Sambutan Presiden RI - Silaturahmi dengan WNI di Jerman, Jerman, 19 April 2016
Selasa, 19 April 2016
SAMBUTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SILATURAHMI DENGAN WARGA NEGARA INDONESIA DI JERMAN
KEDUTAAN BESAR REPUBLIK INDONESIA, BERLIN, JERMAN
19 APRIL 2016
Â
Â
Selamat sore,
Salam
sejahtera bagi kita semuanya,
Â
Para Menteri,
Pak
Dubes beserta Ibu,
Bapak-Ibu
dan Saudara-saudara semuanya yang hadir pada sore hari ini,
Â
Tadi
di mobil, Pak Dubes bisik-bisik ke saya, “Pak, kedutaan besar kita ini jangan Bapak bayangkan, tapi kayak ruko.― Saya masih belum percaya. Tetapi, begitu belok dan naik, saya baru percaya.
Â
Tapi di mobil tadi, Pak Dubes menyampaikan, “Sebetulnya kita punya lahan, Pak, di sini 3.000 m2.― Ya sudah, disiapkan saja gambarnya. Nanti saya pulang yang menyiapkan duitnya.
Â
Bapak-Ibu
dan Saudara-saudara semuanya,
Indonesia
kita ini adalah negara besar. Itu yang sering kita lupa, selalu memosisikan diri kita ini kayak.... Ndak, kita
ini negara besar, 252 juta.
17.000 pulau.― Dia bingung. Dia ngomong, “Saya membayangkan saja sudah bingung.―
Â
Negara
kita negara besar. Jangan kita merasa kecil. Karena apa? Karena kita ini mengecilkan diri kita sendiri. Ya ini, kedutaan kecil seperti ini, dari dulu diam saja. Kalau saya, risih gitu, risih.
Â
Saya
melihat juga misalnya—pembangunan kan kita lakukan dari pinggir—saya melihat, saya berikan contoh: perbatasan Entikong di Kalimantan (Kalbar), perbatasan di Matoangin dengan Timor-Leste. Sebelah sana gedungnya gede banget. Gedung kita kecil. Didiamkan berpuluh tahun. Bagaimana?
Â
Begitu
saya ke sana, saya enggak terima, “Seminggu ini, harus bongkar semuanya.― Saya hanya perintah gitu aja.
Â
Setelah
tiga bulan, saya ke sana. Sudah dibongkar, sudah dibangun, dan insya Allah akhir tahun ini akan jadi. Dan perintah saya jelas, “Saya tidak mau gedung ini kalah dengan gedung yang di depan kita itu,
baik di Malaysia maupun di Timor-Leste.― Jaraknya hanya 5 meter. Di sana mulus gede, di sini hanya 5 meter.
Â
Kita
ini negara besar. Dan itu jendela depan kita. Saya ke sana kemarin sudah tahu, buat jalan kan cepat.
Â
Sudah
jadi 20, gedung gede. Saya kan tiap tiga bulan, empat bulan pasti saya cek setiap pekerjaan, saya cek. Sudah gede, sudah 20 meter dari yang dulu 5 meter. Dan itu kita masuk, menjadi grek gitu loh. Orang
masuk ke kita, grek gitu loh.
Kita
disepelekan juga gara-gara hal seperti itu. Coba, kalau saya enggak diajak oleh Pak Dubes ke sini, ya enggak tahu juga saya mungkin. Kita enggak ngerti.
Â
Saya tanya Pak Dubes, “Habis berapa sih, Pak? “Ya mungkin kira-kira 400 miliar.― Ya 400 saja kok. Ini masalah kebanggaan, dan kita ini di negara besar gitu loh.
Â
Ini
namanya kan mengecilkan diri sendiri. Ndak dong. Jangan seperti itu. Saya juga tidak suka.
Â
Saya
sudah kira-kira 17 tahun setiap Januari, setiap September dulu, sebelum jadi wali kota, sering pameran di Koln, di sini, di Frankfurt juga. Saya juga jengkel
kadang-kadang. Di pameran, coba kalau Indonesia, itu pasti di dekat toilet.
Â
Saya sudah perintah sekarang, Menteri Perdagangan sudah saya
perintah, “Enggak usah keluar kalau kita tidak keluar dalam sebuah posisi yang besar, ada di depan. Enggak usah. Ini menyangkut nation branding, menyangkut country branding, menyangkut persepsi, menyangkut image.
Â
Kalau
seperti itu diterus-teruskan, waduh jadi apa image kita, persepsi kita? Gitu lho. Sudah stand-nya tidak gede, menyingkir di dekat toilet. Coba kayak apa
gitu lho? Ndak usah, ndak usah, ndak usah.
Â
Tetapi
memang dalam pengelolaan anggaran kita ini memang, setelah kita detailkan, memang menurut saya keliru besar. Ada anggaran pameran itu di 17 kementerian. Ada
semuanya: ini sini, sini, sini. Pameran sendiri-sendiri.
Begitu
saya kumpulkan 17 itu, breg, hampir 2,5 triliun. Saya bisa buat stand
yang gede dan di depan-depan. Kenapa tidak gitu dengan angka-angka itu? Ya itu
karena kecil-kecil semuanya. Kementerian ini sendiri, kementerian ini sendiri, kementerian ini sendiri. Bagaimana bisa image kita
menjadi baik?
Â
Mungkin—saya menjadi berpikir jelek gitu lo—mungkin anggarannya juga gede gitu lo. Tapi, karena pengen ada
pengembalian, jadinya di dekat-dekat seperti itu. Itu yang harus hilang. Enggak boleh ada lagi hal-hal seperti itu. Yang pertama itu.
Â
Yang
kedua, Bapak-Ibu dan Saudara-saudara sekalian, sekarang kita masuk pada era kompetisi dan sudah masuk era persaingan itu, sudah di ASEAN Economic Community. Itu baru di tingkat Asia. Ya, kita di situ dengan 45% GDP ASEAN ada di kita. Itu
kita yang terbesar memang.
Â
Tetapi,
kalau sudah masuk ke area persaingan kemudian kita tidak menyiapkan diri, memperbaiki, membenahi, ya kita akan tergilas oleh persaingan dan kompetisi itu.
Â
Oleh sebab itu, sudah saya sampaikan kepada menteri, kita konsentrasi saja pada tiga hal.
Â
Yang pertama, deregulasi besar-besaran.
Â
Yang kedua, pembangunan infrastruktur yang dipercepat.
Yang ketiga, persiapan untuk sumber daya manusianya juga secepat-cepatnya.
Â
Oleh
sebab itu, saya datang ke sini hanya urusan satu: masalah sumber daya manusia lewat vocational school, lewat vocational trainning.
Â
Pertama,
kenapa deregulasi? Karena urusan di kita itu ruwet semuanya. Saya sebetulnya
bawa gambar-gambar yang mungkin membuat kita pusing sekali dan jengkel. Kalau saya tunjukkan gambar-gambarnya, mungkin Bapak-Ibu juga ikut jengkel gitu.
Â
Aturan-aturan
kita ini memang terlalu banyak. Saya suruh Bappenas mengumpulkan, “Coba hitung
aturan kita ini berapa sih? Regulasi kita ini berapa?― 42.000, overlapping. Perda bermasalah aja yang ada di Kementerian Dalam Negeri 3.000 lebih.
Â
Apa
perintah saya? “Ini bermasalah. Dihapus saja. Kalau dikaji lagi, pakai dikaji-kaji gitu, sebulan dapat 7. Berapa puluh tahun itu akan habis?― Perintah saya adalah “Ya sudah, enggak usah pakai kaji-kajian. Itu langsung hapus, hilangkan.― Untuk apa lagi? Itu jelas bermasalah.
Â
Itu
perda apa sih? Perda Perizinan, Perda Retribusi yang memberatkan rakyat dan meruwetkan masalah, menambah ruwetnya masalah gitu lo. 42.000, Bapak-Ibu bisa bayangkan.
Â
Ngurus
izin pembangkit listrik, ada orang PLN enggak di sini? Enggak, karena tadi saya
ketemu di sana tadi. Enggak ada? Enggak apa-apa, biar malah ngerti sekalian meskipun saya juga sudah ngomong bolak-balik di PLN.
Ngurus
 pembangkit listrik, izinnya berapa izin?
Coba Bapak-Ibu bisa terka berapa? 59 izin. Jumlah lembarannya saya hitung: 260 lembar. Satu koper aja enggak cukup.
Â
Urusan
izin, belum mulai kerja. Bagaimana “kapal besar― kita ini bisa cepat, fleksibel kalau ngurus izin saja bisa sampai 59 izin?
Â
Sudah
kita potong menjadi 22.
Â
Ngurus
izin itu, saya sudah mengetahui keluhan investor. “Pak, saya ngurus izin ini
sampai sekarang belum selesai-selesai.― “Sudah ngurus berapa tahun?― “Dua tahun, Pak― “Ngurus izin dua tahun?― “Iya. Belum selesai, Pak.―
Â
Eh
ketemu lagi, “Saya, Pak, empat tahun, Pak.―
Â
Ketemu
lagi di Sumatera Selatan, “Enam tahun belum selesai, Pak, ngurus.― Ngurus izin saja. Ini belum mulai lo.
Â
Aduh,
akan jadi negara apa kalau ini kita terus-teruskan. Sudah kita potong saja jadi 22. Itu pun masih 250 hari.
harusnya bukan bulan, apalagi tahun, harusnya jam, harusnya jam.
Â
Saya
pernah mendatangi kantor yang mengeluarkan izin SIUP, TDP. SIUP-nya satu lembar, TDP-nya satu lembar. Usaha kecil-kecil kan perlu ini untuk akses ke perbankan.
Â
Isinya
apa sih SIUP, TDP? Sama saja: nama perusahaan, nama pemilik, alamat, modal usaha, jenis usahanya apa. Itu aja. Enggak ada yang lain. Terus bawahnya ditulis apa-apa-apa-apa-apa gitu aja. Udah, satu lembar.
Â
Saya
suruh ngetik. Saya pernah coba di bagian perizinan, di bawah. “Coba.― Saya meneliti. Dua menit jadi.
Â
“Lah
kok 2 minggu, 3 minggu baru jadi?― Saya tanyakan, “Kenapa sampai 2 minggu, 3 minggu baru jadi?― “Ya, Pak, kalau di sini hanya 2 menit, Pak.―
Â
“Terus?―
“Yang lama itu yang di lantai 3, Pak.― “Di lantai 3 itu siapa?― Saya tanya, “Siapa?― “Itu, Pak Kepala, Pak.― “Dia ngapain?―
“Tanda tangan, Pak.― Tanda tangan harusnya satu detik, bisa 2 minggu, 3 minggu coba.
Â
Saya
lari. Saya sudah enggak lewat lift, langsung lewat tangga. Saya sudah terengah-engah itu. Mau saya gaplok betul itu.
Â
Ini
yang saya juga lihat sekarang ini dwelling
time di pelabuhan. Singapura: 1 hari. Malaysia: 2 hari. Saya datang saat itu: 7 hari. Ya 6,7-lah rata-rata, 7 hari.
Â
Ya
kalau kita terus-teruskan seperti itu—logistic
cost, transportation cost kita 2,5 kali lipat Singapura, Malaysia—bagaimana barang kita bisa bersaing? Bagaimana kita bisa masuk ke era kompetisi, era persaingan? Langsung kalah kita.
Â
Kenapa
perlu infrastruktur? Kenapa perlu hal-hal seperti ini dicermati betul secara detail? Kalau enggak, ya ditinggal kita, ditinggal.
Â
Saya
datangi pelabuhan.
Â
Saya
tahu pelabuhan itu rupa-rupanya seperti apa, ngerti betul karena saya 27 tahun ngurus-ngurus invoice, packing list, PEB,
dan lain-lain di pelabuhan. Sudah sehari-hari “makanan― seperti itu untuk impor dan ekspor.
Â
Begitu
saya cek mendadak di pelabuhan, diterang-terangkan. “Ini, Pak. Ini, Pak. Ini, Pak.― “Enggak, saya sudah tahu. Lebih pintar saya daripada kamu.―
malam karena dengar—enggak tahu bocor dari mana—saya mau datang. Saya sudah diberi tahu kan.
Â
Jadi,
masuk ke kantor itu, jengkel dulu gitu lo. Saya yang sudah ngerti itu lo, tapi saya diterangkan.
Â
Saya
ndak mau. “Saya mau tanya.― Pertanyaan
saya satu, “Kementerian mana yang menyebabkan bongkar muat ini lamban?― Enggak dijawab. “Kementerian mana?― Jawabannya belak-belok.
Â
Aduh.
Ini saya copot semuanya, termasuk menterinya. Menteri, orang pelabuhan, semuanya saya copot. Itu yang lalu.
Â
Sekarang
dwelling time kita berapa sampai hari
ini? Sudah bagus: 3,5. Saya membayangkan, supaya bisa di bawah 5 saja, sudah alhamdulillah.
Â
Sekarang sudah 3,5. Tapi saya kemarin minta di bawah 3-lah. Kalau bisa, ke-2 gitu.
Â
Kenapa
bisa seperti itu ya? Bekerja itu harus diawasi. Kalau saya, yang saya lakukan, misalnya seperti Tol Trans-Sumatera. Saya bawa gambar-gambar. Ada enggak? Disiapkan. Kereta api, kereta api, jalur kereta api di Sulawesi misalnya.
yang bisiki saya, “Pak, jangan hanya groundbreaking.―
Saya kaget, “Lo ada apa? “Ini dulu pernah di-groundbreaking, Pak, 35 tahun yang lalu. Tapi enggak pernah dilaksanakan.―
Â
Waduh
saya ke lapangan itu. Kalau kunjungan ke lapangan, yang paling sya senang adalah kalau ada yang bisiki saya hal-hal yang seperti itu.
Â
Ya oleh sebab itu, setelah groundbreaking
betul-betul sudah saya tekankan, “Ini akan saya lihat lagi 3 bulan, dan harus ada progress-nya.―
Dan sampai saat ini, sudah saya datangi jalan tol itu, di Trans-Sumatera itu 6 kali.
Â
Mungkin
juga ada yang bahas, “Ini Presiden kurang kerjaan apa? Groundbreaking cukuplah. Enggak usah ngecek-ngecek lagi.― Tapi kalau saya, tidak, tidak. Akan saya cek, saya cek, saya
cek, saya cek lagi, saya cek lagi, saya cek lagi. Saya pastikan itu.
Â
Supaya
apa? Orang bekerja merasa dikontrol. Ada masalah di lapangan, kita bisa segera menyelesaikan.
Â
Seperti
kemarin saya datang terakhir ke sana, ternyata ada masalah. Anggaran untuk
pembebasan lahan terlambat. Kalau saya tahu, besok langsung bisa kita putus. Kalau enggak tahu, bagaimana? Bertahun-tahun bisa jadi masalah.
Â
Itu
gunanya kalau kita selalu datang di lapangan. Jadi jangan dipikir kalo kita, ya capek kalau ditanya.
Kalau kita ke lapangan, ke proyek, ke masyarakat, ya sebetulnya
mendengar. Enggak ada yang lain. Kalau ada masalah-masalah, kita mendengar. Kalau ada problem-problem, kita mendengar. Kalau ada yang memberikan masukan sesuatu yang penting bagi negara kita, kita mendengar.
Â
Sekali
lagi, kita ini baru berbicara mengenai Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community). Kita belum berbicara yang lain.
Â
Saya tadi ditanya oleh Kanselir Merkel, “Bagaimana CEPA, free trade agreement dengan EU, dengan Uni Eropa? Kapan?― Saya sampaikan, “Saya sudah perintah ke Menteri Perdagangan
untuk urus. Sudah saya beri target: 2 tahun.―
Â
Kanselir kaget, “Dua tahun? Kok cepat sekali?― “Saya maunya cepat,― ya saya jawab seperti itu. Saya maunya cepat begitu karena, setelah masuk ke bloknya Uni Eropa, kita juga mau langsung dorong ke TPP-nya Amerika.
Â
Kompetisi
itu sudah enggak bisa kita bilang, “Tidak, ndak mau, ndak mau ikut.― Enggak bisa
sudah. Percaya, enggak bisa.
Â
Begitu
kita bilang tidak, barang kita masuk ke sana, produk kita masuk ke sana, kena pajak 20%, kena pajak 15%. Mau apa produk kita? Ya enggak bisa bersaing sudah. Stop, enggak bisa ekspor. Artinya hanya itu saja.
Â
Tapi,
kalau kita masuk, ya memang ada syarat-syarat: Indonesia harus mau seperti ini, harus membuka seperti ini. Ya enggak ada jalan lain.
ada dua: terbuka dan kompetisi; openness, competition. Enggak
ada yang lain udah. Mau tidak mau, harus siap. Mau tidak mau, harus menyiapkan diri. Enggak ada yang lain. Enggak ada, enggak ada yang lain. Itulah yang terus kita kerjakan.
Â
Tetapi
sekali lagi, memang bukan sesuatu yang gampang, bukan sesuatu yang mudah.
Â
Tapi saya meyakini apabila ini konsisten, terus-menerus dilakukan
perbaikan-perbaikan itu, pembenahan-pembenahan itu, dengan sumber daya alam yang besar, dengan jumlah penduduk yang gede, yang merupakan potensi pasar juga, saya kira pertarungan, persaingan itu akan kita menangkan. Kompetisi itu akan
kita menangkan. Dan kita enggak mau menjadi pecundang.
Â
Saya sudah minta kepada Bapak Duta Besar untuk yang masalah-masalah vocational training, masalah vocational school agar kita konsentrasi
betul sehingga bantuan dari Jerman kepada kita betul-betul bisa mempercepat produksi anak-anak kita dengan skill yang
baik, dengan skill yang disiplin.
Â
Tadi
saya ke Siemens, melihat pelatihan, training yang memang luar biasa, luar biasa.
Â
Dan
itu ternyata, dari cerita Pak Dubes, “Vietnam sudah ke sini 4 tahun yang lalu. Malaysia sudah 2 tahun yang lalu ke sini.―
Â
Tapi
ya enggak apa-apa kita ke sini sekarang, enggak apa-apa sekarang. Tapi asal bisa mengejar, melompati. Kan yang penting itu. Kalau tidak, waduh. Saya enggak bisa bayangkan.
Dengan
keterbukaan seperti sekarang ini sudah, apa sih yang enggak terbuka sekarang ini coba? 2018 nanti, perbankan internasional sudah buka semuanya. Saya punya uang di Singapura berapa juga nanti akan terbuka, misalnya saya punya. Saya punya uang di Swiss berapa, itu akan buka semuanya.
Â
Ya
belum, belum, belum kesepakatan antarnegara 2018 dibuka, eh sekarang sudah ada Panama Papers, iya kan? Sudah, sudah didahului gitu lo.
Â
Tapi
nantinya ya sudah buka. Negara buka-bukaan semuanya coba. Buka-bukaan. Siapa yang bayar pajak, siapa yang tidak. Siapa yang di rekeningnya gede, dan siapa yang tidak. Sudah semua. Memang buka-bukaan.
Â
Dan
itulah era ke depan yang kita hadapi. Kalau kita tidak siap, kalau kita tidak menyiapkan diri, ya terlindas oleh kompetisi itu. Kita ditinggal dan kita menjadi pecundang. Itu yang saya sampaikan.
Â
Setiap
bertemu rakyat di kampung, di desa, di kabupaten, selalu saya sampaikan, “Kita sudah berhadapan dengan masalah-masalah ini yang, mau tidak mau, kita harus hadapi.― Semuanya harus siap. Masyarakatnya harus siap. Dunia usaha, swastanya harus siap. BUMN-nya harus siap. Pemerintahnya juga
harus membenahi, harus siap.
Â
Tidak ada lagi yang mengurus izin sampai 6 tahun, 4 tahun, 2 tahun, ndak ada. Harus terus dipotong, potong, potong, potong, potong. Ndak ada.
Â
Sehingga
apa? Fleksibilitas kita dalam memutuskan, baik di tingkat pusat, di provinsi, di kabupaten, di kota, bisa cepat mengambil tindakan kalau ada perubahan dunia yang setiap detik, setiap menit, setiap hari sekarang ini berubah terus. Juga bisa kita lakukan kalau kita tidak dibebani oleh aturan-aturan yang ribuan banyaknya.
Coba,
contoh tahun kemarin. Kita pontang-panting menghadapi krisis Yunani, eh yang nongol depresiasi Yuan.
Â
Kita
pontang-panting menyiapkan antisipasi ini, yang muncul karena kenaikan suku bunga The Fed. Ya ini perubahan yang memang sulit diprediksi.
Â
Oleh sebab itu, kesiapan kita sendirilah yang akan menjadikan kita selamat. Tidak ada yang lain. Kompetisi, keterbukaan itulah visi yang kita ambil. Siap tidak siap, ya kita harus menyiapkan diri.
Â
Saya
kira itu yang bisa saya sampaikan pada kesempatan yang baik ini.
Â
Apa pun
yang bisa diberikan masukan kepada negara, kepada kita dari Jerman ini, kita akan sangat menerima dengan senang hati. Apapun untuk perbaikan negara, untuk kebaikan negara, untuk kebaikan rakyat, dan informasi-informasi yang
penting-penting dari sini, bisa dari kedutaan, bisa dari masyarakat, itu juga akan sangat baik dalam rangka kita menghadapi persaingan, dalam rangka menghadapi kompetisi. Â Terima kasih. Â Wassalamualaikum warahmatullah wabarakatuh. *****
Biro Pers, Media dan Informasi
Sekretariat Presiden