• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III KERANGKA PEMIKIRAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III KERANGKA PEMIKIRAN"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1 Kebijakan Umum Pembangunan Modal Manusia

Kebijakan umum pembangunan manusia adalah kebijakan umum pemerintah khususnya pemerintah daerah tingkat kabupaten/kota dalam merumuskan strategi dan menjalankan arah kebijakan membangun dua sektor utama pembangunan manusia, yakni pendidikan dan kesehatan.

Pada penelitian ini, kebijakan pembangunan manusia Kabupaten Lebak memiliki dua indikator, yakni, pertama, pendidikan, berupa meningkatnya akses, mutu dan citra pendidikan terutama untuk penuntasan wajib belajar 9 (sembilan) tahun dan pencanangan wajib belajar 12 (dua belas) tahun bagi anak usia sekolah. Arah kebijakannya adalah sebagai berikut :

1. Meningkatkan partisipasi pendidikan masyarakat pada jenjang Wajar Dikdas 9 (sembilan) tahun melalui jalur formal atau non-formal termasuk melalui upaya penarikan kembali siswa putus sekolah semua jenjang

2. Menurunkan secara signifikan jumlah penduduk yang buta aksara melalui peningkatan intensifikasi perluasan akses dan kualitas penyelenggaraan pendidikan keaksaraan fungsional yang didukung dengan upaya penurunan angka putus sekolah.

3. Menyelenggarakan pendidikan non-formal yang bermutu untuk memberikan pelayanan pendidikan kepada warga masyarakat yang tidak mungkin terpenuhi kebutuhan pendidikannya melalui jalur formal.

4. Mengembangkan kurikulum, bahan ajar dan model-model pembelajaran dan keterampilan bermata pencaharian yang diperlukan oleh masyarakat.

5. Meningkatkan ketersediaan pendidik dan tenaga kependidikan dalam jumlah dan kualitas yang memadai untuk dapat melayani kebutuhan pendidikan.

6. Memberikan kesempatan kepada anak-anak dari keluarga yang berprestasi untuk melanjutkan pendidikan

7. Mengembangkan pelayanan pendidikan melalui penerapan SSN dan RSBI di semua satuan pendidikan.

(2)

8. Menetapkan kebijakan pendidikan menengah gratis bagi masyarakat kurang mampu.

9. Meningkatkan kualitas sarana dan prasarana pendidikan. 10. Meningkatkan kompetensi tenaga pendidik.

11. Meningkatkan kualitas sarana dan prasarana serta tenaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).

12. Mengembangkan sekolah kejuruan berbasis kompetensi daerah.

Indikator kedua adalah kesehatan, yakni meningkatnya akses dan mutu pelayanan kesehatan terutama untuk kesehatan ibu dan anak. Arah kebijakannya adalah:

1. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengembangan pelayanan kesehatan masyarakat.

2. Meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang pencegahan penyakit menular, lingkungan sehat, kelangsungan dan tumbuh kembang anak, gizi keluarga dan perilaku sehat.

3. Meningkatkan kemampuan identifikasi masalah kesehatan masyarakat .

4. Meningkatkan investasi kesehatan guna menjamin terselenggaranya pelayanan kesehatan bagi masyarakat .

5. Meningkatkan alokasi anggaran untuk membiayai pelayanan kesehatan masyarakat.

6. Meningkatkan ketersediaan pelayanan kesehatan yang bermutu dan terjangkau bagi masyarakat , baik perempuan maupun laki-laki.

7. Mengutamakan penanggulangan masalah kesehatan masyarakat seperti TBC, malaria, rendahnya status gizi, dan akses kesehatan reproduksi.

8. Membina dan mendorong keikutsertaan pelayanan kesehatan non-pemerintah / swasta dalam pelayanan.

3.1.2 Faktor Penyebab Disparitas

Mengembangkan potensi sumberdaya daerah untuk mengurangi disparitas adalah upaya mengembangkan daerah sesuai dinamika ekonomi, sosial, politik dan orbitasi dengan memperhatikan potensi sumberdaya yang ada dalam rangka memperpendek rentang kendali dan mendekatkan pelayanan guna meningkatkan

(3)

kesejahteraan masyarakat, dengan titik berat pelaksanaan pembangunan terkonsentrasi dan bermula dari wilayah pedesaan.

Secara lebih terperinci terdapat beberapa faktor utama (Murty, 2000) yang menyebabkan terjadinya kesenjangan pembangunan antar wilayah ini, antara lain adalah :

1. Faktor Geografis

Suatu wilayah atau daerah yang sangat luas akan terjadi variasi pada keadaan fisik alam berupa topografi, iklim, curah hujan, sumberdaya mineral dan variasi spasial lainnya.

2. Faktor Historis

Perkembangan masyarakat dalam suatu wilayah tergantung dari kegiatan atau budaya hidup yang dilakukan di masa lalu. Bentuk kelembagaan, budaya atau kehidupan perekonomian pada masa lalu merupakan penyebab yang cukup penting terutama yang terkait dengan sistem insentif terhadap kapasitas kerja. 3. Faktor politis

Tidak stabilnya suhu politik sangat mempengaruhi perkembangan dan pembangunan di suatu wilayah. Instabilitas politik akan menyebabkan orang ragu untuk berusaha atau melakukan investasi sehingga kegiatan ekonomi suatu wilayah tidak akan berkembang.

4. Faktor Kebijakan

Terjadinya kesenjangan antar wilayah bisa diakibatkan oleh kebijakan pemerintah. Kebijakan pemerintah yang sentralistik hampir di semua sektor, dan lebih menekankan pertumbuhan dan pembangunan pusat-pusat pembangunan di wilayah-wilayah tertentu menyebabkan kesenjangan yang luar biasa antar daerah. 5. Faktor Administratif

Kesenjangan wilayah dapat terjadi karena kemampuan pengelolaan administrasi. Wilayah yang dikelola dengan administrasi yang baik cenderung lebih maju. Wilayah yang ingin maju harus mempunyai administrator yang jujur, terpelajar, terlatih, dan dengan sistem administrasi yang efisien.

6. Faktor Sosial

Masyarakat dengan kepercayaan-kepercayaan yang primitif, kepercayaan tradisional dan nilai-nilai sosial yang kaku dan kurang kondusif cenderung

(4)

menghambat perkembangan ekonomi. Sebaliknya masyarakat yang relatif maju pada umumnya memiliki institusi dan perilaku yang kondusif untuk berkembang. 7. Faktor Ekonomi

Faktor ekonomi yang menyebabkan kesenjangan antar wilayah adalah sebagai berikut :

a. Perbedaan kuantitas dan kualitas dari faktor produksi yang dimiliki seperti lahan, infrastruktur, tenaga kerja, modal, organisasi dan perusahaan.

b. Terkait akumulasi dari berbagai faktor. Salah satu lingkaran kemiskinan, kemudian kondisi masyarakat yang tertinggal, standar hidup yang rendah, efisiensi rendah, konsumsi rendah, tabungan rendah, investasi rendah dan pengangguran meningkat. Sebaliknya, di wilayah maju, masyarakat maju, standah hidup tinggi, pendapatan semakin meningkat, tabungan semakin banyak yang pada akhirnya masyarakat semakin maju.

c. Kekuatan pasar bebas telah mengakibatkan faktor-faktor ekonomi seperti tenaga kerja modal, perbankan dan asuransi yang dalam ekonomi makin memberikan hasil yang lebih besar, cenderung terkonsentrasi di wilayah maju. Terkait dengan distorsi pasar, kebijakan harga, keterbatasan spesialisasi, keterbatasan keterampilan tenaga kerja dan sebagainya.

3.1.3 Perilaku Masyarakat Sebagai Konsumen Kebijakan Pembangunan Perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan (KBBI 1995). Sedangkan perilaku konsumen didefinisikan sebagai tindakan-tindakan langsung terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi atau menghabiskan produk dan jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan mengikuti tindakan-tindakan tersebut (Engel et al. 1994). Namun, apabila dihubungkan antara perilaku konsumen dengan perilaku masyarakat terhadap kebijakan pemerintah, maka dapat diambil makna bahwa perilaku masyarakat dapat disebut sebagai suatu tanggapan atau reaksi masyarakat berupa tindakan langsung atau tidak langsung dalam mendapatkan, menikmati tiap produk serta sikap kritis masyarakat dalam menanggapi kebijakan pemerintah.

Dalam melakukan tindakan-tindakan tersebut, masyarakat atau konsumen dipengaruhi oleh beberapa faktor (Putri et al. 2007), yakni :

(5)

a. Pengaruh lingkungan, yang meliputi lingkungan budaya, kelas sosial, pengaruh pribadi, keluarga dan situasi

b. Perbedaan individu, yang meliputi sumberdaya konsumsi, motivasi, keterlibatan, pengetahuan, sikap, kepribadian, gaya hidup dan demografi

c. Proses psikologis, yang meliputi pembelajaran, perubahan sikap dan perilaku

3.1.4 Persepsi

Persepsi didefinisikan sebagai proses dimana individu memilih, mengorganisasi, dan menginterpretasikan stimulus atau perangsang menjadi sebuah gambaran yang utuh dan menyeluruh (Schiffman dan Kanuk 2004, diacu dalam Putri 2007). Hal tersebut dapat tergambarkan sebagai cara pandang masyarakat umum terhadap realitas di luar dirinya atau dunia sekelilingnya.

Persepsi juga dapat didefinisikan sebagai suatu proses dimana seorang memilih, mengorganisasikan informasi menjadi suatu gambaran yang berarti mengenai suatu objek (Putri, 2007). Sumarwan (2003) mendefinisikan persepsi sebagi sebuah proses dimana individu memperoleh informasi, memberi perhatian atas informasi tersebut dan pada akhirnya akan memahami informasi tersebut. Persepsi masyarakat terhadap kebijakan pemerintah merupakan tanggapan langsung masyarakat terhadap informasi kebijakan pemerintah dan menjadi pertimbangan bagi pemerintah dalam memformulasikan suatu kebijakan.

3.1.5 Sikap Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan Wilayah

Secara konseptual, pembangunan wilayah ditujukan pada usaha percepatan pembangunan di segala bidang dalam rangkaian meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan hasrat untuk menciptakan masyarakat yang maju, mandiri dan sejahtera (Ambardi 2004). Namun beberapa pengalaman menunjukan bahwa penggunaan pendekatan ekonomi saja sebagai kunci daripada permasalahan pembangunan ternyata masih belum mencukupi.

Secara jangka panjang selain diperlukan pendekatan ekonomi, pendekatan politik dan pendidikan serta lainnya juga diperlukan. Selain itu, agar pembahasan menjadi lebih holistik maka diperlukan juga pendekatan di bidang sosial budaya

(6)

dan kemasyarakatan sebagai suatu konsep partisipasi masyarakat dalam pembangunan wilayah.

Dalam setiap usaha pembangunan wilayah haruslah didukung sepenuhnya oleh masyarakat dan masyarakat mampu mengambil perannya, bukan hanya sebagai objek pembangunan saja, melainkan sebagai subjek pembangunan itu sendiri. Syarat dari keikutsertaan seluruh anggota masyarakat, selain peluang dan akses yang sama, juga menyangkut sikap masyarakat itu sendiri untuk ikut berperan lebih aktif dalam proses pembangunan (Ambardi 2004). Namun demikian, ternyata masih terdapat adat istiadat atau nilai budaya yang secara tidak disadari mempengaruhi sikap dan perilaku kemudian seringkali menghambat proses pembangunan.

3.1.6 Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif menggambarkan dan meringkas berbagai kondisi, situasi atau berbagai variabel. Analisis ini berkaitan dengan pengumpulan data untuk memberikan gambaran atau penegasan suatu konsep atau gejala dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan status objek penelitian ini. Hasil penelitian lebih ditekankan pada pemberian gambaran secara objektif tentang keadaan yang sebenarnya dari objek yang menjadi tujuan penelitian. Akan tetapi, guna memperoleh manfaat yang lebih luas, disamping mengungkapkan fakta, diberikan interpretasi yang kuat (Wirartha, 2005).

3.1.7 Analisis Location Quotioent (LQ)

Metode analisis Location Quotient atau LQ adalah suatu metode yang digunakan untuk mengidentifikasi komoditas unggulan (Miller & Wright, 1991). Menurut Hood (1998), Location Quotient adalah suatu alat pengembangan ekonomi yang lebih sederhana dengan kelebihan dan keterbatasannya. Teknik LQ merupakan suatu pendekatan yang umum digunakan dalam model ekonomi basis sebagai langkah awal untuk memahami sektor kegiatan yang menjadi pemicu pertumbuhan. LQ mengukur konsentrasi relatif atau derajat spesialisasi kegiatan ekonomi melalui pendekatan perbandingan.

(7)

Inti dari model ekonomi basis menerangkan bahwa arah dan pertumbuhan suatu wilayah ditentukan oleh ekspor wilayah. Ekspor itu sendiri tidak terbatas pada bentuk barang-barang dan jasa, melainkan juga berupa pengeluaran orang asing yang berada di wilayah tersebut terhadap barang-barang tidak bergerak (Budiharsono, 2001).

Teori ekonomi basis mengklasifikasikan seluruh kegiatan ekonomi ke dalam dua sektor, yakni sektor basis dan sektor non basis. Deliniasi wilayah dilakukan berdasarkan konsep-konsep perwilayahan yaitu konsep homogenitas, nodalitas dan administrasi. Menurut Rusastra (2002), yang dimaksud kegiatan basis merupakan kegiatan suatu masyarakat yang hasilnya baik berupa barang maupun jasa ditujukan untuk ekspor ke luar dari lingkungan masyarakat atau yang berorientasi keluar regional, nasional dan internasional. Konsep efisiensi teknis maupun ekonomis sangat menentukan dalam pertumbuhan basis suatu wilayah.

Sedangkan kegiatan non basis merupakan kegiatan masyarakat yang hasilnya baik berupa barang atau jasa diperuntukan bagi masyarakat itu sendiri dalam kawasan kehidupan ekonomi masyarakat tersebut. Konsep swasembada, mandiri, kesejahteraan dan kualitas hidup sangat menentukan dalam kegiatan non basis ini. Teknik LQ banyak digunakan untuk membahas kondisi perekonomian, mengarah pada identifikasi spesialisasi kegiatan perekonomian atau mengukur konsentrasi relatif kegiatan ekonomi untuk mendapatkan gambaran dalam penetapan sektor unggulan sebagai leading sector suatu kegiatan ekonomi.

3.1.8 Analisis Matriks Tipologi Daerah (Tipologi Klassen)

Struktur ekonomi suatu wilayah dapat dijelaskan dengan menggunakan analisis tipologi daerah. Menurut Hill dalam Kuncoro (2004), analisis tipologi daerah digunakan untuk mengetahui gambaran mengenai pola dan struktur pertumbuhan ekonomi dan masing-masing daerah. Tipologi daerah ada dasarnya membagi daerah menjadi dua indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan per kapita (PDRB per kapita). Dengan menentukan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebagai sumbu vertikal dan rata-rata pendapatan per kapita (PDRB per kapita) sebagai sumbu horizontal, daerah yang diamati dapat dibagi menjadi empat klasifikasi, yaitu :

(8)

1) High growth and high income (daerah cepat maju dan cepat tumbuh) 2) High growth but low income (daerah berkembang cepat)

3) Low growth and low income (daerah relatif tertinggal) 4) High income but low growth (daerah maju tapi tertekan)

3.1.9 Analisis Ketimpangan Pembangunan antar Wilayah 3.1.9.1 Indeks Kemiskinan Manusia

Berdasarkan cara pendekatannya, ukuran kemiskinan secara umum dibedakan atas kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut didasarkan pada ketidakmampuan individu untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak. Konsep ini dikembangkan di Indonesia dan dinyatakan sebagai “inability of the individual to meet basic needs” (Tjondronegoro, Soejono dan Hardjono, 1993). Konsep tersebut sejalan dengan Sen (Meier, 1989) yang menyatakan bahwa kemiskinan adalah “the failure to have certain minimum capabilities”. Definisi tersebut mengacu pada standar kemampuan minimum tertentu, yang berarti bahwa penduduk yang tidak mampu melebihi kemampuan minimum tersebut dapat dianggap sebagai miskin.

Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) merupakan kombinasi dari berbagai dimensi kemiskinan manusia yang dianggap sebagai indikator inti dari ukuran keterbelakangan (deprivasi) manusia. Indeks ini disusun dari tiga indikator, yaitu penduduk yang diperkirakan tidak berumur panjang yang dihitung dengan peluang suatu populasi tidak bertahan hidup sampai berumur 40 tahun (P1), ketertinggalan dalam pendidikan (P2) dan keterbatasan akses terhadap pelayanan dasar (P3).

3.1.9.2 Indeks Williamson

Indeks Williamson merupakan salah satu alat ukur yang paling sering digunakan untuk melihat disparitas antar wilayah. Pengukuran didasarkan pada variasi hasil-hasil pembangunan ekonomi antar wilayah yang berupa besaran PDRB. Kriteria pengukuran adalah : semakin besar nilai indeks yang menunjukan variasi produksi ekonomi antar wilayah, maka semakin besar pula tingkat perbedaan ekonomi dari masing-masing wilayah dengan rata-rata; sebaliknya, semakin kecil nilai ini, maka menunjukan kemerataan antar wilayah.

(9)

Indeks kesenjangan Williamson akan menghasilkan indeks yang lebih besar atau sama dengan nol. Jika Indeks Williamson sama dengan nol, berarti sama sekali tidak ada ketimpangan atau disparitas antar wilayah. Sedangkan jika indeks lebih besar daripada nol, maka hal tersebut menunjukkan adanya kesenjangan ekonomi antar wilayah. Semakin besar indeks yang dihasilkan, semakin besar pula tingkat kesenjangan antar wilayah di suatu provinsi atau kabupaten (Rustiadi, 2007).

3.1.10 Regresi Linier Berganda

Model regresi adalah persamaan matematik yang menggambarkan hubungan antara peubah bebas dengan peubah tak bebas (terikat). Model regresi linier berganda adalah persamaan regresi yang menggambarkan hubungan antara beberapa peubah bebas (X1, X2, X3,… independent variable) dan satu peubah tak

bebas (Y, dependent variable), dimana dugaan hubungan keduanya dapat digambarkan sebagai suatu garis lurus. Seringkali peubah bebas disebut sebagai peubah penjelas dan peubah tak bebas disebut juga sebagai peubah respon. Jika model regresi tersebut digunakan untuk menggambarkan hubungan sebab-akibat (causal relationship), maka peubah bebas disebut sebagai peubah penyebab dan peubah tak bebas disebut sebagai peubah akibat (Juanda, 2009).

Adapun metode pendugaan yang digunakan dalam penelitian adalah Metode OLS (Ordinary Least Square). Metode ini digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya disparitas pembangunan modal manusia wilayah khususnya di wilayah tertinggal Kabupaten Lebak.

Mode regresi secara umum dapat dituliskan sebagai berikut : Yi = β0+β1X1+ β2X2+ … + βiXi+e i = 1,2, …., n Dimana :

Yi = Variabel tak bebas (dependent variabel) β0 = Intersep

βi = Koefisien kemiringan

Xi = Variabel bebas yang menjelaskan variabel tak bebas (independent variabel)

e = Unsur gangguan (galat)

(10)

Dalam penggunaan metode OLS, terdapat asumsi atau persyaratan yang melandasi estimasi regresi, yakni :

1. E(e) = 0 atau E(e| Xi) = 0 atau E(Y) = β0+ βiX

Artinya, e menyatakan variabel-variabel lain yang mempengaruhi Y i

i akan tetapi tidak terwakili dalam model. Sehingga pada saat Xi

2. Tidak ada korelasi antara e

terobservasi, pengaruh e terhadap Y diabaikan atau e tidak mempengaruhi E(Yi) secara sistematis.

i dengan ej {cov(ei,ej

Artinya, deviasi Yi dari rata-rata populasi (mean) tidak menunjukan pola {E(e

) = 0}; i≠j,

i,ej

3. Homoskedastisitas; yaitu besarnya varian e ) = 0}.

i sama, atau var (ei) = σ2 4. Kovarian antara e

untuk setiap i.

i dan Xi nol {cov(ei,Xi Artinya, tidak ada korelasi antara e

) = 0}

i dan Xi, sehingga jika ada hubungan dimana Xi meningkat dan mengakibatkan ei juga meningkat atau ketika Xi menurun, maka ei juga mengalami penurunan. Sehingga dapat dikatakan bahwa hal tersebut menunjukan adany korelasi antara ei dan Xi

5. Tidak ada multikolinieritas

.

Artinya, tidak ada hubungan yang nyata antar variabel independen X dalam model regresi

Jika asumsi di atas dapat dipenuhi, maka metode OLS dapat memberikan penduga koefisien regresi yang bersifat BLUE (Best Liniar Unbiased Estimator). Deskripsi komponen error di sini, paling sedikit terdiri dari empat komponen ; 1. Kesalahan pengukuran dan proxy dari peubah respon Y maupun peubah

penjelas X1,X2,…, Xp

2. Asumsi bentuk fungsi f yang salah. Mungkin ada bentuk fungsi lainnya yang lebih cocok, linier maupun non-linier.

.

3. Omitted variables. Peubah (variabel) yang seharusnya dimasukkan ke dalam model, dikeluarkan dengan alasan-alasan tertentu, misalnya penyederhanaan atau data sulit diperoleh.

4. Pengaruh faktor lain yang belum terpikirkan atau tidak dapat diramalkan (unpredictable effects).

(11)

3.1.11 Model Important Performance Analysis (IPA)

Menurut Simamora (2001) Important Performance Analysis (IPA) adalah teknik yang digunakan untuk mengukur atribut-atribut atau dimensi-dimensi dari tingkat kepentingan dengan tingkat kinerja yang diharapkan konsumen dan sangat berguna bagi pengembangan program strategi pemasaran yang efektif. Namun, apabila dihubungkan dengan perilaku masyarakat dan kebijakan pemerintah, Important Performance Analysis (IPA) ini dapat digunakan dalam membandingkan tingkat kepentingan atau harapan masyarakat dan penilaian masyarakat terhadap kinerja pelayanan publik pemerintah.

Important Performance Analysis (IPA) ini merupakan salah satu dasar bagi manajemen dalam pengambilan keputusan tentang tindakan apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki kinerja demi meningkatkan kepuasan. Begitupun dengan kinerja pelayanan publik pemerintah terhadap masyarakat. Pemerintah akan menjadikan penilaian sikap mayarakat dalam menentukan kebijakan untuk memberikan pelayanan terbaik demi kepuasan masyarakat.

3.1.12 Analisis Strengths Weaknesses Opportunities and Threats (SWOT) Analisis SWOT adalah sebuah alat perencanaan strategis yang digunakan untuk mengevaluasi Strengths (kekuatan), Weaknesses (kelemahan), Opportunities (kesempatan) dan Threats (peluang) dalam sebuah proyek atau kegiatan bisnis. Analisis ini memuat tujuan dari proyek atau kegiatan bisnis tersebut dan mengidentifikasi faktor-faktor internal dan eksternal (positif dan negatif) untuk mencapai tujuan. Metode SWOT diperkenalkan oleh Albert Humphey yang memimpin proyek di Standford University pada tahun 1960-an dan 1970-an (menggunakan data dari perusahaan-perusahaan Fortune 500).

Analisis SWOT memberikan kerangka pemikiran yang baik tentang peninjauan strategi, posisi dan arah perusahaan, produk, proyek maupun individu. Dalam penelitian ini, tujuan dilakukannya analisis SWOT adalah untuk menyusun alternatif kebijakan pembangunan modal manusia wilayah tertinggal sesuai dengan preferensi dan penilaian sikap masyarakat yang disinergiskan dengan platform kebijakan pembangunan wilayah Pemerintah Daerah Kabupaten Lebak.

(12)

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional

Dari berbagai hasil kajian dan penelitian ilmiah, menerangkan bahwa Kabupaten Lebak memiliki sumberdaya alam yang cukup melimpah dan potensial bagi pembangunan dan pengembangan usaha di bidang-bidang yang prospektif seperti pertanian, kehutanan, pertambangan, perdagangan dan industri. Potensi sumberdaya alam tersebut sampai saat ini masih belum dimanfaatkan secara optimal. Hal tersebut dikarenakan masih terbatasnya kemampuan SDM dan minimnya dukungan sarana-prasarana infrastruktur daerah. Sehingga terjadi ketimpangan pembangunan dan mengakibatkan rendahnya minat investasi.

Dalam program percepatan pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya daerah, Pemkab Lebak menyadari sepenuhnya bahwa hal tersebut tidak mungkin ditangani oleh Pemkab Lebak saja. Tetapi harus didukung pula oleh peran serta aktif masyarakat dan dunia usaha untuk mengembangkan investasinya di Lebak. Karena keterkaitan antar spasial kewilayahan jelas sangat menentukan berkembang atau tidaknya suatu daerah. Terlebih Kabupaten Lebak termasuk kabupaten yang kini tengah melakukan berbagai macam perbaikan di berbagai bidang khususnya dalam pengelolaan dan pembangunan human resources atau pengembangan modal manusia yang kelak menjadi asset berharga untuk Lebak itu sendiri. Karena modal manusia berupa pendidikan dan kesehatan secara sistemik menjadi faktor yang fundamental dalam pembentukan kemampuan manusia yang lebih luas dan berada pada inti makna pembangunan daerah.

Secara umum, kondisi modal manusia Kabupaten Lebak masih berada pada rantai terbawah di Provinsi Banten. Kenyataan tersebut ditunjukkan pada Angka Harapan Hidup (AHH) penduduk Kabupaten Lebak adalah 63,11 tahun, sedangkan rata-rata Provinsi Banten telah mencapai 64,45 tahun. Hal ini berarti bahwa rata-rata masa hidup penduduk Kabupaten Lebak mulai dari lahir hingga meninggal adalah sekitar 63 tahun 1 bulan. AHH tahun 2008 mengalami peningkatan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya sejak tahun 2002 yang sebesar 61,9 tahun. Peningkatan yang rendah tersebut bisa jadi disebabkan oleh jumlah dan penyebaran tidak merata dari tenaga kesehatan.

Pada konteks pendidikan, persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang mampu membaca dan menulis adalah 94,1 persen, sehingga penduduk yang buta

(13)

huruf sebanyak 5,9 persen. Angka buta huruf paling banyak disumbangkan oleh penduduk usia tua. Alasan utama lebih disebabkan karena pada masa lalu banyak penduduk yang masih kesulitan untuk menikmati jenjang pendidikan meskipun setingkat sekolah dasar. Pada indikator rata-rata lama sekolah, Kabupaten Lebak masih tergolong rendah yakni hanya 6,3 tahun pada tahun 2008, atau setara dengan lulus SD. Sedangkan pada tingkat Provinsi Banten, rata-rata lama sekolah telah mencapai 8,2 tahun atau hampir setara dengan kelas dua SLTP. Kondisi rendahnya angka-angka tersebut pun dilengkapi dengan tidak meratanya penyebaran pembangunan manusia di Kabupaten Lebak. Sebagian besar pembangunan hanya terjadi di wilayah tengah kabupaten. Sedangkan wilayah yang berda di pinggiran khususnya wilayah selatan dan utara masih jauh tertinggal. Sehingga isu ketimpangan yang selama ini menjadi topik utama pembangunan masih saja terjadi dan belum ada sinyal positif menuju perbaikan.

Dengan dasar kondisi modal manusia yang masih di bawah rata-rata, maka kebijakan umum pembangunan modal modal manusia memiliki beberapa titik penekanan utama. Dalam hal pendidikan, Pemkab Lebak menekankan kebijakan berupa meningkatnya akses, mutu dan citra pendidikan terutama untuk penuntasan wajib belajar 9 (sembilan) tahun dan pencanangan wajib belajar 12 (dua belas) tahun bagi anak usia sekolah. Sedangkan dalam pembangunan kesehatan, Pemkab Lebak lebih memfokuskan untuk meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan terutama untuk kesehatan ibu dan anak.

Penelitian tesis ini dalam tujuan pertamanya, akan membahas topik terkait dengan peran otonomi daerah yakni kondisi umum dan kinerja pelayanan publik pemerintah daerah. Pelayanan publik ini terbagi menjadi tiga bagian besar, yakni pelayanan dasar pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum. Pelayanan dasar pendidikan berupa kualitas dan kuantitas tenaga kependidikan, fasilitas bangunan sekolah dan fasilitas sarana-prasarana pendukung kegiatan belajar. Pada sisi lainnya, pelayanan dasar kesehatan berupa kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan, fasilitas kesehatan (rumah sakit, puskesmas, posyandu) dan jaminan kesehatan masyarakat miskin. Untuk pelayanan fasilitas umum terdiri dari fasilitas jalan umum kabupaten, air dan listrik, jembatan, irigasi serta fasilitas sosial ekonomi dan kemasyarakatan lainnya.

(14)

Setelah diketahui kondisi umum pelayanan publik, maka analisa selanjutnya adalah menganalisis kinerja pelayanan publik Pemkab Lebak khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan. Alasan utama menganalisis kinerja pendidikan dan kesehatan adalah ingin melihat sejauh mana usaha pemerintah daerah dalam memenuhi standar pelayanan minimal pendidikan dan kesehatan. Alat analisis yang digunakan adalah Important Performance Analysis. Melalui alat analisis tersebut maka akan terlihat bagaimana penilaian kinerja yang dinilai langsung oleh masyarakat sebagai stakeholder utama penerima pelayanan publik di daerah.

Pada tujuan kedua, peneliti ingin melihat bagaimana keterkaitan keterkaitan pelayanan publik dengan kondisi kualitas sumberdaya manusia di Kabupaten Lebak. Berdasarkan kajian teoritis, seharusnya ada pengaruh yang positif antara pelayanan publik dengan kualitas sumberdaya manusia, yang dalam hal ini dilihat melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dimana IPM ini terdiri dari beberapa bagian yakni Indeks Pengetahuan, Angka Harapan Hidup (AHH) dan Indeks Daya Beli. Apabila pelayanan publik suatu wilayah baik, maka

hal tersebut akan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, atau dengan kata lain kualitas sumberdaya manusia di wialayah tersebut tinggi. Sebaliknya, apabila kualitas pelayanan publik jauh di bawah standar pelayanan minimum, maka secara sistematis akan berdampak negatif terhadap kualitas sumberdaya manusia, atau dengan kata lain akan menurunkan kualitas sumberdaya manusia.

Setelah mengetahui kondisi sumberdaya manusia dan keterkaitannya dengan dengan pelayanan publik, maka selanjutnya melihat struktur ekonomi serta tingkat disparitas di Kabupaten Lebak. Kualitas sumberdaya ini seyogyanya memiliki keterkaitan yang sangat kuat dengan disparitas pembangunan. Rendahnya kualitas sumberdaya manusia akan menyebabkan kesulitan dalam mengelola atau swakelola sumberdaya dalam pembangunan, ketidakmampuan swakelola ini akan berdampak pada ketidakmerataan pembangunan yang selanjutnya mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat yang ditunjukkan oleh tingkat pendapatan melalui PDRB dan PDRB per Kapita.

Pada wilayah yang cenderung telah memiliki sumberdaya yang baik tentu pembangunannya tidak akan menemui kendala yang berarti. Namun untuk

(15)

wilayah yang masih relatif tertinggal dalam hal kualitas sumberdaya, maka pembangunan wilayahnya akan terhambat. Akibatnya, rendahnya kemampuan pengelolaan dan proses manajerial Lebak secara umum ini menyebabkan tingginya angka ketimpangan atau disparitas, sehingga kelemahan ini akan menjadi penyebab tidak langsung terjadinya peningkatan angka disparitas pembangunan wilayah. Angka disparitas itu sendiri menggunakan indikator Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) dan Indeks Williamson (IW).

Analisa selanjutnya dalam penelitian tesis ini adalah akan melihat penyebab atau sumber-sumber terjadinnya disparitas pembangunan wilayah. Alat analisis yang digunakan adalah dengan analisis regresi berganda. Dimana secara sistematis akan melihat pelayanan publik dan kualitas sumberdaya manusia itu sendiri dan pengaruhnya terhadap angka disparitas. Sumber-sumber yang diduga menjadi penyebab utama disparitas berupa angka pertumbuhan PDRB, pertumbuhan IPM, rasio belanja infrastruktur pendidikan, rasio belanja infrastruktur kesehatan dan rasio belanja infrastruktur umum.

Secara holistik, peneliti ingin melihat bagaimana keterkaitan kualitas pelayanan publik pada sumberdaya manusia itu sendiri terhadap tingkat kualitas sumberdaya manusia dan kesejahteraan. Melalui analisis regresi berganda, maka akan ditemukan pengaruh kualitas pelayanan publik sumberdaya manusia berupa rasio bangunan setiap satuan pendikan dan kesehatan, jumlah tenaga pengajar dan kesehatan yang dibandingkan dengan jumlah penduduk terhadap kualitas sumberdaya manusia yang ditujukkan oleh IPM dan tingkat kesejahteraan Kabupaten Lebak yang ditunjukkan oleh pendapatan atau PDRB per kapita.

Tinggi rendahnya angka disparitas ini secara eksplisit akan menyebabkan rendahnya pelayanan publik. Karena disparitas itu sendiri disebabkan oleh rendahnya kualitas kemampuan swakelola, sehingga tentu saja apabila suatu wilayah tidak memiliki kemampuan swakelola yang baik, maka sudah bisa dipastikan pelayanan publik pun akan jauh dari standar pelayanan minimal. Dalam hal ini akan terjadi proses lingkaran setan ketertinggalan, dimana buruknya pelayanan publik akan berdampak pada rendahnya kualitas sumberdaya manusia, kemudian rendahnya kualitas sumberdaya manusia ini akan menyebabkan kesulitan dalam melakukan pengelolaan sumberdaya pembangunan, akibatnya

(16)

angka disparitas pun tinggi. Selanjutnya kembali ke proses siklus awal yakni tingginya angka disparitas ini akan menyebabkan buruknya pelayanan publik.

Gambar 7 Bagan Alur Kerangka Pemikiran Operasional PELAYANAN PUBLIK PEMERINTAH DAERAH KUALITAS SUMBERDAYA MANUSIA DISPARITAS PEMBANGUNAN WILAYAH

Pendidikan Kesehatan Umum

• Kualitas dan kuantitas tenaga kependidikan • Fasilitas bangunan sekolah • Fasilitas sarana-prasarana pendukung kegiatan belajar • Kualitas dan kuantitas tenaga kesehatan • Fasilitas kesehatan (Rumah Sakit, Puskesmas, Posyandu) • Jaminan kesehatan masyarakat miskin • Fasilitas jalan umum Kabupaten • Air dan listrik • Jembatan • Irigasi • Fasilitas Sosial ekonomi dan kemasyarakatan lainnya

Indeks Pembangunan Manusia

• Indeks pengetahuan

• Angka Harapan Hidup (AHH) • Indeks Daya Beli

Tingkat kesejahteraan/PDRB/ PDRB per kapita

• I ndeks Kemiskinan Manusia • Indeks Williamson

Pelayanan Publik baik  kualitas SDM tinggi Pelayanan Publik buruk  kualitas SDM rendah Kualitas SDM tinggi  Disparitas rendah Kualitas SDM rendah  Disparitas tinggi Disparitas rendah  Pelayanan publik baik

Disparitas tinggi  Pelayanan publik

buruk Strategi Penyelesaian :

SWOT

(17)

Berdasarkan pembahasan permasalahan tersebut, maka perumusan strategi pembangunan dilakukan dengan menggunakan analisis SWOT. Analisis SWOT ini mengkombinasikan Strengths (kekuatan), Weaknesses (kelemahan), Opportunities (kesempatan) dan Threats (peluang) dalam sebuah strategi pembangunan modal manusia wilayah Kabupaten Lebak. Analisis ini memuat tujuan dari kebijakan umum pembangunan modal manusia dan mengidentifikasi faktor-faktor internal dan eksternal (positif dan negatif) untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan di awal. Strategi alternatif ini diharapkan kebijakan pembangunan modal manusia mampu memberikan dampak positif terhadap masyarakat baik secara ekonomi maupun finansial. Pada akhirnya mampu memotong siklus lingkaran setan ketertinggalan dan proses pembangunan modal manusia dapat dilaksanakan secara holistik dan berkelanjutan. Bagan kerangka pemikiran operasional dapat dilihat pada Gambar 7.

3.3. Hipotesis Operasional

Beberapa jawaban sementara (hipotesis) dari perumusan masalah penelitian ini yaitu :

1. Pelayanan publik pembangunan sumberdaya manusia Kabupaten Lebak masih di bawah standar pelayanan minimal sehingga menyebabkan kualitas sumberdaya manusia di Kabupaten Lebak masih relatif teringgal dan di bawah rata-rata IPM Provinsi Banten.

2. Struktur ekonomi kabupaten yang menjadi basis ekonomi masih didominasi sektor-sektor primer seperti pertanian, pertambangan, perdagangan dan jasa-jasa. Tingkat disparitas pembangunan wilayah kecamatan-kecamatan di Kabupaten Lebak masih sangat tinggi. Sumber-sumber disparitas banyak disebabkan oleh hasil dari pelayanan publik yang buruk dan rendahnya IPM. 3. Strategi alternatif kebijakan pembangunan human resources belum sesuai

dengan penilaian sikap masyarakat yang disinergiskan dengan platform kebijakan pembangunan wilayah Pemkab Lebak.

Gambar

Gambar 7  Bagan Alur Kerangka Pemikiran Operasional PELAYANAN PUBLIK PEMERINTAH DAERAH  KUALITAS  SUMBERDAYA MANUSIA DISPARITAS PEMBANGUNAN WILAYAH

Referensi

Dokumen terkait

Pada berat awal 100g laju pertumbuhan harian dipengaruhi oleh interaksi yang kompleks dari radiasi cahaya matahari, suhu, unsur hara dan pergerakan air (Santelices,

Pembelajaran secara daring mendorong mahasiswa untuk lebih berperan aktif dalam proses pembelajaran, artinya mahasiswa harus memiliki motivasi belajar yang tinggi

SQL yang dideteksi sebagi klon tipe C tidak dapat dihilangkan atau dihapus seperti klon tipe A dan B karena klon tipe C adalah pasangan SQL yang memiliki kolom pada

dan sosiologi tentang bagaimna anak, siswa dan orang dewasa dapat bangkit kembali dan bertahan dari kondisi stress, trauma dan resiko dalam kehidupan me-

Dalam tahap ini peneliti melakukan pelaksanaan proses pembelajaran dan sekaligus melakukan pengamatan terhadap apa yang telah direncanakan dalam upaya menumbuhkan motivasi

Untuk hardware terdiri dari beberapa bagian penting, bagian pertama adalah sensor suhu LM35D; bagian kedua mikrokontroler ATMega8535 sebagai kontroler dan pengolah data

(5) Wajib Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan retribusi wajib melakukan pembayaran

Mencermati dari penjelasan di atas, pondok pesantren Al- Iman Bulus Purworejo adalah salah satu pondok pesantren yang mencoba menginovasi pendidikan dengan