• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP EKSISTENSI KEARIFAN BUDAYA LOKAL (Studi Pada Desa Wisata Uma Lengge Maria Kecamatan Wawo Kab. Bima)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP EKSISTENSI KEARIFAN BUDAYA LOKAL (Studi Pada Desa Wisata Uma Lengge Maria Kecamatan Wawo Kab. Bima)"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP EKSISTENSI KEARIFAN BUDAYA LOKAL (Studi Pada Desa Wisata “Uma Lengge” Maria Kecamatan Wawo Kab. Bima)

Lubis Hermanto dan Ariani Rosadi Prodi Ilmu Komunikasi

Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Mbojo Bima lubis.hermantostisipmbojo@gmail.com

ABSTRAK

Budaya merupakan salah satu sistem tatanan yang mengatur kehidupan manusia. Hadirnya budaya merupakan khazanah kehidupan yang selalu harus dijaga kelestariannya. Indonesia adalah Negara yang memiliki sejarah akan warisan budaya yang sangat berpengaruh akan tatanan sistem Negara. Melalui semboyan Bhineka Tunggal Ika, jelas bahwa Negara kita dibangun atas pondasi sebuah budaya melalui kearifan lokal budaya di tiap-tiap Daerahnya. Selain terkenal karena pacuan kudanya, daya tarik wisata lainnya yang bisa dikunjungi di Bima adalah rumah tradisionalnya yang disebut Uma Lengge dan Uma Jompa, salah satu rumah adat tradisional yang berdiri sejak ratusan tahun silam dimana rumah tradisonal itu adalah peninggalan asli nenek moyang suku Bima. Seiring perubahan zaman, kualitas Uma Lengge maupun Uma Jompa banyak yang mengalami perubahan. Oleh karena perkembangan zaman juga, masyarakat lebih memilih tinggal di rumah yang lebih luas dan nyaman, maka keberadaan uma lengge ini sudah semakin terkikis dan tertinggal. Fungsinya pun yang dahulunya sebagai tempat tinggal sudah dialihkan hanya sebagai lumbung padi dan terpisah dari rumah penduduk. Metode penelitian menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi kasus dengan teknik pengumpulan data penelitian antara lain : observasi, wawancara dan studi dokumentasi. Kemudian teknik analisa data dengan menggunakan reduksi data, display data dan pengambilan kesimpulan (verifikasi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, peran Pemerintah Pusat, Pemerintah Kabupaten Bima, maupun Pemerintah Kecamatan Wawo dalam mendukung serta menjaga dari nilai-nilai budaya kearifan lokal yaitu eksistensi desa wisata “Uma Lengge” sudah dirasakan oleh masyarakat Maria Wawo, terlihat dari keseriusan Pemerintah dalam mengelola dan melestarikan aset Daerah maupun Negara antara lain dengan ditetapkan oleh Kementerian Pariwisata sebagai kategori Desa Wisata, serta dibentuknya petugas-petugas pelaksana yang menjaga Desa Wisata “Uma Lengge” yang sekaligus digaji khusus oleh Pemerintah. Kedua, Lembaga adat Desa Maria sebagai sebuah organisasi yang dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten Bima adalah wadah pemangku budaya yang bersinergi dengan masyarakat dalam menjaga dan melestarikan kearifan budaya lokal khususnya “Uma Lengge”. Ketiga, Persepsi masyarakat akan eksistensi dari Desa Wisata “Uma Lengge” Maria Wawo menunjukkan bahwasannya masyarakat Wawo sangat bangga akan warisan leluhur kebudayaan “Uma Lengge”. Eksistensi “Uma Lengge” tercermin dari berbagai kegiatan yang dilakukan oleh segenap unsur baik masyarakat, pemerintah, swasta, pemerhati budaya, yaitu dengan mengadakan festival “Uma Lengge” yang diadakan di Desa Wisata “Uma Lengge” Maria Wawo.

Kata Kunci: Persepsi Masyarakat, Kearifan Budaya Lokal, Desa Wisata PENDAHULUAN

Kabupaten Bima adalah salah satu Daerah dari 10 Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang menyimpan segudang destinasi wisata yang masih alami dan belum banyak dikunjungi

wisatawan. Kendati tidak seperti Daerah lain di NTB yang menyajikan wisata bahari, namun Kabupaten Bima menyimpan banyak destinasi wisata berupa adat budaya yang masih dilestarikan oleh masyarakatnya dan hingga kini masih dilestarikan. Demikian itu menjadi

(2)

daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke Bima. Selain terkenal karena pacuan kudanya, daya tarik wisata lainnya yang bisa dikunjungi di Bima adalah rumah tradisionalnya yang disebut Uma Lengge dan Uma Jompa, salah satu rumah adat tradisional yang berdiri sejak ratusan tahun silam dimana rumah tradisonal itu adalah peninggalan asli nenek moyang suku Bima yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan padi yang hingga sekarang masih difungsikan oleh masyarakat tradisonal setempat dan menjadi salahsatu cagar budaya yang masih terjaga kelestariannya.

Uma Lengge memiliki makna Uma berarti rumah dan lengge berarti mengerucut atau pucuk yang menyilang dengan ukuran tinggi antara 5-7 cm, bertiang 4 balok kayu, beratap atau butu uma yang terbuat dari alang-alang yang menutupi tiga per empat bagian rumah sekaligus sebagai dinding dan memiliki pintu masuk dibagian bawah atap uma. Adapun langit-langit atau taja uma yang terbuat dari kayu lontar, serta lantai yang terbuat dari kayu pohon pinang atau pohon kelapa. Pada bagian tiang rumah juga digunakan balok kayu sebagai penyanggah, yang fungsinya sebagai penguat setiap tiang-tiang uma lengge. Setruktur bentuk tiang uma lengge juga terlihat berbeda dari biasanya dimana pada 4 tiang balok penyangga dipasang papan berbetuk empar persegi yang dimaksudkan agar binatang seperti tikus tidak mudah naik melalui tiang uma lengge.

Lokasi kedua peninggalan adat tersebut terletak di Desa Maria, Kecamatan Wawo, Kabupaten Bima. Perjalanan menuju ke sana dapat ditempuh dari kota Bima selama kurang lebih 45 menit perjalanan dengan menggunakan kendaraan rodaa empat. Jika dari Bandar Internasional Lombok (BIL) menuju Bandara Muhammad Salahuddin dengan pesawat menempuh jarak sekitar 35 menit.

Seiring perubahan zaman, kualitas Uma Lengge maupun Uma Jompa banyak yang mengalami perubahan. Sejumlah tiang balok

kayu maupun atapnya sudah terlihat rapuh bahkan tinggal rubuh. Oleh karena perkembangan zaman juga, masyarakat lebih memilih tinggal di rumah yang lebih luas dan nyaman maka keberadaan uma lengge ini sudah semakin terkikis dan tertinggal. Fungsinya pun yang dahulunya sebagai tempat tinggal sudah dialihkan hanya sebagai lumbung padi dan terpisah dari rumah penduduk. Seperti halnya uma lengge yang ada di Desa Maria Kecamatan Wawo, uma lengge sudah ditempatkan dan dikelompokkan jauh dari areal rumah penduduk. Dari 108 uma lengge dan uma jompa sebagiannya sudah tidak difungsikan lagi. Padahal, selain komplek uma lengge dan uma jompa yang ada di Dusun tersebut terdapat juga dua uma lengge yang keberadaannya sudah tidak lagi dipelihara.

Nama uma lengge dahulunya adalah uma bue, setelah tahun 1935 uma lengge banyak yang berubah menjadi uma jompa. “uma jompa ada sekitar tahun 1952, sebetulnya struktur awal rumah tradisonal suku Bima adalah Uma Lengge.

Uma Lengge dan uma jompa ini merupakan aset budaya Bima yang merupakan warisan leluhur Suku Bima yang dijaga dan dilestarikan untuk para generasi yang akan datang agar masyarakat mengetahui kultur nenek moyang Bangsa pada zaman dahulu. Disinilah dibutuhkan peran Pemerintah Daerah dibutuhkan guna melestarikan bangunan adat yang telah termakan usia. Tidak hanya Pemerintah Daerah melainkan Pemerintah Pusat perlu turun tangan. Pasalnya, Uma Lengge dan Uma Jompa adalah bagian dari kebudayaan Nasional serta bukti sejarah masyarakat suku Bima pada ratusan tahun silam yang harus dijaga.

Sementara itu, peran Pemerintah Daerah Kabupaten Bima Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) juga harus ada karena kedua rumah tradisional tersebut ada dan terletak di Daerah tersebut. Pemerintah melalui

(3)

dana APBN dapat membantu merehabilitasi dan mengembangkan Daerah tersebut sehingga dapat dijadikan Daerah wisata yang lebih terkenal lagi.

Sinergisitas antar Lembaga stokholder jelas diperlukan dalam mengembangkan Uma Lengge dan Uma Jompa. Misalnya, Kementerian Pariwisata dapat menggencarkan mempromosikan Uma Lengge dan Uma Jompa di Desa Maria sebagai salah satu objek wisata di NTB. Kemudian, Kementerian Pekerjaan Umum dapat membantu merevitalisasi Uma Lengge dan Uma Jompa yang sudah mengalami kerusakan dengan tidak merubah struktur bagian terpenting dari keberadaan bangunan tersebut. Seperti mengganti atap alang-alang yang sudah rusak dengan yang baru atau mengganti kayu yang sudah lapuk, sehingga Uma Lengge dan Uma Jompa tetap berdiri dan dapat dinikmati keindahannya oleh setiap pengunjung.

Disamping itu juga, Pemerintah juga lebih aktif dalam hal promosi menarik minat wisatawan untuk berkunjung, baik dalam rangka berwisata Budaya maupun penelitian-penelitian ilmiah. Pelestarian Uma Lengge dan Uma Jompa juga berguna untuk kepentingan pariwisata yang berimbas pada sektor ekonomi masyarakat serta pendapatan Daerah.

Oleh karena itu, selain campur tangan Pemerintah Pusat, peran dari Dinas Pariwisata di Daerah juga diperlukan untuk membantu mengembangkan lokasi ini. Uma Lengge dan Uma Jompa dapat menjadi kebanggaan Nusa Tenggara Barat karena keunikan dan nilai sejarah lokal yang dimilikinya. Keduanya merupakan warisan leluhur yang sangat berarti bagi generasi selanjutnya karena menjadi bukti sejarah dan sumber cerita masa lalu bagi generasi yang akan datang.

Berangkat dari hal tersebut, penulis terdorong untuk mengetahui “Persepsi Masyarakat Terhadap Eksistensi Kearifan Budaya Lokal (Studi Pada Desa Wisata “Uma

Lengge” Maria Kecamatan Wawo Kabupaten Bima).”

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Dasar Tentang Persepsi

Persepsi merupakan salah satu aspek psikologis yang penting bagi manusia dalam merespon kehadiran berbagai aspek dan gejala di sekitarnya. Persepsi mengandung pengertian yang sangat luas, menyangkut intern dan ekster. Berbagai ahli telah memberikan definisi yang beragam tentang persepsi, walaupun pada prinsipnya mengandung makna yang sama. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, persepsi adalah tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu. Proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya.

Sugihartono, dkk (2007:8) mengemukakan bahwa persepsi adalah kemampuan otak dalam menerjemahkan stimulus atau proses untuk menerjemahkan stimulus yang masuk ke dalam alat indera manusia. Persepsi manusia terdapat perbedaan sudut pandang dalam penginderaan. Ada yang mempersepsikan sesuatu itu baik atau persepsi yang positif maupun persepsi negatif yang akan mempengaruhi tindakan manusia yang tampak atau nyata.

Bimo Walgito (2004:70) mengungkapkan bahwa persepsi merupakan suatu proses pengorganisasian, penginterpre tasian terhadap stimulus yang diterima oleh organisme atau individu sehingga menjadi sesuatu yang berarti, dan merupakan aktivitas yang integrated dalam diri individu. Respon sebagai akibat dari persepsi dapat diambil oleh individu dengan berbagai macam 10 bentuk. Stimulus mana yang akan mendapatkan respon dari individu tergantung pada perhatian individu yang bersangkutan.

(4)

Berdasarkan hal tersebut, perasaan, kemampuan berfikir, pengalaman – pengalaman yang dimiliki individu tidak sama, maka dalam mempersepsi sesuatu stimulus, hasil persepsi mungkin akan berbeda antar individu satu dengan individu lain. Setiap orang mempunyai kecenderungan dalam melihat benda yang sama dengan ca ra yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut bisa dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah pengetahuan, pengalaman dan sudut pandangnya. Persepsi juga bertautan dengan cara pandang seseorang terhadap suatu objek tertentu dengan cara yang berbeda – beda dengan menggunakan alat indera yang dimiliki, kemudian berusaha untuk menafsirkannya. Persepsi baik positif maupun negatif ibarat file yang sudah tersimpan rapi di dalam alam pikiran bawah sadar kita. File itu akan segera muncul ketika ada stimulus yang memicunya, ada kejadian yang membukanya. Persepsi merupakan hasil kerja otak dalam memahami atau menilai suatu hal yang terjadi di sekitarnya (Waidi, 2006:118).

Jalaludin Rakhmat (2007: 51) menyatakan persepsi adalah pengamatan tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Sedangkan, Suharman (2005:23) menyatakan: “persepsi merupakan suatu proses menginterpretasikan atau menafsir informasi yang diperoleh melalui sistem alat indera manusia”. Menurutnya ada tiga aspek di dalam persepsi yang dianggap relevan dengan kognisi manusia, yaitu pencatatan indera, pengenalan pola, dan perhatian. Dari penjelasan di atas dapat ditarik suatu kesamaan pendapat bahwa persepsi merupakan suatu proses yang dimulai dari penglihatan hingga terbentuk tanggapan yang terjadi dalam diri individu sehingga individu sadarakan segala

sesuatu dalam lingkungannya melalui indera-indera yang dimilikinya.

Syarat Terjadinya Persepsi

Menurut Sunaryo (2004:98) syarat-syarat terjadinya persepsi adalah sebagai berikut:

a. Adanya objek yang dipersepsi.

b. Adanya perhatian yang merupakan langkah pertama sebagai suatu persiapan dalam mengadakan persepsi.

c. Adanya alat indera/reseptor yaitu alat untuk menerima stimulus.

d. Saraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus ke otak, yang kemudian sebagai alat untuk mengadakan respon.

Kajian Tentang Budaya Material

Budaya material dalam hal ini merupakan hasil produksi suatu kebudayaan berupa benda yang dapat ditangkap indera, misalnya makanan, pakaian, alat teknologi dll. Dalam hal ini budaya material merupakan bentuk detail dari proses identifikasi sosial. Dalam budaya material ini sudah menyebutkan hal-hal yang dapat kita kenali dari sebuah kebudayaan. Budaya material tidak hadir dengan sendirinya tetapi dia dibangun berdasarkan nilai tertentu. Efektifitas komunikasi antarbudaya dimulai dari melihat kemudian memahami makna bentuk utama adat istiadat mereka.

Budaya material merupakan sumber bukti penting yang terdapat di luar ilmu sosial dan humaniora. Secara sempit budaya material diterjemahkan sebagai kajian mengenai produk-produk material buatan manusia, atau, seperti yang dinyatakan George Kubler (1962) sebagai ‘sejarah benda- benda’. Kajian ini memfokuskan pada kesenian dan artefak, karena itu biasanya mencakup juga kajian tentang proses teknologi yang terlibat dalam produksi obyek tersebut dan sistem konseptual

(5)

di dalamnya yang membuat obyek-obyek tersebut ada.

Budaya material mencakup juga konstruksi manusia atas lingkungan sebagai suatu lanskap budaya dan ekonomi, karena artefak merupakan instrumen dalam proses ekonomi dan lanskap ditranformasikan melalui tindakan-tindakan manusia. Dalam ilmu-ilmu sosial, artefak dipandang sebagai bagian dari budaya dan integral dengan proses reproduksi sosial. Artefak tidak dapat dipahami dalam suatu isolasi yang terlepas dari konteks sosial dan budaya yang lebih luas tempat artefak ini berada.

Adapun kebudayaan material adalah semua benda dan alat kerja yang dihasilkan oleh teknologi. Kebudayaan material dapat dikatakan sebagai wujud dari kebudayaan yang bersifat abstrak, yang memberi pengertian dan nilai kepada benda-benda material sebagai hasil usaha dan kerja manusia yang dilakukan secara sadar dan bertujuan. Teknologi merupakan unsur budaya yang sangat penting sebab perubahan teknologi akan memengaruhi unsur kebudayaan lain. Misalnya, perubahan teknologi berburu menjadi teknologi pertanian. Masyarakat tradisional yang masih menerapkan cara hidup berburu biasanya memiliki anggota yang relatif sedikit, hidup berpindah-pindah serta cenderung menggunakan teknologi yang sederhana dan mudah dibawa serta. Akan tetapi, dengan ditemukannya teknik pertanian, masyarakat tersebut akan tinggal secara menetap, jumlah penduduknya bertambah, dan mulai menggunakan peralatan dan teknologi yang beragam. Di sisi lain, di sela menunggu hasil pertanian panen, mereka mengembangkan kerajinan tangan dan kesenian.

Kondisi Desa Wisata “Uma Lengge” Maria dalam Ranah Kebudayaan

Uma Lengge salah satu rumah adat tradisional peninggalan asli nenek moyang suku Bima (Dou Mbojo) yang dulunya

berfungsi sebagai tempat penyimpanan padi. Lokasi kedua peninggalan adat tersebut terletak di Desa Maria, Kecamatan Maria, dan Desa Sambori Kecamatan Lambitu Kabupaten Bima, Pulau Sumbawa.

Salah satu tempat yang memiliki budaya dan tradisi yang beranekaragam di wilayah Indonesia adalah terletak di bagian timur Pulau Sumbawa pada posisi 118°41'00"-118°48'00" Bujur Timur dan 8°20'00"-8°30'00" Lintang Selatan yaitu Kota Bima. Kota Bima memiliki ragam budaya, adat, dan tradisi yang beraneka ragam. Salah satu ciri khas dari Kota Bima adalah adanya “Uma Lengge” yang merupakan Rumah adat bagi masyarakat suku Mbojo. “Uma Lengge” tersebut berada tepatnya Desa Maria, Kecamatan Maria, dan Desa Sambori Kecamatan Lambitu Kabupaten Bima, Pulau Sumbawa. Secara terminologi Uma Lengge berasal dari kata “Uma” berarti Rumah dan “Lengge” berarti mengerucut atau pucuk yang menyilang. Secara harafiah Uma lengge merupakan Rumah adat masyarakat Suku Mbojo yang memiliki bentuk mengerucut pada bagian atapnya.

“Uma Lengge” tersebut memiliki daya tarik tersendiri bagi para kalangan wisatawan, tidak hanya dari segi tampilan dan bentuk dari rumah adat namun juga dari segi filosofipun sangat menyimpan banyak hal yang menarik. Jika kita melihat masyarakat saat ini, amat sangat jarang mengambil pelajaran dari lingkungan sekitar khususnya budaya, tradisi atau adat yang ada. Pola tingkah laku dikalangan masyarakat lambat laun mengalami degradasi disebabkan minimnya kepedulian terhadap perilaku “kataho rawi ra ruku” atau “jaga perilaku saat kapanpun dan dimanapun berada.” Hal tersebut sejalan dengan pesan yang disampaikan oleh “Uma Lengge” pada tampilan dan bentuknya yang menarik.

Uma Lengge terdiri dari tiga lantai. Lantai pertama digunakan untuk menerima tamu dan kegiatan upacara adat. Lantai kedua

(6)

berfungsi sebagai tempat tidur sekaligus dapur. Sedangkan lantai ketiga digunakan untuk menyimpan bahan makanan seperti padi, palawija dan umbi-umbian. Pintu masuknya terdiri dari tiga daun pintu yang berfungsi sebagai bahasa komunikasi dan sandi untuk para tetangga dan tamu. Jika daun pintu lantai pertama dan kedua ditutup, hal itu menunjukan bahwa yang punya rumah sedang berpergian tapi tidak jauh dari rumah. Tapi jika ketiga pintu ditutup, berarti pemilik rumah sedang berpergian jauh dalam tempo yang relatif lama.

Jika kita melihat dari sisi bentuk dari uma lengge terdiri dari 3 lantai. Ketiga lantai tersebut digunakan untuk beberapa kegiatan yang berbeda. Terdapat hal yang bisa kita jadikan sebagai pelajaran pada pemisahan tiga lantai pada “uma lengge tesebut, diantaranya adalah bahwa ketika kita hidup haruslah hidup dengan baik, teratur, dan disiplin. Hal tersebut diajarkan oleh “Uma Lengge” disiplin, teratur menjadi bagian penting dalam hidup. Oleh sebab itu saat ini kita harus terapkan hidup teratur, tempatkan sesuatu pada tempatnya dan usahakan kita bisa membuat wadah untuk menempatkan sesuatu itu pada bagiannya masing-masing sebagaimana “Uma lengge” membuat tiga lantai dengan fungsi yang berbeda-beda Pada “uma lengge” tersebut Jika daun pintu lantai pertama dan kedua ditutup, hal itu menunjukan bahwa pemilik rumah sedang berpergian tetapi tidak jauh dari rumah. Namun, jika ketiga pintu tertutup, berarti pemilik rumah sedang berpergian jauh dalam tempo yang relatif lama.

Hal tersebut memberikan sebuah pelajaran bahwa meninggalkan rumah harus meninggalkan pesan meskipun dengan kebiasaan dan bahasa yang diberikan lewat tertutupnya daun pintu. Apabila tetangga atau orang-orang yang ingin bertamu maka mereka tidak perlu menunggu lama karena telah diberikan isyarat melalui daun pintu tersebut. Tinggalkanlah “pesan”baik itu verbal atau non

verbal. Walaupun hal tersebut sederhana namun itu menujukan cara kita menghargai orang lain. Kitapun dapat mengetahui bersama bahwa salah satu cara bagi orang-orang terdahulu untuk menujukan bahwa kearifan yang dimiliki mereka yaitu melalui simbol pada sebuah budaya, tradisi, atau adat.

Pendekatan Pengembangan Desa Wisata Pengembangan dari desa wisata harus direncanakan secara hati-hati agar dampak yang timbul dapat dikontrol. Berdasar dari penelitian dan studi-studi dari UNDP/WTO dan beberapa konsultan Indonesia, dicapai dua pendekatan dalam menyusun rangka kerja/konsep kerja dari pengembangan sebuah desa menjadi desa wisata. Menurut UNDP and WTO. (1981) Pendekatan pasar untuk pengembangan desa wisata ada tiga :

a. Interaksi tidak langsung. Model pengembangan didekati dengan cara bahwa desa mendapat manfaat tanpa interaksi langsung dengan wisatawan. Bentuk kegiatan yang terjadi semisal : penulisan buku-buku tentang desa yang berkembang, kehidupan desa, arsitektur tradisional, latar belakang sejarah, pembuatan kartu pos dan sebagainya.

b. Interaksi setengah langsung. Bentuk-bentuk one day trip yang dilakukan oleh wisatawan, kegiatan-kegiatan meliputi makan dan berkegiatan bersama penduduk dan kemudian wisatawan dapat kembali ke tempat akomodasinya. Prinsip model tipe ini adalah bahwa wisatawan hanya singgah dan tidak tinggal bersama dengan penduduk. c. Interaksi Langsung. Wisatawan

dimungkinkan untuk tinggal/bermalam dalam akomodasi yang dimiliki oleh desa tersebut. Dampak yang terjadi dapat dikontrol dengan berbagai pertimbangan yaitu daya dukung dan potensi masyarakat setempat. Alternatif lain dari model ini

(7)

adalah penggabungan dari model pertama dan kedua.

Menurut Nuryanti (1993) “ selain pendekatan pasar, pengembangan desa wisata dapat dilakukan dengan Pendekatan Fisik Desa Wisata. Pendekatan ini merupakan solusi yang umum dalam mengembangkan sebuah desa melalui sektor pariwisata dengan menggunakan standar-standar khusus dalam mengontrol perkembangan dan menerapkan aktivitas konservasi. Pengembangan dengan pendekatan fisik adalah sebagai berikut:

1) Mengonservasi sejumlah rumah yang memiliki nilai budaya dan arsitektur yang tinggi dan mengubah fungsi rumah tinggal menjadi sebuah museum desa untuk menghasilkan biaya untuk perawatan dari rumah tersebut. Contoh pendekatan dari tipe pengembangan model ini adalah Desa Wisata di Koanara, Flores. Desa wisata yang terletak di daerah wisata Gunung Kelimutu ini mempunyai aset wisata budaya berupa rumah-rumah tinggal yang memiliki arsitektur yang khas. Dalam rangka mengkonservasi dan mempertahankan rumah-rumah tersebut, penduduk desa menempuh cara memuseumkan rumah tinggal penduduk yang masih ditinggali. Untuk mewadahi kegiatan wisata di daerah tersebut dibangun juga sarana wisata untuk wisatawan yang akan mendaki Gunung Kelimutu dengan fasilitas berstandar resor minimum dan kegiatan budaya lain.

2) Mengonservasi keseluruhan desa dan menyediakan lahan baru untuk menampung perkembangan penduduk desa tersebut dan sekaligus mengembangkan lahan tersebut sebagai area pariwisata dengan fasilitas-fasilitas wisata. Contoh pendekatan pengembangan desa wisata jenis ini adalah Desa Wisata Sade, di Lombok.

3) Mengembangkan bentuk-bentuk akomodasi di dalam wilayah desa tersebut yang dioperasikan oleh penduduk desa tersebut

sebagai industri skala kecil. Contoh dari bentuk pengembangan ini adalah Desa wisata Wolotopo di Flores. Aset wisata di daerah ini sangat beragam antara lain : kerajinan tenun ikat, tarian adat, rumah-rumah tradisional dan pemandangan ke arah laut. Wisata di daerah ini dikembangkan dengan membangun sebuah perkampungan skala kecil di dalam lingkungan Desa Wolotopo yang menghadap ke laut dengan atraksi-atraksi budaya yang unik. Fasilitas-fasilitas wisata ini dikelola sendiri oleh penduduk desa setempat. Fasilitas wisata berupa akomodasi bagi wisatawan, restaurant, kolam renang, peragaan tenun ikat, plaza, kebun dan dermaga perahu boat. Pendekatan desa wisata dapat pula digunakan pendekatan visitor management adalah keterkaitan yang harmonis antara pengunjung, objek, dan pengelola atau tuan rumah (host). Keterkaitan yang harmonis tersebut apabila dikelola dengan baik akan mampu mewujudkan keberhasilan visitor management yang sesungguhnya yaitu pengelolaan yang mampu memberikan nilai lebih pada objek, sebagaimana yang diutarakan Davidson Maitland (1997) (dalam Sirajuddin, 2006 ) berikut ini :

1) Kualitas pengalaman kunjungan.

2) Meningkatkan reputasi dan citra objek/destinasi yang dikunjungi.

3) Menciptakan peningkatan kualitas lingkungan objek.

4) Memaksimalkan peluang ekonomis pariwisata.

5) Meminimalkan dampak negatif khususnya terhadap komunitas setempat.

6) Meningkatkan lama tinggal.

7) Meningkatkan intetitas kunjungan (off seasion visit) sehingga dapat mengurangi peak seasion.

8) Mengurangi beban yang melebihi kapasitas daya tampung desa wisata.

(8)

Tipe Desa Wisata

Menurut pola, proses dan tipe pengelolanya desa atau kampung wisata di Indonesia sendiri, terbagi dalam dua bentuk yaitu tipe terstruktur dan tipe terbuka.

a. Tipe terstruktur (enclave). Tipe terstruktur ditandai dengan karakter-karakter sebagai berikut :

1) Lahan terbatas yang dilengkapi dengan infrastruktur yang spesifik untuk kawasan tersebut. Tipe ini mempunyai kelebihan dalam citra yang ditumbuhkannya sehingga mampu menembus pasar internasional. 2) Lokasi pada umumnya terpisah dari

masyarakat atau penduduk lokal, sehingga dampak negatif yang ditimbulkannya diharapkan terkontrol. Selain itu pencemaran sosial budaya yang ditimbulkan akan terdeteksi sejak dini.

3) Lahan tidak terlalu besar dan masih dalam tingkat kemampuan perencanaan yang integratif dan terkoordinir, sehingga diharapkan akan tampil menjadi semacam agen untuk mendapatkan dana-dana internasional sebagai unsur utama untuk “menangkap” servis-servis dari hotel-hotel berbintang lima.

b. Tipe Terbuka (spontaneus). Tipe ini ditandai dengan karakter-karakter yaitu tumbuh menyatunya kawasan dengan struktur kehidupan, baik ruang maupun pola dengan masyarakat lokal. Distribusi pendapatan yang didapat dari wisatawan dapat langsung dinikmati oleh penduduk lokal, akan tetapi dampak negatifnya cepat menjalar menjadi satu ke dalam penduduk lokal, sehingga sulit dikendalikan. Contoh dari tipe perkampungan wisata jenis ini adalah kawasan Prawirotaman, Yogyakarta. Community-Based Tourism Development dan Peran Serta Masyarakat Dalam Koridor Pembangunan Desa Wisata

Pada bulan Juli 2000, Bank Dunia mulai memikirkan bagaimana caranya menanggulangi masalah kemiskinan melalui sektor pariwisata yang kemudian dikenal dengan “Community-Based Tourism” (CBT). Selanjutnya diidentifikasi adanya tiga kegiatan pariwisata yang dapat mendukung konsep CBT yakni adventure travel , cultural travel dan ecotourism (Sentosa : 2002). Dibahas pula kaitannya dengan akomodasi yang dimiliki oleh masyarakat atau disebut small family-owned hotels yang biasanya berkaitan erat dengan tiga jenis kegiatan tersebut. Menurut Dalem (Spillane, dalam Jurnal Pariwisata Tri Sakti : 2003) menyatakan bahwa “Community-based tourism akan melibatkan pula masyarakat dalam proses pembuatan keputusan, dan dalam perolehan bagian pendapatan terbesar secara langsung dari kehadiran para wisatawan”. Sehingga dengan demikian CBT akan dapat menciptakan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan dan membawa dampak positif terhadap pelestarian lingkungan dan budaya asli setempat yang pada akhirnya diharapkan akan mampu menumbuhkan jati diri dan rasa bangga dari penduduk setempat yang tumbuh akibat peningkatan kegiatan pariwisata. Menurut Sentosa (2002) “sesungguhnya CBT adalah konsep ekonomi kerakyatan di sektor riil, yang langsung dilaksanakan oleh masyarakat dan hasilnyapun langsung dinikmati oleh mereka”.

Berdasarkan studi yang pernah dilakukan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata pada tahun 2003, diperoleh kesimpulan bahwa partisipasi masyarakat dalam pengembangan daerah tujuan wisata (DTW) di Indonesia masih rendah. Hal ini antara lain disebabkan karena tidak adanya ketentuan yang jelas dan rinci tentang pelibatan masyarakat dalam pengembangan DTW.

Cernea (1991) dalam Lindberg and Hawkins (1995) mengemukakan bahwa partisipasi lokal memberikan peluang efektif

(9)

dalam kegiatan pembangunan, hal ini berarti memberi wewenang atau kekuasaan pada masyarakat sebagai pemeran sosial dan bukan subjek pasif untuk mengelola sumberdaya membuat keputusan dan kontrol pada kegiatan-kegiatan yang mempengaruhi kehidupan sesuai dengan kemampuannya. Goodwin (1997) menyarankan usaha untuk menjamin keikutsertaan masyarakat setempat dan langkah-langkah yang perlu dicari agar masyarakat setempat dapat benar-benar terlibat dalam kegiatan ekowisata. Perlunya interaksi ketiga pihak yang ikut terlibat, yaitu sektor pemerintah, swasta dan masyarakat setempat. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bima dengan alasan sebagai berikut :

a. Adanya persepsi masyarakat terhadap eksistensi kearifan budaya lokal (Studi pada Desa wisata “Uma Lengge” Maria Kecamatan Wawo Kabupaten Bima).

b. Persepsi masyarakat terhadap eksistensi kearifan budaya lokal (Studi pada Desa wisata “Uma Lengge” Maria Kecamatan Wawo Kabupaten Bima).

Fokus dalam penelitian ini adalah menganalisa, memahami, dan mengetahui persepsi masyarakat terhadap eksistensi kearifan budaya lokal (Studi pada Desa wisata “Uma Lengge” Maria Kecamatan Wawo Kabupaten Bima). Koentjaraningrat (1989 : 130) memberikan gambaran tentang informan yaitu informan pangkal dan informan kunci. Informan pangkal adalah orang yang dipandang mampu memberikan informasi secara umum dan mampu menunjukkan orang lain sebagai informan kunci yang dapat memberikan informasi lebih dalam. Adapun yang dijadikan informan hanyalah yang dapat memberikan sumber informasi terhadap permasalahan yang menjadi fokus dari penelitian ini, oleh karena itu sample dipilih secara purposive dan snowball. Purposive dilakukan bertalian

dengan tujuan tertentu, sedangkan snowball dilakukan secara serial berurutan untuk menunjuk orang lain yang dapat memberikan informasi, kemudian responden ini diminta pula menunjuk orang lain dan seterusnya (Nasution, 1992 : 32).

Kriteria spesifik yang dijadikan informan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Informan yang ditentukan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Informan Kunci.

Informan kunci merupakan informan yang dianggap mengetahui seluk beluk masalah dan tujuan penelitian. Informan kunci dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bima

b. Masyarakat adat Desa Maria Kecamatan Wawo

c. Kepala Desa Maria. 2. Informan Pendukung.

Informan pendukung diposisikan sebagai pelengkap data yang dibutuhkan peneliti apabila data yang diperoleh dari informan kunci dianggap kurang dan bisa juga sebagai penguat keabsahan data yang diberikan oleh informan kunci. Informan pendukung dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : LSM, Politisi, Akademisi, Tokoh masyarakat, Tokoh adat, dan Masyarakat.

PEMBAHASAN

Dukungan Pemerintah Sebagai Bentuk Eksistensi Desa Wisata “UMA LENGGE” Sebagai Warisan Kearifan Budaya Lokal

Kabupaten Bima NTB merupakan Kota transit wisata bagi wisatawan yang akan berkunjung ke pulau komodo. Identitas sebagai Kota transit wisata ini sedikit banyak membawa pengaruh besar terhadap kebijakan pengembangan pariwisata Daerah Kabupaten Bima. Sektor pariwisata menjadi salah satu

(10)

andalan Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Bima, berbagai upaya pengembangan pariwisata, baik upaya untuk memperbaiki sarana infrastruktur dan suprastruktur pariwisata terus digalakkan oleh Pemerintah Daerah.

Pemetaan kawasan prioritas pengembangan pariwisata belum dilakukan dengan baik oleh Pemerintah Daerah, hal ini terlihat dengan tidak adanya sebuah sistem perencanaan pembangunan dan pengembangan pariwisata dalam bentuk master atau Rencana Induk Pengembangan Pariwisata Daerah Kabupaten Bima (RIPPDA). Karena ketidakadaan RIPPDA ini menjadikan perencanaan dan pengembangan pariwisata di Kabupaten Bima menjadi tidak jelas dilakukan. Upaya-upaya pemetaan potensi wisatapun menjadi tidak tersusun dengan baik, padahal di sisi lain Kabupaten Bima menyimpan banyak potensi wisata melalui objek-objek wisata yang dimilikinya.

Salah satu objek wisata yang diminati oleh wisatawan baik mancanegara maupun domestik adalah “Uma Lengge” yang ada di Desa Maria, Kecamatan Wawo, Kabupaten Bima Nusa Tenggara Barat. “Uma Lengge” merupakan hasil budaya masyarakat Wawo berupa bangunan rumah tradisional tempat menyimpan hasil panen masyarakat setiap datangnya musim panen. Yang menarik bagi wisatawan tidak hanya bentuk bangunan rumah tradisonal “Uma Lengge” saja tapi aktifitas dan budaya masyarakat “Uma Lengge” yang khas dan unik. Sejarah panjang “Uma Lengge” masih ditradisikan oleh masyarakatnya dari generasi ke generasi melalui aktivitas sosial dan budaya masyarakat.

Budaya khas inilah yang tidak dimiliki oleh daerah atau objek wisata lainnya di Kabupaten Bima. Lokasi “Uma Lengge” yang dekat dengan perbatasan penyebrangan menuju pulau komodo menjadikan objek wisata ini menjadi objek wajib yang harus dikunjungi oleh

wisatawan. Peluang inilah yang belum mampu dikelola dengan baik oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bima. Budaya “Uma Lengge” merupakan aset wisata yang harus dipelihara agar tidak punah dan hilang bersama-sama dengan perkembangan jaman.

Kesenian merupakan salah satu bagian dari budaya serta sarana yang dapat digunakan sebagai cara untuk menuangkan rasa keindahan dari dalam jiwa manusia. Kesenian selain sebagai sarana untuk mengekspresikan rasa keindahan, juga memiliki fungsi lain. Misalnya, mitos berguna dalam menentukan norma untuk mengatur perilaku yang teratur dan meneruskan adat serta nilai-nilai kebudayaan. Pada umumnya, kesenian dapat berguna untuk mempererat ikatan solidaritas suatu masyarakat. Berikut pengertian kesenian menurut para ahli :

1. Kottak; seni sebagai hasil ekspresi, kualitas, atau alam keindahan atau segala hal yang dapat melebihi keasliannya dan klasifikasi objek-subjek terhadap kriteria estetis. 2. Kuntjaraningrat; Kesenian ialah kompleks

dari berbagai ide-ide, norma-norma, gagasan, nilai-nilai, serta peraturan dimana kompleks aktivitas dan tindakan tersebut berpola dari manusia itu sendiri dan pada umumnya berwujud berbagai benda-benda hasil ciptaan manusia.

3. William A. Haviland Kesenian merupakan keseluruhan sistem yang dapat melibatkan proses penggunaan dari imajinasi manusia secara kreatif pada kelompok masyarakat dengan suatu kebudayaan tertentu.

4. J.J Hogman Kesenian merupakan sesuatu yang memiliki beberapa unsur diantaranya unsur ideas, activities, serta artifacts. 5. Irving Stone Kesenian merupakan sebuah

kebutuhan pokok. Seperti halnya roti atau mantel hangat yang digunakan pada musim dingin. Mereka mengira bahwa kesenian merupakan barang mewah, pikirannya tidak utuh. Menurut Irving Stone, Roh manusia

(11)

akan menjadi lapar akan kesenian seperti pada saat perut yang keroncongan minta makan.

Menurut pola, proses dan tipe pengelolanya desa atau kampung wisata di Indonesia sendiri, terbagi dalam dua bentuk yaitu tipe terstruktur dan tipe terbuka.

a. Tipe terstruktur (enclave). Tipe terstruktur ditandai dengan karakter-karakter sebagai berikut :

1. Lahan terbatas yang dilengkapi dengan infrastruktur yang spesifik untuk kawasan tersebut. Tipe ini mempunyai kelebihan dalam citra yang ditumbuhkannya sehingga mampu menembus pasar internasional.

2. Lokasi pada umumnya terpisah dari masyarakat atau penduduk lokal, sehingga dampak negatif yang ditimbulkannya diharapkan terkontrol. Selain itu pencemaran sosial budaya yang ditimbulkan akan terdeteksi sejak dini. 3. Lahan tidak terlalu besar dan masih

dalam tingkat kemampuan perencanaan yang integratif dan terkoordinir, sehingga diharapkan akan tampil menjadi semacam agen untuk mendapatkan dana-dana internasional sebagai unsur utama untuk “menangkap” servis-servis dari hotel-hotel berbintang lima.

b. Tipe Terbuka (spontaneus). Tipe ini ditandai dengan karakter-karakter yaitu tumbuh menyatunya kawasan dengan struktur kehidupan, baik ruang maupun pola dengan masyarakat lokal.

Jadi dapat disimpulkan bahwasanya dengan adanya desa wisata uma lengge ini secara langsung maupun tidak langsung telah memajukan pariwisata yang ada di Desa Maria tersebut, dan menambah Anggaran Perbelanjaan Desa (APBD) semakin naik tiap tahunnya. Hasil dari APBD juga ini dibagi untuk Pemerintah Kabupaten Bima, dimasukan

dalam pos APBDnya dan dikembalikan lagi kepada masyarakat. Terkait anggaran dan pemasukan dari adanya eksistensi desa wisata uma lengge ini, anggaran ini juga digunakan untuk biaya pemeliharaan dan biaya untuk pembayaran gaji masyarakat yang ditunjuk oleh pemarintah desa sebagai petugas penjaga dan pemelihara uma lengge tersebut, serta insentif bagi para pengurus organisasi penjaga uma lengge yang bekerja dalam naungan Pemerintah Desa.

Keberadaan uma lengge ini sudah diakui dan telah ditetapkan oleh Kementerian Pariwisata sebagai kategori Desa Wisata, dan itu sudah ada surat serta petugas-petugas pelaksana yang menjaga Desa Wisata tersebut digaji khusus oleh pemerintah.

Terkait dengan eksistensi dari uma lengge sebagai sebuah warisan budaya adalah dengan mengenalkan uma lengge ini dalam hal berbagai kegiatan kebudayaan yaitu salah satunya adalah festival budaya yang diselenggarakan pada situs budaya uma lengge yang berada di Desa Maria Kecamatan Wawo. Dasar adanya kegiatan festival budaya uma lengge ini berawal dari pemikiran generasi muda Desa Maria untuk mengenalkan uma lengge ini sebagai sebuah warisan budaya lokal Daerah kepada masyarakat NTB khususnya lebih-lebih pada masyarakat Indonesia dan masyarakat dunia. Selain itu juga, lahirnya festival ini karena melihat contoh dari daerah-daerah lain yang telah lebih dulu mengenalkan budayanya kepada dunia misalnya di daerah Lombok dengan festival buadaya adat sasak, festival komodo dengan festival pulau komodonya yang akhirnya timbul keinginan pemuda Desa Maria mengangkat festival uma lengge.

Kegiatan yang dilakukan dalam acara festival tersebut sangat beragam, awal mula dari festival tersebut tidak terlalu banyak yang menghadirinya dengan kegiatan festival berupa penampilan seni budaya mpa’a manca, mpa’a

(12)

gantao, tari lengge, mpa’a tumbu tuta, tari wura bongi monca, kemudian ufi silu dan diakhiri dengan upacara tradisi kanee fare (tradisi menyimpan hasil bumi) di uma lengge tersebut. Pada awal kegiatan festival dilakukan masih bersifat lokal di sekitar Desa Maria Kecamatan Wawo saja, namun ketika festival berikutnya kegiatan festival uma lengge sangat ramai dan antusias masyarakat di luar Desa Maria Kecamatan Wawo hampir penuh di tempat situs uma lengge tersebut.

Persepsi Masyarakat Terhadap Eksistensi Desa Wisata “UMA LENGGE” Sebagai Warisan Kearifan Budaya Lokal

Persepsi merupakan salah satu aspek psikologis yang penting bagi manusia dalam merespon kehadiran berbagai aspek dan gejala di sekitarnya. Persepsi mengandung pengertian yang sangat luas, menyangkut intern dan ekster. Berbagai ahli telah memberikan definisi yang beragam tentang persepsi, walaupun pada prinsipnya mengandung makna yang sama. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, persepsi adalah tanggapan (penerimaan) langsung dari sesuatu. Proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya.

Sugihartono, dkk (2007:8) mengemukakan bahwa persepsi adalah kemampuan otak dalam menerjemahkan stimulus atau proses untuk menerjemahkan stimulus yang masuk ke dalam alat indera manusia. Persepsi manusia terdapat perbedaan sudut pandang dalam penginderaan. Ada yang mempersepsikan sesuatu itu baik atau persepsi yang positif maupun persepsi negatif yang akan mempengaruhi tindakan manusia yang tampak atau nyata.

Jalaludin Rakhmat (2007: 51) menyatakan persepsi adalah pengamatan tentang objek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan

pesan. Sedangkan, Suharman (2005:23) menyatakan: “persepsi merupakan suatu proses menginterpretasikan atau menafsir informasi yang diperoleh melalui sistem alat indera manusia”. Menurutnya ada tiga aspek di dalam persepsi yang dianggap relevan dengan kognisi manusia, yaitu pencatatan indera, pengenalan pola, dan perhatian. Dari penjelasan di atas dapat ditarik suatu kesamaan pendapat bahwa persepsi merupakan suatu proses yang dimulai dari penglihatan hingga terbentuk tanggapan yang terjadi dalam diri individu sehingga individu sadarakan segala sesuatu dalam lingkungannya melalui indera-indera yang dimilikinya.

Menurut Miftah Toha (2003:154), faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang adalah sebagai berikut :

1. Faktor internal: perasaan, sikap dan kepribadian individu, prasangka,keinginan atau harapan, perhatian (fokus), proses belajar, keadaan fisik,gangguan kejiwaan, nilai dan kebutuhan juga minat, dan motivasi.

2. Faktor eksternal: latar belakang keluarga, informasi yang diperoleh, pengetahuan dan kebutuhan sekitar, intensitas, ukuran, keberlawanan, pengulangan gerak, hal-hal baru dan familiar atau ketidak asingan suatu objek.

Pengembangan dari desa wisata harus direncanakan secara hati-hati agar dampak yang timbul dapat dikontrol. Berdasar dari penelitian dan studi-studi dari UNDP/WTO dan beberapa konsultan Indonesia, dicapai dua pendekatan dalam menyusun rangka kerja/konsep kerja dari pengembangan sebuah desa menjadi desa wisata. Menurut UNDP and WTO. (1981) Pendekatan pasar untuk pengembangan desa wisata ada tiga :

a. Interaksi tidak langsung. Model pengembangan didekati dengan cara bahwa desa mendapat manfaat tanpa interaksi langsung dengan wisatawan. Bentuk

(13)

kegiatan yang terjadi semisal : penulisan buku-buku tentang desa yang berkembang, kehidupan desa, arsitektur tradisional, latar belakang sejarah, pembuatan kartu pos dan sebagainya.

b. Interaksi setengah langsung. Bentuk-bentuk one day trip yang dilakukan oleh wisatawan, kegiatan-kegiatan meliputi makan dan berkegiatan bersama penduduk dan kemudian wisatawan dapat kembali ke tempat akomodasinya. Prinsip model tipe ini adalah bahwa wisatawan hanya singgah dan tidak tinggal bersama dengan penduduk. c. Interaksi Langsung. Wisatawan

dimungkinkan untuk tinggal/bermalam dalam akomodasi yang dimiliki oleh desa tersebut. Dampak yang terjadi dapat dikontrol dengan berbagai pertimbangan yaitu daya dukung dan potensi masyarakat setempat. Alternatif lain dari model ini adalah penggabungan dari model pertama dan kedua.

Menurut Nuryanti (1993) “ selain pendekatan pasar, pengembangan desa wisata dapat dilakukan dengan Pendekatan Fisik Desa Wisata. Pendekatan ini merupakan solusi yang umum dalam mengembangkan sebuah desa melalui sektor pariwisata dengan menggunakan standar-standar khusus dalam mengontrol perkembangan dan menerapkan aktivitas konservasi. Pengembangan dengan pendekatan fisik adalah sebagai berikut:

1) Mengonservasi sejumlah rumah yang memiliki nilai budaya dan arsitektur yang tinggi dan mengubah fungsi rumah tinggal menjadi sebuah museum desa untuk menghasilkan biaya untuk perawatan dari rumah tersebut. Contoh pendekatan dari tipe pengembangan model ini adalah Desa Wisata di Koanara, Flores. Desa wisata yang terletak di daerah wisata Gunung Kelimutu ini mempunyai aset wisata budaya berupa rumah-rumah tinggal yang memiliki arsitektur yang khas. Dalam rangka

mengkonservasi dan mempertahankan rumah-rumah tersebut, penduduk desa menempuh cara memuseumkan rumah tinggal penduduk yang masih ditinggali. Untuk mewadahi kegiatan wisata di daerah tersebut dibangun juga sarana wisata untuk wisatawan yang akan mendaki Gunung Kelimutu dengan fasilitas berstandar resor minimum dan kegiatan budaya lain.

2) Mengonservasi keseluruhan desa dan menyediakan lahan baru untuk menampung perkembangan penduduk desa tersebut dan sekaligus mengembangkan lahan tersebut sebagai area pariwisata dengan fasilitas-fasilitas wisata. Contoh pendekatan pengembangan desa wisata jenis ini adalah Desa Wisata Sade, di Lombok.

3) Mengembangkan bentuk-bentuk akomodasi di dalam wilayah desa tersebut yang dioperasikan oleh penduduk desa tersebut sebagai industri skala kecil. Contoh dari bentuk pengembangan ini adalah Desa wisata Wolotopo di Flores. Aset wisata di daerah ini sangat beragam antara lain : kerajinan tenun ikat, tarian adat, rumah-rumah tradisional dan pemandangan ke arah laut. Wisata di daerah ini dikembangkan dengan membangun sebuah perkampungan skala kecil di dalam lingkungan Desa Wolotopo yang menghadap ke laut dengan atraksi-atraksi budaya yang unik. Fasilitas-fasilitas wisata ini dikelola sendiri oleh penduduk desa setempat. Fasilitas wisata berupa akomodasi bagi wisatawan, restaurant, kolam renang, peragaan tenun ikat, plaza, kebun dan dermaga perahu boat. Pendekatan desa wisata dapat pula digunakan pendekatan visitor management adalah keterkaitan yang harmonis antara pengunjung, objek, dan pengelola atau tuan rumah (host). Keterkaitan yang harmonis tersebut apabila dikelola dengan baik akan mampu mewujudkan keberhasilan visitor management yang sesungguhnya yaitu

(14)

pengelolaan yang mampu memberikan nilai lebih pada objek, sebagaimana yang diutarakan Davidson Maitland (1997) (dalam Sirajuddin, 2006 ) berikut ini :

a) Kualitas pengalaman kunjungan.

b) Meningkatkan reputasi dan citra objek/destinasi yang dikunjungi.

c) Menciptakan peningkatan kualitas lingkungan objek.

d) Memaksimalkan peluang ekonomis pariwisata.

e) Meminimalkan dampak negatif khususnya terhadap komunitas setempat.

f) Meningkatkan lama tinggal.

g) Meningkatkan intetitas kunjungan (off seasion visit) sehingga dapat mengurangi peak seasion.

h) Mengurangi beban yang melebihi kapasitas daya tampung desa wisata.

i) Menguatkan nilai-nilai kelokalan yang ada. Pengelolaan desa wisata harus juga memperhatikan daya dukung desa wisata yang ada agar tidak terjadi kerusakan atau meminimalkan dampak yang ditimbulkan. Dalam kaitan carrying capacity (daya dukung) dapat diartikan sebagai jumlah maksimum beban yang diakomodir oleh objek sehingga tidak memberikan pengaruh pada objek secara berlebihan (Mc Cool. Et all,2003 ).

Daya dukung menjadi bagian penting dari proses pengembangan berkelanjutan yang meliputi aspek fisik, biologis dan sosial budaya. Aspek-aspek tersebut dibedakan dalam 3 (tiga) hal yaitu: (1) aspek fisik dan biologis terkait dengan objek dan lingkungannya, (2) aspek sosial budaya terkait dengan dampak terhadap populasi sebagai host dan budayanya, dan (3) aspek fasilitas yang terkait dengan pengalaman wisatawan. Selain itu, daya dukung juga berkaitan dengan aspek-aspek seperti perilaku wisatawan, desain fasilitas dan pengelolaanya, serta karakter yang dinamis yang ada di lingkungan sekitar objek (Mclntyre,1993). Pada terminiologi yang tidak jauh berbeda,

Pearce (1989) menjelaskan bahwa daya dukung terkait pula dengan ambang batas aktifitas wisatawan dengan fasilitas yang ada atau disebut sebagai physical capacity, penurunan kualitas lingkungan atau yang disebut sebagai enviromental capacity, dan berkurangnya kepuasan wisatawan atas objek atau yang disebut sebagai perceptual atau psycological capacity.

Uma Lengge salah satu rumah adat tradisional peninggalan asli nenek moyang suku Bima (Dou Mbojo) yang dulunya berfungsi sebagai tempat penyimpanan padi. Lokasi kedua peninggalan adat tersebut terletak di Desa Maria, Kecamatan Maria, dan Desa Sambori Kecamatan Lambitu Kabupaten Bima, Pulau Sumbawa.

Uma Lengge terdiri dari tiga lantai. Lantai pertama digunakan untuk menerima tamu dan kegiatan upacara adat. Lantai kedua berfungsi sebagai tempat tidur sekaligus dapur. Sedangkan lantai ketiga digunakan untuk menyimpan bahan makanan seperti padi, palawija dan umbi-umbian. Pintu masuknya terdiri dari tiga daun pintu yang berfungsi sebagai bahasa komunikasi dan sandi untuk para tetangga dan tamu. Jika daun pintu lantai pertama dan kedua ditutup, hal itu menunjukan bahwa yang punya rumah sedang berpergian tapi tidak jauh dari rumah. Tapi jika ketiga pintu ditutup, berarti pemilik rumah sedang berpergian jauh dalam tempo yang relatif lama.

Jika kita melihat dari sisi bentuk dari uma lengge terdiri dari 3 lantai. Ketiga lantai tersebut digunakan untuk beberapa kegiatan yang berbeda. Terdapat hal yang bisa kita jadikan sebagai pelajaran pada pemisahan tiga lantai pada “uma lengge tesebut, diantaranya adalah bahwa ketika kita hidup haruslah hidup dengan baik, teratur, dan disiplin. Hal tersebut diajarkan oleh “Uma Lengge” disiplin, teratur menjadi bagian penting dalam hidup. Oleh sebab itu saat ini kita harus terapkan hidup teratur, tempatkan sesuatu pada tempatnya dan

(15)

usahakan kita bisa membuat wadah untuk menempatkan sesuatu itu pada bagiannya masing-masing sebagaimana “Uma lengge” membuat tiga lantai dengan fungsi yang berbeda-beda Pada “uma lengge” tersebut Jika daun pintu lantai pertama dan kedua ditutup, hal itu menunjukan bahwa pemilik rumah sedang berpergian tetapi tidak jauh dari rumah. Namun, jika ketiga pintu tertutup, berarti pemilik rumah sedang berpergian jauh dalam tempo yang relatif lama.

Hal tersebut memberikan sebuah pelajaran bahwa meninggalkan rumah harus meninggalkan pesan meskipun dengan kebiasaan dan bahasa yang diberikan lewat tertutupnya daun pintu. Apabila tetangga atau orang-orang yang ingin bertamu maka mereka tidak perlu menunggu lama karena telah diberikan isyarat melalui daun pintu tersebut. Tinggalkanlah “pesan” baik itu verbal atau non verbal. Walaupun hal tersebut sederhana namun itu menujukan cara kita menghargai orang lain. Kitapun dapat mengetahui bersama bahwa salah satu cara bagi orang-orang terdahulu untuk menujukan bahwa kearifan yang dimiliki mereka yaitu melalui simbol pada sebuah budaya, tradisi, atau adat.

Jadi dapat disimpulkan bahwa budaya yang berkembang di Desa Maria ini mulai dari nenek moyang sampai sekarang sangat beragam mulai dari budaya pergaulan, budaya seni dan tariannya, budaya adat zikirnya, sehingga khususnya di Desa Maria ini manjadi Desa panutan untuk desa-desa lainnya dari sisi seni dan budaya lamanya.

Cikal bakal lahirnya uma lengge ini bukan hanya berada di Desa Maria Kecamatan Wawo saja, akan tetapi uma lengge ini ada juga di desa-desa lainnya seperti di Sape, di Donggo maupun di Sambori. Secara istilahpun berbeda-beda, kalau di Sambori uma lengge ini berfungsi untuk tempat tinggal. Kelemahan uma lengge yang ada di Desa selain di Desa Maria Kecamatan Wawo ini adalah uma lengge

di desa-desa tersebut terpisah-pisah tidak memilki satu tempat khusus seperti uma lengge di Desa Maria ini yang terjaga kelestariannya. Dan fungsi dari uma lengge ini juga kalau di Desa Maria ini berfungsi untuk menyimpan padi bukan untuk tempat tinggal. Dengan kondisi semacam ini maka desa-desa yang lain tersebut yang tidak memiliki situs budaya tidak bisa dikatakan sebagai sebuah desa wisata warisan budaya nenek moyang. Berbeda dengan Desa Maria ini yang menjaga keaslian dan situs budaya uma lengge, sehingga Pemerintah melalui Dinas Pariwisata Pusat dan Dinas Pariwisata Propinsi menetapkan Desa Maria ini menjadi Desa Wisata dan sekaligus Desa Budaya “Uma Lengge” Warisan budaya lokal nenek moyang.

Jumlah uma lengge yang ada di situs budaya Desa Maria ada sebanyak 99 uma lengge. Masyarakat maria ini dikenal dengan etnis yang kuat mempertahankan adat dan budaya. Terutama adat pergaulan, adat budaya seni dan tarinya, budaya dzikirnya, budaya permainan tari pedangnya, sehingga menjadikan Desa Maria ini menjadi panutan bagi desa-desa lainnya dari sisi seni dan budaya lamanya. Oleh sebab itu, uma lengge ini oleh Kementrian Pariwisata menetapkan Desa Maria ini menjadi Desa Budaya dan oleh Kementrian Pariwasata memberikan dana bantuan untuk memelihara kelestarian Desa Budaya ini khususnya “Uma Lengge” agar tidak punah.

Adapun kegiatan yang kami lakukan, khususnya kami sebagai sebuah lembaga adat yaitu salah satunya kegiatan upacara adat. Upacara adat yang dilaksanakan oleh lembaga adat adalah upacara adat sesi “ampa fare” (menaikkan hasil bumi) di “uma lengge” sebagai selamatan hasil panen, sekaligus dengan “doa rasa” (selamatan Desa). Sedangkan upacara adat masyarakat cukup banyak antara lain; khitanan masal, dzikir kapanca, permainan buja kakanda (permainan dengan memukul rotan), permainan dengan

(16)

pedang (mpa’a manca), upacara adat khataman al’quran, arak-arak dengan dzikir hadrah, adu main manca pada saat pernikahan baik pihak laki-laki maupun pihak perempuan. Selain kegiatan tersebut ada juga festival yang diadakan di desa wisata “uma lengge” setiap tahunnya, dengan mengundang berbagai macam kesenian yang ada di seluruh wilayah Kabupaten Bima antara lain dari Sape, dari Donggo, dan semua seni-seni adat, maupun tari-tari adat ditampilkan dalam festival tersebut. Sejauh ini upaya kami dari pemerintah dan bekerjasama dengan pihak luar adalah dengan mengadakan festival uma lengge yang diadakan setiap tahunnya.

KESIMPULAN

Peran Pemerintah Pusat, Pemerintah Kabupaten Bima, maupun Pemerintah Kecamatan Wawo dalam mendukung serta menjaga dari nilai-nilai budaya kearifan lokal yaitu eksistensi desa wisata “Uma Lengge” sudah dirasakan oleh masyarakat Maria Wawo, terlihat dari keseriusan Pemerintah dalam mengelola dan melestarikan aset Daerah maupun Negara antara lain dengan ditetapkan oleh Kementerian Pariwisata sebagai kategori Desa Wisata, serta dibentuknya petugas-petugas pelaksana yang menjaga Desa Wisata “Uma Lengge” yang sekaligus digaji khusus oleh Pemerintah.

Lembaga adat Desa Maria sebagai sebuah organisasi yang dibentuk oleh Pemerintah Kabupaten Bima adalah wadah pemangku budaya yang bersinergi dengan masyarakat dalam menjaga dan melestarikan kearifan budaya lokal khususnya “Uma Lengge”. Lembaga adat Desa Maria sudah

mampu memberikan kontribusi yang nyata dalam mengelola dan berperan aktif mempromosikan situs-situs budaya yang ada di Desa Maria salah satunya dengan mengadakan kegiatan-kegiatan kebudayaan khususnya di situs budaya Desa Wisata “Uma Lengge” sehingga mampu merangsang wisatawan lokal maupun mancanegara untuk datang dan hadir dalam setiap kegiatan kebudayaan yang dilakukan oleh Lembaga Adat Desa Maria.

Persepsi masyarakat akan eksistensi dari Desa Wisata “Uma Lengge” Maria Wawo menunjukkan bahwasannya masyarakat Wawo sangat bangga akan warisan leluhur kebudayaan “Uma Lengge”. Eksistensi “Uma Lengge” tercermin dari berbagai kegiatan yang dilakukan oleh segenap unsur baik masyarakat, pemerintah, swasta, pemerhati budaya, yaitu dengan mengadakan festival “Uma Lengge” yang diadakan di Desa Wisata “Uma Lengge” Maria Wawo. Selain itu juga, dalam menandakan eksistensinya banyak kegiatan yang meliputi festival “Uma Lengge” tersebut antara lain; upacara adat sesi “ampa fare” (menaikkan hasil bumi) di “uma lengge” sebagai selamatan hasil panen, sekaligus dengan “doa rasa” (selamatan Desa). Sedangkan upacara adat masyarakat cukup banyak antara lain; khitanan masal, dzikir kapanca, permainan buja kakanda (permainan dengan memukul rotan), permainan dengan pedang (mpa’a manca), upacara adat khataman al’quran, arak-arak dengan dzikir hadrah, adu main manca pada saat pernikahan baik dari pihak laki-laki maupun pihak perempuan. Ini menandakan bahwa eksistensi dari kearifan budaya lokal masih sangat terjaga sampai sekarang dari generasi ke genarasi.

DAFTAR PUSTAKA

Aunurrahman. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Bandung: CV Alfabeta.

Ismail, Hilir, M. 2008. Kebangkitan Islam Di Dana Mbojo (Bima) 1540-1950. Bogor: CV Binasti. Jalaluddin Rahmat. (2007). Psikologi Komunikasi Edisi Revisi. Bandung: Remaja Rosda Karya.

(17)

Moleong, J. Lexy. 2011.Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosada.

Miftah, Toha. (2003). Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Partanto, A. Pius & Barry, Al Dahlan. M. 2001. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola. Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011. Antropologi sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sutopo, H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif, Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian. Surakarta: Universita Sebelas Maret Perss.

Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Alfabeta. Suharman. (2005) Psikologi Kognitif. Surabaya : Srikandi.

Sugihartono, dkk. (2007). Psikologi Pendidikan. Yogyakarta : UNY Press.

Sunaryo Kartadinata, dkk, 2004. Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal. Jakarta: Depdiknas.

Welek & Werren. 1995. Teori Kesusastraan, (diterjemahkan oleh Melani Budianta). Jakarta: Gramedi.

Walgito, Bimo. 2004. Bimbingan & Konseling di Sekolah. Yogyakarta : Andi.

Waidi. (2006). The Art of Re-engineering Your Mind Of Success. Jakarta: Gramedia Zaidan, Abdul Rozak dkk. 2007. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka.

Referensi

Dokumen terkait

Syaiful Anwar, Wakil Rektor III UIN Raden Intan Lampung, wawancara , dicatat pada tanggal 13/05/2018.. kepemimpinan yang demokratis. Teori ini ternyata diaplikasikan oleh Prof.

Dan seberapa besar faktor- faktor yang mempengaruhi tingkat pengangguran di Jawa Tengah tahun 2010– 2015 itu berpengaruh.Alat analisis yang digunakan adalah regresi

Tesis dengan judul “IMPLEMENTASI METODE PROBLEM SOLVING DALAM MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN MATEMATIKA KELAS IV (Studi Multi Situs di MIS

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa implementasi model pembelajaran berbasis masalah dengan bantuan diagram Vee pada kelas eksperimen memiliki perbedaan

Hubungan Kontrol Diri dan Pengungkapan Diri dengan Intensitas Penggunaan Facebook Berdasarkan hasil analisis regresi berganda diketahui r hitung variabel kontrol diri dan

Hal ini terbukti pada data empiris dilapangan, hasil pemahaman, kesadaran dan aplikasinya melalui metode pembelajaran field-trip ke tempat kegiatan ekonomi masyarakat

Berdasarkan permasalahan diatas perlu dilakukan penelitian yang bersifat eksperimen dengan konseling Keluarga Berencana, khususnya konseling KB pada ibu hamil trimester

Treatment batimung dan aromaterapi dalam penelitian ini dinilai cukup membantu mengurangi stres pada mahasiswa psikologi, karena dengan adanya kegiatan ini membuat