15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Hak Tanggungan
1. Pengertian Hak Tanggungan
Hak tanggungan (HT) ialah hak jaminan terhadap tanah yang digunakan guna pembayaran utang yang memberikan kedudukan yang diprioritaskan bagi kreditur pertama daripada kreditur lainnya. Dengan kata lain, jika debitur wanprestasi, kreditur pemegang HT pertama memiliki hak untuk mengeksekusi objek jaminan HT, dengan hak mendahului dibandingkan kreditur yang lainnya.
Secara yuridis, pengerrtian hak tanggungan disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 UUHT mengandung arti bahwa pembebanan hak jaminan pada hak atas tanah beserta barang-barang lain yang masih dalam satu kesatuan dengan tanah tersebut guna melunaskan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diprioritaskan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur lain.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat ditarik kesimpulan mengenai definisi hak tanggungan ialah hak jaminan kebendaan yang digunakan untuk hak atas tanah sebagai pelunasan suatu utang, yang mana pemegang HT diberikan kedudukan yang diprioritaskan sebagai kreditur tertentu terhadap
kreditur lainnya.12
16
2. Dasar Hukum Hak Tanggungan
Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 atau UUHT mengatur tentang Hak tanggungan. UUHT ini lahir atas adanya amanat dari Undang - Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (yang selanjutnya disebut UUPA). Amanat tersebut terdapat dalam Pasal 51 UUPA yang menyebutkan bahwa Hak tanggungan diatur dengan UU.
Lahirnya UUHT ditujukan sebagai pengganti dari jaminan Hipotik yang sebelumnya diatur dalam KUHPerdata. Dengan kata lain, adanya Lembaga hak jaminan atas tanah yang berdasar pada hukum UUHT yakni berupa hak tanggungan, sebagai bentuk melaksanakan amanat pasal 51 UUPA untuk menggantikan jaminan hipotik mengenai tanah.
3. Subjek dan Objek Hak Tanggungan
Berdasarkan pasal 8 dan 9 UUHT, dapat ditarik kesimpulan bahwa subjek dari hak tanggungan terdiri atas pemberi HT dan pemegang HT. Pemberi HT merupakan orang atau badan hukum yang berwenang menjalankan perbuatan hukum atas objek HT. Adapun pengertian pemegang HT ialah badan hukum atau orang yang memiliki kedudukan
sebagai pihak yang memiliki piutang.13
Adapun jika melihat penjelasan umum angka 5 dan 4 ayat (1) dan (2) UUHT, yang termasuk objek hak atas tanah yang bisa dijaminkan dengan HT yakni
a. Hak Milik;
17 b. Hak Guna Usaha (HGU);
c. Hak Guna Bangunan (HGB);
d. Hak pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan, dan e. Hak-hak atas tanah beserta bangunan, tanaman, serta hasil karya
yang telah ada atau akan ada yang menjadi satu kesatuan dengan tanah tersebut dan merupakan milik pemegang hak atas tanah. 4. Prosedur Pembebanan Hak Tanggungan
Pada HT mengandung asas publicitei yang berarti pemberian HT wajib didaftarkan. Hal yang didaftarkan yakni APHT atau Akta Pemberian Hak Tanggungan yang dibuat oleh yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta
Tanah (PPAT) ke Kantor Pertanahan.14 Penjelasan umum angka 7 UUHT
memberikan uraian proses pembebanan HT, yakni:
a. Pembuatan APHT oleh PPAT yang sebelumnya harus ada pejanjian utang dengan menjaminkan HT, tahap ini disebut tahap pemberian; b. HT didaftarkan ke Kantor Pertanahan oleh PPAT, tahap ini disebut
tahap pendaftaran.
Untuk prosedur pembebanan hak tanggungan dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Berawal dari perjanjian utang yang mengikat hak tanggungan sebagai jaminan, kemudian dibuat APHT oleh PPAT;
18 2) Kemudian dalam kurun waktu 7 hari, PPAT harus mengirimkan APHT
yang telah lengkap ditandatangani tersebut ke Kantor Pertanahan; 3) Dilanjutkan dengan dilakukan pendafaran HT oleh Kantor pertanahan
dengan menerbitkan buku tanah HT dan memberikan catatan ke dalam buku tanah HT tersebut serta membuat salinan catatan tersebut pada Sertifikat Hak Atas Tanah yang dijaminkan HT;
4) Setelah persyaratan lengkap, dikeluarkan Sertifikat Hak Tanggungan (SHT) oleh kantor pertanahan lalu memberikan SHT tersebut kepada pemegang HT;
5) Sedangkan untuk Sertifikat hak atas tanah yang telah diberikan catatan
HT diserahkan kembali kepada pemiliknya kecuali ada perjanjian lain.15
Selain asas publiciteit, dalam hak tanggungan juga mengandung asas
specialiteit yang berarti HT hanya bisa digunakan untuk objek hak
tanggungan secara khusus.16
5. Eksekusi Hak Tanggungan
Eksekusi terhadap HT telah disebutkan dalam Psl. 20 UUHT yang memberikan ketentuan bahwa jika debitur wanprestasi maka terdapat 3 cara yang dapat digunakan, yakni:
a. Parate eksekusi
Pasal 6 UUHT menjelaskan bahwa pemegang HT pertama berhak untuk menjual objek HT dengan kewenangan sendiri lewat pelelangan umum.
15 Ibid, hlm.111-112 16 Rachmad, op.cit, hlm.407
19 Kemudian kreditur pemegang HT dapat mengambil hasil pelelangan sebagai pelunasan piutangnya, cara ini disebut dengan istilah parate eksekusi.17
b. Eksekusi berdasarkan titel eksekutorial
Irah-irah yang terdapat dalam SHT yakni “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, hal ini berfungsi guna mempertegas adanya kekuatan eksekutorial pada SHT. Oleh karena itu, jika debitur wanprestasi, objek HT siap untuk dieksekusi sebagaimana putusan yang inkracht atau berkekuatan hukum tetap.
c. Eksekusi dibawah tangan
Eksekusi ini dilakukan dengan cara pemberi HT menjual objek HT sesuai dengan kesepakatan bersama pemegang HT apabila dengan cara ini nantinya menghasilkan harga yang lebih tinggi.
B. Tinjauan Umum tentang Lelang 1. Pengertian Lelang
Lelang bermula dari kata Auctio yang artinya peningkatan secara
bertahap.18 Lelang tidak sama dengan jual beli, pengertian lelang
berdasarkan terjemahan pasal 1 Vendu Reglement Staatsblad tahun 1908 No. 198 mengandung inti bahwa dilakukannya penjualan barang atau penjualan umum dengan harga penawaran yang menurun atau meningkat
17 Zulkarnaen, 2017, Penyitaan dan Eksekusi, Bandung, Pustaka Setia, hlm.224
18 Adwin Tista, 2013, Perkembangan Sistem Lelang di Indonesia, Al Adl : Jurnal Hukum, Vol.5, No.10, https://ojs.uniska-bjm.ac.id/
20 atau dengan pemasukkan harga dalam sampul tertutup dan dilakukan dimuka umum, atau diundangnya orang-orang atau pada sebelumnya terdapat pemberitahuan mengenai adanya pelelangan atau penjualan tersebut atau orang-orang tersebut diberikan izin untuk diberikan kesempatan untuk menawar harga menyetujui harga yang ditawarkan atau memasukkan harga dalam sampul tertutup.
Sedangkan pengertian lelang menurut Pasal 1 ayat (1) PMK Nomor 27/PMK.06/2016 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang mengandung arti bahwa lelang ialah suatu penawaran harga secara tertulis dan atau lisan terhadap penjualan barang yang harganya semakin menurun atau meningkat guna mencapai harga tertinggi, yang didahului dengan Pengumuman Lelang.
Berdasarkan uraian tersebut, menyimpulkan definisi lelang yakni penjualan barang yang dilakukan secara terbuka didepan umum dengan memberikan kebebasan kepada seluruh masyarakat untuk ikut serta dan dapat memberikan penawarannya hingga tercapainya harga tertinggi. 2. Jenis-Jenis Lelang
Berdasarkan ketentuan dalam PMK No. 27/PMK.06/2016 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, jenis lelang terbagi atas 3, sebagai berikut: a. Lelang Eksekusi
Lelang yang berfungsi guna menjalankan putusan pengadilan atau
dokumen lain yang disamakan sebagai putusan pengadilan.19 Lelang ini
21 berfungsi untuk membantu penegakkan hukum. Salah satu yang termasuk lelang eksekusi yakni lelang eksekusi pasal 6 UUHT.
b. Lelang Non Eksekusi Wajib
Lelang yang dijalankan guna memenuhi ketentuan peraturan
perundang-undangan.20 Salah satu jenis lelang yang non eksekusi wajib
yakni lelang barang BUMN atau BUMD. c. Lelang Non Eksekusi Sukarela
Lelang yang dilaksanakan guna menjual barang milik kelompok masyarakat atau badan swasta atau perorangan, yang secara sukarelah
dilelang oleh pemiliknya.21
3. Asas-Asas Lelang
Penerapan beberapa asas harus selalu diterapkan dalam lelang, hal ini berguna agar terwujudnya pelaksanaan lelang yang terbuka, adil dan akuntabilitas. Berikut uraian asas-asas dalam pelaksanaan lelang:
a. Asas Keterbukaan
Asas ini merupakan asas paling utama dalam membangun peraturan lelang, maknanya ialah dalam pelaksanaan lelang tak ada yang disembunyikan, semua orang mendapat perlakuan yang sama untuk ikut bersaing memberikan penawaran objek lelang. Asas ini berfungsi agar terpenuhinya hak setiap orang guna mendapatkan informasi yang jujur, benar dan tidak membeda-bedakan mengenai penyelenggaraan lelang
20 Ibid. 21 Ibid.
22 dengan selalu memerhatikan perlindungan golongan, rahasia negara dan
hak asasi pribadi.22 Wujud dari asas keterbukaan yakni adanya
pengumuman lelang. Jika lelang dilaksanakan tanpa adanya pengumuman lelang maka lelang tersebut dapat dibatalkan karena tidak memenuhi syarat formil sehingga dianggap cacat hukum.
b. Asas Keadilan
Pelaksanaan lelang haruslah secara proporsional mengandung rasa keadilan untuk setiap pihak yang terlibat. Asas keadilan harus diterapkan guna mencegah terjadinya pejabat lelang yang berpihak
terhadap penjual atau peserta lelang.23
c. Asas Kepastian Hukum
Pelaksanaan lelang dilaksanakan untuk dan atas nama negara oleh pejabat lelang. Maka dari itu kepastian untuk melindungi kepentingan masyarakat haruslah ada. Asas ini mencakup kepastian berkaitan dengan kepastian kapan terlaksananya lelang, dimana tempat lelang dilaksanakan, dan uang jaminan yang telah disetorkan calon pembeli jika lelang dibatalkan. Wujud dari kepastian hukum yakni adanya risalah lelang yang menjadi akta autentik peralihan hak atas barang
tertentu sebagai alas hak penyerahan barang.24
d. Asas Efisiensi
22 Balai Lelang Harmoni, 2013, Asas-Asas dalam Pelaksanaan Lelang,
https://www.balailelang.co.id/ , diakses pada 30 November 2020 23 Ibid.
23 Asas ini bermaksud bahwa terdapat jaminan jika penjualan dilakukan dengan cepat dan mudah saat lelang dilaksanakan. Hal ini diwujudkan dengan dilaksanakannya lelang pada waktu dan di tempat yang telah dipersiapkan, serta pada saat itu pula disahkannya pembeli objek lelang
yang melakukan pembayaran secara tunai.25
e. Asas Akuntabilitas
Asas ini memberikan ketentuan bahwa untuk semua kegiatan negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Asas ini dimaksudkan supaya pelelangan bisa dipertanggungjawabkan oleh Pejabat lelang, penjual dan pembeli terhadap seluruh pihak yang
bekepentingan.26
4. Para Pihak dalam Lelang
Dalam pelaksanaan lelang, ada beberapa pihak yang terkait yakni: a. Pejabat Lelang
Pejabat lelang yakni seseorang menurut undang-undang diberikan
kewenangan khusus untuk menjalankan penjualan melalui lelang.27
Terdapat dua pejabat lelang, yakni pejabat lelang kelas I dan pejabat lelang kelas II. Pejabat lelang kelas I yakni pegawai dari DJKN yang memiliki kewenangan menjalankan seluruh jenis lelang. Sedangkan pejabat lelang kelas II merupakan pejabat lelang swasta yang
25 Ibid. 26 Ibid.
24 kewenangannya hanya sebatas melakukan lelang noneksekusi sukarela berdasarkan permohonan dari balai lelang atau penjual.
b. Penjual
Penjual yakni terdiri dari orang, badan hukum, atau badan usaha yang memiliki hak milik terhadap objek yang akan dilelang.
c. Pembeli
Pembeli bisa merupakan badan hukum atau orang ataupun badan usaha yang memberikan tawaran paling tinggi yang kemudian disahkan sebagai pemenang lelang.
5. Prosedur Lelang
Secara garis besar berdasarkan PMK No. 27/PMK.06/2016 prosedur lelang terdiri atas 3 tahapan, yakni tahap persiapan, saat pelaksanaan dan setelah lelang dilaksanakan. Tahapan pertama yakni persiapan lelang, hal-hal yang diatur saat persiapan lelang yakni:
a. Permohonan lelang
Calon penjual yang hendak melakukan lelang harus terlebih dahulu mengajukan permohonan tertulis dengn mengisi dokumen persyaratan
yang ditujukan ke Kepala KPKNL guna meminta jadwal pelelangan.28
b. Penjual
Penjual dalam pelaksanaan lelang memiliki tanggung jawab atas keabsahan kepemilikan, dokumen persyaratan, penyerahan objek,
25
penyerahan dokumen kepemilikan, dan penetapan nilai limit.29 Penjual
juga menentukan batas berdasarkan suatu penilaian dari penilai atau penaksiran dari penaksir.
c. Tempat pelaksanaaan lelang
Lelang harus dilaksanakan di dalam wilayah kerja KPKNL dimana
objek lelang itu berada.30
d. Penetapan waktu pelaksanaan lelang
Waktu pelaksanaan lelang yakni pada hari kerja KPKNL sebagaimana yang sudah ditetapkan oleh Kepala KPKNL sebelumnya. Apabila dilaksanakan diluar hari kerja maka harus ada surat permohonan persetujuan untuk melaksanakan lelang diluar hari kerja yang
dilampirkan dalam surat permohonan lelang.31
e. Pengumuman Lelang
Pengumuman lelang wajib dilakukan sebelum pelaksanaan lelang dimulai. Lelang diumumkan oleh penjual, kemudian penjual
menyerahkan bukti telah mengumumkan lelang ke Pejabat Lelang.32
Pengumuman Lelang diterbitkan lewat surat kabar yang disebarluaskan di wilayah tempat objek lelang berada. Untuk pengumuman lelang eksekusi terhadap barang tidak bergerak, harus dilakukan sebanyak 2 kali.
29 Pasal 17 ayat (1) PMK No. 27/PMK.06/2016 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang 30 Pasal 22 PMK No. 27/PMK.06/2016 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang 31 Pasal 24 PMK No. 27/PMK.06/2016 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang 32 Pasal 51 PMK No. 27/PMK.06/2016 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang
26 Setelah tahap persiapan lelang telah diselesaikan dengan lengkap, maka tahap berikutnya ialah pelaksanaan lelang yakni:
a. Penawaran lelang
Penawaran ini dapat dilakukan lisan atau tertulis ataupun tertulis dilanjut
dengan lisan apabila belum ada penawaran yang mencapai nilai limit.33
b. Pembeli
Apabila telah didapatkan penawar yang melakukan penawaran tertinggi memenuhi nilai limit, maka penawar tersebut disahkan sebagai pembeli. Jika telah terdapat penawar yang melakukan penawaran tertinggi yang sama akan tetapi lewat e-mail atau internet, penawar yang penawarannya lebih dahulu diterimalah yang disahkan sebagai
Pembeli.34
c. Jaminan Penawaran Lelang
Peserta lelang harus memberikan jaminan penawaran lelang. Bentuknya dapat berbentuk uang atau garansi bank sesuai dengan ketentuan dari
pembeli.35
Tahapan terakhir setelah pelaksanaan lelang telah selesai yakni: a. Pembayaran dan Penyetoran
Untuk pembayaran bea lelang dan objek wajib dibayarkan secara tunai atau bisa menggunakan cek giro dengan jangka waktu paling lama 5 hari
kerja setelah lelang telah selesai dilaksanakan.36
33 Pasal 64 ayat (1) PMK No. 27/PMK.06/2016 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang 34 Pasal 74 PMK No. 27/PMK.06/2016 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang 35 Pasal 34 PMK No. 27/PMK.06/2016 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang 36 Pasal 79 PMK No. 27/PMK.06/2016 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang
27 b. Penyerahan dokumen kepemilikan barang
Penjual atau Pejabat Lelang wajib memberikan dokumen asli kepemilikan objek lelang paling lambat 1 hari kerja kepada pembeli setelah memperlihatkan bukti setor Bea Perolehan Hak atas Tanah serta bukti pembayaran oleh pembeli bila mana objek pada lelang berupa
tanah.37
c. Risalah lelang
Risalah Lelang ialah suatu berita acara yang dibuat berdasarkan wewenang pejabat lelang sebagai bukti lelang telah dilaksanakan dan termasuk akta autentik serta memiliki kekuatan pembuktian yang
sempurna.38
C. Tinjauan Umum tentang Sita Eksekusi (Executorial Beslag) 1. Pengertian Sita Eksekusi
Sita atau penyitaan berasal dari terminologi Belanda yakni beslag yang memiliki pengertian yang terkandung didalamnya yakni suatu perbuatan meletakkan paksa harta tergugat menjadi berada dalam pengawasan atau keadaan penjagaan. Perbuatan penjagaan tersebut dilaksanakan atas dasar perintah dari pengadilan secara resmi. Barang yang diletakkan dalam penjagaan tersebut ialah barang yang menjadi objek sengketa, tetapi dapat juga merupakan barang yang akan dijadikan sebagai pelunasan utang
tergugat yang akan dilakukan lelang.39
37 Pasal 84 PMK No. 27/PMK.06/2016 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang
38 Pasal 1 angka 35 PMK No. 27/PMK.06/2016 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang
39 Yahya Harahap, 2015, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
28 Sedangkan yang dimaksud dengan eksekusi yakni pelaksanaan putusan pengadilan baik keputusan yang telah berkekuatan hukum tetap maupun
yang belum.40 Apabila menghubungkan dari ps. 197 ayat (1) HIR hingga ps.
200 ayat (1) HIR, maka dapat dirangkum pengertian sita eksekusi yakni merupakan penyitaan harta kekayaan pihak yang dikalahkan setelah
melampaui masa tenggang peringatan.41
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan pengertian sita eksekusi atau executoriale beslag merupakan suatu pelaksanaan putusan terkait dengan sita, hal ini dikarenakan pihak tersita enggan melaksanakan putusan yang telah inkracht secara sukarela meskipun Pengadilan sudah memberikan peringatan.
2. Barang yang Dapat Disita Eksekusi
Sita eksekusi bisa ditempatkan pada seluruh harta kekayaan tergugat dengan pedoman yang ditetapkan oleh Pasal 197 ayat (1) HIR. Pada prinsipnya, barang yang tidak bergerak tidak dapat dilakukan sita eksekusi terlebih dahulu, akan tetapi sita eksekusi harus diletakkan atas barang bergerak terlebih dahulu. Hal ini berlaku apabila sita eksekusi yang diletakkan atas barang yang bergerak telah memadai nilainya untuk memenuhi pelunasan jumlah pembayaran yang dihukumkan. Akan tetapi, sita eksekusi bisa ditempatkan langsung atas barang tidak bergerak jika idak
40 Sarwono, 2012, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktik, Jakarta, Sinar Grafika, hlm.316 41 Yahya Harahap, 1993, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Jakarta, Gramedia, hlm. 62
29 ada barang bergerak atau sejak semula barang tidak bergerak tersebut sudah merupakan jaminan utang.
Terdapat jenis-jenis barang bergerak yang dapat disita eksekusi sama seperti jenis barang bergerak dalam sita jaminan berdasarkan ketentuan pasal 197 ayat (1) HIR, yakni segala jenis barang dalam bentuk uang tunai, surat berharga, serta yang berada dalam penguasaan pihak ketiga.
3. Tahapan Sita Eksekusi
Sita eksekusi hak tanggungan merupakan salah satu tahapan sebelum dilaksanakannya eksekusi pengosongan/eksekusi riil oleh Pengadilan Negeri. Adapun tahapan eksekusi riil secara garis besar dapat diuraikan
sebagai berikut:42
a. Pemohon eksekusi mengajukan permohonan eksekusi pengosongan yang dilampiri dengan salinan berkas yang memiliki kekuatan eksekutorial, dalam hal ini ialah risalah lelang;
b. Kelengkapan permohonan eksekusi diteliti dan ditaksirkan panjer biaya eksekusi. Apabila sudah lengkap dan lunas maka permohonan didaftarkan ke buku register permohonan dan buku register eksekusi; c. Berkas permohonan eksekusi diteruskan kepada Ketua dan Panitera
Pengadilan Negeri;
d. Diterbitkannya Penetapan Aanmaning;
42 Hasil wawancara dengan Bapak Edy Rahmansyah,S.H. Panitera Pengadilan Negeri Mojokerto pada tanggal 1 Desember 2020
30 e. Termohon Eksekusi dipanggil agar datang dalam persidangan agenda aanmaning. Kemudian relaas panggilan tersebut diserahkan kepada Ketua;
f. Sidang aanmaning diselenggarakan, kemudian dibuatkan berita acara aanmaning;
g. Apabila dalam waktu 8 hari termohon eksekusi tidak mengindahkan aanmaning tersebut maka Ketua Pengadilan Negeri memerintahkan sita eksekusi dalam bentuk Penetepan Sita Eksekusi;
h. Jurusita melaksanakan sita eksekusi dengan disaksikan oleh 2 orang saksi, kemudian dibuatkan Berita Acara Sita;
i. Sebelum dilaksanakannya eksekusi riil, Panitera didampingi Jurusita dan saksi serta aparat yang terkait melaksanakan konstatering atau pencocokan objek;
j. Pengadilan Negeri melaksanakan rapat koordinasi dengan mengundang para pihak yang bersengketa, pihak keamanan, kepala desa/lurah, polisi, BPN, pihak kecamatan, dan pihak yang terkait. Hal ini tidak tertuang dalam peraturan perundangan akan tetapi penting dilaksanakan guna kelancaran eksekusi;
k. Melaksanakan eksekusi rill dan membuat Berita Acara Eksekusi setelahnya.
D. Tinjauan Umum tentang Perlawanan Pihak Ketiga (Derden verzet) 1. Pengertian Perlawanan Pihak Ketiga (Derden verzet)
31 Dalam hukum acara perdata, perlawanan pihak ketiga (derden verzet) ialah suatu upaya hukum luar biasa, yang mana terdapat pihak ketiga yang melakukan perlawanan terhadap putusan hakim yang tidak menguntungkan baginya. Perlawanan ketiga tersebut dihadapkan kepada pihak-pihak yang ada dalam suatu putusan yang merugikan dirinya sebelum adanya penetapan
eksekusi yang dilaksanakan dalam putusan tersebut.43 Dalam segi
praktiknya di peradilan, terdapat beberapa jenis sita yang dapat dilakukan oleh derden verzet, yakni sita conservatoir, sita revindicatoir dan sita
eksekusi atas dasar hak milik.44
Berdasarkan pengertian diatas, dapat ditarik kesimpulan pengertian perlawanan pihak ketiga (derden verzet) ialah putusan pengadulan yang telah inkracht dilakukan perlawanan oleh pihak ke-tiga yang tidak terkait dalam perkara namun haknya dirugikan atas perkara tersebut.
2. Dasar Hukum Perlawanan Pihak Ketiga (Derden verzet)
Perlawanan pihak ketiga (derden verzet) telah diatur dalam berbagai peraturan yakni dalam HIR, RBg dan Rv. Dalam Pasal 195 ayat (6) HIR memberikan penjelasan mengenai perlawanan (verzet) dapat dilakukan untuk pelaksanaan putusan, serta oleh pihak ketiga yang didasari atas alasan adanya hak milik dari barang yang disita. Dapat disimpulkan, bahwa pihak lain yang tidak berkaitan dengan suatu perkara namun hak miliknya merasa
43 Yahya Harahap, 2015, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 299
44 Lilik Mulyadi, 2002, Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktik Peradilan Indonesia, Jakarta, Djambatan, hlm. 275
32 dirugikan atas putusan dari perkara tersebut dapat melakukan pengajuan perlawanan ke Pengadilan Negeri yang mengeluarkan putusan tersebut.
Selain itu, perlawanan pihak ketiga (derden verzet) diatur juga dalam Rv yang terdapat dalam beberapa pasal sebagai berikut:
- Adanya putusan yang merugikan bagi pihak ketiga untuk dapat melakukan pengajuan perlawanan terhadap putusan tersebut (Pasal 378 Rv).
- Adanya pemeriksaan oleh hakim yang telah memutuskan perkara terhadap perlawanan tersebut (Pasal 379 Rv).
- Hakim pemeriksa perkara memiliki wewenang untuk mengizinkan penundaan perkara jika ada alasan yang mengizinkan hingga perkara perlawanan telah diputus (Pasal 380 Rv).
- Apabila terdapat alasan-alasan, Hakim berwenang melakukan penundaan pelaksanaan putusan perkara yang dilawan hingga perkara perlawanan telah diputus (Pasal 381 Rv).
- Perlawanan yang telah diputuskan sah, maka terhadap putusan yang dilawan dilakukan perbaikan pada hal-hal yang merugikan pihak ketiga. (Pasal 382 Rv).
3. Prosedur Pengajuan Perlawanan Pihak Ketiga (Derden verzet)
Dalam pasal 196 ayat (6) HIR, pengajuan perlawanan pihak ketiga (derden verzet) dilakukan ke Pengadilan Negeri tempat dikeluarkannya putusan yang akan dilawan. Adapun untuk prosedur pengajuan sama seperti
33 mengajukan gugatan biasa, hanya saja ada beberapa hal yang membedakan dari perlawanan pihak ketiga (derden verzet) yakni:
- Diajukan oleh pihak ketiga untuk membela hak kepentingannya
- Pelawan bukanlah subjek yang terkait secara langsung dalam perkara dilakukan perlawanan.
- Seluruh pihak yang terkait dalam perkara yang dilakukan perlawanan harus ditarik oleh Pelawan.
- Tenggang waktu derden verzet tidak dibatasi oleh jumlah hari akan tetapi dibatasi oleh telah terlaksananya eksekusi riil.
- Derden verzet atau perlawanan dari pihak ketiga dilakukan pendaftaran sebagai perkara baru. Hal ini berbeda dengan perlawanan (verzet) terhadap verstek yang mana didaftarkannya masih dengan nomor perkara yang sama dengan yang dilawan.
Menurut yurisprudensi dalam Putusan MA No. 697 K/Sip/1974, terdapat penegasan terkait ketentuan pengajuan perlawanan terhadap eksekusi. Penegasan tersebut menjelaskan bahwa pengajuan perlawanan haruslah diajukan sebelum pelaksanaan eksekusi telah usai. Jika eksekusi telah dilaksanakan, maka pihak ketiga dapat melakukan upaya guna membatalkan eksekusi dengan gugatan. Demikian pula dalam Putusan Mahkamah Agung No.786 K/Pdt/1988 antara lain menegaskan bahwa alasan sebagai pemilik yang menjadi dasar derden verzet atas eksekusi bisa dibenarkan jika pada saat sebelum eksekusi selesai telah dilakukan
34 pengajuan. Apabila perlawanan diajukan bersamaan dengan pengajuan sita
eksekusi, Pengadilan harus untuk mengangkat sita eksekusi.45
E. Tinjauan Umum tentang Pertimbangan Hakim 1. Pengertian Pertimbangan Hakim
Menurut pasal 178 HIR, jika pemeriksaan perkara telah selesai, maka dilakukan musyawatak oleh majelis makim guna mengambil putusan yang akan dijatuhkan dalam perkara yang ditanganinya. Dalam menjatuhkan putusan, Hakim memerlukan suatu pertimbangan. Pertimbangan adalah dasar dari suatu putusan. Pertimbangan hakim terdiri dari dua pertimbangan, yaitu pertimbangan mengenai fakta / duduk perkara dan pertimbangan hukum. Pertimbangan mengenai duduk perkara dikemukakan oleh para pihak. Selain itu pertimbangan hukum ialah wewenang Hakim. Pertimbangan hakim yang tercantum dalam putusan berisikan tentang
alasan-alasan hakim sebagai pertanggungjawaban kepada masyarakat.46
Salah satu aspek penting dalam menciptakan suatu putusan yang memiliki unsur keadilan dan kepastian hukum ialah Pertimbangan Hakim. Sementara itu pertimbangan hakim memiliki manfaat bagi pihak yang terkait dalam perkara, sehingga hal tersebut harus disikapi secara baik, teliti
45 Ivonne W.K.Maramis, 2017, Perlawanan Pihak Ketiga (Derden verzet) Sebagai Upaya Menangguhkan Eksekusi, Lex Administratum, Vol. V, No.5, https://ejournal.unsrat.ac.id/
46 R. Soeroso, 2009, Praktik Hukum Acara Perdata : Tata Cara dan Proses Persidangan, Jakarta, Sinar Grafika, hlm.135
35 dan cermat. Jika pertimbangan hakim yang kurang baik maka bisa
dibatalkan oleh PT serta MA.47
2. Dasar Pertimbangan Hakim
Dalam melakukan pemeriksaan perkara, Hakim membutuhkan suatu pembuktian. Hasil pembuktian tersebut nantinya digunakan oleh hakim sebagai suatu bahan pertimbangan hukum, oleh karenanya pembuktian menjadi suatu hal yang penting dalam proses pemeriksaan di dalam persidangan. Tujuan dari pembuktian tersebut ialah guna mendapatkan keyakinan dan kepastian dalam suatu fakta yang benar terjadi. Hal tersebut tak terlepas juga untuk memperoleh putusan hakim yang tepat dan adil. Hakim tidak bisa memberikan putusannya apabila belum menemukan adanya hubungan hukum hukum dari para pihak dan pembuktian dari
fakta-fakta yang disampaikan.48
Pembuktian dalam suatu perkara perdata hanya dapat ditegakkan berdasar pada kebenaran / fakta yang mendukung. Fakta yang dapat dinilai dan diperhitungkan ialah kebenaran / fakta diajukan dimuka persidangan. Sementara itu, suatu kebenaran / fakta yang terkuak diluar persidangan atau fakta-fakta yang tidak diajukan oleh pihak yang berperkara tidak dibenarkan untuk dinilai dan diperhitungkan oleh Hakim.
Selain kebenaran yang terungkap dalam proses persidangan, kebenaran / fakta yang memiliki nilai sebagai pembuktian, yakni hanya terbatas pada
47 Pradnyawati dan I Nengah Laba, 2018, Tinjauan Yuridis Mengenai Perlawanan Pihak Ketiga (Derden verzet) Terhadap Putusan Verstek, Wicaksana: Jurnal Lingkungan dan Pembangunan, Vol.2, No.1, https://www.ejournal.warmadewa.ac.id/
36 kebenaran / fakta yang konkrit dan relevan, dengan kata lain faktanya dapat dinilai secara nyata dan jelas dalam membuktikan suatu kejadian atau peristiwa yang terkait langsung dengan perkara yang dipermasalahkan. Kebenaran / fakta yang dinilai tidak jelas atau abstrak dalam hukum pembuktian, termasuk kategori hal yang buram, oleh karenanya fakta tersebut tidak memiliki nilai sebagai pembuktian atau alat bukti untuk
membuktikan suatu kebenaran.49
Selain dari pertimbangan fakta, hakim juga harus memperhatikan dari segi pertimbangan hukumnya. Dengan kata lain, bahwa pertimbangan hukum merupakan suatu inti dari putusan. Dalam pertimbangan hukum memiliki isi seperti analisis, argumentasi, atau kesimpulan hukum Hakim pemeriksa perkara. Dalam memberikan suatu pertimbangan hukum, Hakim selalu memberikan dasar dari sumber hukum materiil dan sumber hukum formil yang berlaku. Sumber hukum formil terdiri dari UU, kebiasaan, traktat, yurisprudensi dan doktrin. Apabila diantara sumber hukum formil tersebut tidak ditemukan dasar yang sesuai, maka Hakim dapat melakukan penemuan hukum yang disebut dengan Judge Made Law.
3. Hal-Hal yang Harus Dimuat dalam Pertimbangan Hakim
Analisis yang dikemukakan dalam suatu pertimbangan hakim harus memiliki unsur yang jelas dan tetap berdasarkan undang-undang pembuktian, yakni:
a. Pemenuhan syarat formil dan materiil dari alat bukti para pihak;
37 b. Pencapaian batas minimal pembuktian dari para pihak;
c. Dalil gugatan dan bantahan apa saja yang terbukti maupun tidak terbukti;
d. Nilai pembuktian dari masing-masing pihak.50
Kemudian, hakim memberikan analisis mengenai hukum yang diterapkan dalam menangani perkara. Pada dasarnya, pertimbangan hukum hakim seyogyanya berisi hal-hal berikut:
a. Duduk perkara dan hal apa saja yang diakui atau tidak disangkal; b. Analisis hukum atas seluruh aspek terkait fakta yang terbukti dalam
persidangan;
c. Pertimbangan yuridis hakim (ratio cidendi).
d. Petitum penggugat wajib dipertimbangkan secara satu persatu, agar hakim dapat menyimpulkan terbukti atau tidaknya serta dapat
dikabulkan atau tidaknya petitum tersebut.51
Pertimbangan-pertimbangan hakim secara yuridis disusun secara logis, sistematis, saling berkaitan serta saling melengkapi. Dalam praktik penyusunan pertimbangan hakim dalam putusan, dipergunakan dengan kata-kata “menimbang, bahwa…” yang merupakan adaptasi dari sistem
Prancis dan tidak dengan cara bercerita seperti sistem hukum Jerman.52
F. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum dalam Pelaksanaan Lelang 1. Pengertian Perlindungan Hukum
50 Ibid, hlm.809
51 Lilik Mulyadi, 2009, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Perdata Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm.164
38 Secara terminologi, terdapat dua kata dalam perlindungan hukum terdiri, yakni “Perlindungan” dan “Hukum”. Menurut KBBI, Perlindungan artinya suatu wadah berlindung, suatu hal baik perbuatan dan sebagainya
yang memberikan perlinudngan.Sementara itu, kata Hukum mengandung
arti suatu hal yang dianggap mengikat dan dikukuhkan oleh pemerintah atau
penguasa yakni dengan peraturan atau adat,53 Adapun definisi hukum
menurut Mochtar Kusumaatdmaja ialah seluruh asas-asas dan kaedah-kaedah yang mengendalikan hubungan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Pengertian lain dari Sudikno Mertokusumo, memberikan penjelasan bahwa hukum ialah suatu aturan yang dipaksakan dengan sanksi
mengenai tingkah laku dalam kehidupan bersama.54
Satjipto Rahardjo memberikan penjelasan mengenai perlindungan hukum yakni sesuatu yang memberikan perlindungan / pengayoman kepada hak asasi setiap orang supaya semua hak setiap orang yang telah diberikan
oleh undang-undang dapat dinikmati.55 Dapat dikatakan bahwa
perlindungan hukum merupakan hak seluruh warga negara yang diberikan oleh Pemerintah apabila warga negara telah memenuhi persyaratan tertentu untuk mendapatkan perlindungan hukum tersebut.
Philipus M.Hadjon memberikan teorinya terkait penjelasan dari perlindungan hukum yakni perlindungan hukum rakyat yang merupakan salah satu bentuk tindakan pemerintah yang sifatnya preventif serta represif.
53 Kamus Besar Bahasa Indonesia
54 Umar Said, 2011, Pengantar Hukum Indonesia, Malang, Setara Press, hlm.7 55 Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, hlm.54
39 Preventif memiliki arti bahwa pemerintah harus lebih berhati-hati dalam mengambil dan membuat keputusan, karena perlindungan ini masih berbentuk tindakan pencegahan. Sementara itu, represif berarti pemerintah harus lebih bersikap tegas dalam mengambil keputusan terhadap pelanggaran yang telah terjadi.
Menurut Soerjono Soekanto, pada dasarnya perlindungan hukum merupakan perlindungan yang ditujukan untuk setiap subjek hukum yang disajikan berbentuk perangkat hukum. Unsur-unsur yang dikandung dalam perlindungan hukum yakni:
a. Terdapat penguasa yang memberikan perlindungan rakyatnya; b. Terdapat kepastian hukum yang terjamin;
c. Terkait dengan hak-hak warga negara
d. Terdapat suatu sanksi / pertanggugjawaban bagi pihak yang
melanggarnya 56
2. Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum dalam Pelaksanaan Lelang R. La Porta juga memberikan pendapatnya mengenai bentuk-bentuk dari negara yang memberikan perlindungan hukum. Menurutnya, dalam perlindungan hukum terdapat dua karakteritik, yaitu bersifat preventif dan bersifat punishment. Bentuk perlindungan hukum yang paling jelas yakni
56 Arum Sutrisni Putri,2020, Praktik Perlindungan dan Penegakan Hukum di Indonesia,
https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/20/193200269/praktik-perlindungan-dan-penegakan-hukum-di-indonesia?page=all, diakses pada 26 November 2020
40 keberadaan lembaga penegak hukum yakni kepolisian, kejaksaaan,
pengadilan, dan lembaga penyelesaian sengketa nonlitigasi lainnya.57
Selain itu, menurut Philipus M. Hadjon terdapat dua macam bentuk perlindungan hukum yakni:
a. Perlindungan Hukum Preventif
Dalam bentuk ini, subjek hukum memiliki keleluasaan untuk mengemukakan pendapat sebelum pemerintah menentukan keputusan yang pasti. Hal ini bertujuan agar mencegah munculnya perselisihan. Bentuk perlindungan hukum preventif ini memiliki arti yang sangat penting bagi pemerintah yang berdasar pada keleluasaan berbuat, hal ini dikarenakan bentuk perlindungan hukum preventif ini bisa menggugah pemerintah agar mengambil keputusan secara hati-hati berdasarkan diskresi.
b. Perlindungan Hukum Represif
Tujuan dari perlindungan hukum ini yakni untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa. Bentuk perlindungan hukum represif di Indonesia yakni dengan adanya Pengadilan Umum dan Pengadilan
Administrasi.58
57 Vidya Noor Rachmadini, 2019, Perlindungan Hukum Bagi Investor dalam Pasar Modal Menurut Undang-Undang Pasar Modal dan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan, Pena Justisia : Media
Komunikasi dan Kajian Hukum, Vol.18, No.1, https://jurnal.unikal.ac.id/