• Tidak ada hasil yang ditemukan

Optimalisasi Produksi Embrio dengan Penambahan Glutathione dalam Media Pematangan dan Kultur Embrio Kerbau Secara In Vitro

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Optimalisasi Produksi Embrio dengan Penambahan Glutathione dalam Media Pematangan dan Kultur Embrio Kerbau Secara In Vitro"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Optimalisasi Produksi Embrio dengan Penambahan Glutathione dalam Media Pematangan dan Kultur Embrio Kerbau Secara In Vitro

(Optimalisation embryo production by glutation addition in maturation media and buffalo embryo culture by in vitro condition)

oleh:

John Hendri1), Harissatria 1) dan Rica Mega Sari 1)

1)

Prodi Peternakan Fakultas Pertanian Univ. Muhammad Yamin Solok Email: johnhendri@ymail.com

ABSTRACT

The concentration of high fat content in the media oocyte maturation and embryo culture media water buffalo In Vitro very influential and sensitive to an increase in oxidative stress that occurs in conditions in vitro. An increase in oxidative stress were higher in the process of maturation and embryo culture in vitro of water buffalo, will result in low rate of maturation and the low percentage of fertilized oocytes in In Vitro. The purpose of this study was to determine the concentration of the addition of glutathione (GSH) is appropriate in the medium of water buffalo oocyte maturation in vitro. Increase the percentage of oocyte maturation and fertilization of buffalo in In Vitro. Materials used in this study is ovarian buffaloes and methods used in this study is the experimental method in the laboratory. Based on the results of this study concluded that the addition of glutathione, 1.5 mM in media oocyte maturation buffalo in vitro provide a significant influence on the percentage of maturation that (P <0:01) or 62.5% and in line with the high percentage of oocytes buffalo mature in the treatment of the addition of glutathione 1.5 mM, the percentage of fertilized oocytes were also higher, namely 88.98%.

Keywords: Maturation, fertilization, oocytes, buffalo, in vitro

PENDAHULUAN

Optimalisasi untuk meningkatkan

produktivitas produksi embryos kerbau secara In Vitro telah banyak dilakukan

dan diupayakan semaksimal mungkin

untuk penerapan teknologi reproduksi seperti Transfer Embrio (TE). Salah satu

keutamaan penerapakan aplikasi

teknologi fertilizationIn Vitro (FIV)

adalah untuk memproduksi embryos

secara banyak dan murah dan merupakan alternatif untuk meningkatkan populasi

ternak kerbau, meningkatkan

produktifitas dan mutu genetik ternak kerbau. Walaupun penerapan aplikasi

teknologi fertilizationIn Vitro akan

mendapatkan embryos secara banyak, murah dan seragam, tetapi kendala yang sering muncul selama proses maturation oocytes, fertilization dan cultureembryos kerbau secara In Vitro adalah tidak sempurnnya kesesuaian komposisi media maturation oocytes,

komposisi mediumcultureembryos

dengan kondisi fisiologis oosit kerbau yang di maturation secara In Vitro.

Ditinjau dari aspek fisiologis,

oosit dan embrio kerbau mengandung kadar lemak yang tinggi selama proses

(2)

maturation dan selama proses cultureembryos secara In Vitro(Boni et al., 1992). Konsentrasi kadar lemak yang tinggi pada medium maturation oocytes

dan medium cultureembryos kerbau

secara In Vitro, sangat berpengaruh dan

sensitif terhadap peningkatan stres

oksidatif yang terjadi dalam kondisi In Vitro(Gasparrini et al., 2003).

Upaya untuk mengurangi

peningkatan terjadinya stres oksidatif

yang disebabkan oleh semakin

meningkatnya kadar lemak dalam

medium maturation dan medium culture yang di sekresikan oleh oocytes dan embryos, maka diperlukan bahan-bahan kimia tertentu untuk mengurangi resiko tersebut selama proses maturation dan cultureembryos secara In Vitro. Salah satu bahan kimia yang dapat mengurangi stres oksidatif bagi sel mamalia yang di maturation dan selama culture secara In Vitro adalah glutathione (GSH) (De Matos dan Furnus, 2000).

Glutathione (C10,H17,N3O6S) dan derivatnya yang merupakan tri-peptida

(y-Glu-Cys-Gly) dapat mempengaruhi

banyak aspek metabolisme, diantaranya membantu detoksifikasi dan transport

dari y-glutamilamino acid, sehingga

diharapkan dapat meningkatkan

persentase fertilizationIn Vitro yang pada akhirnya bisa meningkatkan persentase embryos sampai morula dan blastosist (De Matos dan Furnus, 2000).

Belum optimalnya tingkat

keberhasilan teknologi FIV pada kerbau yang disebabkan tingginya kadar lemak

pada saat maturation dan culture

embryos In Vitro, maka dilakukan upaya untuk meningkatkan keberhasilan (FIV)

dengan berbagai perlakuan seperti

penambahan bahan kimia glutathione

(GSH) dengan konsentrasi yang tepat kedalam medium maturation oosit dan medium culture embryos secara In Vitro.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilakukan di

Laboratorium Fisiologi Reproduksi,

Fakultas Peternakan Universitas

Andalas. Ovary kerbau dikoleksi dari Rumah Potong Hewan (RPH) sebagai sumber sel telur (oocytes), segera

setelah kerbau dipotong dengan

menggunakan medium

Phosphate-buffered saline (PBS) bersuhu sekitar 35°C dalam termos. Setibanya di laboratorium ovary dicuci dengan PBS segar dan ditempatkan di gelas piala dalam air bersuhu 37°C. Dari folikel berukuran <5 mm, oocytes diaspirasi dengan medium PBS menggunakan spoit 10 cc dan jarum suntik berukuran 18 G. Setelah ovarr diaspirasi oocytes nya, maka dilakukan pengirisan untuk mencari oocytes yang mungkin masih

tertinggal didalam medium dengan

cara mengiris ovary secara hati-hati

dan kemudian disemprot dengan

medium PBS dan ditampung dalam cawan petri berdiameter 5 cm. Oosit dari tabung kerucut dipindahkan dalam cawan petri berdiameter 10 cm dengan menggunakan pipet pasteur steril.

Oocytes dikoleksi dan diseleksi dibawah mikroskop stereo, kemudian di culture dalam medium maturation

TCM-199 yang diperkaya dengan

FSH, serum dan gentamicin di dalam incubator Co2 5% bersuhu 38.5°C dan kelembaban 90% selama 24 jam. Pada

medium maturation TCM-199

dilakukan penambahan glutathione

dengan konsentrasi 0, 0.5, 1, dan 1.5 mM sebagai perlakuan A, B, C dan D. Semen kerbau pejantan diperoleh dari

RPH Bandar Buat Padang dan

dikoleksi dilaboratorium menggunakan spoit 10 ml dan dilakukan penekanan disetiap saluran epididymis. Oocytes

yang telah mengalami maturation

(3)

dicuci dengan media TCM-199 dua kali dan sekali dalam medium fertilization, kemudian ditempatkan dalam medium

Tyrode's albumin lactate pyruvate

(TALP) 5 ml dan di injeksikan kedalam medium fertilization dengan konsentrasi 1 x sel spermatozoa (Triwulanningsih et al., 2001 a).

Setelah diinkubasi bersama sperma selama 18 jam dalam incubator Co2 5%, oocytes dicuci dengan medium TALP 2

kali untuk menghilangkan sel-sel

cumulus yang masih menempel di

sekeliling oocytes. Selanjutnya oocytes dicuci kembali dalam medium TALP satu kali dan menghitung jumlah oocytes fertilized pada masing-masing perlakuan. Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah persentase oocytes kerbau

yang meture dalam masing-masing

media perlakuan penamabahan

glutathione (GSH) secara In Vitro.

Persentase oocytes kerbau fertilized

setelah dimatangkan dalam

masing-masing perlakuan medium maturation

secara In Vitro. Metode yang digunakan

dalam penelitian ini adalah metode

eksperimen dan rancangan yang

digunakan adalah Rancangan Acak

Kelompok (RAK) dengan 3 perlakuan dan 6 ulangan sebagai kelompok. Data

yang diperoleh dianalisa secara

statistik dengan menggunakan sidik

ragam.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Persentase oosit kerbau yang matang

dalam masing-masing media

Perlakuan penamabahan glutathione (GSH) secara In Vitro

Hasil penelitian yang dilakukan

memperlihatkan bahwa persentase

tertinggi oocytes kerbau yang matang atau mencapai M-II yang dimatangkan menggunakan inkubator selama 24 jam dalam media TCM-199 adalah oosit yang dimatangkan dengan penambahan

gluthatione 1.5 mM. Tingkat

kematangan pada masing-masing

perlakuan dapat dilihat pada Tabel 2 di bawah ini :

Tabel 2. Persentase Oosit Kerbau yang Matang pada Berbagai Penambahan Gluthatione (%)

Perlakuan n Persentase Oosit Kerbau Matang (%)

A (kontrol, 0% Gluthatione ) 213 30.49a

B (0.5 Gluthatione) 211 31.91 a

C (1.0 Gluthatione) 211 42.23 a

D (1.5 Gluthatione) 211 62.51 b

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0.01).

Hasil analisis statistik

me-nunjukkan bahwa penambahan

gluthatione 1.5 mM dalam medium

maturation oosit kerbau secara in vitro

menghasilkan persentase maturation

sangat nyata (P<0.01) lebih tinggi

dibandingkan maturation dengan

penambahan gluthatione 0 mM, 0.5 mM dan 1.0 mM GSH. Sedangkan persentase

maturation oosit kerbau dengan

penambahan gluthatione 0 mM, 0.5

mM dan 1.0 mM GSH tidak

menunjukkan perbedaan yang nyata

(P>0.05). Hal ini berarti bahwa

penambahan gluthatione 1.5 mM

dalam medium maturation oosit kerbau

cukup efektif untuk meningkatkan

keberhasilan maturation oosit kerbau secara in vitro.

(4)

Persentase maturation yang lebih tinggi pada penambahan gluthatione 1.5 mM GSH diduga karena konsentrasi gluthatione 1.5 mM tersebut cukup efektif menahan stress oksidatif yang disebabkan oleh tingginya kadar lemak yang di sekresikan oleh oosit kerbau selama proses maturation. Lebih lanjut

dijelaskan bahwa GSH memberi

perlindungan terhadap kerusakan

oksidatif yang terdapat dalam dua bentuk yaitu bentuk mereduksi (GSH) dan

bentuk mengoksidasi (GSSG).

Glutathione melindungi terhadap

reactive oxygen species (ROS) dengan cara difasilitasi oleh interaksi dengan

enzim-enzim seperti glutathione

peroksidase dan glutathionereduktase.

Dalam jaringan hewan,

glutathioneperoksidase merupakan suatu

selenium yang mengandung enzim

antioksidan, mempercepat reduksi

hydrogen peroksidase dan lipidperoksida

dengan adanya GSH yang akan

dikonversi menjadi GSSG.

Mayor et al., (2001) menyatakan bahwa penambahan 1 mM GSH dalam medium maturation dapat meningkatkan level GSH intraseluler (3,23 pmol/oosit) dibandingkan dengan tanpa penambahan dan penambahan 0,25, dan 0,5 mM pada oosit kambing prepubertas. Konsentrasi GSH intraseluler pada proses maturation oosit in vitro mencerminkan tingkat pematangan sitoplasma (Funahashi etal., 1994), dan mungkin merupakan suatu indikator yang berharga dari pematangan sitoplasma (de Matos et al., 1997, Abeydeera etal., 1998, Furnus et al. 1998, de Matos dan Furnus, 2000).

Sintesis GSH intraseluler secara

normal berlangsung selama proses

maturation sehingga penambahan GSH

eksogen tidak berpengaruh nyata

terhadap tingkat maturation inti sel. de Matos et al., (2002) menyatakan bahwa

GSH disintesis selama proses

maturation baik secara in vivo maupun secara in vitro. Lebih lanjut dinyatakan bahwa konsentrasi GSH intraseluler oosit domba yang dimatangkan secara in vitro menggunakan medium TCM-199 berkisar antara 4,2–6,5 pmol/oosit sedangkan yang dimatangkan secara in vivo berkisar 6,38±1,58 pmol/oosit (Livingston et al., 2009). Hal tersebut menunjukkan bahwa konsentrasi GSH intraseluler pada oosit domba yang dimatangkan secara in vitro dan in vivo

tidak jauh berbeda, sehingga

penambahan GSH dalam medium

maturation tidak memberikan pengaruh

yang optimal terhadap peningkatan

jumlah oosit yang mencapai tahap

metaphase II (MII), meskipun

memperlihatkan adanya

kecende-rungan peningkatan seiring dengan

peningkatan konsentrasi GSH yang

ditambahkan.

Beberapa peneliti mendapatkan

bahwa penambahan GSH mungkin

memberikan pengaruh yang positif

pada maturation sitoplasma sehingga

bisa mendukung pembentukan

pronukleus pada penelitian ini.

Penambahan GSH hanya pada medium

culture hasilnya lebih baik

dibandingkan dengan kontrol, karena

penambahan GSH saat culture

mungkin membuat kondisi culture

lebih baik dari pada kontrol sehingga

jumlah pronukleus yang terbentuk

lebih banyak. Karja et al., (2006) menyatakan bahwa terjadi penurunan konsentrasi GSH di dalam sel mulai

dari unfertilized oosit sampai

berkembang menjadi blastosis. Lebih lanjut Kim et al., (1999) dan Zuelke et al., (2003) menjelaskan bahwa pada oosit yang mature, GSH mempunyai

peran yang penting dalam

(5)

fertilisasi. Maedomari et al., (2007) menyatakan bahwa GSH yang terdapat pada sitoplasma oosit berperan dalam proses pembentukan pronukleus dimulai

dari pemecahan ikatan disulfida

membran inti yang dilanjutkan dengan inisiasi dekondensasi kromosom.

Tidak berpengaruh nyata tingkat maturation oosit dan tingkat fertilisasi oosit kerbau secara in vitro pada perlakuan 0 mM, 0.5mM dan 1.0mM GSH disebabkan karena pada dosis GSH

tersebut belum mampu mengurangi

konsentrasi lemak dan belum efektif menahan sters oksidatif yang disebabkan oleh tingginya kadar lemak dalam media maturation oosit kerbau secara In Vitro.

Selain dari hal tersebut penyebab

rendahnya angka pematangan dan

fertilisasi oosit kerbau secara in vitro pada perlakuan 0 mM, 0.5 mM dan 1.5 mM GSH kemungkinan disebabkan oleh

adanya perbedaan individu

kerbau/ovarium sebagai sumber oosit. Sebab setiap kali koleksi ovarium dari RPH, tidak semua ovarium berasal dari

kerbau yang berumur sama, tetapi

berasal dari kerbau afkir, kerbau terlalu muda atau kerbau yang sering dipakai sebagai tenaga kerja, sehingga kualitas oosit sebelum diberi perlakuan juga bervariasi yang mengakibatkan besarnya

keragaman hasil. Hal ini dapat diatasi

dengan memperbanyak ulangan

(Triwulanningsih et al., 2002).

Tidak berpengarunya tingkat

maturation dan fertilization oosit

kerbau tersebut secara in vitro sesuai dengan pendapat Triwulanningsih et al., (2002) yang didapatkan dalam hasil penelitiannya yaitu (0; 0,25; 0,50; 0,75 dan 1,0 mM) pada medium fertilization tidak berpengaruh terhadap rataan persentase pembelahan oosit, morula, blastosist H8, oosit tidak terbuahi dan oosit yang mengalami degenerasi, sedangkan ulangan sebagai kelompok memberikan pengaruh yang cukup nyata.

Persentase oosit kerbau yang terfertilisasi dalam masing-masing media perlakuan penamabahan glutathione (GSH) secara In Vitro

Hasil penelitian yang dilakukan

memperlihatkan bahwa persentase

tertinggi oosit kerbau yang terfertilisasi adalah oosit yang dimatangkan dengan

penambahan gluthatione 1.5 mM.

Tingkat fertilization pada

masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3. Persentase Oosit Kerbau yang terfertilisasi pada Berbagai Penambahan Gluthatione (%)

Perlakuan n Persentase Oosit Kerbau

Terfertilisasi (%)

A (kontrol, 0% Gluthatione ) 65 33.43a

B (0.5 Gluthatione) 67 47.60 a

C (1.0 Gluthatione) 89 48.50 a

D (1.5 Gluthatione) 132 88.98 b

Keterangan: Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda sangat nyata (P<0.01).

Hasil analisis statistik

menunjukkan bahwa penambahan

gluthatione 1.5 mM dalam medium

maturation oosit kerbau secara in vitro

menghasilkan persentase oosit

(6)

lebih tinggi dibandingkan maturation dengan penambahan gluthatione 0 mM, 0.5 mM dan 1.0 mM. Sedangkan

persentase fertilization oosit kerbau

dengan penambahan gluthatione 0 mM, 0.5 mM dan 1.0 mM tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0.05). Hal ini berarti bahwa penambahan gluthatione 1.5 mM dalam medium maturation oosit

kerbau cukup efektif untuk

meningkatkan keberhasilan fertilization

oosit kerbau secara in vitro.

Hasil penelitian tersebut dapat

dilihat bahwa semakin tinggi tingkat keberhasilan maturation inti oosit secara in vitro, akan memberikan dampak

secara langsung terhadap tingkat

fertilization. Hal ini diduga bahwa

peranan penambahan gluthatione sangat penting dilakukan pada saat maturation oosit kerbau secara in vitro. Pada saat maturation oosit kerbau secara in vitro,

gluthatione berfungsi menekan stress

oksidatif yang disekresikan oleh sel-sel dan oosit pada saat pematangan sehingga pada waktu oosit difertilisasi dengan spermatozoa cauda epididimis, maka akan semakin tinggi tingkat keberhasilan fertilization secar in vitro.

Persentase oosit terfertilisasi yang

lebih tinggi pada penambahan

gluthatione 1.5 mM diduga karena

peranan gluthatione yang sangat penting terhadap mengurangi stress oksidatif sel

oocytes. Hasil penelitian ini sesuai

dengan hasil yang dikemukakan oleh

Urdaneta et al., (2004) bahwa

penambahan 1,0 mM GSH dalam

medium fertilization meningkatkan

angka fertilization dari 10.61% menjadi

30.20% dibandingkan dengan tanpa

penambahan GSH pada oosit kambing prepubertas. Lebih lanjut Kim et al., (1999) juga melaporkan penambahan 1 mM GSH dalam medium fertilization, jumlah embrio sapi yang mencapai tahap

blastosis lebih tinggi (27.3%)

dibandingkan dengan 0 mM (20.1%), 0.1 mM (21.8%) dan 10 mM (8.9%).

Selanjutnya Maedomari et al., (2007) menyatakan bahwa GSH yang terdapat pada sitoplasma oosit berperan dalam proses pembentukan pronukleus

dimulai dari pemecahan ikatan

disulfide membran inti yang

dilanjutkan dengan inisiasi

dekondensasi kromosom. Lebih lanjut

Zuelke etal., (2003) menjelaskan

bahwa pada oocytes yang matang, GSH mempunyai peran yang penting dalam pembentukan pronukleus jantan setelah fertilisasi.

Lee et al., (2003) menjelaskan

bahwa faktor utama yang

mengakibatkan kegagalan

pembentukan pronukleus jantan setelah

intracytoplasmic sperm injection

(ICSI) pada oosit babi adalah

konsentrasi GSH. Konsentrasi GSH

dalam sitoplasma oosit hasil

pematangan in vitro tergantung pada kondisi awal proses pematangan yang

ditentukan oleh keberadaan sel-sel

kumulus. Konsentrasi GSH dalam

oosit menunjukkan tingkat

kema-tangannya dan GSH memengaruhi

keberhasilan dan perkembangan

embrio selanjutnya (Maedomari et al., 2007, Furnus et al., 2008). Lebih lanjut dijelaskan bahwa di bawah kondisi fisiologi, level GSH tinggi pada oosit

tikus dan hamster, penting untuk

pembentukan pronukleus jantan setelah

fertilisasi dan mendukung

perkem-bangan embrio dini (Zuelke et al., 2003).

Rendahnya angka fertilisasi pada perlakuan 0 mM, 0.5mM dan 1,0mM

GSH adalah berkemungkinan tidak

semua oosit telah mencapai stadium

metaphase II, pada saat setelah

(7)

melakukan pembelahan dengan

sempurna. Menurut De Matos dan

Furnus (2000), glutathione dapat

meningkatkan laju pembelahan atau

cleavage rate dan perkembangan embrio

sampai tahap blastosis, selanjutnya

dijelaskan bahwa penggunaan

glutathione pada medium fertilization

dapat meningkatkan penetrasi

spermatozoa pada saat fertilisasi in vitro, sehingga diharapkan dapat meningkatkan keberhasilan fertilisasi in vitro yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas blastosis yang dihasilkan.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian pada tahun pertama ini dapat disimpulkan bahwa penambahan glutathione 1.5 mM pada medium maturation oocytes kerbau secara in vitro memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap persentase angka maturation yaitu (P<0.01) atau 62.5 % dan seiring dengan tingginya persentase oosit yang matang pada perlakuan penambahan glutathione 1.5 mM, maka persentase oosit yang berhasil terfertilisasi juga semakin tinggi yaitu 88.98 %.

DAFTAR PUSTAKA

Abeydeera LR, Wang WH, Cantley TC, Rieke A, Day BN. 1998. Coculture with follicular shell pieces can

enhance the developmental

competence of pig oocytes after in

vitro fertilization: Relevance to

intracellular glutathione. Biology

Reprod 58: 213-218.

Boni, R., Sangella, L., Dale, B., Rovello, S., Di Palo, R., Barbieri, V., 1992. Maturazione in vitro di oociti bufalini: indagine ultrastrutturale. Acta Med. Vet. 38:153-161.

de Matos DG, Furnus CC, Moses DF.

1997. Glutathione synthesis

during in vitro maturation of bovine oocytes: Role of cumulus cells. Biol Reprod 57: 1420-1425.

De Matos D.G. and C.C.Furnus. 2000.The importance of having

high glutathione (GSH) level

after bovine in vitro maturation on embryo development. Effect of beta-mercaptoethanol, cystein

and cystine. Theriogenology

53:761-771.

Funahashi H, Cantley TC, Stumpf TT, TerlouwSL, Day B. 1994. Use of

low-salt culturemedium with

elevated oocyte glutathionelevels

and enhanced male

pronuclearformation after in vitro fertilization. BiolReprod 51: 633-639.

Furnus CC, de Matos DG, Moses DF. 1998.Cumulus expansions during

in vitromaturation of bovine

oocytes: Relationshiplevel and its

role on subsequent

embryodevelopment. Mol

Reprod Dev 51: 76-83.

Furnus CC, de Matos DG, Picco S, Garcia PP,Inda AM, Mattioli G,

Errecalde AL. 2008.Metabolic

requirements associated

withGSH synthesis during in

vitro maturationof cattle oocytes. Anim Reprod Sci 109: 88-99. Gasparrini, B., Sayoud, H., Neglia, G.,

de Matos, D., Donnay, I.,

Zicarelli, L., 2003. Glutathione

synthesis during in vitro

(8)

bubalis) oocytes: effects of

cysteamine on embryo

development. Theriogenology

60:943-952.

Karja NWK, Kikuchi K, Fahruddin M, Ozawa M, Somfai T, Ohnuma K, Noguchi J, Kaneko H, Nagai T.

2006. Development to the

blastocyst stage, the oxidative

state, and the quality of early developmental stage of porcine embryos cultured in alteration of

glucose concentrations in vitro

under different oxygen tensions. ReproductiveBiology and Endocri-nology 4:54.

Kim I.H., A Van Langendockt, A. Van Soom, G. Van Roose, A.L.Casi, P.J.M. Hendriksen. and M. Bevers.

1999. Effect of exogenous

glutathione on in vitro fertilization of bovine oocytes. Theriogenology. 52:537- 547.

Lee J, Tian XC, Yang X. 2003. Failure of male pronucleus formation in

the major cause of lack of

fertilization and embryo

development in pig oocytes

subjected to intracytoplasmic

sperm injection. Biol Reprod 68: 1341-1347.

Livingston T, Rich K, MacKenzie S,

Godkin JD. 2009. Glutathione

content and antioxidant enzyme expression of in vivo matured sheep oocytes. Anim Reprod Sci 116: 265-273.

Maedomari N, Kikuchi K, Ozawa M, Noguchi J, Kaneko H, Ohnuma K, Nakai M, Shino M, Nagai T, Kashiwazaki N. 2007. Cytoplasmic

glutathione regulated by cumulus

cells during porcine oocyte

maturation affects fertilization

and embryonic development in vitro. Theriogenology 67: 983-993.

Mayor P, Lopez-Bejar M, Rodriguez-Gonzalez E, Paramio MT. 2001.

Effects of the addition of

glutathione during maturation on

in vitro fertilization of

prepubertal goat oocytes. Zygote 9: 323-330.

Steel, R.G.D dan J.H. Torrie. 1995. Prinsip Dan Prosedur Statistika.

Penterjemah Bambang

Sumantri. Gramedia Pustaka,

Jakarta.

Triwulanningsih, E., M. R. Toelihere, T. L. Yusuf, B. Purwantara dan K. Diwyanto. 2001a. Seleksi dan

kapasitasi spermatozoa dengan

metode percoll gradient untuk

fertilisasi oosit dan produksi

embrio in vitro pada Sapi (unpublished).

Triwulanningsih, E, P. Situmorang, I. G. Putu, T. Sugiarti, A. M. Lubis,

D. A. Kusumaningrum, W.

Caroline dan R. G Sianturi. 2002.

Penggunaan Glutathione dalam

Medium Fertilisasi Guna

Meningkatkan Persentase

Blastosis Embrio Sapi. JITV Vol. 7. No. 2.

Urdaneta A, Jimenez AR, Paramio

MT, Izquierdo D. 2004.

Cysteamine, glutathione and

ionomycin treatments improve in vitro fertilization of pre pubertal

(9)

goat oocytes. Zygote 12: 277-284. Zuelke KA, Jeffay SC, Zucker RM,

Perreault SD. 2003. Glutathione (GSH) concentrations vary with

the cell cycle in maturing

hamster oocytes, zygotes, and pre-implantation stage embryos. Mol Reprod Dev 64: 106-112.

Referensi

Dokumen terkait

Sungai di Indonesia selama ini banyak dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitarnya sebagai sumber air domestik, industri, pertanian, maupun tempat pemhuangan limbah,

Berdasarkan teori-teori yang digunakan sebagai landasan dalam penelitian mengenai pengaruh endorser terhadap perilaku pembelian konsumen maka dapat dirumuskan

Pada kelompok WPS langsung sekitar 80 persen yang terkena gejala IMS adalah mereka yang tidak memakai kondom dalam seks komersial terakhir, sementara dari kelompok responden

Formulir Penjualan Kembali Unit Penyertaan DANAREKSA ANGGREK FLEKSIBEL yang telah dipenuhi sesuai dengan syarat dan ketentuan yang tercantum dalam Prospektus

Metode analisis data menggunakan path analysis dengan bantuan spss 22 Hasil penelitian yang menggunakan metode analisis jalur didapatkan data bahwa

Hasil penelitian yang diperoleh adalah sebagai berikut: (1) Penilaian konsumen terhadap experiential marketing pada BreadTalk dinilai baik karena berada pada kategori baik

Terciptanya kerukunan antar umat beragama melalui dialog lintas iman tidak hanya dibebankan kepada para tokoh agama maupun pemerintah, melainkan juga menjadi

Penelitian ini dilakukan untuk menguji pengaruh variabel pembiayaan Ijarah dan Biaya Operasional Pendapatan Operasional (BOPO) terhadap profitabilitas ROA (Return on