• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laporan Hasil SSP 2002 Jawa Barat. iii. iii

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Laporan Hasil SSP 2002 Jawa Barat. iii. iii"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Kata Pengantar

Badan Pusat Statistik (BPS) dipercaya oleh Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PPM & PL) – Departemen Kesehatan dan Proyek Aksi Stop AIDS (ASA) yang didukung oleh Family Health International dan the United State AID (FHI & USAID) untuk melaksanakan “Behavioral Surveilans Survey (BSS) di Indonesia. BSS yang selanjutnya di Indonesiakan dengan nama Survei Surveilans Perilaku (SSP) dilaksanakan di 12 lokasi terpilih dan terletak di 10 propinsi yang menjadi target wilayah kerja ASA/FHI.

SSP merupakan suatu kegiatan baru bagi BPS, untuk itu pelaksanaannya dilakukan dalam 2 tahap. Tahap pertama yang merupakan tahap pengembangan dan sekaligus pembelajaran dilaksanakan antara bulan Juni-Agustus 2002, mencakup 3 lokasi di 3 propinsi, yaitu Kota Medan/Kabupaten Deli Serdang (Sumatera Utara), Kabupaten Kepulauan Riau (Riau), dan Jakarta Utara/Jakarta Pusat (DKI Jakarta).

Tahap kedua yang merupakan tahap implementasi mencakup 9 lokasi (di 7 propinsi), dilaksanakan dalam 2 periode pelaksanaan, yaitu pada bulan Oktober 2002 di Kabupaten Karawang/Kabupaten Bekasi/Kota Bekasi (Jawa Barat), Kota Surabaya (Jawa Timur), Kota Manado/Kota Bitung (Sulawesi Utara), Kabupaten Merauke (Papua), dan pada bulan Februari-April 2003 di Kota Palembang (Sumatera Selatan), Kota Semarang (Jawa Tengah), Kota Jayapura (Papua), Kota Sorong (Papua), dan Kota Ambon (Maluku).

Secara teknis penyelenggaraan SSP dibantu oleh ASA/FHI, Direktorat Pemberantasan Penyakit Menular dan Lingkungan (Dit. P2ML) – Ditjen PPM & PL, Departemen Kesehatan, dan Population Council. Tim teknis dari ASA/FHI, Dit. P2ML, dan BPS secara bersama-sama menyusun metodologi, manual, dan kuesioner, termasuk menjadi tim instruktur dan supervisi, sedangkan Population Council membantu antara lain dalam penyiapan materi/manual pelatihan untuk instruktur, memberikan pelatihan instruktur, dan sebagai narasumber ahli mulai dari penyusunan instrumen sampai dengan pelaksanaan lapangan SSP tahap pertama.

Pelaksanaan SSP juga dibantu oleh Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) di tingkat pusat, dan Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) di tingkat propinsi dan kabupaten/kota, serta dari Dinas terkait di daerah, khususnya Dinas Kesehatan Propinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, Dinas Sosial, Dinas Pariwisata, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di tingkat kabupaten/kota.

Pimpinan BPS menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada pimpinan ASA/FHI dan USAID Jakarta, pimpinan Ditjen PPM & PL, dan pimpinan Population Council yang telah mendukung terselenggaranya survei ini. Ucapan terima kasih kami sampaikan pula kepada tim teknis SSP, khususnya Elizabeth Pisani dan Pandu Riono dari ASA/FHI, Saiful Jazan, Naning Nugrahini, dan Indrawati dari Dit. P2ML, serta seluruh anggota tim teknis dari BPS.

Semoga buku ini memberi kontribusi yang berarti bagi upaya penanggulangan penyebaran HIV/AIDS, khususnya di Indonesia.

Jakarta, Juni 2003

Kepala Badan Pusat Statistik

(4)

Kata Pengantar

Pada saat ini, Indonesia tengah menghadapi berbagai masalah kesehatan masyarakat yang sangat memprihatinkan. Salah satu diantaranya adalah memburuknya situasi epidemik HIV/AIDS dimana Indonesia sudah digolongkan sebagai Negara dengan “concentrated level epidemic”. Artinya prevalensi HIV/AIDS sudah mencapai 5 % atau lebih pada tempat-tempat dan kelompok sub populasi tertentu.

Banyak upaya-upaya yang telah dilakukan baik oleh pemerintah maupun swasta dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia namun upaya-upaya tersebut tampaknya kurang memadai dan menjangkau sasaran. Menyadari hal tersebut Departemen Kesehatan menyambut dengan gembira hasil Keputusan Lokakarya Surveilans Nasional HIV di Jakarta pada bulan April 2001, yang antara lain merekomendasikan perlunya pengembangan Survei Surveilans Perilaku pada kelompok-kelompok tertentu untuk keperluan perencanaan, deteksi dini dan untuk mendapatkan informasi untuk melaksanakan kegiatan upaya penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia.

Pada tahap uji coba pengembangan alat untuk melakukan Survei Surveilans Perilaku ini, Departemen Kesehatan mengucapkan terima kasih atas dukungan teknis dari ASA/FHI Indonesia, IHPCP (AusAID), Prof. Budi Utomo dari Population Council dan Badan Pusat Statistik sebagai pelaksana survei.

Kami menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada semua pihak baik secara perorangan maupun secara kelembagaan, yang telah berpartisipasi pada pelaksanaan Survei Surveilans Perilaku ini.

Pada akhirnya saya berharap semoga laporan hasil Pelaksanaan Survei Surveilans Perilaku ini dapat bermanfaat dan ditindak lanjuti dengan Upaya Penanggulangan HIV/AIDS yang lebih nyata baik oleh pemerintah, swasta, dan masyarakat.

Jakarta, Mei 2003

Direktur Jenderal PPM & PL, Depkes RI

(5)

Daftar Isi

Kata Pengantar

i

Daftar Isi

iii

Daftar Gambar

v

Tabel Indikator Kunci

vii

1. Pendahuluan

1

Latar Belakang 1

Survei Surveilans Perilaku 1

Sasaran Survei 2

Metode Survei 3

Sketsa Lokasi 5

2. Karakteristik Sosial dan Demografi

7

Struktur Umur 7

Status Perkawinan 7

Tingkat Pendidikan 8

Daerah Asal 8

Mobilitas 9

Umur Pertama Kali Berhubungan Seks 9

Lama Bekerja 10

Tarif 10

Rata-rata Pendapatan 11

3. Pengetahuan tentang HIV/AIDS

13

Pernah Mendengar HIV/AIDS 13

Pengetahuan mengenai HIV/AIDS 17

Cara tepat untuk Mengetahui Seseorang Telah Tertular HIV/AIDS 14

Pemahaman tentang Cara Menghindari Tertular HIV/AIDS 15

(6)

4. Persepsi Berisiko

19

Merasa Berisiko 19

Persepsi Tidak Berisiko di antara Kelompok Berisiko 19

Hubungan antara Merasa Berisiko dengan Tingkat Pendidikan 20

5. Pola Perilaku Berisiko

23

Penggunaan Kondom 23

Antara Pengetahuan dan Perilaku 24

Seks Anal dan Narkoba 26

6. IMS dan Perilaku Pencarian Pengobatan

29

Infeksi Menular Seksual (IMS) 29

Jenis Keluhan IMS 30

Tempat Berobat 31

7. Kesimpulan dan Saran

33

Pengetahuan dan Persepsi Berisiko 33

Perilaku Berisiko dan Kondom 34

Kesehatan dan Pemeliharaan Kesehatan 34

(7)

Daftar Gambar

Gambar Judul Gambar

2.1 Struktur Umur Responden 2.2 Tingkat Pendidikan Responden 2.3 Propinsi Asal Responden

2.4 Pasangan Seks Pertama Kali pada Responden Pria

2.5 Rata-rata Uang Jasa Seks Komersial pada Hubungan Seks yang Terakhir 3.1 Responden yang Pernah Mendengar HIV/AIDS

3.2 Tingkat Pengetahuan tentang HIV/AIDS

3.3 Tingkat Pengetahuan tentang Cara yang Tepat untuk Mengetahui Seseorang Telah Tertular HIV/AIDS

3.4 Cara yang Diketahui agar Tidak Tertular HIV/AIDS

3.5 Tingkat Pengetahuan Responden Pria tentang Penggunaan Kondom Dapat Mencegah Tertular HIV/AIDS

3.6 Pengetahuan yang Salah tentang Cara Menghindari Tertular HIV/AIDS 4.1 Responden yang Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS

4.2 Responden yang Tidak Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS menurut Alasannya 4.3 Responden yang Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS menurut Tingkat Pendidikan 5.1 Tingkat Penggunaan Kondom pada Seks Komersial

5.2 Tahu bahwa Kondom dapat Mencegah Penularan HIV/AIDS tetapi Tidak Menawarkan dan Tidak Memakainya dalam Hubungan Seks Komersial Terakhir 5.3 Responden Pria yang Tahu Pencegahan HIV/AIDS tetapi Tidak Menerapkannya

dalam Hubungan Seksual

5.4 Alasan Tidak Menggunakan Kondom pada Seks Komersial Terakhir

5.5 Responden dan Masing-masing Pasangan Seksnya yang Pernah Menggunakan Narkoba Suntik

6.1 Pemakaian Kondom pada Responden yang Mengalami Gejala IMS 6.2 Jenis Keluhan IMS

6.3 Responden yang Pernah Mengalami Gejala IMS menurut Cara yang Dilakukan saat Mengalami Gejala IMS tersebut

6.4 Responden yang Mengalami Gejala IMS menurut Tempat Berobat/Fasilitas Kesehatan

(8)
(9)

Tabel Indikator Kunci

Indikator WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria

1. Persentase yang pernah mendengar HIV/AIDS 64,4 90,0 47,3 2. Persentase yang mengetahui cara pencegahan dengan

menggunakan kondom saat berhubungan seks 30,8 62,0 23,0 3. Persentase yang pernah berhubungan seks dengan WPS

dalam setahun terakhir - - 25,5

4. Persentase yang mempunyai lebih dari satu pasangan

seks dalam setahun terakhir - - 25,2

5. Rata-rata jumlah tamu/pelanggan yang dilayani dalam

seminggu terakhir 4,2 1,5 -

6. Persentase yang menggunakan kondom pada seks

komersial terakhir 18,9 45,8 4,9

7. Persentase yang selalu menggunakan kondom pada seks komersial dalam setahun terakhir untuk

responden pria dan seminggu terakhir untuk WPS 3,3 19,6 1,0 8. Persentase yang pernah menggunakan narkoba suntik 0,0 1,0 0,7

9. Persentase yang mengalami gejala infeksi menular

seksual (IMS) dalam setahun terakhir 32,8 13,0 14,5

10. Persentase yang berobat ke petugas kesehatan bagi

yang mengalami gejala PMS dalam setahun terakhir 70,7 42,3 46,5

(10)
(11)

1

Pendahuluan

Latar Belakang

Epidemi HIV/AIDS telah melanda dunia, tidak terkecuali Indonesia. Penyakit ini menyebar dengan cepat tanpa mengenal batas negara dan pada semua lapisan penduduk. Badan Dunia (PBB) menyatakan bahwa pada tahun 1999 AIDS telah merupakan penyebab kematian nomor 4 di dunia setelah penyakit jantung, hipertensi/stroke, dan infeksi saluran pernafasan. Melihat kecenderungannya, maka bukan tidak mungkin penyakit ini akan menjadi pembunuh nomor 1 di dunia.

Secara nasional prevalensi HIV/AIDS di Indonesia mungkin masih tergolong rendah dibandingkan dengan banyak negara lainnya. Namun demikian, perkembangan kasus yang muncul dalam beberapa tahun terakhir sangat mengkhawatirkan, khususnya yang ditemukan pada penduduk berisiko tinggi seperti penjaja seks dan pelanggannya, pria yang berhubungan dengan pria, dan pengguna narkoba suntik.

Kecepatan penyebaran virus HIV terutama dipengaruhi oleh perilaku berisiko tinggi, dan upaya pencegahannya terutama juga diarahkan pada perubahan perilaku antara lain mencakup peningkatan penggunaan kondom dan pengurangan jumlah pasangan seksual, serta penurunan pemakaian bersama atau bergantian alat/jarum suntik pada pemakai narkoba.

Survei Surveilans Perilaku

Survei Surveilans Perilaku (SSP) adalah suatu proses sistematik dan kontinyu dalam pengumpulan, analisis, interpretasi, dan diseminasi informasi untuk memantau perilaku responden dalam masalah kesehatan, dalam hal ini perilaku berisiko terhadap tertularnya oleh HIV/AIDS. SSP merupakan bagian dari survei generasi kedua.

Surveilans HIV generasi kedua adalah surveilans yang memadukan surveilans perilaku ke dalam surveilans serologik HIV. Dalam hal ini, surveilans perilaku memperkuat surveilans serologik. Informasi hasil surveilans serologik akan semakin bermanfaat dengan adanya surveilans perilaku. Manfaat tersebut antara lain, dalam menumbuhkan perhatian, respon masyarakat terhadap pencegahan HIV, menentukan kelompok populasi sasaran, menentukan cara pencegahan, merencanakan upaya penanggulangan, dan memantau keberhasilan program.

Meskipun prevalensi HIV/AIDS di Indonesia masih tergolong rendah, namun perkem-bangannya sudah mengkhawatirkan WPS tidak langsung Surveilans generasi kedua yang memadukan surveilans perilaku ke dalam surveilans serologik akan memberikan

informasi yang lebih komprehensif sebagai dasar bagi pengembangan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS

(12)

Sampai saat ini, kegiatan surveilans HIV dibatasi hanya untuk mengetahui keberadaan virus HIV dalam sampel darah responden, yang biasa disebut surveilans serologik. Namun, bila sistem surveilans HIV hanya mencatat peningkatan prevalensi HIV, maka peluang pencegahan yang efektif telah hilang. Menerapkan surveilans perilaku di Indonesia merupakan upaya yang sangat bermanfaat untuk pencegahan epidemi HIV, karena epidemi HIV di Indonesia relatif masih belum berkembang. Prevalensi HIV masih rendah di banyak tempat, dan peluang untuk berkembangnya epidemi HIV masih dapat dicegah. Agar pencegahan lebih efektif maka sumber daya perlu dikonsentrasikan pada perubahan perilaku berisiko. Manfaat surveilans perilaku sebagai “sistem peringatan dini” dapat memberikan informasi tentang perilaku berisiko, dan masyarakat yang berperilaku berisiko.

Surveilans generasi kedua juga menekankan pada pemanfaatan hasil surveilans untuk menunjang upaya penanggulangan HIV/AIDS. Informasi SSP dapat membantu mengidentifikasi masyarakat yang mempunyai risiko terinfeksi HIV. Pemahaman ini diharapkan dapat membantu perencanaan intervensi penanggulangan, baik berupa upaya pencegahan, pengobatan maupun dukungan. Dalam perspektif yang lebih luas, surveilans HIV generasi kedua diharapkan menyediakan informasi yang dibutuhkan sebagai dasar pengembangan kebijakan penanggulangan HIV/AIDS lebih efektif.

Sasaran Survei

Untuk wanita, kelompok berperilaku berisiko tinggi adalah wanita yang paling sering berganti pasangan seks, seperti penjaja seks komersial yang melakukan transaksi secara terbuka di tempat lokalisasi/rumah bordil atau di jalanan (wanita pekeja seks langsung) dan wanita yang melayani seks pelanggannya untuk memperoleh tambahan pendapatan di tempat ia bekerja, seperti wanita yang bekerja di panti pijat/salon/spa, bar/karoke/ diskotek/café/restoran, dan hotel/motel/cottage (wanita penjaja seks tidak langsung).

Pengalaman dari negara lain menunjukkan bahwa laki-laki yang bekerja dan harus meninggalkan rumah atau keluarga dalam jangka waktu cukup lama adalah laki-laki yang cenderung membeli jasa seks, dan atau mempunyai pasangan seks lain selain isteri/pasangan tetapnya.

Survei Surveilans Perilaku (SSP) 2002 di Indonesia termasuk di Kabupaten Karawang, Kabupaten Bekasi dan Kota Bekasi di Propinsi Jawa Barat yang dilaksanakan bulan Oktober 2002 difokuskan pada pengukuran perilaku penduduk dengan risiko tinggi, yaitu wanita penjaja seks (dibedakan antara penjaja seks langsung dan tidak langsung), dan lelaki yang bekerja sebagai nelayan.

Definisi (batasan) mengenai penduduk dengan perilaku berisiko tinggi yang dicakup dalam SSP 2002 adalah sebagai berikut:

• Wanita Penjaja Seks (WPS) Langsung, adalah wanita yang beroperasi secara terbuka sebagai penjaja seks komersial.

Sasaran survei adalah masyarakat yang diduga berperilaku berisiko tinggi terhadap penularan HIV/AIDS

(13)

• WPS Tidak Langsung, adalah wanita yang beroperasi secara terselubung sebagai penjaja seks komersial, yang biasanya bekerja pada bidang-bidang pekerjaan tertentu.

• Nelayan, adalah laki-laki yang bekerja mencari ikan di laut. Dalam laporan ini pelaut dan nelayan selanjutnya disebut “responden pria”.

Metode Survei

Besar sampel dirancang untuk memperoleh gambaran tentang karakteristik masyarakat yang berperilaku dengan risiko tinggi, dan diharapkan dapat mengukur perubahan perilaku tersebut pada survei berikutnya. Perhitungan dengan menggunakan metode “cluster survey” menunjukkan bahwa besarnya sampel sekitar 200 - 400 responden pada setiap sasaran masyarakat berperilaku berisiko tinggi sudah cukup untuk mewakili populasi (representative), termasuk untuk mengukur perubahan perilaku.

Di dalam rancangan sampel ditentukan target sampel lokasi sebanyak 13 lokasi WPS langsung, 20 lokasi WPS tidak langsung, dan 20 lokasi responden pria, namun dalam kenyataannya ketersediaan lokasi sebanyak target tak selalu dapat dipenuhi karena lokasi tidak mencapai target.

Realisasi sampel lokasi dan responden untuk setiap sasaran survei menurut kabupaten/kota di Propinsi Jawa Barat dicantumkan dalam tabel berikut ini.

Cakupan wilayah SSP di Propinsi Jawa Barat adalah Kabupaten Karawang dengan sasaran survei WPS langsung dan nelayan serta Kabupaten Bekasi dan Kota Bekasi, dengan sasaran survei WPS tidak langsung.

Lokasi dan sasaran survei tersebut ditentukan setelah mendapatkan masukan dari Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Propinsi Jawa Barat, Dinas Kesehatan dan Dinas terkait lainnya, baik dari tingkat propinsi maupun kabupaten/kota. Pemilihan daerah ditentukan dengan pertimbangan bahwa kedua daerah tersebut merupakan daerah konsentrasi kegiatan jasa pelayanan seks di kawasan Jawa Barat, sekaligus merupakan

Tabel Alokasi Sampel Survei Surveilans Perilaku 2002 di Kabupaten Karawang, Kabupaten dan Kota Bekasi - Jawa Barat

WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria (Nelayan)

Kabupaten

Lokasi Responden Lokasi Responden Lokasi Responden

Kab. Karawang 13 250 12 400

Kab. dan Kota Bekasi 20 200

Tabel Realisasi Sampel Survei Surveilans Perilaku 2002 di Propinsi Jawa Barat

WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria

Kabupaten/Kota

Lokasi Responden Lokasi Responden Lokasi Responden

Kab. Karawang 13 250 12 400

Kabupaten dan

(14)

daerah sasaran dari Survei Serologik HIV yang dilaksanakan oleh Departemen Kesehatan. Dengan dipilihnya Kabupaten Karawang, Kabupaten Bekasi dan Kota Bekasi, maka di daerah tersebut diharapkan dapat dikembangkan Surveilans Generasi Kedua.

Perkiraan populasi WPS langsung, WPS tidak langsung, dan responden pria diperoleh dari listing secara independen ke setiap lokasi dengan menggunakan data dasar yang diperoleh dari lembaga pemerintah daerah setempat. Identifikasi lokasi baru beserta populasinya dilakukan dengan sistim putaran bola salju (snowballing system). Dalam proses listing dari suatu lokasi ke lokasi lain di lapangan, peta wilayah administratif digunakan untuk operasional lapangan dan dalam peta tersebut digambar letak setiap lokasi secara geografis. Hasil listing ini merupakan kerangka sampel untuk pemilihan lokasi dan penentuan target sampel dalam setiap lokasi.

Pemilihan sampel secara acak (random sampling) digunakan baik untuk pemilihan sampel lokasi maupun pemilihan responden. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara tatap muka antara petugas SSP dengan responden. Bias terhadap hasil SSP telah diupayakan seminimal mungkin.

Metode acak dilakukan pada pemilihan sampe

(15)
(16)
(17)

2

Karakteristik Sosial dan Demografi

Struktur Umur

Struktur umur WPS untuk Kabupaten Karawang dan Kabupaten/Kota Bekasi menunjukkan bahwa umur WPS langsung sedikit lebih tua dibanding WPS tidak langsung. Lebih dari setengah (54,5 persen) WPS tidak langsung berusia di bawah 25 tahun, sementara di antara WPS langsung yang berusia di bawah 25 tahun sekitar 36 persen.

WPS langsung mempunyai rata-rata usia 27,1 tahun sedangkan WPS tidak langsung adalah 26,8 tahun. Sementara itu untuk responden pria, struktur umur mereka berada pada usia produktif dengan rata-rata umur 28,4 thn.

Status Perkawinan

Lebih dari separuh (66,8 persen) responden pria berstatus kawin dan sekitar sepertiga (32,3 persen) berstatus belum kawin, sementara yang berstatus cerai hanya sedikit sekali (1,0 persen). Responden pria berstatus kawin yang pernah membeli seks (30,0 persen) dua kali lebih banyak dibandingkan dengan yang berstatus belum kawin (16,5 persen). Besarnya persentase pelanggan seks yang berstatus kawin menunjukkan potensial penyebaran penyakit kelamin dan HIV ke dalam lingkungan keluarga responden pria.

Gambar 2.1. Struktur Umur Responden

Umur WPS langsung lebih tua dibanding WPS tidak langsung

Lebih banyak pria belum kawin yang menjadi pelanggan WPS 30 19 19 18 9 15 16 17 25 20 7 5 21 48 31 0 20 40 60 80 100 WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria Persen

(18)

Sebagian besar WPS, baik WPS langsung maupun WPS tidak langsung berstatus cerai, yaitu masing-masing 96,0 persen pada WPS langsung dan 69,5 persen untuk WPS tidak langsung. Di antara WPS langsung hanya 1,6 persen yang menyatakan belum kawin, sementara sekitar 19 persen WPS tidak langsung menyatakan berstatus kawin.

Tingkat Pendidikan

Sebagian besar (91,2 persen) WPS langsung berpendidikan rendah (tamat SD ke bawah). Sementara yang berpendidikan SLTA ke atas hanya sekitar 2 persen.

Pendidikan WPS tidak langsung lebih tinggi dibanding dengan WPS langsung yaitu lebih dari separuh (57,0 persen) WPS tidak langsung berpendidikan SLTP ke atas.

Seperti halnya WPS langsung, ternyata sebagian besar responden pria mempunyai pendidikan yang rendah, yaitu 59,0 persen tidak tamat SD dan 35,0 persen tamat SD. Responden pria yang tamat SLTA ke atas hanya sebagian kecil, yaitu sekitar 1 persen.

Daerah Asal

Sekitar 92 persen WPS langsung berasal dari propinsi Jawa Barat. WPS langsung yang bukan berasal dari Propinsi Jawa Barat kebanyakan berasal dari Jawa Tengah (3,2 persen), Jawa Timur (1,2 persen), Jakarta (1,2 persen) dan Banten (1,2 persen). Lebih dari separuh (sekitar 62 persen) WPS tidak langsung berasal dari propinsi Jawa Barat. WPS tidak langsung yang bukan penduduk setempat berasal dari Jawa Tengah (13,5 persen), Jawa Timur (10,5 persen), dan Jakarta (8,5 persen). Sebagian besar responden pria (80,3 persen) berasal dari propinsi Jawa Barat, sisanya berasal dari Jawa Tengah (17,8 persen) dan dari propinsi lain hanya sekitar 2 persen.

Gambar 2.2. Tingkat Pendidikan Responden Tingkat pendidikan WPS pada umumnya masih rendah Mayoritas WPS maupun pelanggan berasal dari propinsi Jawa Barat 56 18 59 35 25 35 7 25 5 2 32 1 0 20 40 60 80 100 WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria Persen

(19)

Mobilitas

Mobilitas penjaja seks dan responden pria cukup tinggi, yaitu berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi yang lain, bahkan dari satu kota ke kota lain. Sekitar 30 persen WPS langsung menyatakan pernah bekerja sebagai WPS di kota/daerah lain. Sementara WPS tidak langsung yang mengaku pernah bekerja sebagai WPS di kota/daerah lain sekitar 24 persen. Ini menunjukkan bahwa mobilitas WPS di Kabupaten Karawang dan Kabupaten/Kota Bekasi cukup tinggi.

Hasil SSP 2002 menunjukkan bahwa seluruh responden pria yang pernah berhubungan seks komersial selama setahun terakhir menyatakan pernah melakukannya di luar Kabupaten Karawang dan Kabupaten/Kota Bekasi.

Umur Pertama Kali Berhubungan Seks

Rata-rata usia responden pria pertama kali berhubungan seks ternyata masih relatif muda yaitu 19,9 tahun. Bila dikaitkan dengan rata-rata usia mereka sekarang yaitu 28,4 tahun, maka dapat dikatakan bahwa responden pria di Kabupaten Karawang dan Kabupaten/Kota Bekasi telah melakukan hubungan seks selama sekitar 8,5 tahun.

Jika dilihat dengan siapa mereka pertama kali berhubungan seks, ternyata sebagian besar (72,4 persen) berhubungan seks pertama kali dengan isteri. Kemudian sekitar 13,5 persen responden pria berhubungan seks pertama kali dengan WPS dan 12,2 persen dengan pacar/kekasih.

Gambar 2.3. Propinsi Asal Responden

Seperempat dari WPS pernah kerja di daerah lain Usia responden pria ketika pertama kali berhubungan seks, masih relatif muda

92 62 80 4 13 2 3 14 18 1 11 0 0 20 40 60 80 100 WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria Persen

(20)

Di antara 3 kelompok sasaran, ternyata WPS langsung adalah yang termuda pada saat pertama kali mereka berhubungan seks yaitu 15,6 tahun. Sementara itu rata-rata usia WPS tidak langsung ketika pertama kali melakukan hubungan seks adalah 18,1 tahun.

Lama Bekerja

Untuk penjaja seks lama masa kerja sebagai penjaja seks penting diketahui. Semakin lama sebagai penjaja seks semakin besar kemungkinan untuk melayani pelanggan yang telah terinfeksi HIV.

Relatif tidak berbeda dalam lama menjual seks antara WPS langsung dan tidak langsung. Rata-rata WPS langsung sudah menjalani pekerjaannya selama 32 bulan, sedangkan WPS tidak langsung sudah menjalaninya selama sekitar 30 bulan.

Faktor lain yang mempengaruhi resiko HIV pada WPS adalah jumlah pelanggan. Rata-rata jumlah pelanggan yang dilayani dalam seminggu (seminggu terakhir) pada WPS langsung (antara 4 hingga 5 orang) dua kali lebih banyak daripada WPS tidak langsung (antara 1 hingga 2 orang). Sementara itu, dari responden pria yang pernah berhubungan seks dengan WPS, rata-rata frekuensi berhubungan seks dengan WPS dalam setahun terakhir, adalah sebanyak 1 hingga 2 kali.

Tarif

Hasil SSP menunjukkan bahwa rata-rata uang yang diterima oleh WPS tidak langsung jauh lebih tinggi dibandingkan yang diterima WPS langsung. Hal ini tercermin dari rata-rata besarnya uang yang diterima pada hubungan seks yang terakhir, yaitu sebesar Rp 61,1 ribu oleh WPS langsung dan Rp 336,8 ribu oleh WPS tidak langsung.

Gambar 2.4. Pasangan Seks Pertama pada Responden Pria

Ada perbedaan tarif yang cukup tinggi antara WPS langsung dan WPS tidak langsung 72 1 12 1 14 0 10 20 30 40 50 60 70 80

Istri Pasangan tetap Pacar/kekasih Kenalan/teman WPS

Pe

rs

en

Lama bekerja WPS langsung dan WPS tidak langsung tidak berbeda

(21)

Pelanggan WPS tidak langsung pada umumnya mereka yang mempunyai cukup uang, dapat diduga bahwa mereka rata-rata berpendidikan relatif tinggi dan mempunyai pengetahuan serta kesadaran untuk membeli seks dengan cara yang sehat. Hal ini terlihat dari tingginya persentase penggunaan kondom pada WPS tidak langsung seperti ditunjukkan pada Bab 5.

Terlihat bahwa rata-rata uang yang dibayarkan oleh responden pria adalah yang terendah, sekitar Rp 37 ribu. Dari gambaran ini dapat disimpulkan bahwa responden pria umumnya adalah pelanggan dari WPS langsung.

Rata-rata Pendapatan

Dengan menghubungkan rata-rata banyaknya pelanggan dan besarnya uang yang diterima, maka dapat diperkirakan besarnya pendapatan rata-rata WPS langsung dan WPS tidak langsung. Rata-rata-rata pendapatan WPS langsung dalam seminggu adalah sekitar Rp 257 ribu atau Rp 770 ribu sebulan, sedangkan rata-rata pendapatan WPS tidak langsung adalah sekitar Rp 505 ribu seminggu atau Rp 1,5 juta sebulan. Besarnya pendapatan ini jauh lebih tinggi dari rata-rata upah minimum yang diterima buruh/karyawan yang bekerja di Jawa Barat, yaitu sebesar Rp 281 ribu(BPS 2003, “Indikator Tingkat Hidup Pekerja 2000-2002”). Dibandingkan dengan pendapatan (upah) rata-rata buruh/karyawan di Kota Bekasi, yaitu sebesar Rp 935 ribu sebulan (BPS, diolah dari hasil

Survei Sosial Ekonomi Nasional 2002), maka rata-rata penghasilan kotor

seorang WPS, terutama WPS tidak langsung memang jauh lebih besar.

Gambar 2.5. Rata-rata Uang Jasa Seks Komersial pada Hubungan Seks yang Terakhir

Terdapat perbedaan pendapatan yang tajam antara WPS langsung dan WPS tidak langsung 61 337 37 0 50 100 150 200 250 300 350 400 WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria Ribuan Rp

(22)
(23)

3

Pengetahuan tentang HIV/AIDS

Pernah Mendengar HIV/AIDS

Tingkat pengetahuan tidak selalu berkorelasi dengan perilaku sehat, namun demikian mengetahui cara penularan HIV dan cara menghindarinya merupakan langkah pertama yang perlu diketahui setiap orang terutama orang-orang dengan perilaku berisiko tinggi. Pengetahuan merupakan salah satu faktor kuat yang menentukan perilaku seseorang, termasuk perilaku dalam melindungi diri sendiri dari ancaman HIV/AIDS. Hasil SSP di Karawang dan Bekasi menunjukkan bahwa lebih dari dua per lima dari setiap kelompok berisiko baik WPS langsung, WPS tidak langsung, maupun responden pria pernah mendengar tentang HIV/AIDS. Di antara ketiga kelompok sasaran ini, yang paling tinggi persentasenya adalah WPS tidak langsung (90,0 persen).

Pengetahuan mengenai HIV/AIDS

Meskipun persentase yang menyatakan pernah mendengar tentang HIV/AIDS besar, namun sebagian tidak memiliki pengetahuan yang benar tentang penyakit tersebut. Tingkat pengetahuan paling rendah terdapat pada kelompok responden pria, yaitu hanya sekitar 12 persen yang dapat secara cermat memberikan informasi lebih detil tentang HIV/AIDS yaitu penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Di kalangan WPS langsung ada sekitar seperlimanya yang menyatakan tidak mengetahui HIV/AIDS meskipun pernah mendengarnya. Di antara ketiga kelompok berisiko, yang paling tinggi tingkat pengetahuannya tentang HIV/AIDS adalah WPS tidak langsung.

Gambar 3.1. Responden yang Pernah Mendengar HIV/AIDS

Pernah mendengar tidak berarti mengetahui apa itu HIV/AIDS 64 90 47 0 20 40 60 80 100 WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria Persen

(24)

Cara Tepat untuk Mengetahui Seseorang Telah Tertular

HIV/AIDS

Tes darah adalah cara yang paling tepat untuk mengetahui apakah seseorang tertular HIV atau tidak. Dari penelusuran lebih jauh tentang pengetahuan kelompok sasaran, ternyata kurang dari 20 persen responden yang mengetahui cara yang tepat untuk mengetahui apakah seseorang tertular HIV atau tidak. Bahkan di antara WPS langsung dan responden pria hanya sekitar 4 persen yang menjawab dengan benar ketika ditanyakan hal tersebut. Lebih dari 40 persen kelompok sasaran menyatakan tidak tahu, sementara yang lainnya memberi jawaban yang salah (lihat Gambar 3.3).

Gambar 3.2. Tingkat Pengetahuan tentang HIV/AIDS

Gambar 3.3. Tingkat Pengetahuan tentang Cara yang Tepat untuk Mengetahui Seseorang Telah Tertular HIV/AIDS

Sebagian besar tidak tahu cara tepat untuk mengetahui seseorang telah tertular HIV/AIDS 33 39 28 16 33 12 18 12 11 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria

Pe

rs

en

Mengatakan AIDS adalah penyakit kelamin

Mengatakan AIDS penyakit yg tidak bisa disembuhkan Pernah mendengar tapi tdk mengetahui apa itu HIV/AIDS 63 41 55 4 17 5 0 10 20 30 40 50 60 70 80 WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria Persen Tes darah Tidak tahu

(25)

Pemahaman tentang Cara Menghindari Tertular HIV/AIDS

Pengetahuan yang benar tentang HIV/AIDS juga dapat menjadi tuntunan untuk melakukan tindak pencegahan yang benar agar ia tidak tertular virus mematikan tersebut. Namun dalam kenyataannya, perilaku seseorang tidak selalu sesuai dengan tingkat pengetahuannya.

Untuk mengetahui perbedaan antara pengetahuan “teoritis” dan pengetahuan yang dicerminkan dalam perilaku maka dalam SSP dilakukan dua tahap pertanyaan, yaitu i) meminta responden untuk menjawab secara spontan cara melindungi diri dari HIV dan ii) menelusurinya lebih jauh melalui “probing” (dengan menyebutkan jenis-jenis cara pencegahan HIV).

Paling tidak ada empat cara untuk menghindar dari terjangkit HIV yaitu tidak melakukan hubungan seks sama sekali, menggunakan kondom saat berhubungan seks, menghindari penggunaan jarum suntik bersama, dan hanya berhubungan seks dengan satu pasangan yang belum terinfeksi HIV, serta tidak punya pasangan lain. Keempat cara tersebut ditanyakan dalam 2 tahapan dalam sistem bertanya di atas.

Dari keempat cara yang benar tersebut yang paling banyak diungkapkan

secara spontan baik oleh kalangan WPS maupun responden pria adalah

menggunakan kondom ketika berhubungan seks. Jawaban ini terutama diungkapkan oleh WPS tidak langsung sebesar 33,5 persen, sementara itu, jawaban yang disampaikan kalangan responden pria sebesar 11,3 persen. Perilaku seseorang tidak selalu sejalan dengan tingkat pengetahuannya. Ketika ditanyakan tentang cara mencegah tertular HIV, secara umum seseorang akan cenderung mengatakan cara melindungi yang paling relevan dengan kebiasaannya. Ini bukan berarti bahwa ia tidak mengerti cara atau metoda lain, tetapi mungkin tidak mempertimbangkan bahwa metoda lain tersebut cocok untuknya.

Gambar 3.4. Cara yang Diketahui Agar Tidak Tertular HIV/AIDS

Pemahaman tentang cara menghindari tertular HIV/AIDS masih terbatas 34 52 21 31 62 23 20 56 13 27 60 23 13 24 10 20 34 11 5 8 1 4 12 4 0 20 40 60 80 100 WP S-L WP S-TL R es ponden Pria WP S-L WP S-TL R es ponden Pria WP S-L WP S-TL R es ponden Pria WP S-L WP S-TL R es ponden Pria Pe rs en

Setelah diprobing Jaw aban Spontan Tidak melakukan hubungan seks Menggunakan kondom saat berhubungan seks Menghindari penggunaan jarum suntik bersama Berhubungan seks hanya dengan satu

(26)

Penelusuran lebih jauh melalui probing telah menjadikan persentase yang menjawab benar meningkat secara berarti. Peningkatan persentase terutama terjadi untuk kategori jawaban “menghindari penggunaan jarum suntik bersama”, yang naik dari sekitar 8 persen pada jawaban spontan menjadi 56 persen ketika dilakukan probing pada WPS tidak langsung. Dari ketiga kategori kelompok berisiko terlihat bahwa secara umum pengetahuan WPS lebih baik dari responden pria, terutama WPS tidak langsung.

Menarik untuk dicatat bahwa jauh lebih banyak penjaja seks dibandingkan kaum pria (dalam hal ini responden pria) yang secara spontan menyatakan bahwa menggunakan kondom saat berhubungan seks merupakan salah satu cara mencegah tertular HIV. Sebaliknya di antara kaum pria yang menjadi pelanggan penjaja seks persentase yang menyebutkan secara spontan bahwa penggunaan kondom dapat mencegah tertular HIV sangat rendah.

Sebagaimana terlihat pada Gambar 3.5, responden pria di Kabupaten Karawang dan Kabupaten/Kota Bekasi jauh lebih rendah pengetahuannya, tentang penggunaan kondom sebagai salah satu cara mencegah tertular HIV, dibandingkan responden pria di daerah lain, yaitu di Propinsi Jawa Timur dan Sulawesi Utara.

Meski cukup banyak kelompok berisiko yang tahu tentang HIV/AIDS, namun ternyata tidak sedikit yang berpemahaman rendah tentang penyakit tersebut. Ini terlihat dari masih adanya kelompok sasaran yang menganggap seorang yang tertular HIV bisa diketahui dengan melihat saja. Pemahaman yang salah ini terungkap dari jawaban WPS langsung (11,7 persen), WPS tidak langsung (7,8 persen), dan responden pria (13,3 persen). Pemahaman yang rendah juga tercermin dari banyaknya responden yang memberi jawaban “tidak tahu”, yaitu mencapai 49 persen pada WPS langsung dan masing-masing 38,3 persen dan 46,2 persen untuk WPS tidak langsung dan responden pria.

Gambar 3.5. Tingkat Pengetahuan Responden Pria tentang Penggunaan Kondom Dapat Mencegah Tertular HIV/AIDS

Masih sangat sedikit responden pria di Jawa Barat yang menyadari manfaat penggunaan kondom sebagai salah satu mencegah tertular HIV

Masih ada yang menganggap seorang yang tertular HIV bisa diketahui dengan melihat saja 23 79 56 38 11 41 0 20 40 60 80 100

Karaw ang & Bekasi Surabaya Bitung & Menado

Pe

rs

en

Setelah diprobing Jaw aban spontan

(27)

Pemahaman salah atau miskonsepsi ini juga terlihat dari besarnya proporsi jawaban kelompok berisiko terhadap cara pencegahan yang salah seperti minum obat sebelum berhubungan seks, menghindari gigitan nyamuk atau serangga lain, tidak menggunakan secara bersama alat makan, dan makan makanan yang bergizi. Miskonsepsi ini terutama terlihat pada kalangan WPS, meski juga tidak sedikit proporsi responden pria yang mempunyai pemahaman salah.

Miskonsepsi tentang Cara Pencegahan IMS atau HIV/AIDS

Minum obat sebelum berhubungan seks merupakan cara yang diyakini dapat mencegah infeksi menular seksual (IMS) baik oleh WPS langsung (21,2 persen), maupun WPS tidak langsung (45,5 persen). Sekitar 11 persen responden pria juga berfikir bahwa minum obat dapat melindungi mereka dari kemungkinan tertular IMS atau HIV/AIDS.

Keyakinan ini merupakan sesuatu yang sangat berbahaya. Antibiotik dan obat-obatan lainnya TIDAK dapat melindungi diri kita dari HIV. Meminum obat secara rutin dapat dengan mudah membuat obat tersebut menjadi kurang efektif ketika dibutuhkan, misalnya, untuk menyembuhkan infeksi penyakit menular seksual seperti gonorrhea (GO). Lebih berbahaya lagi, jika orang berfikir bahwa mereka sudah terlindungi dari HIV atau IMS karena sudah minum antibiotik, diinjeksi, minum jamu, atau menggunakan preparat lainnya, karena mungkin kurang suka menggunakan kondom. Namun pada akhirnya, kondomlah satu satunya alat perlindungan yang paling ampuh bagi orang-orang yang berhubungan seks dengan orang lain selain pasangan kawinnya. Angka-angka persentase pada Gambar 3.6 mencerminkan apa-apa yang dipercaya orang tentang cara pencegahan HIV.

Gambar 3.6. Pengetahuan yang Salah tentang Cara Menghindari Tertular HIV/AIDS

Miskonsepsi terhadap beberapa cara

pencegahan IMS atau HIV/AIDS sangatlah berbahaya 11 16 12 10 46 32 33 46 21 19 19 14 0 20 40 60 80 100

Minum obat sebelum berhubungan seks Menghindari gigitan nyamuk atau serangga lain

Tidak menggunakan secara bersama alat

makan Makan makanan yang

bergizi

Persen

WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria

(28)

Dari SSP kita juga mempunyai informasi mengenai apa yang dilakukan oleh kelompok berisiko untuk menghindari terjangkitnya IMS atau HIV. Salah satu temuan yang mencengangkan adalah tingginya proporsi penjaja seks di Kabupaten Karawang dan Kabupaten/Kota Bekasi yang secara reguler memperoleh suntikan untuk “pencegahan” IMS dan HIV (48,0 persen WPS langsung dan 31,5 persen WPS tidak langsung). Depkes sudah lama tidak melaksanakan program penyuntikan secara massal. Bila “petugas kesehatan” masih memberikan suntikan, itu adalah di luar program Depkes. Bila penyuntikan-penyuntikan tersebut dilaksanakan diluar kontrol tenaga kesehatan maka bahaya lain dapat muncul, yaitu apabila satu jarum suntik digunakan tidak hanya untuk satu orang (satu kali) tetapi untuk banyak orang atau berkali-kali tanpa proses pembersihan yang benar. Ini adalah media yang efektif untuk penyebaran penyakit lainnya seperti Hepatitis.

Meskipun program penyuntikan massal sudah dihentikan oleh Depkes, WPS yang memperoleh suntikan pencegahan IMS dan HIV masih sangat tinggi

(29)

4

Persepsi Berisiko

Merasa Berisiko

Informasi mengenai sejauh mana kelompok sasaran merasa berisiko terhadap IMS atau HIV/AIDS merupakan informasi yang penting untuk keperluan perencanaan program intervensi. Meskipun berada dalam lingkungan berisiko tinggi ternyata tidak semua kelompok sasaran merasa bahwa dirinya berisiko. Hanya sepertiga (33,2 persen) kelompok sasaran yang merasa berisiko tertular HIV/AIDS. Bahkan di antara responden pria hanya sekitar 16 persen yang merasa berisiko.

Pemahaman tentang risiko lebih banyak terlihat pada kelompok WPS, yaitu WPS langsung sekitar 45 persen dan WPS tidak langsung sekitar 41 persen yang merasa berisiko tertular HIV/AIDS.

Persepsi Tidak Berisiko di antara Kelompok Berisiko

Antara 2 hingga 40 persen dari kelompok sasaran yang mengatakan bahwa mereka tidak berisiko karena selalu menggunakan kondom.

Mereka yang merasa tidak berisiko tertular memiliki beberapa alasan yang bervariasi antar kelompok sasaran. Pemahaman yang benar dari mereka yang merasa tidak berisiko adalah karena selalu menggunakan kondom, alasan inilah yang lebih banyak dikemukakan oleh kelompok WPS tidak langsung yaitu sekitar 40 persen. Sebaliknya pemahaman yang salah dengan alasan berobat lebih dulu sehingga merasa tidak berisiko lebih banyak dikemukakan oleh WPS langsung (32,0 persen).

Kelompok yang merasa tidak berisiko sangat penting untuk diperhatikan dalam program intervensi, khususnya di kelompok WPS langsung.

Gambar 4.1. Responden yang Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS

Lebih banyak WPS yang merasa berisiko tertular HIV/AIDS, daripada responden pria

WPS tidak langsung lebih memahami risiko dan cara menghindarinya 15 32 55 40 27 29 45 41 16 0 20 40 60 80 100 WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria Persen Merasa berisiko Tidak merasa Tidak tahu

(30)

Hubungan antara Merasa Berisiko dengan Tingkat

Pendidikan

Kesadaran berisiko tertular IMS termasuk HIV/AIDS diduga berkorelasi dengan tingkat pendidikan. Asumsinya adalah semakin tinggi pendidikan, semakin mengerti seseorang bahwa ia melakukan pekerjaan yang berisiko. Namun hasil SSP di Kabupaten Karawang dan Kabupaten/Kota Bekasi tidak menggambarkan dugaan tersebut. Di antara WPS langsung yang tidak tamat SD hanya sebanyak 43,6 persen yang menyatakan berisiko tertular HIV, sementara sebanyak 39,7 persen lainnya menyatakan tidak tahu, dan 16,7 persen tidak merasa berisiko. Sebaliknya, di antara yang berpendidikan minimal tamat SLTP lebih dari 50 persen merasa berisiko. Dengan asumsi bahwa mereka yang tidak tamat SD sebagiannya juga buta huruf, maka perlu dicari metode intervensi yang lebih tepat bagi mereka. Hal ini terjadi juga pada mereka yang pernah melakukan hubungan seks secara komersial tanpa kondom dan merasa dirinya berisiko tertular HIV/AIDS.

Gambar 4.2. Responden yang Tidak Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS menurut Alasannya

Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin merasa berisiko 12 12 32 40 14 2 2 12 4 0 10 20 30 40 50

Karena selalu menggunakan kondom

Karena yakin pasangannya bersih

Karena berobat terlebih dahulu

Pe

rs

en

(31)

Menarik untuk disampaikan bahwa dari ketiga kelompok sasaran, mereka yang merasa berisiko tertular HIV/AIDS kurang dari 60 persen. Pola yang menarik terlihat pada kelompok WPS langsung. Di antara WPS langsung yang tamat SLTA ke atas ternyata pemahaman mengenai risiko tertular HIV separuh lebih rendah dari yang tidak tamat SD, yaitu 20,0 persen berbanding 43,6 persen. Kesadaran mengenai risiko tertular HIV baik untuk WPS tidak langsung maupun responden pria terlihat meningkat sejalan dengan makin tingginya tingkat pendidikan, kecuali di tingkat SLTA. Responden pria merupakan kelompok sasaran yang paling rendah tingkat pemahaman resiko tertular HIV/AIDS untuk semua tingkat pendidikan, bahkan di antara mereka yang berpendidikan relatif tinggi hanya sebesar 20,0 persen yang sadar bahwa dirinya berisiko.

Gambar 4.3. Responden yang Merasa Berisiko Tertular HIV/AIDS menurut Tingkat Pendidikan

44 27 14 47 36 17 53 50 21 20 44 20 0 20 40 60 80 100

WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria

Pe

rs

en

(32)
(33)

5

Pola Perilaku Berisiko

Penggunaan Kondom

Responden yang selalu menggunakan kondom dalam seks komersial selama setahun terakhir (responden pria) atau selama seminggu terakhir (untuk WPS) yang masih terlihat sangat rendah yaitu WPS langsung sebesar 3,3 persen dan bahkan responden pria hanya sekitar 1 persen. Fenomena lain yang tercermin dalam pola penggunaan kondom adalah bahwa hanya sebagian saja kelompok berisiko yang secara konsisten (selalu) menggunakan kondom setiap kali berhubungan seks. Pada WPS tidak langsung yang tingkat penggunaan kondomnya relatif tinggi, hampir separuh (45,8 persen) menyatakan menggunakan kondom pada seks komersial terakhir, tetapi di antara mereka tersebut hanya sebanyak 19,6 persen yang selalu menggunakannya selama seminggu terakhir. Perbandingan antara yang menggunakan kondom pada seks komersial terakhir dengan yang selalu menggunakannya dalam seminggu terakhir jauh lebih buruk pada WPS langsung dan responden pria. Dari sekitar 5 persen responden pria yang menyatakan menggunakan kondom pada seks komersial terakhir hanya satu persen yang selalu menggunakannya dalam setahun terakhir.

Gambar 5.1. Tingkat Penggunaan Kondom pada Seks Komersial WPS tidak langsung lebih banyak pakai kondom pada seks komersial 19 46 5 3 20 1 0 20 40 60 80 100

WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria

Pe

rs

en

Pakai kondom dalam seks komersial terakhir

Selalu pakai kondom dalam seks komersial selama setahun terakhir (responden pria) atau seminggu terakhir (WPS)

(34)

Tidak digunakannya kondom tampaknya dikarenakan ketersediaan kondom yang masih terbatas di lokasi. Hasil pengamatan petugas SSP diketahui bahwa hanya sekitar 59 persen WPS langsung mengatakan kondom mudah diperoleh di lokasi dan hanya sekitar 37 persen WPS tidak langsung mengatakan bahwa kondom mudah diperoleh di lokasi.

Antara Pengetahuan dan Perilaku

Data menunjukkan bahwa WPS tidak langsung, yang umumnya berusia lebih muda, lebih berpendidikan, telah lama bekerja di bidang tersebut, dan mempunyai pelanggan lebih beruang lebih suka menggunakan kondom daripada WPS langsung yang relatif kurang berpendidikan, dan yang pelanggannya dari kelompok orang yang mempunyai kepedulian rendah terhadap HIV dan risiko hubungan seks tanpa pelindung. Namun bagi kedua kelompok tersebut, kesenjangan antara pengetahuan dan kesediaan kondom di satu sisi dan perilaku atau prakteknya di sisi lain sangatlah lebar.

Dari WPS langsung yang tahu pakai kondom dapat mencegah tertular HIV, sekitar 74 persen ternyata tidak menggunakan kondom pada hubungan seks komersial terakhir, sedangkan dari kelompok WPS tidak langsung sekitar 45 persen yang tidak menggunakannya. Persentase WPS tidak langsung yang tidak pernah menawarkan kondom kepada pelanggannya sekitar 32 persen walaupun sesungguhnya mereka tahu bahwa menggunakan kondom akan bisa mencegah tertularnya HIV. Kondisi yang memprihatinkan terlihat pada WPS langsung di mana persentase yang tidak pernah menawarkan kondom relatif tinggi yaitu sekitar 47 persen.

Gambar 5.2. Tahu bahwa Kondom dapat Mencegah Penularan HIV/AIDS tetapi Tidak Menawarkan dan Tidak Memakainya dalam Hubungan Seks Komersial Terakhir

Sebagian besar responden pria tidak sesuai perilaku dengan pengetahuannya 47 32 74 45 0 20 40 60 80 100

WPS Langsung WPS Tidak Langsung

Pe

rs

en

Tahu Pencegahan HIV Pakai Kondom tetapi Tidak Menaw arkan kepada Pelanggan pada Seks Komersial Terakhir

Tahu Pencegahan HIV Pakai Kondom tetapi Tidak Memakainya pada Hubungan Seks Komersial Terakhir

(35)

Di kalangan pelanggan, mereka yang tahu tentang pencegahan terhadap risiko tertular HIV/AIDS sebagian besar ternyata tidak menerapkan pengetahuannya dalam hubungan seks. Bahkan di antara mereka yang tahu pencegahan tertular dengan memakai kondom, justru hampir 83 persen tidak menggunakannya dalam hubungan seks komersial terakhir.

Perbedaan antara pengetahuan dan perilaku (praktek) yang dapat dikaji dari adalah dalam penggunaan kondom. Orang-orang yang tidak menggunakan kondom dalam hubungan seks komersial terakhir ditanyakan apa alasannya, dan yang menarik bahwa responden wanita (WPS) dan responden pria menunjukkan jawaban yang cukup konsisten. Hal ini dapat dilihat dari besarnya persentase alasan karena pelanggannya (responden pria) tidak ingin menggunakan kondom karena “merasa kurang enak”.

Persentase hubungan seks komersial tanpa kondom karena keengganan pria untuk menggunakannya yang masih tinggi memberikan indikasi bahwa penyuluhan penggunaan kondom tidak hanya ditujukan pada WPS. Penyuluhan pada WPS memang telah meningkatkan pengetahuannya mengenai bahaya HIV, dan mungkin telah meningkatkan kesadarannya untuk berperilaku seks sehat, tetapi pada akhirnya keputusan untuk menggunakan kondom atau tidak, pada umumnya ada pada pelanggan.

Gambar 5.3. Responden Pria yang Tahu Pencegahan HIV/AIDS tetapi Tidak Menerapkannya dalam Hubungan Seksual

33 33 33

83

0 20 40 60 80 100

Tahu pencegahan tidak melakukan hub seks tetapi melakukan hub seks dg WPS selama setahun terakhir

Tahu pencegahan hanya hub seks dg satu pasangan setia tetapi pernah berhub seks dg WPS setahun terakhir Tahu pencegahan hanya hub seks dg satu pasangan setia

tetapi mempunyai lebih dari satu pasangan seks Tahu pencegahan pakai kondom tetapi tidak pakai kondom

dalam seks komersial terakhir

(36)

Seks Anal dan Narkoba

Seks komersial antara WPS dan pelanggan pria tentunya bukan satu-satunya perilaku yang berisiko terhadap penularan HIV. Seks anal juga mempunyai risiko tinggi untuk tertular HIV, termasuk penularan melalui penggunaan bersama jarum suntik pada pecandu narkoba.

Di kalangan responden pria di Kabupaten Karawang dan Kabupaten/Kota Bekasi tidak ada yang pernah melakukan hubungan seks anal dengan Waria dalam setahun terakhir.

Data mengenai prevalensi HIV di kalangan Waria di Jawa Barat tidak tersedia, tetapi hasil studi terakhir di Jakarta menunjukkan bahwa sekitar 20 persen Waria terinfeksi HIV. Hal ini memberi indikasi pentingnya penyuluhan penggunaan kondom dalam berhubungan seks dengan segala jenis kategori responden, termasuk Waria.

Gambar 5.4. Alasan Tidak Menggunakan Kondom pada Seks Komersial Terakhir

34 32 3 11 20 25 37 2 3 33 0 5 10 15 20 25 30 35 40 Tidak ada/tidak tersedia Pelanggan tidak mau/terasa kurang enak

Pasangan bersih Tanpa alasan Lainny a

Pers

en

Pelanggan WPS

(37)

Penggunaan narkoba suntik (injecting drug users/IDU) merupakan orang-orang yang paling rentan terinfeksi HIV. Hasil studi terakhir di Jakarta menunjukkan bahwa sekitar setengah dari pengguna narkoba suntik telah terinfeksi virus penyebab AIDS (KPAN, Jakarta, 2002)*).

Hasil SSP untuk Jawa Barat menunjukkan bahwa hanya sekitar 1 persen responden mengatakan pernah menggunakan narkoba suntik. Seperti ditunjukkan pada Gambar 5.5, sebagian kecil responden dari setiap kelompok sasaran juga mengatakan bahwa hanya sebagian kecil dari pasangan seks mereka pernah menggunakan narkoba suntik.

*) Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, 2002. “Ancaman HIV/AIDS di

Indonesia Semakin Nyata, Perlu Penanggulangan Lebih Nyata” (hal. 7)

Gambar 5.5. Responden dan Masing-masing Pasangan Seksnya yang Pernah Menggunakan Narkoba Suntik

Prevalensi mereka yang tertular HIV lebih tinggi di antara pengguna narkoba suntik 0.0 1.0 0.7 1.2 2.0 0.3 0 2 4 6 8 10 12

WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria

Pe

rs

en

Pernah menggunakan narkoba suntik

(38)
(39)

6

IMS dan Perilaku Pencarian Pengobatan

Infeksi Menular Seksual (IMS)

Hasil SSP 2002 memperlihatkan bahwa sekitar 33 persen dari WPS langsung pernah mengalami infeksi menular seksual (IMS) dalam setahun terakhir, sedangkan WPS tidak langsung dan responden pria masing-masing sebesar 13,0 persen dan 14,5 persen yang terkena penyakit tersebut.

Data di atas adalah dari apa yang dilaporkan oleh responden, realitanya barangkali jauh lebih besar, karena pada perempuan infeksi tersebut tidak menunjukkan simptom atau gejala tertentu, sehingga mereka tidak menyadarinya, sementara sebagian lainnya mungkin tidak melaporkannya karena berbagai alasan.

Penyakit tersebut mereka terima terutama akibat perilaku yang tidak sehat (tidak menggunakan kondom) dalam melakukan hubungan seks. Ini terbukti dari besarnya proporsi mereka yang terkena IMS karena tidak menggunakan kondom ketika berhubungan seks komersial.

Perilaku seks yang tidak sehat harus dibayar mahal dengan menderita infeksi menular seksual (IMS) Gambar 6.1. Pemakaian Kondom pada Responden yang Mengalami Gejala IMS

80 56 93 6 20 0 0 20 40 60 80 100

WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria

Pe

rs

en

Dari yang mengalami gejala IMS, persentase yang tidak pakai kondom dalam seks komersial terakhir

Dari yang mengalami gejala IMS, persentase yang selalu pakai kondom dalam seks komersial setahun terakhir (responden pria) atau seminggu terakhir (WPS)

(40)

Pada kelompok WPS langsung sekitar 80 persen yang terkena gejala IMS adalah mereka yang tidak memakai kondom dalam seks komersial terakhir, sementara dari kelompok responden pria rasionya lebih tinggi lagi yaitu sekitar 93 persen yang terkena IMS. Proporsi WPS tidak langsung yang terkena IMS adalah yang terendah. Hal ini barangkali merupakan refleksi dari perilaku seks sebagian dari WPS tidak langsung yang selalu menggunakan kondom ketika berhubungan seks dengan pelanggannya.

Jenis Keluhan IMS

Keluhan IMS pada perempuan dan lelaki tidak selalu sama. Ada keluhan tertentu yang dialami perempuan tetapi tidak dialami lelaki, demikian juga sebaliknya. Misalnya, penyakit kencing nanah dikeluhkan lelaki, sebaliknya penyakit keputihan dikeluhkan perempuan. Secara umum, keputihan disertai bau tidak sedap merupakan jenis IMS yang banyak diderita oleh kalangan WPS. Di kalangan WPS langsung, selain keputihan, 17,1 persen di antara mereka menderita luka/koreng di daerah alat kelamin. Ini perlu mendapat perhatian yang serius, mengingat luka pada alat kelamin baik bagi perempuan maupun lelaki, akan membuka pintu bagi masuknya virus HIV dari seseorang ke pasangan seksnya, ketika berhubungan seks.

Sementara itu, keluhan berupa luka/koreng dan benjolan di sekitar alat kelamin, serta kencing nanah merupakan keluhan IMS yang kerap dialami responden pria. Kalangan responden pria banyak yang menderita kencing nanah. Sekitar 70 persen dari responden pria ini pernah mengalami keluhan tersebut. Sedangkan yang menderita benjolan dan koreng, masing-masing sebesar 55,8 persen dan 34,9 persen.

Gambar 6.2. Jenis Keluhan IMS

17 19 35 6 8 56 91 92 70 0 20 40 60 80 100

WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria

Pe

rs

en

Luka/koreng di daerah alat kelamin

Benjolan di sekitar alat kelamin

Keputihan disertai dengan bau tak sedap Kencing nanah

(41)

Tempat Berobat

Lebih dari separuh (sekitar 54 persen) WPS tidak langsung mencoba mengobati sendiri ketika mereka merasakan gejala IMS. Sementara sekitar 29 persen dari WPS langsung dan 44 persen dari responden pria yang mengalami gejala yang sama mencoba untuk mengobati sendiri. Jelas bahwa pengobatan sendiri tidak efisien. Sekitar 74 persen perempuan (WPS) dan sekitar 70 persen laki-laki yang mencoba mengobati dirinya sendiri akhirnya pergi ke tempat pelayanan kesehatan juga. Hasil SSP di Jawa Barat menunjukkan bahwa petugas kesehatan masih merupakan tempat yang paling dominan untuk mencari pengobatan IMS yang dialami oleh ketiga kelompok sasaran.

Preferensi permintaan tolong pada petugas kesehatan untuk mengobati IMS yang diderita ternyata berbeda antar kelompok sasaran, khususnya antara WPS langsung di satu sisi dan WPS tidak langsung serta responden pria di sisi lain. WPS langsung mempunyai pilihan tempat berobat yang beragam, namun yang dominan adalah Mantri Kesehatan (46,6 persen).

Gambar 6.3. Responden yang Pernah Mengalami Gejala IMS menurut Cara yang Dilakukan Saat Mengalami Gejala IMS tersebut

Petugas kesehatan masih merupakan pilihan utama pengobatan keluhan IMS yang dialami responden 12 39 14 71 42 47 0 4 9 15 30 17 0 20 40 60 80 100 WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria Persen Berobat ke petugas kesehatan Tidak melakukan sesuatu/tidak diobati Melakukan pengobatan sendiri dg antibiotik Melakukan pengobatan sendiri dg jamu/obat lain

(42)

Sementara itu, kalangan WPS tidak langsung (36,4 persen) lebih suka berobat ke Rumah Sakit dan responden pria lebih suka berobat ke Puskesmas/Pustu (35,0 persen) dan Mantri Kesehatan (35,0 persen). Tidak jelas apa alasan pilihan ini, bisa karena akses yang mudah, sudah langganan atau karena biaya berobat yang berbeda.

Gambar 6.4. Responden yang Mengalami Gejala IMS menurut Tempat Berobat/ Fasilitas Kesehatan 3 36 5 28 9 35 21 27 25 47 27 35 0 2 0 0 10 20 30 40 50 WPS Langsung WPS Tidak Langsung Responden Pria Persen Klinik/Yayasan Mantri Kesehatan/Bidan Dokter Puskesmas/Pustu Rumah Sakit

(43)

7

Kesimpulan dan Saran

Epidemi HIV telah berlangsung lebih dari 20 tahun. Dalam masa itu, kita telah belajar banyak tentang bagaimana dan apa yang perlu dilakukan untuk mencegah penyebarluasan HIV dan mengurangi dampaknya. Berbagai upaya ini biasanya dimulai dengan memberikan informasi dan melakukan kampanye kepedulian pada kelompok masyarakat yang berisiko tinggi terinfeksi HIV.

Di Jawa Barat, intervensi pendidikan seperti ini tidaklah cukup meluas. Sekitar 14 persen WPS tidak langsung dan sekitar 10 persen responden pria yang mengatakan mereka pernah mengetahui atau memperoleh kampanye pencegahan HIV selama setahun terakhir. Cakupan program kampanye “pengetahuan dasar” yang sangat rendah ini diduga menjadi salah satu sebab masih rendahnya tingkat pengetahuan kelompok sasaran tentang perlindungan dasar seperti penggunaan kondom di antara kaum lelaki yang berisiko tinggi terhadap HIV.

Satu hal yang dapat kita pelajari adalah bahwa informasi itu sendiri tidaklah cukup. Orang memerlukan motivasi, kepandaian/keterampilan dan pelayanan untuk menindaklanjuti informasi yang mereka terima. Data yang disajikan dalam laporan ini memberikan gambaran bahwa semua itu masih kurang dalam konteks Jawa Barat. Hasil SSP ini meng-ungkapkan adanya perilaku berisiko pada tingkat yang tinggi dan adanya ancaman yang kuat akan cepat meluasnya epidemi HIV di daerah ini. Bagian ini memberikan ringkasan mengenai beberapa temuan utama dari putaran pertama surveilans perilaku di Jawa Barat, dan tantangan yang muncul, serta usulan tindakan untuk menghadapi tantangan tersebut.

Temuan Kunci

Pengetahuan dan Persepsi Berisiko

• Banyak orang pernah mendengar tentang AIDS, tetapi pengetahuan detil tentang HIV, dan cara pencegahannya masih sangat rendah. • Ada kesenjangan yang luas dalam pengetahuan di antara lelaki

dengan perilaku berisiko tinggi (responden pria), khususnya mengenai penting dan efektifnya penggunaan kondom.

• Adalah sangat berbahaya dengan adanya kepercayaan yang begitu meluas bahwa menggunakan obat sebelum atau sesudah berhubungan seks dapat melindungi atau mencegah dari tertular IMS, juga HIV. • Bahkan di antara mereka yang mempunyai pengetahuan cukup tidak

(44)

• Banyak orang yang tahu bagaimana HIV dapat ditularkan tetapi tidak merasa berisiko tertular penyakit tersebut, meskipun mereka melaporkan melakukan hubungan seks tanpa pelindung dengan banyak pasangan. Ada ketidak sesuaian yang substansial terjadi pada orang orang yang merasa berisiko dengan perilaku berisiko yang mereka lakukan.

Perilaku Berisiko dan Kondom

• Banyak kaum lelaki dalam kelompok responden SSP melakukan hubungan seks setelah menikah dan berhubungan seks di luar pasangan nikahnya serta sepertiga lelaki yang berstatus belum kawin melaporkan juga hal yang sama. Sekitar seperempat dari kaum lelaki membeli seks dari WPS, yang menggunakan kondom sangat sedikit. • WPS langsung di Jawa Barat dilaporkan merupakan pengguna

kondom yang paling rendah di antara penjaja seks di Indonesia. • Terlepas dari masih rendahnya tingkat penggunaan kondom, kondom

pada kenyataannya telah tersedia di tempat transaksi seks berada. Namun demikian kondom tersebut tidak secara luas tersedia di lain tempat, seperti di tempat tempat kaum lelaki dengan risiko tinggi beristirahat dan berekreasi.

• Alasan sebagian besar WPS tidak menggunakan kondom adalah karena pelanggannya tidak suka atau tidak mau menggunakannya. • Proporsi responden dan pasangan seksnya yang menggunakan

narkoba suntik memang kecil, namun aktivitas ini merupakan kegiatan yang sangat berisiko tinggi tertular HIV.

Kesehatan dan Pemeliharaan Kesehatan

• Perilaku berisiko tinggi mempunyai konsekuensi yang dapat diukur dari tingginya persentase orang-orang yang melaporkan tertular IMS. Mayoritas mereka yang pernah tertular IMS adalah mereka yang melaporkan tidak menggunakan kondom.

• Banyak orang mempunyai gejala IMS berusaha mengobati diri mereka sendiri terlebih dahulu. Bila upaya ini gagal baru mereka pergi ke tempat pelayanan kesehatan.

• Lebih dari seperlima responden menggunakan tempat praktek dokter sebagai tempat pelayanan kesehatan. Tidak jelas benar apakah para dokter ini mendapat pelatihan cara menangani IMS atau tidak.

• Proporsi yang cukup tinggi dari WPS melaporkan menerima injeksi secara rutin untuk “melindungi diri” dari HIV dan IMS. Ini merupakan tantangan bagi kebijakan pemerintah, dan merupakan sesuatu yang berbahaya bagi kaum perempuan yang telah “merasa aman” dengan adanya injeksi tersebut.

(45)

Usulan Tindakan

• Menjamin tersedianya akses terhadap informasi yang benar, detil, dan relevan, tentang HIV, dan bagaimana pencegahannya untuk orang-orang yang berisiko tinggi.

• Menyediakan informasi rinci tentang kondom bagi kaum lelaki, termasuk demonstrasi penggunaannya, dan pengorganisasian “kampanye penggunaan kondom” yang menyediakan “insentif” bagi kaum lelaki yang tidak pernah menggunakan kondom untuk mencobanya.

• Mempertimbangkan pelaksanaan promosi dan distribusi kondom di kalangan responden pria dan di tempat tempat lain di mana kaum lelaki dengan perilaku risiko tinggi dapat secara berkala ditemui. • Dalam semua aktivitas promosi kondom, tekankan akan pentingnya/

perlunya penggunaan kondom pada seks berisiko.

• Bekerja sama dengan pemilik bordil dan bar untuk menganjurkan para germo/mucikari/mami, dan berbagai pihak berpengaruh yang mempunyai kontak dengan pelanggan untuk menegosiasikan penggunaan kondom dan menyediakan kondom langsung.

• Melaksanakan penelitian kualitatif untuk memahami secara lebih baik mengapa orang orang yang melaporkan berperilaku berisiko tidak merasa terancam oleh HIV dan IMS, dan menggunakan hasil penelitian tersebut untuk kampanye perlindungan di masa datang. • Kampanye secara aktif untuk mengakhiri kepercayaan bahwa

meminum obat merupakan cara yang benar untuk melindungi diri dari IMS dan HIV.

• Berupaya secara aktif untuk menghentikan praktek-praktek penyuntikan massal bagi penjaja seks. Mempertimbangkan sanksi hukumnya termasuk menutup atau membekukan izin praktek bagi orang orang yang menyediakan “jasa” tersebut.

• Menjamin bahwa praktisi medis (termasuk dokter praktek) yang menyediakan pelayanan pengobatan IMS bagi kelompok berisiko tinggi telah mendapat pelatihan yang memadai tentang pengelolaan dan konseling pencegahan, serta mempunyai akses pada pelayanan jasa laboratorium yang berkualitas dan pasokan obat-obatan yang tepat.

• Bekerjasama dengan pekerja pekerja di bidang industri seks dan yang terkait untuk merujuk skrining dan perawatan IMS kepada tenaga terlatih yang tepat. Mempertimbangkan untuk mengenalkan “kartu sehat” bagi WPS, yang mencatat kunjungan skrining dan sejarah perlakuan pengobatan yang pernah dialami.

• Melakukan penilaian secara detil mengenai penggunaan narkoba suntik dan kaitannya dengan seks komersil, dan memulai program pengurangannya bila diperlukan.

(46)

Gambar

Gambar  Judul Gambar
Tabel Indikator Kunci  Indikator  WPS  Langsung  WPS  Tidak  Langsung  Responden Pria
Tabel Alokasi Sampel Survei Surveilans Perilaku 2002 di Kabupaten Karawang,  Kabupaten dan Kota Bekasi - Jawa Barat
Gambar 2.1.  Struktur Umur Responden
+7

Referensi

Dokumen terkait

Mengembangkan Inovasi Membangun Motivasi Kerja Melakukan Komunikasi Menangani Konflik Mengambil Keputusan.. melalui pembelajaran maupun bimbingan baik secara aktif,

Model yang kedua adalah " daur bahan bakar tertutup" ( closed fuel cycle) dimana pada model Ini uranium dan plutonium dipungut dari bahan bakar bekas melalui proses olah

Kívánatos az ülőpontok minél nagyobb, függőleges y tengely irányú elmozdulásai (HT3), melynek következtében a páciens fel-le mozog, mely a terápia

Meskipun komputer tidak memiliki drive optik terpadu, Anda dapat mengakses perangkat lunak dan data, lalu menginstal aplikasi, dengan berbagi drive optik yang tersambung ke

Hal tersebut disebabkan karena minimum interference dengan metode two-hop mengalokasikan resource dengan melihat interferensi total terkecil yang disebabkan oleh

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1) Mengetahui jarak pandangan henti minimum berdasarkan kecepatan kendaraan dan jarak pandang yang

EVALUASI Nilai Budaya & Karakter Bangsa Indikator Pencapaian Kompetensi Tehnik Penilaian Bentuk Penilaian Contoh Instrumen Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja

Apabila perceived value (nilai yang dirasakan) konsumen semakin tinggi, konsumen akan semakin puas. Kepuasan yang semakin tinggi, akan mendorong konsumen menunjukkan