• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menyoal Tidak Ditahannya Terdakwa dan Mereka Yang Divonis Bersalah di Pengadilan HAM ad hoc Timor-Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Menyoal Tidak Ditahannya Terdakwa dan Mereka Yang Divonis Bersalah di Pengadilan HAM ad hoc Timor-Timur"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Progres Report XI Tanggal 3 April 2003 Program Monitoring Pengadilan Pengadilan HAM Tim-tim

Menyoal Tidak Ditahannya Terdakwa dan Mereka Yang Divonis

Bersalah

di Pengadilan HAM ad hoc Timor-Timur

Oleh

Tim Monitoring Pengadilan HAM Timor-Timur*

I. Pengantar

Ada yang ganjil di dunia hukum Republik ini. Di satu sisi, jika seseorang mengengam kekuasaan ditangannya meskipun divonis bersalah di pengadilan oleh hakim tetap bisa keluyuran bahkan bisa naik pangkat atau menjadi ketua dari sebuah lembaga terhormat yang mewakili seluruh rakyat Indonesia. Keganjilan ini pulalah yang kini dipertontonkan oleh Pengadilan HAM ad hoc Timor-Timur ketika para majelis hakim tidak memerintahkan para terdakwa dan orang yang telah divonisnya bersalah itu masuk kedalam tahanan. Pada hal tuduhannya adalah kejahatan paling serius di dunia yaitu kejahatan terhadap kemanusian dengan ancaman minimal 10 tahun penjara atau maksimal hukuman mati. Namun di sisi lain hukum begitu tegasnya terhadap mereka yang jauh dari kekuasaan. Seorang yang hanya dituduh mencuri sandal bekas bisa langsung masuk penjara meskipun pengadilan belum digelar untuknya. Atau seseorang yang diduga mencopet dijalanan bisa tersungkur diterjang peluru aparat dan kemudian merengang nyawa tanpa proses hukum atas dirinya.

Perlakuan terhadap para terdakwa pelanggar HAM berat yang tidak pernah ditahan ini menunjukkan adanya diskriminasi hukum yang tajam dalam penerapannya. Aparat penegak hukum dalam hal ini kejaksaaan dan Pengadilan yang telah memutus bersalah para terdakwa tidak menerapakan prinsip equality before the law. Sehingga dapat dikatakan bahwa hukum hanya mampu memperlihatkan kekuasaannya terhadap mereka yang lemah.

Keganjilan yang bisa disebut sebagai praktek diskriminatif itulah yang terjadi dalam pengadilan HAM ad hoc Timor-Timur yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam beberapa bulan belakangan ini. Mendekati tahap akhir proses sidang tingkat

* Nama Anggota Tim Pemantau terlampir di belakang.

(2)

pertama, Pengadilan HAM ad hoc untuk Kejahatan terhadap Kemanusiaan di Timor Timur, Pengadilan telah memutus bersalah 5 (lima) orang terdakwa, masing-masing adalah Abilio Soares yang dijatuhi hukuman 3 tahun penjara pada 13 Agustus 2002, Eurico Gutteres yang dijatuhi hukuman 10 tahun pada 27 November 2002, Soedjarwo yang dijatuhi hukuman 5 tahun pada 27 Desember 2002, Hulman Gultom yang dijatuhi hukuman 3 tahun tanggal 20 Januari 2003, dan terakhir Noer Moeis dijatuhi hukuman penjara 5 tahun pada 12 Maret 2003.

Diantara kelima terdakwa yang diputus bersalah, tidak satu pun dari mereka ditahan sampai saat ini. Memang ada dalih bahwa proses pengadilan belum selesai, karena masih ada pengadilan di tingkat banding. Padahal, jika ditilik dari alasan subyektif maupun obyektif, para tersangka selayaknya telah ditahan sejak masa penyidikan sampai dengan penuntutan. Apalagi saat ini mereka telah divonis bersalah secara meyakinkan. Tuduhan yang dialamatkan kepada para terdakwa sebenarnya cukup sebagai alasan untuk menahan mereka. Alasan hakim untuk tidak menahan mereka semestinya dikesampingkan jika mengingat dampak dari perbuatan bagi korban dan keluarganya.

Jika ditilik ke belakang, tidak satu pun para tersangka yang ditahan oleh kejaksaan agung guna keperluan penyidikan. Akibatnya beberapa terdakwa dari kalangan militer atau polisi mendapatkan promosi jabatan dan naik pangkat. Dengan sendirinya para terdakwa tetap terus menjalankan tugas dan pengaruhnya didalam lingkungan kemiliteran. Hal itu memperlihatkan negara (pemerintah) merestui tindak kejahatan yang dituduhkan kepada para terdakwa atau membenarkan tindakan mereka selama bertugas di Timtim. Pembiaran tanpa penahanan itu telah memberikan hak istimewa yang secara leluasa bisa mereka gunakan di tengah masyarakat untuk membuat opini dan menghimpun dukungan atas tindakan mereka di Timor-Timur. Restu pemerintah serta opini dan dukungan itu telah menempatkan mereka sebagai pahlawan atas tindakannya bukan sebagai pihak yang sedang diperiksa kesalahanya.

Tindak pidana yang didakwakan pada mereka adalah kejahatan terhadap kemanusiaan, yang ancaman hukuman maksimumnya adalah hukuman mati. Selain itu, mengingat posisi strategis mereka sebagai aparat negara yang mempunyai akses terhadap barang bukti, ada alasan objektif bahwa mereka bisa saja menghilangkan alat bukti. Lebih jauh lagi, kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Timur adalah sebuah kejahatan serius yang dianggap sebagai kejahatan internasional, yang mempunyai dampak luas baik secara politik maupun hukum di Indonesia dan Timor-timur khususnya.

Hal tersebut di atas tidak saja meniadakan efek jera (deterrent effect) dari sebuah proses hukum agar kejadian serupa tidak terulang lagi di masa mendatang. Lebih jauh lagi, tidak ditahannya para terdakwa dan terpidana menyebabkan proses pengadilan HAM ad hoc kasus Timor Timur di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ini semakin menjauh dari sebuah proses yang kompeten dan adil, dan oleh karenanya semakin tidak sesuai dengan standar internasional sebuah pengadilan yang menangani kasus pelanggaran hak asasi manusia. Laporan ini akan mengupas seberapa jauh penafikan standar-standar hukum yang terjadi dalam konteks ini dari sudut pandang legal-formal, yang menjelaskan bahwa TIDAK

(3)

ADA KEMAUAN POLITIK yang cukup dari pemerintah Indonesia untuk mengadili para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Timur.

II. Tindakan Terhadap Para Tersangka/Terdakwa pada Pengadilan HAM Dalam Perkara Pelanggaran HAM Yang Berat di Timor-Timur.

a. proses penyelidikan :

Dalam perkara pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di Timor-timur pra dan pasca jajak pendapat, proses penyelidikan berada di instansi Komnas HAM sesuai dengan Pasal 18 UU No 26 Tahun 2000.1 Dalam proses penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM kepada para tersangka yang diduga melakukan pelanggaran HAM berat tersebut tidak pernah dilakukan penahanan oleh Komnas HAM, karena kewenangan tersebut tidak diberikan kepada Komnas HAM sebagaimana diatur dalam pasal pasal 19 Undang-undang No. 26 tahun 2000.2

b. proses penyidikan dan penuntutan :

Selanjutnya hasil penyelidikan dari Komnas HAM tersebut kemudian diserahkan kepada Kejaksaan Agung untuk dilakukan proses penyidikan dan penuntutan. Pada tahap ini kewenangan penahanan kemudian berlaku dan ditegaskan berdasarkan Pasal 12 sampai dengan pasal 14 UU No. 26 Tahun 2000. Namun, walaupun Kejaksaan Agung memiliki kewenangan untuk melakukan penahanan terhadap para tersangka pelaku pelanggaran HAM berat di Timor-timur, dalam prakteknya hal ini tidak pernah dilakukan. Hal ini dapat terlihat dalam semua surat dakwaan yang diajukan terhadap para terdakwa oleh Jaksa Penuntut Umum. Berbagai alasan yang dikemukakan untuk tidak dilakukannya penahanan tersebut antara lain, bahwa terdakwa mempunyai kemampuan/tanggungjawab yang masih diperlukan oleh instansinya atau tempatnya bertugas, terdakwa mempunyai itikad baik untuk

1

(1) penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Komisi Nasional Hak asasi manusia. (2). Komisi Nasional Hak asasi manusia dalam melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat membentuk tim ad hoc yang terdiri atas Komisi Hak Asasi Hak Asasi Manusia dan unsure masyarakat.

2

(1) Dalam melaksanakan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, penyelidik berwenang : a. Melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia yang berat: b. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang berat, serta mencari keterangan dan barang bukti; c. Memanggil pihak pengadu, korban, atau pihak yang diadukan untuk meminta dan didengar keterangannya; d. memanggil saksi untuk diminta dan didengar kesaksiannya; e. Meninjau dan mengumpilkan keterangan ditempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu; f. Memanggil pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya; g. Atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan berupa: 1. Pemeriksaan surat. 2. Penggeledahan dan penyitaan 3. Pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan, dan tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu. 4. Mendatangkan ahli dalam hubungan dengan penyelidikan. (2). Dalam hal penyelidik mulai melakukan penyelidikan suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang berat penyelidik memberitahukan hal itu kepada penyidik.

(4)

mengikuti semua proses persidangan. Padahal kalau dilihat dari ketentuan yang mengatur mengenai masalah penahanan ini, yaitu KUHAP terhadap para tersebut sebenarnya sudah cukup untuk dilakukan penahanan3.

Melihat dari Peraturan perundangan-undangan utama berkaitan dengan penahanan bagi tersangka maupun terdakwa di Indonesia adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal 1 butir 21 KUHAP menyatakan bahwa penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntutu umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.

Mengenai tujuan dari penahanan ini adalah : Pertama, untuk kepentingan penyidikan, penyidik pembantu atas perintah penyidik berwenang melakukan penahanan. Kedua, adalah penahanan yang dilakukan oleh penuntut umum yang bertujuan untuk kepentingan penuntutan, dan yang ketiga adalah penahanan yang dilakukan oleh pengadilan untuk kepentingan persidangan.

Adapun unsur yang menjadi landasan dasar penahanan pertama, adalah landasan unsur yuridis (objektif) karena undang-undang sendiri telah menentukan pasal-pasal kejahatan tindak pidana mana penahanan dapat diperlakukan karena tidak semua tindak pidana dapat dilakukan penahanan atas tersangka atau terdakwa dasar unsur ini ditentukan dalam Pasal 21 ayat 4 yang menetapkan bahwa penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana –yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Dan juga tindak pidana tertentu pada pasal-pasal KUHP dan diluar KUHP.4

Alasan tentang dapat ditahannya tersangka yang diancam pidana 5 tahun atau lebih adalah bahwa tindak pidana tersebut ialah kejahatan terhadap nyawa orang. sedangkan untuk tindak pidana tertentu adalah bahwa tindak pidana tersebut dianggap sangat mempengaruhi kepentingan ketertiban masyarakat pada umumnya, serta ancaman terhadap keselamatan badan orang pada khusunya. 5

Landasan yang kedua, adalah landasan unsur keperluan (subyektif). Unsur ini menitikberatkan kepada keadaan ditinjau dari segi subjektifitas tersangka atau terdakwa yaitu keadaan yang diatur dalam pasal 21 ayat 1 KUHAP yaitu berupa keadaan yang menimbulkan kekhawatiran tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau dikhawatirkan akan mengulangi tindak pidana.

3

. Supra note 1

4 Tindak Pidana dalam KUHP : yang terdapat dalam Pasal 282 ayat 3, Pasal 296, Pasal 335 ayat 1,

Pasal 353 ayat 1, Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480, dan pasal 506.

5

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jilid I, Pusataka Kartini, Jakarta, hal 171.

(5)

Landasan ketiga adalah yang ditentukan oleh pasal 21 ayat 1 KUHAP yaitu penahanan harus memenuhi syarat : tersangka atau terdakwa diduga keras sebagai pelaku tindak pidana yang bersangkutan, dugaan yang keras itu didasarkan pada bukti yang cukup.

Berdasarkan landasan yuridis atau landasan obyektif, keperluan penahanan terhadap para tersangka seharusnya dapat dilakukan. Alasan yang mendasari bahwa para tersangka layak untuk ditahan adalah bahwa pertama, kejahatan yang dituduhkan kepada para tersangka adalah kejahatan kemanusiaan yang ancaman hukumannya adalah hukuman mati bahkan dikenakan pidana minimal mengingat bahwa kejahatan ini adalah kejahatan yang sangat serius terhadap umat manusia6. Kedua, kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan yang termasuk “extraordinary crimes” yang berdampak luas baik tingkat nasional maupun internasional dan menimbulkan kerugian materiil baik immateriil yang mengakibatkan perasaan tidak aman baik terhadap perseorangan maupu masyarakat.

Landasan dilakukan penahanan berdasarkan keperluan (subyektif) juga sangat memadai dimana para pelaku adalah mantan pejabat, bahkan masih menjabat dan mendapatkan promosi jabatan yang mempunyai kekuasaan. Artinya, mereka masih mempunyai akses penuh terhadap barang bukti, sehingga kekhawatiran akan melakukan tindakan-tindakan seperti yang disyaratkan pasal 21 ayat 1 KUHAP sangat mungkin terjadi. Bahwa hampir semua terdakwa ini berasal dari suatu kesatuan dinas atau golongan yang sama, seperti TNI atau kepolisian, dimana dari 18 orang terdakwa yang diajukan ke pengadilan HAM Ad Hoc ini, 10 orang diantaranya berasal dari TNI, dari tingkatan yang paling bawah sampai tingkatan yang paling tinggi7. Para saksi yang dihadirkan dalam proses pemeriksaan di pengadilan kebanyakan adalah bawahan/mantan bawahan terdakwa sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa telah terjadi “koordinasi” antara para terdakwa tersebut untuk menghilangkan barang bukti dan untuk mengamankan posisi masing-masing.

Alasan terakhir bahwa para tersangka sangat layak untuk ditahan adalah bahwa telah terpenuhinya ketentuan pasal 21 ayat 1 yaitu dengan melihat proses diajukannya para tersangka ke pengadilan telah melalui berbagai proses penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM dan telah disetujui oleh DPR untuk dibentuk pengadilan HAM ad hoc terhadap pelanggaran HAM yang barat di Timor-timur. Ketentuan untuk penahanan yang mensyaratkan adanya dugaan keras bahwa tersangka adalah pelaku

6

Lihat Bab VII UU No. 26 Tahun 2000 mengenai ketentuan pidana, ancaman hukuman antara 5 tahun sampai dengan pidana mati.

7 Lengkapnya adalah sebagai berikut: dari TNI Kapten Sugito, Mayor Ahmad Syamsudin, Letkol

(CZI). Liliek Koeshadianto, Letkol (Inf). Asep Kuswani, Letkol (Inf) Endar Priyanto, Letkol (Inf). Soedjarwo, Kol (Inf). Yayat Sudrajat, Brig.Jend (TNI). M. Noer Muis, Brig. Jend (TNI). Tono Suratman dan May.Jend (TNI). Adam Damiri. Dari kepolisian antara lain, Letkol (Pol). Adios salova, Letkol (Pol). Hulman Gultom, Letkol (Pol). Gatot Subyaktoro dan Brig.Jend (Pol). GM. Timbul Silaen. Sedangkan dari sipil adalah Leonito Marthins, Herman Sedyono dan Abelio Soares. Dan yang tidak mempunyai atasan langsung adalah Eurico Gutteres.

(6)

tindak pidana dan adanya bukti yang cukup seharusnya didasarkan atau diproporsikan sesuai dengan tahap-tahap pemeriksaan yang berarti bahwa pada tahap penyidikan tentu sudah dapat dianggap cukup terbukti apabila telah ditemukan penyidik batas minimum pembuktian yang akan diajukan ke ke muka pengadilan sesuai dengan alat-alat bukti yang ditentukan oleh pasal 184 KUHAP. Dari pengertian ini, bukti yang cukup tidak dapat dipersamakan dengan dengan pengertian cukup bukti yang kualitasnya telah dipergunakan hakim dalam suatu persidangan sebagai alasan untuk menjatuhkan hukuman bagi seorang terdakwa.

c. proses pemeriksaan disidang pengadilan :

Landasan hukum untuk dilakukannya penahanan terhadap terdakwa pelaggar HAM berat pada tahap pemeriksaan dipengadilan ini didasarkan pada pasal 15 UU No. 26 Tahun 2000. kewenangan untuk menahan para terdakwa ini tidak dipernah dilakukan terlihat bahwa disemua surat dakwaan dinyatakan bahwa terdakwa tidak ditahan. Alasan yang bahwa tidak perlu dilakukan penahanan adalah sama dengan alasan tidak dilakukannya penahanan pada tahap penyidikan dan penuntutan.

d. putusan pengadilan :

Pengadilan HAM ad hoc untuk Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Timor Timur, saat ini telah memutus bersalah lima orang terdakwa, masing-masing adalah Abilio Soares yang dijatuhi hukuman 3 tahun penjara pada 13 Agustus 2002, Eurico Gutteres yang dijatuhi hukuman 10 tahun pada 27 November 2002, Soedjarwo yang dijatuhi hukuman 5 tahun pada 27 Desember 2002, Hulman Gultom yang dijatuhi hukuman 3 tahun tanggal 20 Januari 2003, dan terakhir Noer Moeis dijatuhi hukuman penjara 5 tahun pada 12 Maret 2003.

Namun, terhadap kelima terpidana tersebut Majelis Hakim dalam amar putusannya tidak satupun yang menyatakan agar para terpidana ini dimasukkan ke dalam penjara. Sebagian besar majelis hakim tidak memberikan alasan yang jelas mengenai kenapa para terpidana ini tidak ditahan atau diperintahkan untuk segera masuk tahanan. Dalam kasus dengan terdakwa Noer Muis dan Hulman Gultom, majelis hakim dalam putusannya memberikan argumentasi tentang tidak adanya perintah untuk dilakukannya penahanan.

Alasan tidak dilakukannya perintah penahanan :

Menimbang bahwa karena terdakwa selama proses persidangan tidak ditahan, selama persidangan menunjukkan sikap yang kooperatif, tidak ada kekhawatiran bahwa ia akan melarikan diri atau melakukan tindak pidana kembali. Tenaga serta pikiran terdakwa masih dibutuhkan oleh kesatuannya maka terhadap terdakwa tidak

akan diperintahkan untuk ditahan.8

8

Putusan Majelis Hakim dengan terdakwa Hulman Gultom, tanggal 20 Januari 2003. alasan yang tentang tidak ditahannya terpidana juga terdapat dalam putusan kasus dengan terdakwa M. Noer Muis, tanggal 12 Maret 2003.

(7)

Namun, disisi lain majelis hakim dalam amar putusannya menetapkan bahwa semua terdakwa yang dijatuhi pidana dinyatakan bersalah secara sah dan meyakinkan ikut terlibat dalam pelanggaran HAM yang berat. Majelis hakim juga menyatakan bahwa kejahatan terhadap kemanusian merupakan kejahatan internasional dan berakibat menggoncangkan nurani manusia (shocking conscience of mankind) dan masyarakat internasional menyatakan sebagai musuh bersama umat manusia yang menuntut semua negara untuk memeranginya. Bahwa penghukuman terhadap pelaku kejahatan kejahatan terhadap kemanusiaan mutlak dilakukan dan ketiadaan penghukuman terhadap pelaku kejahatan akan merupakan virtual licence bagi pelaku atau orang lain untuk mengulangi kejahatan serupa dikemudian hari.9

Dasar pertimbangan dari berbagai putusan majelis hakim yang menyatakan para terdakwa bersalah secara sah dan meyakinkan telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai kejahatan yang dikutuk umat manusia, dan perlunya penghukuman bagi pelaku sebagai sebuah keadilan bagi korban dan fungsi pencegahan melalui proses penjeraan (detterent rationale) tanpa memerintahkan para terpidana untuk ditahan dan segera masuk penjara menimbulkan berbagai kekhawatiran. Alasan yang dikemukakan bahwa terdakwa bersikap kooperatif dan tidak ada kekawatiran akan melarikan diri atau mengulangi perbuatannya merupakan alasan yang bertentangan dengan tujuan pemidanaan itu sendiri, disamping bahwa kejahatan yang dilakukan adalah kejahatan yang mengancam umat manusia. Membiarkan para pelaku kejahatan terhadap kemanusian bebas tanpa penahanan meskipun telah dinyatakan terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman akan sama artinya dengan gagal memahami makna kejahatan kemanusiaan itu sendiri.

III. Implikasi Tidak Dilakukannya Penahanan

Dampak atas tidak ditahannya para tersangka pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan pada tahap penyidikan dan penuntutan, pada tahap pemeriksaan di pengadilan, bahkan pada saat para terdakwa itu dinyatakan bersalah oleh pengadilan semakin meneguhkan kecurigaan bahwa tidak ada kesungguhan atau kemauan yang sungguh-sungguh untuk melakukan proses peradilan yang fair dan kompeten.

Dalam praktek peradilan internasional yang mengadili para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan, dalam setiap tingkat proses pemeriksaan para tersangka semuanya ditangkap dan ditahan, kecuali yang masih dalam status buron atau belum tertangkap. Saat ini ada dua Pengadilan Internasional yang sedang memeriksa kasus pelanggaran HAM berat yaitu The International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) dan

International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY). Untuk

masing-masing kasus ini telah diperiksa sejumlah tersangka bahkan sebagian diantaranya sudah diperiksa di persidangan. Untuk tersangka kasus Rwanda, mereka ditahan di kota Arusha,

9Lihat putusan terhadap terdakwa Eurico Guterres, Tanggal 27 November 2002

(8)

Tanzania10 sedangkan untuk tersangka/terdakwa kasus Yugoslavia, mereka ditahan di Den Hague, Belanda

Jika dibandingkan dengan praktek peradilan dalam ICTR maupun ICTY, terdapat perlakuan yang sangat berbeda terhadap para pelaku yang dituduh melakukan pelanggaran HAM yang berat. Dalam ICTR maupun ICTR para pelaku kejahatan terhadap kemanusian diklasifikasikan sebagai pihak yang sangat berbahaya bagi kemanusiaan. Hal ini sangat berbeda dengan perlakuan terhadap para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor-Timur. Perbedaan perlakuan terhadap pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan inilah bisa dianggap proses peradilan HAM ada hoc untuk kasus pelanggaran HAM di Timor-timur tidak kompeten.

Implikasi yang lebih besar dari tidak dilakukannya penahanan terhadap para tersangka/terdakwa ini adalah tersendatnya proses pembuktian saat pemeriksaan di sidang pengadilan. Keengganan jaksa penuntut umum untuk menahan para terdakwa karena tidak ada kekhawatiran bahwa para terdakwa akan melakukan upaya untuk melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti “berbuah” dengan banyaknya saksi yang mencabut keterangannya di BAP dan cenderung mengungkapkan keterangan yang berbeda-beda .11 Selain itu adalah dengan tidak ditahannya para terdakwa yang kebanyakan memiliki jabatan dan masih tetap memegang jabatannya sehingga

10

Sebagai contoh salah satu tersangka untuk kasus Rwanda adalah Tharcisse Renzaho. Renzaho ditangkap pada tanggal 29 September 2002 di Republik Demokratik Congo dan pada hari yang sama langsung ditransfer ke fasilitas penahanan pengadilan di Arusha, Tanzania. Ia ditahan sebagai tersangka karena keterlibatannya pada peristiwa genocide yang terjadi di Rwanda pada tahun 1994, pada saat itu Ia menjadi gubernur di Kigali. Selain Renzaho, yang juga dijadikan tersangka adalah Jenderal Augustin Bizimungu. Ia menjadi Panglima Militer Rwanda pada 1994 selama Genocide berlangsung. Dalam peristiwa ini sekitar 800.000 suku Tutsi dan kelompok moderat suku Hutu dibunuh dalam jangka waktu 100 hari, oleh milisi bersenjata. Bizimungu adalah salah satu dari mereka yang dituduh sebagai dalang dari peristiwa tersebut dengan tuduhan mempersenjatai dan melakukan training kepada milisi. Ia akan dituntut dengan tuduhan melakukan genocide atau bekerjasama melakukan genoside, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

11 Salah satu indikasi yang terlihat dengan jelas adalah dalam perkara Herman Sedyono Dkk

dimana dalam proses pemeriksaan saksi diwarnai dengan pencabutan beberapa point penting kesaksian dalam berita acara pemeriksaan (BAP) yang dilakukan oleh saksi. Saksi Sonik Iskandar mencabut seluruh BAP dengan alasan dibawah tekanan. Padahal keterangan saksi tersebut sangat significan mengenai keterlibatan saksi dalam penyerangan gereja Ave Maria Suai. Saksi I Wayan Suka Antara mencabut keterangannya di BAP berkaitan dengan bunyi suara tembak menembak , rapat koordinasi bupati dengan Kodim pada saat kejadian serta mengenai kata “penyerangan”. Jehezkiel Berek mencabut kesaksian yang mengatakan bahwa pembentukan milisi sipil itu dikukuhkan oleh kebijakan bupati setempat. Sonic Iskandar dan I wayan Suka Antara adalah anggota Kodim Covalima, sedangkan Jehezkiel Berek adalah Wakapolres Covalima. Preliminary Conclussion Report Elsam 2002, hal 13.

(9)

mendapatkan promosi,12 sehingga status terdakwa yang masih memiliki jabatan dan kekuasaan ini turut pula mempengaruhi proses pemberian kesaksian.13

Setelah proses pemeriksaan di sidang pengadilan dinyatakan selesai seperti yang dinyatakan dalam pasal 182 ayat 1 KUHAP, tahap persidangan selanjutnya adalah penuntutan/requisitor, pembelaan/pledooi, replik dan duplik. Dan apabila tahap inipun telah dinyatakan selesai, maka tahap selanjutnya adalah putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim. Mengenai putusan ini tergantung dari hasil musyawarah hakim berdasarkan penilaian fakta-fakta yang terungkap di persidangan. Pada umumnya putusan ini terdiri dari 3 jenis, yaitu putusan bebas, putusan lepas dari segala tuntutan hukum dan putusan pemidanaan.

Dalam hal putusan pemidanaan yang dijatuhkan, maka sudah jelas bahwa putusan tersebut adalah putusan yang berisi perintah untuk menghukum terdakwa sesuai dengan pidana yang dijatuhkan, sehingga sesuai dengan ketentuan dalam pasal 21 ayat 4 KUHAP maka terhadap terdakwa tersebut harus segera dimasukkan ke dalam penjara. Namun dalam kenyataannya -walaupun sampai dengan tanggal 12 Maret 2003- Pengadilan HAM Ad Hoc yang memeriksa dan mengadili pelaku pelanggaran HAM yang berat di Tim-tim telah memutus bersalah 5 (lima) terdakwa sebagaimana dijelaskan di atas, ternyata dari kelima terdakwa tersebut tidak ada satupun putusan yang menyatakan bahwa terdakwa tersebut harus segera masuk penjara, padahal syarat-syarat sebagaimana diatur dalam pasal 21 ayat 4 KUHAP sudah terpenuhi14.

Secara teoritis bahwa putusan pemidanaan dalam hal terdakwa tidak ditahan berimplikasi pada dua perintah dari pengadilan yaitu memerintahkan terdakwa tetap dalam status tidak ditahan dan memerintahkan supaya terdakwa ditahan. Pasal 193 ayat 2 KUHAP menyatakan bahwa dalam hal terdakwa tidak ditahan, pengadilan dalam menjatuhkan putusan “dapat” memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan jika memenuhi ketentuan pasal 21 dan terdapat cukup alasan untuk itu. Syarat untuk harus terpenuhinya ketentuan pasal 21 dan terdapat alasan yang cukup untuk penahanan itu merupakan hak subyektif dari pendapat majelis hakim tentang perlu atau tidaknya terdakwa yang telah dinyatakan bersalah ditahan.

12

Diantaranya adalah Brigjen Tono Suratman dan Kolonel Yayat Sudrajat.

13 kesaksian Kapolres Liquisa Adios Salova yang memberikan kesaksian pada tanggal 19 Agustus

2002 dalam perkara Tono Suratman yang mencabut kesaksiannya dalam BAP mengenai pengumpulan massa pro integrasi di samping Kodim Liquisa. Selain itu Adios salova juga mencabut keterangannya yang mengatakan bahwa dia (Adios Salova) baru menerima tempat kejadian perkara (TKP) dari Dandim Liquisa Asep Kuswani pada jam 17.00 tanggal 6 April 1999. Disamping itu, Adios Salova juga mencabut keterangannya dalam BAP yang mengatakan bahwa dia “menerima 5 mayat dari TNI”. Terakhir, dalam memberikannya keterangannya, sebelum menjawab pertanyaan jaksa penuntut umum atau majelis hakim, Adios Salova sebelum menjawab pertanyaan selalu melihat dulu kepada terdakwa atau penasehat hukumnya, sehingga dia diperingatkan oleh Ketua Majelis Hakim, Andi Samsan Nganro.

14

Yang antara lain menetapkan bahwa untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana 5 tahun atau lebih dapat dilakukan penahanan.

(10)

Dalam pengadilan HAM ad hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat ini ternyata majelis hakim memilih untuk meneruskan jejak jaksa penuntut umum untuk tidak melakukan penahanan atau perintah untuk segera masuk penjara. Majelis hakim sebagaimana halnya jaksa penuntut umum masih memaknai para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan sama seperti halnya dengan pelaku kejahatan biasa lainnya padahal tingkat kejahatan ini adalah merupakan kejahatan yang paling serius.

Tidak ditahannya para terdakwa selama masa penyidikan dan penuntutan ditambah putusan hakim yang memutus bersalah para terdakwa, tetapi tidak memerintahkan untuk segera masuk penjara tersebut menunjukkan bahwa :

1. Kurang sungguh-sungguhnya (unwilling) pengadilan dalam mengadili dan menghukum para pelaku pelanggaran HAM yang berat di Tim-tim, meskipun masyarakat dunia telah menganggap kejahatan ini sebagai musuh utama umat manusia (hostis humanis generis) dan setiap orang mempunyai kewajiban menghukum pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan (erga omnes obligatio). 2. Pengadilan ini telah memperlakukan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes

against humanity) sebagai kejahatan ringan atau pelanggaran biasa, sehingga

hakim tidak perlu buru-buru untuk memerintahkan para terdakwa ini masuk penjara.

3. Pengadilan ini tidak mampu memberikan efek penjera (deterrent effect) bagi pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan.

4. Telah terjadi penghinaan yang luar biasa terhadap rasa kemanusiaan sebenarnya, karena pengadilan telah meng-korup keadilan para korban dan pengadilan ini telah salah memahami konsep kejahatan terhadap kemanusiaan15 .

IV. Penutup

Tidak ditahannya para terdakwa dalam seluruh proses pengadilan HAM ad hoc Timor Timur tidak lepas dari keengganan para penengak hukum untuk melakukan proses peradilan yang sesuai atau berdasarkan praktek-praktek internasional. Disisi lain tidak ditahannya para terdakwa juga telah mengkhianati prinsip equality before the law. Dengan demikian pengadilan yang fair dan kompeten sebagaimana yang diharapkan jauh dari harapan jika kita menyimak secara menyeluruh dari proses pengadilan ini. Sementara itu para Majelis hakim secara terang-terangan telah mempermainkan akal sehat, karena keputusannya yang menyatakan para terdakwa bersalah secara sah dan mayakinkan dalam melakukan kejahatan terhadap kemanusian namun tidak memberikan perintah penahanan. Sandiwara para majelis hakim itu telah merampas perlindungan terhadap masyarakat dari ancaman kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana tujuan pokok dari pemidanaan. Disamping itu juga telah mengkorupsi makna dari keadilan.

Beberapa poin yang terurai di atas mempertontonkan secara sesunguhnya bahwa mesin kekuasaan otoriter masa lalu masih bekerja secara efektif dalam praktek hukum di Indonesia. Akibatnya tidak ada koreksi terhadap praktek kekuasaan otoriter itu baik dalam artian koreksi terhadap prilaku aparat mau pun koreksi terhadap pradigma politik dan hukum itu sendiri. Ketiadaan koreksi itu bisa dilihat dari pertama tetap bercokolnya

15 Hasil Diskusi Panel Pengadilan HAM Ad Hoc Tim-tim, 28 January 2003, Elsam,, hal 22-24

(11)

para terdakwa dalam posisinya atau mendapat promosi dalam karirnya. Arti kata sampai saat ini para terdakwa tidak pernah diangap sebagai pihak yang bersalah oleh korpsnya atau oleh pemerintah yang memungkinkan promosi itu terjadi. Sedangkan ketiadaan koreksi terhadap paradigma terlihat dari penjelasan hakim mengenai tidak ditahannya

para terdakwa yaitu tenaga dan pikiran mereka masih dibutuhkan oleh kesatuannya.16

Akibatnya hukum tetap masih mengabdi kepada para pihak yang berkuasa dan memiliki senjata.

Dengan tidak adanya perintah penahanan dari para Mejelis Hakim terhadap para terdakwa yang divonis bersalah maka pengadilan ini telah menghilangkan kesempatan bagi TNI untuk memperbaiki diri dan mengkoreksi kesalahan-kesalahan dimasa lalu. Semestinya keputusan pengadilan HAM ad hoc Timtim ini tidak membiarkan TNI menjadi tawanan dari kesalahan masa lalu yang terjadi di Timtim melainkan memberikan kesempatan kepada TNI untuk memperbaiki diri dan mengkoreksi segala kesalahan dengan keputusan yang bermutu. Namun apa lacur para Majelis Hakim telah mengetukan palunya dan para terdakwa kemudian dengan senyum dan lenggang kangkung tetap mengengam jabatan dan kekuasaanya dalam korps masing-masing.

Akhir kata para Mejelis Hakim yang tidak memerintahkan penahan terhadap para terdakwa dan mereka yang telah divonis bersalah telah membiarkan sebuah kejahatan serius dan pelakunya berkeliaran aktif ditengah masyarakat sebagai kejadian biasa. Akibatnya kita sebagai bangsa tidak bisa belajar apapun untuk memperbaikinya dimasa datang dan para pelakunya akan tetap menepuk dada bahwa perbuatannya adalah benar.**

16 argumentasi hakim seperti ini sangat menyesatkan. Seorang terdakwa dan kemudian divonis bersalah

oleh pengadilan dengan tuduhan kejahtan terhadap kemanusian semestinya diberhentikan secara tidak hormat dan dilarang untuk mengambil posisi dan kebijakan penting karena dia telah melakukan kejahtan serius. Jika dibiarkan maka kesatuannya akan melindungi dan kemudian akan merekayasa berbagai hal untuk melindungi kesatuan.

(12)

LAMPIRAN :

Daftar Nama Terdakwa Yang Sudah Divonis Hakim

17

Nama Terdakwa Tuntutan JPU PUTUSAN Ketua Majelis ABELIO SOARES 10 tahun 6 bulan

penjara

3 Tahun penjara Marni Emmy Mustafa

TIMBUL SILAEN 10 tahun 6 Bulan penjara

dibebaskan Andi Samsan

nganro HERMAN SEDYONO dkk Herman Sedyono: 10 Tahun 3 bulan Liliek Kushadianto: 10 tahun 6 Bulan Gatot Subiyaktoro: 10 tahun 3 bulan Achmad Syamsudin: 10 Tahun. Sigito : 10 Tahun

dibebaskan Cicut Sutiarso

ENDAR PRIYANTO 10 tahun penjara dibebaskan Amril , SH

ASEP KUSWANI dkk Asep Kuswani : 10 tahun penjara Adios salova : 10 tahun penjara. Leonito Martins : 10 tahun penjara.

dibebaskan Cicut Sutiarso

17 Pasal 42 (1) Komando militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komando

militer dapat dipertanggung jawabkan terhadap tindak pidana yang berada dalam yuridiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif, atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut, yaitu : (a) Komando militer atau seseorang tersebut mengetahui atau atas dasar saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat ; dan (b) Komando militer atau seseorang tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan (2). Seseorang atasan, baik polisi maupun sipil, bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif, karena atasan tersebut tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar, yakni : (a) Atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang secara jelas menunjukan bahwa bawahan sedang melakukan atau, baru saja melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat ; (b) Atasan tersebut tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. (3). Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adan ayat (2) diancam dengan pidana yang sama, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40.

(13)

EURICO GUTTERES

10 tahun penjara 10 Tahunpenjara Herman keller Hutapea

SOEDJARWO 10 Tahun penjara 5 tahun penjara biaya perkara Rp 7000,00 (tujuh ribu rupiah)

Andi Samsan Nganro

YAYAT SUDRAJAT 10 Tahun penjara dibebaskan Cicut Sutiarso HULMAN

GULTOM

10 tahun penjara 3 Tahun penjara Andriani Nurdin M. Noer Muis 10 tahun penjara 5 tahun penjara Andriani Nurdin

(14)

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat Tim Monitoring Pengadilan Ad Hoc

untuk Kasus Pelanggaran Berat HAM di Timor Timur

Koordinator : Agung Yudhawiranata Analis : Abdul Haris Semendawai

Amiruddin Ifdhal Kasim

Indriaswati Dyah Saptaningrum Koord. Asisten Lapangan : Supriyadi Widodo Eddyono Asisten Lapangan : Fajrimei A. Ghofar

Rusmana

Wahyu Wagiman Zainal Abidin Nyak Anwar Beny Yusnandar Sekretariat dan Humas : Hasanuddin

Referensi

Dokumen terkait

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan terdapat hubungan positif yang signifikan antara komitmen dengan pemaafan pada perkawinan wanita suku Jawa. Smedes (1984)

Atau bimbingan dilakukan kepala puskesmas dengan melakukan pengarahan kepada seluruh petugas di puskesmas tentang bagaimana pendokumetasian askep yang harus dilakukan oleh

Efek ekstrak daun dewandaru ( Eugenis uniflora ) sebagai penghambat pembentukan biofilm pada Staphylococcus aureus secara in vitro.. Fakultas Kedokteran

1. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak. Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini. Penyediaan sarana dan prasarana khusus.

Perancangan ulang alat pemeras madu yang dibuat akan digunakan dalam proses pemerasan madu yang masih berupa bongkahan sarang madu atau madu yang didapat dari kebun atau

Kebijakan dan strategi pengelolaan ikan bilih Danau Singkarak berdasarkan skala perioritas yang ditampilkan pada Tabel 2 adalah sebagai berikut : (1) melakukan pengelolaan

Tindakan kreditur apabila debitur menolak pengosongan barang jaminan yang telah diikat dengan Hak Tanggungan adalah pertama melakukan eksekusi dengan kekuasaan

artinya bahwa ada peningkatan antara nilai rata-rata pretest dengan nilai rata-rata posttest pada kelas yang diberi perlakuan model pembelajaran quantum dengan