• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEBARAN SPASIAL KELIMPAHAN IKAN CAKALANG (KATSUWONUS PELAMIS) BERDASARKAN ANALISIS DATA SATELIT OSEANOGRAFI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SEBARAN SPASIAL KELIMPAHAN IKAN CAKALANG (KATSUWONUS PELAMIS) BERDASARKAN ANALISIS DATA SATELIT OSEANOGRAFI"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

SEBARAN SPASIAL KELIMPAHAN IKAN CAKALANG (KATSUWONUS

PELAMIS) BERDASARKAN ANALISIS DATA SATELIT OSEANOGRAFI

Teja Arief Wibawa1,∗, Dian Novianto2, dan Budi Nugraha2 Balai Penelitian dan Observasi Laut, Badan Penelitian dan Pengembangan

Kelautan dan Perikanan, Kementrian Kelautan dan Perikanan. Jl. Baru Prancak Negara , Jembrana, Bali 82251

Loka Penelitian Perikanan Tuna, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kementrian Kelautan dan Perikanan

Jl. Raya Pelabuhan Benoa, Denpasar-Bali

e-Mail: tejaarief@gmail.com Disajikan 29-30 Nop 2012

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola sebaran spasial kelimpahan ikan cakalang berdasarkan analisis data satelit oseanografi di Samudra Hindia Selatan Jawa-Nusa Tenggara. Wilayah tersebut merupakan salah satu daerah poten-sial penangkapan ikan cakalang yang ada di Perairan Indonesia. Data harian tangkapan ikan cakalang selama periode Januari-Oktober 2012, diperoleh dari perusahaan penangkapan ikan cakalang yang berbasis di Pelabuhan Benoa, Bali. Data satelit oseanografi yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data sea surface chlorophyll-a concentration (SSC), sea surface tem-perature (SST), sea surface height anomaly (SSHA) dan eddy kinetic energy (EKE). Data harian penangkapan ikan cakalang dioverlay dengan setiap data SSC, SST, SSHA dan EKE pada periode hari yang sama, untuk mendapatkan nilai SSC, SST, SSHA dan EKE pada setiap koordinat penangkapan. Hasil overlay yang berupa nilai SSC, SST, SSHA dan EKE di analisis lebih lanjut dengan metode generalized additive model (GAM). Pemilihan model GAM yang digunakan untuk memperkirakan sebaran kelimpahan ikan cakalang didasarkan pada nilai Akaike’s Information Criteria (AIC) dan deviance setiap model, serta tingkat signifikansi setiap variabel penyusun model GAM. Model GAM yang terpilih berdasarkan ketiga kriteria tersebut, di-gunakan untuk memperkirakan sebaran spasial kelimpahan ikan cakalang setiap bulan di wilayah penelitian. Model GAM yang digunakan untuk memperkirakan sebaran spasial kelimpahan ikan cakalang, adalah model GAM dengan kombinasi antara vari-abel SST dan SSHA. Model GAM tersebut mempunyai deviance sebesar 85.54%, dengan varivari-abel SST sebagai varivari-abel utama (p<0.001), dilanjutkan dengan variabel SSHA (p<0.05). Perkiraan sebaran spasial kelimpahan ikan cakalang menunjukkan adanya keterkaitan antara SST hangat (29-31◦C) dengan kelimpahan ikan cakalang.

Kata Kunci: Ikan cakalang, data satelit oseanografi, generalized additive model

I.

PENDAHULUAN

Perairan Indonesia dikenal mempunyai dinamika os-eanografi yang komplek, unik dan dinamis. Kondisi tersebut disebabkan karena letak geografis Perairan In-donesia yang terbentang diantara dua benua dan dua samudra, yaitu Benua Asia dan Benua Australia serta Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Pola pergerakan angin monsun dari Benua Asia menuju Benua Aus-tralia dan sebaliknya, merupakan faktor dominan yang berpengaruh terhadap dinamika osenografi perairan Indonesia.[1, 12, 13] Pada musim barat, pergerakan angin

monsun dari Benua Asia menuju Benua Australia melewati Perairan Indonesia, membawa massa udara yang lembab, sehingga menyebabkan terjadinya pe-ningkatan presipitasi ketika melewati Perairan Indone-sia.[1, 13] Proses sebaliknya terjadi ketika memasuki

musim timur. Pergerakan angin muson timur akan memicu terjadinya Ekman Transport di sepanjang pe-sisir selatan Jawa-Bali, sehingga mengakibatkan ter-jadinya proses upwelling.[1, 12, 13] Coastal upwelling

tersebut akan menyebabkan perairan pesisir selatan Jawa-Bali akan mengalami peningkatan produktivitas primer pada lapisan permukaannya.

Letak geografis Perairan Indonesia diantara Samu-dra Pasifik dan SamuSamu-dra Hindia menyebabkan di-namika oseanografi Perairan Indonesia dipengaruhi oleh fenomena interaksi atmosfer dan laut yang terjadi diantara kedua samudra tersebut. Sistem pergerakan massa air laut hangat dari Samudra Pasifik menuju Samudra Hindia melalui Perairan Indonesia, yang dike-nal sebagai arus lintas Indonesia (Arlindo),[14]

(2)

In-PG-150 0917: T.A. Wibawa

donesia. Arlindo berpengaruh terhadap sirkulasi re-gional di Perairan Indonesia dan struktur suhu laut Perairan Indonesia secara vertikal dan horisontal.[7]

Fenomena El Nino Southern Oscillation (ENSO) di Samudra Pasifik mempengaruhi intensitas dan kondisi suhu air laut dalam Arlindo.[1, 11, 13] Pengaruh ENSO

yang terbawa oleh melalui mekanisme Arlindo menye-babkan perubahan pola intensitas proses oseanografi yang terjadi di beberapa bagian Perairan Indonesia. Salah satunya adalah perubahan pola intensitas up-welling di Samudra Hindia selatan Jawa-Nusa Teng-gara1.[1, 13]

Fenomena Indian Ocean Dipole (IOD) dan Wyrtki Jet,[5, 6, 11, 15] melengkapi keunikan dan kompleksitas

di-namika oseanografi Perairan Indonesia. Kedua fenom-ena tersebut bersumber dari Samudra Hindia. In-tensitas upwelling di Samudra Hindia Selatan Jawa-Nusa Tenggara, selain dipengaruhi sistem AsiaAus-tralia monsoon dan ENSO, juga dipengaruhi oleh IOD.[10, 13] Sedangkan Wyrtki Jet yang terjadi setahun

dua kali pada musim peralihan, mengakibatkan pe-rubahan kedalaman lapisan termoklin dan pepe-rubahan tinggi rendah permukaan laut di Samudra Hindia.[6, 11]

Komplek, unik dan dinamisnya Perairan Indone-sia menjadikan data kondisi oseanografi hasil obser-vasi dari satelit oseanografi merupakan salah satu pili-han teknologi yang dapat digunakan untuk melakukan observasi Perairan Indonesia secara near real time dan terus menerus. Data-data dari satelit oseanografi telah digunakan untuk mengidentifikasi fenomena-fenomena oseanografi yang terjadi di Perairan In-donesia.[1, 3, 12, 13] Dalam bidang oseanografi perikanan,

terutama di negara-negara maju, data-data satelit os-eanografi telah dikembangkan untuk memperkirakan daerah potensial penangkapan jenis ikan yang memi-liki nilai ekonomis tinggi. Prakiraan daerah poten-sial penangkapan ikan berdasarkan hasil analisis dari data-data satelit oseanografi, pemodelan statistika dan sistem informasi geografis (SIG) telah dikembangkan untuk meningkatkan efisiensi penangkapan ikan tuna albakora[19] dan ikan cakalang[4] di Perairan Jepang. Sedangkan untuk Perairan Indonesia, sistem praki-raan tersebut telah diadopsi untuk penangkapan tuna mata besar di Samudra Hindia Selatan Jawa-Bali[16]dan

penangkapan ikan lemuru di Selat Bali.[17]

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola se-baran spasial kelimpahan ikan cakalang berdasarkan analisis data satelit oseanografi di Samudra Hindia Se-latan Jawa-Nusa Tenggara. Wilayah tersebut meru-pakan salah satu daerah potensial penangkapan ikan cakalang yang ada di Perairan Indonesia. Diperkirakan pola pergerakan sumberdaya ikan di wilayah terse-but, dipengaruhi oleh dinamika oseanografi yang ter-jadi di wilayah tersebut. Sejauh ini, pengelolaan sum-berdaya perikanan di wilayah tersebut belum

memper-timbangkan pengaruh dinamika faktor oseanografi ter-hadap kelimpahan sumberdaya ikannya. Diketahuinya pola sebaran satu habitat yang potensial bagi penangka-pan ikan dalam skala ruang dan waktu, merupakan salah satu pendekatan untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan sumberdaya perikanan dan dapat mengu-rangi efek pemanasan global. Dengan diketahuinya se-baran habitat potensial penangkapan ikan, maka kon-sumsi bahan bakar yang digunakan untuk operasional penangkapan ikan akan semakin sedikit. Dampak lain-nya, karena semakin efektifnya operasional penangka-pan ikan, maka gas-gas beracun yang dilepaskan ke atmosfer sebagai dampak yang tidak terpisahkan dari operasional penangkapan ikan, akan semakin berku-rang, sehingga dapat mengurangi efek rumah kaca dan pemanasan global.

II.

METODOLOGI

Data harian tangkapan ikan cakalang selama peri-ode Januari-Oktober 2012, diperoleh dari perusahaan penangkapan ikan cakalang yang berbasis di Pelabuhan Benoa, Bali. Data tangkapan ikan cakalang yang di-gunakan meliputi data koordinat lokasi penangkapan ikan cakalang dan jumlah ikan cakalang yang ter-tangkap di setiap koordinat penangkapan.

Data satelit oseanografi yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data sea surface chlorophyll-a concentration (SSC), sea surface temperature (SST), sea surface height anomaly (SSHA) dan eddy kinetic en-ergy (EKE). Data SSC, SST, SSHA dan EKE yang di-gunakan pada tahap ini merupakan data harian de-ngan periode yang sama dede-ngan periode data tangka-pan ikan cakalang. Data SSC dan SST merupakan hasil observasi dari sensor MODIS Aqua. Data-data tersebut diperoleh dari webserver oceancolor dengan resolusi spasial 9km dan resolusi temporal harian. Data SSHA dan EKE merupakan hasil pengolahan dari gabungan satelit-satelit altimetri. Data-data tersebut diperoleh dari Archive Validation and Interpretation of Satel-lite Oceanography (AVISO), dengan resolusi spasial 13

dan resolusi spasial harian. Pengolahan data tangka-pan ikan cakalang dan data satelit oseanografi dilaku-kan untuk menyamadilaku-kan resolusi spasial, temporal dan proyeksi geometris dari seluruh dataset. Data harian penangkapan ikan cakalang dioverlay dengan setiap data SSC, SST, SSHA dan EKE pada periode hari yang sama, untuk mendapatkan nilai SSC, SST, SSHA dan EKE pada setiap koordinat penangkapan. Contoh over-lay data tangkapan ikan cakalang tanggal 6 Agustus 2012 dengan data SSC, SST, SSHA dan EKE dapat di-lihat padaGAMBAR1.

Hasil overlay yang berupa nilai SSC, SST, SSHA dan EKE di analisis lebih lanjut dengan metode gen-eralized additive model (GAM). Sebelum dilakukan analisis GAM, terlebih dahulu dilakukan eksplorasi

(3)

GAMBAR1: Overlay data tangkapan ikan cakalang tanggal 6 Agustus 2012 dengan data SSC, SST, SSHA dan EKE

terhadap seluruh dataset. Tujuannya adalah untuk mengindentifikasi adanya data pencilan dan kolinear-itas antar setiap variabel penjelas.[22, 23] Pembentukan

model GAM dilakukan dengan menggunakan pustaka mgcv[18] yang terdapat dalam program R.[8] Sebagai

variabel Y adalah hasil tangkapan ikan cakalang, se-dangkan sebagai variabel X adalah variabel-variabel os-eanografi yang telah terseleksi dalam proses eksplorasi data. Model GAM disusun berdasarkan kombinasi an-tara variabel-variabel X. Pemilihan model GAM yang digunakan untuk memperkirakan sebaran kelimpahan ikan cakalang didasarkan pada nilai Akaike’s Informa-tion Criteria (AIC) dan deviance setiap model, serta tingkat signifikansi setiap variabel penyusun model GAM.[21, 22] Model GAM yang terpilih berdasarkan

ketiga kriteria tersebut, digunakan untuk memperki-rakan sebaran spasial kelimpahan ikan cakalang se-tiap bulan di wilayah penelitian. Sebagai data in-put untuk memperkirakan sebaran spasial kelimpahan ikan cakalang tersebut, digunakan data komposit kli-matologi bulanan SSC, SST, SSHA dan EKE.

III.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Proses eksplorasi data terhadap dataset hasil over-lay data tangkapan ikan cakalang terhadap data SSC, SST, SSHA dan EKE dilakukan dengan mengguna-kan grafik boxplot dan grafik scatter matrix. Grafik boxplot memberikan informasi tentang sebaran

kenor-malan dataset, sedangkan grafik scatter matrix mengi-dentifikasi kolinearitas yang mungkin terjadi di antara variabel-variabel X. Hasil grafik boxplot pada seluruh variabel X ditampilkan pada GAMBAR2. Berdasarkan grafik boxplot pada GAMBAR2, terlihat nilai SSC di lokasi penangkapan ikan cakalang berada pada kisaran 0.03-0.32 mg/m3(G

AMBAR2a), sedangkan nilai SST be-rada pada kisaran 25.87-31.1◦C (GAMBAR2b). Nilai SSHA berada pada kisaran 3.29-23.18 cm (GAMBAR2c), dan nilai EKE berada pada kisaran 0.5-564.02 cm2/sec2

(GAMBAR2d).

Hasil analisis dengan grafik scatter matrix pada selu-ruh variabel X ditampilkan padaGAMBAR3. Pada grafik scatter matrix tersebut teridentifikasi adanya kolineari-tas antara variabel SSC dan SST. Nilai R2yang diperoleh

antara variabel SSC dan SST adalah 0.78 (GAMBAR3a). Nilai R2 yang tinggi tersebut dapat menyebabkan

ter-jadinya kolinearitas dalam pembentukan model GAM. Untuk itu, variabel SSC tidak digunakan dalam proses penyusunan model GAM. Setelah variabel SSC tidak di-gunakan, terlihat tidak adanya kolinearitas antar vari-abel SST, SSHA dan EKE (GAMBAR3b).

Proses pembentukan model GAM dilakukan dengan mengkombinasikan variabel SST, SSHA dan EKE se-bagai variabel-variabel X. Hasilnya diperoleh kombi-nasi antara SST dan SSHA merupakan model GAM de-ngan nilai deviance tertinggi, yaitu sebesar 85.54%, ni-lai AIC terendah, yaitu 433.573. Pada pembentukan

(4)

PG-152 0917: T.A. Wibawa

(a) (b)

(c) (d)

GAMBAR 2: Grafik boxplot variabel SSC di lokasi pan ikan cakalang (a); Grafik boxplot SST di lokasi penangka-pan ikan cakalang (b); Grafik boxplot SHA di lokasi penangkapenangka-pan ikan cakalang (c); Grafik boxplot EKEdi lokasi penangkapan ikan cakalang (d).

model GAM tersebut, variabel SST mempunyai kon-tribusi terbesar dalam pembentukan model (p<0.001) dibandingkan dengan variabel SSHA (p<0.05). Model GAM yang terbentuk tersebut mempunyai persamaan sebagai berikut:

cakalang = s(SST) + s(SSHA) (6)

di mana, cakalang adalah jumlah ikan cakalang yang ter-tangkap (kg), SST adalah sea surface temperature (◦C),

dan SSHA adalah sea surface height anomaly (cm). Persamaan GAM yang telah terbentuk, digu-nakan untuk memperkirakan sebaran kelimpahan ikan cakalang bulanan. Sebagai input SST dan SSHA adalah data komposit klimatologi bulanan SST dan SSHA peri-ode tahun 2003-2011. Hasil perkiraan sebaran bulanan kelimpahan ikan cakalang ditampilkan padaGAMBAR4

GAMBAR7.

Hasil perkiraan sebaran spasial kelimpahan ikan cakalang bulanan menunjukkan adanya peningkatan kelimpahan ikan cakalang pada periode musim barat (November, Desember, Januari, Februari dan Maret) dan musim peralihan. (April dan Oktober). Penu-runan kelimpahan ikan cakalang teridentifikasi pada musim timur (Mei, Juni, Juli, Agustus dan Septem-ber). Kondisi tersebut disebabkan karena SST seba-gai faktor utama pembentuk model GAM. Sebaran SST pada wilayah penangkapan ikan cakalang tersebut cen-derung meningkat pada periode musim barat dan per-alihan akibat pergerakan angin muson yang bertiup dari Benua Asia menuju Benua Australia dan fenomena

Wyrtki Jet yang berasal dari Samudra Hindia bagian tengah menuju Samudra Hindia sebelah timur. Sedang-kan penurunan SST pada musim timur terjadi karena pergerakan angin muson yang bertiup dari Benua Aus-tralia menuju Benua Asia. Sebaran spasial kelimpa-han ikan cakalang di wilayah penelitian cenderung mengikuti pola sebaran SST di wilayah tersebut. SST sebagai faktor dominan dalam menentukan sebaran habitat ikan cakalang juga ditemukan oleh pada ap-likasi data satelit oseanografi untik penangkapan ikan cakalang di Jepang[4] dan di Teluk Bone.[20] Pola se-baran SST di wilayah penelitian cenderung meningkat melebihi 28◦C ketika memasuki musim barat dan musim peralihan. Diduga pola peningkatan kelimpa-han ikan cakalang di wilayah penelitian mengikuti pola peningkatan sebaran SST di wilayah tersebut. Pada penelitian ini diperoleh kisaran SST di lokasi penangka-pan ikan cakalang, antara 29-31◦C. Kisaran SST yang

hampir sama, yaitu antara 29-31.5◦C, diperoleh dalam

penelitian karakteristik lokasi penangkapan ikan di Teluk Bone.[20] Dengan demikian dapat diduga, sebaran

SST yang hangat merupakan salah satu indikasi lokasi potensial penangkapan ikan cakalang.

Persamaan GAM yang digunakan untuk memperki-rakan daerah potensial penangkapan cakalang, da-pat menjelaskan variasi kelimpahan cakalang sebesar 85.54%. Mengingat keterbatasan jumlah dataset yang digunakan dalam pembentukan model GAM, diper-lukan kehati-hatian dan validasi insitu lebih lanjut untuk menguji validitas model GAM tersebut pada kondisi sebenarnya. Selain itu, lapisan renang ikan cakalang yang cenderung berada pada lapisan up-per mixed layer[2] dapat menjadi salah satu

kelema-han dalam penerapan model GAM yang telah terben-tuk di kondisi sebenarnya. Secara teori, SST yang diperoleh dari hasil Sensor MODIS Aqua hanya dapat mengukur beberapa milimeter lapisan paling atas dari suatu permukaan laut.[9] Sedangkan lapisan renang

ikan cakalang cenderung berada pada kedalaman 30 m di bawah permukaan laut. Untuk itu diperlukan ka-jian yang lebih mendalam, terutama untuk mengetahui keterkaitan kondisi variabel oseanografi pada kedala-man lapisan renang ikan cakalang dengan kelimpahan ikan cakalang.

IV.

KESIMPULAN

Berdasarkan analisis data-data satelit oseanografi dan data penangkapan ikan cakalang yang dilakukan dalam penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa per-samaaan GAM yang dibentuk dari variabel SST dan SSHA dapat menjelaskan kelimpahan ikan cakalang sebesar 85.54 Pada penelitian ini, variabel SST meru-pakan variabel oseanografi yang paling dominan dalam memperkirakan sebaran spasial kelimpahan ikan cakalang.

(5)

(a) (b)

GAMBAR3: Grafik scatter matrix untuk seluruh variabel X (a); Grafik scatter matrix untuk variabel SST, SSHA dan EKE (b).

GAMBAR4: Hasil prakiraan sebaran kelimpahan ikan cakalang bulanan pada bulan Januari, Februari dan Maret.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Hendiarti, N., H. Siegel, dan and T. Ohde. 2004. Investigation of Different Coastal Processes in In-donesian Waters using SeaWiFS Data. Deep Sea Research Part II: Tropical Studies in Oceanography, 51:85-97

[2] Lehodey, P., I. Senina, dan R. Murtugudde. 2008. A Spatial Ecosystem and Population Dynamics

Model (SEAPODYM)-Modelling of Tuna and Like Tuna Populations. Progress in Oceanography 78: 304-318.

[3] Moore II, T.S., J. Marra, dan A. Alkatiri. 2006. Re-sponse of the Banda Sea to the Southeast Monsoon. Marine Ecology Progress Series 261:41-49.

[4] Mugo, R., S. Saitoh, A. Nihira, dan T. Kuroyama. 2010. Habitat Characteristisc of Skipjack Tuna (Kat-suwonus pelamis) in The Western North Pacific: A

(6)

PG-154 0917: T.A. Wibawa

GAMBAR5: Hasil prakiraan sebaran kelimpahan ikan cakalang bulanan pada bulan April, Mei dan Juni.

GAMBAR6: Hasil prakiraan sebaran kelimpahan ikan cakalang bulanan pada bulan Juli, Agustus dan September.

Remote Sensing Perspective. Fisheries Oceanogra-phy 19(5): 382-396.

[5] Qiu, Y., L. Li., dan W. Yu. 2009. Behaviour of the

Wyrtki Jet observed with surface drifting buoys and satellite altimeter. Geophysical Research Let-ter 36 (L18607). doi:10.1029/2009GL039120.

(7)

GAMBAR7: Hasil prakiraan sebaran kelimpahan ikan cakalang bulanan pada bulan Oktober, November dan Desember.

[6] Qu, T., Y. Du, J. Strachan, G. Meyers dan J. Slingo. 2005. Sea Surface Temperature and its Variability in The Indonesian Region. Oceanography 18: 50-61. [7] Qu, T dan G. Meyers. 2005. Seasonal

caharcteris-tics of circulation in the southern tropical Indian Ocean. Journal of Physical Oceanography 35: 255-267.

[8] R Development Core Team. 2008. R: A Lan-guage and environment for statistical computing. R Foundation for Statistical Computing, Vienna, Austria. available from: URL:http://www.R-project.org.

[9] Robinson, I. 2004. Measuring Ocean from the Space, The Principles and Methods of Satellite Oceanography. Springer-Praxis.

[10] Sartimbul, A. H. Nakata, E. Rohadi, B. Yusuf, dan H.P. Kadarisman. 2010. Variations in Chlorophyll-a ConcentrChlorophyll-ation Chlorophyll-and The ImpChlorophyll-act on SChlorophyll-ardinellChlorophyll-a lemuru Catches in Bali Strait, Indonesia. Progress in Oceanography 87: 168-174

[11] Susanto, R.D., A.L. Gordon, dan Q. Zheng. 2001. Upwelling along the coast of Java and Sumatra and its relation to ENSO. Geophysical Research Letters 29: 1599-1602.

[12] Susanto, R.D., dan J. Marra. 2005. Effect of the 1997/98 El Nino on Cholorophyll a Varaibility Along the Southern Coast of Java and Sumatra. Oceanography, 18:124-127.

[13] Susanto, R.D, T.S. Moore II, dan J. Marra 2006.

Ocean Color Variabilty in The Indonesia Seas dur-ing SeaWiFS Era. Geochemistry, Geophysics and Geosystems 7 (5). doi: 10.029/2005GC001009. [14] Susanto, R.D., A. Ffield., A.L. Gordon dan T.R.

Adi, 2012. Variability of Indonesian Through-flow within Makassar Strait, 2004-2009. Jour-nal of Geophysical Research 117, C09013. doi:10.1029/2012JC008096.

[15] Sprintall, J., A.L. Gordon, R. Murtugudde, dan R.D. Susanto. 2000. A semiannual Indian Ocean forced Kelvin wave observed in the Indonesian seas in May 1997. Journal of Geophysical Research 105(C7): 17.217-17.230.

[16] Wibawa, T.A. 2011. Pemanfaatan Data Satelit Oseanografi untuk Prediksi Daerah Potensial Penangkapan Tuna Mata Besar (Thunnus obe-sus) di Samudra Hindia Selatan Jawa-Bali. Jurnal Segara Vol 7 (1): 29-41.

[17] Wibawa, T.A. 2012. Pemanfaatan data harian Sen-sor MODIS Aqua/Terra untuk memperkirakan se-baran kelimpahan diatom di Selat Bali. Jurnal Ke-lautan Nasional 7(2): 120-133.

[18] Wood, S.N. 2006. Generalized Additive Model, An Introduction with R. Chapman and Hall/CRC Press

[19] Zainuddin, M., K. Saitoh dan S. Saitoh. 2008. Alba-core (Thunnus alalunga) fishing ground in relation to oceanographic conditions in the western North Pacific Ocean using remotely sensed satellite data.

(8)

PG-156 0917: T.A. Wibawa

Fisheries Oceanography, 17:61-73.

[20] Zainuddin, M. 2011. Skipjack tuna in relation to sea surface temperature and chlorophyll-a concen-tration of bone bay using remotely sensed satellite data. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis 3(1): 82-90.

[21] Zuur, A.F., E.N. Ieno, dan G.M. Smith. 2007. Analysing Ecological Data. Springer.

[22] Zuur, A.F., E.N. Ieno, N.J. Walker, A.A. Saveliev, dan G.M. Smith. 2009. Mixed Effect Models and Extension in Ecology with R. Springer.

[23] Zuur, A.F., E.N. Ieno, dan C.S. Elphick. 2010. A Pro-tocol for Data Exploration to Avoid Common Sta-tistical Problems. Methods in Ecology and Evolu-tion 2010(1): 3-14.

Referensi

Dokumen terkait

Merupakan saluran distribusi yang digunakan oleh perusahaan dimana aktifitas utamanya adalah menyalurkan produk dari produsen sampai ke tangan konsumen, yaitu

Dari pembahasan di atas teorema Pythagoras yang diperoleh pada bidang Taxicab bergantung kepada posisi segitiga siku-siku pada bidang koordinat serta menggunakan kemiringan dan

mengontrak mata kuliah Pengetahuan Lingkungan pada tahun ajaran 2000/2001 sebanyak dua kelas. Pembelajaran Pengetahuan Lingkungan yang terjadi selama ini

Selain itu media juga dapat memperjelas penyajian pesan agar tidak terlalu verbalistis dan menimbulkan gairah belajar (Arief S. Untuk mendisain dan melakukan pembelajaran yang

Pancamas Pipasakti dimana lingkungan kerja non fisik dinilai buruk yang menyebabkan kinerja karyawan tidak tercapai, sedangkan rekrutmen yang dinilai sudah

Kajian tinjauan ini telah dilaksanakan dengan matlamat untuk mengenal pasti kemahiran pengajaran pensyarah pendidikan khas (masalah pendengaran)

Dengan penuh kesadaran yang berlandaskan pada pemahaman kepentingan yang sama diantara debitor dan kreditor, kepailitan bukanlah suatu pilihan yang tepat, sebaliknya

banyak terdapat di dalam kopi adalah asam klorogenat ( chlorogenic acid ) 2,3 Hasil penelitian menyatakan bahwa asam klorogenat merupakan salah satu antioksidan poten 3,4