• Tidak ada hasil yang ditemukan

Integrasi Ilmu dalam Pendidikan Faishal Dosen STAI Luqman Al Hakim

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Integrasi Ilmu dalam Pendidikan Faishal Dosen STAI Luqman Al Hakim"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Ta‟dibi : Jurnal Prodi Manajemen Pendidikan Islam Volume VI Nomor 2, September 2017 – Februari 2018

Integrasi Ilmu dalam Pendidikan

Faishal

Dosen STAI Luqman Al Hakim

Abstrak

Integrasi keilmuan lahir dari pemikiran tentang adanya fakta pemisahan (dikotomi) antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Banyak faktor yang menyebabkan ilmu-ilmu tersebut dikotomis atau tidak harmonis, antara lain karena adanya perbedaan pada tataran ontologis, epistemologis dan aksiologis kedua bidang ilmu pengetahuan tersebut. Dampak dari dikotomi seperti ini akhirnya melahirkan out put pendidikan yang tidak utuh dan memiliki ketimpangan antara sains dan moral etik, padahal dalam suatu statement yang dikatakan oleh Albert Einstein “ilmu tanpa agama buta, agama tanpa ilmu lumpuh”. Dalam rangka memberikan sentuhan spiritual terhadap sains ini maka diperlukan adanya integrasi ilmu. Integrasi yang dimaksud adalah memasukkan nilai-nilai substantif dari Islam ke dalam bangunan keilmuan baik pada level epistemologi, ontologi, maupun aksiologi. Dalam pelaksanaannya terdapat dua model integrasi ilmu yang dilakukan oleh para pakar, yaitu yang pertama dengan cara islamisasi imu-ilmu umum, dan yang kedua dengan cara pilihan apabila dapat diintegrasikan maka dilakukan integrasi, akan tetapi jika tidak dapat diintegrasikan maka dilakukan dialog atau interkoneksi.

Keywords:Integrasi ilmu, dikotomi, Islamisasi, Interkoneksi A. Latar Belakang

Integrasi keilmuan lahir dari pemikiran tentang adanya fakta pemisahan (dikotomi) antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum. Banyak faktor yang menyebabkan ilmu-ilmu tersebut dikotomis atau tidak harmonis, antara lain karena adanya perbedaan pada tataran ontologis, epistemologis dan aksiologis kedua bidang ilmu pengetahuan tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa Ilmu agama Islam bertolak dari wahyu yang mutlak benar dan dibantu dengan penalaran yang dalam proses penggunaannya tidak boleh bertentangan dengan wahyu (revealed knowledge). Sementara itu, ilmu pengetahuan umum yang nota bene merupakan hasil olah rasio (penelitian) dan pengamatan yang dilakukan oleh manusia sehingga kemudian menjadi suatu ilmu. Sebagian besar ilmu-ilmu tersebut berasal dari Barat yang sebagian besar masyarakatnya menganut pemahaman filsafat yang ateistik, materialistik, sekuleristik, empiristik, rasionalistik, bahkan hedonistik. Sehingga menjadikan kedua ilmu tersebut memiliki karakter yang berbeda, yang pada akhirnya memunculkan adanya dikotomisasi antara ke dua ilmu tersebut.

Pandangan atau persepsi yang salah (misperception) dan terus berkembang di masyarakat tentang apa yang mereka sebut dengan agama, pendidikan agama, pelajaran agama, dan belajar agama. Agama menurut pandangan mereka tidak lebih dari kegiatan ritual, seperti zikir,

(2)

Ta‟dibi : Jurnal Prodi Manajemen Pendidikan Islam Volume VI Nomor 2, September 2017 – Februari 2018

berdo‟a, shalat, puasa, zakat, haji, mengurus jenazah, pernikahan, dan sejenisnya.1

Pekerjaan-pekerjaan ritual di atas, kalau di tingkat pemerintahan desa, berkaitan dengan tugas-tugas modin atau kesra (kesejahteraan rakyat), bukan tugas lurah, apalagi kepala daerah atau kepala negara. Jadi, agama itu tingkatannya adalah modin, bukan kepala pemerintahan, dalam pandangan mereka. Pandangan di atas ternyata membawa dampak pada pandangan mereka yang salah juga tentang pendidikan agama dan pelajaran agama. Madrasah, pondok pesantren, perguruan tinggi Islam, mereka sebut sebagai lembaga pendidikan agama (Islam).2 Dengan

demikian, lain daripada itu mereka sebut lembaga pendidikan umum, seperti SD, SMP, SMU/ SMK, AKBID, AKPER, AKPOL, Universitas, dsb.

Demikian pula pandangan di atas berdampak dikotomi ilmu. Pelajaran fikih, tauhid, akhlak, tasawwuf, tarikh dan bahasa Arab mereka sebut sebagai pelajaran agama (Islam). Sedangkan, pelajaran IPA, IPS, Kewarganegaraan, dan lainnya biasa mereka namakan sebagai pelajaran umum. Itulah pandangan yang berkembang dan terus berkembang di masyarakat. Tatkala seseorang ingin belajar agama, maka mereka datang ke lembaga pendidikan agama seperti madrasah, perguruan tinggi Islam, atau pesantren. Begitu pula ketika mereka hendak belajar umum, maka mereka datang ke lembaga pendidikan umum seperti sekolah dasar menengah dan umum atau ke pendidikan tinggi umum.

Dampak dari dikotomi seperti ini akhirnya melahirkan out put pendidikan yang tidak utuh dan memiliki ketimpangan antara sains dan moral etik, padahal dalam suatu statement yang dikatakan oleh Albert Einstein “ilmu tanpa agama buta, agama tanpa ilmu lumpuh” yang menunjukkan betapa pentingnya agama untuk mengawal ilmu pengetahuan dan betapa pentingnya ilmu pengetahuan dalam mengamalkan agama. Sehingga banyak perbuatan amoral yang dilakukan baik oleh kalangan pelajar maupun keluaran dari lembaga pendidikan tinggi, mulai dari tawuran, pergaulan bebas, narkoba, penyalahgunaan kekuasaan sampai dengan korupsi yang dilakukan secara kolektif oleh sebagian anggota dewan. Berita tentang ini senantiasa menghiasi televisi, radio, media sosal dan koran kita setiap hari.

Padahal tujuan yang diharapkan oleh pendidikan kita sebenarnya sangat ideal, sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang

1

Imam Suprayogo. Reorientasi Pendidikan Agama di Universitas Islam. Dalam Menghidupkan Jiwa Ilmu. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Kompas-Gramedia, 2014.p. 302

2

(3)

Ta‟dibi : Jurnal Prodi Manajemen Pendidikan Islam Volume VI Nomor 2, September 2017 – Februari 2018

Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.3

Al Farabi dan Ibnu Sina juga para ahli pendidik seperti Ikhwanussofa, menegaskan bahwa kesempurnaan manusia itu tidak akan tercapai kecuali dengan menserasikan antara Agama dan ilmu pengetahuan. Pandangan tersebut tidak bertentangan dengan pemikiran para ahli pikir pendidikan di Barat yang berpaham idealisme. Bahkan bagi kaum idealis, seperti John S. Brubacher, memandang bahwa tolok ukur bagi efektivitas suatu nilai dari sistem pendidikan yang diterapkan adalah pada corak kepribadian seseorang sebagai sasaran pokok proses kependidikan; Nilai-nilai tersebut membentuk karakter (watak) yang berkeadilan sosial, keterampilan (skill), kemampuan menciptakan seni, memiliki perasaan cinta kasih, berilmu pengetahuan, bernilai filsafat dan Agama.4

Oleh karenanya, mengingat Ilmu-ilmu yang dikembangkan Barat lebih cendrungmelakukan pemisahan antara sains dan ajaran moral (etika) apalagi agama (spiritual). Yang didasari pemikiran independensi ilmu dan pengembangan ilmu itu sendiri yang tidak dipengaruhi oleh sesuatu yang sudah absolut kebenarannya. sehingga, ilmu-ilmu produk Barat sesungguhnya mengantarkan manusia dalam bahaya kemanusiaan, yakni terancamnya kehidupan manusia itu sendiri.5 Sains Barat terbukti mendorong manusia untuk

mengeksploitasi alam. Tingkat kerusakan alam dalam 200 tahun terakhir, sejak sains modern ditemukan, terbukti jauh lebih parah dari 2000 tahun sebelumnya. Global warming dan ketidakteraturan cuaca menjadi bukti nyata atas dampak dari sains sekuler itu. Jika ini dibiarkan, maka sains yang mestinya membantu kehidupan justru akan membahayakan kehidupan. Untuk itu, sains harus diberi landasan spiritual agar berfungsi sebagaimana mestinya.

Dalam rangka memberikan sentuhan spiritual terhadap sains ini maka diperlukan adanya integrasi ilmu. Integrasi yang dimaksud adalah memasukkan nilai-nilai substantif dari Islam ke dalam bangunan keilmuan baik pada level epistemologi, ontologi, maupun aksiologi. Dalam perspektif integrasi ilmu, kesadaran utama yang dikembangkan adalah ilmu apapun baik yang berbasis pada alam maupun ayat qauliah merupakan tanda-tanda Allah (ayat Allah). Oleh karena itu, tak bisa dibenarkan, bila ilmu justru mengantarkan pengkajinya menjauhi

3 Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Bab II, hal 3 4

Arifin, M.H. Ilmu Pendidikan Islam (Suatu Pendekatan Teoritis Dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner), Jakarta : Bumi Aksara. 1996, Hal. 186

5

Abdel Aziz Berghout, “Toward Islamic Framework for Worldview Studies: Preliminary Theorization”, Makalah disampaikan dalam Workshop Penyusunan Blueprint Pengembangan Akademik Proyek Pengembangan Akademik (IAIN Sumatera Utara, IAIN Raden Fatah Palembang, IAIN Walisongo Semarang, dan IAIN Mataram), Hotel Mikie Holiday, Berastagi, 12-15 November 2012.

(4)

Ta‟dibi : Jurnal Prodi Manajemen Pendidikan Islam Volume VI Nomor 2, September 2017 – Februari 2018

Allah. Setiap ilmu, apapun namanya, mestinya mengantarkan pengkajinya mengenal Allah.6

Bila telah demikian, maka yang disebut ilmu keislaman adalah semua ilmu yang mampu mengantarkan pengkajinya mengenal Allah, apapun bidang ilmunya. Setiap perguruan tinggi Islam di seluruh dunia mengusung gerbong integrasi ini tanpa tercerabut dari kekhususannya masing-masing.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan di atas, tampaknya tidak mudah ketika melihat kenyataan bahwa kebanyakan orang membangun persepsi bahwa antara ilmu dan agama menjadi satu kesatuan atau integratif, walaupun sesungguhnya hal itu tidak terlalu sulit jika kita berani merujuk pada al-Qur‟an dan hadits. Berangkat dari latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep integrasi ilmu dan agama?

2. Bagaimana gagasan integrasi ilmu dan agama dalam praktek?

C. Tujuan

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, penelitian tentang ini bertujuan untuk mendiskripsikan:

1. Konsep integrasi ilmu dan agama 2. Gagasan integrasi ilmu dan agama

D. Pembahasan

1. Konsep integrasi ilmu dan agama

Integrasi berasal dari bahasa Inggris "integration" yang berarti kesempurnaan atau keseluruhan. Integrasi ilmu dimaknai sebagai sebuah proses menyempurnakan atau menyatukan ilmu-ilmu yang selama ini dianggap dikotomis sehingga menghasilkan satu pola pemahaman integrative tentang konsep ilmu pengetahuan. Bagi Kuntowijoyo, inti dari integrasi adalah upaya menyatukan (bukan sekedar menggabungkan) wahyu Tuhan dan temuan manusia (ilmu-ilmu integralistik), tidak mengucilkan Tuhan (sekularisme)

6

Mulyadhi Kartanegara, “Islamization of Knowledge and itsImplementation: A Case Study of Cipsi”, makalah disampaikan dalam Workshop Penyusunan Blueprint Pengembangan Akademik Proyek Pengembangan Akademik (IAIN Sumatera Utara, IAIN Raden Fatah Palembang, IAIN Walisongo Semarang, dan IAIN Mataram), Hotel Mikie Holiday, Berastagi, 12-15 November 2012

(5)

Ta‟dibi : Jurnal Prodi Manajemen Pendidikan Islam Volume VI Nomor 2, September 2017 – Februari 2018

atau mengucilkan manusia (other worldly asceticisme).7 Integrasi adalah menjadikan

Al-Quran dan Sunnah sebagai grand theory pengetahuan, sehingga ayat-ayat qauliyah dan kauniyah dapat dipakai.8

Lebih lanjut M. Amir Ali memberikan pengertian integrasi keilmuan: Integration of sciences means the recognition that all true knowledge is from Allah and all sciences should be treated with equal respect whether it is scientific or revealed.9 Kata kunci konsepsi integrasi keilmuan

berangkat dari premis bahwa semua pengetahuan yang benar berasal dari Allah (all true knowledge is from Allah). Dalam pengertian lain, M. Amir Ali juga menggunakan istilah all correct theories are from Allah and false theories are from men themselves or inspired by Satan.

Salah satu istilah yang paling populer dipakai dalam konteks integrasi ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum adalah kata Islamisasi bermakna to bring within Islam. Makna yang lebih luas adalah menunjuk pada proses pengislaman, di mana objeknya adalah orang atau manusia, bukan ilmu pengetahuan maupun objek lainnya.

Dalam konteks islamisasi ilmu pengetahuan, yang harus mengaitkan dirinya pada prinsip tauhid adalah pencari ilmu (thâlib al-ilmi)-nya, bukan ilmu itu sendiri. Begitu pula yang harus mengakui bahwa manusia berada dalam suasana dominasi ketentuan Tuhan secara metafisik dan aksiologis adalah manusia selaku pencari ilmu, bukan ilmu pengetahuan.

Islamisasi ilmu pengetahuan, menurut Ismail al-Faruqi, menghendaki adanya hubungan timbal balik antara realitas dan aspek kewahyuan.10 Walaupun ada perbedaan

dalam pola pemetaan konsep tentang islamisasi ilmu pengetahuan yang ditawarkan kedua tokoh tersebut, tetapi ruh yang ditawarkan tentang islamisasi ilmu pengetahuan kedua tokoh tersebut sama, yakni bagaimana penerapan ilmu pengetahuan sebagai basis kemajuan umat manusia tidak dilepaskan dari aspek spiritual yang berlandaskan pada sisi normatif al-qur‟an dan al-Sunah. Sebaliknya, memahami nilai-nilai kewahyuan, umat Islam harus memanfaatkan ilmu pengetahuan. Tanpa memanfaatkan ilmu pengetahuan dalam upaya memahami wahyu, umat Islam akan terus tertinggal oleh umat lainnya. Karena realitasnya, saat ini ilmu pengetahuanlah yang amat berperan dalam menentukan tingkat kemajuan umat manusia.

7 Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Jakarta: Penerbit: Teraju, 2005, h. 57-58. 8

Imam Suprayogo, “Membangun Integrasi Ilmu dan Agama: Pengalaman UIN Malang”. dalam Zainal Abidin Bagir (ed).,

Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi, Bandung: Mizan, 2005, h. 49-50.

9

M. Amir Ali, Removing the Dichotomy of Sciences: A Necessity for The Growth of Muslims. Future: A Journal of Future Ideology that Shapes Today the World Tomorrow

10

Ismail al-Faruqi dilahirkan di Jaffa, Palestina pada 1 Januari 1921. Dia memperoleh gelar B.A. dalam bidang filsafat (1941) Lihat Ismail al-Frauqi, Dialog Tiga Agama Besar, Surabaya: Pustaka Progressif, 1994, h.7-8.

(6)

Ta‟dibi : Jurnal Prodi Manajemen Pendidikan Islam Volume VI Nomor 2, September 2017 – Februari 2018

Dari definisi islamisasi pengetahuan di atas, ada beberapa model islamisasi pengetahuan yang bisa dikembangkan dalam menatap era globalisasi, antara lain: model purifikasi, model modernisasi Islam, dan model neo-modernisme.

Dengan melihat berbagai pendekatan yang dipakai Al-Faruqi dalam gagasan islamisasi ilmu pengetahuan, seperti: (1) penguasaan khazanah ilmu pengetahuan muslim, (2) penguasaan khazanah ilmu pengetahuan masa kini, (3) identifikasi kekurangan-kekurangan ilmu pengetahuan itu dalam hubungannya dengan ideal Islam, dan (4) rekonstruksi ilmu-ilmu itu sehingga menjadi paduan yang selaras dengan warisan dan idealitas Islam, maka gagasan Islamisasi keduanya dapat dikategorikan ke dalam model purifikasi.

Sedangkan model neo-modernisme berusaha memahami ajaran-ajaran dan nilai-nilai mendasar yang terkandung dalam al-qur‟an dan al-sunnah dengan mempertimbangkan khazanah intelektual muslim klasik serta mencermati kesulitan-kesulitan dan kemudahan-kemudahan yang ditawarkan oleh dunia Iptek.

Model islamisasi pengetahuan ini muncul pada abad ke-19 dan 20 Masehi. Landasan metodologis islamisasi pengetahuan model ini, menurut Imam Suprayogo adalah sebagai berikut: Pertama, persoalan-persoalan kontemporer umat Islam harus dicari penjelasannya dari tradisi dan hasil ijtihad para ulama yang merupakan hasil interpretasi terhadap al-qur‟an. Kedua, apabila dalam tradisi tidak ditemukan jawaban yang sesuai dengan kondisi kontemporer, maka harus menelaah konteks sosio-historis dari ayat-ayat al-qur‟an yang menjadi landasan ijtihad para ulama tersebut. Ketiga, melalui telaah historis akan terungkap pesan moral al-qur‟an sebenarnya, yang merupakan etika sosial al-qur‟an. Keempat, setelah itu baru menelaahnya dalam konteks umat Islam dewasa ini dengan bantuan hasil-hasil studi yang cermat dari ilmu pengetahuan atas persoalan yang bersifat evaluatif dan legitimatif sehingga memberikan pendasaran dan arahan moral terhadap persoalan yang ditanggulangi.11

Dari berbagai pengertian dan model islamisasi pengetahuan di atas dapat disimpulkan bahwa islamisasi dilakukan dalam upaya membangun kembali semangat umat Islam dalam mengembangkan ilmu pengetahuan melalui kebebasan penalaran intelektual dan kajian-kajian rasional-empirik dan filosofis dengan tetap merujuk kepada kandungan al-qur‟an dan sunnah nabi sehingga ummat Islam akan bangkit dan maju menyusul ketertinggalannya dari umat lain, khususnya Barat.

11

(7)

Ta‟dibi : Jurnal Prodi Manajemen Pendidikan Islam Volume VI Nomor 2, September 2017 – Februari 2018

Berbeda dengan pandangan di atas, yang cenderung melakukan integralisasi ilmu dan agama dengan pendekatan model islamisasi, Armahedi Mahzar dalam tulisannya,12

memaparkan terlebih dahulu beberapa model integrasi yang kemudian menawarkan model dan metodologi integralisme sains dan Islam. Mahzar mengklasifikasikan model-model integrasi antara sains dan agama itu ke dalam lima model-model, dengan mendasarkan pada jumlah konsep dasar yang menjadi komponen utama model itu. Apabila konsep dasar yang menjadi komponen utama model itu hanya satu disebut sebagi model monadik, apabila dua disebut model diadik, apabila tiga disebut model triadik, apabila empat disebut tetradik, dan apabila lima disebut model pentadik. 13

Model pertama yaitu monadik. Model ini dianut kalangan fundamentalis, religius, ataupun sekuler. Kalangan religius menyatakan agama adalah keseluruhan yang mengandung semua cabang kebudayaan, sedangkan kalangan sekuler menganggap agama sebagai salah satu cabang kebudayaan. Sementara itu, dalam pandangan fundamentalisme religius, agama merupakan satu-satunya kebenaran dan sains hanyalah salah satu cabang kebudayaan, sedangkan dalam pandangan fundamentalisme sekuler, kebudayaanlah yang dianggap sebagai ekspresi manusia dalam mewujudkan kehidupan yang berdasarkan sains sebagai satusatunya kebenaran. Gambaran dari model ini dapat dilihat pada gambar.14

Gambar

Model Monadik Totalistik

Model kedua adalah diadik. Model ini diajukan untuk melengkapi kelemahan yang ada pada model monadik. Model ini memiliki beberapa varian. Varian pertama dari model diadik disebut model kompartementer atau independen, yang menyatakan bahwa sains dan agama adalah dua kebenaran yang setara. Sains berbicara tentang fakta alamiah,

12

Armahedi Mahzar, “Integrasi Sains dan Agama: Model dan Metodologi”, dalam Zainal Abidin Bagir, dkk (eds.), Integrasi

Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi Bandung: MMU, 2005, 109-0.

13

Ibid., 94-9. 14

(8)

Ta‟dibi : Jurnal Prodi Manajemen Pendidikan Islam Volume VI Nomor 2, September 2017 – Februari 2018

sedangkan agama berbicara tentang nilai ilahiah. Model ini dapat digambarkan seperti pada gambar berikut:

Gambar

Model Diadik Independen

Varian kedua dari model diadik ini disebut model diadik komplementer, yang dapat digambarkan seperti simbol Tao dalam tradisi Cina. Dalam model ini, sains dan agama dianggap sebagai sebuah kesatuan yang tidak terpisahkan. Model ini dapat digambarkan seperti pada gamba.15

Gambar

Model Diadik Komplementer

Sementara itu, varian ketiga dapat digambarkan dengan dua buah lingkaran sama besar yang saling berpotongan. Jika salah satu dari lingkaran tersebut merupakan sains, dan lingkaran lainnya merupakan agama, maka dapat dikatakan bahwa kesamaan di antara kedua lingkaran itulah yang menjadi bahan bagi dialog antara sains dan agama. Varian ini disebut model diadik dialogis, yang dapat dilihat pada gambar.

Gambar

15

(9)

Ta‟dibi : Jurnal Prodi Manajemen Pendidikan Islam Volume VI Nomor 2, September 2017 – Februari 2018

Model Diadik Dialogis

Model ketiga adalah model triadik. Model ini merupakan koreksi atas model diadik independen. Model ini memunculkan filsafat sebagai unsur ketiga yang dapat menjembatani sains dan agama. Model ini juga dapat dimodifikasi dengan menggantikan filsafat dengan humaniora atau ilmu-ilmu kebudayaan, sehingga kebudayaaanlah yang menjembatani sains dan agama. Model ini dapat digambarkan seperti pada gambar.16

Gambar

Model Triadik Komplementer

SAINS FILSAFAT AGAMA

Model keempat, yang juga merupakan koreksi terhadap model diadik dan triadik, disebut model tetradik. Salah satu interpretasi dari model diadik komplementer adalah identifikasi komplementasi “sains/agama” dengan komplementasi “luar/dalam”, dimana pemilahan “luar/dalam” identik dengan pemilahan “objek/subjek” dalam perspektif epistemologi. Pemilahan ini menurut pemikir Amerika seperti Ken Wilber dianggap tidak mencukupi untuk memahami fenomena budaya. Ia menambahkan komplementasi baru. Komplementasi baru tersebut adalah komplementasi postmodernis “satu/banyak”. complementasi itu disebut Wilber sebagai komplementasi “individual/sosial”. Dengan adanya dua komplementasi ini, maka realitas budaya dibagi menjadi empat kuadran seperti yang tampak pada gambar.17

Gambar

Model Empat Kuadran Ken Wilber

16 Ibid., 98. 17 Ibid., 99. INDIVIDUAL INTERIOR EXTERIOR Subjektivitas Objektivitas

(10)

Ta‟dibi : Jurnal Prodi Manajemen Pendidikan Islam Volume VI Nomor 2, September 2017 – Februari 2018

Kuadran kiri atas menampilkan subjektivitas, yang menjadi wilayah pembicaraan psikologi Barat dan mistisisme Timur. Kuadran kanan atas manmpilkan objektivitas yang menjadi wilayah kajian sains atau ilmu-ilmu kealaman. Kuadran kiri bawah menampilkan intersubjektivitas yang menjadi topik bahasan humaniora atau kebudayaan. Sementara itu, kuadran kanan bawah menampilkan interobjektivitas yang mempelajari gabungan objek-objek yang disebut Wilber sebagai masyarakat. Teknologi masuk dalam kuadran ini.

Kuadran Wilber di atas menginspirasikan adanya empat kuadran keilmuan, yaitu ilmu-ilmu keagamaan (kiri atas), ilmu-ilmu kealaman (kanan atas), ilmu-ilmu kebudayaan (kiri bawah), dan ilmu-ilmu keteknikan (kanan bawah).18

Model selanjutnya adalah model pentadik integralisme. Kategori-kategori objektivitas, interobjektivitas, intersubjektivitas, dan subjektivitas yang dikemukakan Wilber selaras dengan kategori materi, energi, informasi, dan nilainilai dalam integralisme Islam. Hanya saja, dalam integralisme Islam dikenal kategori kelima, yaitu kategori sumber, yakni sumber pokok dari nilai-nilai, yang bernama wahyu.

Tidak seperti kategori Wilber, kelima kategori integralisme Islam tersusun sebagai suatu hierarki berjenjang dari materi ke sumber, melalui energi, informasi, dan nilainilai. Hierarki kategori integralis ini tidak berbeda dengan perumusan kontemporer bagi hierarki dasar yang secara implisit terstruktur dalam berbagai tradisi pemikiran Islam seperti tasawuf, fiqih, kalam, dan hikmat seperti yang terangkum dalam gambar.19

Gambar 18 Ibid., 100 19 Ibid., 101

(11)

Ta‟dibi : Jurnal Prodi Manajemen Pendidikan Islam Volume VI Nomor 2, September 2017 – Februari 2018

Paradigma Integralisme Islam Kategori Integralis Epistimologi Shufi Aksiologi Fiqh Teologi Tauhid Kosmologi Hikmati Sumber Ruhi (Spirit) Qur‟ani (Trasedental) Dzatullah (substansi) Tammah (kausa prima) Nilai Qalbi (nurani) Sunni (Universal) Shifatullah (atribut) Gha‟iyyah (kausa final) Informasi Aqli (Rasio) Ijtihadi (Kultural) Amrullah (perintah) Shuriyyah (kausa formal) Energi Nafsi (naluri) Ijma‟i (Sosial) Sunnatullah (perilaku) Fa‟iliyyah (kausa efisien) Materi Jismi (tubuh) „Urfi (Instrumental) Khalqillah (ciptaan) Maddiyah (kausa materiil)

Hierarki pentadik menurunkan metodologi keilmuan empiris Islam. Adanya tataran materi menunjukkan bahwa manusia, tidak dapat tidak, harus menggunakan instrumen materiil untuk meneliti alam materiil. Eksistensi tataran energi menuntut manusia untuk menggunakan interaksi pertukaran energi secara empiris antara instrumen dan objek ilmu, yang biasanya disebut sebagai eksperimen untuk mendapatkan data. Data itu harus dianalisis untuk mendapatkan fakta eksperimental.

Metode eksperimen sesungguhnya memanfaatkan hukum Tuhan. Teori-teori fundamental sains dibuat berdasarkan sejumlah postulat, hukum-hukum fundamental, yang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip alam. Prinsip-prinsip alam itu sendiri ditemukan secara intuitif oleh para ilmuwan. Prinsip-prinsip alam ini adalah manifestasi sifat-sifat Sang Maha Pencipta.20

Jadi, islamisasi paradigma sains dengan model pentadik tidaklah bertentangan dengan metode ilmiah sains modern. Bila harus dicari titik bedanya, sesungguhnya terletak pada pengakuan atas wahyu melalui intuisi. Sains islami memasukkan intuisi

20

(12)

Ta‟dibi : Jurnal Prodi Manajemen Pendidikan Islam Volume VI Nomor 2, September 2017 – Februari 2018

secara eksplisit di atas rasio yang pada gilirannya berada di atas empiritas. Intuisi yang paling tinggi adalah penerimaan wahyu ilahi oleh para nabi termasuk tentunya Nabi Muhammad Saw sebagai Nabi dan Rasul terakhir.

Armahedi Mahzar memberikan tawaran yang cukup konkret yang ia namakan paradigma integralisme yang sesungguhnya berisi integrasi sains dan agama. Langkah implementasi dari paradigma integrasi telah dipaparkan dalam empat ranah yakni institusional, konsepsional, operasional, dan arsitektural yang dapat disederhanakan dalam tabel berikut:21

Implementasi Metodelogi

Institusional

Semua fakultas ilmu-ilmu kealaman, kemanusiaan, dan keagamaan berada dalam satu lembaga pendidikan tinggi.

Konsepsionan

 Pendidikan adalah bagian dari pembentukan manusia Muslim yang kaffah.

 Penelitian adalah bagian dari peningkatan kualitas tauhid sebagai khalifah Allah di muka bumi.  Pengabdian pada masyarakat adalah bagian dari

ibadah yang merupakan manifestasi dari proses tasyakur manusia sebagai abdi Allah.

Operasional

 Kurikulum pendidikan semua fakultas harus memasukkan konsep-konsep fundamental ilmu-ilmu kalam, fiqih, tasawuf, dan hikmat sebagai pelajaran wajib di tingkat pertama bersama.  Silabus dan buku daras semua fakultas harus

memasukkan ayat-ayat Al-Quran yang bersesuaian dengan disiplin ilmu tersebut.

 Upacara doa bersama harus dijadikan bagian pembukaan setiap proses tusionalpembelajaran seperti kuliah dan praktikum.

 Jadwal pengajaran tak boleh bertentangan dengan jadwal ritual ibadah wajib keislaman.

21

(13)

Ta‟dibi : Jurnal Prodi Manajemen Pendidikan Islam Volume VI Nomor 2, September 2017 – Februari 2018

 Program penelitian tak boleh bertentangan dengan nilai-nilai fundamental akidah dan syariah.

 Program pengabdian pada masyarakat tidak boleh bertentangan dengan tujuan dan cara pengabdian masyarakat pada Yang Maha Pencipta.

Arsitektural

 Setiap kampus harus mempunyai masjid sebagai pusat kehidupan bermasyarakat, berbudaya, dan beragama.

 Setiap jurusan harus mempunyai Mushalla  Perpustakaan harus meliputi semua pustaka

ilmu-ilmu kealaman, kemanusiaan, dan keagamaan

Tulisan Mahzar, walaupun telah mencoba memberikan teori implementasi penanaman nilai keislaman dalam ilmu-ilmu modern, namun belum terbukti di lapangan. Teori Mazhar itu sesungguhnya merupakan pengembangan konsep Bilgrami dan Naquib al-Attas di atas. Walaupun cukup konkret, namun teori Mahzar masih perlu dilengkapi bukti-bukti empiris di lapangan.

2. Gagasan integrasi ilmu dan agama dalam praktek

Selama ini yang sudah mendesain dan bahkan sedang mengimplementasikan integrasi ilmu dan agama adalah Pendidikan Tinggi Agama Islam, selain karen tuntan perubahan pengembangan, juga dampak dari konversi dari IAIN ke UIN, sehingga di sini kami coba menampilkan beberapa bentuk integrasi yang telah dilakukan oleh UIN di Indonesia.

a. UIN Sunan Kalijaga

Metafora yang digunakan dalam menggambarkan integrasi ilmu di UIN Sunan Kalijaga adalah model sarang laba-laba, dengan model integrasi interkoneksi.

(14)

Ta‟dibi : Jurnal Prodi Manajemen Pendidikan Islam Volume VI Nomor 2, September 2017 – Februari 2018

Gambar “jaring laba- laba” keilmuan integrasi- interkoneksi UIN Sunan Kalijaga mengilustrasikan hubungan jaring laba- laba yang bercorak teoantroposentris-ntegralistik. Tergambar bahwa jarak pandang atau horizon keilmuan integralistik begitu luas (tidak myopic) sekaligus terampil dalam perikehidupan sektor tradisional maupun modern karena dikuasainya salah satu ilmu dasar dan keterampilan yang dapat menopang kehidupan di era informasi globalisasi. Selain itu tergambar sosok manusia beragama (Islam) yang terampil dalam menangani dan menganalisis isu-isu yang menyentuh problem kemanusiaan dan keagamaan di era modern dan pasca modern dengan dikuasainya berbagai pendekatan baru yang diberikan oleh ilmu- ilmu alam (natural science), ilmu- ilmu social (social science), dan humaniora (humanities) kontemporer. Ilustrasi keilmuan dengan jaring laba- laba tersebut merupakan gambaran umum paradigma integrasi- interkoneksi keilmuan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Gambaran umum paradigma tersebut jika diuraikan dalam setiap kajian ilmu dan scope lebih kecil lagi dalam setiap mata kuliyah, maka unsur entitas ilmu yakni hadlarah al-nash, hadlarah al-falsafah, dan hadlarah al-„ilm menjadi unsur urgen dalam kajiannya. Ketiga entitas ini merupakan paduan absolute dalam kerangka integrasi- interkoneksi ilmu. bangunan keilmuan integrasi interkoneksi UIN Sunan Kalijaga. Dengan tiga pilar utama yakni, hadlarah alnash, hadlarah al-falsafah, dan hadlarah al-„ilm.

Penggunaan terma hadlari ini semakna dengan madani yang berarti urbanization, citify, dan civilization, atau dapat diartikan sebagai berperadaban dan kerkemajuan.22 Ketiga

Entitas hadlarah ini memiliki cakupan masing-masing:

a. Hadlarah al-nash, yakni kemajuan peradaban yang bersumber dari nash (agama).

22

(15)

Ta‟dibi : Jurnal Prodi Manajemen Pendidikan Islam Volume VI Nomor 2, September 2017 – Februari 2018

b. Hadlarah al-„ilm, yakni kemajuan peradaban yang bersumber dari ilmu- ilmu kealaman (natural science) dan kemasyarakatan (social science).

c. Hadlarah al-falsafah, yakni kemajuan peradaban yang bersumber dari etika dan falsafah.23

Integrasi dan interkoneksi antar berbagai disiplin ilmu, baik dari keilmuan sekuler maupun keilmuan agama, akan menjadikan keduanya saling terkait satu sama lain, “bertegur sapa”, saling mengisi kekurangan dan kelebihan satu sama lain. Dengan demikian maka ilmu agama (baca ilmu keislaman) tidak lagi hanya berkutat pada teks-teks klasik tetapi juga menyentuh pada ilmu-ilmu sosial kontemporer.

Dengan paradigma ini juga, maka tiga wilayah pokok dalam ilmu pengetahuan, yakni natural sciences,social sciences dan humanities tidak lagi berdiri sendiri tetapi akan saling terkait satu dengan lainnya. Ketiganya juga akan menjadi semakin cair meski tidak akan menyatukan ketiganya, tetapi paling tidak akan ada lagi superioritas dan inferioritas dalam keilmuan, tidak ada lagi klaim kebenaran ilmu pengetahuan sehingga dengan paradigma ini para ilmuwan yang menekuni keilmuan ini juga akan mempunya sikap dan cara berfikir yang berbeda dari sebelumnya.

Dengan demikian, model kajian integrasi- interkoneksi ini memberikan isyarat juga bahwa tidak semua ilmu dapat diintegrasikan, sehingga tidak perlu memaksakan kajian integrasi padanya. Sehingga untuk kasus ini cukup dilakukan interkoneksi.

b. UIN Malik Ibrahim

Metafora yang digunakan dalam menggambarkan integrasi ilmu di UIN Malik Ibrahim adalah model pohon ilmu. Pohon yang digunakan sebagai metafora untuk menjelaskan bangunan keilmuan dapat dijelaskan sebagi berikut. Akar yang kukuh menghujam ke bumi, digunakan untuk menggambarkan ilmu alat yang harus dikuasai secara baik oleh setiap mahasiswa, yaitu bahasa arab, dan bahasa inggris, logika, pengantar ilmu alam, dan ilmu sosial. Batang pohon yang kuat digunakan untuk menggambarkan kajian dari sumber ajaran islam, yaitu al-Qur‟an dan hadits, pemikiran islam, sirah nabawiyah, dan sejarah islam. Sedangkan dahan yang jumlahnya cukup banyak digunakan untuk menggambarkan sejumlah ilmu pada

23

Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam: Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis

(16)

Ta‟dibi : Jurnal Prodi Manajemen Pendidikan Islam Volume VI Nomor 2, September 2017 – Februari 2018

umumnya dengan berbagai cabangnya, seperti ilmu alam, ilmu sosial dan humaniora.24

Sebagai sebuah pohon, masing-masing memiliki peran yang berbeda, akan tetapi merupakan satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan untuk menghasilkan buah yang akan dimanfaatkan bagi kehidupan manusia pada umumnya. Akar bertugas mencari sari pati makanan dari tanah, selain berperan sebagai penyangga tegaknya pohon itu secara kokoh. Jika akar itu kokoh maka pohon akan berdiri tegak sekalipun suatu saat diterpa angin kencang. Demikian juga seorang mahasiswa yang mempelajari ilmu pengetahuan, dengan kemampuan berbahasa secara baik, memiliki pengetahuan ilmu alam, ilmu sosial, filsafat, maka akan digunakan sebagai alat untuk menggali sumber-sumber ilmu, baik berupa ayat qouliyah maupun ayat kauniyah. Batang yang dalam hal itu digunakan untuk menggambarkan ilmu yang bersumber dari kitab suci al-Qur‟an dan hadits, digunakan sebagai penyangga dahan-dahan yang rindang. Demikian pula al-Qur‟an dan hadits digunakan sebagai dasar dan bahkan sumber utama seluruh pengembangan ilmu pengetahuan. Sedangkan dahan dan ranting, yang berjumlah cukup banyak menggambarkan bahwa ilmu pengetahuan di muka bumi ini jumlahnya selalu bertambah sesuai perkembangan dan kebutuhan umat manusia.

Kemampuan bahasa, ilmu alam, dan sosial serta filsafat kesemuanya adalah sangat penting dijadikan sebagai alat untuk memahami sumber ajaran al-Qur‟an dan hadits. Ayat-ayat suci al-Qur‟an dan hadits selanjutnya dijadikan sebagai sumber inspirasi untuk mengembangkan ilmu pengetahuan modern. Sebaliknya, ilmu pengetahuan modern juga besar artinya bagi siapa saja untuk memahami al-Qur‟an dan hadits secara lebih mendalam dan akhirnya menghasilkan buahyang sehat dan segar. Buah yang dihasilkan oleh pohon digunakan untuk menggambarkan produk pendidikan islam, yaiu iman, amal sholih dan akhlaqul karimah.25

24

Imam Suprayogo,. Universitas Islam Unggul. Malang: UIN-Malang Press. 2009.Hal. 166 25

Imam Suprayogo,. Perubahan Pendidikan Tinggi Islam: Refleksi Perubahan IAIN/STAIN Menjadi UIN. Malang: UIN Press. 2008.Hal. 74-75.

(17)

Ta‟dibi : Jurnal Prodi Manajemen Pendidikan Islam Volume VI Nomor 2, September 2017 – Februari 2018

Agar lebih jelas, pohon yang digunakan sebagai metafora bangunan ilmu yang bersifat integrative dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar Metafora Pohon Ilmu UIN Malang

Tabel Keterangan Metafora Pohon Ilmu UIN Malang

Bagian Pohon Keterangan Fardlu

„Ain

Fardlu Kifayah

Akar

Ilmu Alat

Yaitu : bahasa Indonesia, bahasa Arab, bahasa Inggris, Filsafat, Ilmu-Ilmu Alam, Ilmu Sosial dan Pancasila

 X

Batang Kajian yang bersumber pada Al

Quran dan Hadist  X

Dahan, Ranting &

Daun Jenis fakultas yang dipilih X 

Buah

Bangunan ilmu yang integratif antara ilmu

umum dan agama yaitu iman amal sholeh dan akhlakul karimah

c. UINSA

Filosofi yang digunakan dalam menggambarkan integrasi ilmu di UIN Sunan Kalijaga adalah model Twin Tower

(18)

Ta‟dibi : Jurnal Prodi Manajemen Pendidikan Islam Volume VI Nomor 2, September 2017 – Februari 2018

Metafor ini menunjukkan adanya dua menara kembar dan satu jembatan penguhubung di antara kedua menara,

Tiga pilar integrasi; 1) penguatan ilmu keislaman Murni tapi langka, 2) Integralisasi ilmu-ilmu keislaman-sosial dan humaniora, 3) Pembobotan keilmuan sains dan tekhnologi dengan keilmuan keislaman maksudnya adalah: Mencerminkan keseimbangan antara ilmu dunia dan ilmu agama yang dapat dipelajari di kampus UIN. Paradigma yang dibangun adalah:

1. UIN Sunan Ampel mengembangkan paradigma keilmuan dengan model menara kembar tersambung (integrated twin-towers).

2. Model integrated twin-towers merupakan pandangan integrasi akademik bahwa ilmu-ilmu keislaman, sosial-humaniora, serta sains dan teknologi berkembang sesuai dengan karakter dan obyek spesifik yang dimiliki, tetapi dapat saling menyapa, bertemu dan mengaitkan diri satu sama lain dalam suatu pertumbuhan yang terkoneksi.

3. Model integrated twin-towers bergerak bukan dalam kerangka Islamisasi ilmu pengetahuan, melainkan Islamisasi nalar yang dibutuhkan untuk terciptanya tata keilmuan yang saling melengkapi antara ilmu-ilmu keislaman, sosial-humaniora, serta sains dan teknologi.

E. Kesimpulan

Dari berbagai pendapat yang dikemukakan oleh beberapa pakar, bahwa konsep integrasi ilmu dan agama dapat dibagi ke dalam dua kelompok besar yaitu, kelompok pertama, yang melakukan integrasi dengan cara islamisasi ilmu-ilmu umum (sains, sosial dan humaniora), dengan prinsip

(19)

Ta‟dibi : Jurnal Prodi Manajemen Pendidikan Islam Volume VI Nomor 2, September 2017 – Februari 2018

bahwa penerapan ilmu pengetahuan sebagai basis kemajuan umat manusia tidak dilepaskan dari aspek spiritual yang berlandaskan pada sisi normatif al-qur‟an dan al-Sunah. Sebaliknya, memahami nilai-nilai kewahyuan, umat Islam harus memanfaatkan ilmu pengetahuan. Islamisasi dilakukan dalam upaya membangun kembali semangat umat Islam dalam mengembangkan ilmu pengetahuan melalui kebebasan penalaran intelektual dan kajian-kajian rasional-empirik dan filosofis dengan tetap merujuk kepada kandungan Al-qur‟an dan sunnah nabi sehingga ummai islam akan bangkit dan maju menyusul ketertinggalannya dari umat lain, khususnya Barat. Konsep islamisasi ini mulai mencuat pada abad 19 dan 20 masehi dengan dimotori oleh Isma‟il al-Faruqi, M. Amir Ali. Dll.

Kelompok kedua, menawarkan beberapa model integrasi sebagaimana yang dilakukan Mahzar, yang mengklasifikasikan model-model integrasi antara sains dan agama itu ke dalam lima model, dengan konsep dasar yang menjadi komponen utama model itu hanya satu disebut sebagi model monadik, apabila dua disebut model diadik, apabila tiga disebut model triadik, apabila empat disebut tetradik, dan apabila lima disebut model pentadik.

Adapun gagasan integrasi ilmu dan agama dalam praktek sudah beberapa UIN menerapkannya, di antara yang kami paparkan adalah UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta dengan paradigma Integrasi interkoneksi dengan simbol jaring laba-labanya dan UIN Malik Ibrahim Malang dengan paradigma pohon ilmunya, termasuk UIN Sunan Ampel Surabaya dengan konsep Twin Towers.

Meskipun konsep atau labelnya bervariasi, akan tetapi sesungguhnya ada muatan atau core yang sama dalam memandang relasi antara ilmu alam, ilmu sosial dan culture/ humanities, yaitu keinginan untuk membangun kesaling-menyapaan antara ketiga bidang ilmu tersebut melalui proses sinergi, interkoneksi dan interrelasi. Apapun konsep atau labeling yang digunakan, sesungguhnya ada kerinduan akan terwujudnya disiplin keilmuan yang nantinya akan saling menyapa dan mendekati, sehingga klaim tentang keterpilahan secara tegas antara ketiga pembidangan tersebut bukan barang mustahil sekarang dan lebih-lebih di masa yang akan datang.

(20)

Ta‟dibi : Jurnal Prodi Manajemen Pendidikan Islam Volume VI Nomor 2, September 2017 – Februari 2018

Daftar Pustaka

Al-Frauqi, Ismail, Dialog Tiga Agama Besar, Surabaya: Pustaka Progressif, 1994

Ali, M. Amir, Removing the Dichotomy of Sciences: A Necessity for The Growth of Muslims. Future: A Journal of Future Ideology that Shapes Today the World Tomorrow

Arifin, M.H., Ilmu Pendidikan Islam (Suatu Pendekatan Teoritis Dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner), Jakarta : Bumi Aksara. 1996

Assegaf, Abd. Rachman, Filsafat Pendidikan Islam: Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif-Interkonektif, Jakarta: Rajawali Press, 2011

Baalbaki, Rohi, Al-Mawrid: A Modern Arabic-English Dictionary,Beirut : Dar el-Ilm Lilmalayin,1995, Cet. VII,

Berghout, Abdel Aziz, “Toward Islamic Framework for Worldview Studies: Preliminary Theorization”, Berastagi, 2012.

Kartanegara, Mulyadhi, “Islamization of Knowledge and itsImplementation: A Case Study of Cipsi”, Berastagi, 2012

Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Jakarta: Penerbit: Teraju, 2005,

Mahzar, Armahedi “Integrasi Sains dan Agama: Model dan Metodologi”, dalam Zainal Abidin Bagir, dkk (eds.), Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi Bandung: MMU, 2005.

Suprayogo, Imam, “Membangun Integrasi Ilmu dan Agama: Pengalaman UIN Malang”. Zainal Abidin Bagir (ed)., Integrasi Ilmu dan Agama: Interpretasi dan Aksi, Bandung: Mizan, 2005.

Suprayogo, Imam. Perubahan Pendidikan Tinggi Islam: Refleksi Perubahan IAIN/STAIN Menjadi UIN. Malang: UIN Press. 2008.

Suprayogo, Imam. Universitas Islam Unggul. Malang: UIN-Malang Press. 2009.

Suprayogo. Imam, Reorientasi Pendidikan Agama di Universitas Islam. Dalam Menghidupkan Jiwa Ilmu. Jakarta: PT Elex Media Komputindo Kompas-Gramedia, 2014.

Gambar

Gambar  “jaring  laba-  laba”  keilmuan  integrasi-  interkoneksi  UIN  Sunan  Kalijaga  mengilustrasikan hubungan jaring laba- laba yang bercorak teoantroposentris-ntegralistik
Gambar Metafora Pohon Ilmu UIN Malang

Referensi

Dokumen terkait

Dalam kedudukannya sebagai pengelola barang, dan dihubungkan dengan amanat pasal 6 ayat (2) Undang-undang nomor 17 tahun 2003, Gubernur juga berwenang mengajukan usul untuk

Dalam beberapa kasus, menjadi social entrepreneur dalam konteks ini mengabdi sebagai volunteer atau amil lembaga zakat belumlah menjadi pilihan utama sebagian

Penelitian mengenai faktor-faktor kondisi yang mendukung kontinuitas aktivitas budidaya Keramba Jaring Apung (KJA) di Teluk Lampung telah dilakukan pada Bulan Agustus 2009.

Dismutase (SOD), TNF-alfa, dan IL-1 beta pada Sputum dan Serum Iin Noor Chozin, dr, SpP DPP 18 Hubungan Antara Kadar Vitamin D Dengan Ekspresi Cytokin Sel Th 17 Pada.. Pasien

...kita bersosialisasi kepada masyarakat sekitar tentang adanya perekrutan tenaga kerja dan sekolah mengelas, kita juga bekerja sama dengan kecamatan paciran, di acara tersebut

Halaman 23 dari 64 Putusan Nomor 345/PDT/2016/PT.MDN lelang, dimana dana hasil lelang tersebut digunakan sebagai pengganti pelunasan kewajiban PENGGUGAT III kepada TERGUGAT

- Hitunglah daya yang ditransmisikan oleh belt, jika puli yang berdiameter besar berputar dengan kecepatan 200 rpm dan tegangan maksimum yang diizinkan pada sabuk adalah 1