• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI ERA DISRUPSI Nandang Solihin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI ERA DISRUPSI Nandang Solihin"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

17

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI ERA DISRUPSI Nandang Solihin

Email: nandangsolihin2016@gmail.com

Abstrak

Teknologi di era Revolusi Industri 4.0 menyebabkan terjadinya perubahan di berbagai segi dalam kehidupan. Revolusi ini mengubah dari hal-hal yang konfensional beralih ke sistem digital yang lebih canggih. Teknologi memberi peluang pada hal-hal praktis menjadi serba otomatis dan penuh inovatif di berbagai sektor kehidupan. Perusahaan pemodal besar banyak mengalami kemunduran yang dramatis seperti Perusahaan Taxi Bluebird dikalahkan oleh transfortasi online Go Jeg. Pergeseran paradigma belajar dengan online learning dan munculnya generasi millenia menjadi perhatian tersendiri di dunia pendidikan. Peneliti dengan metode library research ini memaparkan trend pendidikan agama Islam di era disrupsi dan dampaknya di Indonesia. Pemanfaatan teknologi dalam proses belajar mengajar di era disrupsi menjadi persyaratan dasar. Pendidikan agama Islam sebagai salah satu yang akan terkena imbas gelombang teknologi. Teknologi dihadirkan untuk meningkatkan mutu pendidikan agama Islam. Materi pendidikan dikembangkan dengan mengikuti perubahan yang terjadi termasuk dalam penggunaan media pembelajaran dan aplikasi di smart phone menjadi penting. Perubahan ini sesuai dengan perkembangan subyek didik di era millenial. Ada sisi kekhasan pendidikan agama Islam yang tidak tergantikan dengan teknologi, yakni keteladanan.

Kata kunci : Pendidikan, Islam, Era Disrupsi

A. Pendidikan Islam

Dalam literature Arab, sebagaimana dikatakan Zakiah Daradjat “Pendidikan berasal dari kata tarbiyah, dengan kata kerja rabba. Kata kerja rabba sudah digunakan sejak zaman nabi, seperti terlihat dalam QS; 17:24. Istilah lain yang digunakan dalam pengertian pendidikan adalah kata ta’lim, seperti yang disebutkan dalam QS; 2:31.

Menurut Al-Attas sebagaimana dikutip oleh Hasan Langgulung bahwa ta’lim hanya berarti pengajaran, jadi lebih sempit dari pendidikan. Sedangkan kata tarbiyah, terlalu luas. Sebab kata tarbiyah juga digunakan untuk binatang dan tumbuh-tumbuhan dengan pengertian memelihara atau membela, beternak dan lain-lain—sebagaimana digunakan di negara-negara Arab.

(2)

18

pendidikan dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I pasal 1: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”.

Dasar atau landasan pendidikan Islam yang pertama adalah al-Quran, kemudian al-Hadits. Sebagaimana sabda Rasulullah dari Abdullah bin Umar bin ‘Auf dari ayahnya dari kakeknya yang diriwayatkan oleh al-Hakim dan Ibnu Abdil Bar, “aku tinggalkan bagi kalian dua hal yang karenanya kalian tidak akan tersesat sama sekali, selama kalian berpegang pada keduanya, yaitu kitab Allah dan sunnahku”.

Dalam hadits lain, Rasulullah SAW juga menyampaikan: “Apapun yang ditetapkan dalam kitabullah (al-Quran), tiada alasan bagi siapapun untuk tidak mengamalkannya. Dan sekiranya tidak terdapat (perinciannya) dalam al-Quran, maka sunnah nabilah yang menjabarkannya” (HR. Muslim yang bersumber dari Ibnu Abbas).

Dari dua hadits di atas, jelaslah bahwa ada dua sumber pokok yang melandasi setiap usaha dan aktifitas yang kita lakukan, yakni al-Quran dan Hadits. Begitu juga dalam aktifitas pendidikan haruslah bersumber pada nilai-nilai atau ajaran-ajaran yang terkandung dalam kedua sumber pokok tersebut.

B. Era Disruption

Menurut Rhenald Kasal, kita semua sedang menghadapi persoalan yang sama; terbelenggu oleh pola pikir lama sehingga sulit menerima fakta-fakta dan cara-cara baru. Kita menangkal— dan bahkan menolak—dunia digital (deception) sehingga kita semua harus bertempur menghadapi lawan-lawan yang tidak terlihat itu, kita menjadi semakin tidak mampu melihat. Akibatnya tersungkur dalam disruption. Kita menghadapi lawan internal yang menolak—kendati inovasi sudah dimulai dari dalam—akibatnya kita menjadi galau tatkala harus berhadapan dengan diri kita sendiri sebagai kompetitor.

(3)

19

Disruption menjadi berat karena banyak orang—termasuk wirausaha, regulator dan praktisi pendidikan—tidak tahu apa yang tengah terjadi. Semua orang berpikir bahwa mereka telah melakukan cara-cara yang terbaik. Tidak hanya langkah-langkah manajerial yang sistematis, prinsip-prinsip strong brand dan inovasi pun telah diterapkan. Pada masa kini, para pengamat dan regulator sekaligus praktisi menyebut lawan-lawan yang tak terlihat penyebab disruption sebagai “anak haram” yang lahir tanpa mengikuti aturan hukum yang berlaku. Mereka menghasilkan inovasi-inovasi baru yang melanggar hukum, tidak sesuai dengan undang-undang, bahkan tanpa membayar pajak. Pihak yang ‘merasa terganggu’ mendukung regulator agar mengejar, menyita, dan memenjarakan mereka, tanpa peduli bahwa kehadiran mereka juga menciptakan lapangan kerja baru dan didukung oleh netizen karena mampu memecahkan masalah keseharian. Ketika mereka menawarkan harga yang murah, sebagian pengamat menyatakan bahwa itu adalah strategi predatoris yang berpotensi bertentangan dengan semangat kompetisi.

Rheinald Kasali, memberikan tiga solusi dalam menghadapi era disrupsi ini. Pertama, jangan merasa nyaman menjadi ‘pemenang’. Organisasi yang merasa nyaman selalu berasumsi bahwa pelanggan mereka sudah sangat loyal. Padahal, ketika terjadi perubahan fundamental saat ini, perlu ditengok ulang apakah terjadi pergeseran segmen konsumen yang boleh jadi berkarakter lain dengan konsumen lama. Kedua, jangan takut melakukan ‘kanibalisasi’ produk sendiri dan melahirkan produk baru. Inilah yang dikatakan perubahan mendasar dalam organisasi dalam menghadapi era disrupsi. Ketiga, membentuk ulang atau menciptakan yang baru. Melakukan inovasi dengan memodifikasi yang sudah ada dalam bentuk lain—bahkan menciptakan hal baru—sehingga organisasi akan bisa survivel.

C. Pendidikan Islam di Era Disrupsi

Dengan semakin terbukanya ruang pendidikan, ditengarai arah pendidikan akan bergeser ke pengelolaan yang lebih profesional, terbuka dan demokratis. Hal ini disadari, karena telah terjadi perubahan besar yang diakibatkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, modernisasi dan industrialisasi. Dampak ikutan dari itu semua telah mendorong terjadinya pergeseran sistem, arah, dan tata kelola pendidikan. Oleh karena itu, sekolah tidak cukup hanya membekali peserta didik dengan selembar ijazah. Guru tidak hanya cukup memerankan dirinya sebagai pentransfer

(4)

20

ilmu pengetahuan belaka, ruang belajar tidak hanya berlangsung di kelas. Sumber kekuatan akan terkonsentrasi pada informasi dan data riil—bukan data baku yang tertuang dalam statistik yang tidak jelas.

Dedi Mulyasana dengan lebih detil dan jelas menyampaikan bahwa implikasi dari itu semua telah mengakibatkan pergeseran dalam paradigma pendidikan. Hal ini menurutnya, dapat terlihat dari fenomena berikut ini:

1. Kekuatan simbol (ijazah) akan bergeser ke kuatan kemampuan performa 2. Kekuatan individu akan bergeser ke kuatan jaringan

3. Kekuatan formal akan bergeser ke daya pengaruh

4. Persaingan akan bergeser dari harga ke layanan dan kualitas

5. Persaingan akan bergeser dari darat ke dunia maya. Oleh karena itu jangan jual tenaga, keterampilan, dan ilmu semata, tapi juallah kepercayaan

6. Sistem evaluasi belajar yang hanya mengukur hafalan dan daya ingat akan bergeser ke evaluasi kemampuan total

7. Sumber dan sarana belajar konvensional akan bergeser ke sumber dan sarana belajar berteknologi tinggi

8. Sistem respons bergeser dari reward and punishment ke positive thinking

9. Kebutuhan kelas akan bergeser dari kebutuhan mencari guru yang pintar ke guru yang mampu memintarkan anak

10. Sekolah bukan sekedar mendidik anak yang pintar tapi justru memintarkan anak yang berkebutuhan khusus

11. Pendekatan keseragaman yang bersifat statis akan bergeser ke pendekatan ke ragaman fungsional. Berpakaian seragam rapih, duduk yang tertib, dan datang dan pulang tepat waktu belum cukup menggambarkan keberhasilan proses pendidikan

12. Pembelajaran formalistik akan bergeser ke pembelajaran fungsional dengan menekankan pada penguatan logika, hati dan iman.

Fenomena pergeseran tersebut akan memaksa pendidikan dikelola secara terencana dengan tujuan yang jelas dan terukur hasilnya. Proses pembelajaran lebih menekankan pada kualitas proses daripada kuantitas hasil. Manajemen pendidikan tidak lagi mengutamakan sesuatu yang bersifat administratif, melainkan pada proses pematangan kualitas peserta didik.

(5)

21

Dalam konteks metode pembelajaran, pada tulisannya tentang Pendidikan sebagai Praktek Pembebasan Paulo Freire, menyebutkan perlunya pembelajaran selalu diasosiasikan dengan “pembacaan kritis” terhadap realitas. Dengan pembelajaran itu, guru mendidik bagaimana cara berpikir. Kita tidak dapat mengajar bahan pelajaran semata-mata seolah konteks sekolah di mana bahan pelajaran tersebut disampaikan bisa direduksi menjadi sebuah ruang netral yang terbebas dari konflik-konflik sosial. Latihan “berpikir benar” juga tidak dapat dipisahkan dari pengajaran suatu bahan pelajaran. Ini mestinya yang dilakukan dalam pembelajaran dunia pendidikan kita. Dalam tulisannya yang lain Freire mengatakan, pendidikan itu tidak seperti bunga bank—yang semakin diisi banyak, semakin lebih baik. Pendidikan—lebih sempit pembelajaran—adalah tempat penyemaian potensi peserta didik agar berkembang lebih optimal, bukan malah mematikannya.

Menurut Abuddin Nata lembaga pendidikan Islam seharusnya dapat tampil ke depan merebut peluang dan sekaligus mampu menjadi solusi alternatif dengan memadukan keunggulan dalam bidang ahlak dan moral serta ketaatan dalam menjalankan ibadah yang ada pada sistem pendidikan di pesantren dengan keunggulan dalam bidang penguasaan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan kreatifitas yang ada pada pendidikan sekolah umum. Sintesis ini mungkin dapat disebut sebagai perguruan tinggi pesantren, sekolah pesantren, sekolah unggulan dan sebagainya.

Untuk dapat menjawab dan mewujudkan gagasan tersebut, maka lulusan lembaga pendidikan Islam hendaknya tidak hanya menguasai ilmu-ilmu agama saja, tetapi juga menguasai ilmu umum secara seimbang. Kemampuan dalam bidang bahasa, Arab, Inggris dan lainnya. Kemampuan IT, penelitian serta pola pikir inovatif yang memberikan rasa percaya diri kepada para lulusannya perlu dilakukan.

Sehingga diperlukan langkah-langkah strategis management yang akan memberikan solusi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Langkah-langkah yang terukur akan menjadi era disrupsi lebih ringan dihadapi. Ada empat elemen yang patut terus diwaspadai dan secara continu dilakukan yaitu environmental scanning (internal dan eksternal), strategy formulation, strategy implementation, dan terahir evaluation and control.

(6)

22 Penutup

Tantangan Pendidikan di era disrupsion harus mampu menghadapi perkembangan Teknologi terutama teknologi informasi dan aspek kehidupan yang lain, baik ekonomi, social maupun budaya. Tantangan tersebut juga dihadapi oleh pendidikan agama sebagai bagian integral dari proses pendidikan bangsa secara keseluruhan. Kalau dunia pendidikan di Indonesia memerlukan berbagai inovasi agar tetap fungsional dan optimal di tengah arus perubahan yang tak terdeteksi, maka pendidikan agama juga memerlukan inovasi, agar eksistensinya tetap bermakna bagi kehidupan bangsa.

Tantangan pendidikan agama sebenarnya juga dihadapi oleh semua pihak—baik keluarga, pemerintah maupun masyarakat di era disrupsi—terutama guru dan Dosen Pendidikan Agama Islam yang terkait langsung dengan pelaksanaan pendidikan, dituntut untuk melakukan perubahan mindset secara cepat dan eksponensial, mampu menjawab dan mengantisipasi tantangan-tantangan di era disrupsi tersebut. Yang lebih penting tentu agar Pendidikan Agama Islam mampu mencapai tujuan yang diinginkan dalam perspektif al-Quran dan hadits.

Referensi

Abuddin Nata Ilmu Pendidikan Islam. Ed.1,Cet.2. Penerbitan, Jakarta: kencana, 2012. Azra, Azyumardi.Pendidikan Islam di Era Globalisasi: Peluang dan Tantangan. [EDUKASI: Jurnal Penelitian Pendidikan Agama dan Keagamaan 2017] 6.4.

Dabbagh, N. Pembelajar online:Karakteristik dan implikasi pedagogis Kontemporer Isu dalam Teknologi dan Pendidikan Guru [seri Online 2007],(3).

Damanhuri, Ahmad, Endin Mujahidin, and Didin Hafidhuddin. Inovasi pengelolaan pesantren dalam menghadapi persaingan di era globalisasi. [TA'DIBUNA 2013] 2.1: 17-37.

Darmayanti, Tri, Made Yudhi Setiani, and Boedhi Oetojo. E-learning pada pendidikan jarak jauh: konsep yang mengubah metode pembelajaran di perguruan tinggi di Indonesia. [Jurnal Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh 2007] 8.2: 99-113.

Hamami, Tasman. Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum sebagai Keharusan Sejarah. [Jurnal Pendidikan Agama Islam 2004]1.2

H Haidar Putra Daulay, M. A. Pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia. Kencana.2014

(7)

23

Hasan, Muhammad. Inovasi dan Modernisasi Pendidikan Pondok Pesantren. [KARSA: Journal of Social and Islamic Culture 2015] 23.2: 296-306.

Jones, Pip.Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Fungsionalisme hingga Post-modernisme. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 2010

Kasali, Renald. Disruption. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.2017

Khobir, Abdul. Pendidikan Agama Islam Di Era Globalisasi.[ Edukasia Islamika 2009]7.1. Maarif, Muhammad Anas .Pendidikan Islam dan Tantangan Modernitas. [Nidhomul Haq: Jurnal Manajemen Pendidikan Islam .2016] 1.2: 47-58.

Miarso, Yusufhadi. Menyemai benih teknologi pendidikan. Kencana. 2004

Mukhadis, Amat. Sosok Manusia Indonesia Unggul dan Berkarakter dalam Bidang Teknologi Sebagai Tuntutan Hidup di Era Globalisasi." [Jurnal Pendidikan Karakter 2013] 2.2.

Rahman, Abdul. Pendidikan Agama Islam dan Pendidikan Islam-Tinjauan Epistemologi dan Isi-Materi."[ Jurnal Eksis 2012] 8.1.

Ridla, Muhammad Jawwad. Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam; perspektif sosiologis-filosofis. Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya. 2002

Setiawan, Wawan. Era Digital dan Tantangannya.1-9. 2017

Suyatno, Sutrisno. "Pendidikan Islam di Era Peradaban Modern”.2015

Wibawanto, Hari.Generasi Z dan Pembelajaran di Pendidikan Tinggi." [Simposium Nasional Pendidikan Tinggi, ITB, Bandung 2016] Senin 24.

Referensi

Dokumen terkait

Gambar L.21 Form Delete User...L7 Gambar L.22 Pesan kesalahan Form Delete User jika UserName tidak dipilih ...L7 Gambar L.23 Pesan kesalahan Form Delete User jika UserName

Patogen dalam air Pengendalian Biologi Usia Larva Ketersediaan Makanan Kematian Larva Aedes aegypti dari populasi yang resisten temephos 0,02 mg/L Kosentrasi

Huitt mengemukakan beberapa contoh strategi guru untuk 25 Blakey dan Spence, “Developing Metacognition”, http://www.ericdigest.. meningkatkan kemampuan metakognisi siswa,

Hasil yang diperoleh dari penelitian, minat belajar IPS dalam pendekatan project based learning siswa kelas 4 SDN Sidorejo Lor 07 Kota Salatiga, dapat juga disajikan

Berdasarkan kesimpulan dan tindak lanjut penelitian di atas, maka peneliti dapat menyarankan hal-hal sebagai berikut: 1) Bagi guru, guru bahasa Indonesia SMP Negeri 4

Menurut Oliver dalam Barnes (2003) menyatan bahwa "kepuasan pelanggan adalah tanggapan atas terpenuhinya kebutuhan yang berarti bahwa penilaian pelanggan atas barang

Diduga perlakuan pemberian 2,5 ml herbisida/1 liter air dengan mulsa jerami padi ketebalan 6 cm dapat menekan gulma secara optimal sehingga persaingan unsur hara

Kenaikan harga beras yang mendadak di pasaran dunia pada tahun 2008 dilihat bukan berpunca akibat tekanan faktor endogen permintaan mahupun penawaran semata-mata, namun