• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN I.1.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN I.1."

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan. Berdasar Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18 ayat 1, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas beberapa provinsi dan provinsi dibagi atas kabupaten dan kota. Selanjutnya berdasar Undang-Undang No 23 Tahun 2014 pasal 2 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan, daerah kabupaten/kota dibagi atas kecamatan dan kecamatan dibagi atas kelurahan/desa. Menurut Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa, desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wilayah desa terbagi atas beberapa wilayah dusun. Dusun merupakan gabungan dari beberapa RT.

Menurut Undang-Undang No 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa pasal 1, dusun adalah bagian wilayah dalam desa yang merupakan lingkungan kerja pelaksanaan pemerintahan desa. Dalam pasal 16, disebutkan bahwa untuk memperlancar jalannya pemerintahan desa dalam desa dibentuk dusun yang dikepalai oleh Kepala Dusun sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri dalam Negeri. Sedangkan dalam Pemendagri No 5 Tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan dijelaskan bahwa Rukun Tetangga (RT) merupakan lembaga yang dibentuk melalui musyawarah masyarakat setempat dalam rangka pelayanan pemerintahan dan kemasyarakatan yang ditetapkan oleh Pemerintah Desa. Dusun dan RT merupakan wilayah kerja di dalam desa yang memiliki batas-batas antar wilayah tersebut. Namun wilayah kerja tersebut belum memiliki batas wilayah administrasi yang definitif. Hal ini memicu bebagai macam konflik batas timbul karena ketidakjelasan batas. Batas yang tidak jelas akan menimbulkan konflik perizinan pada daerah perbatasan. Selain itu juga dapat

(2)

menimbulkan konflik untuk kependudukan. Maka dari itu penetapan dan penegasan batas sangat penting dilakukan.

Penetapan dan penegasan batas merupakan cara untuk melakukan penataan desa sebagaimana yang tertuang pada Undang-Undang Republik Indonesia No 6 Tahun 2014 tentang Desa. Penataan batas merupakan unsur penting dan dalam banyak hal, merupakan langkah pertama dalam proses penataan ruang partisipatif di tingkat desa. Menurut Pemendagri no 45 Tahun 2016 tentang Pedoman Penetapan dan Penegasan Batas Desa, penetapan dan penegasan batas desa berutujuan untuk menciptakan tertib administrasi pemerintahan, memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap batas wilayah suatu desa yang memenuhi aspek teknis dan yuridis. Karena pentingnya batas antar masing-masing wilayah, maka diperlukan cara pemetaan yang efektif untuk menghindari perbedaan pendapat atas batas dari masing-masing wilayah. Salah satu cara pemetaan yang digunakan untuk pembuatan peta batas wilayah desa adalah dengan pemetaan partisipatif.

Pemetaan partisipatif merupakan satu cara metode yang digunakan untuk pembuatan peta batas wilayah desa dengan menjadikan warga sebagai sumber untuk melakukan penetapan dan penegasan batas desa. Cara ini dipilih untuk meminimalisir konflik batas yang mungkin terjadi. Namun pemetaan partisipatif tidak mungkin dilakukan jika warga setempat belum memiliki kesadaran akan pentingnya peta batas wilayah desa. Salah satu desa yang memasukan pemetaan dalam program desanya adalah Desa .

Desa Dlingo, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul memiliki luas wilayah 916 Hektar. Peta yang terpajang di kantor kelurahan berupa peta sketsa yang batasnya belum dilakukan penetapan dan penegasan, sehingga peta tersebut tidak bisa dijadikan patokan batas wilayah. Hal ini yang membuat perangkat Desa memasukan pemetaan batas wilayah dalam salah satu program kerja desa.

Pemetaan batas wilayah desa di Desa Dlingo ini menghasilkan Peta Batas Wilayah Desa yang didalamnya memuat batas desa, batas dusun dan batas RT. Penulis membandingkan hasil batas tersebut dengan data yang tersedia pada open source Open Street Map (OSM) untuk menunjukkan perbedaan presisi data.

(3)

I.2. Identifikasi Masalah

Desa, dusun, dan RT merupakan wilayah kerja yang memiliki batas wilayah masing-masing. Untuk membatasi lingkup kerja masing-masing wilayah perlu dilakukan penetapan dan penegasan batas. Di Desa Dlingo, wilayah kerja desa, dusun, dan RT belum dilakukan penetapan dan penegasan batas. Desa juga belum melakukan pemetaan batas wilayah desa. Pemetaan batas wilayah penting untuk dilakukan untuk meciptakan tertib administrasi pemerintahan dan memberikan kejelasan dan kepastian hukum kepada warga. Maka dari itu untuk menghindari konflik atas batas yang mungkin terjadi diperlukan metode pemetaan batas wilayah yang efektif. Salah satu metode yang dirasa efektif adalah pemetaan partisipatif.

I.3. Tujuan

Tujuan utama kegiatan aplikatif ini adalah tersedianya Peta Batas Wilayah Desa Dlingo yang didalamnya terdapat batas RT, dusun, dan desa.

I.4. Manfaat

Manfaat yang diharapkan dari pembuatan peta desa ini antara lain:

1. Untuk desa sendiri hasil Peta Batas Wilayah Desa digunakan sebagai penegasan oleh pemerintah desa dalam rangka tertib administrasi dan jalannya administrasi pemerintahan.

2. Untuk pemerintah pusat hasil dari kegiatan pemetaan desa ini dapat dijadikan dasar dalam monitoring pembangunan desa.

I.5. Ruang Lingkup

Agar pembahasan tidak meluas dan tidak menimbulkan penyimpangan, penulis membatasi permasalahan yaitu:

1. Pemetaan batas desa yang dimaksud yaitu kegiatan yang menghasilkan peta batas wilayah desa yang mencakup batas RT, dusun dan desa.

2. Pengumpulan data batas wilayah dilakukan secara partisipatif dengan metode kartometris dan survei lapangan.

3. Simbolisasi yang digunakan pada peta mengacu pada spesifikasi yang telah ditetapkan oleh Badan Informasi Geospasial.

(4)

I.6. Landasan Teori I.6.1. Wilayah dan Batas Wilayah

Konsep tentang batas wilayah tidak terlepas dari konsep tentang wilayah itu sendiri. Istilah wilayah mengacu pada unit geografis dengan batas-batas tertentu dimana komponen-komponen di dalamnya memiliki keterkaitan dan hubungan fungsional satu dengan lainnya. Konsep wilayah fungsional administratif dilakukan atas dasar satuan politik administrasi di atas permukaan bumi menjadi unit-unit wilayah dalam berbagai tingkatan mulai dari wilayah negara, provinsi (state), kabupaten (district), kota (municipality), kecamatan dan desa (Rustiadi, dkk., 2011). Selanjutnya, dalam buku ini pengertian batas wilayah adalah batas dari suatu wilayah menurut konsep politik administrasi seperti yang dikemukakan oleh Blair yaitu batas negara atau batas internasional, kemudian batas subnasional di suatu negara, misalnya provinsi dan kabupaten/kota.

Secara umum, batas wilayah adalah tanda pemisah antara unit regional (wilayah) geografi yang bersebelahan. Unit regional geografi tersebut bisa dalam aspek fisik, aspek politik, aspek sosio-kultural dan aspek ekonomi.Secara fisik tanda pemisah tersebut bisa berupa fenomena alam seperti sungai dan punggung bukit atau berupa tanda buatan manusia seperti tuga/pilar dan jalan (Jones, 1945; Prescott, 1987). Atas dasar letak geografisnya batas wilayah bisa terletak di darat dan di laut (batas maritim).

Menurut Permendagri Nomor 45 Tahun 2016 tentang Pedoman Penetapan dan Penegasan Batas Desa, batas desa adalah pembatas wilayah administrasi pemerintahan antardesa yang merupakan rangkaian titik-titik koordinat yang berada pada permukaan bumi dapat berupa tanda-tanda alam seperti igir/punggung gunung/pegunungan (watershed), median sungai dan/atau unsur buatan dilapangan yang dituangkan dalam bentuk peta. Batas alam adalah unsur-unsur alami seperti gunung, sungai pantai, danau dan sebagainya, yang dinyatakan atau ditetapkan sebagai pantai, danau dan sebagainya, yang dinyatakan atau ditetapkan sebagai batas desa. Batas buatan adalah unsur-unsur buatan manusia seperti pilar batas, jalan, rel kereta api, saluran irigasi dan sebagainya yang dinyatakan atau ditetapkan sebagai batas desa.

(5)

I.6.2. Penetapan dan Penegasan Batas Desa

Berdasarkan Permendagri Nomor 45 Tahun 2016, penetapan batas desa adalah proses penetapan batas desa secara kartometrik di atas suatu peta dasar atau citra tegak resolusi tinggi yang disepakati. Peta dasar yang dimaksud adalah peta yang menyajikan unsur-unsur alam dan atau buatan manusia, yang berada dipermukaan bumi digambarkan pada suatu bidang datar dengan skala, penomoran, proyeksi, dan georeferensi tertentu.

Penegasan batas desa adalah kegiatan penentuan titik-titik koordinat batas desa yang dapat dilakukan dengan metode kartometrikdan/atau survey di lapangan, yang dituangkan dalam bentuk peta batas dengan daftar titik-titik koordinat batas desa.

Penetapan dan penegasan batas desa bertujuan untuk menciptakan tertib administrasi pemerintahan, memberikan kejelasan dan kepastian hukun terhadap batas wilayah suatu desa yang memenuhi aspek teknis dan yuridis.

Dalam Bab V Pemendagri Nomor 45 Tahun 2016 dijelaskan tata cara penetapan, penegasan, dan pengesahan batas desa dalam Pasal 9 :

(1) Penetapan, penegasan dan pengesahan batas desa di darat berpedoman pada dokumen batas Desa berupa Peta Rupabumi, Topografi, Minuteplan, Staatsblad, Kesepakatan dan dokumen lain yang mempunyai kekuatan hukum.

(2) Penetapan, penegasan dan pengesahan batas desa di wilayah laut berpedoman pada dokumen batas Desa berupa undang-undang Pembentukan Daerah, Peta Laut, Peta Lingkungan Laut Nasional dan dokumen lain yang mempunyai kekuatan hukum.

(3) Batas desa hasil penetapan, penegasan dan pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan oleh Bupati/Walikota dengan Peraturan Bupati/Walikota.

(4) Peraturan Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat titik koordinat batas desa yang diuraikan dalam batang tubuh dan dituangkan di dalam peta batas dan daftar titik koordinat yang tercantum dalam Lampiran Peraturan Bupati/Walikota.

Tahapan penetapan batas desa menurut Permendagri Nomor 45 Tahun 2016 Pasal 10, yaitu :

(6)

a. pengumpulan dan penelitian dokumen; b. pemilihan peta dasar; dan

c. pembuatan garis batas di atas peta.

Pengumpulan dan penelitian dokumen, meliputi: a. pengumpulan dokumen batas; dan

b. penelitian dokumen.

Tahapan-tahapan penegasan batas desa menurut Permendagri Nomor 45 Tahun 2016 Pasal 14 :

a. penelitian dokumen;

b. pelacakan dan penentuan posisi batas; c. pemasangan dan pengukuran pilarbatas; dan d. pembuatan peta batas desa.

I.6.3. Pemetaan Partisipatif

Dalam kamus bahasa Indonesia pemetaan adalah pengungkapan suatu gagasan atau perasaan dengan menggunakan gambar, tulisan, peta, dan grafik. Pemetaan adalah pengelompokkan suatu kumpulan wilayah yang berkaitan dengan beberapa letak geografis wilayah yang meliputi dataran tinggi, pegunungan, sumber daya dan potensi penduduk yang berpengaruh terhadap sosial kultural yang memilki ciri khas khusus dalam penggunaan skala yang tepat (Soekidjo,1994).

Pemetaan partisipatif menurut Hidayat (2005) yaitu suatu metode pemetaan yang menempatkan masyarakat sebagai pelaku pemetaan di wilayahnya, sekaligus juga akan menjadi penentu perencanaan pengembangan wilayah mereka sendiri.

Pemetaan partisipatif merupakan teknik pemetaan atau pembuatan peta dengan memanfaatkan Sistem Informasi Geografis dalam suatu komunitas masyarakat. Masyarakat melakukan pemetaan wilayahnya dan memberikan informasi yang terkait dengan wilayah yang dipetakan seperti informasi mengenai ancaman, dampak, dan keterpaparan yang sesuai dengan keadaan wilayahnya. Peta dan data-data yang dibuat oleh warga selanjutnya dikonversi menjadi data SIG (Sistem Informasi Geografis) untuk ditampilkan dalam suatu peta tematik (Aditya, 2010). Salah satu alasan utama metode ini adalah bahwa masyarakat setempat paling tahu tentang daerahnya sendiri dan mempunyai kepentingan untuk mengetahui dan menjaga daerahnya sendiri. Metode ini berintikan pada proses pembuatan peta

(7)

modern melalui proses dialog di antara masyarakat lokal dan pendamping yang membantu mereka. Melalui proses ini masyarakat diharapkan menjadi pembuat peta dan sekaligus pengguna peta karena pemetaan partisipatif adalah tentang, oleh dan untuk masyarakat.

Menurut Hidayat (2005) ciri-ciri pemetaan partisipatif adalah: a. Melibatkan seluruh anggota masyarakat

b. Masyarakat menentukan sendiri proses yang berlansung

c. Proses pemetaan dan peta yang dihasilkan bertujuan untuk kepentingan masyarakat

d. Sebagian besar informasi yang terdapat dalam peta berasal dari pengetahuan masyarakat setempat

e. Masyarakat menetukan sendiri penggunaan peta yang dihasilkan.

Monberg, dkk (1996) dan Arianto (2001), menyatakan bahwa pemetaan mayarakat biasanya digunakan untuk berbagai alasan dan tujuan seperti:

a. Mendokumentasikan sistem tata guna lahan pada saat pemetaan dam membahas rencana pengelolaan sumber daya yang ada di waktu yang akan datang

b. Mendokumentasikan kepemilikan tanah untuk mendapat pengakuan dari pemerintah, mendokumentasikan situs kultural (tempat-tempat sakral, perkuburan, desa yang telah ditinggalkan dan sejarah lokal) untuk memperkuat identitas adat

c. Menyelesaikan berbagai masalah menyangkut konflik kepemilikan sumber daya oleh berbagai pihak pemanfaatan lahan

d. Penetapan batas-batas secara partisipatif (misalnya daerah-daerah konservasi) e. Menumbuhkan partisipatif di dalam perencanaan tata guna lahan regional. I.6.4. Metode Kartometris

Metode Kartometrik adalah penelusuran/penarikan garis batas pada peta kerja dan pengukuran/perhitungan posisi titik, garis, jarak, dan luas cakupan wilayah dengan menggunakan peta dasar dan informasi geospasial lainnya sebagai pendukung ( Pemendagri Nomor 45 Tahun 2016).

(8)

Dalam Pemendagri Nomor 45 Tahun 2016, diuraikan tata cara penetapan dan penegasan garis batas desa dengan metode kartometrik. Tahapan yang dilakukan dalam penetapan dan penegasan garis batas desa, salah satunya adalah pembuatan garis batas diatas peta. Pembuatan garis batas diatas peta dilakukan dengan delineasi garis batas secara kartometrik. Peta dasar yang digunakan adalah Peta Rupabumi Indonesia dan/atau Citra Tegak Resolusi Tinggi.

Menurut Lalmpiran Pemendagri Nomor 76 Tahun 2012 kaidah-kaidah penarikan garis batas, dapat menerapkan hal-hal sebagai berikut :

a) Secara Kartometrik.

(1) Penggunaan bentuk-bentuk batas alam.

Detil-detil pada peta yang merupakan batas alam dapat dinyatakan sebagai batas daerah. Penggunaan detil batas alam pada peta akan memudahkan penegasan batas daerah.Detil-detil peta yang dapat digunakan adalah sebagai berikut:

(a) Sungai (lihat Gambar I.1)

i. Garis batas di sungai merupakan garis khayal yang melewati tengah-tengah atau as (median) sungai yang ditandai dengan titik-titik koordinat. ii. Jika garis batas memotong tepi sungai maka dilakukan pengukuran titik

koordinat pada tepi sungai (T.1 dan T.3).

iii. Jika as sungai sebagai batas dua daerah/lebih maka dilakukan pengukuran titik koordinat batas pada tengah sungai (titik simpul) secara kartometrik (T.2).

Gambar I.1 Penggambaran sungai sebagai batas daerah T.3

(9)

(b) Garis Pemisah Air/Watershed (lihat Gambar I.2)

i. Garis batas pada watershed merupakan garis khayal yang dimulai dari suatu puncak gunung menelusuri punggung pegunungan/perbukitan yang mengarah kepada puncak gunung berikutnya.

ii. Ketentuan menetapkan garis batas pada watershed dilakukan dengan prinsip berikut ini:

i) Garis batas merupakan garis pemisah air yang terpendek, karena kemungkinan terdapat lebih dari satu garis pemisah air.

ii) Garis batas tersebut tidak boleh memotong sungai.

iii) Jika batasnya adalah pertemuan lebih dari dua batas daerah maka dilakukan pengukuran titik koordinat batas pada watershed (garis pemisah air) yang merupakan simpul secara kartometrik.

Gambar I.2 Penggambaran garis pemisah air sebagai batas daerah (2) Penggunaan bentuk-bentuk batas buatan.

Penegasan batas daerah dapat juga menggunakan unsur-unsur buatan manusia seperti: jalan, jalan kereta api, saluran irigasi, pilar dan sebagainya.

(a) Jalan (Gambar I.3 dan Gambar I.4)

Untuk batas jalan dapat digunakan as atau tepinya sebagai tanda batas sesuai kesepakatan antara dua daerah yang berbatasan. Pada awal dan akhir batas yang berpotongan dengan jalan dilakukan pengukuran titik-titik koordinat batas secara kartometrik atau jika disepakati dapat dipasang pilar sementara/pilar batas dengan

(10)

bentuk sesuai ketentuan. Khusus untuk batas yang merupakan pertigaan jalan, maka ditentukan/diukur posisi batas di pertigaan jalan tersebut.

Keterangan : T titik batas (simpul) Gambar I.3Penggambaran as jalan sebagai batas daerah

Keterangan : --- Batas

Gambar I.4 Penggambaran pinggir jalan sebagai batas daerah

(b) Jalan Kereta Api.

Menggunakan prinsip sama dengan prinsip penetapan tanda batas pada jalan. (c) Saluran Irigasi. DAERAH A DAERAH B T DAERAH C DAERAH A DAERAH B DAERAH C

(11)

Bila saluran irigasi ditetapkan sebagai batas daerah, maka penetapan/pemasangan tanda batas tersebut menggunakan cara sebagaimana yang diterapkan pada penetapan batas pada jalan.

1) Daerah yang berbatasan dengan beberapa daerah lain, maka kegiatan penegasan batas daerah harus dilakukan bersama dengan daerah-daerah yang berbatasan. Sebagai contoh daerah C berbatasan dengan daerah A,B, D, dan daerah E (Gambar I.5).

Gambar I.5 Segmen batas daerah C berbatasan dengan daerah A, B, D dan E Jika batasnya adalah pertemuan lebih dari dua batas daerah, maka dilakukan pengukuran titik koordinat batas pada pertemuan batas (titik simpul) secara kartometrik.

2) Penarikan garis batas yang melintasi sarana dan prasarana (sungai, jalan, danau, dsb) yang merupakan batas antar kabupaten/kota dalam satu provinsi, diatur bersama kedua daerah yang difasilitasi oleh pemerintah provinsi. 3) Pembangunan sarana dan prasarana melintasi sungai yang merupakan batas

antar kabupaten/kota berbeda provinsi, diatur bersama kedua daerah yang difasilitasi oleh Pemerintah Pusat.

I.6.5. Interpretasi Citra

Interpretasi citra adalah perbuatan mengkaji foto udara dan atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi obyek dan menilai arti pentingnya obyek tersebut. (Estes dan Simonett dalam Sutanto, 1994:7) Menurut Lintz Jr. dan Simonett dalam

DAERAH E DAERAH D DAERAH C DAERAH B DAERAH A Titik Simpul

(12)

Sutanto (1994:7), ada tiga rangkaian kegiatan yang diperlukan dalam pengenalan obyek yang tergambar pada citra, yaitu:

(1) Deteksi, adalah pengamatan adanya suatu objek, misalnya pada gambaran sungai terdapat obyek yang bukan air.

(2) Identifikasi, adalah upaya mencirikan obyek yang telah dideteksi dengan menggunakan keterangan yang cukup. Misalnya berdasarkan bentuk, ukuran, dan letaknya, obyek yang tampak pada sungai tersebut disimpulkan sebagai perahu motor.

(3) Analisis, yaitu pengumpulan keterangan lebih lanjut. Unsur interpretasi citra terdiri atas :

(1) Rona dan Warna

Rona adalah tingkat kegelapan atau tingkat kecerahan obyek pada citra. Rona pada foto pankromatik merupakan atribut bagi obyek yang berinteraksi dengan seluruh spektrum tampak yang sering disebut sinar putih, yaitu spektrum dengan panjang gelombang (0,4 – 0,7) μm. Berkaitan dengan penginderaan jauh, spektrum demikian disebut spektrum lebar, jadi rona merupakan tingkatan dari hitam ke putih atau sebaliknya.

Warna merupakan wujud yang tampak oleh mata dengan menggunakan spektrum sempit, lebih sempit dari spektrum tampak. Sebagai contoh, obyek tampak biru, hijau, atau merah bila hanya memantulkan spektrum dengan panjang gelombang (0,4 – 0,5) μm, (0,5 – 0,6) μm, atau (0,6 – 0,7) μm. Sebaliknya, bila obyek menyerap sinar biru maka ia akan memantulkan warna hijau dan merah. Sebagai akibatnya maka obyek akan tampak dengan warna kuning. Berbeda dengan rona yang hanya menyajikan tingkat kegelapan, warna menunjukkan tingkat kegelapan yang lebih beraneka.

(2) Bentuk

Merupakan variabel kualitatif yang memberikan konfigurasi atau kerangka suatu obyek. Kita bisa adanya objek stadion sepakbola pada suatu foto udara dari adanya bentuk persegi panjang. demikian pula kita bisa mengenali gunung api dari bentuknya yang cembung.

(13)

(3) Ukuran

Atribut obyek yang antara lain berupa jarak, luas, tinggi, lereng, dan volume. Ukuran meliputi dimensi panjang, luas, tinggi, kemirigan, dan volume suatu objek. Perhatikan gambar lokasi semburan lumpur di atas; ada banyak objek berbentuk kotak-kotak kecil. Kita bisa membedakan mana objek yang merupakan rumah, gedung sekolah, atau pabrik berdasarkan ukurannya.

(4) Tekstur

Tekstur dalam interpretasi citra dinyatakan berdasarkan tingkatan kasar atau halus atau sedang suatu obyek. Frekuensi perubahan rona pada citra atau pengulangan rona kelompok obyek yang terlalu kecil untuk dibedakan secara individual.

(5) Pola

Pola atau susunan keruagan merupakan ciri yang menandai bagi banyak obyek bentukan manusia dan bagi beberapa obyek alamiah.

(6) Bayangan

Bayangan sering menjadi kuci pengenalan yang penting bagi beberapa obyek dengan karakteristik tertentu, seperti cerobong asap, menara, tangki minyak, dan lain-lain. Jika objek menara disamping diambil tegak lurus tepat dari atas, kita tidak bisa langsung mengidentifikasi objek tersebut. Maka untuk mengenali bahwa objek tersebut berupa menara adalah dengan melihat banyangan objek.

(7) Situs

Menurut Estes dan Simonett, situs adalah letak suatu obyek terhadap obyek lain di sekitarnya. Situs juga diartikan sebagai letak obyek terhadap bentang darat, seperti situs suatu obyek di rawa, di puncak bukit yang kering, dan sebagainya. Itulah sebabnya, site dapat untuk melakukan penarikan kesimpulan (deduksi) terhadap spesies dari vegetasi di sekitarnya. Banyak tumbuhan yang secara karekteristik terikat dengan site tertentu tersebut. Misalnya hutan bakau ditandai dengan rona yang telap, atau lokasinya yang berada di tepi pantai. Kebun kopi ditandai dengan jarak tanamannya, atau lokasinya yaitu ditanam di daerah bergradien miring/pegunungan.

(14)

(8) Asosiasi

Keterkaitan antara obyek yang satu dengan obyek yang lain. Karena adanya keterkaitan ini maka terlihatnya suatu obyek pada citra sering merupakan petunjuk bagi adanya obyek lain. Misalnya fasilitas listrik yang besar sering menjadi petunjuk bagi jenis pabrik alumunium. Gedung sekolah berbeda dengan rumah ibadah, rumah sakit, dan sebagainya karena sekolah biasanya ditandai dengan adanya lapangan olah raga.

Dalam mengenali obyek pada foto udara atau pada citra lainnya, dianjurkan untuk tidak hanya menggunakan satu unsur interpretasi citra. Semakin ditambah jumlah unsur interpretasi citra yang digunakan, maka semakin menciut lingkupnya ke arahtitik simpul tertentu. Pengenalan obyek dengan cara ini disebut konvergensi bukti (cerverging evidence/convergence of evidence).

I.6.6. Peta Batas Wilayah Desa

Peta Batas Wilayah Desa (Peta BWD) adalah peta yang menyajikan batas-batas administrasi desa yang telah ditetapkan atau disepakati oleh kedua desa yang berbatasan, atau telah ditegaskan atau telah diverifikasi (Sri Handoyo, 2003).

Menurut Sri Handoyo jenis-jenis Peta Batas Wilayah adalah:

a. Peta Hasil Penetapan Batas, adalah peta batas yang dibuat secara kartometrik dari peta dasar yang telah ada dengan tidak melakukan pengukuran di lapangan.

b. Peta Hasil Penegasan Batas, adalah peta batas yang dibuat dengan peta dasar yang ada ditambah dengan data yang diperoleh dari hasil pengukuran di lapangan. c. Peta Hasil Verifikasi, adalah peta batas yang telah dibuat oleh daerah dan hasilnya

dilakukan verifikasi oleh Tim PPBD Pusat sebelum ditandatangani oleh Menteri Dalam Negeri.

I.6.7. Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan suatu sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk menyajikan secara digital dan menganalisa penampakan geografis yang ada di permukaan bumi. SIG sebagai sistem informasi yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan, memanggil kembali, mengolah, menganalisis dan menghasilkan data bereferensi geografis atau data geospatial, untuk mendukung pengambilan keputusan dalam perencanaan dan pengelolaan penggunaan lahan,

(15)

sumber daya alam, lingkungan, transportasi, fasilitas kota, dan pelayanan umum lainnya (Murrai, 1999).

Menurut Bernhardsen (2002), SIG sebagai sistem komputer yang digunakan untuk memanipulasi data geografi. Sistem ini diimplementasikan dengan perangkat keras dan perangkat lunak komputer yang berfungsi untuk akusisi dan verifikasi data, kompilasi data, penyimpanan data, perubahan dan pembaharuan data, manajemen dan pertukaran data, manipulasi data, pemanggilan dan presentasi data serta analisa data. Pengertian SIG dapat beragam tetapi mempunyai satu kesamaan, yaitu bahwa SIG adalah suatu sistem yang berkaitan dengan informasi geografis (Maguire, 1991 dalam Subaryono 2005).

Menurut John E. Harmon Sistem Informasi Geografis agar dapat beroperasi membutuhkan komponen-komponen sebagai berikut:

a. Orang : yang menjalankan sistem

b. Aplikasi : prosedur-prosedur yang digunakan untuk mengolah data c. Data : informasi yang dibutuhkan dan diolah dalam aplikasi

d. Software : perangkat lunak SIG

e. Hardware : perangkat keras yang dibutuhkan untuk menjalankan sistem Tahap-tahap dalam pembuatan SIG :

a. Data Acquisition: proses identifikasi dan pengumpulan data yang diperlukan dalam aplikasi.

b. Pre-processing: konversi format data dan identifikasi lokasi obyek pada data aslinya secara sistematis.

c. Data Management: metode yang konsisten untuk pemasukan data, pengubahan data, dan pemanggilan kembali.

d. Manipulation dan Analysis: operasi-operasi analitis yang menggunakan database SIG untuk menghasilkan informasi baru.

e. Product Generation: produksi output akhir dari SIG

Sekarang ini, sebagian besar kegiatan pembangunan tidak lepas dari penggunaan Sistem Informasi Geospasial. Berikut ini adalah beberapa contoh aplikasi SIG (Subaryono, 2005) :

(16)

1. SIG berbasis jaringan jalan: pencarian lokasi (alamat), manajemen jalur lalu lintas, analisis lokasi (misal pemilihan lokasi halte bus, terminal, dll), evakuasi (bencana).

2. SIG berbasis sumberdaya (zona): pengelolaan sungai, tempat rekreasi, genangan banjir, tanah pertanian, hutan, margasatwa, dsb., pencarian lokasi buangan limbah, analisis migrasi satwa, analisis dampak lingkungan.

3. SIG berbasis persil tanah: pembagian wilayah, pendaftaran tanah, pajak (tanah, bangunan), alokasi tanah/pencarian tanah, manajeman kualitas air, analisis dampak lingkungan.

4. SIG berbasis manajemen fasilitas: lokasi pipa bawah tanah, keseimbangan beban listrik, perencanaan pemeliharaan fasilitas, deteksi penggunaan energi.

Gambar

Gambar I.1 Penggambaran sungai sebagai batas daerah T.3
Gambar I.2 Penggambaran garis pemisah air sebagai batas daerah  (2)  Penggunaan bentuk-bentuk batas buatan
Gambar I.4 Penggambaran pinggir jalan sebagai batas daerah
Gambar I.5 Segmen batas daerah C berbatasan dengan daerah A, B, D dan E  Jika batasnya adalah pertemuan lebih dari dua batas daerah, maka dilakukan  pengukuran  titik  koordinat  batas  pada  pertemuan  batas  (titik  simpul)  secara  kartometrik

Referensi

Dokumen terkait

Contoh Gambar Ukur pengukuran dengan GNSS apabila tidak tersedia peta foto atau citra dan salah satu tanda batas bidang tanah diukur dengan metode Titik

Stasiun berdiri alat ukur itu diposisikan pada suatu titik ikat pengamatan kemudian dilakukan pengukuran jarak dan sudut ke titik-ttik pantau.Kerangka yang

Metode poligon adalah salah satu cara penentuan posisi horizontal banyak titik dimana titik satu dengan lainnya dihubungkan satu sama lain dengan pengukuran sudut dan jarak

Dalam metode radial untuk mengetahui suatu posisi titik yang belum diketahui koordinatnya dapat dilakukan dengan mengukur jarak titik tersebut ke titik yang belum

Batas desa indikatif pada Peta Rupa Bumi Indonesia selanjutnya disebut peta RBI adalah batas sementara yang dibuat oleh tim penetapan batas desa pada peta RBI yang merupakan

Titik kartometrik yang terdapat pada kedua kecamatan berjumlah 427 titik yang tersebar di setiap garis segmen batas untuk mewakili batas dari masing-masing

Uji Perbandingan data batimetri yang dihasilkan dari pengukuran menggunakan multibeam echosounder dengan singlebeam echosounder pada posisi titik perum yang sama akan

Prinsip yang digunakan dalam fotogrametri jarak dekat adalah prinsip kolinearitas (kesegarisan) yang dapat didefinisikan bahwa titik utama kamera, koordinat titik pada foto,