• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan bangsanya. Hal ini dapat dilihat pada sejarah, tabiat dan watak bangsa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. kehidupan bangsanya. Hal ini dapat dilihat pada sejarah, tabiat dan watak bangsa"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Karakteristik geografis suatu negara senantiasa mempunyai pengaruh terhadap kehidupan bangsanya. Hal ini dapat dilihat pada sejarah, tabiat dan watak bangsa tersebut. Hal ini dapat berlaku terhadap Negara Jepang (Suryohadiprojo, 1982:1).

Secara topografi, Jepang merupakan bagian dari suatu deretan pegunungan yang panajng yang terangkai dari Asia Tenggara samapi jauh ke Alaska . Menurut survey dari Lembaga Survai Geogarfi Kementrian Pembangunan Jepang, kawasan pegunungan mencapai 70% dari seluruh daratan Jepang (Anonim, 1982:3). Disana-sini terdapat gunung-gunung yang menjulang tinggi dan diantaranya adalah gunung berapi.

Luasnya daerah pegunungan menyebabkan tanah dataran berwujud sempit antara pegunungan dengan pantai Samudera Pasifik dan Laut Jepang. Sempitnya dataran menyebabkan tanah pertanian hanya meliputi 15 % saja dari seluruh daratan Jepang. Walalupun memiliki daratan yang sempit, berkat keuletannya, bangsa Jepang dapat menghasilkan 10 juta ton beras setiap tahun. Jepang sebagai negara kepulauan, sifat maritimnya menyebabkan bangsa Jepang menjadi bangsa pelaut yang ulung (Suryohadiprojo, 1982:3).

Meskipun memiliki kondisi topogarafi seperti ini Jepang tidak pernah putus asa bahkan terus berjuang dengan rajin dalam membangun negara dan bangsanya hal initerbukti pada masa kini, Negara Jepang menjadi Negara yang kuat. Kekuatan Jepang mulai terlihat pada masa perang dunia kedua, Jepang muncul sebagai negara

(2)

yang kuat dan ditakuti. Jepang bersama sekutunya menebarkan horor diseluruh dunia. Jepang merebut Indonesia dari Belanda pada tahun 1942 dan menjajah Indonesia sampai perang dunia kedua berakhir pada tahun 1945 (Majalah angkasa, 2008:81). Sebagai negara yang kalah perang, Jepang harus membayar sejumlah pampasan perang yang nilainya tidak sedikit. Bukan hanya itu saja, mereka juga terpaksa membiarkan sekutu menduduki Jepang sampai pada tahun 1952. Walupun demikian, Jepang pada tahun yang sama mencapai produksi yang jumlahnya hampir sama seperti sebelum perang (Vogel, 1982:26).

Semuanya ini diperoleh karena keuletan yang dimiliki bangsa Jepang dan sikap disiplinnya. Selain disiplin dan keuletannya, Jepang juga memiliki kultur yang mendukung seperti kultur awase, kultur haji no bunka, dan kultur masyarakat vertiakal-horizontal.

Kultur Awase atau Awase no Bunka (合わせ の 文化) berasal dari kata dalam bahasa Jepang yaitu kata au (合う)dan bunka (文化). Kata au (合う) memiliki makna menyatukan atau menggabungkan. Sedangkan kata bunka (文化) mempunyai makna budaya. Apabila kedua kata ini digabungkan memiliki makna secara harfiah yaitu budaya menyatukan atau budaya menggabungkan. Ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Kinhide, kultur awase adalah kultur yang mengandung pengertian menerima ini atau itu (Kinhide, 1981: 7). Hal ini terlihat dalam kepercayaan mereka, dimana mereka mau menerima dan menganut dua agama sekaligus.

Kultur haji no bunka (恥 の文化) terdiri atas dua kata yang berasal dari bahasa Jepang yaitu haji () dan bunka (文化). Haji () memiliki arti malu sedangkan bunka (文化) memiliki arti budaya. Apabila kedua kata ini digabungkan memiliki makna secara harfiah yaitu budaya malu Budaya ini terlihat dari sikapnya yang tidak senang jika tidak dapat membalas apa yang mereka terima karena memalukan. Kultur

(3)

masyarakat horizontal-vertikal yang dimiliki Jepang terlihat dalam sikap bangsa Jepang yang senang berkelompok.

Ketiga kultur ini, baik kultur awase, kultur haji no bunka ataupun kultur masyarakat vertical-horizontal juga dapat ditemukan dalam hubungan diplomasi Jepang Indonesia yang telah mencapai umur lima puluh tahun pada tahun 2008 yang lalu. Kultur awase terlihat dalam sikap diplomasi Jepang yang bersifat soft power (tanpa kekerasan0 atau sering dikenal dengan sebutan soft diplomacy (diplomasi tanpa kekerasan). Dalm diplomasi ini tidak ada penekanan menggunakan senjata.

Joseph S. Nye dalam Utomo (2008:1) mengungkapkan soft power sebagai kemampuan mencapai tujuan dengan tindakan atraktif dan menjauhi tindakan kohersif (kekerasan atau intimidasi). Di tataran hubungan Internasional, soft powers diawali dengan membangun hubungan kepentingan dan asistensi ekonomi sampai tukar menukar denagn budaya lainnya. Meskipun belakangna ini soft powers menjadi arus global, jauh hari jepang telah menerapkannya untuk membangun kembali hubungn baik dengan negara-negara bekas jajahan termasuk Indonesai. Jepang menggunakan

soft power berupa bantuan ekonomi atau pinjaman lunak untuk mengikat hati

negara-negara sahabat, lalu dilanjutkan dengan bilateral yang mengikat sehingga ketergantungna kepada Jepang semakin meningkat (Utomo, 2008:1).

Kultur haji no bunka terlihat dari keseriusan Jepang untuk membayar pampas an perang sebagai pertanggung-jawaban kepada Indonesia atas segala kerugian yang dialami Indonesia pada masa penjajahan Jepang di Indonesia. Jepang juga tidak pernah membuat perjanjian yang menyebabkan negara itu berhutang kepada Indonesia . Bahkan bantuan Jepang menempati urutan pertama dibanding dengan negara-negara lain yang memberi bantuan kepada Indonesia (anonim, 2005: 3). Kultur masyarakat vertical-horizontal terlihat pada upaya membentuk persahabatan yang lebih erat antar

(4)

pemerintah kota tau provinsi sehingga terbentuklah diplomasi kota kembar. Medan tempat penulis tinggal saat ini adalah kota kembar dari kota Ichikawa di prefektur Chiba (Aneka Jepang, 2008:18).

Hubungan diplomasi Jepang dan Indonesai ini menempuh perjalan yang panjang jika dilihat dari sudut pandang sejarah. Pada mulanya Jepang datang sebagi penjajah pada tahun 1943 menggantikan Belanda yang kalah perang. Setelah kekalahan Jepang pada tahun 1945, kedua Negara disibukkan dengan upaya merekonsiliasi negaranya pasca perang dunia kedua sedangkan Indonesia sebagai Negara yang baru merdeka masih berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan itu sendiri. Hubunga bilateral kedua Negara secara resmi dimulai pada tahun 1958 tepatnya pada tanggal 20 Januari dengan penadatangan perjanjian perdamaian RI-Jepang. Hubungn ini memasuki tahun emas pada tahun 2008 yang lalu yang dirayakan oleh kedua negara (Surkajapura, 2008:3).

Semua upaya yang dilakukan dalam hubungan diplomasi ini dilandasi oleh banyak factor. Salah satu faktor adalah status Jepang asebagai Negara maju. Setelah Jepang berkembang menjadi Negara modern dan aktif dalam pergaulan Internasional, maka ia pun menaruh minat agar hubungannya dengan negara-negara kepulauan di Asia Tenggara terpelihara denag baik. Ini penting dari sudut geosentrisnyua, yaitu posisi Negara-negara lepas pantai terthadap Negara daratan. Selain itu, Negara-negara kepulauan Asia Tenggra menjamin keamana lalu lintas yang membawa ekspor dari Jepang ke luar negeri. Bahkan,Negara-negara itu sendiri menjadi negara sumber bahan-bahan mentah dan energy, serta menjadi pasar untuk ekspor Jepang seperti Indonesia (Suryohadiprojo, 1982:6).

Bagi Jepang, Indonesia adalah negara yang yang sangat penting. Diantara masyarakat kedua Negara ini terentang tali persaudaraan yang terjalin sejak lama.

(5)

Lagi pula, anara negara itu telah terbina hubungan yang sangat erat di bidang politik, ekonomi, kebudayaan dan lainnya. Selain itu, dilihat dari sisi manapun, seperti luas geografis, jumlah penduduk, kekayaan sumber daya alam, Indonesai merupakan negar terbesar di Asia Tenggara. Karena itu, bagi Jepang dan negara-negara Asia lainnya, perkembangan negara Indonesia secara ekonomi dan sosial di dalam iklim politik yang stabil, merupakan hal yang sangat pentiang (anonim, 2005:3).

Jepang juga kerap memberikan bantuan keapda Indonesia seperti bantuan pengetasan kemiskinan, bantuan untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi, bantuan untuk pembentukkan masyarakat yang adil dan makmur, bantuan untuk pelestarain lingkungan, dan bantuan untuk perdamaian. Sebaliknya , Indonesia sering mengirimkan bahan-bahan mentah untuk produksi Negara Jepang bahkan kebutuhan masyarakat Jepang seperti gas dan minyak bumi.

Hubungan yang sudah berumur 50 tahun ini bukannya tidak pernah diterpa badai. Beberapa kali hubungan kedua Negara mengalami goncangan tetapi tidak menyebabkan hubungan kedua negara mencapai titik terendah berupa pemutuan hubungan diplomatik (Sukarjapura, 2008: 3). Keinginan untuk lebih mengetahui bagaimana hubungan diplomasi Jepang-Indonesia dan kultur yang terkandung dalam hubungan diplomasi yang melandasi penulisan skripsi ini.

1.2 Rumusan Masalah

Hubungan diplomasi yang dilakukan oleh Jepang dan Indonesia kini sudah berlangsung lebih dari lima puluh tahun dan sudah memasuki tahun emas. Hal ini kelihatan sangat menarik untuk dibahas. Penulis ingin mengetahui bagaimana hubungan diplomasi Jepang , Indonesia dan kultur apa yang menyertainya. Hubungan diplomasi ini juga tidak terlepas dari aspek kesejarahan. Aspek kesejarahan ini

(6)

penting untuk diperhatikan karena itu penulis juga mencoba mencari sejarah perkembangan hubungn diplomasi Jepang dan Indonesia .

Jepang memiliki bermacam kultur didalam kebudayaannya. Seperti kultur

awase, kultur haji no bunka dan kultur masyarakat vertical-horizontal yang memiliki

kaitan dengan diplomasi yang dilakukan Jepang terhadap Indonesia. Penulis juga ingin mengetahui jenis hubungan diplomasi yang dilakukan Jepang dan Indonesia. Saat ini, banyak kota di Indonesia menjalin hubungan diplomasi antar kota yang disebut diplomasi kota kembar.penulis ingin mengetahui kultur apa yang terdapat didalam diplomasi jenis ini.

Dengan berbagai macam permasalahan yang penulis temukan ketika membaca beberapa sumber, penulis menetapkan permasalahan yang akan penulis bahas, yaitu:

1. Apa ada kaitan hubungn diplomasi Jepang Indonesia denag kultur

yang dimiliki oleh Jepang seperti kultur awase, kultur haji no bunka dan kultur masyarakat vertical-horizontal. Selain itu apa yang mendasari hubungan diplomasi Indonesia ?

2. Apa bentuk hubung diplomasi yang dilakukan Jepang dan Indonesia ,

permasalahan dalam diplomasi dan bagaimana cara menagtasinya?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Diplomasi Jepang Indonesia adalah suatu permasalahan yang sangat kompleks. Jika tidak diberi batasan dalam mebahasnya dapat menimbulkan kerancuan dan tidak akurat. Untuk hal inilah, penulis memberi batasan-batasan yang akan dibahas. Penulis akan membahas pengertian diplomasi, kultur yang terdapat dalam diplomasi Jepang seperti kultur awase, kultur haji ni bunka dan kultur masyarakat vertikal- horizontal, kemudian kultur apa yang mendasari hubungan diplomasi

(7)

Indonesia. Penulis juga akan membahas bentuk-bentuk diplomasi yang dilakukan oleh Jepang dan Indonesia.

Hubungan diplomasi yang dibahs adalah hubungan diplomasi yang dijalin setelah tahun 1945. Hal ini dikarenakan pada masa sebelumnya hubungan Jepang dan Indonesia adalah penjajah dengan negara terjajah. Jadi jelas ada hubungan diplomasi seperti yang akan dibahas dalam skripsi ini.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1 Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka amat diperlukan untuk mengukur keakuratan sebuah penjelasan terhadap permasalahan yang ada. Tinjauan Pustaka ini berasal dari beberapa ahli. Berikut ini beberapa tinjauan pustaka yang digunakan oleh penulis.

Diplomasi menurut Sir Earnest Satow dalam Roy (1995:2) merupakan “penerapan kepandaian dan taktik pada pelaksanaan hubungn resmi antara pemerintah negara-negara berdaulat”. Menurut K.M. Panikar dalam Roy (1995:3) “diplomasi, dalam hubungnnya denag politik Internasional adalah seni mengedepankan kepentingan suatu Negara dalam hubunganny denga Negara lain”.

Menurut Svarlien dalam Roy (1995:3) mendefinisikan diplomasi ”sebagai seni dan ilmu perwakilan Negara dan perundingan. Kata yang sama juga telah dipakai untuk menyatakan secara umum keseluruhan kompleks hubungn luar negeri suatu Negara, yaitu departemen luar negerinya”.

Menurut Ivo D. Ducharck dalam Roy (1995:3) diplomasi biasanya didefinisikan sebagai praktek pelaksanaan politik negeri suatu Negara denga cara negoisasi denag Negara lain. S.L Roy (1995:5) menyimpulkan pandangan mengenai diplomasi sebagai berikut:

(8)

Diplomasi, yang sangat erat hubunagnnya dengan hubungan antar Negara adalah seni mengedepankan kepentingan suatu Negara melalui negoisasi dengan cara-cara damai apabila mungkin, dalam berhubungan dengan Negara lain. Apabila cara-cara damai gagal untuk memperoleh tujuan yang diinginkan, diplomasi mengizinkan penggunaan ancaman atau kekuatan nyata sebagai cara untuk mencapai tujuan-tujuannya.

Menurut Sukarwarsini Djelantik (2008:3) diplomasi memiliki kaitan yang erat denga politik luar negeri karean diplomasi merupakan implementasi dari kebijakkan luar negeri yang dialakukan pejabat-pejabat resmi yang terlatih. Jepang memiliki gaya runding yang berbeda-beda dari Negara-negara Barat. Jepang dalam diplomasinya memiliki kultur-kultur seperti kultur awase dan erabi, kultur haji no bunka dankultur masyarakat vertikal-horizontal.

Kultur erabi atau erabi no bunka diambil dari kata erabu dan bunka. Erabu memiliki arti memilih sedangkan IbunkaI memiliki arti budaya. Apabila kedua kata ini digabungkan akan membnetuk makna harfiah yaitu budaya memilih.

Kultur erabi mengandung pengertian suatu rangkaian prilaku apabila seseorang menetapkan tujuannya, menyusun suatu rencana untuk mencapaiii tujuan tersebut, dan kemudian bertindak mengubah lingkunagn itu sejalan dengan rencananya. Kultur awase sebaliknya, menolak gagasan bahwa manusia bias memanipulasi lingkungannya dan sebagai gantinya mengharuskan ia menyesuaikan dirinya dengannya. Jepang adalah Negara yang menggunakan kultur awase, sedangkan Negara-negara Barat seperti Ameriak menggunakan kultur erabi (Kinhide, 1981:7).

Ruth Benedict (1981:107) mengatakan on sebagai kata yang selalu dipakai dalam arti pengbdian tanpa batas, kalu ini menyangkut tentang seseorang yang

(9)

terbesar dan terutama, yaitu on kekaisaran. Ruth Benedict juga menekankan (1981:121) kalau on adalah utang yang harus dibayar kembali. Apabila on ini tidak dapat dibayar, mereka kan mendapatkan malu sehingga disebut sebagai kultur haji no

bunka.

Najane Chie (1981: 175-176) menjabarkan secara jelas bagaimana orang Jepang membutuhkan persahabatan

Orang Jepang sangat membutuhkan persahabatan. Mereka membentuk persahabatan atas dasar persamaan tempat kerja, seksi atau lembaga. Diluar itu dapat dikatakan orang luar. Persahabatan orang Jepang bersifat sensitif atau lebih banyak memeras pikiran daripada tenaga karena perasaannya yang luar biasa. Mereka cenderung menyembunyikan keinginan dan perasaan yang sesungguhnya.

1.4.2 Kerangka Teori

Kerangka teori memnurut Koentjaningrat dalam Siarait (2008: 100 berfungsi sebagai pendorong berpikir deduktif yang bergerak dari alam abstarak ke alam konkret, suatu teori yang dipakai oleh peneliti sebagai kerangka yang memberi pembahsan terhadap fakta-fakta konkret yang tidak terbilang banyaknya dalam kenyataan masyarakat yang harus diperhatikan.

Penulis menggunakan teori pendekatan kesejarahan untuk melihat aspek sejarah dalam diplomasi Jepang. Menurut Nevins dalam Nazir (1988:55) sejarah adalah pengetahuan yang tetap terhadap apa yang telah terjadi. Sejarah adalah deskripsi yang terpadu dari keadaan-keadaan atau fakta-fakta masa lampau yang ditulis berdasarkan penelitian serta studi yang kritis untuk mencari kebenaran.

Penulis menggunakan pendekatan fenomologis. Dalam pandangan fenomologis ada usaha untuk memahami peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap

(10)

orang-orang biasa dalam situasi tertentu. Mereka berusaha untuk masuk kedalam dunia konseptual para subjek sehingga mereka mengerti apa dan bagaimana suatu pengertian yang dikembangkan oleh mereka disekitar peristiwa dalam kehidupan sehari-hari. Para fenomolog percaya bahwa pada makhluk hidup terdapat berbagai cara untuk menginterprestasikan pengalaman melalui interaksi dengan orang lain, dan bahwa pengertian pengalaman kitalah yang membentuk kenyataan (Moleong, 2002: 9).

Perspektif fenomologi (phenomology) menurut Deutscher dalam Suryanto (2005: 167) memiliki sejarah panjang dalam filosofi dan sosiologi dan mempelajari bagaiamana kehidupan ini berlangsung dan melihat tingkah laku manusia – yang meliputi yang dikatakan dan diperbuat – sebagai hasil dari bagaimana manusia mendefinisikan dunianya. Pendekatan interaksi simbolis membahas semua prilaku manusia mendefinisikan dunianya. Pendekatan interaksi simbolis membahas semua perilaku manusia yang pada dasarnya memiliki social meanings (makna-makna sosial). Makna-makna sosial dari perilaku manusia melekat pada dunia sekitarnya itu penting untuk dipahami, hal itu dikatakan oleh Taylor dalam (2005 : 167)

Penulis menggunakan pendekatan fenomologi karena dalam penelitaian yang dilakukan penulis melibatkan masyarakat dan perilakunya yang tercermin dalam kehidupan berdiplomasi. Penulis juga menggunakan pendekatan etnografi. Beberapa antropolog mendefinisikan kebudayaan sebagai pengetahauan yang diperoleh manusia dan dipergunakan untuk menafsirkan pengalaman dan menimbulkan perilaku seperti yang diungkapakan oleh Spradley dalam Moleong (2002 : 13), yaitu menggambarkan kebudayaan menurut perspektif ini, seorang peneliti mungkin dapat memikirkan suatu pristiwa menurut cara sebagai berikut : sebaiknya etnogarafi mempertimbangkan

(11)

prilaku manusia dengan cara menguraikan apa yang diketahui mereka yang membolehkan mereka berprilaku secara baik sesuai dengan common sense.

Alasan penulis menggunakan pendekatan etnogarafi adalah adanya common

sense dalam diplomasi yang dilakukan Jepang terhadap Indonesia. Hal ini terlihat

dalam kultur diplomasi mereka seperti dalam kultur awase, aji no bunka ataupun masyarakat vertikal- horizontal.

Konsep lainnya yang penulis gunakan adalah mengenai kebudayaan yang diambil dari Rosalie Wax (1971), yaitu yang mendiskusikan tugas etnografi dalam rangka pengertian. Pengertian bukanlah beberapa “empati yang misterius” diantara orang-orang melainkan merupakan suatu kenyataan dari “pengertian yang dialami bersama”. Dengan demikian, antropolog mulai dari luar, baik secara harfiah dalam rangka penerimaan sosialnya maupun secara kiasan dalam rangka penegertian (Moleong, 2002 : 14)

Penulis menggunakan konsep kebudayaan yang dikemukakan oleh Rosalie Wax dikarenakan, penulis memandang diplomasi dari sudut luar atau permukaan saja. Bagian luar dari kebudayaan juga tidak dapat dipisahkan dari bagian dalam. Dan untuk mempelajari bagian dalam dari kebudayaan, kita harus tahu bagian luar kebudayaan itu juga.

Penulis menggunakan konsep kultur awase. Kultur awase adalah kultur yang menolak gagasan bahwa manusia bisa memanipulasi lingkungannya dan sebagai gantinya, mengharuskan ia menyesuaikan diri dengannya. Penulis menggunakan konsep ini dikarenakan penulis melihat bagaimana Jepang dalam diplomasinya menggunakan Soft powers seperti terhadap Indonesia. Mereka menggunakan pendekatan dengan cara membantu perekonmian Indonesia lewat bantuan pinjaman.

(12)

Hal ini membuktikan adanya pengertian Jepang terhadap situasi yang dialami Indonesia.

Penulis menggunakan konsep kultur haji no bunka. Ruth Benedict (1981:107) mengatakan on sebagai kata yang selalu dipakai dalam arti pengabdian tanpa batas, kalau itu menyangkut tentang seseorang yang terbesar dan terutama, yaitu on kekaisaran orang tadi. Ruth Benedict juga menekankan (1981:121) Kalau on adalah utang yang harus dibayar kembali. Apabila on ini tidak dapat dibayar, mereka akan mendapatkan malu sehingga kultur ini dikatakan sebagai budaya malu atau budaya

haji no bunka juga dapat dikatakan sebagai budaya giri.

Penulis menggunakan konsep ini karena dalam kehidupan masyarakat Jepang, mereka menolak bantuan pihak asing tapi sering memberikan bantuan kepada pihak asing. Jepang mengalokasikan dana bantuan pembangunan kepada Indonesia sangat banyak melebihi Negara-negara yang pernah dibantu Jepang. Dalam haji no bunka ada istilah membayar sejuta kali lipat. Hal ini lah yang menyebabkan mereka terus memberi bantuan kepada Negara-negara asing.

Penulis menggunakan konsep kultur masyarakat vertikal-horizontal yang dikemukakan oleh Nakane Chie. Nakane Chie (1981: 175-176) menjabarkan secara jelas bagaimana orang Jepang membutuhkan persahabatan. Orang Jepang sangat membutuhkan persahabatan. Mereka membentuk persahabatan atas dasar persamaan tempat kerja, seksi atau lembaga diluar itu dapat dikatakan orang luar. Persahabatan orang Jepang bersifat sensitif atau lebih banyak memeras pikiran daripada tenaga karena perasaannya yang luar biasa. Mereka cenderung menyembunyikan keinginan dan perasaan yang sesungguhnya.

Penulis menggunakan pendekatan ini setelah melihat adanya upaya-upaya yang dilakukan Jepang untuk menarik benang merah untuk menyatukan dua Negara

(13)

yaitu negara Jepang dan Negara Indonesia. Benang merah itu sudah ditarik sejak kedatangan Jepang pada tahun 1943 sebagai penjajah di Indonesia. Mereka mengatakan diri mereka sebagai saudara tua dari bangsa Indonesia. Pada masa ini, Jepang membuat jalinan diplomasi yang kuat yang dilakukan antara kota dan pemerintahan kota. Ada persamaan-persamaan yang menyatukan kota-kota yang berada di Jepang dengan kota-kota yang berada di Indonesia seperti hubungan diplomasi antar kota antara kota Medan dan kota Ichikawa di prefektur Chiba.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian yang dilakukan penulis adalah untuk mengetahui beberapa hal, antara lain:

1. untuk menegetahui secara jelas mengenai diplomasi Jepang Indonesia dilihat dari aspek kesejarahan dan kultur yang terdapat dalam diplomasi yang dilakukan Jepang.

2. untuk mengetahui bentuk-bentuk diplomasi Jepang Indonesia .

1.5.2 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian yang diharapkan:

1. menambah waawasan pengetahuan khususnya tentang diplomasi Jepang Indonesia yang telah melewati tahun emasnya

2. penelitian ini diharapakan dapat menambah pengertian mengenai kebudayaan yang dapat mempengaruhi hubungan diplomasi

3. penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan bidang-bidanmg apa saja yang merasakan hubungan diplomasi kedua Negara.

(14)

1.6 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Menurut Suyanto (2005 :165) metode kualitatif digunakan karena yang dapat diteliti adalah masalah yang menyangkut masalah social. Kehidupan sosial yang diteliti juga sangat kompleks. Metode pegumpulan data menggunakan metode kepustakaan, yakni suatu metode pengumpulan data-data untuk mengungkapakan berbagai teori, pandangan hidup, pemikiran filsafat yang dapat ditemui dalam berbagai peninggalan tertulis, dengan cara membaca buku-buku referensi yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini.

Metode pengolahan data dilakukan dengan cara mengklasifiaksi atau mengategorikan data berdasarkan beberapa tema sesuai fokus penelitiaannya. Pengolahan data kualitatif ini dapat dilakukan dengan mengunakan komputer. Penyajian data adalah membagi pemahaman kita tentang suatu hal pada orang lain. Oleh karena itu, data yang diperoleh berbentuk kata-kata bukan angka. Hal ini dikatakan oleh Emi Susanti dalam Suyanto (2005 : 173).

Referensi

Dokumen terkait

Dari ujicoba ketiga kelompok data didapatkan hasil yakni, algoritma genetika cukup baik digunakan sebagai algoritma membuat jadwal mata kuliah, hal ini dapat dilihat dari

Analisis sistem pengelolaan parkir menggunakan perangkat NFC berbasis android dilakukan dengan menganalisa proses bisnis yang terjadi pada area parkir PTIIK,

(8) Fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

operator konjungsi. Kondisi tersebut mengindikasikan keberadaan variabel tunggal. Sebelum dilakukan pembuktian dengan menggunakan metode resolusi, proposisi yang hendak

Langkah-langkah pelaksanaan penggunaan media audiovisual adalah sebagai berikut guru memberikan apersepsi/pengantar tentang materi yang akan diajarkan dengan maksud

Dilaksanakan sebagai Kontemplasi Penjelmaan, live in bukan hanya menjadi kesempatan bagi para siswa mengalami dunia yang berbeda dari keseharian mereka, melainkan

Tahap evaluasi berisi validasi yang dilakukan oleh ahli materi, ahli media, ahli metakognisi, dan penilaian mahasiswa pada tahap uji lapangan. Validasi angket berisi

terjadi peningkatan pengetahuan sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan dengan media leaflet tentang penatalaksanaan ISPA pada balita di Posyandu Bambu