• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Umum Jati ( Tectona grandis Linn.f )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Umum Jati ( Tectona grandis Linn.f )"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Deskripsi Umum Jati (Tectona grandis Linn.f )

Jati dengan nama botani Tectona grandis Linn.f merupakan jenis tumbuhan kayu daun lebar yang termasuk ke dalam klas angiospermae, ordo verbenales dan famili verbenaceae. Di setiap negara, jati memiliki nama lokal yang berbeda-beda antara lain teak (Inggris), teck (Perancis), teca (Spanyol), java teak (Jerman), sangun (India), iyiu (Birma) dan mai sak (Thailand) (Rahmawati et al., 2002). Jati dapat tumbuh baik pada jenis tanah latosol, andosol, dan aluvial bahkan pada tanah yang tidak mengandung kapur sekali pun, pada umur 100 tahun jati dapat tumbuh dan mencapai tinggi 25 hingga 35 meter dengan tinggi batang bebas cabang 15-20 m, diameter dapat mencapai 220 cm (umumnya 50 cm) serta bentuk batang tidak teratur dan beralur (Dephut, 2002).

Jati merupakan tanaman alami pada formasi hutan tropik gugur yang meliputi wilayah India bagian tengah dan selatan, Myanmar, wilayah barat laut Thailand, Laos serta Indonesia (Kertadikara, 1996). Dalam perkembangannya, jati telah menyebar di berbagai negara di Asia Tenggara, Pasifik (Australia dan Fuji), Afrika (Tanzania, Sudan, Somalia, Zimbabwe, Uganda, Kenya, Malawi, Senegal, Gunea, Ivor Coast, Ghana, Puerto Rico, Panama, Honduras, Jamaika, Nicaragua, West Coast dan Cuba) dan Amerika (Brazil, Suriname, Colombia, Venezuela, Argentina, Costa Rica, Belizele dan El Salvador). Di Indonesia jati sebagian besar berasal dari Jawa, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, NTB, Maluku, Lampung dan Bali (Sumarna, 2003).

Secara fenologis, jati tergolong tanaman yang menggugurkan daun (deciduous) pada saat musim kemarau. Daun akan tumbuh lagi pada bulan Januari atau Maret. Masa pembungaan akan berlangsung antara bulan Juni sampai September. Buah yang terbentuk akan masak sekitar bulan November (Sumarna, 2003). Lebih lanjut, Sumarna (2003) menyatakan secara umum pertumbuhan jati membutuhkan iklim dengan curah hujan minimum 750 mm/tahun, optimum 1000-1500 mm/tahun. Suhu udara minimum yang dibutuhkan pertumbuhan jati minimum 13-170 C dan suhu optimum 32-420 C. Secara geologis tanaman jati tumbuh lebih baik pada lahan dengan kondisi fraksi lempung, lempung berpasir,

(2)

atau pada tanah liat berpasir. Untuk menghasilkan pertumbuhan optimal, jati memerlukan kondisi solum lahan yang dalam dan pH optimum sekitar 6,0.

Mandang dan Pandit (2002) mengemukakan kayu jati memiliki ciri umum teras yang berwarna emas kecoklatan sampai coklat kemerahan, mudah dibedakan dari gubal yang berwarna putih agak keabuan. Coraknya dekoratif karena jelasnya lingkaran tumbuh. Kayu jati memiliki berat jenis rata-rata 0,67 (0,62-0,75), kelas awet I-II dan kelas kuat II. Kayu jati dapat dipakai untuk beberapa keperluan, antara lain untuk bahan bangunan, rangka pintu dan jendela, panel pintu, bantalan rel kereta api, perabot rumah tangga, karoseri badan truk, dek kapal, vinir indah dan sebagainya.

Menurut Sumarna (2003), tanaman jati juga tergolong sebagai tanaman berkhasiat obat. Bunga jati dapat digunakan sebagai obat bronchitis, billiousness dan melancarkan serta membersihkan kantung kencing. Buah atau benihnya dapat digunakan sebagai bahan obat diuretik. Ekstrak daunnya dapat menghambat kinerja bakteri tuberkolosa. Adapun gambar dari daun dan kayu jati disajikan pada Gambar 2 dan 3.

Gambar

Hasil penelitian Palupi dan Owens (1997) di Kebun Benih Klonal (KBK) Cepu menyatakan bahwa pembungaan pada jati dimulai dari cabang paling bawah Gambar 2. Daun Jati (Foto Pribadi) Gambar 3. Pohon Jati (Foto Pribadi)

(3)

ke bagian atas. Selama periode pembungaan pada setiap panikel terdapat sebanyak 300-1000 bunga mekar setiap harinya dengan rata-rata 60 bunga per hari. Kelopak bunga berbentuk lonceng dan tidak lepas, berwarna coklat terang dan berfungsi untuk melindungi kuncup bunga selama perkembangannya. Setiap benang sari terdiri atas filamen atau tangkai sari dan sebuah kepala sari (two lobed) berwarna kuning yang sedikit mengandung pollen.

Umumnya jati merupakan jenis yang menyerbuk silang, namun kemungkinan terjadinya silang dalam (inbreeding) sangat besar. Hal ini disebabkan karena sifat bunga yang hermaprodit (Yulianti, 1995) serta aktivitas polinator yang hanya berkeliaran pada satu pohon saja, sehingga kemungkinan terjadinya penyerbukan sendiri (selfing) cukup besar. Penyerbukan jati dapat terjadi secara geitonogami (pada individu pohon yang sama) atau autonogami (pada bunga yang sama).

Pembuahan merupakan peristiwa penggabungan atau bersatunya gamet jantan dan betina yang merupakan saat penting dalam siklus hidup tumbuhan. Karakteristik yang unik dari pembuahan angiospermae adalah terdapatnya ”pembuahan ganda” dimana terdapat 2 gamet jantan yang dilepaskan masing-masing akan membuahi sel telur membentuk zigot dan lainnya berdifusi dengan 2 inti polar membentuk inti endosperm sebagai cadangan makanan. Pembuahan pada jati terjadi 24 jam setelah penyerbukan dan zigot mulai berkembang pada 3-5 Hari Setelah Penyerbukan (HSP). Berdasarkan data ini, maka pengamatan terhadap bunga di lapangan yang dapat bertahan sampai 3 HSP dianggap sebagai bunga yang telah mengalami pembuahan (Palupi dan Owens, 1997).

Sejarah dan Perkembangan Pemuliaan Jati di Indonesia

Pemuliaan jati di Indonesia mulai dirintis sejak tahun 1930 dengan dilakukannya penelitian tentang biologi bunga serta uji provenan pada tahun 1932 untuk pemilihan sumber benih (Sastrosumarto dan Suhaendi, 1995), namun kegiatan ini seakan terhenti karena tidak ada pihak yang menindaklanjuti dan mengembangkannya. Pada tahun 1981 Perum Perhutani mulai melakukan upaya perbaikan genetik jati melalui program pemuliaan jangka pendek yaitu dengan pemilihan Areal Produksi Benih (APB) dan pembangunan Kebun Benih Klonal

(4)

(Perum Perhutani, 1992 dalam Na’iem, 2002). Program pemuliaan jati yang memakan waktu lama dan biaya yang tidak sedikit tersebut apabila dilakukan dengan sungguh-sungguh dan komitmen yang tinggi, maka usaha tersebut akan membuahkan hasil yang diinginkan.

Salah satu program jangka pendek pemuliaan pohon adalah kegiatan pembangunan Kebun Benih Klonal melalui pembiakan vegetatif dari pohon plus. Tegakan yang dipilih untuk diambil pohon plusnya adalah pohon dimulai dari kelas umur 11 sampai kelas umur yang masih ada (Anonimous, 1992 dalam Rifa’i, 2000).

Menurut Sadharjo (2002), strategi pemuliaan jati yang bertujuan untuk memperoleh bibit jati unggul ini dibedakan ke dalam program jangka pendek dan jangka panjang. Strategi jangka pendek ditempuh untuk mencukupi kebutuhan benih yang unggul saat ini, sedangkan strategi jangka panjang dilakukan dalam upaya memperoleh benih unggul melalui beberapa tahapan ilmiah yang terencana dan sistematis. Strategi jangka pendek yang dilakukan antara lain adalah penunjukan Areal Produksi Benih (APB), pemanfaatan materi pohon plus pada pembangunan Kebun Benih Klonal (KBK), pembangunan kebun pangkas, dan pembiakan vegetatif melalui Kultur Jaringan Mikrostek. Strategi jangka panjang yang dilakukan antara lain melalui cara pembangunan uji keturunan half-sib, pembangunan konservasi ex-situ, program penyerbukan terkendali, penelitian bioseluler dan melalui penelitian analisis DNA.

Variasi Genetik

Variasi genetik suatu jenis adalah hasil dan perkembangbiakan secara seksual. Pada proses perkembangbiakan seksual terjadi peristiwa meiosis yang mereduksi jumlah kromosom diploid (2n) dalam sel tetua menjadi haploid (n) dalam gamet, mengikuti hukum segregasi bebas seperti diungkapkan oleh Mendel (Hukum Mendel 1). Selanjutnya diperjelas lagi pada Hukum Mendel 2 meiosis kromosom homolog juga akan mengalami pindah silang dan kadang-kadang terjadi perubahan susunan genetik. Lebih lanjut menurut Hukum Mendel 2 pada saat perkawinan terjadi rekombinasi gamet secara acak mengikuti hukum pengelompokkan bebas (Crowder, 1997).

(5)

Soerianegara dan Djamhuri (1979) menjelaskan bahwa dalam satu jenis pohon dapat dijumpai keragaman geografis (antar provenan), keragaman lokal (antar tempat tumbuh), dan keragaman dalam pohon serta keragaman antar pohon. Terdapat dua sebab yang menimbulkan keragaman, yaitu perbedaan lingkungan dan perbedaaan susunan genetik. Keragaman lingkungan biasanya disebabkan oleh perbedaan tempat tumbuh, sifat tanah, atau jarak tanam, dimana keragaman yang tidak dapat diterangkan dengan perbedaan tempat tumbuh, misalnya perbedaan bentuk batang, tebal batang, tebal cabang, dan berat jenis.

Adanya keragaman dalam suatu jenis perlu diketahui lebih dahulu sebelum memulai dengan pemuliaan pohon, keanekaragaman genetik merupakan syarat mutlak dalam pemuliaan, yaitu untuk memungkinkan seleksi dan untuk mencegah dihasilkannya tanaman yang tidak bermutu. Jumlah dan macam variasi genetik dalam suatu populasi dapat berubah yang kemungkinan besar menyebabkan terjadinya perubahan struktur genetik populasi atau terjadinya evolusi yang disebabkan oleh sejumlah faktor yang disebut faktor evolusioner seperti seleksi, mutasi, migrasi, hanyutan genetik, aliran gen dan sistem perkawinan. Mutasi selalu meningkatkan jumlah variasi. Kombinasi dua atau lebih faktor dapat menyebabkan sejumlah pola variasi genetik (Finkeldey, 2005).

Pada suatu populasi kawin acak yang besar tanpa ada seleksi, mutasi dan migrasi, frekuensi genotipenya akan konstan dari generasi ke generasi. Populasi ini dikatakan berada dalam kondisi kesetimbangan Hardy-Weinberg (Falconer, 1999). Syarat-syarat lain agar kondisi kesetimbangan tercapai ádalah tidak ada penghanyutan genetik secara acak (random genetic driff) dan meiosis normal.

Informasi genetik suatu organisme tidak berubah sepanjang hidupnya. Umur suatu organisme terbatas, tetapi setiap organisme berpotensi untuk mentransmisi informasi genetik ke keturunannya. Penelitian sistem genetik suatu jenis seringkali berdasarkan pengamatan struktur genetik dalam suatu populasi tunggal atau beberapa populasi (Finkeldey, 2005). Karakteristik genetik populasi dapat berubah, dipengaruhi oleh proses perpindahan gen dari generasi ke generasi.

Perbedaan susunan genetik tidak hanya ada antara individu dalam populasi, tetapi juga terdapat perbedaan antar populasi pada suatu jenis. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan frekuensi alel dan polimorfisme dalam

(6)

suatu populasi. Setidaknya perbedaan susunan genetik antar populasi muncul pada saat beradaptasi dengan lingkungannya. Variasi yang muncul pada fenotipe dipengaruhi oleh komponen genetik dan lingkungan (Futuyma, 1998). Menurut Siregar (2000) pada pohon-pohon hutan, keberadaan keragaman genetik yang berbeda dalam populasi bertanggungjawab terhadap perbedaan tingkat adaptasi dan kapasitasnya untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan karena pohon-pohon tidak mampu untuk berpindah dan berumur panjang.

Variasi genetik dapat dianalisis dengan teknik yang berbeda-beda, yaitu berdasarkan studi morfologi dan pengukuran karakter pada percobaan lapangan atau studi variasi biokimia dan penanda molekuler di laboratorium. Di samping itu, variasi genetik dapat diprediksi dari variasi ekogeografisnya (Futuyma, 1998).

Variasi genetik tanaman merupakan modal utama dalam pemuliaan tanaman. Kemajuan dibidang biologi molekuler telah memberikan sumbangan yang besar dalam studi variasi genetik, yaitu dengan melakukan analisis pada tingkat molekul DNA. Teknik ini sangat membantu pemuliaan tanaman dalam melakukan studi genetik dengan ketepatan yang lebih akurat. Untuk mendapatkan informasi genetik dapat dilakukan melalui analisis profil DNA seperti RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA), AFLP (Amplified Fragment Length Polymorphism), RFLP (Restriction Fragment Length Polymorphism) dan mikrosatelit.

Penelitian Genetik Jati di Indonesia

Jati menunjukkan karakter yang bervariasi baik dalam populasi maupun antar populasi. Berdasarkan penampakan luarnya, terdapat beberapa perbedaan morfologi bentuk pohon, batang dan sifat kayu. Perbedaan tersebut masih dipelajari apakah karena perbedaan varietas, ras lahan, serangan penyakit atau adanya pola adaptasi yang berbeda antar individu dalam populasi. Karakter jati yang bervariasi menurut sifat kayu dan bentuk pohonnya yaitu dikenal adanya jati lengo, jati sungu hitam, jati werut, jati doreng, jati kembang, jati kapur, dan sebagainya. Menurut batangnya, jati dibedakan menjadi jati ri (knobel), jati pring, jati gembol, dan jati kijong. Berdasarkan penampakan bentuk batangnya jati dibedakan menjadi jati belimbing, jati knobel, jati boleng dan jati mulus. Oleh

(7)

karena itu, karakteristik pada jati dapat digunakan untuk membangun dasar genetik yang luas bagi kepentingan program pemuliaan (Mahfudz et al., 2004).

Pendugaan variasi genetik jati telah dilakukan oleh beberapa peneliti dengan menggunakan berbagai metode dari yang paling sederhana seperti isoenzim hingga Mikrosatelit. Beberapa aplikasi penanda isozim dan penelitian mengenai genetik jati yang ada di Indonesia disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Beberapa Penelitian Genetik Jati di Indonesia

No. Nama Tahun Penelitian yang dilakukan

1. Arti W. Kertadikara 1996 Melakukan inventarisasi keragaman genetik pada 18 enzim gen lokus tanpa analisis formal genetik dari fenotipe isozim yang diteliti dari 9 provenan yang berbeda pada habitat alami dan buatannya 2. Widyatmoko 1996 Mengidentifikasi klon jati di Cepu pada

116 pohon plus dari bank klon dan KBK berdasarkan 13 lokus dari 9 sistem enzim 3. Eko Sulistyono 2003 Menguji identitas klon dan variasi genetik

jati di KBK Padangan dan Kebun Pangkas Pusbanghut Cepu melalui penanda isozim

5. Susanna P. Dewi 2003 Mengidentifikasi keturunan pada 10 klon jati di Padangan dengan penanda isozim 6. Munarti 2005 Menganalisis keragaman genetik jati asal

Sulawesi Selatan berdasarkan marker Simple Sequence Repeat (SSR).

7. Fona Lengkana 2007 Menganalisis keragaman genetik jati muna dan jati jawa berdasarkan metode penanda PCR-RFLP

(8)

Polymerase Chain Reaction (PCR)

PCR adalah metode untuk menggandakan atau memgamplifikasi DNA yang diisolasi pada sebuah tabung reaksi kecil dengan melalui replikasi berulang. Sebelum proses PCR terlebih dahulu dilakukan ekstraksi DNA, dimana ekstraksi DNA pada prinsipnya adalah suatu proses pengisolasian DNA dengan cara fisik (penggerusan) dibantu oleh senyawa-senyawa kimia dengan metode tertentu sehingga didapat DNA. Hasil ekstraksi DNA dapat diketahui dengan melakukan pengujian kuantitas dan kualitas DNA. Uji kuantitas dan kualitas DNA dilakukan dengan proses elektroforesis dengan menggunakan gel agarose. Untuk melihat DNA hasil ekstraksi digunakan alat UV transilluminator.

Dalam proses PCR terdapat 3 tahapa yaitu denaturasi, annealing, dan ekstensi. Penjelasan ketiga tahapan dalam proses PCR adalah sebagai berikut : (1) Denaturasi

Dalam proses denaturasi kedua rantai akan terpisah dan masing-masing rantai digunakan sebagai cetakan pada proses PCR. denaturasi rantai DNA berlangsung pada suhu 94oC-95oC dengan selang waktu 15 detik hingga 2 menit. DNA dengan struktur yang komplek akan membutuhkan waktu yang lebih lama dalam tahap denaturasi. Hal ini akan berimplikasi pada turunnya kemampuan enzim taq DNA polimerase (Varghese, 1997 dalam Yuniarti, 2005)

(2) Annealing

Annealing merupakan tahapan penempelan primer pada DNA cetakan. Suhu annealing tergantung pada panjang dan jumlah basa G (guanin) dan C (citocyn) yang terdapat pada primer serta konsentrasi garam dalam buffer.

Untuk teknik RAPD suhu annealing yang digunakan umumnya sebesar 36oC. Penggunaan suhu yang rendah pada tahap annealing, akan berdampak pada penempelan primer pada DNA cetakan menjadi tidak spesifik. Sebaliknya suhu yang terlalu tinggi akan meningkatkan kespesifikan hasil amplifikasi tetapi jumlahnya menjadi berkurang. Setelah proses annealing selesai suhu dinaikkan menjadi 70 – 74oC untuk mengaktifkan enzim Taq DNA polimerase. Pada tahap transisi ini, ikatan-ikatan yang tidak spesifik antara primer dengan cetakan akan terputus, karena ikatan tidak spesifik tersebut umumnya lemah (Varghese, 1997 dalam Yuniarti, 2005)

(9)

(3) Ekstensi

Ekstensi merupakan tahap polimerisasi nukleotida oleh enzim Taq DNA polimerase. Reaksi polimerisasi nukleotida dimulai dari ujung 5’ – fosfat dan berakhir pada ujung 3’ gugus hidroksil (OH). Suhu yang digunakan pada tahap ini berkisar antara 70 – 74oC karena pada selang suhu tersebut enzim Taq DNA polimerase bekerja optimum. Lamanya tahap ekstensi berkisar dari 1 – 2 menit. Jika waktu pada tahap ini terlalu lama akan menghasilkan produk amplifikasi yang tidak spesifik (Varghese, 1997 dalam Yuniarti, 2005). Pembagian tahapan dan ilustrasi proses PCR disajikan dalam Gambar 4.

(10)

Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD)

Salah satu teknologi penanda genetik yang dapat dilakukan untuk mendapatkan bibit unggul dan berkualitas yaitu RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA). Penanda genetik RAPD meneliti DNA secara keseluruhan (total). DNA total memiliki sifat yang dinamis dan cepat berevolusi. RAPD adalah metode untuk mendeteksi dengan cepat genomik polymorfime DNA.

Secara umum teknik analisis genetik dengan RAPD terdiri dari empat tahap. Empat tahapan dalam proses RAPD adalah sebagai berikut :

(1) Tahap ekstraksi DNA

(2) Tahap pengujian kualitas dan kuantitas ekstraksi DNA (3) Tahap amplifikasi DNA dengan menggunakan teknik RAPD (4) Tahap pengujian kualitas dan kuantitas hasil amplifikasi

Daun yang masih muda dengan berat 0,2 g diketahui cukup untuk menghasilkan DNA yang sesuai dengan kebutuhan selama melakukan analisis. Perlu diketahui bahwa sel berkembang dengan cara menggandakan diri dan memperbesar volume sel. Oleh karena itu semakin muda suatu jaringan daun akan memberikan peluang yang lebih besar dalam menghasilkan DNA dalam jumlah yang lebih besar.

Teknik RAPD ini menggunakan oligonukleitida primer tunggal dan pendek yang akan menempel secara acak atau random dalam proses PCR low stringency dan menghasilkan serangkaian produk yang dianalisis dengan menggunakan gel agarose. RAPD digunakan untuk berbagai bidang antara lain : (1) Analisis keanekaragaman, (2) Hubungan antar filogenetik, (3) Identifikasi dan verifikasi galur, (3) Kesehatan dan Epidemiologi, (4) Teknologi Pangan dan (5) Ekologi Molekuler. Sedangkan kelebihan-kelebihan RAPD dibandingkan penanda DNA yang lainnya adalah : (1) Dapat digunakan secara umum sehingga DNA apa saja dapat dikelompokkan tanpa perlu mengetahui urutan DNAnya, (2) Sederhana karena tidak memerlukan DNA dalam jumlah besar, (3) Lebih menghemat tenaga, dan (4) Resolusi Tinggi.

Gambar

Tabel 1. Beberapa Penelitian Genetik Jati di Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Dengan pola yang berdasar pada kajian pragmatik, proses pembelajaran bahasa yang diterima oleh siswa secara otomatis akan mengacu pada suatu kondisi praktis

Subanji, Metode Silih Tnya Berbantuan Kartu Model Sebagai Alternatif Pembelajaran Inovatif dan Kreatif (Makalah disampaikan pada waktu workshop pembelajaran matematika kontemporer

Faktor yang mempengaruhi reaksi pencoklatan yaitu adanya proses kimia yang terjadi dalam buah dan sayur karena adanya enzim  polifenoloksidase dan oksigen yang

huruf a dan b perlu menetapkan Keputusan Lurah Desa Bangunjiwo tentang pembentukan tim penyusunan Profil Desa, Desa Bangunjiwo Kecamatan Kasihan Kabupaten Bantul;.. Mengingat

ganda dan atau essa $bser%asi Kiner!a he%klist obser)asi kiner!a saat melakukan pengamatan %ara ker!a enAme  J"rna atatan guru selama proses pembela!aran terkait

1 Tahun 2008 Tentang Pemberian Tambahan Penghasilan Bagi Pegawai Negeri Sipil Di Lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Dan Para Dokter Spesialis Yang

Gelaran aktuari yang diambil daripada perkataan aktuarius dihidupkan kembali di sekitar abad ke-18 oleh seorang Ketua Pegawai Eksekutif bagi merujuk kepada jawatan beliau

Menganalisa hasil data dari simulasi insiden energi arc flash yang telah dilakukan dengan standar IEEE 1584-2002 yang selanjutnya akan digunakan sebagai acuan