepada peserta didik dengan bekal ilmu yang dibutuhkan masa depan.

9. Sehat jasmani dan rohani serta mempunyai kepribadian yang kuat, tanggung jawab dan mampu mengatasi problem peserta didik, serta mempunyai rencana yang matang untuk menatap masa depan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.

Mengutip pendapatnya Roestiyah yang dikutip oleh Abdul Mujib (2006: 91) fungsi dan tugas pendidik dalam pendidikan dapat disimpulkan menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Sebagai pengajar (instruksional), yang bertugas merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program yang telah disusun serta mengakhiri dengan pelaksanaan penilaian setelah program dilakukan. 2. Sebagai pendidik (educator), yang mengarahkan peserta didik pada

tingkat kedewasaan dan berkepribadian kamil seiring dengan tujuan Allah SWT. menciptakannya.

3. Sebagai pemimpin (managerial), yang memimpin, mengendalikan kepada diri sendiri, peserta didik dan masyarakat yang terkait, terhadap berbagai masalah yang menyangkut upaya pengarahan, pengawasan, pengorganisasian, pengontrolan dan partisipasi atas program pendidikan yang dilakukan.

Menurut Muhaimin (2015: 50) secara utuh mengemukakan tugas-tugas pendidik dalam pendidikan Islam. Dalam rumusannya, Muhaimin menggunakan istilah ustadz, mu’allim, murabbi, mursyid, mudarris dan

(19)

Berikut karakteristik tugas pendidik dalam pendidikan Islam.

1. Ustadz: orang yang berkomitmen dengan profesionalitas, yang melekat pada dirinya sikap dedikatif, komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta sikap continuous improvement.

2. Mu’allim: orang yang menguasai ilmu dan mampu mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya, sekaligus melakukan transfer ilmu pengetahuan,

internalisasi, serta implementasi (amaliah).

3. Murabbi: orang yang mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi serta mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam sekitarnya.

4. Mursyid: orang yang mampu menjadi model atau sentral identifikasi diri atau menjadi pusat anutan, teladan dan konsultan bagi peserta didiknya. 5. Mudarris: orang yang memiliki kepekaan intelektual dan informasi, serta

memperbarui pengatahuan dan keahliannya secara berkelanjutan dan berusaha mencerdaskan peserta didiknya, memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya.

6. Mu’addib: orang yang mampu menyiapkan peserta didik untuk bertanggung jawab dalam membangun peradaban yang berkualitas di masa depan.

Seorang pendidik yang bertanggung jawab tentunya harus memiliki

kompetensi-kompetensi tertentu yang memungkinkan kewajibannya

tertunaikan secara baik. Kompetensi secara sederhana berarti kemampuan atau kecakapan. Kompetensi di sini berarti kemampuan dan kecakapan seorang pendidik mengaplikasikan dan memanfaatkan situasi belajar mengajar dengan menggunakan prinsip-prinsip dan teknik penyajian bahan pelajaran yang telah disiapkan secara matang, sehingga dapat diserap oleh anak didiknya dengan mudah (Mahmud dan Tedi, 2008: 126).

(20)

Menurut Muhaimin yang dikutip oleh Mahmud dan Tedi (2008: 126) pendidik dalam pendidikan Islam paling tidak harus memiliki tiga kompetensi dasar, yaitu sebagai berikut.

1. Kompetensi personal religius; kemampuan dasar menyangkut kepribadian agamis, artinya pada dirinya melekat nilai-nilai yang hendak ditraninternalisasikan kepada peserta didiknya. Misalnya nilai kejujuran, keadilan, kebersihan dan sebagainya. Nilai tersebut harus dimiliki oleh seorang pendidik untuk memudahkkan mentransinternalisasi (pemindahan dan penghayatan nilai-nilai) terhadap anak didik.

2. Kompetensi sosial religius; kemampuan menyangkut kepedulian terhadap masalah sosial selaras dengan ajaran Islam, seperti tolong menolong, gotong royong dan sebagainya.

3. Kompetensi profesional religius; kemampuan dasar menyangkut kemampuan untuk menjalankan tugasnya secara profesional dalam arti mampu membuat keputusan keahlian atas beragamnya kasus serta mampu mempertanggung jawabkan berdasarkan teori dan wawasan keahliannya dalam perspekti Islam.

Dari apa yang telah dikemukakan di atas maka penulis menarik kesimpulan bahwa pendidik dalam pendidikan Islam itu harus memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sehat jasmani dan rohani serta tugas-tugas sebagai pendidik demi terlaksananya tujuan pendidikan pendidikan Islam.

D. Peserta Didik dalam Pendidikan Islam

Peserta didik dalam pendidikan Islam adalah individu yang sedang tumbuh dan berkembang, baik secara fisik, psikologis, sosial dan religius dalam mengarungi kehidupan di dunia dan di akhirat kelak. Abuddin Nata (2012: 175) menyebutkan beberapa karakteristik peserta didik berdasarkan tingkat usia, kecerdasan, bakat, hobi dan minat, tempat tinggal dan budaya, serta lainnya.

(21)

a. Tahap asuhan (uasia 0-2 tahun) neonatus, tahap ini individu belum memiliki kesadaran dan daya intelektual. Pada tahap ini hanya mampu menerima rangsangan yang bersifat biologis dan psikologis melalui air susu ibunya.

b. Tahap jasmani (usia 2-12 tahun), pada tahap ini anak mulai memiliki potensi biologis, pedagosis dan psikologis, sehingga seorang anak sudah mulai dapat dibina, dilatih, dibimbing, diberikan pelajaran dan

pendidikan yang disesuaikan dengan bakat, minat dan

kemampuannya.

c. Tahap psikologis (usia 12-20 tahun), pada fase ini anak mulai dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, yakni dimana pada tahap ini anak sudah dapat dibina, dibimbing dan dididik untuk melaksanakan tugas-tugas yang menuntut komitmen dan tanggung jawab dalam arti yang luas.

d. Tahap dewasa (usia 20-30 tahun), yakni anak sudah disebut dewasa dalam arti yang sesungguhnya. Pada tahap ini sudah memiliki kematangan dalam bertinda, bersikap dan mengambil keputusan untuk menentukan masa depannya sendiri.

e. Tahap bijaksana (30 sampai akhir hayat), pendidikan pada tahap ini dilakukan dengan cara mengajak mereka agar mau mengamalkan ilmu, keterampilan, pengalaman dan yang lainnya untuk kepentingan bersama orang lain.

2. Karakteristik peserta didik berdasarkan teori fitrah Di dalam al-Qur’an ditegaskan bahwa:













































“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. ar-Rum, 30:

(22)

Fitrah yang ada pada manusia ialah potensi dasar, yaitu berupa kecenderungan untuk beragama dan menyukai kebaikan, kecenderungan untuk berilmu dan menyukai kebaikan, kecenderungan untuk berilmu dan menyukai kebenaran, kecenderungan untuk mengikuti nafsu biologis, nafsu syahwat dan bakat bawaan yang diberikan oleh orang tua, serta naluri.

Semua potensi tersebut pada asalnya netral dan dapat menerima pengaruh yang datang dari luar, yakni pengaruh orang tua, teman dekat, informasi teknologi, lingkungan dan hidayah dari Tuhan. Karena demikian adanya, maka pendidikan dan pengajaran dalam arti luas memiliki peranan yang amat penting.

3. Karakteristik peserta didik berdasarkan tingkat kecerdasan

Memahami kecerdasan peserta didik dengan berbagai bentuk, tingkatan dan variasinya maka sorang guru di samping dapat merancang bahan pelajaran yang sangat cocok dan dapat menentukan metode serta pendekatan yang paling tepat. Untuk itu, sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai, setiap guru perlu memiliki data yang memadai tentang kondisi setiap peserta didik yang akan mereka didik.

4. Karakteristik peserta didik berdasarkan kondisi sosial ekonomi dan budaya Mengetahui latar belakang sosial ekonomi dan budaya tersebut, maka seorang guru dapat menentukan metode dan pendekatan yang tepat dalam memperlakukan mereka, serta membangun komunikasi yang tepat, wajar dan proporsional, tanpa ada maksud untuk memberikan perlakuan yang istimewa antara satu dan lainnya atau menampakkan sikap dan perlakuan yang diskriminatif.

Dengan demikian tugas mendidik ialah tugas profesional yang antara lain ditandai oleh kemampuan memahami keadaan pesserta didik dalam seluruh aspeknya secara tepat, serta mampu menggunakannya untuk menentukan desain atau rancangan materi pembelajaran, serta metode dan pendekatan yang akan digunakan.

(23)

Menurut Al-Abrasy, seperti yang dikutip oleh Abuddin Nata (2012: 183) peserta didik harus memiliki akhlak mulia, antara lain:

1. Membersihkan diri dari sifat-sifat tercela 2. Memiliki sifat yang mulia

3. Meninggalkan kesibukan duniawi

4. Menjalin hubungan yang harmonis dengan guru 5. Menyenangkan hati dan memuliakan guru

6. Menjaga rahasia dan menunjukkan sikap sopan santun kepada guru 7. Tekun dan bersungguh-sungguh dalam belajar

8. Memilih waktu belajar yang tepat

9. Belajar sepanjang hayat dan memelihara rasa persaudaraan dan persahabatan.

E. Materi dalam Pendidikan Islam

Materi dalam pendidikan Islam merupakan isi dari kurikulum pendidikan, syarat-syarat yang perlu diajukan dalam perumusan kurikulum, yaitu sebagai berikut (Bukhari Umar, 2011: 172-176).

1. Materi yang tersusun tidak menyalahi fitrah manusia.

2. Adanya relevansi dengan tujuan pendidikan Islam, yaitu sebagi upaya mendekatkan diri dan beribadah kepada Allah SWT dengan penuh ketakwaan dan keikhlasan.

3. Disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan usia peserta didik.

4. Perlunya membawa peserta didik kepada objek empiris, praktik langsung dan memiliki fungsi pragmatis, sehingga mereka mempunyai keterampilan-keterampilan yang riil.

5. Penyusunan kurikulum bersifat integral, terorganisasi dan terlepas dari segala kontradiksi antara materi satu dengan materi lainnya.

6. Materi yang disusun memiliki relevansi dengan masalah-masalah yang mutakhir, yang sedang dibicarakan dan relevan dengan tujuannya.

7. Adanya metode yang mampu menghantar tercapainya materi pelajaran dengan memperhatikan perbedaan masing-masing individu.

(24)

8. Materi yang disusun mempunyai relevansi dengan tingkat perkembangan peserta didik.

9. Memperhatikan aspek-aspek sosial, misalnya dakwah Islamiyah.

10. Materi yang disusun mempunyai pengaruh positif terhadap jiwa peserta didik, sehingga menjadikan kesempurnaan jiwanya.

11. Memperhatikan kepuasan pembawaan fitrah, seperti memberikan waktu istirahat dan refreshing untuk menikmati suatu kesenian.

12. Adanya ilmu alat untuk mempelajari ilmu-ilmu lain.

Setelah syarat-syarat tersebut terpenuhi, disusunlah isi kurikulum pendidikan Islam. Ibnu Khaldun, sebagaimana yang dikutip oleh Al-Abrasy dalam (Bukhari Umar, 2011: 173), membagi materi pendidikan Islam dengan dua tingkatan, yaitu sebagai berikut.

a. Tingkatan pemula (manhaj ibtida’i)

Materi pemula difokuskan pada pembelajaran al-Qur’an dan as-Sunnah. Ibnu Khaldun memandang bahwa al-Qur’an merupakan asal agama, sumber berbagai ilmu pengetahuan dan asas pelaksana pendidikan Islam. Di samping itu, mengingat isi al-Qur’an mencakup materi penanaman akidah dan keimanan pada jiwa peserta didik serta memuat akhlak mulia dan pembinaan pribadi menuju perilaku yang positif.

b. Tingkat atas (manhaj ‘ali)

Pada tingkat ini mempunyai dua kualifikasi; Pertama,ilmu-ilmu yang berkaitan dengan dzatnya sendiri, seperti ilmu syariah yang mencakup fiqh, tafsir, hadis, ilmu kalam, ilmu bumi dan ilmu filsafat. Kedua, ilmu-ilmu yang ditujukan untuk ilmu-ilmu lain dan bukan berkaitan dengan dzatnya sendiri, misalnya ilmu bahasa (linguistik), ilmu matematika dan ilmu mantiq (logika).

Al-Ghazali dalam (Bukhari Umar, 2011: 174) membagi materi pendidikan Islam dengan empat kelompok dengan mempertimbangkan jenis dan kebutuhan ilmu itu sendiri, yaitu:

a. Ilmu-ilmu al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama, misalnya ilmu fiqh, as-Sunnah, tafsir dan sebagainya.

(25)

b. Ilmu-ilmu bahasa sebagai alat untuk mempelajari ilmu al-Qur’an dan ilmu agama.

c. Ilmu-ilmu yang fardhu kifayah, seperti ilmu kedokteran, matematika, industri, pertanian, teknologi dan sebagainya.

d. Ilmu-ilmu beberapa cabang ilmu filsafat.

Klasifikasi materi tersebut berpijak pada klasifikasi ilmu pengetahuan dengan tiga kelompok, yaitu sebagai berikut.

a. Ilmu pengetahuan menurut kuantitas yang mempelajari

1) Ilmu fardhu’ain, yaitu ilmu yang harus diketahui oleh setiap muslim yang bersumber dari kitab Allah.

2) Ilmu fardhu kifayah, yaitu ilmu yang cukup dipelajari oleh sebagian orang muslim, seperti ilmu yang berkaitan dengan masalah duniawi misalnya ilmu hitung, kedokteran, teknik pertanian, industri dan sebagainya.

b. Ilmu pengetahuan menurut fungsinya

1) Ilmu tercela (madzmumah), yaitu ilmu yang tidak berguna untuk masalah dunia dan masalah akhirat, serta mendatangkan kerusakan, misalnya ilmu sihir, nujum dan perdukunan.

2) Ilmu terpuji (mahmudah), yaitu ilmu-ilmu agama yang dapat menyucikan jiwa dan menghindarkan hal-hal yang buruk, serta ilmu yang dapat mendekatkan diri manusia kepada Allah SWT.

3) Ilmu terpuji dalam batasan-batasan tertentu dan tidak boleh dipelajari secara mendalam, karena akan mendatangkan atheis seperti ilmu filsafat.

Selanjutnya, Al-Ghazali membagi ilmu model ini kepada lima macam, yaitu:

a) Olahraga (riyadhiyah), seperti ilmu teknik, matematika dan organisasi. b) Ilmu logika (mantiq) yang digunakan untuk mendatangkan pemahaman

dan bukti dari dalil syar’i.

c) Ilmu teologi (uluhiyah), yaitu ilmu yang digunakan untuk

(26)

d) Ilmu alam (thab’iyyah), yaitu ilmu yang digunakan mengetahui sifat-sifat jasmani, seperti psikologi dan sebagainya.

e) Ilmu politik dan rekayasa untuk kepentingan kemaslahatan dunia. c. Ilmu pengetahuan menurut sumbernya

1) Ilmu syar’iyyah, yaitu ilmu-ilmu yang didapat dari wahyu ilahi dan sabda Nabi SAW.

2) Ilmu ‘aqliyyah, yaitu ilmu yang berasal dari akal pikiran setelah mengadakan eksperimen dan akulturasi.

Materi atau isi kurikulum yang telah dikemukakan oleh para ahli di atas, masih mencerminkan dikotomi keilmuan dan masih membeda-bedakan ilmu dari Allah dan ilmu produk manusia. padahal, dalam epistemologi Islam dinyatakan bahwa semua ilmu merupakan produk Allah semata, sedangkan manusia hanya menginterpretasikannya. Sehubungan dengan itu, perlu diperhatikan ayat berikut ini.































“Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh, Katakanlah: ‘Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku; dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit’.” (Q.S. Al-Israa’, 17: 85). (Depag RI, 2000: 437).









































“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur’an itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?.” (QS. Fushilat, 41: 53). (Depag RI, 2000: 781).

Dalam ayat tersebut terkandung tiga materi atau isi kurikulum pendidikan Islam (Abdul Mujib, 2006: 153-154), yaitu sebagai berikut.

1. Materi yang berorientasi pada “ketuhanan”. Rumusan materi yang berkaitan dengan ketuhanan, mengenai zat, sifat, perbuatan-Nya dan

(27)

sebagainya terhadap manusia dan alam semesta. Bagian ini meliputi ilmu kalam, ilmu metafisika alam, ilmu fiqh, ilmu akhlak (tasawuf), ilmu-ilmu tentang al-Qur’an dan as-Sunnah (tafsir, mushthalah, linguistik, ushul fiqh dan sebagainya).

2. Materi yang berorientasi pada “kemanusiaan”. Rumusan materi yang berkaitan dengan perilaku manusia, baik manusia sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk berbudaya dan makhluk berakal. Bagian ini meliputi ilmu politik, ekonomi, kebudayaan, sosiologi, antropologi, sejarah, linguistik, seni, arsitek, filsafat, psikologi, paedagogi, biologi, kedokteran, perdagangan, komunikasi, administrasi, matematika dan sebagainya.

3. Materi yang berorientasi pada “kealaman”. Rumusan materi yang berkaitan dengan fenomena alam semesta sebagai makhluk yang diamanatkan dan untuk kepentingan manusia. bagian ini meliputi ilmu fisika, kimia, pertanian, perhutanan, perikanan, farmasi, astronomi, ruang angkasa, geologi, geofisika, botani, zoologi, biogenetik dan sebagainya.

F. Metode dalam Pendidikan Islam

Salah satu yang paling penting dalam kegiatan belajar mengajar tentunya diperlukan sebuah metode yang tepat guna terlaksananya kegiatan pembelajaran yang menyenangkan dan efektif. Kegiatan belajar mengajar dapat diumpamakan proses pengembangan potensi yang dimiliki oleh peserta didik.

Pencapaian keberhasilan dari suatu proses pembelajaran dapat dilihat dari kualitas proses belajar mengajar itu terlaksana, yakni dalam menumbuhkan, membina, membentuk dan mengembangkan potensi yang dimiliki peserta didik atau sejauh mana mampu memberikan perubahan secara signifikan terhadap kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik peserta didik.

Seperti yang dikemukakan oleh Abuddin Nata (2003: 108) bahwa salah satu kualitas pendidikan itu tercermin proses pendidikan karena dalam proses

(28)

tersebut dapat menggambarkan suasana pembelajaran yang aktif dan dinamis serta konsisten dengan program dan target pembelajaran.

Dengan demikian, metode pendidikan Islam adalah cara-cara yang digunakan dalam mengembangkan potensi peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan Islam. Karena pengajaran adalah bagian dari pendidikan Islam, maka metode mengajar itu termasuk metode pendidikan (Bukhari Umar, 2011: 181).

Di lihat dari pengertian metode pendidikan Islam di atas maka tujuan dari menggunakan metode yang paling tepat dalam pendidikan yaitu untuk memperoleh efektivitas dari kegunaan metode itu sendiri. Efektivitas tersebut dapat diketahui dari kesenangan pendidik yang memakainya di satu pihak, serta timbulnya minat dan perhatian dari anak didik di lain pihak, dalam proses kependidikan dan pengajaran. Kedua belah pihak timbul rasa senang mengerjakan suatu pekerjaan karena apa yang dikerjakan itu bermanfaat bagi mereka (Muzayyin Arifin, 2011: 90).

Dalam menyampaikan materi pendidikan kepada peserta didik, Abuddin Nata (2008: 279) menegaskan bahwa tentunya perlu ditetapkan metode yang didasarkan kepada upaya memandang, menghadapi dan memperlakukan manusia sesuai dengan unsur penciptaannya, yaitu jasmani, akal dan jiwa dengan mengarahkannya agar menjadi manusia seutuhnya. Karena itu materi-materi pendidikan yang disajikan oleh al-Qur’an senantiasa mengarah kepada jiwa, akal dan jasmani manusia itu, sampai-sampai ditemukan ayat yang mengaitkan keterampilan dengan kekuasaan Allah SWT, yaitu ayat yang berbunyi:













































“Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allah-lah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mu’min, dengan kemenangan

(29)

yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar, lagi Maha mengetahui.” (QS. al-Anfal, 8: 17). (Depag RI, 2000: 263).

Khusus mengenai penyampaian materi yang berkaitan dengan afektif dan psikomotorik, al-Qur’an menempuh berbagai cara, antara lain melalui teladan, nasehat, qisah dan kebiasaan. Di sisi lain, pendidikan juga ditujukan pada segi pengembangan kognitif. Metode mengajarkannya adalah sama dengan metode mengajarkan fakta-fakta yang lain dalam ilmu-ilmu lain. Metode ini digunakan untuk pendidikan bidang intelektual. Al-Qur’an melakukan pembinaan tenaga akal dengan pembuktian dan pencarian kebenaran, yang diarahkan melalui dua cara.

1. Dicapainya melalui bimbingan dan latihan.

2. Mengkaji aturan-aturan Tuhan yang terdapat di alam raya yang bentuknya amat teratur. Dengan meneliti ini selain akan dapat mengetahui hukum-hukum alam yang kemudian melahirkan teori-teori dalam bidang ilmu pengetahuan (science) dan akan mendorong lahirnya riset atau kajian ilmiah khususnya bidang fisika, biologi yang memungkinkan pemanfaatannya bagi kehidupan manusia dan sekaligus akan dapat membawa kepada rasa iman dan takwa kepada Allah.

Dengan demikian, dari cara yang pertama dan ke dua itu terciptalah keseimbangan antara kemajuan di bidang keimanan dengan ilmu pengetahuan yang antara satu dan lainnya saling mengisi dan membawa kepada meningkatnya derajat seseorang, seperti yang terdapat dalam al-Qur’an:































































“Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu, “Berlapang-lapanglah dalam majlis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, “Berdirilah kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi

(30)

ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. al-Mujadalah, 58: 11). (Depag RI, 2000:

910).

Selanjutnya metode pendidikan selain dari yang telah disebutkan di atas yakni afektif dan kognitif, ada pula metode pendidikan jasmani. Al-Qur’an menempuh berbagai cara yang sifat integral dengan rohani. Pelaksanaan ibadah shalat, puasa dan haji misalnya di samping mengandung dimensi pendidikan kesehatan jasmani juga mengandung didikan rohani. Al-Qur’an menegaskan sebagai berikut.          

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya.” (QS. al-Mu’minuun, 23: 1-2).

(Depag RI, 2000: 527).

Dengan demikian, ketiga ranah dalam materi dan metode pengajaran tersebut dapat dipisahkan, tetapi dalam pengaplikasiannya saling berhubungan. Setiap kegiatan pendidikan selalu mencakup aspek kognitif (intelektual), afektif (perasaan/jiwa) dan psikomotorik (keterampilan/jasmani).

Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir yang dikutip oleh Abuddin Nata (2012: 151) menyebutkan adanya metode diakronis yang menonjolkan aspek sejarah, sinkronis analitis yang memberikan kemampuan analitis teoritis yang sangat berguna bagi perkembangan keimanan dan mental intelek, problem solving yakni guna melatih peserta didik dengan cara menghadapkannya pada berbagai masalah ilmu pengetahuan dengan solusinya, empiris yakni suatu metode guna peserta didik mempelajari ajaran Islam melalui proses realisasi ataupun interaksi sosial, sedangkan metode induktif dan dedukif yaitu mengajarkan materi yang khusus menuju pada kesimpulan umum dan metode pengajaran ajaran Islam dengan cara lebih spesifik hingga pada contohnya.

Adapun pendapat al-Nahlawi yang dikutip oleh Ahmad Tafsir (2011: 135) mengemukakan metode untuk menanamkan rasa iman yang mencakup metode hiwar (percakapan Qur’ani dan Nabawi), kisah Qur’ani dan Nabawi,

(31)

amtsal (perumpamaan), keteladanan, pembiasaan, ‘ibrah dan ma’uidzah dan targhib dan tarhib.

Dengan demikian, maka macam-macam dari metode pendidikan Islam yakni sebagai berikut.

1. Pendidikan dengan Hiwar Qurani dan Nabawi

Hiwar (dialog) ialah percakapan silih berganti antara dua pihak atau

lebih melaui tanya jawab mengenai suatu topik yang mengarah kepada suatu tujuan. Hiwar Qurani merupakan dialog yang kepada suatu tujuan. Hiwar

Qurani merupakan dialog yang berlangsung antara Allah dan hamba-Nya.

Sedangkan hiwar Nabawi adalah dialog yang digunakan oleh Nabi dalam mendidik sahabatnya.

2. Pendidikan dengan Kisah Qurani dan Nabawi

Dalam pendidikan Islam, kisah mempunyai fungsi edukatif yang tidak dapat diganti dengan bentuk penyampaian lain dari bahasa. Hal ini disebabkan kisah Qurani dan Nabawi memiliki beberapa keistimewaan yang membuatnya mempunyai efek psikologis dan edukatif yang sempurna, rapi dan jauh jangkauannya seiring dengan perjalanan zaman.

3. Pendidikan dengan Perumpamaan

Pendidikan dengan perumpamaan dilakukan dengan menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain yang kebaikan dan keburukannya telah diketahui secara umum, seperti menyerupakan orang-orang musyrik yang menjadikan pelindung selain Allah dan laba-laba yang membuat rumahnya. Hal tersebut seperti yang ada pada surat al-Ankabuut ayat 41.

Tujuan pedagogis yang paling penting yang dapat ditarik dari perumpamaan adalah:

a. Mendekatkan makna kepada pemahaman.

b. Merangsang kesan dan pesan yang berkaitan dengan makna yang tersirat dalam perumpamaan tersebut.

c. Mendidik akal supaya berpikir benar dan menggunakan kias yang logis dan sehat.

(32)

d. Menggerakkan perasaan yang menggugah kehendak dan mendorong untuk melakukan amal yang baik menjauhi kemungkaran.

4. Pendidikan dengan Teladan

Pendidikan dengan teladan dapat dilakukan oleh pendidik dengan menampilkan perilaku yang baik di depan peserta didik. Penampilan perilaku yang baik (akhlak al-karimah) dapat dilakukan dengan sengaja maupun dengan tidak sengaja.

Menurut Ahmad Tafsir dalam Bukhari Umar (2011: 191) keteladanan yang disengaja adalah keadaan yang sengaja diadakan oleh pendidik agar diikuti atau ditiru oleh peserta didik, seperti memberikan contoh membaca yang baik dan mengerjakan shalat dengan benar. Keteladanan ini disertai penjelasan atau perintah agar diikuti. Keteladanan yang tidak disengaja ialah keteladanan dalam keilmuan, kepemimpinan, sifat keikhlasan dan sebagainya. Dalam pendidikan Islam, kedua macam keteladanan tersebut sama pentingnya.

5. Pendidikan dengan Latihan dan Pengamalan

Salah satu metode yang digunakan oleh Rasulullah SAW dalam mendidik para sahabatnya adalah dengan latihan, yaitu memberikan kesempatan kepada para sahabat untuk mempraktikkan cara-cara melakukan ibadah secara berulang kali. Metode seperti ini diperlukan oleh pendidik untuk memberikan pemahaman dan membentuk keterampilan peserta didik. 6. Pendidikan dengan ‘Ibrah dan Mau’izah

Pendidikan dengan ‘ibrah dilakukan oleh pendidik dengan mengajak peserta didik mengetahui inti sari suatu perkara yang disaksikan, diperhatikan, diinduksi, ditimbang-timbang, diukur dan diputuskan oleh manusia secara nalar, sehingga kesimpulannya dapat mempengaruhi hati. Misalnya peserta didik diajak untuk merenungkan kisah Nabii Yusuf yang dianiaya oleh saudara-saudaranya dan mengambil pelajaran dari kisah tersebut.

Pendidikan dengan Mau’izhzah adalah pemberian nasihat dan peringatan akan kebaikan dan kebenaran dengan cara menyentuh qalbu dan

(33)

menggugah untuk mengamalkannya. Mau’izhah dapat berbentuk nasihat dan tazkir (peringatan).

7. Pendidikan dengan Targhib dan Tarhib

Targhib adalah janji yang disertai dengan bujukan dan membuat

senang terhadap suatu maslahat, kenikmatan atau kesenangan akhirat yang pasti dan baik serta bersih dari segala kotoran. Sedangkan Tarhib adalah ancaman dengan siksaan sebagai akibat melakukan dosa atau kesalahan yang dilarang oleh Allah atau karena lengah dari menjalankan kewajiban yang diperintahkan Allah.

Mendidik dengan targhib adalah menyampaikan hal-hal yang menyenangkan kepada peserta didik agar ia mau melakukan sesuatu yang baik. Mendidik dengan tarhib adalah menyampaikan sesuatu yang tidak menyenangkan agar peserta didik melakukan sesuatu atau tidak melakukannya.

Senada dengan pendapat H.M. Arifin (2014: 145) yang menjelaskan prinsip-prinsip yang dijadikan landasan psikologi dalam memperlancar proses kependidikan Islam:

1. Prinsip memberikan suasana kegembiraan.

2. Prinsip memberikan layanan dan santunan dengan lemah lembut. 3. Prinsip kebermaknaan bagi anak didik.

4. Prinsip prasyarat yakni untuk menarik minat peserta didik. 5. Prinsip komunikasi terbuka.

6. Prinsip pemberian pengetahuan yang baru. 7. Prinsip memberikan model perilaku yang baik.

8. Prinsip praktik secara aktif, yakni mendorong anak didik

mengaplikasikan pengetahuan yang telah diperoleh dalam proses belajar mengajar dan pengalaman dari keyakinan dan sikap yang mereka hayati dan pahami.

9. Prinsip-prinsip lainnya, seperti prinsip kasih sayang dan prinsip bimbingan dan penyuluhan terhadap anak didik.

Referensi

Dokumen terkait

Masyarakat di Desa Manurung Kecamatan Malili Kabupaten Luwu Timur mempercayai bahwa tanaman sagu dapat menyembuhkan penyakit rematik. Ketika masyarakat mengalami

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang tidak boleh kita lupakan karena berkat rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang diberikan

Panitia Pengadaan Barang/Jasa pada Stasiun Geofisika Ambon akan melaksanakan Seleksi Sederhana dengan prakualifikasi untuk paket pekerjaan jasa konsultansi sebagai

Risiko yang bersumber dari bank berdampak sistemik dimitigasi melalui penetapan capital surcharge berdasarkan tingkat dampak sistemik bank terhadap sistem

Promo yang dilakukan lewat brosur maupun pajangan banyak yang tidak diperhatikan oleh konsumen, maka promo lewat kasir perlu dilakukan karna bisa saja menarik

[r]

Pada sikhye bakteri Bacillus cereus dapat muncul dikarenakan bahan utama yang digunakan adalah beras atau ketan dan tepung malt yang merupakan sumber dari

(1) Pengendalian kegiatan transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) untuk transportasi laut berupa kapal penumpang dilakukan pembatasan penumpang