• Tidak ada hasil yang ditemukan

commit to user BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "commit to user BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

55

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum TPA Klotok Kota Kediri

1. Kota Kediri

Kota Kediri terdiri dari 3 kecamatan yaitu Kecamatan Mojoroto, Kota, Pesantren dan terdiri dari 46 kelurahan. Secara astronomis Kota Kediri terletak di antara 111º,05 112º,03 Bujur Timur dan 7º,45 7º55 Lintang Selatan. Secara geografis wilayah Kota Kediri mempunyai luas wilayah 63,40 km2 dengan batas-batas administrasinya adalah sebagai berikut : a. Batas wilayah utara : Kecamatan Gampengrejo dan Grogol b. Batas wilayah timur : Kecamatan Gurah dan Wates

c. Batas wilayah selatan : Kecamatan Ngadiluwih dan Kandat d. Batas wilayah barat : Kecamatan Semen dan Grogol

Wilayah Kota Kediri berada pada ketinggian antara 63 472 m di atas permukaan laut dengan tingkat kemiringan 0 40 %. Kota ini dibelah oleh sungai Brantas yang membujur dari selatan ke utara sepanjang 7 km, dengan lebar sungai 40 60 m. Sungai ini membagi Kota Kediri menjadi 2 wilayah, bagian barat sungai (Kecamatan Mojoroto) dan bagian timur sungai (Kecamatan Kota dan Pesantren). Curah hujan tertiggi 572 mm dengan hari hujan sebanyak 79 hari.

Di sebelah barat (Kecamatan Mojoroto) terdapat Gunung Klotok (472 m) yang sekaligus merupakan batas administrasi. Sedangkan pusat kota berada di daerah Timur. Di Gunung Klotok tersebut terdapat tempat pembungan akhir sampah Kota Kediri, tepatnya di Kelurahan Pojok Kecamatan Mojoroto.

Keadaan geologi Kota Kediri yaitu :

a. Alluvium : Kelompok batuan ini terdapat di bagian tengah dan kiri kanan kali Brantas dan merupakan batuan endapan yang berasal dari gunung berapi (Gunung Kelud).

(2)

commit to user

b. Young Quartenary Volcanic Product : Kelompok batuan ini terdapat di bagian timur Kota Kediri, wilayah ini merupakan tanah pertanian yang subur karena berasal dari batuan Vulkanik muda (Gunung Kelud). c. Undifferent Vulcanic Product : Kelompok batuan ini terdapat di sebelah

barat Kota Kediri yang terletak di daerah berbukit.

Jenis tanah di wilayah Kota Kediri adalah alluvial coklat kelabu dan mediteran. Sesuai dengan karakteristik jenis tanah tersebut, yaitu tanah alluvial, memiliki sifat fisik diantaranya memiliki daya adsorpsi tinggi, permeabilitas rendah dan kepekaan erosinya besar.

Jenis tanah mediteran juga dijumpai di wilayah perencanaan yang memiliki sifat yaitu daya adsorpsi sedang, permeabilitas tinggi dan kepekaan erosinya besar. Tanah mediteran sesuai untuk kawasan terbangun dengan erodibilitasnya yang besar.

Perkiraan jumlah penduduk Kota Kediri berdasarkan penelitian Nugroho (2012) menggunakan Metode Geometrik yaitu :

Tabel 8. Perkiraan Jumlah Penduduk

No. Tahun Jumlah Penduduk (jiwa)

1. 2012 312.853 2. 2013 317.981 3. 2014 323.193 4. 2015 328.490 5. 2016 333.874 Sumber: Nugroho, 2012 2. TPA Klotok

TPA Klotok dibangun pada tahun 1992, terletak di Kelurahan Pojok, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri tepatnya di daerah Gunung Klotok. Pengolahan sampah di Kota Kediri dikelola oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Kediri dengan sistem control landfill, dimana secara periodik sampah yang tertimbun ditutup dengan lapisan tanah untuk mengurangi potensi gangguan lingkungan yang ditimbulkan. Namun, dalam perkembangannya TPA Klotok menjadi tempat pembuangan sampah dengan metode open dumping, dimana sampah hanya ditumpuk tanpa ada

(3)

commit to user

pengolahan. Hal ini karena keterbatasan anggaran operasional, sistem pengelolaan yang kurang baik, tenaga pengolah sampah yang kurang kompeten dan sarana prasarana pengelolaan kurang memadai.

Berdasarkan hasil pengamatan, jenis sampah di TPA Klotok Kota Kediri sebagian besar berupa sampah domestik yang berasal dari pemukiman penduduk, pasar, tempat umum, dan pertanian. Persentase sampah organik (basah) di Kota Kediri yaitu sampah domestik (organik) mencapai 87,5 % dan non organik mencapai 12,5 %. Di beberapa zona, ketinggian timbunan sampah sudah cukup tinggi sekitar 20 meter dan juga rawan longsor. Pagar pembatas TPA sudah tidak mampu menampung timbunan sampah tersebut. Air lindi atau air rembesan sampah langsung dialirkan ke sungai yang ada di sebelah barat daya TPA menggunakan pipa berukuran besar tanpa melalui proses pengolahan.

Luas TPA Klotok yaitu 2,5 ha dengan kapasitas untuk menampung sampah sebesar 576,35 m3. TPA Klotok sekarang berusia 22 tahun dan telah menampung 1,38 juta m3 sampah (melebihi kapasitas daya tampung) sehingga kondisinya sudah overload. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah Kota Kediri membangun TPA II dengan sistem sanitary landfill yaitu sistem pembuangan sampah dengan cara menimbun sampah dengan tanah yang dilakukan selapis demi selapis. TPA II tersebut sedang dalam proses pembangunan yang diperkirakan akan selesai pada akhir tahun 2014. Luas TPA II yaitu 2,1 ha, namun diperkirakan kapasitas daya tampungnya hanya sampai 7 tahun. Hal ini dihitung berdasarkan jumlah sampah yang masuk setiap harinya dibanding dengan kapasitas daya tampung TPA Klotok. Setelah itu, TPA II tersebut akan kembali overload.

Hukum operasional persampahan di Kota Kediri mengacu pada :

a. Peraturan Walikota Kediri No. 63 tahun 2008 tentang tupoksi dinas kebersihan dan pertamanan.

b. Undang-undang Republik Indonesia No. 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah.

(4)

commit to user

c. Undang-undang No. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup.

d. Peraturan Daerah Kota Kediri No. 11 tahun 2000 tentang struktur organisasi dinas sebagai unsur pelaksana daerah.

e. Peraturan Daerah Kota Kediri No. 14 tahun 2003 tentang retribusi pelayanan / kebersihan kota kediri.

Sampah domestik (khususnya rumah tangga) merupakan penyumbang terbesar sampah di TPA Klotok. Menurut penelitian Nugroho (2012), 80 % sampah di Kota Kediri berasal dari sampah domestik.

Berdasarkan SK SNI T-11-1991-03 tentang persyaratan umum tempat pembuangan sampah yaitu :

a. Ekonomis dan dapat menampung sampah yang ditargetkan

TPA Klotok memang termasuk ekonomis karena bermanfaat bagi pemulung, namun TPA Klotok tidak dapat menampung sampah yang ditargetkan sehingga memerlukan tempat baru agar sampah di Kota Kediri dapat tertampung keseluruhan.

b. Mudah dicapai oleh kendaraan-kendaraan pengangkut sampah

Jalan menuju TPA Klotok dapat dicapai oleh kendaraan pengangkut sampah dengan mudah karena walaupun jalan tidak terlalu lebar namun sudah beraspal dan tidak banyak belokan.

c. Sudah tercakup dalam perencanaan tata ruang kota dan daerah

TPA Klotok sudah tercakup dalam rencana tata ruang wilayah kota Kediri yaitu pada peraturan daerah Kota Kediri No. 1 Tahun 2012. d. Aman terhadap lingkungan sekitarnya

Lingkungan sekitar TPA Klotok yaitu krematorium dan pemukiman penduduk. Walaupun jarak antara TPA Klotok dengan pemukiman penduduk agak jauh sekitar 100 m lebih, namun banyak dampak yang diakibatkan oleh TPA Klotok yang dapat mengganggu kesehatan penduduk sekitar.

(5)

commit to user

e. Lokasi/jenis tanah kedap air

TPA Klotok mempunyai jenis tanah alluvial cokelat kelabu yang mempunyai sifat adsorbsi tinggi sehingga tidak kedap air. Jika hujan, air akan merembes dan mengalir ke sungai di sebelah barat daya TPA. f. Daerah yang tidak produktif untuk pertanian

Wilayah di sekitar TPA Klotok adalah daerah krematorium sehingga tidak produktif sebagai lahan pertanian.

g. Dapat dipakai minimal 5 10 tahun.

Usia TPA Klotok sampai tahun 2014 yaitu 22 tahun. h. Tidak membahayakan atau mencemarkan sumber air

Air lindi atau air rembesan sampah langsung dialirkan ke sungai yang ada di sebelah barat daya TPA menggunakan pipa berukuran besar tanpa melalui proses pengolahan. Hal ini menimbulkan pencemaran air sungai dan berpotensi mencemari air sumur warga karena TPA Klotok terletak dekat dengan pemukiman.

i. Jarak dari daerah pusat pelayanan maksimal 10 km

Jarak TPA Klotok dan DKP Kota Kediri sekitar 8 km sehingga masih memenuhi syarat.

j. Daerah bebas banjir

TPA Klotok terletak di daerah Gunung Klotok yang merupakan perbukitan sehingga bebas dari banjir.

(6)

commit to user

Gambar 3. Peta Lokasi TPA Klotok Kediri

Berdasarkan gambar 3 di atas, TPA Klotok terletak dekat dengan pemukiman penduduk di Kelurahan Pojok dan sungai di sebelah barat daya TPA. TPA Klotok mempunyai satu zona aktif (ZA), tiga zona pasif (ZP), rumah kompos, pipa gas metana, dan saluran lindi serta drainase. Luas zona pasif dan zona aktif yaitu 1,536 ha, sedangkan luas keseluruhan TPA Klotok yaitu 2,5 ha. Berikut adalah kondisi eksisting TPA Klotok Kota Kediri :

(7)

commit to user

Gambar 4. Layout Eksisting TPA Klotok Kota Kediri

Berdasarkan gambar 4, di wilayah TPA Klotok terdapat bangunan IPLT (Instalasi Pengolahan Limbah Tinja) dan IPL (Instalasi Pengolah Limbah) yang tidak berfungsi dengan optimal, pos kontrol untuk mengontrol segala aktivitas di TPA, garasi tempat penyimpanan alat, dan kantor. Pada zona aktif terdapat kegiatan operasional alat berat untuk meratakan sampah yang menumpuk. Kejadian yang pernah terjadi di TPA Klotok yaitu tembok jebol karena tumpukan sampah yang meluber dan melebihi daya tampungnya, luberan sampah sampai masuk ke sungai di dekat TPA, dan kebocoran air lindi yang masuk sungai.

(8)

commit to user

Gambar 5. Model Pengelolaan Sampah Eksisting Kota Kediri

Sampai saat ini, pengelolaan sampah di TPA Klotok Kota Kediri masih menggunakan paradigma lama yaitu kumpul angkut buang. Sampah dari sumbernya dikumpulkan baik oleh warga maupun pemerintah melalui alat angkut (gerobak, truk) dan kemudian dibuang di TPA. Pemerintah kota cenderung kurang memberikan perhatian yang serius pada TPA Klotok, terbukti dengan minimnya pengelolaan sampah yang dilakukan di TPA Klotok.

Berdasarkan SNI 19-3964-1994, Kota Kediri masuk dalam kota sedang dengan rata-rata timbulan sampah adalah 0,75 kg/orang/hari. Apabila dilakukan proyeksi timbulan sampah pada tahun 2014 adalah sebagai berikut :

= Jumlah penduduk x timbulan sampah = 323.193 jiwa x 0,75 kg/orang/hari = 242394,75 kg/hari

(9)

commit to user

Berdasarkan perhitungan di atas, perkiraan timbulan sampah di TPA Klotok Kota Kediri tahun 2012 2016 yaitu :

Tabel 9. Perkiraan Timbulan Sampah

No. Tahun Timbulan sampah

kg/hari ton/hari 1. 2012 234.639,75 234,6 2. 2013 238.485,75 238,5 3. 2014 242.394,75 242,4 4. 2015 246.367,50 246,4 5. 2016 250.405,50 250,4

Kegiatan pengolahan sampah yang sudah dilakukan Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Kediri yaitu pengomposan dan bank sampah. Berikut penjelasan masing-masing kegiatan :

a. Pengomposan

DKP Kota Kediri melakukan pengomposan sederhana dengan komposter melalui beberapa tahapan yaitu :

1) Bahan-bahan :

a) Sampah basah/organik yang terdiri dari sampah daun-daun dari pekarangan dan dapur.

b) Starter yang berasal dari kompos yang sudah jadi atau setengah jadi berfungsi sebagai pemicu proses pengomposan karena di dalamnya terdapat mikroorganisme yang masih aktif yang akan mempercepat proses pengomposan.

c) Bekatul/dedak/serbuk gergaji yang berfungsi sebagai makanan atau nutrisi bagi mikroorganisme.

d) Mol (mikroorganisme lokal) / Em 4 yaitu zat pengurai atau mikroorganisme yang perlu ditambahkan untuk menambah jumlah mikroba, sehingga mempercepat proses pengomposan. Selain itu, digunakan juga tetes/air gula sebagai pembangkit mikroorganisme supaya menjadi aktif kembali dalam proses pengomposan.

2) Alat yang dibutuhkan yaitu komposter/timba bekas, pisau dan tatakan, timba untuk mencampur mol dan air, serta sarung tangan.

(10)

commit to user

3) Cara membuat kompos yaitu :

a) Mencacah sampah basah/organik menjadi lebih kecil supaya cepat terurai.

b) Mencampur semua bahan dengan sampah basah secara merata. c) Menyiram bahan yang sudah tercampur dengan larutan mol yang

tercampur air dengan perbandingan 1:10 lt air.

d) Mengecek kelembaban (tidak boleh terlalu basah/terlalu kering) dengan menggenggam campuran, bila digenggam tetap menggumpal berarti kelembaban sudah cukup, bila tangan dibuka campuran pecah berarti campuran terlalu kering sehingga perlu ditambahkan air campuran mol dan tetes.

e) Memasukkan campuran bahan kompos ke dalam komposter yang telah disipakan.

f) Menutup dan meletakkan di tempat teduh yang terhindar dari hujan dan panas secara langsung.

b. Bank Sampah

1) Maksud dan tujuan bank sampah yaitu : a) Aspek Lingkungan dan Ekonomi

Membantu pemerintah dalam mengurangi volume sampah dari sumbernya, mengubah cara pandang dan perilaku masyarakat agar tidak membuang sampah sembarangan. Sampah mempunyai nilai manfaat dan ekonomi sehingga mewujudkan lingkungan yang bersih dan sehat.

b) Aspek Sosial

Agar muncul kepedulian dan kegotongroyongan masyarakat dalam pengelolaan sampah rumah tangga.

2) Sasaran

a) Warga yang mau melakukan pemilahan sampah secara terus menerus di seluruh perkampungan di wilayah RT / RW dan masyarakat kelurahan pada umumnya.

(11)

commit to user

b) Masyarakat yang memiliki sikap kepedulian dan tanggung jawab untuk melakukan pengelolaan sampah pada masing-masing rumah. 3) Target

a) Membantu mengurangi volume sampah yang masuk ke TPA. b) Memanfaatkan sampah sebagai upaya untuk sumber penghasilan

ekonomi.

c) Membuka peluang lapangan usaha.

d) Meningkatnya sikap kegotong-royongan yang kuat sebagai nasabah bank sampah.

4) Standarisasi bank sampah

a) Memiliki tempat untuk penampungan sampah kering. b) Memiliki sistem pengolahan sampah kering.

B. Faktor Lingkungan

Berdasarkan hasil pengukuran faktor lingkungan pada saat pengambilan sampel gas CH4 dan CO2, diperoleh data faktor lingkungan sebagai berikut : Tabel 10. Faktor Lingkungan saat Pengambilan Sampel CH4 dan CO2

Parameter Zona Satuan A (aktif) B (pasif) C (istirahat pemulung) D (kontrol) P A G I Suhu udara 31 30 29 30 °C Kelembaban 64 64 65 64 % Kecepatan angin 0 1,87 0 1,43 0 1,49 0 1,86 m/dt Arah angin ke Tenggara Tenggara Tenggara Tenggara

Cuaca Cerah Cerah Cerah Cerah

S O R E Suhu udara 24 25 25 25 °C Kelembaban 72 74 72 73 % Kecepatan angin 0 2,87 0 2,41 0 2,45 0 2,35 m/dt Arah angin ke Tenggara Tenggara Tenggara Tenggara

Cuaca Cerah Cerah Cerah Cerah

(12)

commit to user

Berdasarkan hasil pengukuran faktor lingkungan pada saat pengambilan sampel gas H2S, diperoleh data faktor lingkungan sebagai berikut :

Tabel 11. Faktor Lingkungan saat Pengambilan Sampel H2S

Parameter Zona Satuan A (aktif) B (pasif) C (istirahat pemulung) D (kontrol) 1 Suhu udara 37,3 36,3 34,3 32,5 °C 2 Kelembaban 42 44 52 59 % 3 Kecepatan angin 0 2,35 0 2,85 0 2,41 0 1,86 m/dt 4 Arah angin ke Utara Utara Utara Utara

5 Cuaca Cerah Cerah Cerah Cerah

Sumber: Data Primer, 2014

Tabel 10 dan 11 yang merupakan hasil pengukuran faktor lingkungan (meteorologi) menjelaskan bahwa suhu, kecepatan angin, dan kelembaban di setiap zona bervariasi. Hal ini disebabkan pengukuran faktor lingkungan di setiap zona dilakukan tidak dalam waktu yang sama, sehingga akan mempengaruhi konsentrasi gas yang teremisikan dari permukaan timbunan sampah (landfill) ke atmosfer. Suhu udara sangat dipengaruhi oleh radiasi sinar matahari, lama penyinaran matahari, ketinggian dan sudut datang matahari (Lakitan, 2002). Sedangkan suhu udara mempengaruhi kelembaban dari timbunan sampah yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap produksi gas. Arah dan kecepatan angin akan menentukan terjadinya distribusi polutan (gas CH4, CO2, H2S) serta arah penyebarannya (Wibisono, 2005). Pengaruh suhu udara terhadap konsentrasi gas di udara adalah semakin tinggi suhu maka konsentrasi gas di udara akan semakin menurun karena saat suhu meningkat akan terjadi pemuaian udara dan mengakibatkan pengenceran konsentrasi gas sehingga konsentrasi gas yang terukur lebih kecil (Lakitan, 2002). Kecepatan angin mempengaruhi konsentrasi gas yang terukur, semakin tinggi kecepatan angin maka konsentrasi gas yang terukur semakin rendah karena angin mampu mendistribusikan polutan dari satu tempat ke tempat lain tergantung besarnya kecepatan angin.

(13)

commit to user

Berdasarkan tabel 10, diketahui suhu udara ambien di pagi hari lebih besar daripada sore hari, hal ini dikarenakan pagi hari radiasi matahari akan diserap oleh gas dan partikel yang melayang di atmosfer sehingga akan meningkatkan suhu udara (Lakitan, 2002). Kecepatan angin rata-rata di pagi hari lebih kencang daripada sore hari. Menurut skala Beaufort, kecepatan angin sebesar 0 2,5 m/dt dikategorikan sebagai angin ringan yang berarti kecepatan angin dengan kategori tersebut tidak dapat mendispersikan polutan (gas CH4, CO2, H2S) dari satu zona ke zona yang lain (Wibisono, 2005) yang berarti gas CH4, CO2, H2S yang terukur cukup akurat, yaitu berasal dari timbunan sampah setempat. Arah angin pada saat pengukuran gas CH4 dan CO2 menuju ke tenggara, sehingga titik kontrol yang digunakan yaitu pemukiman penduduk yang berada di sebelah barat laut TPA Klotok karena letaknya berlawanan dengan arah angin.

C. Pengaruh Paparan Gas terhadap Keluhan Gangguan Pernapasan

1. Analisis Univariat

Analisis univariat adalah cara analisis dengan mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi. Pada umumnya analisis ini hanya menghasilkan distribusi dan persentase dari tiap variabel. Analisis univariat dalam penelitian ini terdiri dari karakteristik responden (pemulung) seperti umur, jenis kelamin, masa kerja, lama paparan, status gizi, riwayat penyakit, kebiasaan merokok, dan kebiasaan memakai APD, paparan gas CH4, CO2 dan H2S, serta keluhan gangguan pernapasan. Jumlah total sampel di TPA Klotok Kota Kediri adalah 32 responden. Berikut adalah analisis univariat masing-masing variabel :

(14)

commit to user

a. Karakteristik Pemulung

Hasil kuesioner dari 32 pemulung di TPA Klotok Kota Kediri diperoleh distribusi karakteristik pemulung sebagai berikut :

Tabel 12. Distribusi Karakteristik Pemulung

Variabel Jumlah (n) Persentase (%) Umur (tahun) < 45 24 75 > 45 8 25 TOTAL 32 100 Jenis Kelamin Laki-laki 23 71,9 Perempuan 9 28,1 TOTAL 32 100

Masa kerja (tahun)

1 10 22 68,8

> 10 10 31,2

TOTAL 32 100

Lama paparan (jam)

8 22 68,8 9 10 31,2 TOTAL 32 100 Status gizi Kurus 0 0 Normal 25 78,1 Gemuk 7 21,9 TOTAL 32 100 Riwayat penyakit - - Kebiasaan merokok Tidak merokok 13 40,6 Merokok 19 59,4 TOTAL 32 100

Kebiasaan memakai APD

Memakai 19 59,4

Tidak memakai 13 40,6

TOTAL 32 100

(15)

commit to user

1) Distribusi Umur

Tabel 12 menunjukkan bahwa umur pemulung < 45 tahun sebanyak 24 orang (75 %) dan umur > 45 tahun sebanyak 8 orang (25 %). Rata-rata umur pemulung yaitu 41 tahun dengan umur minimum 25 tahun dan umur maksimum 55 tahun. Umur pemulung yang paling banyak yaitu < 45 tahun (75 %). Hal ini karena umur tersebut merupakan umur yang paling produktif, pada umur tersebut seseorang masih kuat dan mampu melakukan pekerjaan dengan optimal. Selain itu, ada pemulung umur 25 29 tahun, pada umur ini seseorang baru berumah tangga, mereka bersedia bekerja apa saja asalkan penghasilannya dapat memenuhi kebutuhan keluarganya. Jumlah pemulung semakin sedikit pada umur tua (> 45 tahun) karena semakin tua umur seseorang maka kemampuan mengangkat beban dan kesehatan semakin menurun.

2) Distribusi Jenis Kelamin

Tabel 12 menunjukkan bahwa jumlah pemulung laki-laki 23 orang (71,9 %) dan pemulung perempuan 9 orang (28,1 %). Jenis kelamin pemulung yang paling banyak yaitu laki-laki (71,9 %). Hal ini karena laki-laki adalah pencari nafkah utama, sedangkan perempuan sebagai ibu rumah tangga. Namun ada juga perempuan yang bekerja sebagai pemulung dengan alasan membantu suami dan menambah penghasilan. Pemulung perempuan biasanya mengurusi pekerjaan rutin sebagai ibu rumah tangga terlebih dahulu baru mereka bisa berangkat kerja memulung.

3) Distribusi Masa Kerja

Tabel 12 menunjukkan bahwa masa kerja pemulung 1 10 tahun sebanyak 22 orang (68,8 %) dan > 10 tahun sebanyak 10 orang (31,2 %). Rata-rata masa kerja pemulung yaitu 10 tahun dengan masa kerja minimum 3 tahun dan masa kerja maksimum 20 tahun. Masa kerja pemulung yang paling banyak yaitu 1 10 tahun (68,8 %). Hal ini karena pekerjaan menjadi pemulung relatif masih baru bagi sebagian

(16)

commit to user

orang namun cukup menghasilkan sehingga banyak diminati dan berkembang di daerah sekitar TPA Klotok Kota Kediri. Selain itu, karena sulitnya mencari pekerjaan, tidak adanya keterampilan, dan tidak adanya modal usaha juga menjadi alasan mereka bekerja sebagai pemulung. Untuk pemulung yang bekerja lebih dari 10 tahun, ada yang dari awal menjadi pemulung sudah bekerja di TPA Klotok, ada juga yang sebelumnya telah menjadi pemulung di tempat lain.

4) Distribusi Lama Paparan

Tabel 12 menunjukkan bahwa pemulung terpapar gas di TPA untuk waktu 8 jam/hari sebanyak 22 orang (68,8 %) dan 9 jam/hari sebanyak 10 orang (31,2 %). Lama paparan gas yang paling banyak diterima pemulung yaitu 8 jam/hari (68,8 %). Hal ini karena sebagian besar pemulung bekerja mulai dari jam 06.00 11.00 kemudian dilanjutkan jam 14.00 17.00. Pemulung yang bekerja 9 jam/hari atau lebih, sebagian besar adalah laki-laki karena mereka ingin mencari penghasilan lebih dan kekuatan mereka untuk bekerja lebih dari 8 jam/hari pun mendukung.

5) Distribusi Status Gizi

Status gizi pemulung diukur menggunakan Indeks Masa Tubuh (IMT) dengan rumus :

IMT = 2

TB

BB

Keterangan: BB = Berat badan (kg) TB = Tinggi badan (m)

Berdasarkan tabel 12, sebagian besar pemulung mempunyai status gizi dengan kategori normal sebanyak 25 orang (78,1 %). Sedangkan untuk kategori kurus tidak ada dan kategori gemuk sebanyak 7 orang (21,9 %). Status gizi pemulung yang paling banyak yaitu status gizi normal (78,1 %).

(17)

commit to user

6) Distribusi Riwayat Penyakit

Hasil kuesioner dari 32 pemulung di TPA Klotok Kota Kediri menunjukkan bahwa semua pemulung tidak mempunyai riwayat penyakit pernapasan. Riwayat penyakit merupakan faktor yang dianggap sebagai pencetus timbulnya gangguan pernapasan, karena penyakit yang diderita seseorang akan mempengaruhi kondisi kesehatan dalam lingkungan kerja. Apabila seseorang pernah menderita penyakit sistem pernapasan, maka akan meningkatkan risiko timbulnya penyakit sistem pernapasan jika terpapar gas.

Menurut Budiono (2007), seseorang yang pernah mengidap penyakit paru cenderung akan mengurangi ventilasi perfusi sehingga alveolus akan terlalu sedikit mengalami pertukaran udara. Akibatnya akan menurunkan kadar oksigen dalam darah sehingga risiko gangguan pernapasan akan meningkat.

7) Distribusi Kebiasaan Merokok

Tabel 12 menunjukkan bahwa pemulung yang terbiasa tidak merokok sebanyak 13 orang (40,6 %) sedangkan pemulung yang terbiasa merokok sebanyak 19 orang (59,4 %).

Sebagian besar pemulung merokok sekitar 12 batang per hari dan pada umumnya laki-laki, pemulung wanita tidak ada yang mempunyai kebiasaan merokok.

Semakin banyak rokok yang dihisap tiap hari, makin tinggi risiko terkena kanker. Peneliti di Italia menjelaskan bahwa perokok dengan 15 batang atau lebih tiap harinya memiliki risiko relatif 2,6 kali menderita bronkhitis kronis dan 1,7 kali emfisema dibandingkan dengan bukan perokok (Fontham et al., 1994 dalam Yulaekah, 2007).

(18)

commit to user

8) Distribusi Kebiasaan Memakai APD

Tabel 12 menunjukkan bahwa pemulung yang terbiasa memakai APD yaitu 19 orang (59,4 %) dan pemulung yang terbiasa tidak memakai APD yaitu 13 orang (40,6 %).

APD yang selalu digunakan pemulung di TPA Klotok yaitu sarung tangan, sepatu boots, dan topi. Sedangkan untuk masker hanya beberapa orang pemulung yang menggunakannya. Hal ini karena pemulung tidak nyaman menggunakan masker dan juga panas saat digunakan. Selain itu, banyak dari pemulung mengatakan bahwa mereka sudah beradaptasi (terbiasa) dengan bau di TPA Klotok sehingga tidak perlu menggunakan masker.

b. Paparan Gas CH4, CO2 dan H2S

Tabel 13. Hasil Pengukuran Gas CH4, CO2 dan H2S

Variabel ZONA Baku Mutu A (aktif) B (pasif) C (istirahat pemulung) D (kontrol) CH4 (%) Pagi 0,11 0,11 0,09 0,05 0,1 Sore 0,11 0,11 0,09 0,06 CO2 (%) Pagi 0,05 0,05 0,05 0,05 0,5 Sore 0,05 0,05 0,05 0,04 H2S (ppm) Siang 0,024 0,022 0,019 0,013 0,02

Sumber : Data Primer, 2014

1) Gas metana (CH4)

Pengukuran gas CH4 dilakukan pada 4 zona dan masing-masing terdiri dari 3 titik dengan menghadap ke arah angin dominan. Sampling dilakukan dua kali di setiap zona yaitu pagi (06.30 07.30) dan sore hari (16.00 17.00) untuk mengetahui fluktuasi konsentrasi gas metana selama 1 hari.

Tabel 13 menunjukkan bahwa konsentrasi gas CH4 terukur bervariasi di setiap zona dan tiap waktu pengukurannya. Konsentrasi terendah di pagi hari yaitu di zona kontrol (0,04 %) dan konsentrasi tertinggi di zona aktif dan pasif (0,12 %). Konsentrasi terendah yang

(19)

commit to user

terjadi di sore hari yaitu di zona kontrol (0,05 %) dan konsentrasi tertinggi yaitu di zona aktif dan zona pasif (0,12 %). Konsentrasi gas CH4 pada sore hari lebih besar di semua zona.

Di Indonesia belum ada peraturan tentang baku mutu konsentrasi gas CH4 di TPA. Namun, jika dibandingkan dengan baku mutu konsentrasi gas CH4 di udara ambien (0,1 %) menurut NIOSH, maka konsentrasi gas CH4 yang melebihi baku mutu yaitu pada zona aktif dan pasif sebesar 0,11 % (pagi dan sore hari).

Zona aktif, pasif, dan istirahat pemulung terletak di TPA dan mempunyai konsentrasi gas CH4 lebih besar daripada zona kontrol yang terletak jauh dari TPA (± 300 m dari TPA). Zona kontrol merupakan daerah pemukiman penduduk yang dekat dengan TPA (± 300 m dari TPA). Berdasarkan tabel 13 dapat diketahui bahwa konsentrasi gas CH4 di zona kontrol tidak melebihi baku mutu.

Hasil pengukuran ini menunjukkan bahwa potensi gas CH4 yang teremisikan dari TPA Klotok ke atmosfer dapat berkontribusi dalam meningkatkan efek rumah kaca di bumi sehingga dapat meningkatkan suhu di bumi. Oleh karena itu, di TPA Klotok harus dilakukan pengelolaan gas dengan memanfaatkan gas CH4 tersebut dengan lebih optimal.

2) Gas karbon dioksida (CO2)

Pengukuran gas CO2 sama dengan pengukuran gas CH4 yang dilakukan pada 4 zona dan masing-masing terdiri dari 3 titik dengan menghadap ke arah angin dominan. Sampling dilakukan dua kali di setiap zona yaitu pagi (06.30 07.30) dan sore hari (16.00 17.00) untuk mengetahui fluktuasi konsentrasi gas CO2 selama 1 hari.

Tabel 13 menunjukkan bahwa konsentrasi gas CO2 hampir sama di setiap zona dan waktu pengukuran yaitu sekitar 0,05 %. Namun untuk konsentrasi gas CO2 di sore hari pada zona kontrol merupakan konsentrasi paling rendah yaitu 0,04 %.

(20)

commit to user

Di Indonesia belum ada peraturan tentang baku mutu konsentrasi gas CO2 di TPA. Namun, jika dibandingkan dengan baku mutu konsentrasi gas CO2 (0,5 %) menurut OSHA, maka konsentrasi gas CO2 pada semua zona dan waktu pengukuran tidak melebihi baku mutu.

3) Gas hidrogen sulfida (H2S)

Pengukuran gas H2S dilakukan pada 4 zona dan masing-masing terdiri dari 3 titik dengan menghadap ke arah angin dominan. Sampling dilakukan pada siang hari (10.43 14.35) dan dalam waktu 1 jam untuk masing-masing zona.

Tabel 13 menunjukkan bahwa konsentrasi gas H2S terukur bervariasi disetiap zona. Konsentrasi terendah yaitu di zona kontrol sebesar 0,013 ppm dan konsentrasi tertinggi di zona aktif sebesar 0,024 ppm.

Baku mutu gas H2S menurut KepMenLH No. 50 Tahun 1996 tentang baku tingkat kebauan yaitu 0,02 ppm. Berdasarkan tabel 13 dapat diketahui bahwa konsentrasi gas H2S di zona aktif (0,024 ppm) dan pasif (0,022 ppm) melebihi baku mutu yang telah ditentukan. c. Keluhan Gangguan Pernapasan

Hasil kuesioner dari 32 pemulung di TPA Klotok Kota Kediri diperoleh distribusi keluhan gangguan pernapasan yang dirasakan pemulung yaitu sebagai berikut :

Tabel 14. Distribusi Keluhan Gangguan Pernapasan

Keluhan gangguan pernapasan Jumlah (n) Persentase (%)

Ya 19 59,4

Tidak 13 40,6

Total 32 100

Sumber : Data Primer, 2014

Dari tabel 14 dapat diketahui bahwa pemulung yang mengalami keluhan gangguan pernapasan (59,4%) lebih banyak daripada pemulung yang tidak mengalami keluhan gangguan pernapasan (40,6%).

(21)

commit to user

Pemulung di TPA Klotok ternyata ada yang tidak merasakan keluhan gangguan pernapasan sama sekali (13 orang). Hal ini dimungkinkan karena mereka sudah mengalami adaptasi (penyesuaian diri dengan kondisi lingkungan). Adaptasi dapat terjadi dengan beberapa cara, salah satunya yaitu melalui proses fisiologis (Soemarwoto, 2004). Sebagai contoh, orang yang hidup di daerah yang tercemar oleh limbah domestik, dalam tubuhnya berkembang kekebalan terhadap infeksi muntah berak. Begitu pula dengan pemulung yang bekerja setiap hari di TPA Klotok, kekebalan terhadap infeksi saluran pernapasan atas (keluhan gangguan pernapasan) akan berkembang dengan sendirinya dalam tubuh pemulung, sehingga mereka tidak merasakan keluhan gangguan pernapasan seperti batuk, nyeri dada, dan sesak napas. Namun beberapa pemulung yang tidak merasakan keluhan gangguan pernapasan sama sekali tersebut menyatakan bahwa pada awal bekerja sebagai pemulung, mereka memang mengalami keluhan gangguan pernapasan (batuk, nyeri dada, sesak napas) dengan keluhan paling sering yaitu batuk dengan rasa mual yang sangat. Bau yang berasal dari proses dekomposisi sampah di TPA Klotok merupakan penyebab rasa mual yang dialami pemulung.

(22)

commit to user

2. Analisis Bivariat

a. Hubungan Karakteristik Pemulung dengan Keluhan Gangguan Pernapasan

Tabel 15. Hasil Uji Fisher Karakteristik Pemulung dengan Keluhan Gangguan Pernapasan Variabel Keluhan gangguan pernapasan Total p Ada % Tidak ada % Umur (th) < 45 12 37,5 12 37,5 24 0,101 > 45 7 21,9 1 3,1 8 TOTAL 19 59,4 13 40,6 32 Jenis kelamin Laki-laki 10 31,3 13 40,6 23 0,004 Perempuan 9 28,1 0 0 9 TOTAL 19 59,4 13 40,6 32 Masa kerja (th) 1 10 10 31,3 12 37,5 22 0,024 > 10 9 28,1 1 3,1 10 TOTAL 19 59,4 13 40,6 32 Lama paparan (jam/hr) 8 14 43,8 8 25 22 0,699 9 5 15,6 5 15,6 10 TOTAL 19 59,4 13 40,6 32 Status Gizi Normal 13 40,6 12 37,5 25 0,195 Gemuk 6 18,8 1 3,1 7 TOTAL 19 59,4 13 40,6 32 Kebiasaan merokok Tidak merokok 8 25 5 15,6 12 1,000 Merokok 11 34,4 8 25 20 TOTAL 19 59,4 13 40,6 32 Kebiasaan memakai APD Memakai 14 43,8 5 15,6 19 0,071 Tidak memakai 5 15,6 8 25,0 13 TOTAL 19 59,4 13 40,6 32

(23)

commit to user

1) Hubungan umur dengan keluhan gangguan pernapasan

Tabel 15 menunjukkan bahwa keluhan gangguan pernapasan lebih banyak dialami pemulung dengan umur < 45 tahun.

Hasil analisis uji Fisher antara data umur dan keluhan gangguan pernapasan, diperoleh nilai p value 0,101 (p > 0,05) yang berarti tidak ada hubungan antara umur dan keluhan gangguan pernapasan.

2) Hubungan jenis kelamin dengan keluhan gangguan pernapasan

Tabel 15 menunjukkan bahwa semua pemulung wanita mengalami keluhan gangguan pernapasan yaitu 9 orang (28,1 %).

Hasil analisis uji Fisher antara data jenis kelamin dan keluhan gangguan pernapasan, diperoleh nilai p value 0,004 (p < 0,05) yang berarti ada hubungan antara jenis kelamin dan keluhan gangguan pernapasan.

Jenis kelamin akan mempengaruhi kapasitas parunya, karena secara anatomi sudah berbeda. Volume dan kapasitas seluruh paru pada wanita kira-kira 20 sampai 25 persen lebih kecil dibandingkan pria (Guyton dan Hall, 2008). Hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh bahwa semua pemulung wanita mengalami keluhan gangguan pernapasan, berbeda dengan laki-laki, hanya beberapa di antara mereka yang mengalami keluhan gangguan pernapasan.

3) Hubungan masa kerja dengan keluhan gangguan pernapasan

Tabel 15 menunjukkan bahwa pada masa kerja 1 10 tahun, sebanyak 10 orang (31,3 %) mengalami keluhan gangguan pernapasan dan 12 orang (37,5 %) tidak mengalami keluhan, sedangkan pada masa kerja > 10 tahun sebagian besar pemulung mengalami keluhan gangguan pernapasan yaitu sebanyak 9 orang (28,1 %).

Hasil analisis uji Fisher antara data masa kerja dan keluhan gangguan pernapasan, diperoleh nilai p value 0,024 (p < 0,05) yang berarti ada hubungan antara masa kerja dan keluhan gangguan pernapasan.

(24)

commit to user

Rosbinawati (2002) dalam penelitiannya menyatakan ada hubungan bermakna antara masa kerja dengan gangguan pernapasan, semakin lama masa kerja seseorang maka semakin lama terpapar kontaminan pencemar udara sehingga semakin mengganggu kesehatan paru. Menurut Morgan dan Parkes dalam Budiono (2007), waktu yang dibutuhkan seseorang yang terpapar kontaminan pencemar udara untuk terjadinya gangguan fungsi paru yaitu kurang lebih 10 tahun. Hal ini sesuai dengan hasil yang diperoleh yang menyebutkan bahwa pemulung dengan masa kerja > 10 tahun sebagian besar mengalami keluhan gangguan pernapasan.

4) Hubungan lama paparan dengan keluhan gangguan pernapasan

Tabel 15 menunjukkan bahwa keluhan gangguan pernapasan yang paling banyak dialami pemulung dengan lama paparan 8 jam/hari yaitu sebanyak 14 orang pemulung (43,8 %).

Hasil analisis uji Fisher antara data lama paparan dan keluhan gangguan pernapasan, diperoleh nilai p value 0,699 (p > 0,05) yang berarti tidak ada hubungan antara lama paparan dan keluhan gangguan pernapasan.

Menurut Horrington dan Gill (2005), lama bekerja adalah durasi waktu untuk melakukan suatu kegiatan/pekerjaan setiap harinya yang dinyatakan dalam satuan jam. Lamanya seseorang bekerja dengan baik dalam sehari pada umumnya 8 jam. Memperpanjang waktu kerja lebih dari kemampuan lama kerja biasanya tidak disertai efisiensi, efektivitas dan produktivitas kerja yang optimal, bahkan biasanya terjadi penurunan kualitas dan hasil kerja serta bekerja dengan waktu berkepanjangan akan menimbulkan terjadinya kelelahan, gangguan 2009). Bekerja yang melebihi 8 jam sehari mengakibatkan penurunan dalam total prestasi dan penurunan kecepatan kerja yang disebabkan kelelahan dan gangguan kesehatan (seperti gangguan pernapasan). Bekerja selama 8 jam per

(25)

commit to user

hari dapat diambil sebagai suatu kondisi yang optimal. Meskipun demikian waktu istirahat harus tetap diadakan (Sedarmayanti, 2009). 5) Hubungan status gizi dengan keluhan gangguan pernapasan

Tabel 15 menunjukkan bahwa pada status gizi normal sebanyak 13 orang (40,6 %) mengalami keluhan gangguan pernapasan dan 12 orang (37,5 %) tidak mengalami keluhan, sedangkan pada status gizi gemuk sebanyak 6 orang (18,8 %) dari 7 orang pemulung mengalami keluhan gangguan pernapasan.

Hasil analisis uji Fisher antara data status gizi dan keluhan gangguan pernapasan, diperoleh nilai p value 0,195 (p > 0,05) yang berarti tidak ada hubungan antara status gizi dan keluhan gangguan pernapasan.

Status gizi mempengaruhi kapasitas paru, orang kurus tinggi biasanya kapasitas vital paksanya lebih besar dari orang gemuk pendek. Salah satu akibat kekurangan zat gizi dapat menurunkan sistem imunitas dan antibodi sehingga orang mudah terserang infeksi seperti pilek, batuk, diare dan juga berkurangnya kemampuan tubuh untuk melakukan detoksifikasi terhadap benda asing seperti debu organik ataupun gas yang masuk dalam tubuh (Almaitser, 2002). 6) Hubungan kebiasaan merokok dengan keluhan gangguan pernapasan

Tabel 15 menunjukkan bahwa ada 8 orang (25 %) pemulung yang tidak merokok namun mengalami keluhan gangguan pernapasan dan ada 11 orang (34,4 %) pemulung yang merokok dan mengalami keluhan gangguan pernapasan.

Hasil analisis uji Fisher antara data kebiasaan merokok dan keluhan gangguan pernapasan, diperoleh nilai p value 1,000 (p > 0,05) yang berarti tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok dan keluhan gangguan pernapasan.

Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur, fungsi saluran napas dan jaringan paru-paru. Akibat perubahan anatomi saluran napas pada perokok akan timbul perubahan pada fungsi paru dengan

(26)

commit to user

segala macam gejala klinisnya (Fontham et al., 1994 dalam Yulaekah, 2007).

7) Hubungan kebiasaan memakai APD dengan keluhan gangguan pernapasan

Tabel 15 menunjukkan bahwa untuk pemulung yang memakai APD ada 14 orang (43,8 %) yang mengalami keluhan gangguan pernapasan, sedangkan untuk pemulung yang tidak memakai APD hanya ada 5 orang (15,6 %) yang mengalami keluhan gangguan pernapasan.

Hasil analisis uji Fisher antara data kebiasaan memakai APD dan keluhan gangguan pernapasan, diperoleh nilai p value 0,071 (p > 0,05) yang berarti tidak ada hubungan antara kebiasaan memakai APD dan keluhan gangguan pernapasan.

APD dalam hal ini adalah masker sebagai pelindung saluran pernapasan, selain itu APD yang biasa digunakan pemulung saat bekerja adalah sepatu boot, sarung tangan, dan topi. Namun, ada juga beberapa pemulung yang tidak menggunakan APD secara lengkap dengan alasan APD tersebut tidak nyaman saat dipakai.

Organ tubuh yang rentan mendapat serangan dari sumber luar adalah mata, kulit, dan pernapasan. Untuk melindungi organ tersebut, diperlukan alat pelindung diri yang harus dipakai pada organ yang akan dilindungi. Perlindungan tubuh atau permukaan kulit berupa baju kerja dapat digunakan sarung tangan kerja dan sepatu kerja untuk mencegah kerusakan kulit akibat reaksi alergi atau zat kimia yang korosif, mencegah penyebaran zat kimia melalui kulit dan penyebaran panas atau dingin atau sinar radiasi. Sedangkan untuk perlindungan terhadap sistem pernapasan dapat digunakan masker untuk mencegah kerusakan sistem pernapasan akibat debu atau bau busuk yang timbul dari sampah (Horrington dan Gill, 2005).

(27)

commit to user

b. Pengaruh Paparan Gas CH4, CO2, dan H2S terhadap Keluhan Gangguan Pernapasan

Tabel 16. Hasil Uji Fisher Paparan Gas CH4, CO2, dan H2S terhadap Keluhan Gangguan Pernapasan

Keluhan gangguan pernapasan

Total p Ada % Tidak ada % CH4 2 6,3 7 21,9 9 0,015 > NAB 17 53,1 6 18,8 23 TOTAL 19 59,4 13 40,6 32 CO2 19 59,4 13 40,6 32 - > NAB 0 0 0 0 0 TOTAL 19 59,4 13 40,6 32 H2S 2 6,3 6 18,8 8 0,038 > NAB 17 53,1 7 21,9 24 TOTAL 19 59,4 13 40,6 32

Sumber : Hasil Uji SPSS, 2014

1) Pengaruh paparan gas CH4 terhadap keluhan gangguan pernapasan Tabel 16 menunjukkan bahwa untuk konsentrasi gas CH4 yang melebihi NAB sebagian besar mengalami keluhan gangguan pernapasan yaitu 17 orang (53,1 %) dan untuk konsentrasi CH4 yang tidak melebihi NAB sebagian besar tidak mengalami keluhan gangguan pernapasan yaitu 7 orang (21,9 %).

Hasil analisis uji Fisher antara data paparan gas CH4 dan keluhan gangguan pernapasan, diperoleh nilai p value 0,015 (p < 0,05) yang berarti ada pengaruh paparan gas CH4 terhadap keluhan gangguan pernapasan.

Gas metana bersifat eksplosif yaitu mudah terbakar dengan sendirinya dan akan menghasilkan asap yang mengganggu pernapasan (sesak napas) serta hasil pembakaran plastik sangat berbahaya karena termasuk zat karsinogen (penyebab kanker) (Suyono dan Budiman, 2010 dalam Listautin, 2012). Konsentrasi gas metana yang tinggi akan mengurangi konsentrasi oksigen di atmosfer sehingga menyebabkan gejala kekurangan oksigen (PADEP, 2011). Jika kandungan oksigen

(28)

commit to user

di udara hingga di bawah 19,5 % akan mengakibatkan asfiksia atau hilangnya kesadaran makhluk hidup karena kekurangan asupan oksigen dalam tubuh.

2) Pengaruh paparan gas CO2 terhadap keluhan gangguan pernapasan Berdasarkan tabel 13, konsentrasi gas CO2 pada semua zona dan waktu pengukuran tidak melebihi nilai ambang batas. Hal ini menunjukkan bahwa hasil pengukuran gas CO2 adalah sama (homogen).

Tabel 16 menunjukkan bahwa untuk konsentrasi gas CO2 semuanya tidak melebihi NAB dengan konsentrasi rata-rata yaitu 0,05 %. Hal ini berarti tidak ada pengaruh paparan gas CO2 terhadap keluhan gangguan pernapasan. Konsentrasi gas CO2 di TPA Klotok sangat rendah dan jauh dari baku mutu yang ditentukan. Orang yang menghirup karbon dioksida dengan konsentrasi tinggi baru bisa merasakan adanya keluhan gangguan pernapasan seperti sesak napas hingga akhirnya jatuh tak sadarkan diri karena tingkat oksigen yang menurun. Pada konsentrasi 3 % terjadi sesak napas dan sakit kepala atau mulai mengantuk. Konsentrasi di atas 5 % dapat membahayakan kehidupan (Fischer, 1999).

3) Pengaruh paparan gas H2S terhadap keluhan gangguan pernapasan Tabel 16 menunjukkan bahwa untuk konsentrasi gas H2S yang melebihi NAB sebagian besar mengalami keluhan gangguan pernapasan yaitu 17 orang (53,1 %) dan untuk konsentrasi H2S yang tidak melebihi NAB sebagian besar tidak mengalami keluhan gangguan pernapasan yaitu 6 orang (18,8 %).

Hasil analisis uji Fisher antara data paparan gas H2S dan keluhan gangguan pernapasan, diperoleh nilai p value 0,038 (p < 0,05) yang berarti ada pengaruh paparan gas H2S terhadap keluhan gangguan pernapasan. Hal ini karena pemulung bekerja di lingkungan tempat pembuangan sampah yang terdapat sumber gas yang melebihi nilai ambang batas. Pemulung terpapar gas hidrogen sulfida yang ada di

(29)

commit to user

TPA Klotok dalam waktu yang cukup lama dan didukung dengan tidak terbiasanya memakai masker.

Zat kimia yang dihasilkan dari sampah berupa gas hidrogen sulfida yang terbentuk akibat adanya penguraian zat-zat organik oleh bakteri. Menurut Soemirat (2009), hidrogen sulfida lebih berat daripada udara sehingga H2S sering terkumpul di udara pada lapisan bagian bawah. Hidrogen sulfida bersifat iritan bagi paru-paru dan digolongkan ke dalam asphyixiant. Asfiksia adalah keadaan dimana darah kekurangan oksigen dan tidak mampu melepas karbon dioksida. Asfiksia terjadi apabila konsentrasi gas pencemar tinggi sehingga bersifat akut. Efek utama H2S adalah melumpuhkan pusat pernapasan sehingga pada konsentrasi yang tinggi dapat mengakibatkan terhentinya pernapasan.

3. Ukuran Kekuatan Hubungan Rasio Odds (RO)

Dalam penelitian ini digunakan analisis komparatif kategorik sehingga ukuran kekuatan hubungan dapat diketahui dengan menggunakan Rasio Odds (RO). Untuk paparan gas CO2 tidak memiliki nilai RO karena rata-rata gas CO2 di bawah NAB, jadi tidak menimbulkan gangguan pernapasan pada pemulung. Hasil uji SPSS untuk mengetahui nilai RO masing-masing variabel yaitu :

Tabel 17. Hasil Uji Parameter Kekuatan Hubungan (RO) Keluhan gangguan pernapasan p RO IK 95 % Ada keluhan Tidak ada keluhan N % n % min max CH4 > NAB 17 89,5 6 46,2 0,015 0,101 0,016 0,626 2 10,5 7 53,8 Ref H2S > NAB 17 89,5 7 53,8 0,038 0,137 0,022 0,853 2 10,5 6 46,2 Ref

(30)

commit to user

Tabel 17 menunjukkan bahwa nilai RO untuk CH4 yaitu 0,101 dengan IK 95 % 0,016 0,626. Hal ini berarti pemulung pada paparan gas CH4 yang melebihi NAB mempunyai kemungkinan 0,101 kali untuk mengalami keluhan gangguan pernapasan dibandingkan pada paparan gas CH4 yang tidak melebihi NAB. Probabilitas dapat dihitung dengan rumus :

p = RO / (1+RO) p = 0,101 / (1+ 0,101) p = 0,092

p = 9,2 %

Dari perhitungan di atas dapat diketahui bahwa probabilitas pemulung pada paparan gas CH4 yang melebihi NAB untuk menderita keluhan gangguan pernapasan adalah sebesar 9,2 %.

Nilai RO untuk H2S berdasarkan tabel 33 yaitu 0,137 dengan IK 95 % 0,022 0,853. Hal ini berarti pemulung pada paparan gas H2S yang melebihi NAB mempunyai kemungkinan 0,137 kali untuk mengalami keluhan gangguan pernapasan dibandingkan pada paparan gas H2S yang tidak melebihi NAB. Probabilitas dapat dihitung dengan rumus :

p = RO / (1+RO) p = 0,137 / (1+ 0,137) p = 0,1205

p = 12 %

Dari perhitungan di atas dapat diketahui bahwa probabilitas pemulung pada paparan gas H2S yang melebihi NAB untuk menderita keluhan gangguan pernapasan adalah sebesar 12 %.

(31)

commit to user

D. Pembahasan

Sampah adalah suatu bahan yang terbuang atau sengaja dibuang dari hasil aktivitas manusia, industrialisasi maupun dari proses alam yang belum mempunyai nilai ekonomis. Saat ini sampah menjadi permasalahan baru karena memang semakin sedikit lahan pembuangan akhir (TPA) dan berbanding terbalik dengan produksi sampah yang semakin banyak, terutama di kota-kota besar dengan penduduk yang padat. Peningkatan jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang semakin pesat sangat berpengaruh terhadap peningkatan volume sampah. Selain itu, penyebab meningkatnya permasalahan sampah juga dikarenakan :

1. Volume sampah yang sangat besar sehingga melebihi kapasitas daya tampung tempat pembuangan akhir sampah (TPA).

2. Lahan TPA semakin sempit karena tergeser penggunaan lain.

3. Teknologi pengelolaan sampah tidak optimal sehingga sampah lambat membusuknya, hal ini menyebabkan percepatan peningkatan volume sampah lebih besar dari pembusukannya, oleh karena itu selalu diperlukan perluasan area TPA baru.

4. Sampah yang sudah layak menjadi kompos tidak dikeluarkan dari TPA karena beberapa pertimbangan seperti dibutuhkan biaya tambahan untuk proses pengeluaran kompos tersebut dan secara teknis sulit dilakukan karena tidak semua sampah menjadi kompos dalam waktu yang sama.

5. Managemen pengelolaan sampah tidak efektif sehingga seringkali menjadi penyebab konflik dengan masyarakat setempat.

6. Kurangnya dukungan kebijakan dari pemerintah dalam memanfatkan produk sampingan sehingga tertumpuknya produk tersebut di lahan TPA.

Di Indonesia volume sampah mengalami peningkatan seiring dengan pertambahan penduduk. Kepedulian yang kurang dari masyarakat juga memperparah permasalahan sampah, karena makin banyak ditemukan sampah yang berserakan tidak pada tempatnya. Perilaku sosial tersebut diprediksi berasal dari persepsi masyarakat yang menganggap sampah sebagai barang kotor, menimbulkan bau yang menyengat, tidak berharga, tidak bermanfaat,

(32)

commit to user

dan tidak mempunyai nilai ekonomi. Persepsi tersebut mendorong masyarakat untuk mencari cara yang paling mudah dan murah dalam menangani sampah rumah tangganya yaitu dengan membuang atau membakarnya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembakaran sampah di tempat terbuka akan menghasilkan gas beracun serta dioxin yang berasal dari proses pembakaran plastik dan bahan beracun lain yang ada di dalam sampah. Keberadaan gas beracun tersebut akan menambah polusi udara (Damanhuri dan Padmi, 2010). Terkait hal ini, Undang-undang No. 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah membuat larangan bagi setiap orang untuk membakar sampah yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis pengelolaan sampah. Namun nampaknya masyarakat belum mendapat sosialisasi yang baik tentang pelarangan tersebut, sehingga perilaku membakar sampah di tempat terbuka masih terus dilakukan masyarakat.

Selama ini ada anggapan bahwa sampah hanya menimbulkan dampak pemanasan global jika dibakar. Berdasarkan hasil penelitian, anggapan tersebut tidak 100 % benar. Sampah yang dibuang begitu saja ternyata juga berkontribusi dalam mempercepat pemanasan global karena sampah menghasilkan gas metana (CH4). Rata-rata tiap satu ton sampah padat menghasilkan 50 kg gas metana. Berdasarkan SNI 19-3964-1994, timbulan sampah di TPA Klotok Kota Kediri pada tahun 2014 yaitu 242,4 ton/hari. Hal ini menunjukkan bahwa pada tahun 2014 gas metana yang dihasilkan dari TPA Klotok yaitu sebesar 12.120 kg.

Gas metana itu sendiri mempunyai kekuatan merusak hingga 20 30 kali lebih besar daripada CO2. Gas metana berada di atmosfer dalam jangka waktu sekitar 7 10 tahun dan dapat meningkatkan suhu sekitar 1,3° Celsius per tahun (Norma, 2012).

Keberadaan dan pergerakan gas metana sangat berbahaya pada TPA yang tidak dilengkapi dengan fasilitas pengelolaan gas. Hal ini disebabkan konsentrasi minimal gas metana sebesar 5 15 % dapat mengakibatkan bahaya ledakan dan kebakaran bila bercampur dengan udara atau peledakan saat terkena sambaran petir (US-EPA, 2010a). Menurut Firman L. S., seorang pakar

(33)

commit to user

persampahan dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menjelaskan bahwa ledakan di TPA terjadi karena gas metana yang dihasilkan sampah bereaksi dengan udara. Tumpukan berton-ton sampah tersebut tidak memiliki saluran ventilasi sehingga terjebak dan volumenya terus meningkat seiring dengan bertambahnya sampah. Ketika timbunan gas dalam volume besar ini bersentuhan dengan udara, terjadilah pijar api yang disertai ledakan (Salman, 2010).

Selain itu, kemungkinan terjadinya longsor sangat besar karena timbunan sampah yang tinggi. Kejadian longsornya sampah di TPA pernah terjadi di TPA Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat pada 21 Februari 2005. Sebanyak 143 orang tewas seketika, 137 rumah serta 8,4 hektar kebun dan lahan pertanian warga tertimbun longsoran sampah. TPA Leuwigajah berada di perbukitan dengan kemiringan tebing 15 45 derajat. Ketinggian timbunan sampah di TPA Leuwigajah tersebut mencapai 30 meter. Kejadian ini terjadi pada waktu hujan di musim penghujan. Hujan yang terus-menerus membuat gas metana (CH4) yang tertimbun sampah menjadi terdesak. Ketika hujan mengguyur tumpukan sampah, gas metana akan keluar naik sesuai dengan hukum alam karena memiliki berat jenis yang lebih ringan daripada air. Jika gas metana sudah mencapai 12 persen terhadap total udara, terjadilah ledakan. Survei yang dilakukan sebelum terjadi longsor oleh Enri Damanhuri, pakar lingkungan dari Institut Teknologi Bandung (ITB) menunjukkan konsentrasi gas metana di TPA Leuwigajah sangat kritis yaitu mencapai 10 hingga 12 persen. Terjadinya ledakan yang sangat keras tersebut yang membuat tumpukan sampah longsor (Salman, 2010).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsentrasi gas CH4 di TPA Klotok Kota Kediri pada zona aktif dan pasif (pagi dan sore hari) melebihi baku mutu yang telah ditentukan, sebagian besar pemulung bekerja di lingkungan dengan konsentrasi gas CH4 yang melebihi baku mutu mempunyai keluhan gangguan pernapasan. Hal ini terbukti dengan hasil analisis uji fisher yaitu terdapat pengaruh paparan gas CH4 terhadap keluhan gangguan pernapasan.

(34)

commit to user

Hasil penelitian tersebut sesuai dengan hasil penelitian Lestari (2013) yang menyebutkan konsentrasi rata-rata gas CH4 di zona 4 TPA Sumur Batu Kota Bekasi sebesar 433.434, 235 g/m3 lebih besar dari baku mutu yang telah ditentukan. Zona 4 TPA Sumur Batu Kota Bekasi berpotensi sebagai salah satu sumber penghasil gas rumah kaca penyebab pemanasan global.

Akibat lain dari tumpukan sampah di TPA yaitu menimbulkan bau yang sangat menyengat (bau telur busuk). Gas yang menghasilkan bau telur busuk sangat kuat bahkan pada konsentrasi sangat rendah yaitu sulfida yang terdiri dari hidrogen sulfida, dimetil sulfida, dan merkaptan. Dari ketiga sulfida, hidrogen sulfida adalah gas dengan konsentrasi tertinggi yang dihasilkan di TPA. Manusia sangat sensitif terhadap bau hidrogen sulfida dan bisa mencium bau tersebut pada konsentrasi serendah 0,5 sampai 1 ppm. Menurut informasi yang dikumpulkan oleh Connecticut Departement of Public Health, konsentrasi hidrogen sulfida di udara ambien sekitar TPA ± 15 ppm (CTDPH, 1997).

Hidrogen sulfida juga bersifat korosif terhadap metal dan menghitamkan berbagai material. Karena H2S lebih berat daripada udara, maka H2S ini sering terkumpul di udara pada lapisan bagian bawah dan sering diperoleh di sumur-sumur, saluran air buangan, dan biasanya ditemukan bersama gas beracun lainnya seperti metana dan karbon dioksida (Soemirat, 2009). Gas ini merupakan gas tidak berwarna, beracun, sangat mudah terbakar, karakteristik bau telur busuk (sudah tercium pada konsentrasi 0,5 ppm) dengan berat molekul 34,1 dan titik didih

-sedikit larut dalam air. Bila terbakar menghasilkan SO2 (US-EPA, 2010c). Pada umumnya manusia dapat mengenali bau H2S ini dengan konsentrasi 0,0005 ppm sampai dengan 0,3 ppm. Bila konsentrasi tinggi menyebabkan seseorang kehilangan kemampuan penciuman. Hidrogen sulfida dilepaskan dari sumbernya terutama sebagai gas dan menyebar di udara pada lapisan bawah, dekat dengan manusia. Gas ini dapat bertahan di udara rata-rata 18 jam sampai 3 hari. Selama waktu itu hidrogen sulfida dapat berubah menjadi sulfur dioksida (SO2).

(35)

commit to user

Absorbsi dari paparan inhalasi terutama akibat ukuran partikel hidrogen sulfida yang kecil dapat mencapai saluran napas bawah dimana hidrogen sulfida dapat diabsorbsi. Partikel dengan ukuran kecil akan mengalami penetrasi pada sacus alveolaris yang sebagian dari partikel akan mengalami pembersihan oleh macrophage dan sebagian lainnya akan diabsorbsi dalam darah. Zona alveolar merupakan bagian dalam paru dengan permukaan 50 sampai 100 m2. Gas pada alveoli hampir selalu menyatu dengan aliran darah yang tergantung pada kelarutan gas tersebut (Mukono, 2008). Gas H2S dengan konsentrasi 500 ppm, dapat menimbulkan kematian, edema pulmonary, dan asphyxiant. H2S digolongkan asphyxiant karena efek utamanya adalah melumpuhkan pusat pernapasan, sehingga kematian disebabkan oleh terhentinya pernapasan (Soemirat, 2009).

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsentrasi gas H2S di TPA Klotok Kota Kediri pada zona aktif dan pasif melebihi baku mutu yang telah ditentukan, sebagian besar pemulung bekerja di lingkungan dengan konsentrasi gas H2S yang melebihi baku mutu mempunyai keluhan gangguan pernapasan. Hal ini terbukti dengan hasil analisis uji fisher yaitu terdapat pengaruh paparan gas H2S terhadap keluhan gangguan pernapasan. Pemulung terpapar gas hidrogen sulfida yang ada di TPA Klotok dalam waktu yang cukup lama dan didukung dengan tidak terbiasanya memakai masker.

Hasil penelitian tersebut sesuai dengan hasil penelitian Listautin (2012) yang menyebutkan bahwa ada hubungan zat kimia hidrogen sulfida dengan keluhan kesehatan dengan nilai p = 0,014 (p < 0,05). Hasil penelitian Sianipar (2009) juga menyebutkan bahwa rata-rata konsentrasi gas H2S di TPA Terjun melebihi baku mutu yaitu 0,029 mg/m3 dan responden yang terpapar udara mengandung gas H2S melebihi kadar maksimal mempunyai peluang 11,667 kali memiliki resiko akan mengalami gangguan kesehatan akibat menghirup gas H2S dibandingkan dengan responden yang tidak melebihi kadar maksimal.

Tempat pembuangan akhir (TPA) sampah seharusnya merupakan tempat dimana sampah mencapai tahap akhir dalam pengelolaan dan dilakukan proses isolasi sampah secara aman agar tidak menimbulkan gangguan terhadap

(36)

commit to user

lingkungan sekitar, sehingga diperlukan penyediaan fasilitas dan pengelolaan yang benar agar keamanan tersebut dapat dicapai. Namun, selama ini masih banyak persepsi keliru tentang TPA yang sering dianggap hanya sebagai tempat pembuangan sampah. Hal ini menyebabkan banyak pemerintah daerah merasa sayang untuk mengalokasikan pendanaan bagi penyediaan fasilitas di TPA yang dirasakan kurang diprioritaskan dibandingkan dengan penggunaan sektor lainnya. Di TPA, sampah masih mengalami proses penguraian secara alamiah dalam jangka waktu panjang. Beberapa jenis sampah dapat terurai secara cepat, sedang yang lainnya lebih lambat bahkan beberapa jenis sampah tidak berubah sampai puluhan tahun misalnya pastik. Hal ini memberikan gambaran bahwa setelah TPA selesai digunakanpun masih ada proses yang berlangsung dan menghasilkan beberapa zat yang dapat mengganggu lingkungan. Karenanya masih sangat diperlukan pengawasan terhadap TPA baik yang masih beroperasi maupun yang sudah ditutup.

Dalam hal ini, pengelolaan dan fasilitas di TPA Klotok juga kurang maksimal sehingga dapat menimbulkan berbagai dampak baik bagi lingkungan hidup maupun kesehatan masyarakat, diantaranya yaitu :

1. TPA Klotok kurang aman untuk lingkungan sekitarnya karena lokasi TPA Klotok dekat dengan pemukiman sehingga kemungkinan untuk menimbulkan gangguan kesehatan pada masyarakat cukup besar.

2. TPA Klotok mempunyai jenis tanah tidak kedap air sehingga jika hujan, air akan merembes dan mengalir ke sungai dekat dengan TPA, begitu pula dengan air lindi (air rembesan sampah).

3. TPA Klotok berpotensi mencemari sungai dan sumur warga karena air lindi dialirkan ke sungai melalui pipa tanpa proses pengolahan.

4. Dalam praktiknya TPA Klotok menerapkan sistem open dumping yang mengakibatkan potensi pencemaran lingkungan akan semakin besar seperti perkembangan vektor penyakit, polusi udara oleh bau dan gas yang dihasilkan, polusi air akibat banyaknya lindi yang timbul dan estetika lingkungan yang buruk karena pemandangan yang kotor.

(37)

commit to user

Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut, sudah saatnya pemerintah Kota Kediri mau merubah pola pikir yang lebih ramah lingkungan. Konsep pengelolaan sampah yang terpadu sudah waktunya diterapkan, yaitu dengan meminimasi sampah serta maksimalkan kegiatan daur ulang dan pengomposan disertai dengan TPA yang ramah lingkungan. Paradigma baru yang diharapkan dapat mulai dilaksanakan adalah dari orientasi pembuangan sampah ke orientasi daur-ulang dan pengomposan. Melalui paradigma baru ini pengelolaan sampah tidak lagi merupakan satu rangkaian yang hanya berakhir di TPA (one-way street), tetapi lebih merupakan satu siklus yang sejalan dengan konsep ekologi. Energi baru yang dihasilkan dari hasil penguraian sampah maupun proses daur ulang lainnya tidak hilang percuma.

Prinsip-prinsip pengelolaan sampah (paradigma baru) menurut Undang-undang nomor 18 tahun 2008 adalah menerapkan strategi Reduce Reuse Recycle (3R). Penanganan sampah 3R adalah konsep penanganan sampah dengan cara reduce (mengurangi), reuse (menggunakan kembali) dan recycle (mendaur ulang sampah) mulai dari sumbernya. Penanganan sampah 3R sangat penting untuk dilaksanakan dalam rangka pengelolaan sampah padat perkotaan yang efisien dan efektif sehingga diharapkan dapat mengurangi biaya pengelolaan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan perhitungan Direktorat Bintek-Dept. PU (1999) dalam Ariesta (2014) bila sampah kota dapat ditangani melalui konsep 3R, maka sampah yang akan sampai di TPA hanya 15 %, sampah yang dapat dikomposkan ± 40 %, didaur-ulang 20 %, dan dibakar dengan menggunakan insinerator 25 %. Hal itu berarti akan sangat mengurangi biaya pengangkutan dan pembuangan akhir.

(38)

commit to user

Gambar 6. Potensi 3R dalam Pengelolaan Sampah

Keberhasilan penerapan paradigma baru ini dapat tercapai tentu melalui koordinasi yang baik dengan instansi terkait seperti Dinas Pertamanan, Dinas Pasar, Bapedalda (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah), Kelurahan, dan sebagainya. Masyarakat tentu saja harus terlibat aktif, misalnya dalam kegiatan pemilahan dan pengumpulan sampah.

Gambar

Tabel 8. Perkiraan Jumlah Penduduk
Gambar 3. Peta Lokasi TPA Klotok Kediri
Gambar 4. Layout Eksisting TPA Klotok Kota Kediri
Gambar 5. Model Pengelolaan Sampah Eksisting Kota Kediri
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari penjelasan di atas dapat dikatakan kecerdasan spiritual itu sangat dibutuhkan pada siswa agar mereka dengan sendirinya memiliki kecerdasan spiritual yang lebih tinggi

Sedangkan, pada bagian belakang kartu matching cards menggunakan warna kontras dari biru tua yaitu merah marun dengan warna emas yang melambangkan pekerjaan

Saya selalunya menyediakan latihan yang sama untuk setiap murid walaupun saya tahu ada yang pastinya tidak boleh melakukannya serta ada yang akan merasa bahawa latihan

Salah satu hal yang harus diperhatikan guru untuk meningkatkan hasil belajar siswa matematika adalah dari faktor model pembelajaran dengan media pembelajaran

Dan yang terakhir narasumber ke tujuh Sella Amalia adalah mahasiswa Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah

Tiram tak bisa hidup Kerang mati di pantai.. IPAL STBM ini merupakan teknologi sederhana dan murah dalam menyerap polutan dalam limbah cair PKS berbahan asli produk Indonesia.

Aspal memiliki macam atau jenisnya, antaralain sebagai berikut: a. Aspal Hasil Destilasi.. Minyak mentah disuling dengan cara destilasi, yaitu proses dimana berbagai fraksi

Strategi Pengembangan Tari Topeng Sebagai Daya Tarik Wisata Budaya Di Kabupaten Cirebon Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu.. BAB I