DAFTARPUSTAKA
Al-Attas, Syed M. Naquib,1984, Konsep Pendidikan Dalam Islam, terj: Haidar Bagir. Mizan, Bandung.
_______, 1986, A Commentary On the Hujjat Al-Siddiq Of Nur Al-Din
Al-Raniri, Ministry of Culture, Kuala Lumpur.
_______, 1995, Prolegemena to the Metaphysich of Islam. Prospecta (M) SDN. BHD, Kuala Lumpur.
_______, 1995, Islam dan Filsafat Sains, terj: Saiful Muzani. Mizan, Bandung.
_______, 2010, Islam dan Sekularisme, terj: Khalif Muammar. Percetakan Pimpin, Bandung.
Al-Asfahany, Al-Raghib, tt. Mu’jam Mufradat Al fadzal-Qur’an, Dar al-Fikr. Beirut.
Al-Yasu’iy, Luis Ma’luf, 1978, Al-Munjid fi al-Lughah wa al-Adab wa
al-Ulum, Dar al-Masyriq, Beirut.
Anis, Ibrahim, 1972, Al-Mu’jam al-Wasith, Dar al-Ma’arif, Mesir.
An-Nahlawi, Abdurrahman, 1989. Prinsip-Prinsip dan Metoda
Pendidikan Islam: dalam Keluarga, di Sekolah dan Masyarakat,
CV. Diponegoro, Bandung.
Bakar, Osman, 2008, Tawhid and Science: Islamic Perspetives
on Religion and Science, terj: Yulianto Liputo dan M.S.
Nasrullah,Tauhid dan Sains:Perspektif Islam tentang Agama
dan Sains, Pustaka Hidayah, Bandung.
Ridha, Muhammad Rasyid, 1991, Tafsir Al-Fatihah: Menemukan
Hakikat Ibadah, terj: Tiar Anawar Bachtiar, Al-Bayan Mizan,
Bandung.
Sudjana, Djudju, 2007, Rujukan Filsafat, Teori, dan Praksis Ilmu
Pendidikan, Rohman natawidjaja (ed.), UPI Press, Bandung.
PEMIKIRAN PENDIDIKAN PERSPEKTIF FILSUF MUSLIM
(Kajian Kritis terhadap Pemikiran Muhammad Abduh dan Muhammad Iqbal)
Hasan Baharun
Dosen IAI Nurul Jadid Paiton Probolinggo Email : [email protected]
Abstract :
The role of philosophy in the development of Islamic education has a very important, especially in determining the direction of educa-tion in accordance with the expectaeduca-tions of all parties. Muhammad Abduh and Muhammad Iqbal was a leading figure of Muslim philo-sophers who provide brilliant ideas for the direction of educatio-nal reform Islam. Through the concept of renewal that has been overshadowed in the analysis of the social context of religious and educational experience of the two leading figures, make education easily accepted thinking and developed in some parts of the world so that it becomes the treasury for the development of Islam in the world. According to him, education is a primary need of man, so it is necessary to look for alternative solutions in order to get out of the intellectual stagnation of Muslims at the time. Both strive to transform education thought the Muslims of his time in order to learn from the empirical reality and are not confined to the rigidity and stagnation due to rampant blind imitation, heresy, zuhd, and superstition which binds the Muslims of his time. Both saw that the main cause of backwardness of Muslims is quite alarming is the loss of intellectual traditions, namely freedom of thought.
Peran filsafat dalam pengembangan pendidikan Islam memiliki posisi yang sangat penting, terutama dalam menentukan arah pendidikan yang sesuai dengan harapan semua pihak. Muhammad Abduh dan Muhammad Iqbal merupakan sosok filosof muslim terkemuka yang memberikan pemikiran cemerlang bagi arah pembaharuan pendidi-kan Islam. Melalui konsep pembaharuan yang dilatarbelapendidi-kangi pada analisis konteks sosial keagamaan dan pengalaman pendidikan dari dua tokoh terkemuka tersebut, menjadikan pemikiran pendidikan-nya mudah diterima dan dikembangkan di beberapa penjuru du-nia sehingga menjadi khazanah bagi perkembangan Islam di dudu-nia. Menurutnya, pendidikan merupakan kebutuhan primer manusia, sehingga perlu dicarikan solusi alternatif agar keluar dari stagnasi
▸ Baca selengkapnya: karya muhammad iqbal yang terkenal
(2)Pemikiran Pendidikan Muhammad Abduh 1. Historisitas Muhammad Abduh
Secara historis, Muhammad Abduh adalah seorang sarjana, pen-didik, mufti, teolog dan tokoh pembaharu serta filosof muslim terke-muka yang berasal dari Mesir. Nama lengkap beliau adalah Muham-mad bin Abduh bin Hasan Khairullah (M. Quraish Shihab: 1994:11) yang dilahirkan pada tahun 1849 (1266 H) di desa Delta Mesir bagian hilir dan wafat pada tahun 1905 M. (Muhammad In’am Esha: 2011: 157). Beliau adalah putra petani dari keturunan Turki yang telah lama menetap di Negeri Mesir. Sedangkan Ibunya adalah keturunan Arab yang memiliki hubungan darah dengan suku Arab yang memiliki silsilah dengan kholifah Umar ibn Khattab.
Muhammad Abduh sejak kecil sudah diketahui sebagai anak yang memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi. (Harun Nasution: 1982: 58). Di usia kanak-kanak ia telah mampu menghafal al-Qur’an dalam wak-tu hanya 2 tahun. Selanjutnya ia dikirim ke masjid al-Ahmady selama dua tahun untuk mempelajari Bahasa Arab, Nahwu dan berbagai pen-getahuan kebahasaan. Ternyata metode taqlidiyat (verbalisme) yang digunakan ketika itu tidak memuaskan keinginan Muhammad Abduh, hingga ia meninggalkan perguruan tersebut.
Menyadari akan potensi yang dimiliki oleh Muhammad Abduh dan perilaku yang demikian, maka pamannya Syeh Darwis berusaha membimbingnya. Atas saran serta ketekunan Syekh Darwis, akhir-nya Muhammad Abduh bersedia melanjutkan pelajaranakhir-nya ke kota Thanta tahun 1865. Kemudian dia melanjutkan pelajarannya di al-Azhar, dan menamatkan pelajarannya pada tahun 1877. Di sinilah dia memperoleh pengalaman yang paling berkesan dari gurunya Syeh Hasan al-Thawil dan Syekh Muhammad al-Basyuni, masing-masing se-bagai guru mantiq dan Balaghah. Selain itu, Muhammad Abduh sem-pat pula berkenalan dan sekaligus menjadi murid Jamal al-Din al-Af-ghani. Dari tokoh ini, ia mempelajari berbagai macam ilmu. Dengan demikian, kemampuan intelektual Muhammad Abduh kian tampak, hingga memungkinkan ia giat menulis di harian al-Ahram sejak awal didirikan. (Jalaluddin & Usman Said: 1999:154).
intelektual umat Islam ketika itu. Keduanya berupaya untuk men-transformasikan pemikiran kependidikan kaum muslim pada masa-nya agar belajar dari realitas empirik dan tidak terkungkung pada kebekuan dan kejumudan akibat maraknya taklid buta, bid’ah, zuhd, dan khurafat yang membelenggu kaum muslim pada masanya. Keduanya melihat bahwa penyebab utama keterbelakangan umat Islam yang cukup memprihatinkan adalah hilangnya tradisi intelek-tual, yaitu kebebasan berpikir.
Keywords : Thinks, Education, Philosof of Muslim
Pendahuluan
Pendidikan memiliki posisi penting dalam kehidupan manusia. Mengingat pentingnya pendidikan bagi kehidupan manusia, maka Is-lam sebagai agama yang rahmatan lil aIs-lamin, memberikan perhatian serius terhadap perkembangan pendidikan bagi kelangsungan hidup manusia. Pendidikan sebagai sebuah proses akan melahirkan banyak manfaat dan hikmah besar bagi keberlangsungan hidup manusia, sehingga doktrin Islam tentang pentingnya pendidikan banyak ter-maktub dalam al-Qur’an dan al-Hadits sebagai sumber hukum utama dan interprestasi ulama’ serta pemikir-pemikir muslim terkemuka yang menjelaskan tentang pentingnya pendidikan bagi manusia da-lam kehidupannya sebagai kholifah fil a’rdh.
Dalam upaya meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan, ba-nyak tokoh terkemuka yang lahir pada zaman dahulu – melalui ber-bagai macam disiplin keilmuannya – telah banyak melahirkan konsep dan teori yang banyak diadopsi oleh manusia pada zaman ini. Hal itu ditujukan untuk memberikan wawasan serta pemahaman yang kom-pleks, bahwa manusia dapat maju dan berubah menjadi lebih baik melalui pendidikan.
Muhammad Abduh dan Muhammad Iqbal misalnya, beliau meru-pakan filosof muslim dan pemikir pendidikan kaliber dunia yang telah banyak melakukan rekonstruksi di bidang pendidikan pada tataran pemikiran dan langkah konkrit guna memajukan pendidikan Islam agar supaya dapat mengangkat harkat dan martabat manusia dalam kehidupannya. Melalui pemikirannya, keduanya mampu membuat peradaban baru dalam Islam yang dikenang sepanjang masa.
2. Pemikiran Pendidikan Muhammad Abduh
Muhammad Abduh dikenal sebagai sosok yang memperjuangkan ide-ide modernitas yang diarahkan untuk kemajuan masyarakat mus-lim. (Ahmad N. Amir: Asian Journal Of Management Sciences And Education: Vol. 1. No. 1, April 2012, 4). Sebagai seorang pemikir muslim yang terkenal dalam memajukan dunia Islam, Muhammad Abduh dalam pemikirannya dilatar belakangi oleh faktor situasi so-sial keagamaan (M. Amin Abdullah: 1999: 127) dan situasi pendidikan yang ada pada saat itu, terutama pengalaman pendidikan yang diala-minya. Situasi sosial keagamaan yang dimaksud dalam hal ini adalah sikap yang umumnya diambil oleh umat Islam di Mesir dalam mema-hami ajaran-ajaran agama dalam kehidupan mereka sehari-hari. Si-kap tersebut tidak jauh berbeda dari apa yang dialami umat Islam di bagian dunia Islam lainnya. Pemikiran yang statis, taklid, bid’ah dan khurafat yang menjadi ciri dunia Islam saat itu, juga berkembang di Mesir. Muhammad Abduh memandang pemikiran yang jumud itu telah merambat dalam berbagai bidang, bahasa, syari’ah, akidah, dan sistem masyarakat. Oleh karena itu, pintu ijtihad perlu dibuka lebar-lebar dan menentang taklid serta memfungsiakn akal. (Haidar Putra Daulay: 2013: 166).
Keadaan lainnya yang memunculkan pemikiran pendidikan Mu-hammad Abduh adalah sistem pendidikan yang ada pada saat itu. Pada abad ke-19 Muhammad Abduh mengawali pembaharuan pendi-dikan di Mesir. Gagasannya yang paling esensial adalah mewujudkan kebangkitan masyarakat Islam. (Normuslim: Anterior Jurnal, Volume 12 Nomor 2, Juni 2013, 99). Baginya pendidikan itu penting sekali, karena menurut ajaran Islam bahwa mempelajari ilmu pengetahuan itu hukumnya wajib. Dalam hal ini Muhammad Abduh berusaha men-cari alternatif pemecahan atas pemberhentian dan kebekuan pelak-sanaan kegiatan belajar mengajar di madrasah Mesir, baik dalam hal penetapan mata pelajaran maupun pemilihan metode. Muhammad Abduh berusaha membenahi kegiatan belajar mengajar dengan cara kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya, yakni Islam mendo-rong untuk mengembangkan potensi intelektual, khususnya dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
Muhammad Abduh berusaha untuk merombak sistem pendidikan yang ada saat itu, di mana terjadi dualisme sistem kependidikan, yaitu model pendidikan yang dilaksanakan di sekolah-sekolah mo-dern, baik yang dibangun oleh pemerintah Mesir maupun sekolah yang dibangun oleh bangsa asing, dan model sekolah agama yang bersifat doktrinal dan tradisional. Abduh melihat bahaya yang akan timbul dan sistem dualisme dalam pendidikan tersebut. (Zuhairini: 1997: 123).
Kedua model sekolah tersebut tidak mempunyai hubungan an-tara yang satu dengan yang lainnya, masing-masing berdiri sendiri dalam memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan pendidikannya. Sekolah-sekolah agama berjalan di atas garis tradisional, baik dalam kurikulum, maupun metode pengajaran yang diterapkan. Pengajaran fiqih misalnya, terbatas pada masalah ibadah dan hukum-hukumnya yang diberikan tanpa pengertian dan pemahaman terhadap apa yang diterima. Pada sekolah-sekolah agama juga tidak diberikan mata pe-lajaran ilmu-ilmu modern yang berasal dari barat. Dengan demikian pendidikan agama pada saat itu kurang memperhatikan perkemban-gan aspek intelektual yang sebenarnya dan harus mendapat perha-tian besar sesuai dengan ajaran Islam.
Sebaliknya, pada sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh pe-merintah, kurikulum yang diberikan adalah ilmu pengetahuan Barat sepenuhnya, tanpa memasukkan ilmu pengetahuan agama. Keadaan seperti itu, menurut Muhammad Abduh, juga terjadi di sekolah-se-kolah militer, para murid pada umumnya tumbuh dengan bekal ilmu pengetahuan yang memenuhi otak dan pemikiran, tanpa pengeta-huan yang mendalam sehingga dapat membentuk sikap dan kepri-badiannya agar lebih setia terhadap tugas yang dibebankan negara, memelihara kedisiplinan, serta lebih taat kepada Allah.
Dualisme pendidikan yang demikian juga melahirkan dua kelas sosial dengan spirit yang berbeda. Model sekolah yang pertama memproduksi para ulama serta tokoh masyarakat yang enggan me-nerima perubahan dan cenderung untuk mempertahankan tradisi, sedangkan model sekolah yang kedua melahirkan kelas elite genera-si muda yang sering menggunakan slogan «kebebasan, nagenera-sionalisme
dan etnisitas». Mereka meniru pola dan gaya hidup ala Barat yang akhirnya terjerumus kepada sikap konsumerisme dan pemborosan. (Abdul Kholiq dkk: 1999: 195).
Melihat kenyataan yang demikian, Muhammad Abduh berusaha untuk merekonstruksi pola pikir yang pertama karena tidak dapat dipertahankan lagi. Apabila pemikiran tersebut dipertahankan, maka akan menyebabkan umat Islam tertinggal jauh, terdesak oleh arus kehidupan dan pemikiran modern. Sedangkan pada pola pemikiran kedua, ia melihat bahaya yang mengancam sendi-sendi agama dan moral yang akan tergoyah oleh pemikiran modern yang mereka serap karena menafikan aspek relegiutas.
Dari berbagai problematika yang dihadapi oleh umat Islam saat itu, maka Muhammad Abduh melahirkan pemikiran pendidikan yang dibagi ke dalam dua hal, yaitu pendidikan formal dan pendidikan non formal yang tujuan esensinya adalah menghapuskan dualisme pendi-dikan yang tampak, yakni pendipendi-dikan modern dan pendipendi-dikan agama. Oleh karena itu, ia bertolak dari tujuan pendidikan yang dirumuskan sebagai berikut : Tujuan pendidikan adalah mendidik akal dan jiwa dan menyampaikannya kepada batas-batas kemungkinan seseorang mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Rumusan tujuan pendidikan tersebut dapat dipahami, bahwa tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh Muhammad Abduh adalah tujuan dalam pengertian yang luas, mencakup aspek akal (kognitif) dan aspek spiritual (afektif). Dengan tujuan demikian pula ia men-ginginkan terbentuknya pribadi yang mempunyai struktur jiwa yang seimbang, yang tidak hanya menekankan perkembangan akal, tetapi juga perkembangan spiritual. Tujuan pendidikan Muhammad Abduh yang demikian itu jelas berbeda dengan tujuan pendidikan yang ber-laku saat itu, yakni mementingkan perkembangan salah satu aspek dan mengabaikan aspek lainnya. (Arbiyah Lubis: 1993: 156).
Sesuai dengan tujuan pendidikan yang dicetuskan oleh Muham-mad Abduh, menurutnya pendidikan harus diikuti oleh semua orang, baik laki-laki maupun perempuan. Perempuan haruslah mendapat hak-hak yang sama dalam bidang pendidikan dengan kaum lelaki, karena dalam agama tidak ada pembedaan gender dalam
mendapat-kan pendidimendapat-kan semasa hidupnya.
Bagi Abduh, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang da-lam prosesnya mampu mengembangkan seluruh fitrah peserta didik, terutama fitrah akal dan agamanya. Dengan fitrah ini, peserta didik akan dapat mengembangkan daya berfikir secara rasional. Sementa-ra melalui fitSementa-rah agama, akan tertanam pilar-pilar kebaikan pada diri peserta didik yang kemudian terimplikasi dalam aktivitas hidupnya. (Samsul Nizar: 2007: xi).
Sedangkan untuk mencapai tujuan pendidikan sebagaimana ter-sebut di atas, Muhammad Abduh mengenalkan metode baru dalam pendidikan dan pengajaran. Ia tidak setuju dengan metode hafalan (verbalistik) tanpa adanya pengertian, dan terlebih dapat merusak daya nalar peserta didik, sebagaimana yang dipraktekkan di sekolah-sekolah pada umumnya, terutama pada sekolah-sekolah agama. Muhammad Abduh lebih memilih menerapkan metode diskusi untuk memberikan pengertian yang mendalam kepada murid agar dapat mengasah otak dan menemukan solusi yang «cerdas» dalam setiap permasalahan yang dihadapi.
3. Analisis Kritis Pemikiran Muhammad Abduh
Dari paparan tersebut di atas dapat ditarik suatu benang me-rah bahwa Muhammad Abduh adalah seorang reformer garda depan terhadap kondisi masyarakat pada masanya. Pengaruh berbagai ide filosofismenya mampu mengantarkan sebuah dekonstruksi-re-konstruksi masyarakat, seperti persoalan wakaf, hukum dan pendidi-kan. Pembaharuan pendidikan pernah dilakukannya secara besar-be-saran dilingkungan lembaga pendidikan tinggi al-Azhar (Jalaluddin & Usman Said: 1999: 155), karena pendidikan yang terdapat di dalam-nya merupakan kebanggaan umat Islam. (Jurnal el-Hikmah: Volume III, Nomer : 01, Juli 2005, 116. ).
Di samping seorang reformer, Muhammad Abduh juga seorang ulama pendidikan yang memiliki pemikiran secara makro, yang be-rarti memiliki wawasan agama, politik dan lain-lain. Berangkat dari keilmuan, dia menggerakkan pembaharuan pendidikan guna mem-bebaskan murid, mahasiswa maupun masyarakat dari keterkungkun-gan, kebodohan dan kemunduran. Pemikiran pendidikan Muhamamad
Abduh dimulai dari keilmuan dan pengalaman ketika belajar dari satu desa ke desa yang lain, berangkat dari guru yang satu ke guru yang lain. Demikian pula, pengalaman mengajar dari tiga jalur utama per-guruan tinggi al-Azhar, Dar al-Um, Perper-guruan bahasa Khadawi.
Di sisi lain, Muhammad Abduh juga memprioritaskan kebersa-maan dan memperlemah jiwa individualisme dan separatisme. Dia mengambil metode melalui pendidikan yang sebenarnya, yaitu pen-didikan yang didasarkan pada ajaran Islam. Kata Abduh, yang domi-nan sekarang adalah kemajuan intelektual dan pemikiran sebagai contoh bangsa yang luas pemikirannya dan menguasai bidang ilmu pengetahuan maka akan kuat dan menguasai lainnya. Demikian pula dia mengatakan bahwa manusia tidaklah dikatakan utuh kecuali den-gan pendidikan. Pendidikan di sini berarti mengikuti prinsip-prinsip yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul Nya.
Selanjutnya, pengakajian secara rinci aktualisasi konsep maupun pembaharuan yang ditwarkan secara praktis dapat dijelaskan tidak terbatas pada wilayah sistem pengajaran seperti metode, kurikulum, administrasi, kesejahteraan guru, tetapi juga mencakup persoalan fisik, seperti sarana mahasiswa, perpustakaan dan peningkatan pe-layananan kesejahteraan mahasiswa. Prioritas Abduh sendiri dalam mengembangkan sistem pendidikan tidak dapat dipisahkan dari ber-bagai masalah yang berkaitan dengan tujuannya, berber-bagai metode yang terpenting dalam mendidik peserta didik dengan sebuah sistem pendidikan yang tepat, yang tercermin dalam tujuan, bahan pelaja-ran dan metode pengajapelaja-ran.
Selanjutnya, format kurikulum yang ditawarkan Muhammad Abduh dapat dilihat perinciannya sebagai berikut : (1) pendidikan tingkat sekolah dasar meliputi membaca, menulis, berhitung sampai pada tingkat tertentu, pelajaran yang berkenaan dengan agama dan sejarah (2) pendidikan tingkat menengah meliputi mantiq atau logi-ka, dan dasar-dasar logilogi-ka, aqidah, fiqih, akhlaq dan sejarah Islam secara komprehensif (3) pendidikan tingkat atas, pada tingkatan ini lebih universal, karena dipersiapkan urafa’ al-ummah yang menca-kup tafsir, Hadits, Bahasa Arab dengan segala lambangnya, akhlaq, ushul fiqh, sejarah, retorika, dasar-dasar diskusi dan ilmu kalam.
Sistem di atas merupakan gambaran secara umum yang dibuat wacana referensi yang berkenaan dengan ilmu-ilmu agama. Akan te-tapi Muhammad Abduh juga tidak menolak sebuah sistem yang dita-warkan oleh sistem pendidikan Barat untuk dijadikan mata rantai kurikulum yang diterapkan di lembaga pendidikan tinggi Islam, dan sudah barang tentu mengambil hal-hal yang positif dan proporsional saja dalam aspek pengembangan pendidikannya.
Pemikiran Pendidikan Muhammad Iqbal 1. Historisitas Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal lahir pada tanggal 22 Februari 1873 (Robert D. Lee: 2000: 92) di Sialkot perbatasan Punjab Barat dan Khasmir. Iq-bal dilahirkan dari keluarga miskin, tetapi dengan bantuan beasiswa yang diperolehnya, ia dapat menempuh pendidikan yang lebih baik di sekolahnya. (Rosichin Mansur: Jurnal Lentera:). Setelah menamatkan sekolah dasar di kampung kelahiranya pada tahun 1895, ia segera melanjutkan pelajarannya di Lahore. Di kota ini ia bergabung dengan perhimpunan sastrawan musyara’ah, yakni pertemuan-pertemuan di mana para penyair membacakan sajak-sajaknya. (Syarif Hidayatul-lah: Jurnal Pendidikan Islam: Vol. II, No. 2, 2013: 421). Ini meru-pakan tradisi yang masih berkembang di Pakistan dan India hingga kini. Ia telah mendapat binaan dan gemblengan dengan jiwa muda yang berhati baja oleh Maulana Mir Hasan seorang ulama militant dan kawakan, teman ayahnya. (A. Mustofa: 1997: 330). Darinya, Iqbal memperoleh banyak motivasi akan rasa cinta terhadap ilmu dan pen-getahuan kesusastraan Islam. (Abu al-Hasan Ali al-Husni al-Nadwi: 1985: 13-14).
Ulama’ ini memberikan dorongan dan sengat yang mewarnai dan mendasari jiwa Iqbal dengan ruh agama yang senantiasa bersemayam dalam jiwanya, menggelora dalam hati anak muda, menentukan ge-rakan dan langkah, tujuan dan arah. Keberhasilan ulama tersebut dalam membinanya membawa kesan yang mendalam di hati Iqbal.
Seorang orientalis kenamaan, Sir Thomas W. Arnold yang memi-liki pandangan yang lain terhadap Islam adalah termasuk pula guru-nya. Ia melihat akan kecerdasan Muhammad Iqbal dan menyarankan Iqbal melanjutkan studinya ke Eropa. Saran tersebut dilaksanakan,
sehingga pada tahun 1905, Iqbal melanjutkan studinya di fakultas hukum Universitas Cambridge Inggris hingga kemudian memperoleh gelar kesarjanaan dalam ilmu tersebut. (Abu al-Hasan Ali al-Husni al-Nadwi: 1985: 331).
Tertarik akan ilmu filsafat, ia juga sempat mengenyam tingkat doctoral dalam filsafat modern pada universitas Munich di Jerman dengan disertasi The Development of Metaphysics in Persia (Perkem-bangan Metafisika di Persia) dengan nilai yang sangat memuaskan.
2. Pemikiran Pendidikan Muhammad Iqbal
Tahun 1927 Iqbal berpolitik dan menjadi anggota dewan legist-latif Punjab, setelah satu dasawarsa ia pernah terjun ke dunia poli-tik kepoli-tika bertekun diri mengembangkan falsafahnya yang kemudian muncul dalam karya-karya besarnya. Pada tahun 1930 ia ditunjuk sebagai ketua sidang tahunan Muslim League. Sebagai seorang ketua, dalam pidato di hadapan Muslim League di Allahabad, Iqbal menge-mukakan rencananya dalam mencari penyelesaian jalan buntu politik di anak benua India. Dengan mensitir pendapat Renan, Iqbal menge-mukakan bahwa manusia itu tidak dapat diperbudak baik oleh ras, agama, batas-batas, sungai atau oleh barisan gunung-gunung. Seke-lompok besar manusia yang memiliki pikiran sehat dengan hati yang penuh semangat dapat saja membentuk kesadaran moral yang biasa disebut bangsa.
Dalam pidatonya itu, Iqbal jauh-jauh sudah membayangkan per-lunya umat Islam India dengan alasan-alasan yang cukup logis menen-tukan nasibnya sendiri. Oleh karena itu, tuntunan umat Islam akan membentuk India Islam dalam wilayah Islam, sungguh merupakan tuntutan yang adil dan masuk akal. Untuk menentukan nasibnya sen-diri, maka diperlukan usaha untuk keluar dari “kebodohan” menuju kepada peningkatan kualitas diri yang dapat ditempuh melalui jalur pendidikan yang ada, apakah pendidikan formal maupun pendidikan non formal.
Dari pidato yang disampaikannya, yang secara tidak langsung merupakan hasil pemikirannya, terdapat pula pemikiran-pemikiran
lainnya yang cukup menarik. Diantara pemikiran-pemikiran Muham-mad Iqbal yang menarik adalah tentang pentingnya arti dinamika dalam hidup. Tujuan akhir setiap manusia ialah hidup, keagungan, kekuatan dan kegairahan. ()Muhammad Iqbal: 1983:448). Semua ke-mampuan manusia harus ditentukan sesuai dengan kecakapan hidup yang dihasilkannya. Mutu seni yang tinggi ialah yang dapat meng-gunakan kemajuan yang sedang tidur mendorong kita menghadapi cobaan-cobaan manusiawi. Segala yang membawa pengaruh hidup, kelesuan yang membuat kita menutup mata terhadap kenyataan di sekeliing kita, yang karena itu saja hidup bergantung, maka itu ada-lah suatu ajakan yang akan menejerumuskan orang ke dalam kehan-curan dan maut.
Iqbal sangat menentang keras sifat lamban, lemah dan beku yang dipandangnnya sebagai penghambat kemajuan dan kelajuan. Ia sangat menentang pemahaman taqdir yang telah menjadi «salah kaprah», seakan-akan sebagai bahan yang sudah terjadi dan “mati” (Harun Nasution: 1998: 112). Untuk menjadi maju, manusia harus berjuang dengan gigih, berikhtiar memerangi alam sekitar serta kea-daan, yaitu melalui pendayagunaan akal pikiran atau dengan belajar. Belajar yang sesungguhnya adalah belajar dari pengalaman realitas empiric seseorang dalam hidupnya, karena hal itu yang paling ber-kesan.
Lahirnya pemikiran Muhammad Iqbal tersebut dilandasi oleh ada-nya kebekuan dalam pemikiran umat Islam pada waktu itu. Hukum dalam Islam telah sampai kepada keadaan statis. Kaum konservatif dalam Islam berpendapat bahwa rasionalisme yang ditimbulkan go-longan mu’tazilah akan membawa kepada disintegrasi, dengan demi-kian hal tersebut berbahaya bagi kestabilan Islam sebagai kesatuan politik. Untuk memelihara kesatuan itu, kaum konservatif tersebut lari ke syariat sebagai alat ampuh untuk membuat umat tunduk dan diam. (Harun Nasution: 1990:191).
Sebab lain teletak pada pengaruh zuhd yang terdapat dalam aja-ran tasawwuf. Menurut tasawwuf yang lebih mementingkan zuhd, perhatian harus dipusatkan kepada Tuhan dan apa yang berada di se-balik alam materi. Hal itu akhirnya membawa kepada keadaan umat
kurang mementingkan soal kemasyarakatan dalam Islam.
Sebab terutama adalah hancurnya Baghdad sebagai pusat kema-juan pemikiran umat Islam di pertengahan abad ke tiga belas. Untuk mengelakkan atau meminimalisir disintegrasi yang lebih mendalam, kaum konservatif melihat bahwa perlu diusahakan dan dipertahan-kan keseragaman hidup sosial dari seluruh umat. Untuk itu, mereka menolak segala pembaharuan di bidang syari’at dan berpegang teguh pada hukum-hukum yang telah ditentukan ulama’ terdahulu. Pintu ijtihad mereka tertutup.
Menurut Iqbal, hukum dalam Islam tidak bersifat statis, akan tetapi bersifat dinamis dan fleksibel, sholihun li kulli makaanin wa
zamaanin. Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam senantiasa
men-ganjurkan pemakaian akal terhadap tanda-tanda yang terdapat pada alam semesta ini, seperti matahari, bulan, bintang, pertukaran siang menjadi malam dan lain sebagainya. Orang yang tidak perduli dan tidak memperhatikan tanda-tanda itu akan tinggal buta terhadap masa yang akan datang. Konsep Islam mengenai alam adalah dina-mis dan senantiasa berkembang. Kemajuan serta kemunduran dibuat Tuhan silih berganti diantara bangsa-bangsa yang mendiami bumi ini. Hal ini mengandung arti dinamisme. Islam menolak konsep lama yang mengatakan bahwa alam ini bersifat statis. Islam mempertahankan konsep dinamisme dan mengakuai adanya gerak dan perubahan da-lam hidup social manusia. Prinsip yang dipakai dada-lam soal gerak dan perubahan itu adalah ijtihad.
3. Analisis kritis pemikiran pendidikan Muhammad Iqbal
Pemikiran Muhammad Iqbal merupakan suatu pemikiran pendidikan yang patut diacungi jempol, betapa tidak, walaupun ia bukan dikenal seba-gai tokoh pendidikan yang terkemuka, namun pemikiran filsafatnya amat memberikan konstribusi yang sangat besar bagi dunia pendidikan, pada masanya hingga saat ini.
Pemikiran tentang upaya keluar dari kemelut yang selama ini mem-belenggu umat Islam di beberapa dunia, yang diantaranya adalah dengan pesatnya perkembangan taqlid buta, percaya pada khurafat merupakan se-suatu inspirator bagi pembangunan umat Islam ke arah yang lebih mapan. Terlebih, Iqbal memandang bahwa kemunduran umat Islam selama ini
disebabkan tiga hal utama, yaitu: kebekuan dalam pemikiran, pengaruh zuhud dalam ajaran tasawuf dan kehancuran kota Baghdad. (Iqbal: 1966: 174-176). Oleh karena itu, «pintu ijtihad» perlu dibuka lebar-lebar agar umat Islam tidak terbuai pada alam kejumudan dan statis.
Hal tersebut memberikan pemahaman bahwa, umat Islam hendaknya kembali memposisikan akal sebagaimana mestinya, sesuai dengan keten-tuan yang telah dijelaskan dalam al-Qur’an dan As-Sunnah. Menurut Iqbal, pendayagunaan akal merupakan manifestasi dari keimanan, karena den-gan pendayagunaan tersebut manusia akan tersingkir dari keterbelakan-gan, kemunduran, bahkan manusia akan menjadi maju dan menguasai alam ini. Keimanan seseorang kurang sempurna apabila akalnya tidak digunakan untuk membaca dan membedah fenomena realitas alam.
Di samping itu, Muhammad Iqbal juga menawarkan konsep pluralisme pendidikan bagi kita, karena dengan pendidikan yang berwawaskan plura-lisme tersebut akan memberikan suatu tatanan kehidupan yang dinamis, harmonis dna lain sebagainya bagi umat Islam. Oleh karena itu, pendidi-kan yang sepatutnya dikembangpendidi-kan dewasa ini adalah pendidipendidi-kan yang berwawaskan pluralisme. Umat Islam hendaklah jangan terbawa kepada arus sekterianisme, diperbudak oleh ras, agama, batas-batas wilayah dan lain sebagainya, karena hal tersebut di mata Allah adalah sama dan yang membedakan antara golongan tersebut adalah keimanannya.
Hal tersebut di atas tidaklah cukup dalam konsep pendidikan Muham-mad Iqbal. Dalam hidupnya tentunya manusia memiliki tujuan-tujuan tertentu, apakah tujuan secara implisit maupun secara eksplisit. Sehubun-gan denSehubun-gan pemenuhan tujuan hidup tersebut, maka manusia menurut Mu-hammad Iqbal, hendaknya keluar dari sifat kebodohan dan sikap lamban, sikap lemah, karena hal tersebut merupakan penghambat bagi tercapainya tujuan hidup manusia dan masuk kepada pencarian ilmu, yang bertujuan untuk mengangkat harkat dan derajat hidupnya, sesuai dengan apa yang telah digariskan dan diajarkan oleh agama Islam.
Penutup
Pemikiran pendidikan Muhammad Abduh dilatar belakangi oleh faktor situasi sosial keagamaan dan situasi pendidikan yang ada pada saat itu, ter-utama pengalaman pendidikan yang dialaminya. Situasi sosial keagamaan yang dimaksud adalah sikap yang diambil oleh umat Islam di Mesir dalam memahami ajaran-ajaran agama yang cenderung statis, taklid, bid’ah dan khurafat, serta adanya dualisme pendidikan yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, yaitu pendidikan modern dan pendidikan agama.
Den-gan situasi yang demikian, Muhammad Abduh berupaya untuk melakukan reformulasi konsep pendidikan agar kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat sebagai goal ultimate dapat tercapai.
Begitu juga dengan Muhammad Iqbal, pemikirannya dilatarbelakangi oleh adanya kebekuan dalam pemikiran umat Islam pada masanya. Di sam-ping itu, besarnya pengaruh zuhd yang terdapat dalam ajaran tasawwuf dan kehancuran kota Baghdad sebagai pusat kemajuan pemikiran umat Islam di pertengahan abad ke tiga belas. Menurut Iqbal, bahwa untuk me-nentukan nasibnya sendiri, manusia memerlukan usaha untuk keluar dari kemelut «kebodohan» yang dialaminya, yaitu melalui belajar dari realitas empirik yang ada pada dirinya. Hal itu dilakukan untuk memenuhi tujuan
akhir hidup setiap manusia yaitu; keagungan, kekuatan dan kegairahan. Se-mua kemampuan manusia harus ditentukan sesuai dengan kecakapan hidup yang dihasilkannya. Keduanya merupakan pemikir muslim yang mempunyai tipologi berbeda dalam melakukan suatu pembaharuan – walaupun bukan berarti saling berseberangan – melainkan saling mengisi dan melengkapi.
DAFTAR PUSTAKA
A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 1997).
Abdul Kholiq dkk, Pemikiran Pendidikan Islam : Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999).
Abu al-Hasan Ali al-Husni al-Nadwi, Percikan Kegeniusan Dr. Muhammad Iqbal, terjemah Suyibno H.Z.M. (Jakarta: Integrita Press, 1985) Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh : Suatu
Studi Perbandingan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1993).
Asian Journal Of Management Sciences And Education, ISSN: 2186-845X ISSN: 2186-8441, Vol. 1. No. 1, April 2012.
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Lintasan Sejarah : Kajian dari Zaman Pertumbuhan sampai Kebangkitan, (Jakarta : Kencana, 2013).
Harun Nasution, Islam Rasional : Gagasan dan Pemikiran, (Bandung : Mizan, 1998).
Harun Nasution, Kedudukan Akal dalam Islam, (Jakarta : Yayasan Idayu, 1982).
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Ger-akan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1990).
Iqbal, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam (The Reconstruction of Religious Thought in Islam), terjemah Osman Raliby, (Jakarta: Bu-lan Bintang, 1966),
Jalaluddin & Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam : Konsep dan Perkem-bangan, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1999).
Jalaluddin & Usman Said, Filsafat Pendidikan Islam : Konsep dan Perkem-bangan, (Jakarta : PT Rajawali Grafindo Persada, 1999).
Jurnal Anterior, Volume 12 Nomor 2, Juni 2013
Jurnal el-Hikmah Fakultas Tarbiyah UIN Malang, Volume III, Nomer : 01, Juli 2005.
Jurnal INSANIA : Jurnal Pemikiran Alternatif Kependidikan, Vol. 14|No. 2|Mei-Ags 2009
Jurnal Lentera : Kajian Keagamaan, Keilmuan dan Tekhnologi, ISSN: 1693 – 6922
Jurnal Pendidikan Islam : Volume II, Nomor 2, Desember 2013/1435
M. Amin Abdullah, Studi Agama : Normativitas atau Historisitas, (Yogya-karta : Pustaka Pelajar, 1999).
M. Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-manar, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994).
Muhammad In’am Esha, Percikan Filsafat : Sejarah dan Peradaban Islam,(Malang : UIN Press, 2011).
Muhammad Iqbal, Pembangunan Kembali Pikiran Islam, terj. Osman Ralibi, (Jakarta : Bulan Bintang, 1983).
Robert D. Lee, Over Coming Tradition and Modernity, Terj., Mencari Is-lam Otentik, dari Nalar Puitis Iqbal hingga Nalar Kritis Arkoun, (Bandung : Mizan, 2000).
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam : Menelusuri Jejak Sejarah Pendi-dikan Era Rasulullah sampai Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2007). Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1997).