DASAR-DASAR DAN EMPIRIS PENGENDALIAN HAYATI
MAKALAH
untuk memenuhi tugas matakuliah Pemgendalian Hayati
yang diampu oleh Dr. Fatchur Rohman, M.Si. dan Sofia Ery Rahayu S.Pd, M. Si.
Oleh:
Kelompok 2 Off H 2014
Assayid
Dwi Junita Sari (140342600431) Monica N. Kuruwop ( 1403426 Robiatul Hadawiyah (140342604500)
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Prinsip pengendalian hayati adalah pengendalian kepadatan populasi organisme pengganggu tanaman, yaitu dengan memanfaatkan musuh-musuh alaminya (agen pengendali hayati), seperti predator, parasit dan pathogen (Tauruslina dkk., 2013). Pengendalian hayati diterapkan dalam sebuah agroekosistem. Untung (2006) mendefinisikan agroekosistem sebagai bentuk ekosistem binaan manusia yang ditujukan untuk memperoleh produksi pertanian dengan kualitas dan kuantitas tertentu. Upaya meningkatkan produktivitas tanaman secara konstan memberikan dampak lingkungan dan sosial, terutama keanekaragaman hayati dalam ekosistem buatan tersebut (Lihawa M. 2006)
Sebagai suatu ekosistem, agroekosistem tersusun atas komponen biotik dan abiotik yang saling berinteraksi satu sama lain. Hama dan musuh alami merupakan komponen penyusun keanekaragaman hayati di lahan pertanian (Henuhili & Aminatun, 2013). Hama merupakan agen yang menurunkan produktivitas dengan cara memakan atau menjadi pathogen tanaman budidaya (Hendrival dkk., 2011). Penggunaan pestisida sintesis dapat menyingkirkan hama dan meningkatkan produktivitas tanaman sementara. Kerugian akan timbul setelah pemakaian berlebih dan berakibat dalam jangka waktu yang lama. Menurut Sunarno (2009) pestisida berpengaruh dalam mengganggu kesehatan manusia, kualitas lingkungan menurun akibat hilangnya organisme decomposer, dan meningkatkan perkembangan populasi jasad penganggu tanaman. Akibatnya, kualitas produksi tanaman yang diharapkan meningkat dapat menurus secara drastis (Lihawa M. 2006). Oleh karena itu, pengendalian hama dilakukan secara alami dengan memanfaatkan musuh alaminya tanpa mengurangi produktivitas tanaman budidaya. 1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana pengendalian alamiah dan keseimbangan alam? 1.2.2 Bagaimana peranan musuh alami dalam suatu agroekosistem?
1.2.3 Bagaiman masalah yang timbul akibat kontroversi penerapan pengendalian hayati? 1.2.4 Bagaimana perekonomian pengendalian hayati?
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengendalian alamiah dan keseimbangan alam
Setiap makhluk hidup menjadi suatu penyusun komunitas dan berinteraksi dalam suatu keterikatan dan ketergantungan hingga menghasilkan keseimbangan (Untung, 2006). Interaksi antar organisme tersebut dapat bersifat antagonistik, kompetitif, atau bersifat positif seperti simbiotik (Untung, 2006).
Menurut Purnomo (2006) unsur pengendalian dibagi menjadi tiga, yakni:
a. Pengendalian alamiah, yaitu pengendalian dengan menggunakan predator dan parasit atau pengendalian secara hayati (biologis) yang terjadi di alam. Dalam hal ini apabila populasi serangga hama rendah maka serangga tersebut bukan merupakan hama yang mengganggu.
b. Tingkat ekonomi atau ambang ekonomi adalah keberadaan serangga yang mengganggu dan menurunkan kualitas pertanian, sehingga dianggap merugikan
c. Biologi dan ekologi serangga sangat penting dipahami untuk mengatur keseimbangan agroekosistem karena musuh alami bersifat polifag.
Pengendalian alami merupakan proses pengendalian yang berjalan sendiri tanpa campur tangan manusia, tidak ada proses perbanyakan musuh alami (Purnomo, 2006). Menurut Flint dan Bosch (2000), dalam kurun waktu tertentu ekosistem alami dapat menjaga sifat-sifatnya dengan cukup konstan. Salah satu mekanisme tersebut adalah predasi (peristiwa mangsa-memangsa). Peristiwa tersebut terkait dengan rantai makanan yang terjadi terus menerus sepanjang masa.
Contoh pengendalian alami yaitu parasitasi Trichogramma sp. terhadap Scirpophaga
sp. (hama penggerek padi) Trichogramma sp. salah satu parasitoid pada telur hama
penggerek padi yang nantinya telur-telur tersebut tidak akan menetas menjadi larva hama penggerek padi melainkan menjadi Trichogramma sp. (Wilyus, 2009).
2.2 Peranan musuh alami dalam suatu agroekosistem
Musuh alami sebagai bagian dari agroekosistem memiliki peranan dalam menentukan pengaturan dan pengendalian populasi hama (Untung, 2006). Musuh alami adalah organisme yang ditemukan di alam yang dapat membunuh serangga sekaligus, melemahkan serangga, sehingga dapat mengakibatkan kematian pada serangga, dan mengurangi fase reproduktif dari serangga. Musuh alami biasanya mengurangi jumlah populasi serangga, inang atau pemangsa, dengan memakan individu serangga (Thamrin M & Asikin S. 2004). Hampir semua kelompok organisme berfungsi sebagai musuh alami serangga hama termasuk kelompok vertebrata, nematoda, jasad renik, dan invertebrata diluar serangga. Menurut Rukmana dan Sugandi (2002) dilihat dari fungsinya musuh alami dapat dikelompokkan menjadi:
a. Parasitoid
Parasitoid merupakan serangga pradewasa yang memarasit serangga atau binatang antropoda lainnya dengan cara menghisap cairan tubuh inang guna memenuhi kebutuhan hidupnya (Mahrub, 1987). Umumnya, parasitoid menyebabkan kematian pada inangnya secara perlahan-lahan dan parasitoid dapat menyerang setiap fase hidup serangga, meskipun serangga dewasa jarang terparasit.Parasitoid memanfaatkan energi inangnya yang masih hidup untuk kepentingan reproduksi (Shelton, 2012).
Kebanyakan parasitoid bersifat monofag (memiliki inang spesifik), tetapi ada juga yang oligofag (inang tertentu). Selain itu parasitoid memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil dari inangnya. Menurut Andrixinata (2012) parasitoid dapat digolongkan berdasarkan fase tubuh inang yang diserang, yaitu:
1) Parasitoid telur yaitu parasitoid yang meletakkan telur pada telur inang, akibatnya telur inang tidak menetas, seperti parasitasi Trichogramma sp. terhadap Scirpophaga sp. (hama penggerek padi)
2) Parasitoid telur – larva yaitu parasitoid yang meletakkan telur pada telur inang, telur inang memetas, tetapi larva gagal menjadi pupa, seperti Holcothorax testaceipes yang meletakkan telur pada inang stadia telur dan muncul pada saat inang stadia larva pada hama penggorok daun.
a b
a.Trichogramma sp. b. Scirpophaga sp. Sumber: bugguide.net
Holcothorax(Ageniaspis) testaceipes
sumber: bugguide.net
3) Parasitoid larva yaitu parasitoid yang meletakkan telur pada larva inang, akibatnya larva inang gagal menjadi pupa, seperti Eriborus argenteopilosus yang memarasit larva dari
Crocidolomia binotalis.
4) Parasitoid larva – pupa yaitu parasitoid yang meletakkan telur pada larva inang, setelah menetas akan memarasit pupa dari larva inang tersebut, sehingga pupa gagal menjadi imago, seperti Tetrastichus howardi yang memarasit larva dari Pluttela xylostella
a
b
a. Eriborus argenteopilosus, b. Crocidolomia binotalis sumber: bugguide.net
5) Parasitoid pupa yaitu parastoid yang meletakkan telur pada pupa inang, sehingga pupa inang gagal menjadi imago, seperti Opius sp. yang memparasit pupa Drosophilla sp.
6) Parasitoid imago yaitu parastoid yang meletakkan telur pada stadia imago, seperti
Comperiella unifasciata yang memparasit Aspidiotus rigidus.
a b
a. Tetrastichus howardi, b. Pluttela xylostella sumber: bugguide.net
a b
a. Opius sp., b. Drosophilla sp. sumber: bugguide.net
b. Predator
Predator adalah binatang atau serangga yang memangsa serangga lain. Menurut Untung (2006) ada beberapa ciri-ciri predator, antara lain:
1) Predator dapat memangsa semua tingkat perkembangan mangsanya (telur, larva, nimfa, pupa dan imago
2) Predator membunuh dengan cara memakan atau menghisap mangsanya dengan cepat 3) Seekor predator memerlukan dan memakan banyak mangsa selama hidupnya
4) Predator membunuh mangsanya untuk dirinya sendiri 5) Kebanyakan predator bersifat karnifor
6) Predator memiliki ukuran tubuh lebih besar dari pada mangsanya
7) Dari segi perilaku makannya, ada yang mengunyak semua bagian tubuh mangsanya, ada menusuk mangsanya dengan mulutnya yang berbentuk seperti jarum dan menghisap cairanya tubuh mangsanya.
8) Metamorfosis predator ada yang holometabola dan hemimetabola 9) Predator ada yang monofag, oligofag dan polifag.
Contoh predator pada agroekosistem antara lain predator seperti laba-laba kerdil (Atypena
Formosana), kumbang kubah (Micraspis hirashimai), dan kumbang tanah (Ophionea nigrofasciata), mencari mangsa seperti wereng daun, wereng batang, ngengat dan larva
penggerek batang serta ulat pemakan daun di pertanaman padi (Herlinda, 2002).
a b
b. Comperiella unifasciata, b. Aspidiotus rigidus sumber: bugguide.net
Hasil penelitian Marheni (2004), dalam beberapa pengamatan di lapangan, wereng batang coklat mempunyai banyak musuh alami di alam, mencapai 19-22 familia predator dan 8-10 familia parasitoid. Predator-predator ini cocok terhadap serangga hama tanaman padi, bergerak aktif untuk menggigit dan mengunyah mangsanya. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa penggunaan beberapa jenis predator dapat menekan populasi wereng batang coklat.
c. Patogen
Mikroorganisme dapat menyerang dan menyebabkan kematian serangga hama sehingga patogen disebut sebagai salah satu musuh alami (Pal dan Gardener, 2006.). Patogen adalah salah satu faktor hayati yang turut serta dalam mempengaruhi dan menekan perkembangan serangga hama. Banyak mikroorganisme yang memproduksi dan melepaskan enzim litik yang dapat menghidrolisis berbagai macam senyawa polimer, seperti kitin, protein, selulosa, dan hemiselulosa (Bull dkk., 2002). Ekspresi dan sekresi enzim tersebut dihasilkan oleh mikroba spesifik yang dapat menekan aktivitas pathogen tanaman secara langsung, misalnya, pengendalian Sclerotium rolfsii oleh Serratia marcescens disebabkan oleh ekspresi enzim kitinase (Ordentlich et al. 1988) dan α-β-1,3-glucanase dapat menghambat aktivitas
Lysobacter enzymogenes spade tanaman infeksi train C3 (Palumbo et al. 2005). Selain itu
masih banyak jenis pathogen yang berperan sebagai pengendalian hayati. Menurut Pal dan Gardener (2006) beberapa jenis agen hayati pathogen dapat dilihat pada tabel berikut:
c
a.laba-laba kerdil (Atypena Formosana), b.kumbang kubah (Micraspis
hirashimai), dan c. kumbang tanah (Ophionea nigrofasciata)
2.2 Masalah kontroversi penerapan pengendalian hayati
Indonesia pernah menjadi negara swasembada pangan, dimana hasil pangan meningkat dan diekspor ke beberapa negara lain. Pada tahun 1983 dibentuk cabinet pembangunan IV dengan menitikberatkan negara sebagai swasembada pangan dan keberhasilan tersebut mendapatkan apresiasi dari FAO. Namun, tidak berlangsung lama muncul masalah yang menyebabkan kerugian besar. Hama wareng padi menyebar di ribuan hektar sawah karena tidak adanya musuh alami. Akhirnya, dilakukan kajian mengenai pengendalian hayati dengan
(6) Bersifat permanen untuk jangka waktu panjang lebih murah, apabila keadaan lingkungan telah setabil atau telah terjadi keseimbangan antara hama dan musuh alaminya.
Selain itu, keuntungan pengendalian hayati juga terdapat kelemahan atau kekurangan seperti :
(1) Hasilnya sulit diramalkan dalam waktu yang singkat
(2) Diperlukan biaya yang cukup besar pada tahap awal baik untuk penelitian maupun untuk pengadaan sarana dan prasarana
(3) Dalam hal pembiakan di laboratorium kadang-kadang menghadapi kendala karena musuh alami menghendaki kondisi lingkungan yang kusus
(4) Teknik aplikasi dilapangan belum banyak dikuasai dan perlu keahlian dan ketelitian dalam pengembangan
Beberapa permasalahan pengendalian hayati tersebut membutuhkan banyak pihak untuk berkontribusi dalam sosialisasi kepada petani untuk tidak menggunakan sistem pengendalian hama terpadu dengan pestisida kimia, tetapi menggunakan musuh alaminya. Hal ini mendorong upaya konservasi musuh alami dengan cara memperbanyak anggota populasinya (Henuhili & Aminatun, 2013.). Selain itu, diperlukan kajian mengenai komposisi ekosistem suatu agroekosistem untuk menggunakan musuh alami secara tepat.
Permasalahan dalam menggunakan agen pengendalian hayati tidak banyak ditemukan. Penggunaan agen hayati tidak menimbulkan polusi seperti halnya pestisida (Sunarno, 2009). Sistem ini ramah lingkungan dan akan memperkaya biodiversitas agroekosistem dengan menambah musuh alami. Hanya saja pengalihan sistem tanpa pestisida di masyarakat sulit dihilangkan karena kurangnya pemahaman terhadap pengendalian hayati. Menurut Tauruslina (2015) di Sumatera Barat, khususnya kelurahan Talawi, petani lokal masih sering menggunakan pestisida Darmabas 500 EC dengan intensif penyemprotan 2 x seminggu. Hal ini menyebabkan struktur keanekaragaman dan kemerataan serangga predator kurang stabil. Sedangkan Hasibuan (2008) mencatat bahwa PHT telah banyak diterapkan oleh petani padi di kabupaten Tapanuli Selatan, Medan.
2.3 Perekonomian pengendalian hayati
Saat ini, berbagai kelompok tani bersama dengan perintis pengendalian hayati di berbagai agroekosistem telah banyak dikembangkan. Petani yang beralih menggunakan agen hayati meraup untung yang lebih besar daripada menggunakan pestisida. Menurut Cholifah () selisih penggunaan agen hayati lebih banyak 1.4 juta per hektar daripada penggunaan pestisida. Nilai inilah yang dapat menarik petani menggunakan agen hayati. Sedangkan
juta. Dengan demikian, biaya pertanian dapat ditekan hingga 70%. Peluang dalam mengembangkan agen hayati sangat besar, namun dibutuhkan ketelatenan, keuletan, dan semangat tinggi dalam menuju pertanian sehat.
BAB III PENUTUP 3.1Kesimpulan
3.1.1 Pengendalian alamiah merupakan proses pengendalian organisme oleh organisme lain tanpa campur tangan manusia yang menghasilkan keseimbangan alam tetap terjaga karena proses rantai makanan yang terus menerus terjadi
3.1.2 Musuh alami merupakan organisme yang menggantungkan hidupnya kepada organisme lain (hama) dengan cara predasi, parasitoid, antagonis, dan patogen
3.1.3 Beberapa masalah kontroversi pengendalian hayati berhubungan dengan kelemahannya, yaitu tidak dapat diperoleh hasil dalam waktu singkat
3.1.4 Perekonomian dalam pengendalian hayati menjanjikan karena membutuhkan biaya lebih murah daripada penggunaan pestisida, serta dapat menjadi peluang usaha dalam memperbanyak agen hayati
3.2 Saran
3.2.1 Diharapkan penulisan makalah ini memberi pengetahuan kepada pembaca untuk memahami mengenai agen pengendali hayati
3.2.2 Dapat menjadi referensi dalam mengaplikasikan agen pengendalian hayati
DAFTAR RUJUKAN
Andrixinata B. 2012. Biologi Reproduksi Brachymeria Lasus Walker (Hymenoptera:
Chalcididae) pada Ulat Penggulung Daun Pisang Erionota Thrax Linnaeus (Lepidoptera: Hesperiidae). Bogor: Departemen Proteksi Tanaman Fakultas
Pertanian Institut Pertanian Bogor
Bull, C. T., Shetty, K. G., dan Subbarao, K. V. 2002. Interactions between Myxobacteria, plant pathogenic fungi, and biocontrol agents. Plant Dis. 86:889-896
Cholifah. 2016. Cholifah Kalahkan Hama Padi dengan Musuh Alaminya Sendiri, (Online), (www.langitperempuan .com), diakses 5 Pebruari 2017
Flint L. M dan Van den Bosch. R, (2000). Pengendalian Hama Terpadu, Sebuah
Pengantar. Yogyakarta: Kanisius
Hasibuan, M. 2008. Kajian Penerapan Pengendalian Hama Terpadu pada Petani di
Kabupaten Tapanuli Selatan. Thesis. Universitas Sumatera Utara
Hasibuan, M. 2008. Kajian Penerapan Pengendalian Hama Terpadu pada Petani di
Kabupaten Tapanuli Selatan. Thesis. Universitas Sumatera Utara
Hendrival, Hidayat, P. dan Nurmansyah, A. 2011. Keanekaragaman dan Kelimpahan Musuh Alami Bemisia tabaci (Gennadius) (Hemiptera: Aleyrodidae) pada Pertanaman Cabai Merah di Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal J. Entomol. Indon. 8(2): 96-109
Henuhili, V & Aminatun, T. 2013. Konservasi Musuh Alami Sebagai Pengendali Hayati Hama Dengan Pengelolaan Ekosistem Sawah Jurnal Penelitian Saintek. 18(2): 29-40
Herlinda S. 2000. Analisis Komunitas Artropoda Predator Penghuni Lansekap
Persawahan di Daerah Cianjur, Jawa Barat. [Disertasi], Bogor: Program
Pascasarjana, IPB
Pal, K. K. dan Gardener, B. M. 2006. Biological Control of Plant Pathogens. The Plant
Health Instructor DOI: 10.1094/PHI-A-2006-1117-02
Palumbo, J. D., Yuen, G. Y., Jochum, C. C., Tatum, K., and Kobayashi, D. Y. 2005. Mutagenesis of beta-1,3-glucanase genes in Lysobacter enzymogenes strain C3 results in reduced biological control activity toward Bipolaris leaf spot of tall fescue and Pythium damping-off of sugar beet. Phytopathology, 95: 701-707
Purnomo, E. 2006. Peranan Bahan Organik untuk Menyuburkan Tanah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Info Teknologi Pertanian No.7. (Online). (www.Jatim.litbag.deptan.go.id) Diakses 1 Februari 2017
Rukmana.R. dan Sugandi. 2002. Hama Tanaman dan Teknik Pengendaliaanya. Yogyakarta: Kanisius
Shelton A. 2012. Biologycal Control. (Online).
(http://biocontrol.entomology.cornell.edu). Diakses 1 Februari 2017
Sunarno. 2009. Pengendalian Hayati (Biologi Control) sebagai Salah Satu Komponen
Pengendalian Hama Terpadu (PHT). (Online), (
https://=natural_enemies_handbook_pdf), diakses 1 Pebruari 2017
Tauruslina, E.A., Trizelia, Yaherwandi, Hamid, H. 2015. Analisis keanekaragaman hayati musuh alami pada eksosistem padi sawah di daerah endemik dan non-endemik wereng batang cokelat Nilaparvata lugens di Sumatera Barat. Pros Sem Nas Masy
Biodiv Indon 1 (582 3): 581-589
Thalib R, Effendy TA, Herlinda S. 2002. Struktur komunitas dan potensi artropoda predator hama padi penghuni ekosistem sawah dataran tinggi di daerah Lahat, Sumatera Selatan. Makalah Seminar Nasional Dies Natalis Fakultas Pertanian
Universitas Sriwijaya & Peringatan Hari Pangan Sedunia, Palembang, 7-8Oktober 2002
Thamrin M & Asikin S. 2004. Populasi serangga musuh alami pada lingkungan iklim mikro di lahan pasang surut. Hlm 413-418. Dalam Prosiding Seminar Nasional Entomologi dalam Perubahan Lingkungan Sosial. Bogor, 5 Oktober 2004
Untung, 2006. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Yogyakarta: Gajah Mada University Press
Wilyus. 2009. Survei eksplorasi Parasitoid Telur Pengggerek Batang Padi di Desa Sungai Duren Kecamatan Jambi Luar Kota. Di dalam Elektronik Journal Prosiding Seminar Nasional BKS PTN Wilyah Indonesia Barat. ISBN 978-979-1415-0-05-7. Banten, 13-15 April 2009. 11 hlm.