• Tidak ada hasil yang ditemukan

OLAH RAGA FUTSAL GAYA HIDUP MASYARAKAT KOTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "OLAH RAGA FUTSAL GAYA HIDUP MASYARAKAT KOTA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

OLAH RAGA FUTSAL

GAYA HIDUP MASYARAKAT KOTA

SATRIANA DIDIEK isnanta@gmail.com

Olah raga futsal masuk pertama kali di Indonesia sekitar tahun 1999, dan empat tahun kemudian olah raga ini mulai digemari dan menjamur. Futsal bisa dibilang sebagai sepak bola „mini‟, sebab meski aturan permainannya hampir sama dengan sepak bola, namun lapangan yang digunakan lebih kecil dan pemainnya pun lebih sedikit. Bagi masyarakat perkotaan, yang sulit mendapatkan lapangan cukup luas untuk bermain bola, futsal dirasa menjadi alternatif olah raga yang pas.

Selain faktor keterbatasan lahan, faktor lain kenapa futsal cepat digemari masyarakat karena memiliki karakteristik menarik. Futsal adalah aktivitas yang mudah, menyenangkan dan praktis untuk dimainkan. Tidak memerlukan lapangan yang luas dan bisa dimainkan oleh sedikit maupun banyak pemain, dengan teknik dan pergerakan-pergerakan permainan yang cepat dan dinamis. Karakteristiknya inilah yang menjadikan futsal sebagai salah aktivitas yang memiliki tingkat kemenarikan dan potensi yang tinggi untuk digemari, baik untuk dimainkan dan ditonton oleh masyarakat di Indonesia.

Oleh karena itu, maka tak heran bila penggemarnya tak hanya dari kalangan pelajar dan mahasiswa, tapi juga karyawan hingga selebriti. Futsal umumnya dimainkan selepas pulang kerja atau kuliah, karena permainan termasuk efisien dari segi waktu dan biaya. Bahkan permainan yang mampu menghilangkan stress ini, juga mulai banyak dipertandingkan. Baik secara lokal, regional, bahkan tingkat dunia.

Semakin banyaknya penggemar olah raga ini, membuat tempat penyewaan lapangan futsal pun mulai menjamur di beberapa kota di Indonesia. Harga yang ditawarkan juga beragam dan makin kompetitif,

(2)

lapangan futsal Kick Spot yang berada di Jakarta misalnya, harga sewanya sekitar Rp. 180 ribu hingga Rp. 300 ribu per jam, tergantung waktu penggunaannya. Sedangkan di Solo, harga sewa lapangan futsal berkisar antara Rp. 20.000,- sampai Rp. 200.000,- per jam. Tentu saja tinggi rendahnya tarif bergantung dengan kondisi lapangan dan fasilitas yang disediakan.

Sekarang ini di kota Solo juga telah banyak berdiri penyewaan lapangan futsal di antaranya adalah Rendezvous yang terletak di jalan Suroto Solo yang berdiri sejak Oktober 2006, Bengawan Sport yang berdiri 1 September 2007, Rama Futsal, Laweyan Futsal dan terbaru Coppa Futsal di Jalan Slamet Riyadi nomor 153 Solo yang berdiri 9 Januari 2008. Masing-masing pengelola jasa penyewaan lapangan futsal biasanya juga sudah memiliki segmen tersendiri. Untuk Rendezvous pemakai lapangan adalah mahasiswa, sementara Bengawan Sport Center lebih beragam, yaitu anak sekolah, mahasiswa dan eksekutif muda.

Gambar 01

Lapangan Futsal berada di dalam gedung.

Tak bisa dipungkiri bahwa saat ini futsal telah menjadi salah satu olah raga terpopuler di Indonesia. Indikasi munculnya persewaan lapangan futsal di kota-kota besar di Indonesia yang terus bertambah menjadikan satu petanda bahwa olah raga ini semakin dikenal sekaligus sebuah peluang usaha yang menguntungkan. Bahkan saat ini dapat

(3)

yang sempat menjadi gaya hidup anak muda “gaul” perkotaan, yaitu bola basket.

Pertanyaannya, kenapa itu bisa terjadi? Lantas, faktor apa saja yang mendorong futsal bisa begitu digemari dan menjadi bagian gaya hidup masyarakat perkotaan di Indonesia? Bagaimana itu terjadi dan siapa yang berperan? Untuk menjawab pertanyaan di atas, alangkah baiknya kalau kita membahas lebih dulu apa itu futsal, bagaimana sejarahnya, aturan permainannya dan infrastruktur yang mendukungnya.

Definisi dan Sejarah Futsal

Istilah futsal berasal dari bahasa Spanyol, gabungan dari kata

futbol (sepak bola) dan sala (ruangan). Futsal adalah permainan bola

yang dimainkan oleh dua regu, yang masing-masing beranggotakan lima orang. Tujuannya adalah memasukkan bola ke gawang lawan, dengan memanipulasi bola dengan kaki. Selain lima pemain utama, setiap regu juga diizinkan memiliki pemain cadangan. Tidak seperti permainan sepak bola dalam ruangan lainnya (in door soccer), lapangan futsal dibatasi garis, bukan net atau papan.

Futsal diciptakan di Montevideo, Uruguay pada tahun 1930, oleh Juan Carlos Ceriani. Keunikan futsal mendapat perhatian di seluruh Amerika Selatan, terutamanya di Brasil. Keterampilan yang dikembangkan dalam permainan ini dapat dilihat dalam gaya terkenal dunia yang diperlihatkan pemain-pemain Brasil di luar ruangan, pada lapangan berukuran biasa. Pele, bintang terkenal Brasil, contohnya, mengembangkan bakatnya di futsal. Sementara Brasil terus menjadi pusat futsal dunia, permainan ini sekarang dimainkan di bawah perlindungan Fédération Internationale de Football Association di seluruh dunia, dari Eropa hingga Amerika Tengah dan Amerika Utara serta Afrika, Asia, dan Oseania1.

Futsal sempat bersaing ketat dengan indoor soccer atau indoor

1

(4)

football versi negara-negara Eropa. Namun badan sepakbola sedunia,

FIFA kemudian mengadopsi futsal sebagai nama resmi sepak bola dalam ruangan. Organisasi terbesar di dunia ini (jumlah anggotanya 200-an negara, lebih banyak dari PBB) juga menetapkan ukuran lapangan dan aturan main baku yang membuat olahraga ini makin dikenal banyak negara.

Kejuaraan resmi antar negara pertama baru diselengarakan tahun 1965, untuk memperebutkan South American Cup, yang dilaksanakan dan dijuarai oleh Paraguay. Selanjutnya, di bawah naungan Federation of Internationale De Futbol Sala (FIFUSA), Piala Dunia Futsal pun digelar. Negara pertama yang mendapat kehormatan sebagai tuan rumah sekaligus kampiunnya adalah Brasil pada 1982. Piala Dunia kedua (1985) dilangsungkan di Spanyol; juaranya masih Brasil. Baru pada Piala Dunia 1988 di Australia, dominasi Brasil dihancurkan tetangganya, Paraguay.

Setelah FIFUSA melebur ke FIFA pada 1989, penyelenggaraan Piala Dunia Futsal dimodernisasi, agar lebih berbau dolar dan tentu saja, diminati sponsor. Sejak detik itu, dimulai pula usaha memasyarakatkan futsal ke seluruh jagad raya. Negara-negara yang sebelumnya tak memiliki tradisi sepakbola stadion tertutup, kini mulai membuka peluang berkembangnya sport hemat lahan ini.

Hingga detik ini, perebutan Piala Dunia Futsal versi FIFA telah empat kali diselenggarakan. Pertama, tahun 1989 (di Belanda), lagi-lagi menobatkan Negeri Samba sebagai yang terbaik, setelah menumbangkan tim tuan rumah di final, dengan skor 2-1. Piala Dunia berikutnya, 1992 di Hongkong, Brasil kembali menegaskan dominasi, kali ini menyikat Amerika Serikat di final dengan skor telak, 4-1. Gelar itu dipertahankan Brasil di Piala Dunia 1996, setelah menghancurkan ambisi tim tuan rumah, Spanyol, di babak final. Piala Dunia terakhir di Guatemala (2000), makin seru. Babak penyisihannya saja diikuti tim dari 70 negara, sebuah kemajuan sangat signifikan. Mengingat empat tahun sebelumnya di

(5)

Spanyol, hajatan hanya dihadiri 46 negara2.

Sedangkan di Indonesia sendiri Futsal mulai dikenal sejak tahun 2000. Ketika itu Ronny Pattinasarany mantan pemain sepak bola legendaris Indonesia ditunjuk sebagai duta Indonesia untuk mengikuti

coaching clinic Futsal yang diadakan AFC di Malaysia. Sepulangnya dari

Malaysia beliau langsung mensosialisasikan tentang Futsal di Indonesia. Perkembangan Futsal di Tanah Air sangat pesat, sehingga akhirnya Indonesia didaulat untuk menggelar Kejuaraan Asia Futsal ke-4 pada tahun 2002.

Aktivitas futsal di Indonesia juga telah menorehkan prestasi yang cukup membanggakan. Beberapa gelar sukses direbut tim nasional Footsal Indonesia seperti Runner Up AFF Cup 2002 di Bangkok, masuk ke posisi 12 besar AFC Cup 2005 di Vietnam, serta rencana PSSI untuk mengikutsertakan ke Asian Championship. Hal ini memberikan secercah harapan akan kembali diraihnya kesuksesan Indonesia di dunia internasional, khususnya di dunia persepakbolaan internasional melalui jalur futsal3.

Aturan Umum Permainan Futsal

1. Lapangan permainan

a. Ukuran: panjang 25-42 m x lebar 15-25 m

b. Garis batas: garis selebar 8 cm, yakni garis sentuh di sisi, garis gawang di ujung-ujung, dan garis melintang tengah lapangan; 3 m lingkaran tengah; tak ada tembok penghalang atau papan

c. Daerah penalti: busur berukuran 6 m dari setiap pos d. Garis penalti: 6 m dari titik tengah garis gawang

e. Garis penalti kedua: 12 m dari titik tengah garis gawang

f. Zona pergantian: daerah 6 m (3 m pada setiap sisi garis tengah lapangan) pada sisi tribun dari pelemparan

g. Gawang: tinggi 2 m x lebar 3 m

h. Permukaan daerah pelemparan: halus, rata, dan tak abrasive 2 http://id.wikipedia.org/wiki/Futsal 3 http://www.djisamsoe.com/?opt=community&type=sepakbola&show=detail&pages =news&id=1023&page=116

(6)

Gambar 02

Skema lapangan futsal resmi seperti aturan FIFA

2. Bola

a. Ukuran: #4

b. Keliling: 62-64 cm c. Berat: 390-430 gram

d. Lambungan: 55-65 cm pada pantulan pertama

e. Bahan: kulit atau bahan yang cocok lainnya (yaitu, tak berbahaya)

3. Jumlah Pemain

a. Jumlah pemain maksimal untuk memulai pertandingan: 5, salah satunya penjaga gawang

b. Jumlah pemain minimal untuk mengakhiri pertandingan: 2 c. Jumlah pemain cadangan maksimal: 7

d. Batas jumlah pergantian pemain: tak terbatas

e. Metode pergantian: "pergantian melayang" (semua pemain kecuali penjaga gawang boleh memasuki dan meninggalkan lapangan kapan saja; pergantian penjaga gawang hanya dapat dilakukan jika bola tak sedang dimainkan dan dengan persetujuan wasit)

(7)

Kaos bernomor, celana pendek, kaus kaki, pelindung lutut, dan alas kaki bersolkan karet

5. Lama Permainan

a. Lama: dua babak 20 menit; waktu diberhentikan ketika bola berhenti dimainkan.

b. Waktu dapat diperpanjang untuk tendangan penalti.

c. Time-out: 1 per regu per babak; tak ada dalam waktu tambahan d. Waktu pergantian babak: maksimal 10 menit

Futsal Sebagai Industri Olah Raga

Makin mendunianya futsal, membuat para pemilik kapital mulai gatal. Piala Dunia terakhir misalnya, biayanya ditanggung bersama penyandang dana seperti Adidas, Budweiser, Coca Cola, Fuji Film, Hyundai, hingga McDonald‟s. Di mata mereka, kepopuleran sepakbola alternatif ini terasa menjanjikan. Apalagi data menunjukkan, sudah hampir 100 negara dan 12 jutaan pemain profesional kini rutin memainkan futsal.

Perhatian lebih tadi membuat futsal tak lagi dianggap sebagai “pelengkap penderita” sepak bola konvensional. Salah satu dampaknya, penghargaan terhadap para pemain makin hari kian meningkat. Yang paling berpengaruh dan menjadi dambaan setiap pemain futsal adalah pemilihan World Futsal Player of The Year yang diberikan setiap tahun.

Bagi pemegang kapital, perkembangan futsal ini menjadi peluang usaha yang menguntungkan. Dari produksi peralatan yang digunakan dalam permainan seperti sepatu, kostum, sampai produksi rumput sintetis untuk lapangan. Tak kurang perusahaan besar yang memproduksi alat-alat olah raga turut serta dalam bisnis ini seperti Nike, Adidas, dan Lotto. Di tingkat yang lebih rendah, banyak pengusaha yang menyediakan jasa persewaan lapangan futsal. Bahkan di Solo, ada beberapa pengusaha yang banting stir masuk ke dunia futsal. Seperti Yohanes Setiawan Prasetyo (pemilik Rama Futsal), seorang pengusaha jual beli motor

(8)

bekas, menyulap show roomnya menjadi sebuah lapangan futsal.

Dengan modal awal Rp 80 juta, maka ia pun mulai membangun bisnis rental lapangan futsal. Dari segi modal memang sedikit, sebab bangunan gedung sudah ada. Dia tinggal menyediakan perlengkapan pendukung futsal, seperti gawang, bola, jaring-jaring, lampu, loker dan perlengkapan lainnya. Dari data yang terkumpul rata-rata modal awal yang dikeluarkan dapat kembali dalam jangka waktu dua sampai tiga tahun. (lihat tabel di bawah ini)

Nama

Lap. Futsal Modal (Rp) Ongkos Sewa (Rp/ jam) Pendapatan Rata-rata (Rp/ bln) Segmen Siang Malam Rama 80.000.000 40.000 50.000 6.000.000 Mahasiswa Laweyan* 100.000.000 20.000 20.000 3.500.000 Mahasiswa 25.000 25.000 Mahasiswa Rendezvous 1.000.000.000 40.000 40.000 21.000.000 Umum Bengawan Sport Center 100.000.000 40.000 50.000 12.000.000 Umum Coppa 2.000.000.000 100.000 200.000 50.000.000 Eksekutif muda

*Khusus Laweyan futsal tidak memperlakukan tariff siang dan malam. Harga dibedakan dari lapangan outdoor dan in door.

Besaran modal awal yang dikeluarkan oleh pemilik lapangan futsal berkaitan dengan ketersediaan infrastruktur lapangan (tanah atau gedung) yang sudah dimilikinya. Selain itu juga kualitas fasilitas dan pelayanan yang disediakan.fasilitas inilah yang mempengaruhi harga sewanya. Sebagai contoh, Laweyan futsal sangat murah karena para pemain futsal yang akan menggunakan lapangan harus membawa bola sendiri karena tidak termasuk dalam daftar pelayanan. Hal ini tentu saja berbeda dengan lapangan futsal yang disewakan lainnya.

Contoh lain adalah Coppa Futsal, yang menggunakan rumput sintetis yang diimpor langsung dari Italia. Untuk satu lapangan biaya yang dikeluarkan Rp 200 juta karena semua diimpor dari Italia, termasuk jaringnya. miliar. Bahkan bolanya juga khusus menggunakan bola untuk futsal yang harganya hingga Rp 300.000/buah. Disamping itu, di Coppa

(9)

Futsal juga dilengkapi dengan tempat untuk santai, TV berlangganan, Kafe dan Hotspot.

Melihat realitas di atas, futsal telah terkomodifikasi dan menjadi bagian dari industri olah raga global. Ciri terpenting dari gerakan yang menuju ke arah produksi massa berbagai komoditas adalah hilangnya nilai manfaat asli yang “hakiki” dari benda-benda yang disebabkan oleh dominasi nilai tukar dalam kapitalisme telah menjadikan komoditas sebagai tanda dalam pengertian Saussurean, yang artinya secara berubah-ubah ditentukan oleh posisinya dalam sistem penanda yang bersifat self – referensial. Selanjutnya, konsumsi tidak harus dipahami sebagai konsumsi nilai-manfaat4.

Gambar 03 & 04

Gambar sebelah kiri adalah lapangan futsal yang menggunakan rumput sintetis dan yang di sebelah kanan (gambar 04) hanya menggunakan lantai.

Hal ini terbukti dari cara konsumen persewaan lapangan futsal memaknai olah raga ini. Dari beberapa nara sumber, ternyata olah raga futsal dimaknai oleh semua pelakunya bukan sebagai murni olah raga, tetapi telah menjadi media sosial. Di mana kegiatan olah raga hanya sebagai aspek kecil dari aspek-aspek yang lain yaitu sosialisasi dan silaturahmi, serta media rekreasi, untuk melepas kebosanan dan tekanan rutinitas aktivitas keseharian mereka.

4

(10)

Futsal Sebagai Gaya Hidup

Seperti halnya kebudayaan konsumen lainnya, industri futsal juga dibangun oleh kaum kapitalis pemegang modal dengan menggunakan logika komoditas – tanda lewat penciptaan citra dalam iklan. Futsal yang sebetulnya adalah olah raga kemudian diassosiasikan menjadi sesuatu yang penuh tantangan, rekreatif dan mewah, dengan “kegunaan” asli atau fungsionalnya semakin sulit diuraikan.

Futsal tidak lagi menjadi penanda dari olah raga yang bentuknya seperti sepak bola dengan lapangan “mini” dan pemain yang lebih sedikit jumlahnya, tetapi telah menjadi penanda dari petandanya yaitu ruang sosial dan silaturahmi, serta media rekreasi, untuk melepas kebosanan dan tekanan rutinitas aktivitas keseharian. Atau dengan kata lain, futsal telah bergeser maknanya dari olah raga menjadi gaya hidup. Orang tidak lagi mengkonsumsi olah raga futsal untuk kebugaran, tetapi sebagai gaya individual/ kultural. Futsal telah menjadi penanda selera konsumennya.

Istilah gaya hidup mengandung pengertian sebagai cara hidup, mencakup sekumpulan kebiasaan, pandangan, pola dan pola-pola respons terhadap hidup, serta terutama perlengkapan untuk hidup. Cara bukan sesuatu yang alamiah, melainkan hal yang ditemukan, diadopsi atau diciptakan, dikembangkan, dan digunakan untuk menampilkan tindakan agar mencapai tujuan tertentu5.

Tujuan tertentu tersebut, kalau merujuk pendapat Bourdieu (1984), untuk pembedaan sosial6. Pendapat ini menggeser argumen “ideology konsumerisme” (strategi pengalihan). Di mana konsumsi adalah jawaban semua problem kita. Konsumsi akan membuat kita utuh lagi, konsumsi akan membuat kita penuh kembali, konsumsi akan membuat kita lengkap. Konsumsi akan membawa kita kembali pada kondisi “imajener” yang pebuh kebahagiaan. Pembedaan sosial tersebut yang akhirnya orang lebih memilih futsal dan lebih spesifik lagi pada pilihan sewa lapangan

5

Lihat Bagus Takwin_2006, Habitus, Perlengkapan dan Kerangka Panduan Gaya

(11)

futsal. Karena bermain di Rama futsal tentu berbeda dengan bermain di Coppa Futsal.

Salah satu faktor lain kenapa gaya hidup bermain futsal begitu cepat berkembang di kalangan masyarakat kota, karena adanya dimensi kultural, yaitu kedekatan antara futsal dengan sepak bola yang sudah menjadi budaya dalam praktik kehidupan masyarakat Indonesia. Pada umumnya gaya hidup dipahami sebagai tata cara atau kebiasaan pribadi yang unik setiap individu. Gaya hidup dipahami sebagai adaptasi aktif individu terhadap kondisi sosial dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk menyatu dan bersosialisasi dengan orang lain. Sebagai tata cara hidup yang mencerminkan sukap-sikap dan nilai-nilai dari sesesorang.

Ketika satu gaya hidup menyebar pada orang banyak dan menjadi mode yang diikuti, pemahaman tentang gaya hidup sebagai satu keunikan individu personal sudah tidak memadai lagi. Gaya hidup bukan lagi semata tata cara atau kebiasaan individu, tetapi telah menjadi sesuatu yang telah diadopsi oleh sekelompok orang. Oleh Karena itu, gaya hidup bisa popular dan diikuti oleh banyak orang7. Semakin lama, gaya hidup komunal ini menjadi satu habitus bagi kelompok tersebut.

Habitus menurut Bourdieu adalah perlengkapan dan postur sebagai posisi tubuh/ fisik, juga kualitas sebagai sifat-sifat yang menetap dalam diri. Tidak dapat dipilah karena perlengkapan menghasilkan postur yang lama-kelamaan membentuk sifat yang relatif menetap. Bagi Bourdieu, habitus merupakan kombinasi dari, (1) disposisi atau kecenderungan atau kesiapan berespon, (2) Skema-skema klasifikasi generatif atau dasar pemahaman untuk menentukan dan keputusan yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh. Di wilayah opini, ada tarik menarik antara orthodoxy

7

ibid Lihat Bagus Takwin_2006, Habitus, Perlengkapan dan Kerangka Panduan Gaya

(12)

(patuh) dan heterodoxy (menolak), yang menghasilkan doxa (kebenaran komunal yang tidak perlu dipertanyakan lagi)8.

Sepak bola sebagai olah raga terpopuler di Indonesia sudah menjadi doxa. Hal inilah yang mengakibatkan kenapa futsal lebih cepat popular dan memasyarakat dari pada bola basket. Meskipun futsal berbeda dengan sepak bola tetapi secara performance dan essensinya sama, oleh karena itu mencintai futsal bukan satu kesalahan, menjadi satu orthodoxy karena tidak mempertentangkan doxa. Berbeda dengan basket, mereka dianggap sebagai individual atau kelompok yang tidak patuh pada doxa. Habitus masyarakat Indonesia adalah bermain sepak bola bukan bola basket.

Di sisi yang lain, futsal dalam praktik yang ada di masyarakat juga mempunyai karakter gaya hidup konsumeristik. Mampu mengintegrasikan gaya hidup kelas pekerja dan bourjuasi di mana buruh dan majikan bisa menikmati wahana rekreasi yang sama, seperti halnya Cineplex 21 dan Dunia Fantasi). Harga sewa lapangan futsal yang murah, mengakibatkan olah raga ini cepat berkembang dan digemari masyarakat. Sebagai contoh, Coppa Futsal. Persewaan lapangan ini per jamnya paling mahal di Solo, yaitu Rp. 200.000,- (malam hari). Setiap bermain, rata-rata setiap kelompok menyewa satu sampai dua jam. Kalau dalam kelompok tersebut terdiri dari 15 orang (biasanya lebih), maka setiap orang akan menanggung beban sewa seharga Rp. 14.000,- sampai Rp. 28.000,-, bukan sesuatu yang mahal.

Bahkan kebanyakan para konsumen lapangan futsal yang anak muda ini, dalam bermain futsal tidak pernah mau mengikuti aturan baku futsal yang dikeluarkan oleh FIFA. Kadang satu tim dapat berisi enam sampai tujuh orang. Bagi mereka, bermain dengan aturan baku yang benar tidak penting. Bahkan menang kalah juga tidak penting, karena bagi mereka yang penting main, berkeringat dan senang.

8

Bouerdieu, Pierre_1994, “Structures, Habitus, Power: Basis for a Theory of Symbolic

(13)

Kecenderungan yang ada biasanya, mereka hanya meminjam lapangan selama satu jam. Bermain secara bergantian setelah itu ngobrol atau minum di wedhangan. Sedangkan konsumen Coppa Futsal yang dating dari kelas menengah (eksekutif muda), biasanya mereka datang selepas kerja bersama rekan kerja, atau teman sewaktu SMA atau kuliah. Kalau kelompok ini, biasanya bermain lebih santai, bagi mereka futsal betul-betul rekreasi. Menyewa lapangan satu jam (biasanya juga belum satu jam sudah selesai), kemudian dilanjutkan ngobrol tentang peristiwa keseharian. Kadang-kadang kalau hari libur, mereka membawa istri dan anaknya.

Futsal sekarang ini telah menjelma menjadi industri sportainment. Dengan berbagai fasilitas pendukung yang mempermudah dan memanjakan konsumen, membuat daya tarik dan semakin mengaburkan dari essensi futsal, yaitu olah raga. Apalagi ditambah pelayanan dan program acara yang sering diadakan oleh pihak pengelola. Seperti mengeluarkan kartu member yang memberi diskon 10 %. Atau kompetisi antar kelompok denga hadiah dari sponsor yang cukup menggiurkan. Bahkan demam EURO 2008, telah memaksa pengelola lapangan futsal membuat program nonton bareng.

“Nonton Bareng” (NOBAR) merupakan gaya hidup konsumeristik sendiri. Meskipun para konsumen lapangan futsal ini punya televisi sendiri di rumah, tetapi mereka mau datang untuk nonton bersama. Kehadiran “tubuh” personal menjadi satu daya jual yang penting. Di mana era global dengan perkembangan teknologi infomrsi yang begitu pesat, membuat kehadiran “tubuh” personal ini menjadi hilang. Padahal, masyarakat rindu untuk menampilkan “tubuh” personal mereka dalam hubungan sosial.

Berbicara tentang tubuh, tidak hanya sekedar bicara tentang kulit dan kulit kemudian dirangkai bagian-bagiannya, bukan hanya sebuah fenomena biologis. Tubuh juga, dan utamanya, merupakan sebuah diri, maka kita semua bertubuh. Tubuh tidak hanya ”telah ada” secara alamiah,tetapi juga sebagai sebuah kategori sosial, dengan makna yang

(14)

berbeda-beda yang disusun, dihasilkan dan dikembangakan di setiap jaman oleh populasi yang beragam. Dengan kata lain, tubuh mirip spon dalam hal kemampuannya menyerap makna, selain tentunya sangat bernuansa politis.

Tubuh merupakan sesuatu yang aneh; mampu menampung sesuatu yang sangat luas dari makna yang terus berubah. Ia menjadi unsure pokok identitas personal dan social; sekalipu prasangka dan deskriminasi terdalam, yang pro dan kontra, tumbuh bersama di dalam tubuh. Tubuh-tubuh terpolarisasi secara besar-besaran dalam term-term moral; laki-laki/ perempuan, tua/ muda, cantik/ jelek, gemuk/ kurus, hitam/ putih/ kuning/merah, dan sebagainya, dengan valensi bergantung pada nilai-nilai personal dan kultural. Selain itu, tubuh juga terpolarisasi secara internal, antara bagian-bagian publik seperti wajah dan bagian-bagian privat seperti genital; sebuah polarisasi yang sama dengan diotomi konvensional lainnya; lebih tinggi atau rendah9.

Dari uraian tersebut di atas dapat ditarik satu kesimpulan bahwa sesungguhnya tubuh dengan semua organnya tidak hanya merupakan kondisi biologis saja, melainkan sebuah penciptaan sosial, dengan kompleksitas yang luas dan hampir-hampir tak terbatas jenis, kekayaan, dan kekuasaannya. Oleh karena itu, dalam gaya hidup sebagai pembeda kelas sosial, kehadiran tubuh beserta atributnya (perlengkapan) menjadi satu hal yang penting. Karena itu sebagai pembentuk identitas sosial.

Kesimpulan

Olah raga futsal masuk pertama kali di Indonesia sekitar tahun 1999, dan empat tahun kemudian olah raga ini mulai digemari dan menjamur. Karakteristik futsal yang mudah, menyenangkan dan praktis untuk dimainkan. Serta tidak memerlukan lapangan yang luas dan bisa dimainkan oleh sedikit maupun banyak pemain, dengan teknik dan

9

(15)

pergerakan-pergerakan permainan yang cepat dan dinamis, membuatnya digemari, baik untuk dimainkan atau ditonton oleh masyarakat Indonesia.

Makin mendunianya futsal, membuat para pemilik kapital mulai gatal. Piala Dunia terakhir misalnya, biayanya ditanggung bersama penyandang dana seperti Adidas, Budweiser, Coca Cola, Fuji Film, Hyundai, hingga McDonald‟s. Di mata mereka, kepopuleran sepakbola alternatif ini terasa menjanjikan. Apalagi data menunjukkan, sudah hampir 100 negara dan 12 jutaan pemain profesional kini rutin memainkan futsal.

Bagi pemegang kapital, perkembangan futsal ini menjadi peluang usaha yang menguntungkan. Dari produksi peralatan yang digunakan dalam permainan seperti sepatu, kostum, sampai produksi rumput sintetis untuk lapangan. Di tingkat yang lebih rendah, banyak pengusaha yang menyediakan jasa persewaan lapangan futsal. Bahkan di Solo, ada beberapa pengusaha. Usaha penyewaan lapangan futsal ini sangat menguntungkan dan prospektif. Jangka waktu kembali modal hanya dalam waktu dua sampai tiga tahun. Melihat realitas di atas, futsal telah terkomodifikasi dan menjadi bagian dari industri olah raga global.

Seperti halnya kebudayaan konsumen lainnya, industri futsal juga dibangun oleh kaum kapitalis pemegang modal dengan menggunakan logika komoditas – tanda lewat penciptaan citra dalam iklan. Futsal tidak lagi menjadi penanda dari olah raga yang bentuknya seperti sepak bola dengan lapangan “mini” dan pemain yang lebih sedikit jumlahnya, tetapi telah menjadi penanda dari petandanya yaitu ruang sosial dan silaturahmi, serta media rekreasi, untuk melepas kebosanan dan tekanan rutinitas aktivitas keseharian. Dengan kata lain, futsal telah bergeser maknanya dari olah raga menjadi gaya hidup. Orang tidak lagi mengkonsumsi olah raga futsal untuk kebugaran, tetapi sebagai gaya individual/ kultural. Futsal telah menjadi penanda selera konsumennya.

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Bagus Takwin_2006, Resistensi Gaya Hidup; Habitus, Perlengkapan dan

Kerangka Panduan Gaya Hidup”, Yogyakarta, Jalasutera.

Barker, Chris, , 2005 Cultural Studies; Teori dan Praktik, PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta.

Bouerdieu, Pierre_1994, “Structures, Habitus, Power: Basis for a Theory

of Symbolic Power” dalam Culture/ Power/ History. A Reader in Contemporary Social Theory. Nicolas B. Dirk.

Geof Eley & Sherry B. Ortner (ed). Princeton Univercity Press.

Featherstone, Mike_ 2005, Posmodernisme dan Budaya Konsumen, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

Muhammad Sulhi_2008, Futsal, Sepak Bola „Mini‟ Yang Makin Digemari, dalam http://majalahandaka.wordpress.com/2008/05/25/ pengetahuan-populer/

Storey, Jhon_ 2007, Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, Penerbit Jalasutra, Bandung

Strinati, Dominic, Popular Culture; Pengantar Menuju Budaya Populer, Yogyakarta, Bentang, 1995

Synnott, Anthony_2007, Tubuh Sosial; Simbolisme, Diri, dan Masyarakat, Bandung, Jalasutra

DAFTAR PUSTAKA SKUNDER

Aditya Wardana, Demam Futsal dan Para Pengusaha yang Melirik

Peluangnya, dalam RADAR SOLO, edisi Jumat, 27 Juni

2008

Inu/Asa/Fjr, Bisnis Persewaan Lapangan Futsal : Tidak Sampai Satu Tahun Balik Modal, dalam H.U. Joglosemar, Sabtu, 21 Februari 2008

website www.djisamsoe.com. http://id.wikipedia.org/wiki/Futsal

Gambar

Gambar 03 & 04

Referensi

Dokumen terkait

Konsepsi tentang ecosophy Islam sebenarnya juga telah banyak dilakukan oleh para ahli, meskipun tidak menyebut secara spesifik istilah ecosophy Islam. Ecosophy Islam merupakan

Kedua telah secara tegas menyebut perlunya keadilan sosial, keadilan gender, hak asasi manusia, tetapi – kalau saya tidak salah mengutip dari proposal pengajian Ramadlan pimpinan

Pada bagian ini akan dibahas mengenai hasil dan analisis klasifikasi sidik jari, gambar hasil preprocessing diproses ekstraksi minutiae dan proses eliminasi spurious minutiae,

BAB IV ANALISIS STRUKTUR, BUDAYA, JEUNG ANALISIS ÉTNOPÉDAGOGIK DINA WAWACAN SIMBAR KANCANA 4.1 Ringkesan Carita Wawacan Simbar Kancana

MODEL PENDEKATAN RESTORATIVE JUSTICE DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA RINGAN.. DI

Data 5 ditemukan kata mubazir yakni, penggunaan kata banyak + kata ulang. Menurut peneliti jika menggunakan satu kata sudah memenuhi maksud dari kalimat itu maka sebaiknya

Quraish Shihab dalam buku Tafsir al-Mishbah memberikan penjelasan bahwa dalam ayat ini Allah membuat perumpamaan kalimat yang baik di umpamkan pohon yang baik,

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Djawa Tengah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun